BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Epos Bharatayuda merupakan cerita kepahlawanan yang bersumber dari wiracarita Mahābhārata di India. Orang-orang Jawa berhasil menginterpretasikan kembali wiracarita tersebut menjadi bagian dari sejarah budaya mereka. Bharatayuda merupakan epos yang sangat terkenal bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi penggemar dan penikmat sastra pewayangan. Menurut garis besarnya, Bharatayuda menceritakan peperangan antara Pandawa melawan para Kurawa (Poerbatjaraka, 1952: 24). Disebutkan pula oleh Zoetmulder, Bharatayuda (dalam versi Jawa Kuna kakawin ditulis Bhāratayuddha) mengikuti kisah peperangan antara Pandawa dan Kurawa yang dimulai dengan persiapan perang agung dan diakhiri dengan penobatan Yudhistira menjadi raja Hastinapura (Zoetmulder 1994: 323-332). Epos Bharatayuda sebagai karya adaptasi atas Kakawin Bhāratayuddha ditulis dalam bahasa Jawa Kuno berbentuk puisi yang digubah oleh Mpu Seddah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh pada tahun 1157 pada masa pemerintahan Jayabhaya di Kadiri (Zoetmulder, 1994: 338-342). Ciri khas kebudayaan Jawa terletak pada kemampuan luar biasa membiarkan diri dibanjiri oleh gelombanggelombang kebudayaan yang datang dari luar, dan dalam banjir tersebut tetap mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dapat mencerna masukan-
1
2
masukan kultural dari luar. Dalam perkembangannya di lingkungan kesusastraan Jawa, Kakawin Bhāratayuddha digubah dalam bentuk karya baru, baik berupa tembang macapat maupun kawi miring. Penggubahan terhadap Kakawin Bhāratayuddha tersebut banyak dilakukan pada zaman renaissancce sastra Jawa klasik di lingkungan keraton Jawa Tengah abad 18 M. sampai dengan abad 19 M. (Pigeaud, 1967: 235-238). Perkembangan penggubahan terhadap cerita Bharatayuda terjadi pula dalam kesusastraan di lingkungan Mangkunegaran1. Hal ini disebabkan bahwa sejarah sastra pun berkembang terus menerus antara kreasi dan resepsi yang menimbulkan karya baru dalam bentuknya yang bermacam-macam (Teeuw, 1984: 214). Kegiatan kesusastraan yang berkembang di lingkungan Mangkunegaran telah dirintis sejak pertengahan abad 17 M. oleh Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian menjadi Pangeran Adipati Arya Mangku Negara I. Adapun tradisi kesusastraan maupun kesenian yang diwariskan Mangkunegara I dalam kerabat Pura Mangkunegaran telah berkembang dengan pesat pada masa Mangkunegara IV. Di bawah kepemimpinan Pangeran Gandakusuma atau Mangkunegara IV (1853-1881), Kadipaten Mangkunegaran mengalami kemajuan yang cukup pesat, baik dalam bidang tata-praja, ekonomi, maupun kebudayaan. Dalam bidang 1
Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta pada tanggal 13 Februari 1755 pecah menjadi dua bagian akibat politik Belanda, yaitu Kasunanan Surakarta di bawah pimpinan Sri Sunan Paku Buwana III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengku Buwana I (Pangeran Mangkubumi). Selang dua tahun setelah perjanjian damai tersebut dan dalam kondisi peperangan yang belum mereda, terjadi perselisihan antara Paku Buwana III dengan Raden Mas Said yang pada akhirnya diselesaikan dengan perjanjian perdamaian di Salatiga pada tahun 1757. Dalam perjanjian tersebut Surakarta harus melepaskan sebagian daerah kekuasaannya, dan diberikan kepada Raden Mas Said yang kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangku Negara (Simuh, 1988: 15).
3
ekonomi, Mangkunegara IV sangat tekun memajukan pasar-pasar tradisional, berhasil membangun beberapa pabrik gula, dan memelopori penanaman kopi di perkebunan wilayah Mangkunegaran, hingga pada akhirnya Mangkunegara IV diangkat menjadi Bapak Gula Indonesia. Sementara itu, dalam bidang kebudayaan, Mangkunegara IV amat gigih memajukan kesenian sehingga ia terpilih menjadi Ketua Dewan Kesenian Jawa. Sebagai pendampingnya, terpilih Pakubuwana IX sebagai sekretaris, serta Ranggawarsita, Wiryakusuma, dan Jayarasa sebagai anggota pengurus. Tugas dewan tersebut, antara lain membina, dan melestarikan kesenian dan kesastraan Jawa (Sedyawati 2010: 71). Mangkunegara IV juga dikenal sebagai pelestari dan pembaru seni pewayangan dengan konsep pancagatra, yaitu seni pentas/pedalangan, seni suara, seni kria, seni widya, dan seni ripta. Di samping itu, Mangkunegara IV juga dikenal sebagai pengembang teater rakyat ketoprak (Shadily, 1983: 2128). Selanjutnya, dalam bidang sastra, Mangkunegara IV terkenal dengan karya-karya piwulangnya. berdasarkan karya-karya yang dapat dilacak, terdapat 35 judul yang dapat diidentifikasi sebagai karya Mangkunegara IV, yang sebagian besar berupa piwulang (Pigeaud, 1967). Berbagai keberhasilan yang dicapai Mangkunegara IV membawa kejayaan bagi Pura Mangkunegaran. Kala itu, Kadipaten Mangkunegaran mengalami zaman keemasan. Adapun salah seorang juru tulis istana (carik) atau pujangga yang berasal dari Kadipaten Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara IV adalah Raden Panji Suryawijaya. Sebagai seorang pujangga, banyak karya-karya yang ia ciptakan, baik berupa karya asli maupun gubahan dari
4
karya-karya adiluhung zaman Jawa Kuna. Selanjutnya, pada pertengahan abad ke 18 M. setelah ia diangkat dan bekerja sebagai sekretaris Dr. Cohen Stuart di Batavia, karya-karya yang dihasilkannya semakin banyak. Karya yang dihasilkan oleh Suryawijaya sebagian besar berbentuk tembang macapat dan bersumber dari cerita wayang (Pigeaud, 1967: 262). Adapun hasil karya Suryawijaya di antaranya adalah Surya Ngalam, Sěca Wardaya, Raṇḍa Guna Wěcana, Serat BasiranBasirun, Serat Dewaruci, Serat Cacandhěn Tenungan, Warni-warnining Serat, Serat Kawi Jawi, Serat Srigandana, Serat Dasanama, Serat Candrasangkala, Serat Wulang, Bratayuda Sabil Khakuliah, Praboting Kapal, Caraka Basa, Kitab Mangko, Serat Manuhara, Dasanama Saking Pasundha, Araning Jaman Sinung Lambang, dan lain-lain (Florida, 2000; Pigeaud, 1967: 263). Karya-karya Suryawijaya di atas kebanyakan ditulis dalam bentuk tembang macapat dengan bahasa dan aksara Jawa yang dapat dikategorikan dalam naskah dan teks sastra lama. Teks-teks sastra lama kebanyakan masih tersimpan dalam bahan pustaka berupa naskah tulisan tangan yang sudah rapuh dan rusak kondisinya. Dalam tradisi sastra tulis, sastra Jawa sejak awal perkembangannya menggunakan pelbagai media sebagai sarana penyebarluasannya. Berbagai jenis bahan dan alat telah dimanfaatkan oleh para pujangga dalam mewariskan pengetahuan berdasarkan pengalaman dan penghayatan hidupnya (Zoetmoelder, 1983: 186). Genre sastra yang dikenal dalam tradisi sastra Jawa secara tekstual pada dasarnya telah mencerminkan sumber-sumber cerita yang diambil, yaitu karya sastra Jawa Kuna dan Sanskerta, yang penelusuran interteksnya di antara kedua
5
tradisi sastra tersebut sudah dilakukan oleh berbagai pakar. Bahasan Zoetmulder (1983: 80, 119) terutama berkaitan dengan asal-usul genre sastra parwa dan demikian juga dengan pembahasan genre sastra kakawin, telah mengemukakan bahwa cerita itihāsa (epos) Rāmāyana dan Mahābhārata menunjukkan pengaruh dari segi materi teks cerita yang sangat luas. Bahkan, untuk genre sastra kakawin, dengan jelas dapat ditunjukkan adanya “peniruan” dalam arti luas atas kavya Sanskerta. Berdasarkan materi cerita yang diambil tersebut, ternyata dapat disimak munculnya beberapa genre cerita, seperti genre cerita petualangan (ayana), yang pada tradisi sastra Jawa Pertengahan kemudian tampil dengan karakteristik yang sangat khas dalam genre sastra kidung, yaitu tokoh Panji sebagai petualangnya. Barangkali dapat juga dikatakan bahwa genre cerita petualangan (ayana) Jawa Kuna dari Arjuna juga mengilhami lahirnya sastra-kelana (perkelanaan di dunia Jawa) yang serta merta dengan petilasan yang ditinggalkannya. Selain kecenderungan tematik ayana, kedua epos Sanskerta tersebut di atas juga sangat kaya memarkahi tematik “pengagungan” dan “keksatriaan” yang secara naratif terungkap dengan motif-motif, seperti jaya (kemenangan), wiwaha (perkawinan), yuddha (peperangan), dan juga sraya (pertolongan-pengorbanan). Sebagaimana naskah-naskah lama lainnya, Bratayuda Sabil Khakuliah (selanjutnya disebut BSK) karya R. Panji Suryawijaya, adalah salah satu naskah lama berbahasa Jawa. Dalam khazanah sastra Jawa, naskah BSK termasuk dalam
