BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT) A. DASAR-DASAR PERIKATAN 1. Istilah dan Pengertian Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah Perikatan. Diawali dengan ketentuan pasal 1233 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang”. Ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, perikatan adalah: Hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam bidang atau lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut. Contohnya, Pak Rahman membeli seekor ayam dari Pak Nasrul. Disini terlihat adanya suatu perbuatan yang mengikat antara keduanya, yaitu jual beli. Tetapi bukan jual beli itu yang dimaksud dengan perikatan, melainkan akibat dari jual beli tersebut yaitu timbulnya hubungan hukum antara keduanya. Yaitu timbulnya hak dan kewajiban diantara keduanya. Namun demikian, tidak semua perikatan tergolong kedalam Hukum Perikatan (Buku III BW). Seperti perikatan dalam hukum keluarga, walaupun perkawinan itu menimbulkan hubungan hukum diantara kedua pihak, namun perkawinan juga harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Buku I BW dalam lapangan hukum keluarga. Karenanya, yang disebut perikatan dalam Buku III BW hanya perikatan yang ada dilapangan hukum harta kekayaan saja.
Mala Rahman
47
2. Unsur-unsur perikatan Dari rumusan pengertian perikatan yang diberikan di atas, dapat diketahui bahwa suatu perikatan sekurangnya memiliki empat unsur didalamnya, yaitu: a. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1233, hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai akibat dari persetujuan yang dicapai para pihak, dan akibat perintah peraturang perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja maupun tidak, serta dari suatu peristiwa hukum atau keadaan hukum. b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang atau pihak Pihak-pihak dalam perikatan ini sekurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban pada satu sisi (debitur), dan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain (kreditur). Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari suatu pihak, meskipun dalam pihak tersebut lebih dari satu orang. c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan Rumusan ini memberikan arti bahwa setiap perikatan terlibat dua hal. Pertama menunjuk pada keadaan wajib yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kedua berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut, yang dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut. Dalam perspektif ini maka setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian perikatan. Kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.
Mala Rahman
48
d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan Dalam pasal 1234 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu”. Maka dapat dilihat disini ada 3 macam bentuk pemenuhan kewajiban tersebut, yaitu dalam bentuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. 3. Kewajiban dan Prestasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat menekankan pada pentingnya penentuan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, dan atau tidak melakukan sesuatu tersebut disebut dengan “Prestasi”. Prestasi untuk melaksanakan kewajiban tersebut memiliki dua unsur penting, yaitu: a. Pertama berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh pihak yang berkewajiban (Schuld). Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah siapa yang berkewajiban melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah kewajiban tersebut dapat dipenuhi atau tidak. b. Kedua berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut, tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi tersebut (Haftung). Pada umumnya, schuld dan haftung ini terletak pada pihak yang biasa disebut dengan “Debitur”. Misalnya dalam perjanjian jual beli, pembeli yang berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai pembayaran barang yang dibeli, dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi kewajibannya. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat hubungan hukum, dimana pemenuhan prestasinya tidak dapat dituntut oleh pihak lain karena tidak adanya harta kekayaannyang dijaminkan untuk memenuhi perikatannya tersebut. Jadi
Mala Rahman
49
