81
BAB VI PEMBAHASAN
Hasil analisis penelitian tentang pengecatan plafon menggunakan tangkai pegangan roller cat yang telah dimodifikasi menurunkan beban kerja, keluhan muskuloskeletal, kelelahan serta meningkatkan produktivitas pekerja Rukan di Denpasar. Dalam pembahasan ini akan dijabarkan kondisi subjek yang meliputi umur, berat badan, tinggi badan, dan lama pengalaman kerja; kondisi lingkungan yang meliputi suhu basah, suhu kering, intensitas kebisingan, intensitas penerangan, kelembaban udara relatif; penggunaan alat dan cara kerja yang mendapatkan perbaikan. 6.1 Kondisi Subjek Subjek pada penelitian ini adalah pengecat plafon Rukan di Denpasar berjenis kelamin laki-laki dengan karakteristik yang dibahas adalah umur, berat badan, tinggi badan dan antropometri tangan. 6.1.1 Umur Hasil analisis terhadap 16 orang pekerja pengecat plafon Rukan di Denpasar menunjukkan bahwa rerata umur subjek 25,87 ± 5,16 tahun, dengan rentangan umur subjek yang telah ditetapkan, yaitu antara 20−38 tahun. Berkaitan dengan umur, Manuaba (1998) menyatakan bahwa kapasitas fisik seseorang berbanding langsung sampai batas tertentu dengan umur, dan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Sedangkan Nala (1994) mengatakan bahwa pengaruh kemampuan fisiologis otot berada pada rentang umur 20 sampai dengan
81
82
30 tahun. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut di atas baik mengenai kapasitas fisik maupun kemampuan fisiologis otot yang mensyaratkan bahwa umur produktif mencapai kondisi optimal pada umur 25 tahun, maka umur subjek dalam penelitian ini tidak terlalu jauh dari syarat tersebut. Rentang umur ini adalah rentang umur yang produktif, dimana subjek melakukan aktivitas dengan kekuatan fisik yang optimal. Kondisi yang sama dapat dilihat dari penelitian Trinawindu (2010) terhadap mahasiswa praktek cetak saring di Studio Desain Komunikasi Visual, FSRD ISI Denpasar dengan rerata umur 20,37±1,14 tahun, demikian juga hasil penelitian Iing (2015) tentang kinerja penguji pada ujian Osce Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas islam Al-Azhar Mataram, rerata umurnya 29,3±2,7 tahun. Oleh karena itu, pengecat plafon rukan di Denpasar masih cukup mampu untuk melakukan aktivitas secara maksimal atau usia kerja produktif. 6.1.2 Berat dan tinggi badan Berat badan subjek penelitian berkisar antara 50-68 kg dengan rerata 54,75±5,35 kg dan tinggi badan berkisar 158-168 cm dengan rerata 162,88±2,94 cm. Kondisi yang hampir sama pada penelitian Santiana (2004) pada petani yang menggunakan tulud modifikasi, yaitu antara 55-81 kg dengan rerata 63,28+ 7,40 kg dan tinggi badan berkisar 160,3-167,5 cm dengan rerata 164,59+1,73 cm. Demikian juga hasil penelitian Dharmayanti (2011) tentang perubahan sikap kerja perajin bola mimpi di Desa Budaga, berat badan berkisar 54-65 kg dengan rerata 58,12+4,80 kg dan tinggi badan berkisar 158-173 cm dengan rerata
83
165,69+0,03 cm. Jika dilakukan perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan, maka rerata subjek penelitian berada dalam kategori berat badan ideal. Berat badan dan tinggi badan merupakan salah satu aspek antropometri yang sangat penting berkaitan dengan kapasitasnya untuk melakukan kegiatan. Dalam NIOSH dalam Suputra (2003) menyatakan bahwa tinggi badan berat badan dan indeks masa tubuh mempunyai korelasi kuat terhadap resiko terjadinya gangguan otot skeletal. Jika Seseorang dengan indeks masa tubuh lebih besar dari 29 kg/m2 (gemuk) mempunyai resiko terkena gangguan muskuloskeletal 250% lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai indeks masa tubuh lebih kecil dari 20 kg/m2 (kurus). Berat badan ideal dapat dihitung dengan rumus tinggi badan (cm) dikurangi 100. Hasilnya dikurangi (10% x hasil) (Aryatmo,1981 dalam Santoso,2013). Dengan berat badan ideal, pekerja pengecat plafon dapat melakukan aktivitas secara optimal secara fisik. 