6
kelompok teks sastra suluk2. Adapun suluk merupakan satu di antara empat jenis kepustakaan Islam Kejawen3. Teks sastra jenis ini terasa sangat menonjol pengaruh ajaran tasawuf dan tuntunan budi luhurnya. Simuh (1995: 2-3) mengklasifikasikan kepustakaan Jawa atas dua bagian, yaitu kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam santri adalah kepustakaan yang bercirikan dengan ajaran syariat, yang merupakan dasar fundamental, yang merupakan ukuran untuk membedakan antara ajaran yang lurus dan yang benar dengan ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam. Sedangkan kepustakaan Islam Kejawen merupakan perpaduan unsur-unsur ajaran Islam dengan tradisi budaya Jawa. Ciri utamanya adalah penggunaan bahasa Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek syariat, bahkan sebagian ada yang kurang menghargai syariat. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pakar yang membidangi sastra, tampaknya
belum
banyak
membantu
untuk
memasyarakatkan
dan
mengembangkan sastra tradisional. Gejala tersebut dapat dilihat dari sedikitnya buku yang mengangkat karya sastra lama sebagai objek penelitian. Hal itu mungkin disebabkan oleh kondisi teks yang masih berupa naskah dengan tulisan atau aksara daerah, juga kondisi naskah yang rusak sehingga mempersulit penelitian yang akan dilakukan. Karya-karya sastra lama menjadi tidak terbaca sehingga teks-teks yang mungkin dapat difungsikan sebagai informasi budaya 2
Suluk berasal dari kata salaka berarti melalui, menempuh, jalan atau cara. Dalam kaitannya dengan ajaran spiritual, suluk juga dapat dimaknai transformasi sikap mental spiritual untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan penyucian diri lahir batin menempuh jalan kehidupan rohani yang lebih baik, yang lebih sempurna, sehingga tercapai kedekatan dengan Tuhan, bahkan bersatu dengan Tuhan (Salam, 2004: 41). 3 Kepustakaan Islam Kejawen lazim disebut dengan istilah primbon, serat, suluk dan wirid (Simuh, 1988: 3).
7
masa lalu atau pun ajaran yang masih relevan untuk masa sekarang hanya tersimpan tidak dapat difungsikan dan sastra lama mati. Berkaitan dengan peninggalan masa lampau yang berupa tulisan, maka diperlukan suatu ilmu yang dapat digunakan untuk meneliti peninggalan berupa tulisan tersebut. Ilmu tersebut adalah filologi. Kata filologi berasal dari Yunani yang artinya ‘cinta kata’ sebagai pengejawantahan pikiran, kemudian berkembang menjadi ‘perhatian terhadap sastra atau kebudayaan’, dan pada akhirnya studi ilmu sastra. Adapun objek penelitian ilmu filologi adalah naskah dan teks (Baroroh-Baried, dkk., 1994: 4). Dalam naskah lama, sebenarnya banyak terkandung nilai-nilai positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu lain, seperti agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesehatan, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Namun, prosedur penelitian filologi yang demikian ketat, menjadikan filologi mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan karena peneliti merasa enggan. Sebagai contoh, dari segi aksara dan bahasa yang kebanyakan dalam teks naskah-naskah tersebut menggunakan aksara dan bahasa daerah tertentu dimungkinkan sudah tidak banyak yang mengetahui, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan akses dan koleksi tempat penyimpanannya. Jika dalam tahap pembacaan di level awal saja masih sulit diakses, apalagi proses pemahaman yang mendalam terhadap teks. Pada akhirnya, naskah yang berisi nilai-nilai luhur peninggalan masa lalu, hanya menjadi artefak belaka dan tertumpuk di perpustakaan menunggu lapuk tanpa ada tangan peneliti menyentuhnya.
8
Tugas utama seorang filolog adalah membuat teks terbaca/dimengerti. Untuk itu sebuah teks hanya akan mempunyai signifikasi penuh jika bisa memandangnya dalam konteks yang tepat, atau sebagai bagian dari sebuah keseluruhan, yang muncul bersama dengan karya lain yang sejenis. Pengertian tersebut bisa dimengerti bahwa, lebih baik tidak memikirkan sebuah teks sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, baik dalam hal waktu, tempat, maupun lain-lainnya; seolah-olah tanpa konteks, karena bagian dari signifikansinya diperoleh dari latarnya. “Latar” ini terbuka untuk berbagai interpretasi; misalnya, dapat mencoba menempatkan teks itu dalam periode historis, melihat cara kerjanya dalam masyarakat, atau memandangnya dalam latar belakang budayanya atau sebagai bagian dari sejarah sastra (Robson, 1994: 12-13). Naskah Bratayuda Sabil Khakuliah pada awalnya oleh Suryawijaya ditulis dengan judul Serat Srigandana (selanjutnya disebut SS). Selanjutnya, pada tahun 1883 naskah SS oleh Batavia Lands Drukkerij diterbitkan dalam versi cetak beserta dengan sinopsisnya (Florida, 2000: 264), namun, ketika teks SS ini ditulis ulang dan diberi nama BSK oleh Suryawijaya, terjadi perubahan di dalamnya. Signifikasi tersebut dapat terlihat ketika dilakukan pembacaan terhadap SS dan BSK, ajaran-ajaran yang sebelumnya berisikan filsafat Hindu-Jawa banyak berubah menjadi Islam-Jawa. Hal tersebut sejalan dengan prinsip dasar kerja filologi, yaitu munculnya variasi-varisi dalam teks yang tersimpan dalam naskah. Baroroh (1994: 5) mengemukakan bahwa dalam penyalinan naskah, teks senantiasa mengalami perubahan sehingga lahirlah wujud teks yang bervariasi.
9
Maka, dengan adanya variasi-variasi untuk suatu informasi masa lampau yang terkandung dalam naskah itulah yang melahirkan kerja filologi. Munculnya naskah dalam sejumlah variasi pada naskah-naskah salinannya adalah karena faktor-faktor yang ada dalam proses transmisinya. Karya-karya sastra lama di Indonesia, sebagai produk masa lampau mengalami proses transmisi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi berikutnya, dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain. Proses transmisi dengan tangan dan dilakukan oleh penyalin dengan latar belakang sosial budaya yang beraneka macam merupakan faktor yang besar dalam melahirkan wujud teks salinan yang bervariasi (Reynold & Wilson, 1975). Baroroh (1994: 5) juga mengungkapkan bahwa munculnya variasi memperlihatkan satu sifat penurunan suatu teks yang tidak pernah setia. Secara sengaja atau tidak disengaja penurunan yang dilakukan oleh manusia penyalin akan menimbulkan bentuk penyalinan yang tidak setia. Faktor manusia dengan berbagai keterbatasannya dan manusia dengan berbagai subjektivitasnya mempunyai peran yang penting dan menentukan terhadap hasil salinannya. Fenomena yang ada di dalam naskah BSK dapat dikatakan bahwa, apa yang terealisasi dalam BSK merupakan wujud gudang pengetahuan yang dimiliki pengarang. Suryawijaya menempatkan SS sebagai wujud background untuk menciptakan foreground BSK. Gudang pengetahuan ini, selanjutnya oleh Iser disebut sebagai repertoire. Repertoire dalam pemahaman yang sederhana merupakan sesuatu yang dijadikan pengarang sebagai landasan penciptaan suatu karya, sebagai latar belakang (background) untuk menciptakan latar depan
10
(foreground) yang dituju pengarang melalui karyanya. Dalam buku The Act Of Reading: A Theory Of Aesthetic Response (1987) konsep Iser mengenai repertoire: “Repertoire adalah segala wilayah familiar/lazim yang dapat dikenali dalam teks yang dapat berupa referensi terhadap karya sebelumnya, norma sosial, unsur historis dan kebudayaan yang dibahas secara mendalam, yang oleh strukturalis Praha disebut dengan realitas ekstratekstual (1987: 69)”.