dimungkinkan terjadinya perikatan yang prestasinya ada tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaannya (natuurlijke verbintenis). Atau dimungkinkannya terbentuk perikatan yang menimbulkan schuld tanpa adanya haftung. Contoh yang paling gampang adalah perikatan dalam perjudian. Pada pihak lain, dimungkinkan juga terjadinya perikatan yang tanpa adanya schuld tapi menimbulkan haftung. Contohnya adalah pemenuhan prestasi oleh pihak ketiga. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk melaksanakan prestasi debitur utama bukanlah suatu kewajiban bagi pihak ketiga. Jadi terpenuhi haftung tanpa adanya schuld bagi pihak ketiga tersebut. 4. Sumber-sumber Perikatan Berdasarkan pasal 1233 BW, yang menjadi sumber perikatan ada dua, yaitu: a. Perjanjian atau persetujuan b. Undang-undang Namun pada kenyataannya, ada beberapa sumber lainnya, yaitu: a. Keputusan Hakim b. Kenyataan-kenyataan yang timbul karena kesusilaan dan kesopanan c. Daluarsa Untuk sumber-sumber perikatan ini akan dibahas pada bagian selanjutnya yaitu perjanjian dan undang-undang sebagai sumber perikatan. 5. Jenis-jenis Perikatan Ada beberapa macam pembagian yang dapat dilakukan terhadap perikatan, diantaranya: a. Perikatan menurut sumber lahirnya perikatan i. Perikatan bersumber dari perjanjian ii. Perikatan bersumber dari undang-undang
Mala Rahman
50
b. Perikatan menurut isi perikatan i. Perikatan untuk memberikan sesuatu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi dari perikatan untuk memberikan sesuatu. Namun dari rumusan yang ditemukan dalam pasal 1235 dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan perikatan untuk memberikan sesuatu adalah perikatan yang mewajibkan debitur untuk menyerahkan suatu kebendaan. Yang dimaksud kebendaan disini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 499, yaitu setiap barang dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik. Kebendaan ini selanjutnya dibagi lagi dalam kebendaan berwujud, tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak (Pasal 503 dan 504 KUHPer). Sebagai contoh dapat dikemukakan perjanjian jual beli yang melahirkan kewajiban pada pihak penjual untuk menyerahkan barang atau hak yang dijual kepada pembeli pada tempat dan waktu yang telah ditentukan, dan kewajiban pembeli untuk menyerahkan uang kepada penjual sebagai nilai harga jual yang telah disepakati. Dalam hal demikian, perlu diingatkan dan diperhatikan bahwa menurut Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli tidak mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik, melainkan hak milik hanya akan beralih jika penyerahan telah dilakukan sebagaimana mestinya, yang diatur dalam pasal 612, 613, dan 616 BW. Pasal 612 menyebutkan : Penyerahan kebendaan bergerak, kecuali yang tidak berwujud, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan tersebut oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tidak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.
Mala Rahman
51
Pasal 613 menentukan : Penyerahan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak berwujud lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian tidak ada akibatnya bagi debitur sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen. Pasal 616 menjelaskan : Penyerahan atau penunjukan barang tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti pada passal 620 (lihat pasal 620 BW) ii. Perikatan untuk berbuat sesuatu Berdasarkan pasal 1239 menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila kreditur tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Ketentuan tersebut langsung menunjuk pada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur atas wan prestasi pihak debitur. Secara logis, dapat kita katakan bahwa perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu merupakan perikatan yang berhubungan dengan kewajiban debitur untuk melaksanakan pekerjaan atau jasa tertentu untuk kepentingan kreditur. Bergantung pada sifat dari pekerjaan atau jasa yang dilakukan, maka pihak yang berkewajiban melakukan pekerjaan atau jassa tersebut dapat bersifat spesifik, dengan pengertian bahwa suatu jenis pekerjaan atau jasa
Mala Rahman
52
hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan tertentu, yang dalam hal ini adalah debitur dalam perikatan. iii. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu ini adalah perikatan yang bersifat larangan, yang jika dilanggar akan menyebabkan debitur terikat pada suatu perikatan baru, yaitu : Memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga sebagai akibat dilakukannya perbuatan yang tidak diperbolehkan tersebut, yang menerbitkan kerugian pada kreditur, dan atau: Menghapuskan segala sesuatu yang dilakukan secara bertentangan dengan perikatan, dan atau; Membayar segala biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh kreditur guna mengembalikan segala sesuatu yang dilakukan oleh debitur secara bertentangan dengan perikatan, dalam hal debitur tidak melaksanakan sendiri kewajibannya untuk menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuatnya secara bertentangan dengan perikatan. c. Perikatan berdasarkan kewajiban pelaksanaan prestasi Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, dinyatakan bahwa: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa KUHPerdata membagi jenis prestasi kedalam tiga bentuk: 1) Prestasi untuk memberikan sesuatu; 2) Prestasi untuk melakukan sesuatu; 3) prestasi untuk tidak melakukan sesuatu. Selanjutnya dalam uraian sebelumnya juga telah dikatakan bahwa suatu perikatan terlibat dua pihak, yaitu debitur dan kreditur. Debitur adalah pihak yang