6.1.3 Antropometri subjek Data antropometri subjek digunakan sebagai dasar untuk mendesain tangkai pegangan roller cat pada pengecatan plafon. Dari analisis data antropometri tinggi siku subjek reratanya 103,69+2,60 cm. Panjang telapak tangan subjek reratanya 10,88+0,76 cm, lebar telapak tangan reratanya 7,66+0,39 cm dan diameter genggam 3,45+0,13cm. Diameter genggam tangan dipakai untuk menentukan desain genggaman tangkai pegangan roller cat yang dimodifikasi. Dalam penelitian ini ditetapkan pada persenti 95. Berdasarkan pengukuran, maka desain panjang tangkai pegangan roller cat yang dimodifikasi diambil dari
84
dimensi tinggi siku berdiri 108 pada persentil 95 dan untuk diameter tangkai pegangan roller cat diambil dari dimensi genggaman tangan pada persentil 95 yaitu 3,5 cm. Perhitungan panjang tangkai pegangan roller cat juga menggunakan persentil 95 dapat diuraikan sebagai berikut: tinggi plafon dari lantai 300 cm, tinggi siku berdiri 100 cm sehingga tinggi plafon dari siku berdiri 200 cm. Karena beban kerja menggunakan berat badan bagian atas maka ditambah 15 cm di atas siku berdiri menjadi 215 cm. memperhitungkan aspek ergonomi tinggi bahutinggi siku berdiri (135-108=27 cm). Sehingga 215-27=188 cm ditambah panjang roller cat 34 cm sehingga 188+34 = 222 cm, jadi panjang tangkai pegangan roller cat menjadi 222 cm. Menurut Grandjean (1998) untuk pekerjaan halus tinggi bidang kerja 5-10 cm di atas tinggi siku, untuk pekerjaan manual tinggi bidang kerja yang sesuai adalah 10-15 cm di bawah siku dan untuk pekerjaan yang memerlukan banyak usaha dan menggunakan berat badan bagian atas, diperlukan permukaan kerja 15-40 cm lebih rendah dari tinggi siku berdiri. Berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap pekerjaan pengecat plafon baik dengan menggunakan tangkai pegangan roller cat yang lama maupun yang sudah dimodifikasi, anggota gerak yang paling banyak digunakan adalah bagian tubuh atas berfungsi untuk mendorong dan menarik tangkai pegangan roller cat sehingga tinggi bidang kerja yaitu tinggi posisi tangkai pegangan roller cat dirancang 15 cm di atas tinggi siku berdiri dengan asumsi untuk mendapatkan titik ayunan gaya bagi pengecat plafon. Penelitian yang melibatkan tinggi siku berdiri pekerja dalam merancang alat kerja, dapat dilihat dari hasil penelitian Santoso (2013) melaporkan tinggi siku pada wanita pengaduk dodol di Desa Penglatan reratanya 105,75+1,48 cm,
85
dan Richard (2013) melaporkan tinggi siku penyapu jalan wanita dengan reratanya 100,17+6,25 cm. Dengan demikian rentang tinggi siku berdiri subjek penelitian hampir sama dengan tinggi siku berdiri pekerja di tempat lainnya di Bali. Pheasant (1991) menganjurkan ukuran diameter pegangan 35 mm dan Helander (1995) menganjurkan grip 5-6 cm dengan panjang 12,5 cm. Hasil ini juga sama dengan handel yang digunakan dalam tulud yang dimodifikasi dengan rerata 3,46+0,11 (Santiana,2004). Berdasarkan wawancara mengenai penggunaan tangkai pegangan roller cat yang dimodifikasi didapatkan bahwa para pekerja pengecat plafon merasakan kenyamanan dalam bekerja. Sutajaya (2006) menyatakan bahwa antropometri tangan dimanfaatkan untuk mendesain handle, alat-alat tangan untuk mencapai kenyamanan.