Sejalan dengan pernyataan Iser tersebut, jelas bahwa Suryawijaya sebagai seorang pujangga dalam menghasilkan karya tidak lepas dari pengalaman pribadi terhadap lingkungan sekitar, baik berupa kondisi sosial, unsur kesejarahan (historis), dan keseluruhan kebudayaan. Selain itu, dapat pula dipengaruhi oleh pengalaman/pemikiran pribadi dalam pembacaan referensi atau karya-karya sebelumnya yang menjadi background terhadap karya yang diciptakan kemudian. Dari pengalaman dan pemikiran tersebut, oleh pengarang diolah sesuai dengan kemampuan imajinatifnya untuk mengembangkan karya-karya baru. Naskah BSK, di dalamnya berisi teks yang mengisahkan cerita tentang sayembara untuk memperebutkan dua orang putri raja. Kedua putri tersebut hanya mau menerima lamaran dan bersedia menikah dengan pria yang dapat menebak sayembara yang berupa teka-teki (cangkriman). Tersebutlah di antara yang melamar adalah Sri Gandana. Sri Gandana dalam cerita digambarkan sebagai lambang kebaikan, keadilan, kejujuran, dan seseorang dengan budi pekerti yang luhur. Peserta lainnya adalah raksasa yang bernama Kala Cingkara dengan dibantu dua orang adiknya. Ketiganya melambangkan sifat dan perilaku kurang baik, yaitu sombong, licik, dan angkuh. Di akhir cerita, diceritakan sebenarnya dari mereka
11
yang
berselisih
masih
bersaudara.
Kemudian
mereka
dinasihati
agar
menghentikan peperangan dan perselisihan yang disebabkan oleh sayembara perebutan kedua putri tersebut. Dari nasihat-nasihat yang diberikan kepada mereka yang berselisih paham, terdapat nasihat mengenai bagaimana perilaku hidup di dunia ini serta syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang raja atau pemimpin yang baik. Manusia utama yang berhati sabar, berbudi luhur dan beriman kelak akan mendapatkan tempat di surga. Sebaliknya, manusia yang berkelakuan jahat, tidak mawas diri, mementingkan kepentingan sendiri, takabur dan melupakan Hyang Agung (Tuhan) kelak tempatnya di neraka. Pemilihan naskah BSK karya Suryawijaya dipilih dengan beberapa alasan. Pertama, karena teks BSK ini belum pernah dibahas/diteliti dan diterbitkan sejauh pengetahuan peneliti. Kedua, naskah BSK merupakan naskah tunggal (codex unicus), yang perlu diselamatkan keberadaannya. Seperti yang telah diketahui, naskah (khususnya naskah tunggal) sebagai produk masa lampau dengan bahan yang berupa kertas dan tinta, serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu (semenjak diciptakan sampai saat ini) telah mengalami berbagai kerusakan, baik karena faktor alam, waktu, dan manusia. Kemudian isi teks ini penting untuk diketahui, sebab sarat dengan ajaran-ajaran yang dipengaruhi filsafat Islam-Jawa. Jika dilihat dari sudut pandang ini, selain menarik, teks ini membantu dalam memahami manifestasi agama Islam di Jawa pada masa lampau. Teks BSK dituliskan dalam bentuk puisi, yaitu tembang macapat. Dalam kesusastraan Jawa pengungkapan teks dalam bentuk puisi lazim digunakan, karena puisi-puisi tersebut biasanya dilagukan atau ditembangkan pada acara-
12
acara tertentu. Adapun puisi Jawa mempunyai konvensi tersendiri, yaitu dalam bentuk bermetrum dan non metrum (bebas) (Arps, 1992). Oleh sebab itu, untuk dapat memahami teks BSK diperlukan pula pemahaman tentang konvensi puisi Jawa, dalam hal ini tembang macapat. Selain itu, teks BSK hadir dalam konvensi penulisan yang kiranya asing bagi pembaca sekarang. Teks BSK ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa. Sehingga kondisi teks yang masih mentah tersebut menyulitkan pemahaman bagi pembaca.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membagi permasalahan menjadi dua bidang, yaitu pernaskahan dan perteksan. Dalam bidang penelitian pernaskahan Bratayuda Sabil Khakuliah, peneliti menelaahnya dari sudut pandang filologi. Selanjutnya, untuk penelitian dalam bidang perteksan, adalah mengungkap perwujudan repertoire Suryawijaya atas teks Bratayuda Sabil Khakuliah. Dengan demikian, perumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Bagaimana mengahadirkan Bratayuda Sabil Khakuliah karya R. Panji Suryawijaya bagi pembaca masa kini? 2) Bagaimana perwujudan norma sosial budaya dan keterkaitan referen karyakarya terdahulu dalam Bratayuda Sabil Khakuliah sebagai repertoire?
13
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan bidang, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah peneliti kemukakan, maka tujuan teoritis yaitu: 1). Mengalihaksarakan dan menghadirkan suntingan Bratayuda Sabil Khakuliah berdasarkan kaidah-kaidah ilmu filologi; 2) menganalisis resepsi sastra dalam naskah Bratayuda Sabil Khakuliah, terutama terkait dengan repertoire atas teks Bratayuda Sabil Khakuliah yaitu mengenai perwujudan unsur historis, norma sosial budaya dan keterkaitan karya-karya terdahulu. Secara praktis, penelitian ini membuka akses bagi masyarakat lebih luas tentang kandungan Bratayuda Sabil Khakuliah. Menampilkan capaian kreasi, transformasi, dan nilai-nilai budaya masa lampau kepada generasi masa kini. Merupakan upaya menyelamatan naskah lama, sebagai warisan rohani bangsa Indonesia yang bernilai budaya. Dengan menganalisis secara resepsi, ikut memberikan kontribusi secara langsung terhadap kemajuan penelitian dalam bidang sastra. Selain itu, memberikan sumbangan ketersediaan literatur kepustakaan Islam-Jawa.
1.4. Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, penelitian dengan topik Suntingan Teks dan Terjemahan terhadap BSK belum pernah ditemukan, begitu pula penelitian-penelitian akademis terhadap teks BSK sampai penelitian ini dibuat belum ditemukan. Meski demikian, ada sejumlah tulisan yang sekiranya
14
berkaitan dengan BSK, dapat dijumpai dalam katalog naskah dan register, walaupun terbatas pada deskripsi fisik ataupun deskripsi teks. Langkah pertama dalam rangka mendapatkan petunjuk akan keberadaan naskah-naskah yang mengandung teks BSK adalah dengan cara pembacaan katalog. Pentingnya pemaparan studi katalog dalam penelitian ini adalah sebagai bentuk keakuratan dan keobjektivitasan penelitian sebagai salah satu sumber data penelitian. Adapun tulisan yang mendekati objek teks BSK adalah tulisan Wahyuningsih (1998) proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan judul Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Sri Gandana. Dalam tulisannya itu, Wahyuningsih mengkaji nilai budaya Serat Sri Gandana (SSG) dan mencari relevansi serta peranan naskah SSG dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Menurut Wahyuningsih, SSG merupakan karya sastra yang bermuatan didaktis, berisi nasehat yang dapat ditujukan kepada siapa saja karena berguna bagi kehidupan manusia. Melalui tulisan Wahyuningsih tersebut, dapat diasumsikan naskah Serat Srigandana4 yang ditulis oleh Raden Panji Suryawijaya merupakan arketipe dari naskah Bratayuda Sabil Khakuliah. Selanjutnya, penelitian mengenai teori repertoire respon estetik Wolfgang Iser sejauh ini sudah sangat banyak. Teori kajian resepsi yang dipelopori oleh Hans Robert Jauss dan estetika resepsi (Wirkungsestetik) yang dikenalkan oleh Wolfgang Iser mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Penelitian yang terbaru dari kajian teori ini dilakukan oleh Avi Vatur Rosyidah (2015), tesis 4
Keterang dalam katalog Javenese Literature in Surakarta Manuscripts. Volume 2: Manuscripts of the Mangkunegaran Palace menyebutkan R. P. Suryawijaya menulis Serat Srigandana dan diterbitkan oleh Batavia pada tahun 1883. Namun, dalam deskripsi naskah yang diteliti oleh Wahyuningsih disebutkan naskah Serat Sri Gandana versi cetak ditulis oleh R.P. Soemowidjojo dan diterbitkan oleh Batavia Land Drukkerij tahun 1883.
