perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL SEBAGAI BENTUK LEGITIMASI KEHALALAN PRODUK DI INDONESIA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : LINDU AJI SAPUTRO NIM. E0008182
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Lindu Aji Saputro. E 0008182. 2012. ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL SEBAGAI BENTUK LEGITIMASI KEHALALAN PRODUK DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dari pemalsuan sertifikasi dan lebelisasi halal serta pengaturan sertifikasi halal dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, yaitu penelitian dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi bahwa sampai saat ini belum ada kepastian mengenai pengaturan sertifikasi dan lebelisasi halal di Indonesia. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan undangundang (statute approach) dengan menelaah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan serta peraturan teknis dibawahnya. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, karangan ilmiah, makalah, jurnal, surat kabar dan cyber media. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan interpretasi sistematis digunakan dalam pokok permasalahan nomor 1, dan interpretasi teleologis atau sosiologi dalam pokok permasalahan nomor 2. Untuk memperoleh jawaban atas permasalahan nomor 3, upaya pemberantasan sertifikat dan label halal palsu, digunakan silogisme deduksi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu pertama pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan serta peraturan teknis dibawahnya. Kedua, peraturan perundang-undangan yang mengatur sertifikasi halal maupun labelisasi halal belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi konsumen muslim dalam mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal terhadap pangan dan produk lainnya. Ketiga, bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dan pemberantasan sertifikasi dan labelisasi halal palsu adalah berupa pemberian sanksi pidana yang tegas dan sanksi administratif yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) , Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, serta adanya sistem pengawasan yang ketat baik dari pihak pemerintah, masyarakat maupun lembaga-lembaga non pemerintahan dan penegakan hukum yang tegas. commit to user Kata Kunci: halal, pemalsuan, pemberantasan, perlindungan hukum. v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Lindu Aji Saputro. E 0008182. 2012. AN ANALYSIS ON LAW PROTECTION OF CERTIFICATION FALSIFICATION AND HALAL LABELING AS THE PRODUCT RIGHTFULNESS LEGITIMACY FORM IN INDONESIA. Faculty of Law of Sebelas Maret University. This research aims to find out how the law protection is given to the consumer against certification falsification and halal (rightful) labeling as well as the regulation of halal certification and halal labeling as the product rightfulness legitimacy form in Indonesia. This research was a normative law research that was prescriptive in nature, the one conducted to provide argumentation that up to now there has no been certainty about the regulation of halal certification and labeling in indonesia. The approach used by the author was statute approach by studying the act Number 7 of 1996 about Food, Act Number 8 of 1999 about Consumer Protection, Government Regulation Number 69 of 1999 about Food Label and Advertisement as well as technical regulation below it. The type of data used was secondary data. The data source used included primary, secondary, and tertiary law materials. Technique of collecting data used was library study in the form of books, legislations, scientific works, papers, journals, newspapers, and cyber media. Technique of analyzing data used in this research was systematic interpretation for the problem number 1, and teleological or siciological interpretation for the problem number 2. Meanwhile to answer the problem number 3, the attempt of eradicating false halal certification and label, the deductive syllogism. Based on the result of research and discussion, the following conclusion could be drawn. Firstly, the halal certification and labeling regulation was governed in the Act Number 7 of 1996 about Food, Act Number 8 of 1998 about Consumer Protection, Government Regulation Number 69 of 1999 about Food label and Advertisement as well as technical regulation below it. Secondly, the legislations governing both halal certification and halal labeling had not completely given law certainty and protection yet to the Moslem consumer in preventing and coping with halal certificate and label falsification for food and other product. Thirdly, the form of law protection given to the consumers and the eradication of false halal certification and label included the imposition of firm criminal and the administrative sanction governed in the Penal Code (KUHP), Act Number 7 of 1996 about Food, Act Number 8 of 1999 about Consumer Protection, Government Regulation Number 69 of 1999 about Food Label and Advertisement, as well as the presence of tight supervision system from either government or society or non-government organization, and firm law enforcement.
Keywords: halal, falsification, eradication, law protection. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS Al-Ankabut: 6) “Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil. Kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik”. (Evelyn Underhill) “And now, the end is here and so I face the final curtain. I did it my way”. (Frank Sinatra)
Saya datang, saya bimbingan, saya ujian, mungkin saya revisi dan saya akan menang”. (Penulis)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang kusayangi: 1. Ayah bunda tercinta, Agung Sawali dan Ani Patmawati, motivator terbesar dalam hidupku yang tak pernah jemu menyayangiku, mendoakanku di dalam setiap hembusan nafasnya, atas semua pengorbanan dan kesabaran mengantarku sampai kini. Tak pernah cukup ku membalas cinta ayah bunda padaku. Kedua adikku tercinta Artha dan Nailah yang selalu ku sayangi. 2. Seseorang terkasih yang hadir di masa kini dan masa depanku. 3. Almamaterku.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN SERTIFIKASI
DAN
LABELISASI
HALAL
SEBAGAI
BENTUK
LEGITIMASI KEHALALAN PRODUK DI INDONESIA”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari alam kegelapan ke alam terang benderang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha sebaik-baiknya, namun
demikian
menyadari
akan
adanya
kekurangan-kekurangan
yang
diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan penulis, maka dengan segala rendah hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kritik dan saran yang telah diberikan. Pada kesempatan ini secara khusus penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Pius Triwahyudi,SH.,M.Si selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan memberikan petuah bijak serta dorongan semangat dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi Penulis 3. Bapak Ismunarno,SH.,M.Hum selaku Pembimbing II penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini. 4. Ibu Rosita Candrakirana, SH.,M.H selaku Pembimbing Seminar Proposal penulis. 5. Bapak Prasetyo Hadi P,SH.,M.S selaku Pembimbing Akademik penulis yang telah memberi bimbingan kepada penulis dari awal semester hingga semester akhir. commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Seluruh bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi pelayanan kepada seluruh mahasiswa Fakultas Hukum UNS. 8. Keluargaku tercinta : ayahku Agung Sawali, ibuku Ani Patmawati, adikku tersayang Artha dan Nailah, yang telah memberiku dukungan yang sangat besar, baik materiil maupun spirituil, menghibur aku dikala kesesakan dan memberiku kekuatan baru. 9. Almarhummah ibunda tercinta Daryanti, yang telah melahirkan dan membesarkanku, tanpa pamrih memberiku kasih sayang yang tiada batas. 10. Teman-teman kost seperjuangan Yayan, Mimin, Bowo, Ahmad, Bayu, Adil, Kemal, Banu, Gigih, Jati, Bintang, Weny, Sigit, Agil, Niko, Angger yang setelah sekian tahun selalu bersama dan menghadirkan tawa dan keceriaan bagiku. Sungguh aku akan merindukan kalian semua. 11. Yang terkasih Harina Ratyasti, yang telah memberi warna di hari-hari ku dan memberiku dukungan yang sangat berarti dalam penulisan hukum ini. 12. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum UNS 2008, tetap semangat dan terus berjuang. Anak-anak parkiran Fakultas Hukum, mas Eko dan seluruh Satpam dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT Tuhan semesta alam senantiasa memberikan petunjuk, bimbingan dan perlindungan kepada kita semua, Amin.
Surakarta, Juli 2012 commit to user
x
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL..............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ..............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ..............................................................
iv
ABSTRAK ............................................................................................
v
HALAMAN MOTTO ............................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................
viii
KATA PENGANTAR ...........................................................................
ix
DAFTAR ISI .........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................... B. Rumusan Masalah ................................................................ C. Tujuan Penelitian ................................................................. D. Manfaat Penelitian .............................................................. E. Metode Penelitian ............................................................... F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................ BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
1 6 7 7 8 12 14
A. Kerangka Teori ...................................................................
14
1. Tinjauan tentang Efektivitas Hukum .....................
14
2. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen ............
18
a. Pengertian Konsumen ................................
18
b. Pengertian Perlindungan Konsumen ..........
19
c. Asas Perlindungan Konsumen ...................
21
d. Tujuan Perlindungan Konsumen ...............
22
e. Hak dan Kewajiban Konsumen ................ commit to user f. Kewajiban Pelaku Usaha ..........................
22
xi
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen ..
24
h. Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen ......
25
3. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal .......................................................................... a. Sertifikasi Halal ............................................
27
b. Labelisasi Halal ............................................
28
4. Tinjauan mengenai Halal dan Haram dalam Pangan ..
27
32
a. Pengertian Halal dan Haram ........................
32
b. Hukum Halal dan Haram .............................
33
5. Tinjauan Mengenai Kejahatan Pemalsuan ..............
37
B. Kerangka Pemikiran ............................................................
41
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................
44
A. Pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia ...........................
44
B. Analisis Keefektifan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sertifikasi dan labelisasi halal ....................
57
C. Solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal..............................................................
66
BAB IV PENUTUP ...........................................................................
78
A. Simpulan ...........................................................................
78
B. Saran .................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pemikiran ...................................................... 41 Gambar 2. Prosedur Sertifikasi Halal ............................................. 56
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofis negara, Pancasila. Setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia. Negara turut menjamin akan hak tersebeut seperti yang diatur pada Pasal 29 UUD 1945 sebagaimana telah diamandemen menjadi Pasal 28(E) UUD 1945 yang berbunyi: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 235 juta jiwa, lebih dari 80 persen penduduknya menganut agama islam. Dengan jumlah sebesar itu, bisa dipastikan Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk pemasaran berbagai produk, baik makanan, pakaian, maupun obat-obatan (“Pentingnya Jaminan Halal”.Republika, Kamis 19 Januari 2012).
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
The potential market for halal products is the world’s Islamic population, which is of the order of 1600 million people. Of this total, Indonesia contributes 180 million; India, 140 million; Pakistan, 130 million; the Middle East, 200 million; Africa, 300 million; Malaysia, 14 million and North America, 8 million. As the world’s most populous Muslim country, Indonesia has the potential to become not only a major market but also a major producer of halal products (Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities. Vol. 3. Endang S Soesilowati 2010 :151–160). Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi yang diterapkan
dalam proses produksi atas barang dan jasa, maka timbul suatu masalah bahwa konsumen memiliki keterbatasan untuk mengetahui kebenaran informasi yang ada pada produk yang akan dikonsumsinya. Informasi yang dimaksud adalah mengenai kebenaran akan bahan-bahan dari produk konsumsi yang bersangkutan tersebut dan secara mutlak harus ada dalam label kemasan produk atau dalam bentuk etiket lain yang jelas dan mudah dipahami oleh konsumen. Dari hal tersebut timbul suatu keraguan atas keamanan dan kenyamanan dari barang yang dikonsumsi karena kemungkinan pada pembuatannya,
bahan-bahan produknya, ada
campuran bahan-bahan kritis tertentu, dari alat-alat produksinya, hingga pengemasan ataupun hasil akhir dari proses produksi mengandung suatu zat atau bahan yang tidak dibenarkan hukum agama, maka disini perlu adanya informasi atas kehalalan yang termuat dalam label halal pada produk yang bersangkutan. The technological developments have multiplied the need of consumers and have changed the tradition that guided our living in the past. The rapid industrial development has not only brought new innovations and products into common use but has also affected the mode and outlook of our living. The simple goods which were catering our needs have been replaced by complex and complicated goods. In view of the socio – economic changes which have taken place in the lives of the people it is imperative to build up a strong and broad based consumer movement which may give impetus and bring about socio-legal measures necessary for consumer protection (Journal of Indian Law Institute New Delhi. Vol. 3 No. 1 Tahun 1991, Rajendra Kumar Nayak 1991). Adanya
keterbatasan kemampuan konsumen dalam meneliti commit to user kebenaran isi label halal tersebut dan belum adanya hukum positif di
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Indonesia yang secara khusus mengatur tentang jaminan kehalalan dengan sertifikasi dan labelisasi halal, oleh negara melalui beberapa peraturan yang sudah ada yang mengatur tentang labeling halal pada produk pangan dalam kemasan yakni; UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian diikuti dengan peraturan-peraturan dibawahnya yakni Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan
Penetapan
Pangan
924/Menkes/SK/VII/1996
Halal, jo
SK
SK
Menteri
Menkes
Kesehatan
No.