Mala Rahman
53
berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak meminta kepada debitur untuk melaksanakan prestasinya. Dalam setiap transaksi, yang biasanya bersumber dari perjanjian, kewajiban untuk melakukan prestasi biasanya ada pada kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Contohnya pada perjanjian jual beli. Kewajiban yang lahir dari perjanjian jual beli ada dua, yaitu: a. Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli olehnya; b. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual serta merawatnya dengan baik hingga saat penyerahan kepada pembeli. Dengan demikian masing-masing pihak, penjual maupun pembeli, adalah debitur dan kreditur dalam waktu yang bersamaan. Dalam prestasi membayar barang, pembeli adalah debitur dan penjual adalah kreditur; sedangkan terhadap prestasi untuk penyerahan barang, pembeli adalah kreditur dan penjual adalah debitur. Perjanjian yang demikian dalam ilmu hukum disebut “perjanjian timbal balik”, yang berarti masing-masing pihak dalam perjanjian memiliki prestasi atau kewajiban dari yang satu terhadap yang lainnya. Dilain pihak ada juga yang disebut perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang hanya melahirkan perikatan pada salah satu pihak dalam perjanjian. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1666 KUHPerdata yang mengatur mengenai Hibah. Kewajiban untuk melakukan prestasi hanya ada pada pihak pemberi hibah tanpa adanya kontra prestasi dari penerima hibah. Perjanjian ini juga dikenal dengan istilah “perjanjian tanpa beban”.
Mala Rahman
54
B. PERJANJIAN SEBAGAI SUMBER PERIKATAN 1. Pengertian Perjanjian Menurut Pasal 1313 KUHPerdata memberikan defenisi tentang Perjanjian dengan menyatakan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan yang diberikan tersebut memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah: a. suatu perbuatan; b. antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih); c. perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil dan perjanjian riil. Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan telah mengikat para pihak. Ini berarti bahwa segera setelah para pihak menyatakan persetujuan atau kesepakatannya dan akan dilaksanakan, maka kewajiban telah lahir pada pihak yang telah berjanji untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Agak berbeda dengan perjanjian konsensuil, dalam perjanjian formil kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban. Contohnya pada perjanjian perdamaian dan perjanjian hibah. Pada perjanjian hibah hanya akan berlaku secara sah bila telah ada penerimaan oleh penerima hibah, semasa pemberi hibah masih hidup. Tanpa adanya penerimaan maka hibah belum terjadi, artinya kewajiban pemberi hibah belum lahir sebelum penerima hibah menyatakan penerimaannya secara tertulis, pada saat pemberi hibah masih hidup. Disini menjelaskan bahwa hibah baru melahirkan perikatan apabila telah ada perbuatan nyata dari penerima hibah, yaitu dalam bentuk pernyataan secara tertulis. Perbuatan nyata yang diwajibkan tersebut adalah syarat berlaku dan mengikatnya Mala Rahman
55
perjanjian hibah antara pemberi hibah dengan penerima hibah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Riil. 2. Asas-Asas Umum Hukum Perjanjian a. Asas Personalia Asas ini diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang berbunyi: Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Dari rumusan tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat dirinya sendiri. Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat kita bedakan ke dalam: Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Sebagai wakil dari pihak tertentu, baik sebagai wakil suatu badan hukum yang berwenang mewakili badan hukum tersebut atau sebagai perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya kekuasaan orang tua ataupun wali. Sebagai kuasa dari orang yang memberikan kuasa. b. Asas Konsensualitas Asas Konsensualitas menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak atau lebih, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun hanya secara lisan. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat sebagai perikatan bagi para pihak tidak memerlukan formalitas, namun untuk menjaga kepentingan pihak debitur diadakanlah bentuk-bentuk formalitas.