15
Universitas Gadjah Mada dengan judul Hikayat Seh Mardan: Suntingan dan Analisis Repertoire Wolfgang Iser. Dalam tesisnya, Rosyidah melakukan Suntingan terhadap teks HSM yang sarat norma dan doktrin sufistik. Selanjutnya, setelah melakukan suntingan terhadap teks HSM, Rosyidah menggunakan teori respon estetika Iser guna mengetahui repertoire dari HSM. Menurut Rosyidah ada tiga unsur yang menjadi repertoire teks HSM, yaitu cerita pelipurlara sebagai karya terdahulu, norma sosial dan budaya Melayu-Islam, serta norma historis kerajaan Islam di beberapa negara pada abad 16/17 M. Penelitian Rani Syafira (2014), tesis Universitas Gadjah Mada dengan judul Repertoire dalam Karya P.D James Death Comes to Pemberley: Kajian Respon Estetika Wolfgang Iser. Dalam tesisnya, Syafira terfokus mengenai repertoire P.D James terkait dengan norma sosial, sejarah, budaya, dan novel Pride and Prejudice yang diduga memiliki keterkaitan dengan proses kreativitas kepengarangan P.D James. Selanjutnya, Heru Supriyadi (2013), tesis Universitas Gadjah Mada dengan judul Resepsi Kumpulan Puisi Mencintaimu Pagi, Siang, Malam, Karya Andrei Aksana dari Dimensi Respon Estetik Wolfgang Iser. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Supriyadi ini menggunakan kumpulan puisi karya Andrei Aksana sebagai objek material yang dianalisis menggunakan konsep repertoire Iser. Dijelaskan oleh Supriyadi, bahwa dalam kumpulan puisi Andrei Aksana tersebut varian makna digunakan secara efektif oleh penyair. Puisi-puisi Andrei Aksana terkesan sangat berbobot dan utopis.
16
Penelitian tanggapan pembaca terhadap teks terdahulu, norma sosial dan historis dengan menggunakan teori resepsi respon estetik Iser, dibahas oleh Inung Setyami (2012), tesis Universitas Gadjah Mada dengan judul Repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Estetik Wolfgang Iser. Penelitian ini terfokus dengan mendeskripsikan norma sosial, kultural, dan historis yang hadir dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Dijelaskan oleh Inung bahwa masyarakat abangan atau wong cilik menjadi latar belakang norma sosial, budaya ronggeng sebagai bagian dari norma budaya, dan pemberontakan G30S PKI merupakan bagian dari norma historis yang hadir dalam karya sastra. Penelitian senada juga dibahas oleh Endah Budiarti (2012), berjudul Ravana dalam Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto: Analisis Respon estetik Wolfgang Iser. Dalam tesisnya, Budiarti menjelaskan proses pembacaan Agus Sunyoto atas teksteks Ramayana yang menjadi kreativitas kepengarangan, dan bagaimana strategi pengarang dalam merealisasikan dan merespon teks Ramayana tersebut. Dari beberapa kupasan tulisan dan penelitian yang dikemukakan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap karya BSK secara filologi belum pernah dilakukan. Sebaliknya, untuk penerapan kajian teori resepsi Iser yang digunakan guna menelaah karya-karya dalam khasanah sastra Indonesia dalam merespon karya terdahulu sudah banyak dipakai. Namun pengkajian naskah BSK dengan teori respon estetik belum diketemukan. Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada objek material yang digunakan dan metode yang digunakan dalam pelaksanaan
17
penelitian. Oleh karena itu, penelitian terhadap Bratayuda Sabil Khakuliah sebagai suatu karya sastra lama penting dilakukan, supaya pemahaman terhadap karya sastra lama lebih komprehensif dan tidak terpinggirkan.
1.5. Landasan Teori Karya sastra klasik dengan karakteristik dan kondisi yang telah tersebut di atas menuntut pendekatan yang memadai. Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah kajian resepsi yang didukung oleh teori filologi. Filologi digunakan untuk menyajikan pernaskahan, perteks-an, dan suntingan teks Bratayuda Sabil Khakuliah, sehingga teks Bratayuda Sabil Khakuliah dapat dibaca melalui suntingannya. Sementara itu, teori respon estetik (Wirkungsestetik) Iser, digunakan untuk mengungkap perwujudan repertoire dalam Bratayuda Sabil Khakuliah karya R. Panji Suryawijaya.
1.5.1. Teori Filologi Sebagai sebuah karya sastra lama, maka penelitian terhadap BSK menggunakan landasan teori filologi. Filologi dipandang sebagai pintu gerbang yang menyingkap khazanah masa lampau dan merupakan pengetahuan tentang sastra dalam arti yang luas mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan. Sastra dalam hal ini berarti hasil kebudayaan masa lampau. Kebudayaan adalah kelompok adat-istiadat kebiasaan, kepercayaan, dan nilai yang turun-temurun dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap segala situasi yang sewaktu-waktu
18
timbul, baik dalam kehidupan individu maupun dalam hidup masyarakat sebagai keseluruhan (Robson, 1978: 6-7). Dalam hal inilah Filologi, sebagai ilmu yang selama ini merupakan disiplin yang berwenang dalam mengungkap kandungan naskah-naskah lama. Filologi berasal dari bahasa Yunani, philos ‘cinta’ dan logos ‘kata’ yang berarti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Baroroh-Baried, dkk, 1994: 2). Pengertian filologi di Indonesia mengikuti penyebutan yang ada di negeri Belanda, yaitu suatu disiplin ilmu bahasa yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis
dan
bertujuan
mengungkap
makna
teks
tersebut
dalam
segi
kebudayaannya (Baroroh-Baried, dkk, 1994: 4). Dengan objek penelitiannya yang berupa naskah dan teks, maka seorang filolog memiliki dua tugas penting, yaitu menyajikan dan menginterpretasikan teks tersebut agar ‘terbaca dan dimengerti’ (Robson, 1994: 12). Sebelum membahas lebih lanjut, diuraikan terlebih dahulu perbedaan pengertian naskah dengan teks. Naskah adalah semua bahan tulisan tangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa naskah adalah benda konkret yang dapat atau dipegang. Sebaliknya, pengertian teks adalah kandungan atau muatan naskah itu sendiri, sesuatu yang abstrak (Baroroh-Baried, dkk, 1994: 55-57). Perbedaan antara naskah dengan teks adalah sebagai berikut. Sebuah teks klasik boleh dianggap sebagai sesuatu yang abstrak. Dengan kata lain, jika teks asli sudah hilang, maka dapat didekati dengan menggunakan naskah-naskah yang mewakilinya. Teori filologi menganggap keduanya sebagai hal yang terpisah. Hal ini dibuktikan
19
dengan teks bisa lebih tua dari teks yang mewakilinya, meskipun naskahnya tidak lebih tua dari pada teksnya (Robson, 1978: 17-18). Kajian filologi di Indonesia, diperkirakan pada permulaan abad ke-20 yang masih mengikuti konsep filologi dalam pengertian studi teks dengan tujuan melacak bentuk mula teks (Baroroh-Baried, dkk, 1994: 4). Kemudian pada akhir abad ke-20, studi filologi Indonesia berkembang dengan mempertimbangkan kondisi teks dan naskah yang berbeda dengan kondisi naskah dan teks yang melahirkan disiplin filologi. Sebagai akibatnya, tujuan kajian yang berupa pelacakan bentuk mula teks tidak lagi menjadi tujuan utamanya. Berangkat dari latar belakang lahirnya filologi sebagai satu istilah bagi suatu bentuk studi, filologi diperlukan karena munculnya varian-varian (varian lectiones) dalam teks yang tersimpan dalam naskah. Hal ini memperlihatkan gejala bahwa dalam penyalinan naskah, teks senantiasa mengalami perubahan sehingga muncul teks yang bervariasi. Adanya varian-varian yang mengandung informasi dalam naskah itulah yang melahirkan kerja filologi. Berkaitan dengan varian, dalam kajian filologi terdapat dua sikap yang kontradiktif dalam memandang varian-varian teks. Pertama, sikap yang memandang varian sebagai satu bentuk korup (kesalahan) yang berarti sebagai wujud kelengahan dan kesalahan penyalin, melahirkan pandangan yang oleh beberapa orang disebut filologi tradisional. Dalam konsep ini, filologi memandang varian teks tersebut secara negatif. Akibatnya, teks harus dibersihkan dari bentuk-bentuk korup. Kedua, sikap yang memandang varian sebagai bentuk kreasi yang melahirkan pandangan yang oleh sementara orang disebut dengan filologi modern. Dalam
20