No.82/Menkes/SK/I/1996
Tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan. Sertifikasi halal pada produk makanan yang menjadi konsumsi masyarakat merupakan salah satu upaya perlindungan pemerintah terhadap masyarakat secara umum. Soalan kehalalan bukan ditilik dari bahannya semata, tetapi juga dari proses pengolahan yang bercampur dengan aneka bahan tambahan, hingga tahap pengemasan yang masih kritis tercampur dengan bahan-bahan tidak halal. Dalam hal inilah diperlukan label halal yang terpercaya, yang dapat memberikan ketentraman bagi konsumen untuk mengkonsumsi pangan halal (http://halalguide.info/categorykonsepdasar/halal-itu-penting). Dari 2005 hingga September 2011, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberi 5.614 sertifikat halal pada sejumlah produk. Dari jumlah tersebut, terdapat 87.013 item produk dari 3.308 perusahaan (“Pentingnya Jaminan Halal”.Republika, Kamis 19 Januari 2012). Pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang saling berhubungan dan saling memerlukan, tetapi pada prakteknya seringkali konsumen dirugikan atas tindakan pelaku usaha yang tidak jujur, nakal, dari tinjauan aspek hukum merupakan tindakan pelanggaran hukum. Konsumen yang keberadaanya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi commit to user menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang sering terjadi antara lain, menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya (Sri Redjeki Hartono, 2000:34). Maka dapat dikatakan bahwa konsumen berada pada posisi yang lemah dari pada pelaku usaha. Konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection (Susanti Adi Nugroho, 2008:3), yang menyatakan bahwa : “Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to nonhazard-ous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development,”. Adanya peredaran produk pangan dalam kemasan yang memasang label halal tanpa memenuhi ketentuan perundang-undangan, sangat meresahkan konsumen, seperti kasus yang terjadi di Surabaya dimana Badan POM mengadakan pengujian terhadap 35 merek dendeng/abon sapi, terdiri dari 15 dendeng dan 20 abon, menemukan sebanyak 5 merek dendeng positif DNA babi, pada dendeng dan abon daging babi dikemas dan ditulis sebagai daging sapi, bahkan ada cap halalnya
pada
bungkus
dendeng
tersebut
(http://rabbitica.
blogspot.com/2011/02/pemalsuan). Masyarakat sebagai konsumen, sering merasa tertipu karena telah membeli produk dalam kemasannya bertuliskan halal, namun kenyataannya belum memperoleh sertifikat halal dari MUI maupun legalisasi dari pemerintah. Apalagi produk tersebut belum mempunyai kejelasan mengenai commit to user status kehalalannya. Padahal,
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, pencantuman label atau tanda halal pada kemasan produk, harus dengan izin resmi pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Izin dari BPOM untuk mencantumkan label atau tanda halal, harus didasarkan pada Sertifikat Halal dari MUI. Dimana Sertifikat Halal tersebut diperoleh melalui pemeriksaan dan proses sertifikasi halal yang dilakukan LPPOM MUI. Hal tersebut untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan halal seterusnya, bukan hanya halal pada saat pengajuan dan diaudit/diperiksa oleh LPPOM MUI. Hal tersebut diatas membuktikan bahwa kesadaran masyarakat maupun pelaku usaha masih rendah dalam pentingnya memperhatikan hak-hak konsumen dan pememahaman produk yang dikonsumsinya tersebut dengan kurang menghiraukan apakah produk yang mereka konsumsi benar-benar halal atau masih menimbulkan keragu-raguan. Seperti contoh yaitu dalam survei yang dilakukan oleh “Jurnal Halal” bahwa presentase penggunaan produk kosmetika yang telah mendapatkan Sertifikat Halal mendapat angka kurang dari 5% dari total 60 merk yang disebutkan. Sisanya yakni 95% atau sekitar 57 merk merupakan produk kosmetika yang belum jelas aspek kehalalannya
(http://threemc.
multyply.com/read/article). Adanya permasalahan mengenai kehalalan produk yang beredar di pasaran Indonesia juga memperlihatkan masih lemahnya pengawasan dari pemerintah maupun lembaga yang terkait dalam mengawasi peredaran produk yang beredar di pasar Indonesia. Perlu juga diketahui bahwa asas sertifikasi dan labelisasi produk halal di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat mandatory atau wajib. Istilah voluntary merujuk pada sifat sertifikasi yang bersifat sukarela, siapa mau, silakan daftar. Yang tidak mau, tidak masalah dan tidak ada sanksi. Dari hal tersebut menimbulkan polemik dan pertanyaan yang mendasar. Belum juga jika melihat bahwa pada era pasar bebas sekarang ini sejumlah produk secara bebas dapat masuk ke dalam negeri, adanya lembaga sertifikasicommit halal to danuser labelisasi halal di luar negeri yang
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan sertifikat dan label halal atas produk impor yang masuk ke dalam negeri yang menimbulkan pertanyaan mengenai kebenaran dan keabsahan apakah produk yang bersangkutan tersebut benar-benar halal atau tidak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam melindungi hak konsumen khususnya konsumen Muslim untuk memperoleh kejelasan kehalalan produk tentu harus ada filter atau penyaring dalam bentuk aturan dan pelaksanaan yang tegas dan efektif dari sertifikasi dan labelisasi halal atas produk pangan. Berdasarkan paparan yang diuraikan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul: “ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMALSUAN SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL
SEBAGAI
BENTUK
LEGITIMASI
KEHALALAN
PRODUK DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia? 2. Apakah ketentuan perundang-undangan yang ada sudah dapat mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal yang merugikan konsumen? 3. Bagaimanakah solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal?
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian “Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 41), berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan subyektif, sehingga mampu mencari pemecahan isu hukum yang terkait. Adapun tujuan dari penelitian yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia. b. Untuk mengetahui keefektifan ketentuan perundang-undangan yang ada apakah sudah dapat mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal yang merugikan konsumen c. Untuk memberikan solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai hukum nasional dalam bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana khususnya khususnya mengenai perlindungan konsumen atas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal. b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap dengan kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun untuk pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain: 1. Manfaat teoritis a. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan commit to user di bidang ilmu hukum pada
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umumnya dan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana pada khususnya serta dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Labelisasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk di Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Memeberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. b. Memberikan gambaran dan informasi tentang penelitian yang sejenis
dan
Perlindungan
pengetahuan Hukum
bagi
masyarakat
luas
mengenai
Terhadap
Pemalsuan
Sertifikasi
dan
Labelisasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk di Indonesia. c. Memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah dalam penegakan
dan
pelindungan
konsumen
khususnya
dalam
pemberantasan pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal produk.
E. Metode Penelitian Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, pemikiran tertentu dan sistematika. Metode penelitian juga mempengaruhi perolehan data-data dalam penelitian yang dilakukan yang untuk selanjutnya diolah dan dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya tujuan penelitian yang dirumuskan. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki 2005:35). Agar suatu penelitian dapat berjalan dan memperoleh hasil yang diharapkan, maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Jenis Penelitian Penelitian hukum secara umum dibedakan menjadi penelitian dotrinal dan non-doktrinal. Adapun dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian doktrinal atau disebut juga sebagai penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal bersifat preskriptif dan bukan deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial (Peter Mahmud Marzuki 2005:33). 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, ramburambu dalam melaksanakan aturan hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum (Peter Mahmud Marzuki 2005:22). 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif
(comparative
historis
(historical
approach),
dan
approach), pendekatan pendekatan
konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki 2005:93). Dari kelima macam pendekatan yang tersebut diatas, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang diangkat oleh penulis adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undangcommit to userdengan menelaah semua undangundang (statute approach) dilakukan
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki 2005:93). Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki 2005:95). 4. Sumber Bahan Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peruandang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki 2005:141). Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan yaitu: 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ); 2) UU RI No.7 Tahun1996 tentang Pangan; 3) UU RI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 4) PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; 5) SK Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. 6) SK Menteri Agama No 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal; 7) SK Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERUM PERURI) Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal; 8) SK Menteri Kesehatan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan
atas
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
No
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal dan Label Makanan. commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki 2005:141). Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu buku-buku yang ditulis oleh pakar-pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel internet, dan berbagai sumber lain yang mempunyai korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik
pengumpulan
bahan
hukum
dimaksudkan
untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan yang relevan terhadap isu yang dihadapi (Peter Mahmud marzuki 2005:194). Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan
penulisan
hukum
ini
adalah
studi
dokumen
(studi
kepustakaan). Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku referensi, dokumen laporan, arsip dan hasil penelitian terdahulu lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 6. Teknik Analisa Bahan Hukum Teknik analisis data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data-data yang sudah dikumpulkan. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2007:280). Dalam penelitian ini, metode penalaran yang digunakan penulis commit to user metode deduksi ini berpangkal adalah metode deduksi dimana penggunaan
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud marzuki 2005:47). F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk lebih memudahkan penulisan hukum ini, maka penulis dalam penelitiannya membagi penulisan hukum ini menjadi empat bab dan dalam tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ke dua ini memuat sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis menguraikan tinjauan tentang efektivitas hukum, tinjauan tentang perlindungan konsumen, tinjauan tentang setifikasi dan labelisasi halal, tinjauan tentang halal dan haram dalam makanan, tinjauan tentang pemalsuan. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur berpikir, maka dalam bab ini juga disertai kerangka pemikiran.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis menguraikan dan menyajikan pembahasan
berdasarkan
rumusan
masalah,
yaitu
pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan commit toproduk user di Indonesia, analisis terhadap
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketentuan peraturan yang ada yang mengatur sertifikasi dan labelisasi halal dan solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal. BAB IV
PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Efektivitas Hukum Dalam menemukan pengertian hukum, beberapa ahli hukum sulit menemukan definisi yang memadai kenyataan, seperti diungkapkan Lemaire bahwa yang banyak seginya serta meliputi segala lapangan ini menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa itu hukum sebenarnya. Selain Lemaire, Van Apeldoorn juga pernah menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh
dapat memadai
kenyataan (Ishaq, 2008:1). Pengertian hukum menurut beberapa pendapat ahli hukum (Ishaq, 2008:23) diantaranya: a. Duguit, menyatakan bahwa hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu. b. S.M Amin, berpendapat bahwa hukum itu adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi. c. E. Utrecht, berpendapat bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan
seharusnya
ditaati
oleh
seluruh
anggota
masyarakat
yang
bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu. d. J.T.C Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, mengungkapkan bahwa hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitucommit dengantohukuman. user
14
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari beberapa pengertian hukum oleh para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah suatu seperangkat aturan yang berisi normanorma yang dijadikan pedoman hidup dan tingkah laku bagi manusia yang apabila hukum itu dilanggar maka terdapat ancaman sanksi. Tentang hal berlakunya hukum dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu berlakunya secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi. Berlakunya hukum secara yuridis seperti anggapan Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa kaidah hukum mempunyai kekuatan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Berlakunya secara sosiologis bahwa hukum itu berlaku didalam masyarakat secara sosiologis yang intinya adalah “efektivitas hukum” (Soleman B.Taneko, 1993:47). Berbicara mengenai efektivitas hukum tidak terlepas membicarakan dan mengkaji mengenai ketaatan manusia terhadap hukum yang berlaku. Jika suatu aturan hukum ditaati maka dapat dikatakan aturan hukum tersebut efektif. Namun tetap dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai derajat efektifitasnya. Untuk mengetahui mengenai derajat efektifitas suatu aturan hukum dapat kita lihat pada hubungan teori ketaatan hukum dari H. C Kelman (1966) dan L. Pospisil (1971) yang
membagi
ketaatan
dalam
tiga
jenis
(http://errymeta.
blogspot.com/membangun-kesadaran-hukum-dan-ketaatan.html), yaitu: a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang mentaati suatu aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang mentaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang mentaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilainilai intristik yang dianutnya Mengenai efektifnya suatu perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor antara lain : a. Pengetahuan terhadap substansi (isi) dari perundang-undangan tersebut. b. Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut c. Institusi yang terkait perundang-undangan dalam masyarakatnya.
Menurut Achmad Ali, faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dan perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari penegak hukum, baik dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka maupun dalam menegakkan hukum dan undangundang.
Bekerjanya
undang-undang
dapat
dilihat
dari
dua
perspektif
(http://scribd.com/doc/Efektivitas-Hukum), antara lain : a. Perspektif Organisatoris. Memandang undang-undang sebagai institusi yang ditinjau dari ciri-cirinya. Didalam perspektif ini tidak terlalu memperhatikan pribadi-pribadi yang pergaulan hidupnya diatur oleh hukum atau perundang-undangan. b. Perspektif Individu. Ketaatan, yang lebih berfokus pada segi Individu atau pribadi dimana pergaulan hidupnya diatur oleh perundangundangan. Fokus perspektif Individu adalah kepada masyarakat sebagai
kumpulan
pribadi-pribadi.
Faktor
kepentingan
yang
menyebabkan orang taat atau tidak taat terhadap undang-undang, dengan kata lain pola-pola perilaku masyarakat yang banyak mempengaruhi efektifitas perundang-undangan.
Berlaku efektifnya suatu hukum atau perundang-undangan tak lepas dari user peranan penegak hukum. Menurutcommit Jimly to Asshiddiqie (http://www.docudesk.com/
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penegakan-hukum), Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum bertugas untuk menciptakan kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban masyarakat. Tentunya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, karena hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata (http://www.docudesk.com/Penegakanhukum).
