IDENTITAS DIASPORA PEREMPUAN INDIA DALAM CERITA PENDEK WANITA AMERIKA-INDIA Hujuala Rika Ayu Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstract: This paper discusses the identity of Indian women in diaspora in the short stories of two American Indian women writers, Bharati Mukherjee and Jhumpa Lahiri. This paper uses the theories of diaspora and diasporic identity. Leaving the home land and entering the host land have created ambiguous situations for Indian diasporic women. However, although they have similar aims of immigrating to the host land, their ways and perspectives of inserting themselves to the host land are different. They are not only challenged by the reality of adapting and adopting the cultural values of the host land but also at the same time maintaining the values of the old world. These female characters have particular roles of creating ‘the old world’ in the host land and balancing the dynamics of the two worlds. Efforts of adapting self to the new world and given roles of maintaining the old values in the new world have somehow modified the ideas of women’s identities in newland. Keywords: diaspora, Indian diasporic women, ambivalence, diasporic identity Pendahuluan Makalah ini membahas identitas diaspora para tokoh perempuan dalam cerita pendek karya wanita pengarang Amerika India, Bharati Mukherjee dan Jhumpa Lahiri. Meskipun Mukherjee dan Lahiri terlahir sebagai seorang keturunan India, dua penulis wanita ini memiliki pengalaman dan pandangan yang berbeda tentang imigrasi. Bharati Mukherjee adalah penulis Imigran India Amerika generasi pertama yang datang ke Amerika dan Jhumpa Lahiri adalah seorang penulis berdarah India generasi kedua, dilahirkan dari orang tua yang India, dibesarkan dan menghabiskan waktunya di Amerika. Latar belakang dua penulis yang berbeda ini mempengaruhi cara mereka memandang India sebagai tanah air. India, sebagai sebuah ‘imaginative’ homeland, dilihat secara berbeda dan menjadi komoditas kuat bagi tulisan mereka. Dalam era modern ini, menjadi warga negara dunia tidak lagi menjadi area laki-laki saja. Perempuan juga berimigrasi dan menjadi warga dunia. Para perempuan ini memiliki beragam alasan untuk berimigrasi ke negeri orang. Beberapa dari mereka meninggalkan tanah airnya untuk menjadi pekerja wanita. Perempuan lain tertarik untuk melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri sementara banyak pula 1
dari mereka yang memilih berimigrasi untuk menemani suami mereka yang bekerja di negara orang lain. Alasan yang terakhir ini menjadi kasus umum perempuan diaspora India. Perempuan India yang berimigrasi dengan atau tanpa pasangan umumnya dianggap beruntung karena dapat tinggal di luar negeri. Bagi orang-orang di negara asal, perempuan migran ini dianggap sukses. Perempuan diaspora India, pada kenyataannya, menghadapi hidup yang cukup kompleks ketika mereka meninggalkan tanah air dan tinggal di luar negeri. Mereka dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan pada saat yang sama mereproduksi kembali nilai-nilai dunia lama di negeri perantauan. Ikatan kuat dari nilai-nilai India membuat perempuan imigran India dalam cerita pendek Mukherjee dan Lahiri merasa kesulitan untuk beradaptasi, mempertahankan dan mereproduksi nilai-nilai budaya lama di negeri baru. Kewajiban dan peran perempuan untuk menyeimbangkan dunia lama dan dunia baru membuat posisi perempuan diaspora India ambigu. Tulisan ini menekankan bahwa kehidupan diaspora memiliki dua sisi, sisi diaspora yang memperkuat posisi perempuan India diaspora dan sisi lain diaspora yang memperlemah posisi perempuan diaspora India di negeri baru. Artikel ini menggunakan teori diaspora oleh James Clifford dan Keya Ganguly dan teori identitas diaspora oleh Stuart Hall untuk mengungkap identitas dan pengalaman diaspora tokoh-tokoh perempuan dalam empat cerita pendek berjudul “A Wife’s Story”, “Visitor”, karya Bharati Mukherjee dan “A real Durwan” dan “Mrs. Sen”, karya Jhumpa Lahiri. Identitas diapora dalam kehidupan perempuan India ini sangat penting untuk dibahas mengingat menjadi moving devi(s) mempengaruhi cara para tokoh perempuan ini memandang diri mereka sebagai perempuan India yang tinggal jauh dari tanah air. Secara etimologis, kata diaspora berasal dari bahasa Yunani, diasperien, dia-, yang berarti di seberang dan –sperien, yang berarti untuk menyebar bibit (Braziel and Mannur, 2003:1). Pengertian diaspora sebagai sebuah terminologi berbagi dengan terminologi lain yang mengacu pada global citizen seperti “immigrant, expatriate, refugee, guest-worker, exile community, overseas community, [and] ethnic community” (Tololyan in Clifford, 1994:303). Istilah diaspora pertama kali dikaitkan dengan sejarah komunitas kaum Yahudi yang hidup tersebar jauh tanah air. 2