6.2 Kondisi Lingkungan Lokasi penelitian terletak di Rukan Duta Wijaya, Renon Denpasar, kondisi lingkungan fisik yang diukur di lokasi penelitian meliputi suhu basah, suhu kering, kelembaban relatif yang diperoleh dari diagram psychrometri, intensitas cahaya dan kebisingan. 6.2.1 Suhu udara Kondisi lingkungan dari hasil pengukuran diperoleh suhu basah sebelum perlakuan dengan rerata dan simpang baku 28,00+1,22oC hampir sama dengan suhu basah sesudah perlakuan rerata 28,02+1,23oC. Suhu tersebut kategori nyaman, karena kenyamanan suhu basah ruang kerja orang Indonesia berkisar
86
antara 22-28oC (Manuaba,1993a). Suhu kering sebelum perlakuan diperoleh rerata 29,10+1,22oC kondisinya hampir sama dengan suhu kering sesudah perlakuan dengan rerata 28,96+1,10oC. Suhu tersebut berada pada lingkungan nyaman untuk orang Indonesia yang berkisar antara 22-28oC (PUSPERKES, 1995). Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji t-paired dengan tingkat kepercayaan α=0,05 diketahui bahwa suhu basah dan suhu kering sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan tidak berbeda secara bermakna (p>0,05). Dengan demikian kondisi suhu selama penelitian tidak memberikan pengaruh terhadap sikap kerja sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan pada stasiun kerja. 6.2.2 Kelembaban relatif udara Kelembaban relatif diperoleh dari hasil pengukuran suhu basah dan suhu kering menggunakan alat Sling termometer dan tabel psychrometric chart. Rerata kelembaban relatif sebelum perlakuan adalah 79,30+2,27% dan kelembabab relatif sesudah perlakuan rerata 79,18+2,37%. Dari analisis uji normalitas dengan uji Shapiro-Wilk diperoleh bahwa kelembaban relatif sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan tidak ada perbedaan secara bermakna (p>0,05) data berdistribusi normal. Hasil analisis uji t-paired test diperoleh kelembaban relatif sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan tidak ada perbedaan secara bermakna (p>0,05). Dengan demikian suhu lingkungan ruang pengecatan plafon tidak memberikan pengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal dan konsentrasi subjek pada kondisi sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. Hal yang sama pada penelitian Trinawindu (2010) mendapat rerata suhu lingkungan Studio Desain Komunikasi Visual, FSRD ISI Denpasar dengan suhu
87
basah sebelum perbaikan 22-23oC dengan rerata 22,60+0,52oC
dan sesudah
perbaikan 22-23oC dengan rerata 22,40+0,52oC dan kelembaban relatif sebelum perbaikan 76+5,16% dan sesudah perbaikan 75+5,27%. Menurut Manuaba (1998), Soerjani (1987) dalam Wibawa (2004) bahwa orang Indonesia yang berada di daerah tropis teraklimitasi atau merasa nyaman dengan suhu kering 26-28oC dan kelembaban antara 70-80%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suhu kering di ruangan pengecatan plafon rerata 29,10oC sebelum perlakuan dan 28,96oC sesudah perlakuan serta kelembaban relatif 79,18% diharapkan tidak berpengaruh terhadap jalannya penelitian karena lingkungan tersebut sudah teradaptasi sehingga tergolong dalam kategori nyaman. 6.2.3 Intensitas kebisingan Kebisingan yang terjadi pada saat pengecatan plafon perlu dilakukan pengukuran untuk mengetahui tingkat kebisingan yang terjadi di ruang pengecatan plafon tersebut. Kebisingan di tempat kerja dapat mengganggu kenyamanan kerja, ketenangan kerja, dan mengakibatkan penurunan daya dengar dan akibatnya menyebabkan ketulian menetap bagi pekerja yang terpapar. Selain gangguan pendengaran juga dapat menimbulkan akibat lain seperti: tekanan darah meningkat, denyut jantung dipercepat, penyempitan pembuluh darah kulit, meningkatnya metabolisme, menurunnya aktivitas alat pencernaan dan tensi otot bertambah (Manuaba,1983). Hasil pengukuran intensitas kebisingan sebelum perlakuan dengan rerata 45,10+2,01dBA dan sesudah perlakuan dengan rerata 45,00±2,05dBA yang sebagian besar berasal dari percakapan antar subjek penelitian selama melakuka pengecatan plafon. Kondisi ini masih termasuk di
88
bawah nilai ambang batas kebisingan yaitu 80dBA (Mangunwijaya,2000) sehingga tidak sampai mengganggu aktivitas pengecatan plafon rukan Denpasar. Disebutkan pula bahwa tidak semua bunyi yang keras atau gaduh dirasakan sebagai gangguan, tergantung pada perasaan dan kebiasaan masing-masing individu. Hasil analisis uji t-pired test diketahui bahwa tingkat kebisingan sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan tidak ada perbedaan secra bermakna (p>0,05). Berarti bahwa kebisingan yang terjadi di tempat pengecatan plafon tidak memberi efek fisiologis pada subjek selama penelitian. Intensitas kebisingan ini sesuai dengan ambang batas tertinggi yang masih dapat diterima subjek tanpa mengakibatkan gangguan daya dengar yang tetap untuk waktu kerja tidak lebih dari 8 jam sehari adalah 85 dBA (Suma’mur,1995). Menurut Grandjean & Kroemer (2000); bahwa kebisingan di bawah 85 dBA masih dalam batas normal. 6.2.4 Intensitas penerangan Dari hasil pemantauan dan pengukuran selama penelitian berlangsung didapatkan rerata intensitas penerangan sebelum dan sesudah perbaikan 356,11± 8,25 lux. Intensitas penerangan ini dianalisis dengan uji t-paired ternyata tidak berbeda bermakna (p>0,05). Pada penelitian Trinawindu (2010) penerangan Studio Desain Komunikasi Visual FSRD ISI Denpasar mendapatkan rerata intensitas cahaya 352,70+7,49 lux. Sesuai dengan rekomendasi intensitas penerangan untuk membaca dan menulis adalah antara 350-700 lux (Manuaba, 1998b). Hal ini menunjukkan bahwa intensitas pada stasiun kerja pengecatan
89
plafon sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan tidak ada perbedaan sehingga tidak memberi efek fisiologis pada subjek selama penelitian.