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen a. Pengertian konsumen Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
disebutkan
bahwa
yang
dimaksud dengan konsumen adalah: (2) Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan, di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Ada beberapa hal yang perlu ditelaah dari pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatas yakni, pertama dalam penggunaan istilah
“orang”
pada
pengertian
konsumen
dalam
UUPK
menimbulkan keraguan karena subyek hukum bukan hanya orang tetapi juga badan hukum, sehingga dalam pemakaian istilah “orang” dapat diartikan hanya orang individual atau natuurlijke persoon dan badan hukum bukan termasuk didalamnya. Kedua, penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan anggapan
bahwa
barang yang bersangkutan bisa saja bukan milik sendiri walaupun sebelumnya terjadi transaksi jual beli. Ketiga, penggunaan istilah berasal dari pelaku usaha adalah karena konsumen disini memiliki hubungan hukum dengan pelaku usaha, dimana salah satunya terkait masalah tuntutan kerugian dari konsumen terhadap commit ganti to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pelaku usaha apabila konsumen mengalami kerugian yang disebabkan oleh produk dari pelaku usaha. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, konsumen adalah setiap orang/badan hukum yang memperoleh dan/atau memakai barang/jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak untuk diperdagangkan (Ahmadi Miru&Sutarman Yodo, 2004:7). Sedangkan pengertian konsumen muslim adalah sekelompok konsumen yang menerapkan Syariat atau Hukum Islam dalam kehidupan kesehariannya, termasuk didalamnya pada aspek makanan yang aman tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun mikrobiologi semata, namun juga terdapat suatu unsur yang hakiki yakni aman dari bahaya barang yang diharamkan dan diragukan kehalalannya.
b. Pengertian Perlindungan Konsumen Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik. M.J Leder menyatakan: In a sence there is no such creature as consumer law. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit commit to user dipisahkan dan ditarik batasnya (Shidarta, 2000:9).
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Istilah
“Perlindungan
Konsumen”
berkaitan
dengan
perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum (Shidarta, 2000:16). Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian
hukum
untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen” (Ahmadi Miru&Sutarman Yodo, 2004:1). Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya harapan bagi semua bangsa di dunia untuk
dapat
mewujudkannya.
Mewujudkan
perlindungan
konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara
konsumen,
pengusaha
dan
pemerintah.
Pengaturan
perlindungan konsumen dilakukan dengan (Nurmadjito, 2000:7): a) menciptakan
sistem
perlindungan
konsumen
yang
mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; b) melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha ; c) meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; d) memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan; e) memadukan
penyelenggaraan,
pengembangan
dan
pengaturan dan perlindungan konsumen dengan bidangbidang perlindungan commit to pada user bidang-bidang lain.
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Asas perlindungan konsumen Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Dalam penjelasan Undang-Undang tesebut, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: a) asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya
dalam
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. b) asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. c) asas
keseimbangan
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. d) asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e) asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Tujuan Perlindungan Konsumen Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk: a) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. e. Hak dan Kewajiban konsumen Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen (Shidarta, 2000:16). Hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Presiden Amerika Serikat J.F Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962 (Ahmadi Miru&Sutarman Yodo, 2004:38), yaitu terdiri atas: a) hak memperoleh keamanan; b) hak memilih; c) hak mendapat informasi; d) hak untuk didengar. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
Dari keempat hak diatas, Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih luas cakupannya, yakni: a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Pada pasal ini menunjukan, bahwa setiap konsumen termasuk kosumen muslim berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama atau halal (Wiku Adisasmito. 2008. “Case Study: Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM” Makalah. Disampaikan di Universitas Indonesia tahun 2008). b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban konsumen sebagaimana tercantum pada Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni: a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c) membayar sesuai commit to dengan user nilai tukar yang disepakati;
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) mengikuti upaya penyelesaian hukum perlindungan konsumen secara patut.
sengketa
f. Kewajiban pelaku usaha Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban pelaku usaha adalah: a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. g. Prinsip-prinsip perlindungan konsumen Dalam
perkembangan
sejarah
hukum
perlindungan
konsumen muncul doktrin-doktin mengenai kedudukan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (Shidarta, 2000:50), yakni: a) Let the buyer beware Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. b) The due care theory commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Doktrin
ini
mempunyai
menyatakan kewajiban
bahwa
untuk
pelaku
usaha
berhati-hati
dalam
memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan.
Pada
prinsip
ini
berlaku
sistem
pembuktian siapa yang mendalilkan maka dialah yang membuktikan. c) The privity of contract Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut baru bisa dilakukan apabila antara konsumen dan pelaku usaha telah melakukan hubungan secara kontraktual.
h. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam rangka melindungi kepentingan konsumen dapat ditempuh melalui banyak cara, yaitu bisa perlindungan secara individu, perlindungan dari pelaku usaha, perlindungan dari negara atau pemerintah dan perlindungan dari lembaga atau organisasi konsumen. a) Perlindungan secara individual. Mengingat bahwa konsumen pada umumnya menjadi pihak yang lemah dan banyak dirugikan atas tindakan pelaku usaha yang tidak bertangungjawab dan masih banyaknya konsumen yang tidak menyadari akan hak-haknya sebagai konsumen maka salah satu cara upaya perlindungan individual
yang
dilakukan
adalah
memberdayakan
konsumen dengan memberikan pendidikan konsumen, pendidikan disini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam memilih dan menggunakan produk yang akan to user dikonsumsicommit sehingga diharapkan dapat terhindar dari
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kerugian yang diderita akibat penggunannya. Dari hal tersebut konsumen akan dapat melindungi dirinya sendiri dan dapat bertindak benar ketika merasa dirugikan.
b) Perlindungan dari pelaku usaha. Pada perlindungan ini, pelaku usaha harus memperhatikan kewajibannya sebagai pelaku usaha terhadap konsumen seperti tercantum secara yuridis formal pada Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha
harus
memenuhi
persyaratan
keamanan
dan
keselamatan yang ditentukan oleh pemerintah. c) Perlindungan dari negara atau pemerintah. Selain
memberikan
perlindungan
konsumen
melalui
berbagai undang-undang, langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah dengan mengatur dan mengawasi dan mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk. d) Perlindungan dari lembaga atau organisasi konsumen. UUPK memberikan organisasi
konsumen
Konsumen
Swadaya
pengakuan terhadap keberadaan atau
Lembaga
Masyarakat
Perlindungan
(LPKSM)
seperti
disebutkan pada Pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni: (1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. Untuk melindungi kepentingan konsumen, tugas dari LPKSM adalah : a. Menyebarkan
informasi
dalam
rangka
meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Memberikan
nasihat
kepada
konsumen
yang
memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. Membantu haknya,
konsumen termasuk
dalam
memperjuangkan
menerima
keluhan
atau
pengaduan konsumen; e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
3. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal dan Labelisasi halal a. Sertifikasi halal Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi halal. Hasil dari kegiatan Sertifikasi Halal tersebut adalah diterbitkannya Sertifikat Halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal menunjuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia atau yang selanjutnya disingkat dengan (LPPOM MUI) untuk melakukan pemeriksaan pangan terhadap suatu produk yang akan diberikan label halal. Sebelum mendapatkan label halal maka terlebih dahulu produsen harus mendapatkan sertifikasi halal dari commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
LPPOM MUI (Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral&adil Vol. 1 No. 1 Elvi Zahara Lubis. 2009). Pengertian sertifikat halal menurut SK Menteri Agama RI No.518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal yakni pada Pasal 1 huruf (d) bahwa “Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu
produk
pangan
yang
dikeluarkan
oleh
Lembaga
Pemeriksaan”. Fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat menentramkan batin yang mengkonsumsi.
b. Labelisasi halal Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dalam ketentuan umumnya, pengertian label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Labelisasi halal adalah izin pemasangan kata halal pada kemasan produk dengan logo halal yang diajukan oleh suatu perusahaan dengan izin Departemen Kesehatan RI atau sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pencantuman label halal pada makanan atau kemasan makanan dilakukan setelah produsen atau pelaku usaha memiliki Sertifikat Halal. Produk makanan yang dinyatakan halal atas fatwa MUI setelah melalui serangkaian pemeriksaan atau audit di lokasi pelaku usaha atau produsen dan pengujian laboratorium secara commit to user seksama.
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengaturan mengenai Label pada kemasan pangan diatur pada Pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam
wilayah
Indonesia
makanan
yang
dikemas
untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Pada ayat (2) disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai : a. b. c. d.
Nama produk; Daftar bahan yang digunakan Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia e. Keterangan tentang halal; dan f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa
atau
Peraturan dibawahnya yaitu Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan bahwa “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label dimaksud tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca”. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan
tersebut
dan
wajib
mencantumkan
keterangan atau tulisan halal pada Label”. Dari ketentuan diatas menekankan
suatu
kewajiban
pagi
pelaku
usaha
untuk
mencantumkan label halal to pada commit userhasil produknya serta memberikan
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepastian akan jaminan bahwa produk tersebut halal untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Kegiatan sertifikasi halal secara operasional ditangani oleh Lembaga Pengkajian Obat dan Makanan (LPPOM) MUI. Peraturan yang lebih tinggi yang menaungi atas ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal antara lain UU
Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan: (1) “Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut”. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau
bahan bantu lain
yang dipergunakan dalam
memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya. Selanjutnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 huruf (h) disebutkan: 8(h)
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label”.
Secara teknisnya pencantuman label halal pada makanan juga dijelaskan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No.924/ Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/MENKES/ SK/I/1996 Tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label commit to user Makanan, yakni:
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 8 : “Produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan "halal" wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal". Pasal 10 : (1) “Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dari hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia; (2) “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa”; (3) “Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan". Pasal 11: Persetujuan pencantuman tulisan "halal" diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia". Pasal 12 : (1) berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal memberikan: (a) persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat "Halal", (b) penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat "halal". (2) penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan". Pasal 17: Makanan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan "Halal" sebelum ditetapkannya keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkannya keputusan ini". Berdasarkan ketentuan di atas, maka izin pencantuman label halal dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI (sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM) berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI). commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Tinjauan mengenai Halal dan Haram dalam Pangan a. Pengertian halal dan haram Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang berarti “melespaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Istilah halal dan haram sebagaimana dikutip Siti Zulaekah dan Yuli Kusumawati dari Sakr, halal dan haram keduanya berasal dari bahasa Arab, halal yang artinya dibenarkan atau dibolehkan, sedangkan haram berarti tidak dibenarkan atau dilarang (Jurnal Suhuf. Vol. XVII No. 01 Siti Zulaekah dan Yuli Kusumawati. 2005). Halal, which is the opposite of haram, is a term to say that something is not forbidden to be consumed by the scriptures of Qur’an, by the saying of the prophet or by the ijma’ (consensus) of the ulama’ (Salehudin, I. and Luthfi, B.A. 2010. “Marketing Impact of Halal Labeling toward Indonesian Muslim Consumer’s Behavioral Intention Based on Ajzen’s Planned Behavior Theory: A Policy Capturing Study in Five Different Product Categories”. Paper. Proceeding of 5th International Conference on Business and Management Research (ICBMR), Presented 4th August 2010, Depok‐Indonesia). In the holy great Al Quran, there are verses that call Muslim believers to seek provisions that are “halalan toyibban”. This phrase means allowed and permissible for consumption with relation to Syariah Law as long as they safe and not harmful. Therefore, Halal is actually including everything from the foods we consumed to the business we conduct up to the transactions we perform in our daily lives. It is a part of Muslims responsibility to make sure that everything he practices and consumes are clean, hygienic and not detrimental to his health and well-being. This Halal matter is a concept that encourages Muslims to find, use any products or services that promote cleanliness in all aspects (Rozailin Abdul Rahman and Zainalabidin Mohamed. 2009. Malaysian Halal Food Entrepreneurs Perspective Towards Globalization – A Conceptual commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Framework.http://ssrn.com/doc/1869683>[12 Maret 2012 pukul 21.10]). Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan juga menyebutkan pengertian pangan halal, yakni pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
b. Hukum halal dan haram Pada dasarnya suatu benda atau perbuatan melekat lima perkara yakni halal, haram, mubah, syuhbat dan makruh . Terhadap barang yang halal secara mutlak kita disuruh oleh Allah untuk memakannya, sedang terhadap yang haram kita disuruh untuk menjauhinya. Sebagaimana firman Allah yaitu dalam Al-Qur’an, yakni: 1) Al-Baqarah 168 : “ Hai sekalian umat manusia makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah
kalian
ikuti
langkah-langkah
syetan.
Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian”. 2) Al-Baqarah 172-173 : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benarbenar kepada-Nya kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak commit to usermelampaui batas, maka tidaklah berkehendak dan tidak
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. 3) Al-Anam 145 : “Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang tercurah, daging babi karena ia kotor atau binatang yang disembelih dengan atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. 4) Al-Maidah 3 : “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi kalian binatang yang disembelih di sisi berhala”. 5) Al-Maidah 90-91 : “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syetan itu hendak menimbulkan permusuhan dan perbencian di antara kalian lantaran meminum khamr dan berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka apakah kalian berhenti dari mengerjakan pekerjaan itu.” 6) Al-Maidah 96 : “Dihalalkan untuk kalian binatang buruan laut dan makanannya”. 7) Al-A’raf 157 : “Dia menghalalkan kepada mereka segala yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang commit to user kotor”.