Pada perkembangannya, istilah diaspora tidak terbatas pada orang-orang tertentu atau komunitas tertentu yang tersebar di seluruh dunia. Diaspora tidak hanya dimengerti sebagai sebuah perjalanan atau pergerakan keluar dari negara asal atau area lain tapi “paradoxically, diasporic journeys are essentially about settling down, about putting roots ‘elsewhere’” (Brah, 1996:179). Perjalanan diaspora tidak memungkinkan sebuah perjalanan pulang pergi ke tanah air dalam waktu yang cukup singkat karena proses ‘menyebar akar di tempat lain’ dalam pengalaman diaspora menuntut waktu dan jarak yang cukup signifikan. James Clifford menggarisbawahi diaspora sebagai sebuah perjalanan jarak jauh dan perpisahan yang mirip kondisi seseorang yang terasing (exile): “a constitutive taboo on return or its postponement to a remote future” (1994:304). Meski begitu, pengertian dan formasi diaspora berubah sejalan dengan waktu. Definisi diaspora tidak hanya dipahami sebagai komunitas Yahudi yang tersebar di dunia dan tidak selalu diasosiasikan dengan sebuah perjalanan yang tidak kembali ke tanah air. Orang diaspora dapat secara aktif berkontribusi dalam jaringan global yang didukung oleh kemajuan komunikasi dan teknologi yang kemudian menciptakan reproduksi budaya dengan cara baru. Diaspora pada masa modern bukan lagi sebuah perjalanan satu jalan karena kemajuan teknologi mendukung orang diaspora untuk kembali atau mengunjungi tanah air mereka. Meski begitu, diaspora bukanlah perjalanan biasa. Diaspora menyangkut proses adaptasi ke tanah air baru yang cukup rumit. Chambers secara jelas menggaris bawahi perbedaan prinsip antara migrasi dan perjalanan biasa (1994:5). Perjalanan biasa menyarankan kepastian dan ketetapan. Perjalanan tersebut dimulai dengan “[the] movement between fixed positions, a site of departure, a point of arrival, [and] the knowledge of an itinerary” (Chambers, 1994:5). Sebaliknya, migrasi ditantang oleh perubahan dan ambiguitas. Migrasi menyangkut sebuah proses internalisasi pada “bahasa, sejarah, dan identitas yang secara terus menerus berubah” (ibid). Rogers
Brubaker
mendefinisikan
tiga
tingkatan
diaspora
(2005:5).
Penyebaran atau dispersion – tingkatan diaspora yang pertama – yang secara harfiah berarti penyebaran kelompok masyarakat tertentu diluar batas negara (ibid). Meski menjadi tersebar adalah karakteristik orang diaspora yang tidak terhindarkan, Cho berargumen bahwa diaspora tidak dapat dipahami dari sudut pandang ini saja 3
(2007:11). Tingkatan yang kedua adalah orientasi pada tanah air, yang oleh Brubaker didefinisikan sebagai “the orientation to a real or imagined ‘homeland’ as an authoritative source of values, identity, and loyalty” (ibid). Tanah air memiliki ikatan yang kuat bagi seorang imigran ‘baru’ dan imigran generasi pertama. Para imigran ini, ketika mereka berimigrasi ke negara lain masih menyimpan banyak nilai-nilai tanah air. Seperti yang diutarakan oleh Khachig Tololyan, “the defining characteristics of diasporas, are, first, a culture and a collective identity that preserves elements of the homeland’s language, or religious, social and cultural practice” (2007:649). Tingkat diaspora yang ketiga memiliki arti yang bertumbukan dengan tingkat diaspora yang kedua yaitu, boundary maintenance (2005:6). Diaspora tingkat ketiga ini mengacu pada usaha-usaha orang-orang diaspora untuk tetap mempertahankan dan menjaga keberlangsungan nilai-nilai atau ritual apapun yang berhubungan dengan tanah air. Pada kenyataannya, situasi diaspora merupakan tantangan besar yang rumit bagi perempuan migran. Mereka tidak hanya ditantang untuk memposisikan diri mereka dalam dunia baru namun mereka juga dikonfrontasi oleh nilai-nilai patriarkal dunia baru dan dunia lama. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman diaspora sering kali ‘gendered’ (Clifford, 1994:313; Rayaprol, 1999:16). Keya Ganguly (1992) mengatakan, “immigrant women are subject-ed by the double articulation of discourses of cultural difference and patriarchy” (38). Dalam konstelasi lokal dan global, posisi perempuan dikonstruksi oleh ruang-ruang khusus negara asal atau lokasi-lokasi yang berbeda dalam relasi kekuatan global (Brah, 1996:102). Ketika perempuan migran berpindah dari tempat dimana mereka telah memiliki posisi sosial yang permanen, mereka harus beradapatasi lagi dengan konfigurasi negara baru. Selama proses ini, perempuan migran tidak hanya dipandang sebagai ‘wanita’ saja namun kategori yang dibedakan (ibid). Dalam proses beradaptasi dan mengadopsi nilai-nilai dunia baru, perempuan migran India secara ambigu dikekang oleh daya tarik menarik antara tanah air dan negara baru. Masa lalu dan masa sekarang saling bersilangan dan mempengaruhi cara perempuan imigran beradaptasi terhadap struktur sosial negeri baru. Masa lalu memiliki ikatan rangkap. Dalam tugasnya untuk mempertahankan aspek-aspek tanah air di lingkungan diaspora, perempuan diaspora terjebak dalam reproduksi nilai-nilai 4
patriarkal. Melalui tradisi budaya yang dibawa oleh migran-migran dari negeri lama, nilai-nilai patriarki dipertahankan di negeri baru. Diaspora menciptakan dua ikatan bentuk-bentuk patriarki yang pertama kali muncul di dunia baru dan terus berlangsung di negeri baru atau yang kemudian malah diperkuat oleh dunia baru. Negeri baru dapat pula memberikan banyak kemungkinan bagi perempuan India diaspora. Kemungkinan-kemungkinan baru ini dapat membuka peran-peran baru yang membebaskan perempuan dari nilai-nilai patriarki dunia lama. Sebaliknya, kemungkinan-kemungkinan baru ini juga dapat menciptakan sebuah struktur patriarki baru di lingkungan diaspora (Clifford, 1994:313-314). Perempuan diaspora India tidak hanya harus beradaptasi dengan lingkungan asing tapi mereka juga harus menanggung beban dan tanggung jawab sebagai penjaga tradisi dalam rumah tangga diaspora. Rayaprol mengatakan perempuan India seringkali berperan sebagai ‘transmiter’ tradisi dan perempuan imigran bertanggung jawab atas peran ini (1997:23). Perempuan diaspora India bertugas menjaga keberlangsungan nilai-nilai atau ritual-ritual negeri lama di negeri baru yang diteruskan pada generasi seterusnya. Meski begitu, diaspora memiliki pengaruh positif bagi perempuan. Lingkungan diaspora dalam beberapa kasus memberikan kesempatan bagi perempuan Indian diaspora untuk bekerja dan melanjutkan studi. Lingkungan diaspora dipandang sebagai “more liberatory ways, as an opening for transformed subjectivity” (Shukla, 2001:566). Selain itu, peran para perempuan India di negara baru sebagian ditentukan oleh tujuan awal mereka bermigrasi. Pada umumnya, perempuan India bermigrasi untuk menemani suami yang bekerja di negara baru. Hal ini membatasi peran-peran mereka pada sisi domestik di negara baru. Rayaprol menekankan bahwa laki-laki dan perempuan India memiliki tujuan migrasi yang berbeda. Oleh karena itu, perempuan India tidak dapat diperlakukan sama seperti laki-laki (1997:16). Rayaprol lebih jauh lagi menjelaskan bahwa hal ini dapat membawa konsekuensi tersendiri bagi perempuan India sebagai ‘dependent immigrants’ yang secara signifikan dipengaruhi oleh perpetuasi peran-peran gender tradisional dalam institusi sosial seperti keluarga dan wilayah tempat tinggal (ibid). Proses adaptasi ke negara baru juga ditentukan oleh etnisitas, ras dan gender. Perempuan global dalam beberapa hal ditentukan oleh istilah West/First world and 5
East/Third world. Perempuan kulit putih menghadapi pengalaman yang berbeda untuk beradaptasi ke dunia baru daripada perempuan dunia ketiga. Perbedaan inilah yang membuat perempuan India memiliki cara yang berbeda dalam berdaptasi ke dunia baru di tengah kesulitan-kesulitan. Ganguly mengakui bahwa artikulasi sistem keluarga yang patriarkis dan wacana ras dan migransi menentukan proses pembentukan identitas dalam lingkungan diaspora (1992:45). Situasi migran terkadang menuntut perempuan Indian untuk memisahkan kewanitaan dan etnisitas dan secara tiba-tiba merekonstitusi diri mereka di negara baru. Situasi ini sangatlah kompleks bagi perempuan dunia ketiga karena posisi mereka secara signifikan ditentukan oleh ke-duniaketiga-an mereka. Dalam konteks perempuan dunia ketiga yang berimigrasi ke