6.3 Beban Kerja Untuk mengetahui beban kerja dapat diprediksi dari denyut nadi pekerja karena denyut nadi adalah salah satu indikator yang bisa digunakan untuk menentukan tingkat beban kerja seseorang. Bila tubuh dalam keadaan aktif maka denyut jantung meningkat, atau tubuh dalam keadaan emosi dan ketakutan maka denyut jantung juga meningkat. Berdasarkan frekuensi denyut nadi tersebut dapat diketahui kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dengan tuntutan tugas pekerjaan yang dilakukan serta tingkat keselarasan yang mempengaruhi nilai produktivitasnya (Santosa,2013). Denyut nadi istirahat (DNI) merupakan indikator kesehatan manusia. Denyut nadi istirahat orang dewasa adalah 60-80 dpm yang diukur saat bangun pagi atau sebelum melakukan aktivitas apapun. Denyut nadi istirahat bisa lebih tinggi jika seseorang dalam keadaan ketakutan, habis berolahraga dan demam (Nursingbegin,2011). Dari hasil analisis tersebut didapat bahwa rerata denyut nadi istirahat pada masing-masing perlakuan adalah tidak berbeda secara signifikan (p<0,05), artinya bahwa kondisi denyut nadi awal subjek bisa dianggap sama atau memberikan pengaruh yang sama terhadap masing-masing perlakuan. Rerata denyut nadi kerja subjek pada sebelum perlakuan adalah 118,95+2,30 dpm termasuk kategori beban kerja sedang. Rerata denyut nadi kerja subjek penelitian pada sesudah perlakuan
90
adalah 111,90+6,58 dpm yang termasuk ke dalam kategori kerja sedang. Nadi kerja pada stasiun kerja sebelum perlakuan reratanya 58,18+3,37 dpm dan pada stasiun kerja sesudah perlakuan 51,91+3,57 dpm. Menurunnya beban kerja disebabkan dengan penggunaan tangkai pegangan roller cat yang sudah mengacu pada antropometri pekerja memberikan kenyamanan pada saat bekerja, sehingga beban kerja dirasakan lebih ringan dan kondisi tubuh masih bisa santai.