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ayat tersebut diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik, suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lain sebagainya. Makanan halal maupun haram sama-sama memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang, baik dalam akhlak, kehidupan hati, dikabulkannya doa, dan sebagainya. Orang yang senantiasa memenuhi dirinya dengan makanan yang halal, maka akhlaknya akan baik, hatinya akan hidup dan doanya akan dikabulkan. Sebaliknya, orang yang memenuhi dirinya dengan makanan yang haram maka akhlaknya akan buruk, hatinya akan sakit, dan doanya tidak dikabulkan. Dan seandainya saja akibatnya itu hanya tidak dikabulkannya doa, maka hal tersebut sudah merupakan kerugian besar. Sebab, seseorang yang beragama tidak terlepas dari kebutuhan berdoa kepada Tuhannya meskipun hanya sekejap mata. Konsep Islam dalam makanan sesungguhnya sama dengan konsep Islam dalan hal lainnya, yaitu konsep yang menjaga keselamatan
jiwa,
raga
dan
akal.
Makanan
yang
halal
diperbolehkan karena bermanfaat bagi akal dan badan. Sebaliknya, makanan yang buruk tidak diperbolehkan karena akan merusak akal dan badannya (Jurnal Suhuf. Vol. XVII No. 01 Siti Zulaekah dan Yuli Kusumawati. 2005). Prinsip-prinsip hukum halal dan haram antara lain (Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. LPPOM MUI 2008): 1) Pada dasarnya segala sesuatu halal hukumnya. 2) Penghalalan dan pengharaman hanyalah wewenang Allah SWT semata. 3) Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram termasuk perilaku syirik terhadap Allah SWT. 4) Sesuatu yang diharamkan karena ia buruk dan berbahaya. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Pada sesuatu yang halal sudah terdapat sesuatu yang dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram. 6) Sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram maka haram pula hukumnya. 7) Menyiasati yang haram, haram hukumnya. 8) Niat baik tidak menghapuskan hukum haram. 9) Hati-hati terhadap yang syubhat agar tidak jatuh ke dalam yang haram. 10) Sesuatu yang haram adalah haram untuk semua.
Bahan yang dikonsumsi umat manusia pada umumnya terdiri dari komposisi bahan hewani, nabati dan bahan olahan. Makanan dari nabati secara umum halal dikonsumsi karena tidak menimbulkan keragu-raguan dan selagi ia tidak diracuni atau tidak diniatkan untuk digunakan dalam membuat makanan yang haram, seperti menanam anggur untuk membuat bir atau minuman keras. Makanan dari hewan dikelompokkan menjadi hewan laut dan hewan darat, menurut mahzab Maliki seluruh hewan yang berada di laut hukumnya halal tanpa terkecuali, baik jenis ikan atau jenis yang lain (Kamil Musa, 2006:57). Untuk hewan darat hanya sebagian saja yang halal dan boleh untuk dikonsumsi. Sementara itu kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung dari bahan (baku, tambahan, dan/atau penolong) dan proses produksinya. Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat islam, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut (http://www.halalmui.org): 1) Tidak mengandung babi atau bahan yang berasal dari babi. 2) Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Semua bentuk minuman yang mengandung alkohol (khamar). 4) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengelola, tempat pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tatacara yang diatur menurut syari’at Islam. 5) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah, kotoran dan lain sebagainya. 6) Tidak
mengandung
Khamr
atau
minuman
yang
memabukkan. 5. Tinjauan Mengenai Kejahatan Pemalsuan Dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengenai ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam UUPK tidak berlaku pada ketentuan Pidana yang diatur dalam KUHP atau berlaku asas Lex Specialis derogat Legi Generali atau dengan kata lain hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Pengecualian berlakunya delik pada ketentuan pidana pada UUPK adalah mengenai penipuan konsumen dalam bahasan ini, ketentuan lain mengenai delik selain diatur secara tegas dalam UUPK, maka ketentuan pidana dalam KUHP tetap berlaku. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya (Adami Chazawi, 2005:3). Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar: a) Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat commit to user tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
Pemalsuan Sertifikat dan Label Halal dalam KUHP dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan bisnis. Dalam menangani permasalahan kejahatan pemalsuan Sertifikat dan Label Halal palsu ini dibutuhkan keterlibatan hukum pidana.yang salah satu upayanya menggunakan pendekatan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal yaitu suatu usaha rasional dari masyarakat untuk mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan. Salah satu usaha tersebut dapat dilihat dari penggunaan hukum pidana (penal). Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam buku II KUHP dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni: a) Kejahatan sumpah palsu ( Bab IX ); b) Kejahatan pemalsuan uang ( Bab X ); c) Kejahatan pemalsuan materai dan merek ( Bab XI ); d) Kejahatan pemalsuan surat ( Bab XII ). Pemalsuan sertifikat dan label halal behubungan dengan kejahatan pemalsuan materai dan merek yang diatur pada Bab XI Pasal 255 KUHP mengenai pemalsuan cap tera dan pemalsuan surat yang diatur pada Bab XII Pasal 263 KUHP. Istilah merek (merken) dalam kejahatan pemalsuan merek ini pengertiannya terbatas pada merek, tanda atau cap pada bendabenda emas dan perak, tanda atau cap pada benda-benda yang digunakan sebagai alat ukur, alat timbang dan alat penakar (benda-benda tera), serta tanda atau cap yang diharuskan atau dibolehkan UU dilekatkan pada benda tertentu atau bungkusnya (Adami Chazawi, 2005:73). Pengertian tersebut diatas tidak termasuk merek dagang dan merek jasa sebagaimana yang dimaksudkan dan diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perbuatan memalsu label halal yang commit to asli, user artinya pada produk dalam hal ini
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat dalam kemasan produk atau pada labelnya diberikan tanda label halal yang palsu. Kejahatan yang dimaksud, yang diatur pada Pasal 255 KUHP adalah dirumuskan sebagai berikut: Pasal 225: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun: (1) barangsiapa membubuhi benda yang wajib ditera atau yang atas permintaan yang berkepentingan diizinkan untuk ditera atau ditera lagi dengan tanda tera Indonesia yang palsu, atau barangsiapa yang memalsu tanda tera asli, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai benda itu seolah-olah tanda teranya asli dan tidak dipalsu; Pada rumusan diatas terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif: 1) Perbuatan: a). Membubuhi tanda tera Indonesia yang palsu; b). Memalsu tanda tera yang asli; 2) Pada: a). benda yang wajib di tera; b). benda-benda yang dimohonkan untuk ditera; c). benda-benda yang ditera ulang. b. Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai benda itu seolah-olah tanda teranya asli dan tidak dipalsu.
Perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak (Adami Chazawi, 2005:100). Pasal 263 yang memuat tentang kejahatan pemalsuan surat pada umumnya rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasancommit utang,toatau useryang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolaholah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Dari rumusan dua ayat diatas, terdapat unsur- unsur kejahatan pemalsuan Sertifikat Halal. Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur yaitu: a. Unsur-unsur obyektif: 1) Perbuatan: a). Membuat palsu; b). memalsu. 2) Obyeknya : Surat : a). yang dapat menimbulkan suatu hak; b). yang menimbulkan suatu perikatan; c). yang menimbulkan suatu pembebasan utang; d). yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal. 3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. b. Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Rumusan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif: 1) Pebuatan: memakai. 2) Obyeknya:
a).
Surat
palsu;
b).
surat
yang
dipalsukan. 3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. b. Unsur subyektif: dengan sengaja.
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka pemikiran
Perlindungan Konsumen
UU No. 8 Tahun 1999 UUPK
Jaminan halal produk
Sertifikasi dan labelisasi halal
Pemalsuan
Penipuan konsumen Pemalsuan dalam KUHP
Upaya pemberantasan
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan: Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, mengkaji, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu perlindungan konsumen terhadap adanya label produk yang palsu yang secara otomatis tidak adanya sertifikasi halal atau bahkan mungkin setifikat halal tersebut palsu. Mengingat terbatasnya kemampuan konsumen dalam meneliti kebenaran isi label halal tersebut dan belum adanya hukum positif di Indonesia yang secara khusus mengatur masalah jaminan halal dengan sertifikasi dan labelisasi halal, maka negara menggunakan pelbagai perangkat hukum dan kelembagaannya untuk mengatur tentang labeling halal pada produk pangan dalam kemasan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kehalalan produk pangan dalam kemasan yakni; UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian diikuti dengan peraturan-peraturan dibawahnya yakni Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal serta SK Menteri Kesehatan
No.
924/Menkes/SK/VII/1996
jo
SK
Menkes
No.82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan. Karena sifat dari sertifikasi sendiri adalah sukarela maka disini menuntut kesadaran dan etika bisnis dari pelaku usaha untuk memperhatikan hak-hak konsumen, terutama konsumen muslim dalam hal jaminan produknya tersebut halal dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya itu, konsumen sendiri juga diharapkan jeli dan teliti sebelum mengkonsumsi. Tidak sedikitnya pemalsuan atas label palsu yang dijumpai di pasar Indonesia seperti contoh kasus yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa adanya pemalsuan label halal pada produk yang bahan pokoknya tidak sesuai dengan label halalnya seperti kasus abon sapi yang ternyata adalah berbahan dasar babi bahkan ada label halalnya telah menunjukkan bahwa masih lemahnya kesadaran pelaku usaha dan pengawasan lembagato user lembaga maupun aparatur yangcommit menaungi masalah perlindungan konsumen.
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penulis membagi pemalsuan sertifikat halal dan label halal tersebut sebagai penipuan konsumen yang mengacu pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena bisa jadi sebagai pelanggaran dengan memberikan informasi yang menyesatkan dan pemalsuan atau secara prosedur administrasi memang tidak melakukan pengajuan permohonan sertifikasi dan labelisasi halal yang oleh penulis mengacu pada KUHP dengan formulasi pada Pasal KUHP yaitu pada Pasal 255 KUHP mengenai pemalsuan cap tera dan pemalsuan surat pada Pasal 263 KUHP. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka penulis mencoba untuk memberikan suatu jawaban atas permasalahan yang telah diuraikan diatas dengan upaya yang dapat dilakukan dalam memberantas pemalsuan sertifikat dan label halal pada produk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia. Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana tercantum pada Pasal 3 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Untuk mewujudkan capaian tujuan tersebut tentu menjadi perhatian dari semua kalangan, baik pemerintah maupun pihak lain yang terkait dalam hal ini pelaku usaha atau produsen dan konsumen serta Lembaga Perlindungan Konsumen baik itu dari pemerintah atau Lembaga Swadaya Masarakat perlu bersinergi untuk mewujudkan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam kesehariannya, manusia tidak bisa jauh dari pangan, kosmetika dan obatobatan. Dalam bahasan ini, penulis hanya membatasi persoalan mengenai pemalsuan sertifikat dan label halal yang ada pada kemasan pangan. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi seluruh Warga Negara Indonesia dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas seperti pada tujuancommit pembangunan to user nasional. Pangan yang baik,
44
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
bermutu dan bergizi tentunya menjadi syarat mutlak dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang baik. Tidak hanya syarat mutlak diatas yang diperlukan tetapi juga soalan pangan yang tidak hanya baik, bermutu dan bergizi tersebut aman dan nyaman dikonsumsi dalam artian tidak mengandung bahan-bahan yang dilarang oleh hukum agama. Islam mensyaratkan umatnya agar mengkonsumsi sesuatu yang bukan hanya thayib atau memenuhi standar kesehatan tetapi juga harus halal seperti Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 168, Al-Baqarah 172173, Al-Anam 145, Al-Maidah 3, Al-Maidah 90-91, Al-Maidah 96, Al-A’raf 157. Soal kehalalan merupakan sesuatu yang mutlak terkecuali dalam keadaan darurat sehingga upaya perlindungan terhadap konsumen Muslim di Indonesia juga perlu menyentuh permasalahan kehalalan suatu produk. Mengingat negara Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam, dapat diartikan bahwa sebagian besar konsumen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia ini adalah Konsumen Muslim, dimana Konsumen Muslim ini menerapkan Syariat atau Hukum Islam dalam kehidupan kesehariannya, termasuk didalamnya pada aspek makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Kebutuhan akan pangan aman tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun senyawa lainnya, namun juga terdapat suatu unsur yang paling hakiki yakni aman dari bahaya barang yang diharamkan dan diragukan kehalalannya, tentu saja permasalahan halal tidaknya suatu pangan tersebut menjadi persoalan yang harus diutamakan. Oleh karena itu, hal tersebut diatas menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah, pelaku usaha untuk tetap memperhatikan dan mengutamakan hak-hak dari konsumen serta konsumen juga ikut andil dalam memberdayakan dirinya sebagai konsumen dengan memperhatikan kewajibannya sebagai konsumen untuk teliti dan jeli dalam sebelum mengkonsumsi pangan tertentu yang masih menimbulkan keragu-raguan. Secara umum, saat konsumen memutuskan apa yang akan dikonsumsinya, semestinya akan memastikan terlebih dahulu informasi dasar yang tertera pada label kemasan produk, apakah baik, aman, dan boleh dikonsumsi atau tidak. Inilah salah satu dari tujuan dari adanya label pangan. Dengan membaca label dan iklan to user apakah pangan tersebut dapat produk pangan, konsumen dapatcommit memutuskan
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
konsumsi atau tidak. Jika tercantum lambang Sertifikat Halal didalam labelnya, artinya memang sudah aman, dan konsumen dimudahkan dalam hal ini. Tapi jika belum ada, karena masih menjadi samar, artinya walaupun belum ada label tanda halal tapi masih mungkin halal, maka konsumen harus melihat dan meneliti informasi ingredient-nya, apakah ada bahan yang meragukan kehalalannya atau tidak. Ingredient adalah komposisi atau bahan-bahan dan kandungan yang ada dalam pembuatan suatu produk. Persoalannya pemahaman tersebut tentu tidak mudah, karena keterbatasan pengetahuan konsumen dalam memahami arti dari bahan-bahan tersebut. Untuk memberikan kepastian mengenai jaminan produk yang akan dikonsumsi oleh konsumen tersebut halal dan aman untuk dikonsumsi, maka diperlukan adanya Sertifikat Halal dan label halal pada produk konsumsi tersebut. Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negaranegara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut “label/tanda halal” pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional(http://halalsehat.com/RUU-ProdukHalal-dan-Perubahan- Masyarakat). Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh Sertifikat Halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan Sistem Jaminan Halal memenuhi standar LPPOM MUI. Hasil dari kegiatan Sertifikasi Halal adalah diterbitkannya Sertifikat Halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang commit to user mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, dalam hal ini di Indonesia lembaga
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Tujuan akhir dari Sertifikasi Halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Sedangkan labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal. Producing Halal products may be easy, but to get Halal status is not as easy as producing it. In order to certified, authorities must conduct a detailed background check on manufacturers who request Halal certification this long awaiting process, sometimes may forces local manufacturers to be more creative to attracting muslim consumers. producing imitate halal logo is one way to attract muslim consumers to consume their products. despite easy to be copied. this fake logo also does not required manufacturers to spend so much money and time to be produced. fake halal logo nonetheless had leaved consumers in hesitations and confusion. (Journal Computer Science and Information Technology (ISCIT) University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Vol 6. No.9. Azah Anir Norman. 2009). Sertifikasi Halal berkaitan erat dengan labelisasi halal karena kedua hal tersebut merupakan serangkaian proses dimana suatu produk yang diajukan untuk dimintakan label halal akan diberi label halal dalam bentuk stiker,cap atau logo pada kemasannya atau penjelasan etiket dengan bentuk lain yang mempunyai keabsahan dan dapat dipertangungjawabkan. Lebih singkatnya tidak ada labelisasi halal tanpa adanya Sertifikat Halal dari produk yang bersangkutan. Sertifikasi dan labelisasi halal merupakan sesuatu yang sangat penting bagi konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Selain menyatakan bahwa produk yang dikonsumsi itu aman, dengan adanya label halal juga menimbulkan ketentraman batin yang menkonsumsinya karena tidak bertentangan dengan syariat agama.
