BAB VI KESIMPULAN
Proses mobilitas orang India ke Kota Medan dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama, perpindahan orang India sebelum Medan menjadi sebuah kota kolonial pada akhir abad ke19. Periode kedua, perpindahan orang India setelah Medan menjadi kota kolonial pada awal abad ke-20. Daya tarikMedan sebagai pusat administrasi perkebunan dan pemerintahan mampu menarik minat orang India untuk bermobilitas ke Medan pada akhir abad ke-19. Orang India yang berpindah ke Medan pada saat itu terdiri dari bekas buruh perkebunan dan pendatang baru lainnya. Faktor pendorong orang India
yang
berstatus
bekas
buruh
perkebunan
untuk
berurbanisasi ke Medan adalah buruknya sistem perkebunan Sumatera Timur yang mendorong mereka mencari penghidupan lebih baik di Kota Medan. Selain bekas buruh, terdapat juga para pendatang baru yang bermigrasi ke Medan.Namun pada saat itu, Medan masih sebagai pusat pemerintahan dan pusat administrasi perkebunan, belum menjadi sebuah kota kolonial. Baru pada awal abad ke-20, Medan menjadi sebuah kota modern ciptaan kolonial. Modernitas kota yang menawarkan berbagai kesempatan kerja kemudian menarik orang India dalam jumlah besar memasuki Kota Medan, baik
222
bekas
buruh
perkebunan
maupun
pendatang
baru
yang
berpindah secara bersamaan. Bekas buruh perkebunan yang berurbanisasi ke Kota Medan sebagian besar adalah orang Tamil, sedangkan pendatang baru yang tanpa lebih dulu bekerja di perkebunan didominasi oleh orang Sikh, Chetti, dan Sindhi (Bombay). Dalam beberapa kasus, orang Tamil yang datang ke Kota Medan ternyata juga tidak lebih dulu bekerja di perkebunan. Istilah yang tepat untuk orang India yang bermigrasi ke Kota Medan adalah marginal man atau orangorang yang tidak puas akan keadaan di negara asalnya, kemudian bermigarasi untuk mencari peruntungan ekonomi di negeri orang. Pergeseran ruang tersebut sangat signifikan berpengaruh terhadap perubahan pekerjaan orang India di Kota Medan. Mereka secara spontan mengalami diversifikasi pekerjaan, mulai dari bidang pekerjaan yang mensyaratkan keterampilan, semi-terampil, sampai pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Misalnya, sebagian besar bekas buruh perkebunan cenderung menekuni pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus, seperti pencari rumput, kusir sado, dan sais gerobak sapi. Bekas buruh perkebunan juga menekuni pekerjaan yang bersifat semi-terampil, seperti opas, supir mobil, dan peternak lembu. Sementara itu, kebanyakan pendatang baru menekuni lapangan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, seperti berdagang dan kerani perusahaan swasta.
223
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan antara pergeseran mobilitas ruang dengan pekerjaan orang India di Kota Medan.
Hubungan
kedua
hal
itu
selanjutnya
berpengaruh
terhadap kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan, baik relasi
sosial,
gaya
hidup,
kegiatan
budaya
hingga
agama.
Kehidupan sehari-hari mereka cenderung berubah, meskipun ada beberapa aspek kehidupan dari perkebunan yang masih berlanjut. Ketika berpindah ke ruang Kota Medan, orang India masih tetap mengalami stratifikasi, baik dari segi pemukiman maupun struktur sosial. Pemukiman mereka cenderung terkonsentrasi di satu kampung, yakni Kampung Kling. Akan tetapi, saat peraturan tempat
tinggal
(wijkenstelsel)
dihapuskan
oleh
pemerintah
kolonial, pemukiman orang India telah menyebar ke
beberapa
kampung di Kota Medan. Sementara itu, struktur sosial yang dibentuk pemerintah kolonial menempatkan orang India pada status sosial di bawah orang Eropa, tetapi masih satu tingkat lebih tinggi dibandingkan orang bumiputra. Segregasi
rasial
yang
dibentuk
pemerintah
kolonial
membuat relasi sosial orang India cenderung bersifat satu arah, mereka hanya berelasi antar sesama bangsa saja, seperti orang Tamil dengan Tamil saja. Akan tetapi, ketika mereka berada di ruang budaya dan agama, relasi tersebut menjadi dua arah tapi tetap dalam lingkup agama Hindu. Kondisi itu bertolak belakang sewaktu
mereka
di
ruang
ekonomi.
Ruang
inilah
yang
224
menciptakan relasi beberapa arah dari berbagai lintas etnik, meskipun hanya sesaat. Oleh karena itu, orang India cenderung membentuk dua relasi sosial di Kota Medan. Pertama, relasi sosial yang bersifat asosiatif (kerjasama, asimilasi, dan akulturasi). Kedua,
relasi
sosial
yang
bersifat
disasosiatif
(konflik,
pertentangan, dan kriminalitas). Bagaimanapun juga, kedua hubungan tersebut bersifat sangat cair, tergantung dari individu dan ruang di mana mereka berada. Gaya
hidup
seperti
berjudi
dan
mabuk
merupakan
kebiasaan yang masih terus berlanjut dari kehidupan perkebunan, meskipun mereka sudah berpindah ke ruang kota. Sementara itu, pakaian orang India sudah dipengaruhi oleh gaya berpakaian masyarakat kota kolonial. Sebagian dari orang India masih mempertahankan pakaian ke-Indiaan, namun kebanyakan sudah berpadu dengan pakaian populer masyarakat kota kolonial. Pada dekade ketujuh abad ke-20, pakaian tradisional India hanya digunakan untuk acara keagamaan atau pergelaran budaya tertentu saja. Ketika
hidup
di
lingkungan
perkebunan,
kuli
India
cenderung terkurung oleh sistem perkebunan. Setelah menjadi masyarakat kota kolonial, orang India diberi keluasaan dalam mengekspresikan dan mempromosikan kehidupan sehari-hari yang berunsur ke-Indiaan sekaligus ke-Inggrisan, melalui kegiatan organisasi sosial, kesenian, olahraga, lembaga pendidikan, dan
225
lain-lain. Kondisi ini berbeda dengan periode berikutnya dalam kekuasaan yang berbeda pula, yakni setelah orang India menjadi warganegara Indonesia.Pada masa Orde Baru, kehidupan orang India pada satu sisi kembali terkukung dan terbatas dalam melakukan aktivitas budaya, ritual agama, pendidikan, dan membentuk organisasi sosial. Namundi sisi yang lain, aktivitas ekonomi orang India dapat dijalankan secara bebas, tidak terbatas maupun dibatasi oleh apapun.Dengan kata lain, motif ekonomi orang
India
terus
berjalan
layaknya
kehidupan
sehari-hari
masyarakat kebanyakan. Meskipun dalam kenyataannya orang India merupakan the other atau minoritas diantara kemajemukan Kota Medan, tetapi mereka mampu bertahan dan mempunyai peran sentral di bidang ekonomi.
226