dunia pertama, nilai-nilai ketimuran tidak dapat begitu saja dibuang karena ini menyangkut identitas mereka sebagai perempuan dunia ketiga. Lebih jauh lagi, diaspora dalam kaitannya dengan pergerakan dinamis penduduk keluar dari tanah air berimplikasi pada pembentukan identitas: Identitas tunggal yang lama dan stabil bertransformasi pada sebuah posisi yang menantang suatu identitas. Hall secara khusus mengartikulasi identitas diaspora sebagai sebuah entitas yang tidak stabil, metamorphic dan bahkan kontradiktif – sebuah identitas yang ditandai dengan berlapis persamaan juga perbedaan (2003:233). Identitas diaspora memiliki ciri khas yang ambivalen dan kontradiksi sebagai sebuah hasil inkorporasi diri dalam lingkungan yang benar-benar berbeda. Hal ini telah menjadi isu penting dalam proses migran yang tercerabut dari akarnya untuk kemudian menanam kembali akar tersebut pada tanah air baru. Proses adaptasi diri pada negara baru ini menggeneralisasikan sebuah identitas ‘baru’ yang multi lapisan. Proses keluar dari negeri sendiri dan mengintegrasikan diri pada negeri baru menuntut rekonstruksi identitas diaspora yang terus menerus karena seorang migran tidak lagi tinggal di tempat dimana identitasnya pertama kali dikonstruksi. Dalam diaspora, identitas biologis atau yang didapat sejak lahir muncul pada sebuah wacana keber-bedaan. Hal ini akan terus menerus dikonfrontasi oleh interaksi antara budaya dan relasi sosial, tanah air (nyata atau bayangan), tempat tinggal, dan negara tetangga atau suku yang tersebar dimana-mana (Parrenas and Siu, 2007:1). Dalam konteks tersebut, orang diaspora sebaiknya terus menerus merekonstruksi identitas atau dengan kata lain mengadaptasikan diri dengan lingkungan baru. 6
Pembahasan Pembahasan difokuskan pada tokoh-tokoh utama perempuan seperti Panna, Vinita, Boori Ma and Mrs. Sen dalam empat cerita pendek yang berjudul “A Wife’s Story”, “Visitor”, “A real Durwan” and “Mrs.Sen”. “A Wife’s Story” dan “Visitor” ditulis oleh Bharati Mukherjee dalam kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Darkness (1985). Sementara “A Real Durwan” dan “Mrs. Sen” adalah dua cerpen dari kumpulan cerpen milik Jhumpa Lahiri yang berjudul Interpreter of Maladies (1999). Karena perempuan-perempuan ini adalah generasi pertama, identitas mereka dengan jelas menunjukkan posisi ke-diantara-an yang mengkontraskan timur-barat dan dunia pertama-dunia ketiga. Status sebagai perempuan diaspora generasi pertama menentukan proses adaptasi diri ke dunia baru. Situasi lingkungan diaspora yang ambivalen jauh lebih kompleks dan pada saat yang sama menyakitkan bagi perempuan generasi pertama untuk dihadapi. Kehidupan mereka secara mendadak dibagi menjadi dua situasi, situasi yang mereka tahu dan situasi yang mengalienasi, yang mengharuskan mereka untuk secara tiba-tiba menyeimbangkan dua situasi.
1. Perempuan India Diaspora dalam Cerpen Bharati Mukherjee Dua cerita pendek karya Mukherjee yang berjudul “A Wife’s Story” dan “Visitor” merepresentasikan tokoh-tokoh perempuan kuat dan memiliki pendirian kuat sebagai perempuan India diaspora. Tokoh perempuan dalam dua cerita pendek ini digambarkan sebagai perempuan India berpendidikan yang mencari posisi di tengah konstelasi global. Dua perempuan ini menikah dengan lelaki terpandang di lingkungan mereka. Panna, tokoh perempuan dalam “A Wife’s Story” adalah seorang perempuan yang berkemauan keras yang bertekad untuk meneruskan sekolahnya ke luar negeri, meninggalkan suaminya di India dan juga ingatan traumatiknya akan masa lalu kematian putranya, “riots, uprooting, separation and [her] son’s death” (1985:27). Meski begitu, tujuan Panna bermigrasi dapat menjadi sebuah kamuflase. Imigrasi baginya adalah terowongan pelarian dari situasinya yang sebenarnya di tanah kelahiran. Pendidikan adalah alat untuk mengangkat dia dari India, tempat dimana dia merasa tidak puas akan segala hal. Panna sendiri mengakui posisinya di Amerika sebagai seorang “well-bred displaced Third World wom[an]” (ibid). Dalam 7
