BAB VI
PENUTUP
5.1 Simpulan
Wangsalan secara umum didefinisikan sebagai salah satu genre sastra tradisional yang berupa sejenis teka-teki, namun suku kata yang menjadi jawaban teka-teki tersebut, turut disebutkan walaupun hanya sebagian saja. Maksud yang ingin disampaikan oleh penutur dalam sebuah wangsalan, tidak sama dengan arti leteral dari sebuah wangsalan. Karena itu, ada dua lapis arti yang terdapat dalam sebuah wangsalan yaitu makna denotatif dan maksud asosiatif. Makna denotatif adalah arti sebenarnya dari sebuah wangsalan sesuai dengan arti rangkaian kata-kata penyusunnya. Makna ini timbul karena adanya adanya hubungan referensial antara kata dengan konsep yang telah ada dalam pikiran seseorang. Sedangkan makna asosiatif adalah maksud dari wangsalan tersebut. “Maksud” ini diketahui dari pengasosiasian makna denotatif yang sama sekali tidak memiliki hubungan referensial, tetapi masih dapat diketahui dari konteks sebuah wangsalan. Hubungan antara makna dan maksud sebuah wangsalan dipertalikan oleh adanya kemiripan fonem antara keduanya.
Tidak semua wangsalan meyertakan jawabannya pada satu konstruksi. Wangsaln yang tidak menyertakan jawaban ini diasumsikan sebagai bentuk yang 145
146
telah umum dikenal dan telah menjadi konvensi masayarak penuturnya. Karena itu, tanpa disertai dengan kata yang mengindikasikan jawaban suatu wangsalan, mitratutur diasumsikan memahami apa yang dimaksud oleh penutur. Tetapi, untuk maksud-maksud tertentu, banyak wangsalan yang telah umum dikenalpun tetap menyertakan jawabannya dalam satu konstruksi. Jadi ada ataupun tidak ada jawaban dari teka-teki dalam sebuah wangsalan tidak menjadi batasan dalam pendefinisian wangsalan. Makna denotatif sebuah wangsalan tidak pernah diucapkan atau ditulis secara tersurat. Makna denotatif ini hanya ada dalam pikiran penutur maupun mitratutur.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dari data-data yang terkumpul, sekurang-kurangnya wangsalan Bali memiliki dua macam bentuk yaitu: berbentuk frase dan berbentuk klausa. Wangsalan berbentuk frase selanjutnya dibedakan lagi menjadi tiga golongan, berdasarkan kategori Unsur Pusat (UP) penyusun frase tersebut; yaitu: 1) frase nomina yaitu wangsalan yang UP memiliki distribusi yang sama dengan nomina. Selanjutnya unsur-unsur penyusun wangsalan yang berbentuk frase nomina diidentifikasi memiliki dua hubungan makna yaitu sebagai pembatas dan sebagai penjelas; 2) Frase verba yaitu wangsalan yang memiliki distribusi yang sama dengan verba. Selanjutnya wangsalan yang berbentuk frase verba ini diidentifikasi sebagai verba derivasional, yang berasal dari nomina dengan proses morfologis berupa afiksasi. Berdasarkan afiksasi yang terdapat pada frase verba ini, dibedakan menjadi tiga yaitu: frase verba dengan prefiks ma-, frase verba dengan
147
prefiks nasal (N-) dan frase verba dengan prefiks ma- + N-. Akhirnya bentuk wangsalan yang ke-3 adalah berbentuk frase numeralia yaitu wangsalan yang unsurunsurnya merupakan kata bilangan dengan berbagai kombinasinya, serta formulaformula matematis yang bisa diterapkan pada kata bilangan tersebut. Wangsalan selanjutnya adalah berbentuk Klausa yang dibedakan menjadi 4 tipe: tipe S-P, P-O, SP-O, dan S-P-K.