konsep ini, varian dipandang secara positif yaitu menampilkan wujud resepsi— kreativitas si penyalin didukung oleh subjektivitasnya sebagai manusia pembaca teks yang akan disalin. Dalam pandangan yang kedua ini perlu diingat bahwa gejala si penyalin tetap juga dipertimbangkan dalam pembacaan (Baroroh-Baried, dkk, 1994: 5-6). Menurut Reynolds dan Wilson dalam buku Scribes and Scholars (1978), kesalahan yang terjadi ketika menyalin teks dapat digolongkan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah: (1) Kesalahan yang disebabkan oleh tulisan tangan dalam naskah aslinya yang kurang jelas, dengan akibat huruf yang mirip dikacaukan; (2) Kesalahan yang berhubungan dengan penggeseran lafal yang menimbulkan kecenderungan perubahan ejaan asli; (3) Kesalahan karena penghilangan, dalam arti beberapa huruf hilang (haplografi), jika mata penyalin melompat maju dari bait ke bait yang sama disebut saut du meme au meme; dan kadang-kadang satu baris atau bait dilupakan; (4) Kesalahan karena terdapat tambahan beberapa huruf atau kata yang diulang (dittography); (5) Kesalahan karena tertukar: baris atau bait tertukar; (6) Kesalahan karena perkataan terkena pengaruh perkataan lain yang baru saja disalin, sehingga tertulis dengan begitu saja. Selain filologi, ada satu bidang ilmu yang biasanya bekerja beriringan dengan bidang ilmu ini, yaitu kodikologi. Seperti yang tercermin dari namanya, kodikologi (codicology) berasal dari kata Latin codex (buku) dan logie (ilmu), adalah cabang ilmu filologi yang meneliti buku tulisan tangan (naskah) (Pudjiastuti, 2006: 10). Kalau filologi mengkhususkan pada pemahaman isi
21
teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dalam bahasa Indonesia kodikologi dikenal dengan sebutan Ilmu Pernaskahan. Adapun yang diteliti dalam kodikologi antara lain: bahan naskah, tempat penulisan, perkiraaan penulisan naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/iluminasi, dan lain-lain. Tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat naskah sebenarnya, penyusunan katalog, menyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskahnaskah itu (Baroroh-Baried, dkk, 1994: 56-57). Teori filologi digunakan dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini objek kajian berdasarkan naskah kuno. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tugas pertama seorang filolog adalah menyajikan teks. Menurut Reynold dan Wilson (1978: 186-187), tugas ini dibagi menjadi dua tahap besar, yaitu resencio ‘meresensi’ dan examinatio ‘pemeriksaan, pengujian’. Tahap resencio ‘meresensi’ bertujuan untuk mendapatkan naskah dasar (constituo text) yang dijadikan objek penelitian. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap ini terangkum dalam tiga langkah, yaitu (1) menginventarisasi dan menjangkau teks-teks yang sejenis yang bisa dilakukan melalui studi katalog; (2) mengeliminasi naskah-naskah tersebut berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu; dan (3) mendeskripsikan naskah yang telah dipilih. Melalui tiga langkah tersebut, diperoleh naskah dasar yang dijadikan sebagai objek penelitian. Setelah naskah dasar ditentukan, tahap selanjutnya adalah examinatio ‘pemeriksaan pengujian’ dengan tujuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
22
keaslian dan kebenaran teks kemudian disajikan dalam bentuk suntingan teks. Tahap ini terbagi menjadi dua langkah, yaitu alih aksara teks dan aparat kritik. Alih aksara atau disebut juga transliterasi adalah pemindahan satu aksara ke aksara lain. Transliterasi ke dalam aksara Latin diperlukan karena naskah-naskah di wilayah Nusantara ditulis menggunakan aksara daerah atau non-Latin (Robson, 1994: 24). Teks yang sudah ditransliterasi kemudian diuji melalui pemberian aparat kritik. Menurut West (1973: 86-87), fungsi terpenting dari aparat kritik adalah memeriksa dan menginformasikan kepada pembaca mengenai bagian dari teks yang salah dan bagian yang diragukan kebenarannya. Melalui aparat kritik dapat diketahui segala kemungkinan kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh penulis ataupun penyalin naskah. Pengujian terhadap teks ini diperlukan karena naskah-naskah di Nusantara dilestarikan secara turun-temurun dengan cara ditulis kembali melalui tradisi naskah. Robson (1994: 19) mengemukakan tradisi penyalinan naskah dibagi menjadi dua macam, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horizontal. Transmisi vertikal adalah teks yang disalin secara setia atau setepat mungkin dengan teks asli, termasuk menyalin kesalahan-kesalahan yang ada pada teks tersebut. Transmisi horizontal adalah teks yang disalin dari perpaduan beberapa teks sejenis yang dimiliki oleh penyalin. Hasil dari tahap examinatio di atas berupa suntingan teks. Penyajian suntingan teks dapat menggunakan edisi diplomatis ataupun edisi perbaikan bacaan. Karena BSK adalah edisi naskah tunggal, maka metode penyajian suntingan teks yang digunakan dalam penelitian ini adalah edisi diplomatis.
23
Menurut Robson (1994: 24), edisi diplomatis menyajikan teks persis seperti yang terdapat dalam sumber naskah sehingga campur tangan editorial hanya sedikit. Edisi ini berusaha menyalin teks setepat mungkin dengan struktur sintaksis teks asli, tanda baca dalam teks tidak boleh diubah serta mempertahankan semua karakteristik pengejaan, baik beraturan atau pun tak beraturan.
1.5.2. Teori Resepsi Berbagai informasi yang dapat diangkat dari karya tulisan masa lampau mencakup bidang sejarah, sosial, budaya, serta hukum dan pelajaran agama (Chamamah, 1994: 193). Sehubungan dengan objek penelitian ini yang merupakan karya sastra lampau, Bratayuda Sabil Khakuliah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan karya-karya kontemporer. Sementara itu, karyakarya yang tercipta dari latar waktu yang berlainan akan menimbulkan persoalan yang berhubungan dengan pergeseran makna. Untuk keperluan itu, konteks kesejarahan karya sastra perlu diperhatikan. Sesuai dengan sifat data dari BSK yang ditulis melalui tanda bahasa yang demikian, maka setelah dilakukan analisis secara filologi akan diterapkan analisis respon estetik Wolfgang Iser. Konsep utama teori resepsi Iser adalah repertoire, yang oleh para ahli sastra disebut sebagai literary reportoire atau “gudang pengetahuan” (istilah Munawwar). Repertoire adalah bagian dari estetika resepsi yang berkaitan dengan cara pembaca memberi makna terhadap karya yang dibacanya. Selanjutnya, Iser dalam teorinya menawarkan perhatian pada dua hal, yaitu hubungan antara teks dengan realitas, dan hubungan antara teks dengan pembaca (Iser, 1987: 54).
24
Melalui konsep tersebut dapat diketahui bahwa Iser mengedepankan perhatian pembaca dalam dua hal, yaitu teks sebagai pemberi efek (wirkung) atau kesan kepada pembaca; dan yang kedua, pembaca sebagai pemberi respons terhadap karya atau teks yang dibacanya—pembaca masuk melakukan tindak pembacaan atau berdialog untuk memberi tanggapan estetiknya. Berdasarkan uraian di atas, maka membaca adalah fokus dari teori ini. Efek dan respon teks merepresentasikan sebuah efek potensial yang direalisasikan dalam proses pembacaaan. Kajian respon estetik Iser pada dasarnya berpusat pada pertanyaan mendasar yang menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui komunikasi antara teks dan pembacanya (1987: x), yaitu bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah teks menjadi bermakna bagi pembacanya. Berkenaan dalam proses pembacaan, Iser menegaskan seharusnya pembaca melakukan reaksi terhadap teks sastra, tidak hanya menerima apa yang disampaikan oleh pengarang dalam karya sastranya. Iser (1987: 53) menjelaskan bahwa teks sastra atau fiksi memberitahukan kita sesuatu tentang realitas dengan menawarkan konvensi-konvensinya, sehingga ia menjadi gambaran objek atau fokus dari suatu penelitian. Adapun Iser (1987: 69) menyebut konvensi-konvensi ini sebagai repertoire teks. Repertoire terdiri dari semua batas wilayah atau materi-materi yang familiar, yang dapat dikenali dalam teks. Materi ini bisa berupa referensi terhadap karya-karya terdahulu, norma sosial, unsur historis atau keseluruhan kebudayaan darimana teks tersebut muncul yang dibahas secara mendalam. Lebih lanjut Iser (1987: 68-69) mengemukakan bahwa repertoire dapat dikatakan memiliki dua dimensi. Pertama,
25
realitas yang muncul dalam teks tidak terbatas pada apa yang ada dalam teks itu sendiri. Kedua, unsur-unsur yang diseleksi sebagai referensi tidak dimaksudkan sebagai replika semata. Sebaliknya, kehadiran unsur-unsur tersebut dalam teks biasanya berarti bahwa mereka telah mengalami transformasi dan sesungguhnya, hal ini merupakan satu aspek integral dalam keseluruhan proses komunikasi. Pada dasarnya, pembacaan yang dilakukan terhadap karya sastra (teks sastra) merupakan suatu dialog atau interaksi antara struktur karya sastra dengan pembacanya. Iser (1987: 20) menunjukkan bahwa inti pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara struktur teks dan penerimanya. Pembaca (penerima) dengan demikian memiliki peran aktif dalam proses pemaknaan karya sastra. Iser (1987: 21) juga menyatakan bahwa karya sastra hanya menghadirkan “aspekaspek skematik” atau schematized aspects kepada pembaca, yang digunakan untuk memaknai serta memberikan realisasi terhadap aspek-aspek tersebut melalui konkretisasi. Aspek-aspek skematik itu berupa pokok permasalahan dari karya itu dihasilkan. Menurut Iser (1987: 24), sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas). Wilayah ketidakpastian ini merupakan “bagian-bagian kosong” atau “tempattempat terbuka” (Leerstellen, open place) yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak penafsiran (poly-interpretability) (Sangidu, 2004: 21). Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa karya sastra memiliki dua pola, yaitu pola artistik dan pola estetik. Pola artistik merupakan hasil tulisan pengarang, sedangkan pola estetik