Mala Rahman
56
c. Asas Kebebasan Berkontrak Pasal 1320 menyebutkan tentang kebebasan berkontrak yang berbunyi: Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu kesepakatan, kecakapan, objek tertentu dan causa yang halal. Pada item causa yang halal berarti para pihak boleh melakukan kontrak atau perjanjian apapun asalkan tidak merupakan perbuatan yang terlarang oleh undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum. d. Asas Pacta Sunt Servande Asas ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Jadi jelas disini bahwa perjanjian sebagai sumber dari perikatan yang dibuat secara sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak. Apabila salah satu para pihak tidak melaksanakan, maka pihak alin dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. e. Asas Itikad Baik Pasal
1338
ayat
3
menjelaskan
bahwa
Perjanjian-perjanjian
harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya. Artinya menunjukkan bahwa itikad baik harus selalu ada pada setiap pihak yang melakukan transaksi.
Mala Rahman
57
3. Unsur-Unsur Perjanjian Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikenal adanya tiga unsure dalam perjanjian, yaitu: Unsur esensialia; Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat ari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur ini biasanya digunakan dalam memberikan rumusan, defenisi, atau pengertian dari suatu perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli dibedakan dengan perjanjian tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Unsur naturalia; Unsur naturalia adalah unsure yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsure esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsure esensialia jual beli pasti akan ada unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat dihindari oleh para pihak karena sifat dari jual beli menghendaki hal yang demikian. Unsur aksidentalia. Unsur ini adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan bersama. Hakekatnya unsur ini bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan oleh para pihak.
Mala Rahman
58
4. Syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 menentukan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Keempat unsur tersebut selanjutnya dikembangkan dalam dua unsur, yaitu: Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif); Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak terlarang. Tidak terpenuhinya salah satu unsur di atas, menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dari kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif terlanggar), maupun batal demi hukum (unsur objektif yang dilanggar).
Mala Rahman
59
C. UNDANG-UNDANG SEBAGAI SUMBER PERIKATAN 1. Zaakwaarneming Zaakwaarneming adalah : Suatu perbuatan dimana seseorang dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah, mengurus kepentingan (urusan) orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu. Contohnya A dan B tinggal serumah. Kemudian secara mendadak B ke luar negeri karena tugas. Lalu A dengan sukarela dan tanpa perintah B mengurus atau memelihara harta kekayaan si B. Karena perbuatan mengurus tersebut menurut undang-undang pasal 1354 BW secara diam-diam A telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan pengurusan tersebut
sampai B kembali ke rumah dan
mengurus kekayaannya sendiri. Dalam hal ini A disebut dengan zaakwaarnemer atau gestor. Sedangkan B dinamakan dominus. Untuk menentukan suatu perbuatan itu zaakwaarneming atau bukan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: a. yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepentingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri; b. perbuatan
pengurusan
zaakwaarnemer
dengan
kepentingan
orang
sukarela
artinya
lain
itu
kesadaran
harus
dilakukan
sendiri,
tanpa
mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian; c. perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri; d. harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya keadaan yang mendesak untuk berbuat. Zaakwaarneming meliputi perbuatan nyata dan perbuatan hukum. Dalam bertindak hukum, zaakwaarnemer dapat bertindak atas namanya sendiri maupun
Mala Rahman
60