Antara proses pembentukan dan pemahaman sebuah wangsalan terjadi pada alur psikolinguistik yang berlawanan. Dalam pembentukannya, terjadi proses encoding makna asosiatif kedalam makna denotatif kemudian diencoding lagi menjadi kerangka wangsalan. Sebaliknya dalam pemahamannya, mitratutur akan mengawali proses psikolinguistiknya dengan mendecode (decoding) kerangka wangsalan menjadi makna denotatif kemudian didecode lagi untuk menemukan makna asosiatifnya. Sekurang-kurangnya ada enam kaedah yang terjadi antara maksud asosiatif dengan makna denotatif sebuah wangsalan yaitu:1) mengganti fonem awal dengan fonem yang lain; 2) menambahkan sebuah fonem pada awal kata; 3) mempertahankan satu atau lebih suku kata akhir; 4) mereduplikasi keseluruhan atau sebagian suku kata pembentuknya; 5) menghilangkan bentuk reduplikasi disertai perubahan fonem, dan 6) memanfaatkan homonimi.
Variasi yang terdapat dalam wangsalan Bali tidak sebanyak wangsalan Jawa. Sehingga jenis-jenis wangsalan Bali dibedakan menjadi empat jenis dengan dua
148
kategori yang berbeda. Yang pertama, berdasarkan penggunaannya wangsalan Bali dibedakan menjadi wangsalan padinan yaitu wangsalan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan wangsalan dalam tembang. Perbedaan keduanya tidak terlalu signifikan kecuali media penyampaiannya yang berbeda. Akhirnya berdasarkan periode atau masa pembentukan wangsalan Bali, dibedakan menjadi wangsalan baru dan wangsalan lama.
Dari sudut pandang pragmatik wangsalan Bali memiliki lima fungsi komunikatif sebagimana fungsi bahasa pada umumnya yaitu:1) fungsi representatif, 2) fungsi ekspresif, 3) fungsi direktif, 4) fungsi fatis dan 5) fungsi poetik. Fungsifungsi tersebut tidaklah berdiri sendiri, artinya sebuah wangsalan bisa saja memiliki dua atau lebih fungsi yang berbeda dalam konteks yang sama. Akhirnya berdasarkan pilihan kata yang menjadi acuan atau referensi wangsalan Bali, teridentifikasi ada beberapa hal yang dijadikan acuan yaitu: 1) tumbuhan dan bagian-bagiannya; 2) binatang, 3) alat-alat dan perkakas rumah tangga, 4) makanan dan minuman, 5) sarana upacara keagamaan, 6) tokoh-tokoh pewayangan, 7) anomatope atau peniruan suara khususnya binatang.
5.2 Saran
Wangsalan merupakan bentuk kearifan lokal bangsa Indonesia yang mencerminkan kecerdasan nenek moyang bangsa, dalam mengkomunikasikan ideidenya, dalam bentuk seni bertutur yang mungkin tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa
149
lain di dunia ini. Warisan yang tidak ternilai harganya ini patut dijaga agar tetap lestari. Salah satunya adalah melalui pendokumentasian, pengkajian atau bahkan pembentukan wangsalan-wangsalan baru sebagai cerminan kreativitas, seperti yang dilakukan oleh pedalang dalam pegelaran wayang Cenk-Blonk. Penelitian ini adalah salah satu wujud pelestarian tersebut.
Masih banyak hal-hal yang belum mendapatkan perhatian dalam penelitian ini, yang bisa dijadikan bahan dalam penelitian selanjutnya, misalnya collective mind atau pola pikir bersama yang dimiliki oleh penutur bahasa Bali dalam persepsinya mengenai alam di sekitarnya. Pola pikir ini pastilah tercermin dari kata-kata yang mereka gunakan dalam wangsalan. Wangsalan bisa menjadi indeks kebudayaan yang menarik juga untuk dikaji dalam sebuah penelitian. Metapora-metapora yang ditemukan juga perlu dikaji, walaupun tidak semua wangsalan merupakan ungkapan yang metaporis. Hal yang menarik lainnya yang patut juga diteliti adalah perubahan kategori kata yang terjadi pada kerangka wangsalan jika dibandingkan dengan maksud sebenarnya dari penutur wangsalan, misalnya umah sampi ‘rumah sapi (kandang)’ kategorinya nomina tetapi berubah menjadi adjektiva pada maksud sebenarnya yaitu ngandang-ngandang ‘aneh/nyeleneh’. Demikianlah saran yang bisa dilakukan untuk penelitian selanjutnya, semoga bermanfaat.