26
merupakan hasil dari realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. Berdasarkan pola ini, jelaslah bahwa karya sastra itu tidak bisa diidentikkan dengan teks, maupun dengan konkretisasi saja, tetapi harus ditempatkan antara keduanya (Iser, 1987: 21). Kedua pola ini (artistik dan estetik) saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab karya sastra tidak bisa dimaknai tanpa menghubungkan kedua pola tersebut, sehingga fokus dari teks sastra selanjutnya berada pada konkretisasi, dan objek estetiknya. Melalui repertoire teks sastra menyusun kembali norma-norma sosial dan budaya, sehingga pembaca bisa memfungsikan kembali norma ini dalam kehidupan nyata. Teori repertoire menegaskan bahwa teks sastra tidak hanya berbicara tentang dirinya sendiri (intratekstual), tetapi juga tidak bisa dihindarkan dari kelahiran teks tersebut, yang berasal dari realitas ekstratekstual. Hal ini dapat dilihat pada kelahiran karya sastra yang berlatar belakang norma sosial, unsur historis dan keseluruhan kebudayaan yang hidup pada masyarakat tersebut. Kondisi tersebut dapat pula dipengaruhi oleh referensi-referensi mengenai karyakarya yang terdahulu. Iser (1987: 79) mengungkapkan teks sastra tidak hanya terdiri atas norma-norma sosial semata, tetapi juga mencakup unsur-unsur dan keseluruhan tradisi sastra masa lampau yang bercampur bersama-sama dengan norma ini. Dapat dikatakan bahwa proporsi ramuan ini merupakan perbedaan di antara genre sastra. Dalam hal ini, ada teks yang menitikberatkan perhatiannya kepada faktor empiris dan faktor-faktor tertentu sehingga menumbuhkan proporsi norma-norma ekstratekstual dalam repertoire. Pada kondisi tertentu, terdapat juga
27
teks yang repertoire-nya didominasi unsur-unsur yang berasal dari karya sastra sebelumnya. Cara mengungkapkan repertoire atau merepresentasikan makna dari sebuah teks sastra disebut Iser sebagai “strategi” untuk membentuk atau merancang fungsi repertoire ini. Iser (1987: 86) menyebutkan bahwa strategi itu mempengaruhi struktur imanen dalam teks dan tindakan-tindakan pembacaan menggerakkan pemahaman pada pembaca. Adapun menurut Iser (1987: 87) menyebutkan
di
antara
peran
utama
dari
“strategi”
ini
adalah
mendefamiliarisasikan hal-hal yang familiar. Pada kenyataannya, strategi mengatur persepsi pembaca dalam proses pembacaan agar makna yang direalisasikan tidak semena-mena. Adapun strategi yang dimaksud di sini adalah background (latar belakang) dan foreground (latar depan). Latar belakang dan latar depan ini yang nantinya akan mengendalikan persepsi dan imajinasi pembaca dan bertanggung jawab atas pemberian makna karya sastra. Lebih lanjut, Iser (1987: 95) menegaskan bahwa hubungan background dan foreground merupakan struktur dasar yang, dengan melaluinya strategi-strategi teks, menciptakan rangsangan yang membawa kesan atau efek kepada serangkaian tindakan dan interaksi yang berbeda, yang pada akhirnya diputuskan dengan kemunculan objek-objek estetis. Uraian di atas menujukkan bahwa konsep dasar teori respons estetik berpusat pada pertanyaan mendasar yang menyangkut proses tanggapan estetik seorang pembaca dalam mengemukakan makna potensial teks yang dihasilkan melalui komunikasi antara teks dan pembacanya (Iser, 1987: 54), yaitu bagaimana
28
dan dalam kondisi apa sebuah teks menjadi bermakna bagi pembacanya. Pertanyaan ini berkaitan dengan (1) hubungan antara teks dan realitas (fakta), hubungan atau partner dalam komunikasi; (2) interaksi antara teks dengan pembaca, cara atau tindakan pembacaan. Cara atau tindakan pembacaan berkaitan dengan bagaimana teks mengarahkan pembaca dalam proses pembacaan dan bagaimana pengalaman pembaca mengatur pembacaannya. Pembaca mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, dan karena itu pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana berdialog dan berkomunikasi dengan teks. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire dengan strateginya, sehingga lahirlah realisasi teks. Realisasi teks berupa respons (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula. Tanda-tanda atau skema yang ditawarkan dalam teks dan pembaca bertemu melalui cara dari suatu situasi yang tergantung pada realitasnya di dalam berinteraksi. Jika komunikasai sastra sukses, maka ia harus menghasilkan semua komponen yang diperlukan untuk pembangunan situasi, karena hal ini tidak memiliki eksistensi di luar karya sastra. Teks dan pembaca melakukan dialog terus-menerus untuk menghasilkan efek dan mengungkapkan makna terhadap teks yang dibacanya. Repertoire yang ada dalam teks (repertoire teks) dan yang dimiliki oleh pembaca inilah yang berinteraksi secara terus-menerus, pembaca dan
29
teks melakukan kolaborasi tanya jawab sampai menghasilkan makna konkretisasi yang diharapkan. Teori ini menegaskan bahwa makna teks sastra tidak hanya mucul begitu saja, tanpa adanya peran aktif dari pembaca. Pembaca memiliki peran utama dalam proses konkretisasi. Melalui bekal pengetahuan atau repertoire yang dimiliki
pembaca
akan
menstimulasi/merangsang
pemahamannya
untuk
berinteraksi dengan repertoire yang ada dalam teks. Pada akhirnya dalam proses dialog tersebut akan menimbulkan efek/kesan, yang nantinya akan menghasilkan makna pada diri pembaca. Fungsi dari repertoire juga yaitu akan menjadi pemandu bagi pembaca untuk menghadirkan makna dalam proses pembacaannya. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa karya sastra tidak bisa terlepas dari materi-materi ekstratekstual (wilayah norma-norma) sebagai repertoire teks, ia berperan penting dalam membangun struktur karya sastra. Sebagai salah satu landasan teori respon estetik Iser adalah teori pragmatik Austin. Dalam memahami teori repertoire Iser, kita tidak bisa terlepas dari bagaimana Austin melihat the language of literature. Austin merupakan salah satu tokoh yang turut memengaruhi perkembangan teori Iser. Menurut Austin, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi karya sastra sebagai performative utterance yaitu: convention yang sama antara si pemberi ujaran dan yang diberikan ujaran. Accepted procedures, ujaran juga hendaknya terikat akan situasi (konteks) tertentu, dan harus ada keinginan baik dari pengujar ataupun yang mendengarkan ujaran untuk mengambil bagian dalam kegiatan linguistik tersebut (Iser, 1987:
30
69). Dapat dikatakan bahwa teks sastra tidak sekedar menyajikan sarana retoris atau teknik naratif saja, tetapi background dan foreground. Berdasarkan penjelasan Austin di atas, Iser kemudian melanjutkan bahwa cara konvensi-konvensi, norma-norma, dan tradisi-tradisi mengambil tempat dalam repertoire sangatlah bervarisi, tetapi mereka selalu dengan cara sama tereduksi atau termodifikasi, sebagaimana halnya mereka sudah tercabut dari konteks dan fungsi aslinya. Dalam teks sastra, ketiga hal di atas memiliki kemampuan menyajikan hubungan-hubungan baru, tetapi pada saat yang sama pula hubungan lama masih tetap ada, paling tidak terhadap tingkatan tertentu. Konteks keaslian teks harus tetap cukup implisit (hadir), agar dapat bertindak sebagai latar (kerangka) untuk mengimbangi signifikasi baru. Bisa dipahami bahwa
repertoire
menggabungkan
teks
berdasarkan
asal-usul
maupun
transformasi elemen-elemen, dan individualitas teks sebagian besar tergantung pada tingkat perubahan identitas elemen-elemen tersebut. Komponen dasar repertoire muncul dari interaksi antara karya sastra dengan sistem pemikiran historis. Iser (1987: 74) mengemukakan jika karya sastra muncul dari latar belakang sosial atau filosofi pembaca sendiri. Hal tersebut membantu untuk melepaskan norma-norma umum yang berlaku dari konteks fungsional mereka, dan dengan demikian, pembaca dapat menempatkan diri dari posisi yang memungkinkan untuk melihat secara jelas kekuatan-kekuatan yang memandu dan mengarahkannya. Apabila norma-norma itu kemudian menghilang dalam sejarah lampau, pembaca tidak lagi terlibat dalam sistem tempat normanorma historis itu dan dapat mengakui jawaban-jawaban implisit dalam teks.