atas nama dominus. Jika atas namanya sendiri maka terjadi hubungan hukum antara zaakwaarnemer dengan pihak ketiga. Namun bila dilakukan atas nama dominus dan diurus kepentingannya dengan baik maka terjadi hubungan hukum antara dominus dengan pihak ketiga. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban zaakwaarnemer adalah: a. Wajib meneruskan pengurusan kepentingan dominus sampai dominus dapat mengurus sendiri kepentingannya. Disini kewajibannya sama dengan penerima kuasa biasa. b. Harus melakukan pengurusan kepentingan dominus dengan sebaik-baiknya. c. Harus bertanggungjawab sama seperti kuasa biasa yaitu memberikan laporan tentang apa yang telah dilakukan untuk kepentingan dominus. Selain itu zaakwaarnemer wajib membayar bunga dari uang dominus yang digunakan untuk kepentingannya sendiri. d. Apabila zaakwaarnemer melakukan tugasnya dengan baik, maka ia berhak atas penggantian biaya yang telah dikeluarkannya yang sangat perlu dan bermanfaat bagi kepentingan dominus. Untuk ini zaakwaarnemer mempunyai hak retensi yaitu menahan barang-barang kepunyaan dominus sampai pengeluaran-pengeluarannya dibayar. Sedangkan hak dan kewajiban dominus adalah kebalikan dari hak dan kewajiban zaakwaarnemer. Tuntutan dominus atas penyelesaian kewajiban zaakwaarnemer dinamakan action directa, sedangkan tuntutan zaakwaarnemer atas pertanggungjawaban dominus terhadap akibat-akibat zaakwaarneming yang telah dilaksanakan dengan baik oleh zaakwaarnemer seperti penggantian biaya dinamakan action contraria. 2. Pembayaran Tak Terhutang (Onverschuldigde betaling) Pembayaran tak terhutang atau tak diwajibkan ini menurut pasal 1359 BW merupakan perbuatan yang menimbulkan perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah
Mala Rahman
61
dibayarkan
dan
orang
yang
menerima
pembayaran
tersebut
wajib
mengembalikannya. Pembayaran disini tidak hanya pembayaran dalam bentuk uang, tapi juga termasuk penyerahan barang, mengerjakan suatu pekerjaan, yang intinya melakukan suatu prestasi. Bilamana pengembalian tersebut tidak mungkin dilakukan oleh orang yang menerima pembayaran itu seperti prestasi semula maka yang dikembalikan kepada orang yang membayar adalah nilai harganya. Selanjutnya pasal 1361 BW menentukan sebagai berikut: a. Jika seorang yang secara khilaf mengira ia berutang, membayar suatu utang, maka ia berhak menuntut kembali dari berpiutang apa yang telah dibayarkannya. b. Meskipun dmeikian, hak ini hilang jika siberpiutang sebagai akibat pembayaran tersebut telah menghilangkan surat pengakuan utang, dengan tidak mengurangi hak orang yang telah membayar itu untuk menuntutnya kembali dari orang yang sungguh-sungguh berutang. 3. Perikatan Wajar (natuurlijke vernintenis) Dalam BW tidak ada uraian tentang apa yang dimaksud dengan perikatan wajar ini. Hanya saja pasal 1359 (2) menjelaskan bahwa natuurlijke verbintenis yang secara sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Jadi apa yang telah dibayarkan tetap menjadi hak orang yang menerimanya, karena pembayaran itu dianggap sah. Namun demikian, semua para sarjana sepakat bahwa pemenuhan prestasi pada perikatan wajar pelaksanaannya tidak dapat dituntut melalui hakim, sebaliknya pembayaran yang dilakukan secara sukarela tidak dapat dilakukan penuntutan kembali.
Mala Rahman
62
Beberapa perikatan berikut merupakan termasuk perikatan wajar, yaitu: a. Bunga yang tidak diperjanjikan, menurut pasal 1766 barangsiapa yang membayar bunga atau utangnya yang tidak diperjanjikan ini, maka ia tidak dapat menuntut kembali, kecuali bunga tersebut melebihi bunga menurut undang-undang. b. Utang yang terjadi karena perjudian, menurut pasal 1788 tidak dapat dimintakan pemenuhannya. c. Sisa utang orang yang pailit setelah dilakukan pembayaran menurut pengadilan. 4. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) Perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam pasal 1365 BW menjelaskan: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain,
mewajibkan
kepada
orang
yang
karena
salahnya
menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sebelum tahun 1919 perbuatan melawan hukum oleh Hoge Raad hanyalah diartikan sebagai “suatu perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan, dan dalam hal ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal”. Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum disyaratkan dalam pasal 1365 BW harus ditemukan unsur kesalahan. Namun tidak dibedakan unsure kesalahan karena kesengajaan (dolus) atau karena kurang hati-hati (culpa). Maka hakimlah yang harus menentukan dan menilai berat ringannya kesalahan orang tersebut. Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum, bilamana ia melakukakan suatu perbuatan karena overmacht, keadaan darurat (noodweer), dan hak pribadi. Juga karena perintah kepegawaian dan salah sangka yang dapat dimaafkan.