kasus Panna, kesempatan untuk pulang ke tanah air, India, sangatlah terbuka lebar. Meski dia belum berkeputusan menjadi seorang permanent resident, menjadi seorang imigran, dan membentuk jaringan di Amerika telah memperkuat dirinya dan membuat dirinya merasa berguna. “I’ve made it. I’m making something of my life. I’ve left home, my husband, to get a Ph.D. in special ed. I have a multiple entry visa and a small scholarship for two years. After that, we’ll see” (1985:29). Tidak seperti perempuan India lain, Panna tidak merasa canggung dengan statusnya sebagai istri yang tinggal sendiri di Amerika tanpa suami. Statusnya tidak membuat dirinya menjadi seorang yang dependen di negeri orang. Pendidikan, pada kenyataannya, membedakan dia dari para perempuan India lain di negeri asal termasuk ibunya yang “was beaten by her mother-in-law, [her] grandmother, when she’d registered for French lessons at the Alliance Francaise [and her grandmother], the eldest daughter of a rich zamindar, was illiterate” (ibid). Meski begitu, diaspora membawa pengaruh positif bagi Panna. Dibandingkan dengan ibu dan neneknya, diaspora membebaskan dia dari tradisi Hindu yang menuntut dia untuk menjadi seorang istri dan anak menantu yang baik. Dalam kasus Panna, statusnya sebagai seorang istri tidak mengharuskan dia untuk menciptakan kembali alat-alat masa lalu di negeri orang. Ketiadaan suami, sebagai representasi tanah air dan sumber tuntutan domestik, membuat proses negosiasi dan adaptasinya ke tanah baru berjalan lancar. Jarak yang terbentang antara Panna dan suaminya membebaskan dia untuk sementara waktu dari tugas-tugas sebagai seorang istri seperti memakai perhiasaan yang hanya dipakai oleh seorang istri di India. Hal ini kemudian diprotes oleh suaminya ketika ia mengunjungi sang istri. Panna menunjukkan kepatuhannya dengan mengubah pakaiannya dari “the cotton pants and shirt [she’s been] wearing all day and put on a sari to meet [her] husband at JFK” (1985:33) dan mengenakan “the jewelry; the marriage necklace of mangalsutra, gold drop earrings, heavy gold bangles” (ibid). Dalam situasi ini, Panna adalah seekor bunglon. Dia mengubah dirinya dari seorang mahasiswa imigran India lajang menjadi seorang istri India yang sebenarnya. Mempertahankan aspek-aspek masa lalu seperti sari dan kalung emas pernikahan mengindikasi koneksinya dengan tanah air yang terus menerus. Hal ini menjadi salah satu karakteristik kuat perempuan diaspora India. 8
Vinita, tokoh perempuan Mukherjee dalam “Visitor” memiliki karakteristik yang berbeda sebagai seorang perempuan diaspora India. Vinita memiliki alasan khusus untuk bermigrasi ke Amerika. Vinita digambarkan sebagai seorang wanita yang pintar dan cerdas. Dia mendapatkan pendidikannya di Loretto Collego, Calcutta. Vinita berimigrasi ke Amerika untuk mengikuti calon suaminya, Sailen Kumar. Perempuan diaspora India memiliki beragam cara untuk mendapatkan kewarganegaraan Amerika. Dalam kasus Vinita, pernikahannya dengan seorang akuntan cakap di Manhattan telah membawa dia menjadi seorang warga negara Amerika. Pernikahan menjadi alatnya untuk menjadi ‘moving devi’. Tidak seperti Panna yang menemukan jalannya sendiri ke Amerika, Vinita melalui perjodohan menemukan jalannya ke Amerika. Perjodohan adalah bagian dari tradisi di India. Orang tua Vinita menginginkan dia untuk “marry her off to a doctor or engineer of the right caste and class but resident abroad, preferably in America” (1985:162). Imigrasi adalah ide orang tuanya. Menjadi seorang perempuan diaspora dipandang membawa kesejahteraan bagi keluarga di tanah air. Tidak seperti Panna yang memiliki inisiatif, Vinita adalah perempuan yang pasif dan patuh. Dia merasa bahwa “She has done nothing exceptional. She has made no brave choices” (1985:163). Vinita adalah perempuan yang dependen kepada suaminya. Dalam kasus Vinita, menjadi seorang perempuan diaspora yang dependen memungkinkan intensitas penetrasi nilai-nilai patriarkis di negara baru. Vinita menjadi perantara antara tanah air dan negara baru yang dia tinggali. Nilai-nilai patriarki tanah air muncul dari kedatangan teman-teman India ke apartemen Sailen and Vinita. Hal ini dapat diprediksi dengan jelas dari judul cerita pendek ini. Pengunjung-pengunjung tersebut adalah teman-teman Sailen yang tinggal dekat dengan mereka di New Jersey. Dua dari tiga teman yang berkunjung adalah perempuan, Mrs. Leela Mehra and Mrs. Kamila Thapar. Sedangkan satu adalah lelaki, teman Sailen ketika dia pertama kali datang ke Amerika. Mrs. Leela and Mrs. Kamila secara konsisten mempertahankan nilai-nilai tanah air di negara baru. Mereka berpikir Vinita juga harus melakukan hal yang sama. Meskipun kedatangan mereka ke apartemen dalam beberapa hal mengurangi rasa stress Vinita sebagai seorang pendatang baru, Vinita yakin tujuan mereka berkunjung adalah “to check out what changes she, the bride, has made to Sailen’s condominium” (1985:164). Reproduksi 9