Halal logo also signals which food outlets are permissible to be patronage by the Muslim. As a result, the logo provides an avenue for the manufacturers to indicate to their target consumers that their products meet the Islamic standard. This definitely will create significant advantage to the particular manufacturers versus its competitors that do not have halal certification (Journal Business & commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
Accountancy. Faculty of Business & Accountancy Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.Vol. 32 No. 01, Shahidan Shafie. 2009). Pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal yang terkait dalam hukum positif Indonesia diantaranya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 30 ayat (1) dan (2): (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan ; (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai : a. Nama produk ; b. Daftar bahan yang digunakan ; c. Berat bersih atau isi bersih ; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. Keterangan tentang halal ; dan f. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan: (1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mensyaratkan bahwa pelaku usaha dilarang berproduksi yang tidak mengkuti ketentuan halal seperti yang ada pada label. Ketentuan yang dimaksud yakni pada Pasal 8 huruf (h) yang menyebutkan "Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label”. Pasal 8 huruf commit to user (h) tersebut berarti pelaku usaha tidak boleh serta merta mengklaim atau
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
mencantumkan tulisan halal yang dicantumkannya dalam label produknya, karena penilaian
halal tidaknya
produk tersebut harus dilakukan penelitian secara
seksama dan teliti oleh badan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Halal is a term exclusively used in Islam which means permitted or lawful, there’s, no parties can claim Halal without complying Islamic Law. Halal and non- Halal covers all spectrums of Muslim life, not limited to foods and drinks only. Halal and Tayibb themselves portray the symbol of intolerance in hygiene, safety and quality (Habibah Abdul Talib. 2008. “Quality Assurance in Halal Food Manufacturing in Malaysia: A Preliminary Study”. Paper. Proceedings of International Conference on Mechanical & Manufacturing Engineering (ICME2008). Johor Bahru, Malaysia. Faculty of Mechanical & Manufacturing Engineering, Presented in Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM). 21–23 May 2008). Peraturan dibawah undang-undang sebagai pelaksanaan dari sertifikasi dan labelisasi halal yaitu PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, lebih spesifik diatur pada Pasal 10 PP No. 69 Tahun 1999 mengenai kewajiban produsen produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas sebagai berikut: (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan bahwa Pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan commit todari usersegi bahan baku, bahan tambahan
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Kemudian Menteri Agama menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Selanjutnya, Menteri Agama menunjuk Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) sebagai pelaksana pencetakan label halal untuk ditempelkan pada setiap kemasan pangan halal yang akan diperdagangkan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal. Selain itu Pencantuman label halal pada makanan juga dijelaskan pada Kepetusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/MENKES/SK/I/1996 Tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan. Pengaturan pencantuman label halal pada
SK Menteri
Kesehatan No.
924/Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/MENKES/SK/I/1996 Tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan, diantaranya: Pasal 8: Produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan "halal" wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal". Pasal 10: (1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dari hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa. (3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan". Pasal 11: Persetujuan pencantuman tulisan "halal" diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia". Pasal 12: (1) berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal commit to user memberikan:
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
(a) persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat "Halal", (b) penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat "halal". (2) penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan". Pasal 17: Makanan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan "Halal" sebelum ditetapkannya keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkannya keputusan ini". Berdasarkan ketentuan di atas, maka izin pencantuman label halal dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI (sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM) berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI). Untuk pencantuman label halal sebelumnya harus dilaksanakan pemeriksaan atau pengujian oleh lembaga yang berwenang, berdasarkan Pasal 11 ayat (2) PP No. 69 tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan bahwa “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan mempertimbangkan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut”. Lembaga yang memiliki kompetensi yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia yang berdasarkan penunjukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Pelaksanaan dari pengkajian dan pengujian pangan halal sendiri oleh MUI diserahkan kepada LPPOM MUI. Didalam lembaga tersebut terdiri dari beberapa staf ahli seperti ahli pangan, kimia, fisokimia, kefarmasian, hukum dan lain-lain. Para ahli tersebut bergabung dalam melaksanakan pengujian atas pangan secara ilmiah. Hasil dari pengujian yang dilakukan LPPOM MUI atas produk pangan tersebut kemudian disidangkan oleh komisi fatwa yang ada di MUI. Komisi Fatwa adalah salah satu komisi MUI yang bertugas untuk menghasilkan ketetapan hukum Islam tentang status hukum suatu kasus tertentu. Apabila hasil dari pengujian dari pangan tersebut dinyatakan halal, maka MUI akan mengeluarkan Sertifikat Halal. Adapun sistem dan prosedur sertifikasi halal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
adalah sebagai berikut (Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral&adil. Vol. 1 No. 1, Elvi Zahara Lubis. 2009) : 1. Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut : a. Produsen menyiapkan suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System). b. Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan. c. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut. d. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Procedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin. e. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran dari mulai direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik. f. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah Sistem Jaminan Halal yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaiman mestinya. g. Untuk melaksanakan butir f, perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal. 2. Proses Sertifikasi Halal : commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Setiap produsen yang mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan: 1) Spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alir proses. 2) Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah (produk lokal) atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya. 3) Sistem Jaminan Halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya. b. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya. c. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. d. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. e. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. f. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perubahaan yang terkait dengan produk halal harus dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh Auditor Halal Internal. commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam proses sertifikasi halal juga tidak lepas kaitannya dengan Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI. Sesuai peraturan LPPOM MUI, bahwa masa berlaku Sertifikat Halal adalah dua tahun dan dapat diperpanjang lagi. Selama masa tersebut, perusahaan harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen Muslim bahwa perusahaan senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena itu LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual SJH. Manual ini disusun oleh produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya. Tujuan penyusunan dan penerapan SJH di perusahaan adalah untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal, sehingga produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin kehalalannya sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI (Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. LPPOM MUI. 2008). Masa berlaku Sertifikat Halal hanya selama dua tahun, adapun batas waktu berlakunya Sertifikat Halal adalah sebagai berikut (Elvi Zahara Lubis. 2009. Hubungan Pencantuman Label Halal Terhadap Perlindungan Konsumen. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral&adil. Vol. 1 No. 1): a. Untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan. b. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LPPOM MUI akan
mengirimkan
surat
pemberitahuan
kepada
produsen
yang
bersangkutan. c. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar kembali untuk Sertifikat Halal yang baru. d. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halalnya, tidak diizinkan lagi menggunakan Sertifikat Halal tersebut dan dihapus dari daftar yang terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI, Jurnal Halal. commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LPPOM MUI. f. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib menyerahkannya. g. Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.
Sertifikat Halal yang dipegang oleh pelaku usaha dapat diperpanjang lagi masa berlakunya, adapun prosedur perpanjangan Sertifikat Halal adalah sebagai berikut (Elvi Zahara Lubis. 2009. Hubungan Pencantuman Label Halal Terhadap Perlindungan Konsumen. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral&adil. Vol. 1 No. 1) : a. Produsen yang bermaksud memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi formulir pendaftaran yang telah tersedia. b. Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk. Perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokkan produk harus diinformasikan kepada LP POM MUI. c. Produsen berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi, sertifikat halal dan bagan alir proses. Untuk memudahkan gamabaran alur prosedur Sertifikasi Halal, penulis memberikan gambaran diagram alur dari sertifikasi halal sebagai berikut:
commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Persiapan Sistem Jaminan Halal Pendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal Pemeriksaan Kecukupan Dokumen pembiayaan Tidak
Tidak
Dapat Diaudit
Lunas?
Pre audit memorandum
Ya Ya
Produk berbasis hewan
Audit Rapat Auditor Perlu analisis Lab?
Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal Audit Memorandum
Ya
Analisis Lab
Tidak
Tidak
Persyaratan terpenuhi? (Status SJH A/B)
Tidak
Mengandung bahan haram?
Ya
Rapat Komisi Fatwa
Ya
Tidak dapat disertifikasi
Persyaratan terpenuhi? Ya Tidak
Penerbitan Sertifikat Halal
Sumber: Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI 2008 Bagan 2. Prosedur Sertifikasi Halal commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Analisis keefektifan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sertifikasi dan labelisasi halal. Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Menurut Surojo Wignjodipuro bahwa tujuan hukum adalah menjamin kepastian dalam perhubungan kemasyarakatan. Hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam masyarakat demi kebaikan dan ketentraman bersama (Ishaq, 2008:6). Seiring perkembangan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang dijamin kehalalannya cukup tinggi. Pemerintah harus mengupayakan dan melindungi masyarakat dalam mengkonsumsi makanan yang halal, permasalahan halal tidaknya suatu pangan tersebut menjadi persoalan yang harus diutamakan. Seperti yang telah diamanatkan Konstitusi negara Indonesia bahwa setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia. Berbicara mengenai apakah peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang mengatur mengenai sertifikasi dan labelisasi halal sudah dapat mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikat dan label halal yang merugikan konsumen, menurut hemat penulis adalah belum sepenuhnya. Hal ini dikarenakan masih banyaknya kasus pemalsuan sertifikat maupun label halal yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Seperti yang terjadi di Surabaya dimana Badan Pengkajian Obat dan Makanan (BPOM) menemukan produk dendeng yang bahan bakunya ternyata bukan dari sapi namun babi, tetapi parahnya pada kemasan dendeng tersebut ada cap halalnya (http://news.detik.com/read.php). Bahkan direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengemukakan bahwa banyak beredar sertifikat halal palsu atau tidak berlaku lagi mencapai 54,9% dari produk yang beredar
(http://Halalmui.org/read/article.html).
Selain
itu
juga
ada
penyalahgunaan sertifikat halal palsu dimana LPPOM MUI menemukan to user penggunaan sertifikat halal palsucommit oleh perusahaan daging asal Kanada, Citizen
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Food Inc. Rekanan Citizen di Indonesia adalah Sumber Laut yang pemiliknya adalah Basuki Hariman. Pernah menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Importir
Daging
Indonesia
(2003-2008)
(http://www.tempointeraktif.
com/khusus/selusur.php). Dari segi peraturan perundang-undangan tidak lepas dari bagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah sertifikasi dan labelisasi halal tersebut dapat diterima dan berlaku di masyarakat Indonesia, berarti disini pengkajian selanjutnya dari segi keefektifan hukum maupun keefektifan perundang-undangannya. Berbicara mengenai efektivitas hukum tidak terlepas membicarakan dan mengkaji mengenai ketaatan manusia terhadap hukum yang berlaku. Jika suatu aturan hukum ditaati maka dapat dikatakan aturan hukum tersebut efektif. Namun tetap dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai derajat efektifitasnya. Untuk mengetahui mengenai derajat efektifitas suatu aturan hukum dapat kita lihat pada hubungan teori ketaatan hukum dari H. C Kelman (1966) dan L.