31
Alusi-alusi yang melekat pada repertoire tereduksi dengan cara yang sama dengan norma-norma, sekali lagi mereka fungsional, bukan sekedar imitasi. Jika fungsinya menggabungkan norma-norma adalah untuk memunculkan kekurangan pada sebuah sistem umum, fungsi alusi-alusi kesastraan adalah untuk membantu menciptakan sebuah jawaban atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan itu. Alusi-alusi di atas, seperti halnya norma-norma, membuka wilayah yang familiar, dan memberi jawaban atas jawaban-jawaban terdahulu yang disebabkan permasalahan tersebut. Jawaban-jawaban yang didapatkan tersebut tidak lagi membentuk sebuah makna yang valid pada karya masa kini, tetapi menawarkan sebuah formula tentang orientasi berupa sarana yang memungkinkan penemuan makna baru (Iser, 1987: 79). Iser (1987: 85) mengemukakan repertoire dicirikan dengan bentuk rekodifikasi yang mengarah pada penciptaan makna yang menjadi pengalaman pembaca. Dalam konteks ini, makna harus menjadi pragmatik. Hal ini disebabkan karena makna tidak pernah meliputi semua potensi semantik yang ada dalam teks, tetapi ia secara khusus mengakses potensi-potensi semantik itu. Repertoire memberikan peranan penting bagi pembaca untuk merealisasikan makna dan mengarahkan kepada teks untuk membangkitkan pembaca dalam mengidentifikasi masalah-masalah yang ada dalam teks. Makna pragmatik adalah makna terapan atau makna tersirat yang ada dalam sebuah teks. Makna ini mengarahkan teks sastra untuk memenuhi fungsinya sebagai jawaban atas masalah-masalah yang terkandung dalam teks.
32
Untuk melihat seleksi-seleksi norma-norma dan kiasan-kiasan yang dijadikan repertoire, terlebih dahulu harus memahami apa yang dimaksud dengan realitas (reality). Realitas yang diseleksi inilah yang kemudian dibangun dalam bentuk serta wujud repertoire dalam teks. Istilah realitas sudah dihubungkan, di mana tidak ada teks sastra yang menghubungkan suatu keadaan dengan satuan realitas, tetapi lebih kepada konsep-konsep realitas dalam kemungkinankemungkinan (hal-hal yang dianggap kebetulan) dan kompleksitas, hal ini telah dihilangkan menjadi sebuah struktur yang berarti. Iser menyebutnya dengan struktur-struktur sistem atau gambar dunia (structures world-picture or system) (Iser, 1987: 70). Dalam kondisi tersebut di atas, maka muncul hubungan sistem yang unik antara teks sastra dengan realitas, dalam bentuk sistem ide/pemikiran atau modelmodel realitas. Teks tidak menyalin hal-hal ini, dan juga tidak menyimpang. Kondisi tersebut justru menghasilkan tanggapan (respon) atau reaksi terhadap sistem-sistem ide yang sudah dipilih dan dipadukan dalam repertoire itu sendiri (Iser, 1987: 72). Repertoire yang terepresentasi dalam teks yang diambil dari sistem-sistem ide dari realitas, ditanggapi atau direfleksikan kembali—sebagai reaksi yang digerakkan kembali oleh kemampuan batasan sistem ide tersebut dengan realitas yang beraneka ragam, guna memberikan perhatian khusus pada hal-hal yang masih mengalami kekurangan atau sesuatu yang belum tersaji. Iser (1978) menjelaskan bahwa hasil akhir dari gerakan penanggapan atau reaksi yang dilakukan adalah untuk menyusun dan mengatur kembali kehadiran susunan pola makna potensial teks, dimana final dari pemberian atau tindakan dari respons
33
estetik itu adalah memformulasikan hal-hal yang belum diformulasikan sebelumnya, sehingga ia dapat diproses dan dipahami kembali. Iser (1987: 107) memberi penegasan bahwa keberhasilan komunikasi terletak pada sejauh mana teks menetapkan dirinya sebagai hubungan timbal balik alam kesadaran pembaca. Hal ini mengindikasikann bahwa teks sebenarnya memberi tuntutan mengenai apa yang mesti diproduksi. Keberhasilan transfer teks kepada pembaca tergantung pada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas dari persepsi dan pengolahan individu. Teks menawarkan efek, pembaca memiliki strategi. Berdasarkan hal tersebut, maka pembacalah yang kemudian melakukan konkretisasi atau realisasi makna berdasarkan horison harapan dan ketersediaan repertoire yang dimilikinya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa repertoire adalah wilayah familiar yang dikenali dalam teks (Iser, 1987: 69). Wilayah familiar itu merupakan materi-materi yang penting yang terdapat dalam teks sastra (BSK) yang berkaitan dengan seluruh norma atau kondisi sosial, historis, maupun budaya, dan bahkan konflik-konflik yang menjadi materi ekstratekstual teks tersebut. Materi (bahan-bahan) tersebut di atas menjadi acuan bagi pembaca untuk melakukan interaksi (dialog), dalam rangka mengungkapkan repertoire dan menghadirkannya dalam wujud respons estetik. Respons estetik adalah hasil dari konkretisasi makna atau efek potensial yang ditimbulkan oleh teks yang berhasil diaktualisasikan atau direalisasikan sesuai dengan harapan pembaca. Dapat disimpulkan bahwa repertoire berhubungan erat dengan bekal yang dimiliki pembaca ketika melakukan tindakan pembacaan. Bekal ini dapat berupa
34
pengetahuan tentang karya-karya sebelumnya, norma sosial, unsur historis, dan keseluruhan kebudayaan tempat suatu teks sastra itu berasal. Bagi pembaca, bekal ini sangat menentukan pemahaman terhadap teks sastra yang dibacanya. Apabila pembaca kemudian berposisi sebagai seorang penulis, bekal tersebut turut menentukan karya sastra yang diciptakannya.
1.6. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, dan landasan teori di atas, maka dapat diturunkan hipotesis penelitian terhadap teks Bratayuda Sabil Khakuliah karya R. Panji Suryawijaya adalah antara fiksi (dunia imajinatif pengarang) dan realitas (tempat hidup atau sebagai latar dari penciptaan karya sastra) terdapat hubungan yang erat. Dalam hal ini, apa yang dihadirkan dalam teks memuat sumber-sumber yang berupa referensi karya-karya terdahulu (Serat Srigandana), unsur historis, dan norma atau fakta sosial budaya yang ada di sekitar penciptaannya. Penciptaan BSK tidaklah semata-mata berupa pengembangan artistik yang khususnya menyangkut pengolahan alur dari karya-karya yang sebelumnya, melainkan juga di dalamnya terdapat fakta yang menunjukkan adanya perubahan pemahaman atas konsep-konsep tertentu, khususnya yang berkenaan dengan kepercayaan keagamaan. Aspek religi dan syariat Islam yang hadir akibat pengembangan dari naskah Serat Srigandana (Hindu-Budha) sebagai bentuk resepsi sastra yang dilakukan pengarang, dan dari fakta tersebut, oleh pengarang dijadikan sebagai sarana komunikasi berupa karya sastra.
35
1.7. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sebagaimana dijelaskan oleh Robson (1994: 15-16), metode yang digunakan dalam meneliti sebuah teks harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis teks yang dihadapi. Seorang peneliti harus fleksibel dan mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada karena teks yang telah ditulis oleh penulisnya (autografi) diteruskan melalui tradisi naskah. Adapun metode yang digunakan pada teks BSK ini disesuaikan dengan kondisi dan jenis teksnya yang diuraikan di bawah ini.
1.7.1. Metode Penelitian Filologi Istanti (2013: 8) menjelaskan tujuan dalam langkah kerja penelitian filologi
adalah
untuk
menemukan
naskah,
kemudian
mengolah
dan
menerbitkannya menjadi sebuah edisi teks terbaca. Adapun tahap-tahap langkah kerja penelitian filologi meliputi penentuan teks yang menjadi objek kajian, inventarisasi naskah, penentuan naskah dasar penelitian, dan deskripsi naskah. Pada masing-masing tahapan tersebut nantinya juga terdapat metode-metode pendukung.
a) Penentuan Objek Kajian Sebagaimana telah diketahui bersama, objek yang menjadi sasaran kajian adalah Bratayuda Sabil Khakuliah (BSK). Alasan pemilihan teks ini sebagai objek kajian telah diuraikan pada bagian sebelumnya, di bagian latar belakang (1.1).