nilai-nilai tanah air di apartemen Vinita sangatlah penting bagi Mrs. Leela and Mrs. Kamila. Mereka beranggapan menjadi terlalu Amerika tidaklah baik. Kedatangan Vinita dalam kehidupan Sailen dapat mencegah Sailen untuk menjadi terlalu Amerika. Pengunjung Vinita yang selanjutnya adalah pemuda India generasi kedua yang “told her the first time they met, after a movie, that he’d been born in Calcutta but immigrated with his parents when he was just a toddler” (1985:168). Bagi pemuda India ini, Vinita adalah jembatan dunia baru dan dunia lama. Pemuda itu meminta Vinita untuk “tell stories about Calcutta” (1985:169) untuk memenuhi kerinduannya pada tempat yang dulunya pernah ia kunjungi ketika ia masih berusia tiga tahun. Meski begitu, kedatangan pemuda India ke apartemennya menciptakan situasi yang menegangkan bagi Vinita. Pemuda India mewakili nilai patriarki dunia baru yang menekan bagi Vinita, figur dunia lama. Sebagai seorang pendatang baru, Vinita masih memegang nilai-nilai ketimuran untuk tidak mempersilahkan lelaki asing masuk ketika dia sendirian di rumah. Bagi Vinita, “letting him in might lead to disproportionate disaster” (ibid). Mempersilakan pemuda tersebut masuk telah menciptakan bencana bagi Vinita. Sari chiffon milik Vinita, benda yang dia bawa dari masa lalu, tidak dapat melindunginya dari serangan erotis pemuda India ini karena “his right arm snakes toward her, reaches up through the chiffon sari” (1985:173). Posisi Vinita sebagai seorang pendatang baru di Amerika sangatlah rentan karena dia harus menghadapi serangan dadakan dari seorang pemuda tak dikenal. Mukherjee menggambarkan Vinita sebagai seseorang yang “paralysed” (ibid). Vinita membatu dan tersubjugasi.
2. Perempuan India Diaspora dalam Cerpen Jhumpa Lahiri Dua cerita pendek selanjutnya yang akan dibahas adalah “A Real Durwan” and “Mrs. Sen” karangan Jhumpa Lahiri, seorang wanita penulis Amerika India generasi kedua. Dua cerita pendek ini diambil dari kumpulan cerita pendek Jhumpa yang berjudul, Interpreter of Maladies (1999). Dua tokoh perempuan dalam cerita pendek tersebut adalah Boori Ma dan Mrs. Sen. Dua tokoh perempuan ini memiliki latar belakang hidup yang berkebalikan. Boori Ma adalah seorang pengungsi, terusir
10
dari negara asalnya karena perang sedangkan Mrs. Sen adalah seorang istri professor yang tinggal di Amerika. Sebagai salah seorang tokoh perempuan dalam cerita pendek “A Real Durwan”, Boori Ma harus pindah dari negaranya sendiri karena situasi politik yang tidak menentu. Tidak seperti tokoh perempuan lain, Boori Ma tidak berimigrasi ke negara lain dengan tujuan untuk menemani suami atau melanjutkan studi. Dia dideportasi ke Calcutta karena peristiwa Partisi. Status Boori Ma pun berubah tidak lagi warga negara namun seorang pengungsi (refugee) atau seorang yang terasing dari negaranya dan kemungkinan kembali ke tanah air sangatlah kecil. Dia digambarkan sebagai seorang “refugee; the accent in her Bengali made that clear” (1999:75). Aksen dalam bahasa Bengali Boori Ma merupakan elemen bahasa penanda identitas yang melekat erat padanya. Aksen ini menunjukkan keberadaan asal Boori Ma. Aksen adalah bagian dari masa lalu Boori Ma yang terbawa dalam kehidupan masa kini Boori Ma. Perjalanan diaspora yang dilalui Boori Ma pun berbeda dengan tokoh perempuan lain. Boori Ma menumpang “bullock cart” (1999:79) atau “a truck, between sacks of hemp” (ibid) dari Pakistan ke Calcutta. Perpindahan Boori Ma tidak dilalui dengan mulus layaknya tokoh perempuan lain. Sebagai seorang yang terbuang karena situasi politik dinegaranya, di Calcutta Boori Ma tinggal menumpang tidur di atap sebuah flat di Calcutta: “On the rooftop Boori Ma hung her quilts over the clothesline” (1999:81). Selain itu, sebagai seorang perempuan diaspora, Boori Ma cenderung tidak konsisten berkenaan dengan cerita-cerita masa lalu yang dituturkannya kepada penduduk yang tinggal di flat. Masa lalu dan masa sekarang Boori Ma adalah sebuah dunia yang terbagi. Dunia yang terbagi inilah yang membuat Boori Ma terpecah dan tidak konsisten. Di masa lalunya, dia adalah seorang yang dihormati dan datang dari keluarga kaya serta makmur. Dia memiliki “a two-story brick house, a rosewood almari, and a number of coffer boxes” (1999:78). Dia bercerita kepada semua orang bahwa putrinya “married to a school principal. The rice was cooked in rosewater. The Mayor was invited. Everybody washed their fingers in pewter bowls” (ibid). Dia menggambarkan bahwa dirumahnya “[they] ate goat twice a week. [They] had a pond on our property, full of fish” (ibid). Situasi Boori Ma di tempat asalnya sangatlah berkebalikan dengan situasinya sekarang. 11