Pospisil
(1971)
yang
membagi
ketaatan
dalam
tiga
jenis
(http://errymeta.blogspot.com/membangun-kesadaran-hukum-dan-ketaatan.html), yaitu: a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak. c. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilainilai intristik yang dianutnya.
Efektifnya suatu perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor antara lain : commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Pengetahuan terhadap substansi (isi) dari perundang-undangan tersebut. b. Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut c. Institusi yang terkait perundang-undangan dalam masyarakatnya. Menurut Achmad Ali, faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dan perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari penegak hukum, baik dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka maupun dalam menegakkan hukum dan undangundang.
Bekerjanya
undang-undang
dapat
dilihat
dari
dua
perspektif
(http://scribd.com/Efektivitas-Hukum), antara lain : a. Perspektif Organisatoris. Memandang undang-undang sebagai institusi yang ditinjau dari ciri-cirinya. Didalam perspektif ini tidak terlalu memperhatikan pribadi-pribadi yang pergaulan hidupnya diatur oleh hukum atau perundang-undangan. b. Perspektif Individu. Ketaatan, yang lebih berfokus pada segi Individu atau pribadi dimana pergaulan hidupnya diatur oleh perundangundangan. Fokus perspektif Individu adalah kepada masyarakat sebagai
kumpulan
pribadi-pribadi.
Faktor
kepentingan
yang
menyebabkan orang taat atau tidak taat terhadap undang-undang, dengan kata lain pola-pola perilaku masyarakat yang banyak mempengaruhi efektifitas perundang-undangan.
Proses pembentukan perundang undangan menurut Mochtar Kusuma Atmaja harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevant) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila perundang-undangan hendak merupakan suatu pengaturan hukum efektif. Efektifnya produk produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya(http://halalsehat.com/RUU-Produk-Halal-dan-PerubahanMasyarakat). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah sertifikasi halal dan labelisasi halal antara lain: a. UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan; b. UU No. 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen; c. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; d. SK Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal; e. SK Menteri Agama No 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal; f. SK Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal; g. SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal dan Label Makanan.
Dari sekian banyak peraturan yang mengatur mengenai sertifikasi dan labelisasi halal diatas penulis menemukan beberapa isu antara lain: a. Masih banyaknya konsumen yang menemui kesulitan dalam membedakan mana yang halal dan mana yang haram, yang berpotensi menimbulkan keraguan lahir dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya karena peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam terhadap pangan dan produk lainnya. b. Institusi atau lembaga penjamin halal di Indonesia belum ada kepastian hukumnya mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal. Karena institusi atau lembaga penjamin halal tersebut bukan merupakan suatu sistem di dalam sistem tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi atau commit pangan to user dan produk lainnya. lembaga penjamin halal terhadap
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Terdapat ketentuan yang rancu antara produk hukum satu sama lain, diantaranya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan peraturan di bawahnya yakni Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. d. Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional), hal tersebut yang mengakibatkan munculnya pemalsuan label halal karena pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing. e. SK Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal apabila ditelaah menghambat pelaku usaha karena secara teknis akan menyulitkan pelaku usaha yang akan melakukan sertifikasi halal dan pelabelan halal. f. SK Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan
Halal
berbenturan
dengan
SK
No.
924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal dan Label Makanan. g. Belum adanya ketentuan yuridis yang mengatur standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan. Peraturan yang rancu dapat dilihat pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan tidak disebutkan tanda label halal padahal di UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan. Pada pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Pada ayat (2) disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
a. b. c. d.
Nama produk; Daftar bahan yang digunakan Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia e. Keterangan tentang halal; dan f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa. Pasal 30 ayat (3) menyebutkan “Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan”. Alih-alih mengatur keterangan kehalalan, Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan tidak mengatur keterangan kehalalan tentang produk. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan : (1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) diatas tentu menimbulkan pengertian bahwa keterangan halal menjadi tidak wajib, karena dalam ketentuan Pasal tersebut keterangan halal dalam label tidak menjadi syarat minimal keterangan pangan yang dicantumkan pada label suatu produk sehingga hal tersebut menunjukan peraturan dibawah undang-undang tidak mendukung peraturan yang ada diatasnya. Selanjutnya pada Pasal 4 PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan “Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), untuk pangan olahan tertentu Menteri Kesehatan dapat menetapkan commit to user pencantuman keterangan lain yang berhubungan dengan kesehatan manusia pada
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Label sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini”. Kemudian keluarlah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan pada Pasal 2 disebutkan “Pada label makanan dapat dicantumkan tulisan halal”. Pasal 3 ayat (2) a disebutkan “Produk Makanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan makanan halal berdasarkan hukum Islam”. UU No.8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan yang menjadi landasan tertinggi perlindungan konsumen di Indonesia masih belum cukup bahkan tidak dapat berbicara banyak mengenai ketentuan jaminan kehalalan suatu produk. Padalal seharusnya UU ini menjadi harapan dan mewakili kepentingan umat muslim di Indonesia ini mengingat mayoritas pemeluk Islam dominan di negara ini. Kekurangan dari UU Perlindungan Konsumen perlu dilengkapi, misalnya dengan ketentuan mengenai jaminan kehalalan sampai mencakup hal teknis pelaksanaannya hingga penentuan sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas yang harus dipenuhi pada tingkat daerah kabupaten atau kota. Keluarnya SK No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal dapat menghambat pelaku usaha dan tidak efektif karena secara teknis akan menyulitkan para pelaku usaha untuk melakukan pelabelan halal. Karena apabila pelaku usaha yang ingin melakukan pelabelan halal melalui Peruri, dengan wilayah Indonesia yang luas dan berupa kepulauan tentu hal tersebut menyulitkan pelaku usaha yang misalnya ada di luar pulau jawa, seperti di Papua, Sulawesi dan lainnya jika ingin melakukan pelabelan halal berdasarkan SK tersebut karena harus dilakukan Peruri yang ada di Jakarta. SK Menteri Agama tersebut kurang kuat, sebab dalam peraturan yang telah ada, tidak ada pengaturan labelisasi halal harus melalui Peruri, melainkan dapat langsung dicetak oleh MUI atas izin BPOM setelah pelaku usaha mendapat Sertifikat Halal atas produknya dari MUI. SK Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal pelu diganti karena SK tersebut berbenturan dengan SK No. 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri commit to tentang user Pecantuman “Tulisan Halal” Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
Pada Label Makanan. Kedua peraturan diatas mengatur hal yang sama, oleh karena itu SK Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal perlu diganti agar tidak berbenturan dengan aturan yang telah ada dan memiliki kekuatan hukum karena mengacu pada aturan yang telah ada. Belum adanya landasan yuridis mengenai sistem produk halal Indonesia yang belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan pemerintah menyebabkan pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal. Oleh karena serfitikasi halal sendiri masih bersifat sukarela (voluntary), artinya siapa mau boleh daftar yang tidak melakukan tidak dikenai sanksi, jadi LPPOM MUI disini menjadi pihak yang pasif. Hal itulah yang mengakibatkan masih banyaknya pelaku usaha yang kurang sadar akan pentingnya sertifikasi halal ini serta mengklaim bahwa produknya halal atas dasar keyakinannya sendiri bahwa produk mereka tersebut halal. Anggapan-anggapan mengenai faktor biaya yang mahal dan proses dari sertifikasi dan labelisasi yang berbelit-belit juga menjadi alasan utama para pelaku usaha untuk mendaftarkan sertifikasi halal produknya, tidak dapat dipungkiri biaya proses sertifikasi halal untuk saat ini belum terstandarisasi dengan baik dan dipayungi hukum yang telah ada. Biaya Pemeriksaan Halal dan Biaya Sertifikat berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 1.000.000 per produk dengan masa berlaku dua tahun. Besarnya menjadi relatif karena terjadi subsidi silang antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil. Bahkan, ada juga yang dibebaskan dari biaya. Jadi, tidak ada alasan untuk memberatkan (http://halalsehat.com/RUU-Produk-Halaldan-Perubahan- Masyarakat). Untuk itu, perlu Adanya standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan juga harus ada dalam aturan tersendiri misalnya di dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri. Sebab, selama ini LPPOM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional commit todaerah. user dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari beberapa uraian diatas dapat dikatakan bahwa
peraturan perundang-
undangan yang sudah ada yang mengatur mengenai sertifikasi dan labelisasi halal belum dapat mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal yang merugikan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa peraturan perundangundangan yang mengatur masalah sertifikasi dan labelisasi halal belum efektif karena ketaatan yang rendah dari masyarakat serta penegakan hukum yang masih lemah, sehingga perlu ditingkatkan harmonisasi undang-undang kedalam masyarakat, sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas. Selain kurangnya kesadaran dari pelaku usaha dalam memenuhi hak-hak konsumen, khususnya konsumen muslim akan kebutuhan produk yang terjamin kehalalannya. Konsumen sendiri juga harus lebih jeli dan teliti sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi suatu produk yang masih menimbulkan keragu-raguan sebagai upaya untuk memberdayakan dirinya sebagai konsumen yang cerdas.
commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia tampaknya sudah menjadi ladang subur bagi segala bentuk pembajakan ataupun pemalsuan misalnya saja merek dagang maupun barang dagang, tidak terkecuali Sertifikat Halal dan label halal. Sebagai umat muslim hal tersebut tentu menimbulkan rasa keprihatinan. Apalagi Konsumen Muslim sebagai konsumen terbesar di Indonesia jelas dirugikan. Yang seharusnya Sertifikat Halal dan label halal menjadi jaminan kehalalan suatu produk, justru di pasaran sering ditemukan produk yang bersertifikat halal palsu ataupun berlabel halal tanpa Sertifikat Halal yang artinya hal tersebut merupakan label halal palsu. Seperti dicontohkan kasus yang terjadi di Indonesia pada bab sebelumnya, direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim yang mengemukakan bahwa banyak beredar sertifikat halal palsu atau tidak berlaku lagi mencapai 54,9 % dari produk yang beredar (http://Halalmui.Org/read/article.htm). Yang terjadi di Surabaya dimana BPOM menemukan produk dendeng yang bahan bakunya ternyata bukan dari sapi namun babi, tetapi parahnya pada kemasan dendeng tersebut ada cap halalnya (http://news.detik.com/read.php). Selain itu juga ada penyalahgunaan sertifikat halal palsu dimana LPPOM MUI menemukan penggunaan sertifikat halal palsu oleh perusahaan daging asal Kanada, Citizen Food Inc. Rekanan Citizen di Indonesia adalah Sumber Laut yang pemiliknya adalah Basuki Hariman. Pernah menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Importir
Daging
Indonesia
masa
jabatan
2003-2008
(http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur.php). Selain dari contoh kasus diatas tentu masih banyak kasus lagi mengenai pemalsuan sertifikat dan label halal yang terjadi di pasaran Indonesia. Pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang saling berhubungan dan saling memerlukan, tetapi pada prakteknya seringkali konsumen dirugikan atas tindakan pelaku usaha yang tidak jujur, nakal, dari tinjauan aspek hukum merupakan tindakan pelanggaran hukum. Konsumen yang keberadaanya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif to user mungkin agar dapat mencapai commit konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang sering terjadi antara lain, menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya (Sri Redjeki Hartono, 2000:34). Selama ini upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk melindungi umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk. Sebenarnya peraturan-peraturan yang sudah ada saat ini yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan telah dengan jelas mengatur cara pencantuman tanda (tulisan) halal berikut sanksi hukum yang jelas. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran karena pemalsuan Sertifikat Halal dan label halal melanggar beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan disebutkan dibawah ini. Pada UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan pada Pasal 58 huruf i dan j yakni: 58 i. Barang siapa Memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2); j. Memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1); Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Ketentuan mengenai sanksi pidana pada UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan pada Pasal 62 ayat (1), bahwa: (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