6.4 Penurunan Kelelahan pada Pengecatan Plafon Kelelahan adalah suatu keadaan sementara yang ditimbulkan oleh aktivitas yang berlebihan atau berkepanjangan yang dimanifestasikan sebagai penurunan fungsi aktivitas, fungsi kapasitas organ, baik pada organ itu sendiri atau seluruh tubuh dan dirasakan secara spesifik sebagai kelelahan umum. Kelelahan merupakan tanda alami tubuh untuk segera beristirahat, biasanya berkaitan dengan bekerja dalam waktu yang lama. Kelelahan dalam industri mengacu pada tiga gejala yang berhubungan yaitu (1) rasa lelah; (2) perubahan fisiologi dalam tubuh misalnya saraf dan otot tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan (3) menurunnya kapasitas kerja (Barnes dalam Santoso,2013). Kelelahan adalah salah satu cara dari tubuh mengingatkan bahwa ada persoalan dalam tubuh kita yaitu ketika badan terasa lelah barulah disadari bahwa ada penyebab yang harus dihilangkan. Kelelahan harus ditangani dengan baik, karena kelelahan yang berkepanjangan akan dapat menurunkan produktivitas kerja. Kelelahan pada pengecat plafon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti (1) task yaitu penggunaan alat tradisional/tidak sesuai standar; (2) organisasi
91
kerja, yaitu waktu kerja dalam sehari; (3) lingkungan kerja; (4) faktor gizi; (5) kondisi kesehatan dari subjek sendiri. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa rerata skor kelelahan sebelum perlakuan adalah 44,00±2,66 sebelum bekerja dan 74,22±3,88 setelah bekerja. Pada uji t-paired sesudah perlakuan didapatkan skor kelelahan dengan rerata 44,44±2,00 sebelum bekerja dan 64,50±2,88 sesudah bekerja. Data rerata beda skor kelelahan sebelum perlakuan adalah 30,62±4,51 dan 20,06±3,30 setelah perlakuan. Hasil uji efek perbedaan skor sebelum dan sesudah kerja sebelum perlakuan dengan sebelum kerja dan sesudah kerja sesudah perlakuan menggunakan uji Wilcoxon menunjukkan p=0,005 yang artinya berbeda secara signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Ada penurunan tingkat kelelahan sesudah perlakuan yang mencapai 3 atau 34,49%. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa perbaikan alat dan cara kerja yang mengacu pada antropometri tangan pengecat plafon dapat mengurangi kelelahan pengecat plafon sebesar 34,49%. Penurunan kelelahan disebabkan sikap kerja mengecat plafon yang alamiah dan didukung dengan penggunaan tangkai pegangan roller cat yang sesuai dengan antropometri pekerja, memudahkan dalam melakukan pekerjaan mengecat karena ukuran dan berat alat tidak terlalu membebani pekerja dalam beraktivitas.
6.5 Penurunan Keluhan Muskuloskeletal Sikap kerja pengecat plafon adalah sikap kerja berdiri dalam waktu yang cukup lama sehingga sering menimbulkan keluhan-keluhan pada beberapa organ
92
tubuh pekerja. Adanya keluhan yang dirasakan oleh pengecat plafon dikarenakan adanya sikap kerja paksa dan kerja dengan postur tubuh yang tidak alamiah. Keluhan muskuloskeletal subjek dihitung berdasarkan selisih skor dari hasil pengisian kuisioner Nordic Body Map dan skala Likert
pada sebelum
dan
sesudah perlakuan berdasarkan empat skala. Semakin tinggi angka skor total keluhan muskuloskeletal maka semakin tinggi tingkat keluhan muskuloskeletal pada subjek penelitian. Perbedaan rerata keluhan muskuloskeletal pada sikap kerja sebelum perlakuan sebesar 33,43±2,06, sedangkan pada sikap kerja sesudah perlakuan dengan rerata sebesar 78,50±5,84, sehingga terjadi penurunan keluhan subjektif sebesar 37,17% dan berbeda bermakna (p<0,05). Ini disebabkan penggunaan tangkai pegangan roller cat yang sesuai dengan antropometri pekerja membawa perubahan dari segi kecepatan dalam melakukan aktivitasnya. Karena berat tangkai pegangan roller cat lebih ringan sehingga beban alat kerja tidak begitu mempengaruhi beban kepada pekerja. Sehingga runtutan dalam bekerja mulai dari mengambil cat dibak cat dilanjutkan mengecat ke plafon memberikan cuup waktu yang lebih nyaman dan santai yang tidak membebani tubuh atau otototot skeletal lainnya. Dengan demikian perubahan stasiun kerja dan penyesuaian antropometri tubuh pekerja dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal. Dalam
konsep ergonomi,
yang menjadi
prioritas utama adalah