36
b) Inventarisasi Naskah Inventarisasi naskah dilakukan dalam rangka pengumpulan data berupa naskah-naskah yang memuat teks Bratayuda Sabil Khakuliah. Metode yang digunakan adalah metode studi katalog. Setelah dilakukan studi dari berbagai katalog yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa naskah Bratayuda Sabil Khakuliah merupakan naskah tunggal. Adapun terkait dengan naskah dasar kajian yang hanya satu, maka Bratayuda Sabil Khakuliah yang menjadi objek kajian dan tidak perlu menggunakan metode pemilihan naskah, seperti landasan dan stemma. Metode ini sebagaimana yang diungkapkan Istanti (2013: 25), apabila naskah sasaran penelitian hanya satu (codex unicus), maka naskah tersebut yang menjadi dasar kajian. Langkah selanjutnya setelah diketahui naskah yang dimaksud, yaitu dengan mengunjungi tempat penyimpanannya untuk mengafirmasi apakah naskah memang benar masih ada ataukah sudah hilang. Selain meninjau naskah secara langsung, tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan reproduksi fotografis naskah yang berupa cetakan mikrofilm. Berkaitan dengan naskah Serat Srigandana yang menurut asumsi peneliti merupakan arketipe BSK, keberadaan naskah tersebut tidak
dapat
diketemukan/hilang
di
Perpustakan
Reksa
Pustaka
Pura
Mangkunegaran.
c) Deskripsi Naskah Penelitian ini berangkat dari konsep filologi yang menganggap bahwa setiap naskah merupakan produk budaya yang khas, maka deskripsi naskah perlu dijabarkan secara seksama dan terperinci.
37
1.7.2. Metode Penyuntingan Teks Metode penyuntingan teks dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah suntingan teks yang baik, sehingga langkah yang perlu dilakukan adalah mentransliterasi teks BSK yang beraksara Jawa ke dalam aksara Latin. Metode penyuntingan yang digunakan dalam penelitian ini adalah edisi diplomatik. Teks disunting persis dengan teks aslinya. Hal ini bertujuan menjaga keaslian naskah asli sehingga karakteristik naskah tersebut dapat terekam (Djamaris, 2002: 25). Menurut Molen (2011: 84) suntingan diplomatik menjadi sarana bantu yang tepat karena teks bisa dipelajari dalam berbagai stadium sejarah. Dalam menyunting sebuah teks, semua komentar yang berhubungan dengan teks tertuang dalam aparat kritik yang disajikan dalam bentuk catatan kaki (footnote). Aparat kritik yang berupa komentar tersebut dapat berupa kesalahan penulisan, saran pembetulan teks, ataupun komentar mengenai perbaikan teks.5 Dalam aparat kritik teks BSK, dicantumkan tiga hal, yaitu: 1) Alternatif dalam membaca teks yang dibetulkan berdasarkan dua hal, yaitu a) emendasi atau perbaikan dengan penambahan berdasarkan sumber lain, yaitu kamus; b) konjektur atau perbaikan dengan penggantian berdasarkan hasil dugaan6; 2) Kekeliruan metrum tembang macapat; 3) Penjelasan yang berhubungan dengan makna kontekstual. Setelah suntingan dan kritik teks dilakukan, langkah selanjutnya yaitu menerjemahkan teks BSK yang berbahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia agar 5 6
Lihat. Djamaris. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco. 2002, hlm. 24-25. Djamaris, Ibid. hlm. 32-34.
38
terungkap isi kandungan teks BSK. Adapun jenis penerjemahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penerjemahan semantis. Penerjemahan semantis adalah penerjemahan dengan mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber (dalam hal ini macapat) dengan mengkompromikan makna. Bentuk penerjemahan semantik lebih luwes, dibandingkan dengan penerjemahan setia yang bersifat lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah bahasa sasaran. Penerjemahan semantis tetap mempertimbangkan estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran, sehingga hasil terjemahan tersebut bersifat fungsional atau dapat dimengerti dengan mudah (Machali, 2009: 78-79). Prosedur penerjemahan juga harus memperhatikan konteks kalimat, yaitu penempatan suatu informasi agar maknanya jelas bagi penerima informasi. Dalam konteks tertentu, apabila penerjemahan tidak menemukan padanan yang diharapkan, maka langkah yang dilakukan adalah pemadanan bercatatan dengan cara memberi catatan terjemahan (Machali, 2009: 103). Hal ini berlaku misalnya dalam penerjemahan kata atau ungkapan yang padanan leksikalnya sama sekali tidak ada dalam bahasa sasaran misalnya kata ngempit, nyangking, nyunggi. Metode penerjemahannya dapat dilakukan dengan memberi catatan (sebagai catatan kaki). Tahapan awal melakukan pembacaan terhadap teks BSK dalam bahasa Jawa. Pembacaan terhadap teks tersebut sebagai usaha awal untuk memahami hubungan setiap bagian teks (pupuh), sekaligus memahami gagasan yang terdapat dalam teks. Langkah selanjutnya, mencari padanan kata-kata bahasa sumber (Jawa) ke bahasa sasaran (Indonesia) berdasarkan arti dalam kamus dan
39
disesuaikan dengan konteks kalimat untuk mendapatkan arti yang cocok dan tepat. Langkah terakhir yaitu, menyusun kalimat dari kata-kata yang mempunyai arti sama. Adapun dalam melakukan penerjemahan terhadap teks BSK, digunakan beberapa kamus sebagai acuan untuk melacak kata-kata bahasa sumber (Jawa). Kamus yang digunakan yaitu, Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek Deel I & II (Roorda dan Gericke, 1901), Bausastra Jawa—Indonesia yang terdiri atas dua jilid (Prawiroatmojo, 1955), Kamus Jawa Kuna Indonesian (Zoetmulder, 2004); sedangkan kamus yang digunakan sebagai acuan untuk mencari padanan kata dalam bahasa sasaran adalah Kamus Bahasa Indonesia (Qodratillah, dkk., 2008), dan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Sugono, dkk., 2008).
1.7.3. Metode Penelitian Sastra Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang keberadaannya dinyatakan oleh teori (Faruk, 2012: 58). Setelah menyunting, mengkritik, dan menerjemahkan teks Bratayuda Sabil Khakuliah, selanjutnya dilakukan penelitian sastra yang bertumpu pada paradigma repertoire Wolfgang Iser. Teori ini melihat hubungan interaksi antara pembaca dengan teks sastra yang akan dianalisisnya. Iser (1987: ix) menyatakan bahwa suatu teks hanya akan memberikan makna bila dibaca. Kondisi tersebut mengimplikasikan bahwa karya sastra hanya akan bermakna ketika karya sastra tersebut dibaca, sehingga proses pembacaan menjadi faktor penting dalam penelitian ini. Menurut pandangan Iser, antara karya sastra dan pembaca terdapat
40
hubungan komunikasi atau interaksi yang dinamis. Melalui proses pembacaan terhadap karya sastra, pembaca dapat merealisasikan makna yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Langkah pertama dalam penelitian ini adalah dengan membaca karya sastra, dalam hal ini Bratayuda Sabil Khakuliah dan Serat Srigandana. Melalui proses pembacaan, peneliti akan memiliki hubungan interaksi dan komunikasi dengan karya sastra tersebut. Pembacaan terhadap Serat Srigandana dilakukan guna melihat keterkaitan dengan karya Bratayuda Sabil Khakuliah. Dalam proses pembacaan terhadap karya sastra tersebut akan ditemukan strategi yang akan mengatur background dan foreground pembaca sehingga terbentuk realisasi teks. Tahap kedua, yaitu dengan klasifikasi dan melakukan perbandingan. Klasifikasi digunakan untuk mengelompokkan data-data yang berhubungan dengan norma sosial budaya, dan selanjutnya dilakukan perbandingan guna melihat keterkaitan antara Bratayuda Sabil Khakuliah dan Serat Srigandana. Perbandingan yang dilakukan dalam penelitian ini berkisar pada bagaimana Bratayuda Sabil Khakuliah memodifikasi dan menjawab realitas ekstraktekstual yang ada dari referen karya terdahulu (Serat Srigandana). Dalam proses pembacaan dengan mempertimbangkan keterkaitan antara karya-karya sastra tersebut, pembaca secara terus-menerus melakukan modifikasi atau play (istilah Iser dalam Mihkelev, 2004: 43). Perbandingan ini digunakan pembaca sebagai jembatan untuk memahami karya sastra.
41
1.8. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab. Adapun pembagian masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut; Bab I berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II merupakan pernaskahan dan perteksan Bratayuda Sabil Khakuliah. Bab ini terdiri atas dua sub-bab, yaitu: 1) deskripsi naskah dan teks Bratayuda Sabil Khakuliah; 2) pengantar suntingan dan terjemahan naskah dan teks Bratayuda Sabil Khakuliah. Bab III merupakan analisis filologi, yaitu menyajikan suntingan teks dan terjemahan Bratayuda Sabil Khakuliah pupuh I-VI. Bab IV merupakan analisis respon estetik, membahas perwujudan norma sosial budaya dan referen karya-karya sebelumnya sebagai repertoire dalam Bratayuda Sabil Khakuliah. Bab V merupakan kesimpulan hasil penelitian.