Ancaman pidana tambahan bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan, yang disebutkan pada Pasal 63: Pasal 63: Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha. Selain sanksi pidana seperti yang tersebut diatas, terdapat pula sanksi administratif seperti disebutkan pada PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang tercantum pada Pasal 61 yang menyebutkan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, tentu sangat mudah untuk memalsukan sertifikat dan label halal dengan berbagai cara. Cara yang paling sering digunakan yaitu dengan di scan, bahkan digandakan dengan menggunakan alat cetak modern. Pemalsuan seperti ini yang sulit untuk dimonitor oleh LPPOM MUI karena tidak melalui proses legal secara administrasi. Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen lebih mengarah kepada aspek keperdataan. Dengan adanya pemalsuan sertifikat dan label halal palsu pada produk pangan dalam kemasan yang beredar di pasaran, hal tersebut dapat dikatakan sebagai penipuan konsumen yang implikasi sanksinya disebutkan pada Pasal 62 UUPK. Hal tersebut tidaklah cukup karena sanksi hanyalah berupa ganti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
kerugian yang merupakan kajian dari hukum perdata, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah sanksi pidana yang berupa denda yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang berbadan hukum yang melakukan perbuatan pidana. Sanksi pidana denda yang dipandang hanya sekedar “ongkos” operasional produksi atau pemasaran, akan mengakibatkan perusahaan sebagai subyek hukum pidana tidak menjadi jera atau sanksi pidana denda yang dimaksud tidak mengubah perilaku perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu berulang (Abdul Halim Barkatullah, 2008:104). Untuk itu perlu dipertimbangkan pula mengenai pidana tambahan seperti tersebut pada Pasal 63 UUPK. Untuk memberantas adanya pemalsuan sertifikat dan label halal bukan hanya didasarkan pada sanksi ganti rugi maupun sanksi denda, perlu juga pengenaan ketentuan sanksi administratif, karena sanksi tersebut dapat dipaksakan, pengenaannya bisa secara sepihak. Pemberian sanksi pidana bagi pemalsu sertifikasi dan labelisasi halal seharusnya tidak sebatas pada pengenaan denda. Maka upaya lain untuk memberantas Sertifikat Halal dan Label Halal palsu dapat digunakan dengan pendekatan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal yaitu suatu usaha rasional dari masyarakat untuk mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan. Salah satu usaha tersebut dapat dilihat dari penggunaan hukum pidana (penal). Oleh karena itu formulasi pidana di dalam KUHP perlu diterapkan. Kejahatan pemalsuan Sertifikat Halal berhubungan dengan pemalsuan surat atau akta. Pasal 263 yang memuat tentang kejahatan pemalsuan surat rumusannya adalah sebagai berikut: (3) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. (4) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Dari rumusan dua ayat diatas, terdapat unsur- unsur kejahatan pemalsuan commit to user Sertifikat Halal. Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur yaitu:
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Unsur-unsur obyektif: 4) Perbuatan: a). Memalsu Sertifikat Halal. 5) Obyeknya : Sertifikat Halal 6) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian Sertifikat Halal palsu tersebut. d. Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Rumusan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: c. Unsur-unsur obyektif: 4) Pebuatan: memakai. 5) Obyeknya: a). Sertifikat Halal yang dipalsukan. 6) Pemakaian Sertifikat Halal palsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. d. Unsur subyektif: dengan sengaja. Kata “Palsu” artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya (Adami Chazawi, 2005:99). Pemalsuan Sertifikat Halal identik dengan perbuatan memalsu (vervalsen) surat atau akta dimana sebelum perbuatan tersebut dilakukan, sudah ada sebuah Serifikat Halal yang asli atau mencontoh Sertifikat Halal yang asli. Kemudian pada sertifikat yang asli ini, terhadap isinya dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya bertentangan dengan kebenaran karena tidak dilakukan secara sah sebagaimana prosedur administrasinya. Menurut hemat penulis, sebab pemalsuan Sertifikat Halal oleh pelaku usaha terdapat dua kemungkinan, yang pertama memang pelaku usaha tidak memiliki Sertifikat Halal dan enggan untuk mengajukan pendaftaran untuk memperoleh Sertifikat Halal kemudian pelaku usaha membuat Sertifikat Halal sendiri yaitu dengan memalsu format subtansi Sertifikat Halal yang sudah ada dari pelaku usaha lain. Yang kedua pelaku usaha memiliki Sertifikat Halal tetapi Sertifikat Halal tersebut sudah berakhir masa berlakunya dan enggan melakukan perpanjangan kemudian pelaku usaha memalsu Sertifikat Halal tersebut dengan memperpanjang sendiri masa berlakunya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Perbuatan memalsu label halal dalam KUHP identik dengan pemalsuan merek. Perbuatan memalsu label halal yang asli, artinya pada produk dalam hal ini terdapat dalam kemasan produk atau pada labelnya diberikan tanda label halal yang palsu. Kejahatan yang dimaksud, yang diatur pada Pasal 255 KUHP adalah dirumuskan sebagai berikut: Pasal 225 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun: (1) barangsiapa membubuhi benda yang wajib ditera atau yang atas permintaan yang berkepentingan diizinkan untuk ditera atau ditera lagi dengan tanda tera Indonesia yang palsu, atau barangsiapa yang memalsu tanda tera asli, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai benda itu seolah-olah tanda teranya asli dan tidak dipalsu; Pada rumusan diatas terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif: 3) Perbuatan: a). Membubuhi tanda label halal palsu; b). Memalsu tanda label halal yang asli; 4) Pada: kemasan produk. b. Unsur subyektif: dengan maksud untuk menyatakan produk tersebut halal sebagaimana tanda halalnya asli dan tidak dipalsu.
Istilah merek (merken) dalam kejahatan pemalsuan merek ini pengertiannya terbatas pada merek, tanda atau cap pada benda-benda emas dan perak, tanda atau cap pada benda-benda yang digunakan sebagai alat ukur, alat timbang dan alat penakar (benda-benda tera), serta tanda atau cap yang diharuskan atau dibolehkan UU dilekatkan pada benda tertentu atau bungkusnya (Adami Chazawi 2005:73). Pengertian tersebut diatas tidak termasuk merek dagang dan merek jasa sebagaimana yang dimaksudkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Penerapan formulasi pidana pada pemalsuan sertifikat dan label halal ini diharapkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha serta pencegahan pemalsuan sertifikat dan label halal palsu dari pelaku usaha lain. Mengenai teori pemidanaan, penulis lebih condong pada teori pemidanaan relatif atau teori tujuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
dimana tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. Hal tersebut berarti Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuantujuan dari pidana adalah: 1. mencegah semua pelanggaran; 2. mencegah pelanggaran yang paling jahat; 3. menekan kejahatan; 4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu: a) prevensi umum (generale preventie), b) prevensi khusus (speciale preventie). Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar”. Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna (Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Vol.3 No.11, Usman. 2009:70-71). Untuk mewujudkan pemberantasan pemalsuan Sertifikasi Halal dan labelisasi halal diatas tak lepas dari peran seluruh kalangan baik itu pemerintah, lembaga perlindungan konsumen pemerintah, pelaku usaha, konsumen maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat serta aparatur penegak hukum yang tegas. Dari pemerintah melalui lembaga pembentuk undang-undang (legislatif) haruslah ada political will baik dalam perumusan peraturan maupun penegakan commit to user dari peraturan itu sendiri harus mencerminkan rasa keadilan dan tuntutan keadaan
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
sosial. Terkait bagaimana untuk memberantas ataupun mencegah pemalsuan sertifikat dan label halal palsu, ada baiknya pemerintah setingkat provinsi atau kota berupaya membantu dan memfasilitasi pelaku usaha yang akan mengajukan sertifikat halal, baik itu terdapat dalam program pemerintah maupun upaya lainnya. Mengadakan sosialisasi kepada pelaku usaha akan pentingnya jaminan kehalalan pada produk baik itu dalam bentuk seminar atau dalam forum lainnya, karena permasalahan jaminan kehalalan ini adalah sebagai isu dan tantangan dalam menghadapi era perdagangan bebas seperti sekarang maupun di masa mendatang. Atau bisa juga seperti yang dilakukan di provinsi Jawa Barat dimana salah satu program tahunan yang telah berlangsung sejak 2005 di pemerintah provinsi tersebut mengalokasikan anggaran senilai Rp 600 juta untuk program sertifikasi produk halal bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di provinsi itu (http://halalcare.blogspot.com /2011/08/.html). Apabila setiap provinsi di Indonesia melakukan program seperti diatas, tentu pemalsuan sertifikat dan label halal dapat ditekan. Untuk mencegah beredarnya produk yang mencantumkan tulisan halal namun tidak memiliki sertifikat halal, cukup dengan meningkatkan sistem dan mekanisme pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini sehingga peraturan perundang-undangan yang ada dapat berjalan efektif. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, pengawasan adalah serangkaian kegiatan diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei terhadap barang dan jasa yang beredar di pasar, guna memastikan kesuaian barang dan/atau jasa dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label, klausula baku, cara menjual, pengiklanan serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Agar pengawasan dilakukan lebih efektif, langkah lain yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan peran serta Pemerintah, Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Bahkan, Pemerintah dapat mengoptimalkan peran Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewakili Departemen Agama dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang mewakili Departemen Kesehatan di tingkat kecamatan untuk melakukan pengawasan barang yang beredar (http://halalsehat.com/RUU-Produk-Halal-dan-Perubahan-Masyarakat). Isu mengenai jaminan kehalalan pada produk kosumsi seharusnya menjadikan para pelaku usaha jeli dalam mengambil peluang, selain untuk menambah daya saing produknya juga untuk mendapatkan keuntungan lebih dari produknya yang commit to userkonsumen khususnya konsumen beredar di pasaran. Karena kecenderungan
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
muslim lebih memilih produk yang tidak menimbulkan keragu-raguan pada produk yang akan dikonsumsinya yaitu produk yang ada jaminan kehalalan dengan sertifikat halal maupun label halal. Dalam hal ini seharusnya pelaku usaha memiliki kesadaran akan pentingnya kehalalan dan tidak hanya berorientasi pada keuntungan saja, yaitu dengan mendaftarkan sertifikasi dan labelisasi halal pada produknya agar produk yang bersangkutan tersebut memperoleh jaminan kehalalan. Masalah biaya dan waktu seharusnya bukan lagi menjadi kendala bagi pelaku usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikasi dan labelisasi halal. Untuk pengeluaran biaya sertifikasi tentunya tak jadi masalah karena nilai biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi halal tidak sebanding dengan nilai keuntungan yang akan didapat dari penjualan produk yang diproduksi, bisa jadi keuntungan yang didapat lebih besar seperti alasan yang dijabarkan diatas yaitu selain menambah daya saing produk tetapi konsumen cenderung memilih produk yang terjamin kehalalannya. Untuk masalah waktu pelaku usaha tidak perlu lagi repot dalam pendaftaran sertifikasi halal dengan alasan proses yang berbelit-belit. Karena sekarang LPPOM MUI sudah meluncurkan Certification Online Service System (CEROL-SS) 23000, yaitu sistim Sertifikasi Halal online berbasis web, dengan aplikasi “Less paper”. Dalam sistim ini, tak diperlukan dokumendokumen dalam bentuk kertas, juga tak dibutuhkan kurir untuk mengirimkan berkas. Autentifikasi dokumen dilakukan dengan audit administrasi. Pihak perusahaan cukup menunjukkan dokumen-dokumen asli yang sesuai dengan filefile dokumen yang telah dikirimkan pada saat pengajuan sertifikasi secara online. Begitu pula autentifikasi ke lembaga-lembaga mitra dalam proses sertifikasi halal, tidak perlu menggunakan kertas faksimile. Dengan adanya sistim online ini, tentu akan
sangat
mempermudah
proses
pendaftaran
sertifikasi
halal
(http://www.halalmui.org /NewMUI/index.php). Pihak konsumen sendiri seharusnya juga harus lebih jeli dan teliti sebelum memilih dan mengkonsumsi produk, hal tersebut adalah bentuk upaya untuk memberdayakan dirinya sendiri sebagai konsumen cerdas. Selain mengetahui hakhaknya, konsumen juga harus mengetahui kewajibannya seperti pada salah satu to user kewajiban konsumen pada Pasalcommit 5 huruf a UU No. 8 Tahun 1999 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Perilindungan Konsumen bahwa “Kewajiban Konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan”. Persoalan selanjutnya yaitu terletak pada keterbatasan pengetahuan konsumen untuk mengetahui komposisi bahan pada produk yang akan dikonsumsinya. Jika hanya sekedar membaca dan mengikuti petunjuk penggunaan saja, umumnya semua konsumen pun bisa. Tetapi untuk mengetahui kandungan komposisi bahan yang digunakan pada produk yang bersangkutan yang akan dikonsumsi tentu tidak semua konsumen paham mengenai kelayakan atau halal tidaknya komposisi bahan yang ada pada produk yang besangkutan, terlebih lagi sekarang banyak produk yang pembuatannya diperoleh dari campuran rekayasa genetika dan bahan-bahan kimia yang tidak semua konsumen mengetahuinya. Untuk menjembatani ketidaktahuan dari konsumen tersebut, pemerintah melalui lemabaga terkait baik itu dari LPPOM MUI maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat seperti YLKI untuk memberikan fasilitas sejenis layanan konsumen atau pengaduan seperti program layanan pesan singkat atau SMS maupun Telepon serta internet yang dikirimkan ke nomor atau alamat situs LPPOM MUI maupun YKLI bagi konsumen yang menemui masalah keragu-raguan soal komposisi bahan yang tidak dimengerti konsumen. Fasilitas tersebut tentunya juga harus bebas biaya dan didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang ahli dalam bidangnya serta sarana dan prasarana dan mekanisme kerja yang memadai. Selain itu konsumen juga harus aktif dalam program tersebut. Konsumen juga harus berani melaporkan apabila ada sertifikat dan label halal palsu, mengenai label halal palsu dapat diketahui pada kemasan pada produk yang bersangkutan, bisa juga dengan membandingkan label halal pada produk lainnya, hal tersebut akan nampak perbedaan atau kejanggalan pada labelnya, karena label halal sendiri mudah dipalsu dengan bentuk stiker atau bentuk lainnya atau dengan mencocokkan antara komposisi bahan yang ada pada produk dengan labelnya. Apabila komposisinya mengandung bahan yang tidak halal sedangkan terdapat nomor register sertifikat maupun label halal pada kemasannya bisa dipastikan bahwa to user produk tersebut memasang label commit halal yang palsu, dan tentunya bisa juga pelaku