Kata ‘durwan’ yang berasal dari bahasa Bengali, memiliki arti ‘penjaga’. Lahiri, yang seorang Amerika India generasi kedua, menyandingkan bahasa Bengali ‘durwan’ dengan bahasa Inggris ‘Real’. Hal ini, antara lain dilakukan untuk menambahkan ‘citarasa’ India dalam cerita pendek ini. Kata ‘durwan’ sendiri dapat pula mengacu pada Boori Ma sebagai tokoh utama. Peran yang dijalani Boori Ma sebagai seorang penjaga flat yang berusia enam puluh empat tahun memang tidak umum. Peran ini pada umumnya dilakoni oleh pria: “though under normal circumstances this was no job for a woman” (1999:81). Tugas Boori Ma sebagai seorang ‘durwan’ antara lain meliputi: “patrolled activities in the alley, screened the itinerant peddlers who came to sell combs and shawls from door to door, was able to summon a rickshaw at a moment’s calling, and could, with a few slaps of her broom, rout any suspicious character who strayed into the area in order to spit, urinate, or cause some other trouble” (1999:80). Meski Boori Ma tidak mendapatkan tekanan untuk mempertahankan nilainilai budaya asal di negeri baru layaknya perempuan India diaspora lain dalam bahasan ini, namun peran Boori Ma sebagai seorang durwan atau penjaga flat dapat secara simbolik diartikan sebagai seorang penjaga nilai-nilai juga. Boori Ma adalah filter yang melindungi penghuni flat dari serangan dunia luar. Sementara itu, Mrs. Sen, tokoh perempuan dalam cerita pendek “Mrs. Sen’s” menghadapi tantangan yang berbeda dalam kehidupan diasporanya di Amerika. Tidak seperti Boori Ma, tujuan Mrs. Sen berimigrasi ke negara lain adalah untuk mengikuti suaminya yang bekerja di sebuah universitas. Di negara asalnya, Mrs. Sen, sama seperti Boori Ma, datang dari keluarga berada. Hidup di negara asalnya jauh lebih mudah dibandingkan hidup di tempat dia berimigrasi sekarang karena hak-hak istimewa yang dia miliki. Hak istimewa tersebut misalnya seperti seorang sopir yang mengantar Mrs. Sen kemanapun dia pergi. Hal ini, pada satu hari, dia ceritakan pada seorang Amerika yang kemudian dengan cepat berkata, “and that’s all ... in India?” Meski begitu, sebagai istri seorang professor, Mrs. Sen memiliki hak istimewa juga di Amerika yaitu tinggal di apartmen milik universitas. Dalam lingkungan apartemen milik kampus, dunia Mrs. Sen terbatas. Hak istimewa ini meringankan beban Mrs. Sen untuk berhadapan langsung dengan dunia luar masyarakat Amerika yang sebenarnya. Interaksi intensif Mrs. Sen dengan orang12
orang di luar komunitasnya berawal ketika dia mengiklankan dirinya sebagai seorang babysitter “on an index card outside the supermarket: “Professor’s wife, responsible and kind, I will care for your child in my home” (1999:123). Ini adalah untuk kali pertama dia membuka dirinya dan rumahnya bagi orang di luar komunitas orang India. Apartemen milik Mrs.Sen adalah pertemuan antara Barat dan Timur. Di tempat ini Mrs. Sen mempertahankan nilai-nilai negara asalnya dan mengadopsi sedikit budaya Barat. Salah satu kebiasaan Mrs. Sen yang mungkin dianggap aneh adalah melepas alas kaki setiap kali penghuni rumah atau tamu memasuki rumah. Kebiasaan ini juga dilakukan oleh Elliot, bocah lelaki Amerika yang diasuh oleh Mrs. Sen: “Eliot learned to remove his sneakers first thing in Mrs. Sen’s doorway ...” (1999:126). Kewajiban mempertahankan nilai-nilai budaya sendiri di negeri asing tidaklah datang karena tekanan dari Mr. Sen. Tidak seperti tokoh perempuan lain, lingkungan diaspora sebenarnya membebaskan Mrs. Sen dari segala kungkungan nilai-nilai patriarki tanah air. Bagi Mrs. Sen, reproduksi nilai-nilai budaya mengobati rasa kesepian dan rasa kerinduannya akan tanah air India. Rasa keterasingan akan negeri baru seolah