menyesuaikan desain dan sistem kerja mesin dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia (fitting the job to the man) (Grandjean,2000). Oleh karena itu, setiap interaksi manusia dengan mesin harus dirancang sedemikian rupa. Dari uraian ini dapat disampaikan bahwa dengan memperbaiki sikap kerja dan alat
93
yang mengacu kepada antropometri pengecat plafon dapat mengurangi keluhan muskuloskeletal pengecat plafon sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
6.6 Produksi dan Produktivitas Kerja Peningkatan produktivitas kerja dapat dicapai dengan melakukan perbaikan secara terus menerus tiada henti sehingga didapatkan suatu sistem dan metode kerja yang efektif, efisien, aman dan nyaman. Efektif dilihat dari kemudahan dan kelayakan metode tersebut dikerjakan, efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, dan biaya, sedangkan aman dan nyaman maksudnya tidak menimbulkan keluhan yang berlebihan maupun cidera dan penyakit akibat kerja. Dari analisis data diperoleh rerata produksi kerja pada sebelum perlakuan 66,75±1,13 m2 dan sesudah perlakuan 77,00±4,73 m2 berbeda bermakna, terjadi peningkatan produksi kerja sebesar 13,31% dan perbedaannya bermakna (p<0,05). Demikian juga pada penelitian Santiana (2004) penggunaan tulud modifikasi dapat meningkatkan produksi meratakan tanah 78,75 m2/jam atau 33,95%. Produktivitas meningkat disebabkan penggunaan tangkai pegangan roller cat yang sesuai dengan antropometri tubuh pekerja, sehingga mempercepat penyelesaian dalam melakukan pengecatan plafon. Dengan demikian bidang plafon semakin banyak dapat diselesaikan oleh pekerja, ini berpengaruh kepada hasil atau biaya yang akan diterima oleh pekerja, hasilnya meningkat. Produktivitas adalah rasio antara jumlah produksi plafon yang telah dicat yang dihasilkan dalam 1 jam terhadap beban kerja. Karena terjadi peningkatan
94
produksi dan sekaligus juga penurunan beban kerja, maka secara langsung akan meningkatkan produktivitas kerja. Dari analisis data diperoleh rerata produktivitas kerja pada sebelum perlakuan 10,29+0,17 dan sesudah perlakuan 11,87+0,73 berbeda bermakna, terjadi peningkatan produktivitas kerja sebesar 15,35%. Pheasant (1991) menyatakan bahwa perbaikan sikap kerja dapat meningkatkan produktivitas sebesar 20 sampai dengan 25%, sedangkan Dharmayanti melaporkan terjadi peningkatan produktivitas kerja sebesar 40,00% pada perajin bola mimpi, akibat adanya perbaikan alat kerja. Didukung juga penelitian Trinawindu (2010) mengenai praktek cetak saring yang disesuaikan dengan antropometri tangan mahasiswa dapat meningkatkan produktivitas kerja sebesar 12,49%. Begitu juga dalam penelitian Radiawan (2008) tentang modifikasi alat penyisitan pandan yang disesuaikan dengan antropometri tangan perajin dapat meningkatkan produktivitas sebesar 15,90% (p<0,05). Putra (2004) menyatakan bahwa dengan memperbaiki sikap kerja dan penambahan spon pada gagang gergaji kayu mengalami peningkatan produktivitas sebesar 48,72%.
6.7 Biaya dan Manfaat Manfaat yang diperoleh dari penggunaan tangkai pegangan roller cat yang dimodifikasi, dapat dianalisis sebagai berikut: 1. Dari segi waktu Rerata produksi pengecatan plafon menggunakan tangkai pegangan roller cat lama 66,75 m2/jam, dan menggunakan tangkai pegangan roller cat modifikasi 77,00 m2/jam, atau terjadi peningkatan produksi
95
sebesar 10,25 m2/jam. Hal ini berarti bekerja dengan menggunakan tangkai pegangan roller cat modifikasi lebih banyak bidang plafon yang dapat dicat. 2. Dari segi pendapatan dan pengeluaran a. Pendapatan pekerja pengecat plafon 1) Pengecatan plafon dengan tangkai roller cat lama dalam sehari 66,75 m2/jam x 2 = 133,5m2/hari. Bila upah pengecat plafon Rp. 10.000/m2, maka biaya pengecatan plafon = Rp. 1.335.000 /hari. 2) Pengecatan plafon dengan tangkai roller cat modifikasi meningkat
10,25m2/jam
atau
77,00m2/jam.
Jadi
upah
pengecatan plafon akan meningkat menjadi 211 m2/hari x Rp. 10.000 = Rp. 2.110.000/hari. b. Pengeluaran pemilik rukan Dengan menggunakan tangkai pegangan roller cat modifikasi, pengeluaran pemilik rukan untuk pengecatan plafon menjadi lebih sedikit karena waktu yang dibutuhkan oleh pekerja lebih cepat. 3. Break Event Point Biaya modifikasi untuk tangkai pegangan roller cat Rp. 5.000,-. Dengan
modifikasi,
ada
peningkatan
penghasilan
sebesar
Rp. 775.000,-/hari. Jadi break event point sudah tercapai setelah alat modifikasi beroperasi selama 2 hari.