Mala Rahman
63
Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materiil dan kerugian immaterial. Untuk kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata diderita dan hilangnya keuntungan yang diharapkan. Adapun kerugian immaterial adalah kerugian berupa pengurangan kesenangan hidup misalnya karena penghinaan, luka atau cacatnya tubuh. Untuk dapat menuntut ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum, selain harus ada kesalahan, juga harus ada hubungan kausal atau hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugiannya. Jadi kerugian harus timbul akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melawan hukum tersebut. Ada dua teori untuk hubungan kausal ini, yaitu: a. Teori conditio sine qua non (Von Buri) Suatu hal adalah sebab daari suatu akibat, akibat tidak akan terjadi bila tidak ada sebab. Jadi banyak sebab dari suatu akibat. b. Teori adequate veroorzaking (Von Kries) Suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat, apabila menurut pengalaman masyarakat dapat diduga, bahwa suatu akibat itu akan diikuti oleh akibat itu. D. BERAKHIRNYA PERIKATAN 1. Pembayaran Mengenai pembayaran sebagai salah satu alassan berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1382 sampai Pasal 1403 KUHPerdata. Menurut Pasal 1382 bahwa: Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan. Sepertinya seorang yang turut berutang atau seorang penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak mengganti hak-hak kreditur.
Mala Rahman
64
Sedangkan Pasal 1383 menyebutkan: Suatu perikatan untuk berbuat sesuatu tidak dapat dipenuhi seorang pihak ketiga jika hal itu berlawanan dengan kehendak kreditur. Jika kreditur mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh debitur. Dari kedua rumusan di atas ditentukan bahwa mengenai pemenuhan prestasi yang dalam hal ini dilakukan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga diluar para pihak yang terikat dalam suatu perikatan. Khusus mengenai pihak ketiga yang dapat memenuhi perikatan, KUHperdata menentukan bahwa pihak ketiga tersebut adalah: (1). Seorang yang turut berutang; (2). Seorang penanggung utang; (3). Seorang pihak ketiga yang tidak berkepentingan, dengan syarat bahwa: Bertindak untuk dan atas nama debitur dan untuk melunasi utang debitur; Bertindak untuk dan atas nama sendiri tetapi tidak dengan tujuan untuk menggantikan hak-hak kreditur. Dalam hal ini dikenal istilah Subrogasi yang dalam Pasal 1402 dijelaskan bahwa subrogasi terjadi demi undang-undang: a. untuk seorang yang, sedang ia sendiri kreditur, melunasi kreditur lain, yang berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotek, mempunyai suatu hak yang lebih tinggi; b. untuk seorang pembeli suatu benda tak bergerak, yang memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotek; c. untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orangorang lain, diwajibkan membayar suatu utang, berkepentingan untuk melunasi utang itu; d. untuk seorang ahli waris yang, sedang ia menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta Mala Rahman
65
peninggalan, telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri. 2. Pembayaran Tunai Alasan kedua yang menghapuskan perikatan, yang diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata, adalah penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan. Perlu diingat bahwa meskipun kedua jenis hapusnya perikatan berangkat dari rumusan pembayaran dalam pengertian pemenuhan perikatan oleh debitur yang menghapuskan kewajiban atau utang debitur terhadap kreditur, hapusnya perikatan karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan hanya dapat terjadi terhadap perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu, baik itu merupakan kebendaan dalam arti luas, maupun dalam bentuk uang sebagai pemenuhan utang dalam arti yang sempit. Dengan ketentuan yang demikian, undang-undang bermaksud melindungi kepentingan debitur yang beritikad baik, yang memang bermaksud untuk memenuhi perikatannya atau melakukan pembayaran sesuai dengan kewajibannya. Untuk sahnya penawaran yang dilakukan Pasal 1405 menentukan bahwa: a. penawaran dilakukan kepada seorang kreditur atau kepada seorang yang berkuasa menerimanya untuk kepentingan/atas nama kreditur; b. penawaran itu dilakukan oleh seorang yang berkuasa untuk membayar; c. penawaran itu mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan kemudian; d. ketetapan waktu yang ditentukan telah tiba, jika ketetapan waktu itu dibaut untuk kepentingan kreditur; e. syarat dengan mana utang telah dibuat telah terpenuhi; f. penawaran itu dilakukan di tempat yang menurut persetujuan, pembayaran harus dilakukan dan jika tiada suatu persetujuan khusus mengenai itu, kepada kreditur pribadi atau di tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya; Mala Rahman
