BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Analisis panjang tip penetrasi Dari tabel 5.1 pada bab 5 diatas, diketahui bahwa panjang tip penetrasi semprotan untuk setiap pengujian semuanya memiliki panjang yang sama, yaitu 200 mm (0.2 m). yang membedakannya hanyalah kecepatan terbentuknya semprotran tersebut. Dari tabel tersebut diketahui bahwa untuk campuran 5% BD jarak 0.2 m tercapai dalam waktu 0.0088 s sehingga kecepatan tip penetrasinya adalah 25.6 m/s. Sedangkan untuk solar murni 100% D jarak 0.200 m tercapai hanya dalam waktu 0.0037 s sehingga kecepatan tip penetrasinya 54.1 m/s. Terlihat dari tebel tersebut bahwa semakin banyak persentase biodiesel pada campuran maka akan mengakibatkan akan semakin lama tercapainya tip penetrasi atau dengan kata lain kecepatan tip penetrasinya semakin kecil. Kecepatan tip penetrasi yang paling kecil terdapat pada minyak biodiesel murni 100% BD dimana nilai kecepatan tip penetrasinya tersebut hanya sekitar 16.4 m/s, empat kali lebih kecil dari nilai kecepatan pada minyak solar murni 100% D. Hal ini menjadi wajar adanya dikarenakan kekentalan (viscositas) dari minyak biodiesel yang lebih besar dari pada minyak solar murni sehingga tercapainya tip penetrasi akan lebih lambat untuk jarak yang sama. Yang menjadi pertanyaan besar pada data panjang tip penetrasi ini adalah panjang tip penetrasi yang nilainya sama untuk tiap pengujian yaitu sekitar 200 mm (0.2 m) panjangnya. Dimana panjang 200 mm ini merupakan panjang ruang
51
52
penyemprotannya. Panjang sebenarnya dari tip penetrasi ini adalah lebih besar dari 200 mm tersebut. Sedangkan secara teoritis, panjang tip penetrasi ini juga dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan pada bab 2 diatas. Sedangkan secara teoritis, panjang tip penetrasi ini juga dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan pada berikut (Borman, 1998).
Dengan nilai Lb dapat dihitung melalui rumus (Borman, 2001).:
Dimana diketahui bahwa dari data pada Tabel pengujian dan tabel Tabel properties minyak solar murni 100% D didapat :
; dan
Sehingga panjang Lb :
Dan panjang tip penetrasi, L :
53
m Melalui mekanisme perhitungan yang sama dengan diatas, selanjutnya didapat data panjang tip penetrasi untuk campuran yang lain. Berikut ini merupakan tabel perbandingan panjang tip penetrasi yang didapat melalui eksperiman dengan panjang tip penetrasi secara teoritis untuk tiap campuran biodiesel. Tabel 6.1 Perbedaan panjang tip penetrasi dari pengujian dan perhitungan teoritis No
% campuran
Jarak aktual (mm)
1 2 3 4 5 6
5% BD 10% BD 15% BD 20% BD 100% BD 100% D
>200 >200 >200 >200 >200 >200
Waktu ms 3.9 5.7 7.7 9.4 12.2 3.7
s 0.0039 0.0078 0.0077 0.0094 0.0122 0.0037
Jarak teoritis (mm)
Error (%)
269 266 263 259 251 272
-
Panjang tip penetrasi yang didapat melalui perhitungan memang berbeda dengan panjang tip penetrasi yang didapat dengan pengujian, hal ini cukup wajar mengingat keterbatasan alat uji yang panjangnya hanya 200 mm, dan pada semua pengujian panjang tip penetrasinya melebihi panjang dari 200 mm sehingga panjang actual sebenarnya adalah lebih dari 200 mm.
54
Jika dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga terdapat perbedaan yang relative besar tentang kecepatan tercapainya tip penetrasi ini.Pada penelitian ini, waktu yang diperlukan untuk tercapainya panjang tip penetrasi penuh berkisar pada rentan waktu antara 3.7 – 12.2 ms (3.7 ms untuk 100% D, dan 12.2 ms untuk 100% BD). Sedangkan hasil yang didapat pada pengujian yang sama dengan tekanan injector yang sma pula sekitar 150 bar, waktu yang diperlukan untuk tercapainya tip penetrasi tersebut hanya berkisar pada nilai 1.2 ms saja (Liguan, 2007). Terjadinya perbedaan yang cukup jauh ini kemungkinan disebabkan oleh alat (kamera) dan program yang digunakan untuk olah datanya tidak memiliki spesifikasi yang cukup tinggi. Kamera high speed yang digunakan pada penelitian sebelumnya tersebut menggunakan kamera yang memiliki nilai fps (frame per second) cukup tinggi yakni sekitar 10000 fps (Yuan Gao et al, 2005).Sedangkan kamera high definition yang digunakan pada penelitian ini mamiliki nilai fps yang terbatas, hanya memiliki 500 fps saja (kamera NIKON HD). Sehingga cukup wajar jika hasil yang didapat pada penelitian ini masih jauh dari hasil – hasil yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya. Pada table 5.1 juga didapatkan nilai kecepatan tip semprotan yang terjadi berkisar 54.1 m/s yang terjadi pada minyak diesel murni (100% D). sedangkan untuk minyak biodiesel murni (100% BD) nilai kecepatan semprotannya paling rendah yaitu hanya sekitar 16.4 m/s. Nilai kecepatan semprotan ini dapat diperkirakan secara teoritis dengan menggunakan persamaan berikut :
55
; Dimana : ;