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usahanya menggunakan sertifikat halal palsu atau bahkan tidak memiliki sertifikat halal. Untuk itu peran lembaga perlindungan konsumen sangat penting disini yaitu untuk menjembatani laporan dari konsumen tersebut yang kemudian diteruskan kepada aparat yang berwenang. Mengenai law enforcement seperti pengawasan baik itu pre market maupun post market harus lebih ketat. Dalam hal ini LPPOM MUI harus bekerja sama dengan BPOM dalam penentuan uji makanan karena dalam hasil dari pengujian tersebut nantinya akan nampak mengenai thayibnya produk yang diuji. Selanjutnya mengenai urusan penentuan halal tidaknya produk yang telah diuji tersebut adalah kewenangan LPPOM MUI. Penegakan hukum dalam kejahatan bisnis merupakan upaya untuk setiap orang atau badan hukum mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dalam bidang bisnis. Upaya yang dimaksudkan yaitu tidak terlepas dari tindakan represif yakni barang siapa yang melanggar ketentuan hukum pidana bisnis disamping berfungsi sebagai upaya preventif. Dalam rangka penegakan hukum dari kejahatan bisnis bukan hanya tugas dari penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) saja, tetapi harus ada koordinasi, persepsi dan peran serta lembaga yang terkait penerapan ketentuan tindak pidana kejahatan bisnis. Misalnya berkoordinasi dan bekerja sama dengan BPOM yang dalam kegiatannya melakukan pengawasan dan inspeksi pada peredaran produk di pasaran, Ditjen Bea dan Cukai, Dinas Kesehatan,
Dinas
Perdagangan, maupun
Lembaga Konsumen
Swadaya
Masyarakat seperti YLKI. YLKI berperan dalam konstrol sosial. Diibaratkan anggota tubuh, YLKI adalah sebagai “mata” dan “mulut”, sedangkan yang punya tangan adalah Pemerintah melalui instansi terkait. Dalam Praktik, YLKI sering melakukan penelusuran di pasar tradisional maupun ritel-ritel modern (Mimbar Hukum.Vol.21 No.2, Irna Nurhayati. 2009: 214). Penegak hukum dalam pengertiannya institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak harus lebih tegas, karena berhasil tidaknya penegakan hukum itu tergantung dari sikap dan pengetahuan penegak hukum itu sendiri. Maka hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa penegak hukum harus mempunyai pengetahuan hukum yang cukup agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan commit to user hukum yang ada. Oleh karena pemalsuan Sertifikasi dan labelisasi halal ini bukan
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan delik aduan, penegak hukum haruslah aktif dan memiliki pengetahuan dalam menangani, memeriksa dan menyelesaikan tindak pidana bisnis. Mulai di tingkat kepolisian misalnya, harus tegas dan kinerja yang maksimal serta mencermikan rasa keadilan, karena di beberapa kasus yang terjadi seperti restoran yang ada di Surabaya yang menyalahgunakan Sertifikat Halal yang dilaporkan oleh YLKI kasusnya hanya terhenti di kepolisian, sehingga tidak ada penyelesaian
dan
tidak
sampai
pada
tingkat
pengadilan
(http://www.republika.co.id/berita.html). Hukum bertugas untuk menciptakan kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban masyarakat. Tentunya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, karena hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Pengenaan sanksi baik itu ganti kerugian, denda maupun penjara dirasa cukup adil untuk pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada didalam UU Pangan, UUPK maupun KUHP serta sanksi administratif pada PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Karena sebenarnya kerugian yang dialami konsumen akibat pemalsuan sertifikat halal dan label halal palsu yang ada pada produk pangan yang belum tentu isinya halal tersebut bukanlah berupa kerugian secara material melainkan kerugian yang dapat dikatakan tidak terlihat atau kerugian secara bathiniah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Labelisasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk Di Indonesia, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Dalam rangka memberikan perlindungan konsumen atas jaminan produk halal, pemerintah memberikan perlindungan melalui peraturan perundang-undangan dengan labelisasi halal yang tertuang dalam beberapa produk hukum antara lain UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian diikuti peraturan-peraturan di bawahnya yakni PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, SK Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, serta SK Menkes No. 924/Menkes/SK/VII/1996 jo. SK Menkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan. 2. Peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang mengatur labelisasi
halal
sebenarnya
sudah
mampu
memberikan
perlindungan maksimal kepada konsumen namun tampaknya perlindungan hukum melalui UU saja tidak cukup sehingga perlu adanya aparat penegak hukum yang berani untuk menegakkan isi dari UU. 3. Untuk mewujudkan pemberantasan pemalsuan Sertifikat Halal dan label halal diatas commit tak lepas to dari user peran seluruh kalangan baik itu
78
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintah, lembaga perlindungan konsumen pemerintah, pelaku usaha, konsumen maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat serta aparatur penegak hukum yang tegas. Selain memberikan sanksi yang tegas bagi pemalsu sertifikat dan label halal yang terdapat pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang disebutkan pada Pasal 58 huruf i dan j, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen yang disebutkan pada Pasal 62 ayat (1), beserta ancaman pidana tambahan yang disebutkan pada Pasal 63, dan sanksi administratif sebagai mana disebutkan pada Pasal 61 PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, perlu juga penerapan formulasi pidana dalam KUHP atas
kejahatan
pemalsuan
surat
dan
pemalsuan
cap/tera
sebagaimana disebutkan pada Pasal 263 dan Pasal 255 KUHP. B. Saran Berkaitan dengan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis menyarankan: 1. Perlu segera diupayakan pembentukan peraturan yang khusus mengatur mengenai jaminan kehalalan produk di Indonesia berikut sanksi hukum yang tegas, perlu juga dilengkapi dengan aturan standar dan label halal resmi, penunjukan institusi atau lembaga penjamin halal yang memiliki komepetensi dalam penentuan kehalalan pangan sebagai kepanjangan tangan dari kementerian agama sehingga terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal, serta aturan mengenai transparansi biaya pengajuan sertifikasi halal. 2. Mengubah paradigma sukarela (voluntary) dalam pengajuan sertifikasi dan labelisasi halal pada produk menjadi kewajiban (mandatory). Wajib untuk pelaku usaha berskala besar baik commit to user badan hukum misalnya untuk perorangan maupun berbentuk
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perusahaan besar wajib untuk menjamin kehalalan produknya dengan sertifikasi dan labelisasi halal. Untuk UMKM dilakukan secara bertahap dan tentunya perlu dibantu oleh pemerintah mengenai masalah biaya dan prosedurnya. 3. Memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha dan masyarakat akan pentingnya jaminan kehalalan. Sehingga diharapkan dapat menunjang kesadaran pelaku usaha untuk mengajukan sertifikasi dan labelisasi halal serta sebagai upaya untuk memberikan pengetahuan kepada konsumen akan pentingnya jaminan kehalalan pada produk yang akan dikonsumsinya. Penegakan hukum harus lebih tegas mulai dari tingkat kepolisian, seharusnya penegak hukum harus lebih aktif karena pemalsuan sertifikat dan label halal ini bukan merupakan delik aduan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2000. Semarang: Putra Toha. Abdul Halim Barkatullah. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Banjarmasin: FH Unlam Press. Adami Chazawi. 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Ahmadi Miru&Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Kamil Musa 2006. Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman. Surakarta: Ziyad Visi Media. Lexy J. Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nurmadjito. 2000. Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Globalisasi, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: CV. Mandar Maju. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo Soleman B.Taneko. 1993. Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Sri Redjeki Hartono. 2000. Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: CV. Mandar Maju. Susanti Adi Nugroho. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 45 Beserta Amandemen. Yogyakarta: Aditya Pustaka. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. UU RI No.7 Tahun1996 Tentang Pangan; UU RI No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Keputusan Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERUM PERURI) Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal. Keputusan Menteri Kesehatan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal dan Label Makanan. 3. Makalah Habibah Abdul Talib. 2008. “Quality Assurance in Halal Food Manufacturing in Malaysia: A Preliminary Study”. Paper. Proceedings of International Conference on Mechanical & Manufacturing Engineering (ICME2008). Johor Bahru, Malaysia. Faculty of Mechanical & Manufacturing Engineering, Presented in Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM). 21–23 May 2008. Salehudin, I. and Luthfi, B.A. 2010. “Marketing Impact of Halal Labeling toward Indonesian Muslim Consumer’s Behavioral Intention Based on Ajzen’s Planned Behavior Theory: A Policy Capturing Study in Five Different Product Categories”. Paper. Proceeding of 5th International Conference on Business and Management Research (ICBMR), Presented 4th August 2010, Depok‐Indonesia. Wiku Adisasmito. 2008. “Case Study: Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM” Makalah. Disampaikan di Universitas Indonesia tahun 2008. 4. Jurnal Azah Anir Norman. 2009. “Consumer Acceptance of RFID – Enabled Services in Validating Halal Status”. Journal Computer Science and Information Technology (ISCIT) University Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. commit toofuser Vol 6. No.9.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Elvi Zahara Lubis. 2009. “Hubungan Pencantuman Label Halal Terhadap Perlindungan Konsumen”. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral&adil Vol. 1 No. 1. Endang S Soesilowati. 2010. “Business Opportunities for Halal Products in the Global Market: Muslim Consumer Behaviour and Halal Food Consumption”. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities. Vol. 3. Irna Nurhayati. 2009. “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawasan Obat dan Makanan”. Mimbar Hukum. Vol.21 No.2. Rajendra Kumar Nayak. 1991. “Consumer Protection Law in India: An Eco-Legal Treatise on Consumer Justice”. Journal of Indian Law Institute New Delhi. Vol. 3 No. 1. Shahidan Shafie. 2009. “Halal Certification: an international marketing issues and challenges”. Journal of Business & Accountancy. Faculty of Business & Accountancy Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.Vol. 32 No. 01. Siti Zulaekah dan Yuli Kusumawati. 2005. “Halal dan Haram Makanan dalam Islam”. Jurnal Suhuf. Vol. XVII No. 01. Usman. 2009. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Vol.3 No.11. 5. Majalah LPPOM MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. LPPOM MUI.
6. Koran .“Pentingnya Jaminan Halal”.Republika, Kamis 19 Januari 2012. 7. Internet Erry Meta. Filsafat Hukum Dalam Membangun Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum. http://errymeta.blogspot.com/membangun-kesadaran-hukumdan-ketaatan.html> [11 Juni 2012 pukul 22.45]. Icha
Auliani. 2011. Pemalsuan Produk Olahan Daging.http://rabbitica. blogspot.com/2011/02/pemalsuan>[10 November 2011 pukul 20.47].
Jimly Asshiddiqie. Penegakan Hukum. http://www.docudesk.com/Pdf>[ 6 Juni 2012 pukul 10.10]. Ken
yunita. MUI yakin Label halal di dendeng/abon Babi http://news.detik.com/read.php>[12 Juni 2012 pukul 19:40].
palsu.
Rozailin Abdul Rahman and Zainalabidin Mohamed. 2009. Malaysian Halal commit to user Food Entrepreneurs Perspective Towards Globalization – A Conceptual
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Framework.http://ssrn.com/doc/E-Journal/1869683>[12 pukul 21.10]. Syarif.
RUU Produk Halal dan Perubahan http://halalsehat.com/pdf>[7 Juni 2012 pukul 22:42].
Maret
2012
Masyarakat.
Yuris Susanto. Efektivitas Hukum. http://scribd.com/doc/Efektivitas-Hukum> [11 Juni 2012 pukul 00:00]. . 97% Produk Kosmetika Yang Beredar Tidak Jelas Kehalalannya. http://threemc. multyply.com/read/article/>[ 8 November 2011 pukul 20.30]. .Halal Itu Penting. http://halalguide.info/categorykonsep-dasar/halalitu-penting>[20 Oktober 2011 pukul 20.15]. .Implementasi CEROL-SS23000 Sebagai Aktualisasi "Go Green".http://www.halalmui.org /NewMUI/index.php >[12 juni 2012 pukul 19.30]. . Jabar Anggarkan 600 Juta Untuk Sertifikasi.http://halalcare.blogspot.com /2011/08/.html>[7 Juni 2012 pukul 02:30]. . Kasus Pelanggaran Sertifikat Halal Sering Mandeg di Polisi. http://www.republika.co.id/berita.html > [12 Juni 2012 pukul 22:00].
. Menyoal Kembali Akurasi Label Halal Dalam Produk-Produk Makanan. Halalmui.Org/read/article.html>[12 Juni 2012 pukul 19:18]. .Pemain daging Partai Sejahtera. http://www.tempointeraktif.com/ khusus/selusur.php>[12 Juni 2012 pukul 20:20]. . Syarat Kehalalan Menurut Syariat Islam.http://www.halalmui.org>[ 15 Mei 2012 pukul 19.20].
commit to user