66
g. penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau juru sita, keduanya disertai dua orang saksi. 3. Novasi Pembaharuan utang atau novasi adalah salah satu bentuk hapusnya periaktan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru. Pasal 1413 menyatakan bahwa ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang: a. apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya; b. apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya; c. apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa debitur dibebaskan dari perikatannya. Dari ketiga macam novasi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novasi, perikatan yang lama hapus demi hukum dan selanjutnya dibuat/dibentuk suatu perikatan baru antara para pihak yang sama, yaitu antara debitur dan kreditur yang sama dalam perikatan yang dihapuskan, atau dengan pihak lain yang selanjutnya akan berkedudukan sebagai kreditur atau debitur baru. 4. Kompensasi Istilah perjumapaan utang atau kompensasi utang menunjukkan pada suatu keadaan di mana dua orang saling memiliki kewajiban atau utang satu terhadap yang lainnya. Dalam keadaan demikian, oleh undang-undang ditetapkan bahwa bagi kedua belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadilah penghapusan utang-utang mereka satu terhadap yang lainnya, dnegan cara memperjumpakan utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain (Pasal 1425 KUHPerdata).
Mala Rahman
67
Ada tiga hal yang menjadi syarat perjumpaan utang menurut Pasal 1426, yaitu: a. kedua kewajiban atau utang yang diperjumpakan tersebut haruslah utang yang telah ada pada waktu perjumpaan serta telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta dapat dihitung besarnya b. kewajiban atau utang tersebut ada secara timbal balik antara dua pihak, yang satu merupakan debitur sekaligus kreditur terhadap yang lainnya. c. kewajiban atau utang yang diperjumpakan tersebut haruslah utang dengan wujud prestasi yang sama, atau objek yang sama, atau jumlah uang yang sama. 5. Pencampuran Hutang Menurut Pasal 1436 yang dimaksud dengan percampuran utang adalah: Apabila kedudukan-kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana piutang dihapuskan. Sebagai akibat dari percampuran utang ini, Pasal 1437 KUHPerdata menyatakan bahwa: a. Percampuran utang yang terjadi pada diri debitur utama, berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. b. Percampuran yang terjadi pada diri penanggungutang, tidak sekali-kali menghapus utang pokok. c. Percampuran yang terjadi pada diri salah satu debitur tanggung menanggung, tidak berlaku untuk keuntungan para debitur tanggung menanggung lain hingga melebihi bagiannya dalam utang yang ia sendiri menjadi debiturnya. 6. Pembebasan Hutang Mengenai pembebasan utang tidak dirumuskan dalam KUHPerdata, namun dari kata-kata “Pembebasan Utang” yang dikaitkan dengan hapusnya perikatan, dapat dikatakan bahwa pembebasan utang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
Mala Rahman
68
kreditur yang membebaskan debitur dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi, atau utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditur tersebut. Selanjutnya akibat dari pembebasan utang ini dalam Pasal 1442 ditentukan bahwa: Pembebasan sesuatu utang atau pelepasan menurut persetujuan, yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan penanggung utang. Pembebasan yang diberikan kepada penanggung utang tidak membebaskan debitur utama. Pembebasan yang diberikan kepada salah satu penanggung utang, tidak membebaskan para penanggung utang lainnya. 7. Musnahnya Benda Terhutang Pasal 1444 menyatakan mengenai musnahnya barang yang terutang, yaitu: Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meslipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama ditangannya kreditur, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dimajukannya itu. Dengan cara bagaimanapun suatu barang, yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barangnya itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang itu dari kewajibannya untuk mengganti harganya.