= 150 bar = 1.5 x 107 Pa Sehingga nilai kecepatan semprotan ini adalah : = 107.5 m/s Nilai ini sangat berbeda jauh dengan nilai hasil pengujian pada minyak solar murni yang hanya sekitar 54.0 m/s. Sehingga error yang didapat berdasarkan perbandingan ini adalah sekitar 48 %. Besarnya nilai error tersebut kemungkinan disebabkan oleh kesalahan pada saat olah gambar dengan menggunakan program tertentu. 6.2 Analisis sudut semprotan Dari data yang terdapat pada tabel5.1 pada bab 5 diatas terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dari semua sudut semprotan yang terbentuk baik untuk tiap campuran biodiesel maupun dengan minyak solar murni 100% D. Untuk campuran biodiesel 5% BD, 10% BD, dan 15% BD memiliki sudut yang sama dengan solar murni 100% D yaitu 19o. Perbedaan sudut jelas terlihat pada campuran 20% BD dan 100% BD. Campuran 100% BD memiliki sudut yang lebih besar dari solar murni 100% D, yaitu sebesar 21o.Sedangkan campuran 20% BD memiliki sudut
56
yang lebih kecil darpada minyak solar murni 100% D. Ini berarti dapat dikatakan bahwa
kecenderungan
penambahan
persentase
biodiesel
pada
solar
akan
mengakibatkan sudut semprotannya menjadi lebih besar daripada minyak solar murni itu sendiri. Hal ini dikarenakan kekentalan minyak biodiesel yang relative lebih besar, sehingga memiliki hambatan yang besar pada semprotannya sehingga semprotannya akan cenderung melebar daripada memanjang. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa sudut yang dibentuk oleh semprotan biodiesel dan campurannya dengan dengan solar, memiliki sudut dengan kisaran nilai antara 15o sampai 25 o (Li guan, 2007).Hal ini berarti memang sudah sesuai antara hasil pengujian pada penelitian ini, dengan hasil yang didapat pada penelitian – penelitian sebelumnya. Sedangkan
untuk
besarnya
sudut
semprotan
menggunakan rumus berikut ini (Borman, 1998) :
Dimana
; dan
Sehingga :
secara
teoritis,
dapat
57
Nilai ini sudah hampir sesuai dengan sudut semprotan yang terjadi pada hasil pengujian ini yang sebesar 13o - 19o (nilai rata – rata dari sebagian besar semprotan yang terjadi) . 6.3 Analisis distribusi diameter butiran Terlihat dari tabel 5.3 dan 5.4 pada bab 5 diatas, bahwa jumlah butiran yang ada pada semprotan akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya persentase campuran biodiesel. Untuk campuran 5% BD, jumlah total butirannya mencapai 5982 buah butiran, sementara campuran 10% BD, 15% BD, 20% BD dan 100% BD jumlah butirannya masing – masing adalah 5429 butir, 5056 butir, 4806 butir, dan 3013 butir. Namun demikian terdapat kesamaan dalam hal persentase ukuran diameter butiran yang paling dominan. Ukuran diameter butiran yang paling mendominasi pada tiap semprotannya adalah butiran dengan ukuran diameter 40 – 50 µm.Ukuran diameter yang paling dominan pada semprotan 5% BD sampai 100% BD adalah sekitar 40 – 50 µm dengan persentase rata – rata sekitar 50% dari jumlah butiran yang ada. Sedangkan pada minyak solar murni 100% D, diameter yang paling dominannya adalah berukuran 52 µm dengan persentase 79%, jauh lebih besar nilainya dari semua nilai persentase pada biodiesel dan campurannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan persentase biodiesel pada solar murni akan mengakibatkan jumlah
58
partikel yang paling kecil akan berkurang
persentasenya seiring dengan
meningkatnya persentase biodiesel pada solar tersebut.
Gambar 6.1 Perbandingan dengan Penelitian sebelunya. Jika dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat banyak perbedaan tentang distribusi ukuran diameter butiran ini. Penelitian sebelumnya dengan metode dan variable yang sama, didapatkan hasil diameter semprotan yang paling mendominasi adalah butiran dengan ukuran diameter sekitar 10 – 25 µm saja seperti terlihat pada gambar 6.1 diatas (liguang,2007). Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan oleh adanya kebocoran pada sisi lubang nosel injector yang mengakibatkan semburannya makin banyak sehingga panjang tip penetrasinya lebih panjang dan juga butiran yang terjadi pada semprotannya menjadi lebih besar ukuran diameternya daripada ukuran seharusnya. Sedangkan pada table 5.4 pada bab 5 diatas juga didapatkan nilai diameter rata – rata yang terjadi pada semprotan dengan minyak solar (100% D), didapatkan diameter rata – ratanya adalah sekitar 60 µm dan yang paing besar adalah terjadi pada campuran minyak biodiesel 20%, dimana didapatkan nilai diameter rata – rata sebesar
59
82 µm. Sementara nilai diameter rata – rata dari semprotan yang terjadi ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Sauter Mean Diameter (SMD ) berikut (Viriato, et al.1996) :
Dimana dari data – data sifat minyak biodiesel murni (100% BD) yang ada pada lampiran didapat :
Sehingga nilai teoritis dari diameter rata – rata untuk semprotan pada minyak 100% BD tersebut adalah sbb :
= 44.8 µm Nilai ini lebih kecil daripada nilai yang didapat dari hasil pengujian yang diameter rata – ratanya berkisar pada nilai 60 – 80 µm.