Mala Rahman
69
Dalam penjelasan selanjutnya dimungkinkan seorang debitur bebas dari kewajiban dengan menggunakan alasan pembenar atau pemaaf, untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga karena: a. debitur tidak menyerahkan kebendaan yang harus diserahkan pada waktunya; b. debitur tidak memelihara kebendaan yang akan diserahkan sehingga kebendaan tersebut tidak dapat diserahkan pada waktunya; c. debitur tidak menyerahkan kebendaan tersebut sama sekali; d. debitur tidak memelihara kebendaan yang akan diserahkan sehingga kebendaan tersebut tidak dapat diserahkan sama sekali; e. debitur menyerahkan sesuatu kepada kreditur tetapi tidak sesuai dengan yang telah ditentukan; f. debitur tidak memelihara kebendaan yang akan diserahkan sehingga kebendaan itu tidak dapat diserahkan sesuai dengan yang telah ditentukan. Adapun alasan pembenar atau pemaaf itu, adalah: a. bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, selama tidak ada itikad buruk kepadanya (alasan pemaaf); b. karena keadaan memaksa debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya (alasan pembenar); c. karena kejadian yang tidak disengaja, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang baginya (alasan pembenar).
Mala Rahman
70
8. Tentang Kebatalan Dan Pembatalan Pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan jika: a. tidak telah terjadi kesepakatan bebass dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat. b. salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk berbuat hukum, dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Dalam hal terjadi kesepakatan secara bebas, maka pihak yang telah khilaf, dipaksa atau ditipu tersebut, memiliki hak untuk meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahuinya. Sedangkan dalam hal salah satu pihak tidak cakap dalam berbuat hukum, maka pihak yang tidak cakap (setelah ia cakap), dan atau wakilnya yang sah berhak untuk memintakan pembatalan. Dengan terjadinya pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi kedua syarat subjektif tersebut, maka perikatan yang lahir dari perjanjian itu hapus demi hukum. 9. Berlakunya Syarat Batal Menurut ketentuan Pasal 1265 mengatur tentang perikatan dengan syarat batal dikatakan bahwa: Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi, menghendaki perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah ia mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan telah terjadi. 10. Daluarsa / lewat waktu Lewat waktu menurut pasal 1946 BW adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Mala Rahman
71
Dalam pasal 1967 BW ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun. Dengan lewatnya waktu 30 tahun maka hapuslah perikatan hukum dan tinggallah perikatan bebas/wajar, yaitu suatu perikatan yang boleh dipenuhi oleh debitur tetapi tidak dapat dituntut oleh kreditur melalui pengadilan.
Mala Rahman
72
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Wewenang Peradilan Agama Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan, Rajawali Press, Jakarta -----------------, Penanggungan utang dan perikatan tanggung menanggung, Rajawali Press, Jakarta -----------------, Perikatan pada umumnya, Rajawali Press, Jakarta -----------------, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Rajawali Press, Jakarta -----------------, Perikatan yang lahir dari undang-undang, Rajawali Press, Jakarta Mr. Dr. Vollmar, Pengantar Hukum Perdata 1, Rajawali Press, Jakarta. 1996 Ny. Sri Soedewi, SH, Hukum Perutangan Prof. Ali Afandi, SH, Hukum waris, Hukum keluarga, Hukum Pembuktian. Prof. Subekti, SM, Pokok-pokok Hukum Perdata R. Soetojo Prawirohamidjojo, SH, Hukum Orang dan Keluarga Riduan Syahrani, SH, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung. 1989. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Z. Ansori Ahmad, SH, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia
Mala Rahman
73