dapat disembuhkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya India. Meski Boori Ma dan Mrs. Sen memiliki orientasi ketanah-airan yang kuat, mereka tidak selalu dapat memiliki akses yang cukup ke tanah air mereka. Dalam kasus Boori Ma, kemungkinan untuk pulang sangatlah kecil bahkan tidak mungkin. Sementara Mrs. Sen, statusnya sebagai seorang istri professor – bisa juga disebut sebagai ekspatriat dan bukan immigrant – memiliki akses ke tanah air yang lebih luas daripada Boori Ma. Meski jarak merupakan faktor penghambat, Mrs. Sen masih menjaga konektivitas dengan sanak saudara dan teman di tanah air. Konektivitas ini dimungkinkan dengan kehadiran surat: “two things, Eliot learned, made Mrs. Sen happy. One was the arrival of a letter from her family. It was her custom to check the mailbox after driving practice” (1999:132). Dalam cerita pendek ini, Jhumpa Lahiri mengkontraskan keberadaan tokoh Eliot, seorang anak lelaki warga negara Amerika berusia sebelas tahun dengan tokoh Mrs. Sen, seorang ekspatriat India berusia tigapuluhtahunan. Meski dua tokoh yang intensif berinteraksi ini memiliki latar belakang yang berbeda, Eliot dan Mrs. Sen sama-sama merasa kesepian dan terasing. Eliot tidak menghabiskan banyak waktu 13
bersama ibunya. Ibunya, yang seorang single mother, lebih sering berada di kantor atau bersama kekasihnya. Pada jam kantor, Eliot mesti tinggal bersama Mrs. Sen. Setali tiga uang dengan Eliot, Mrs. Sen tinggal sendiri di apartemennya ketika Mr. Sen sibuk mengajar di kampus. Tuntutan pekerjaan membuat Mr. Sen menghabiskan banyak waktunya di kampus dan berharap Mrs. Sen dapat lebih mandiri mengurusi urusan di luar rumah. Menjadi mandiri di lingkungan Amerika yang asing membuat Mrs. Sen merasa stres. Lahiri juga mengkontraskan kata benda ‘home’ dalam persepsi tokoh anak kecil dan perempuan India setengah baya ini. Eliot cukup jeli membaca persepsi Mrs. Sen tentang rumah. Setelah beberapa kali berinteraksi dengan Mrs. Sen, Eliot hapal bahwa ‘home’ yang dimaksud Mrs. Sen bukan Amerika tapi India: “By then Eliot understood that when Mrs. Sen said home, she meant India, not the apartment where she sat chopping vegetables” (1999:128). Bagi Mrs. Sen, apartemennya bukanlah rumah melainkan sebuah tempat transit. Orientasi Mrs. Sen akan India merupakan bukti bahwa tanah air masih memegang peranan penting sebagai sumber otoritas nilai-nilai.
Simpulan Perempuan-perempuan India dalam empat cerita pendek karangan dua pengarang wanita berbeda generasi, Bharati Mukherjee dan Jhumpa Lahiri, merupakan representasi penggambaran perempuan-perempuan global yang tinggal tersebar di luar tanah air mereka. Tokoh-tokoh perempuan ini memiliki alasan tersendiri untuk meninggalkan tanah air mereka, India. Perempuan-perempuan ini, ditilik dari tujuan mereka berimigrasi, memiliki ‘status’ diaspora yang berbeda-beda. Panna adalah seorang research student datang ke Amerika dengan visa student, sementara Vinita dan Mrs. Sen adalah ekspatriat, datang ke Amerika untuk menemani sang suami. Boori Ma, tokoh wanita yang paling tidak beruntung, adalah seorang exile karena dia terasing dan terusir dari negaranya. Mereka memiliki persamaan yaitu perempuan India generasi pertama. Perempuan diaspora India generasi pertama menghadapi kesulitan-kesulitan yang berbeda dalam proses pencerabutan akar di tanah air daripada perempuan diaspora generasi kedua. Mereka
14
harus mengadaptasikan diri mereka terhadap lingkungan asing dan pada saat yang bersamaan dihantui oleh nostalgia masa lalu. Berdasarkan paparan di atas, perjalanan diaspora yang dilakoni oleh empat perempuan India diaspora dalam cerpen Mukherjee dan Lahiri memenuhi tiga tingkat diaspora milik Brubaker. Masing-masing perempuan diaspora tersebut tinggal tersebar di luar tanah air mereka dalam waktu yang tidak sebentar. Waktu yang tidak sebentar inilah yang menjadi ‘syarat’ seseorang dapat disebut sebagai orang diaspora. Proses pencerabutan akar dari negara asal dan proses penyesuaian dengan negara baru butuh waktu yang tidak sebentar. Pada tingkatan yang kedua, dapat dipastikan keempat perempuan diaspora India ini memiliki orientasi yang cukup kuat pada tanah air. Meski mereka telah tinggal beberapa waktu di luar negara asal, orientasi akan nilai-nilai ditujukan pada negara asal mereka. Keempat perempuan diaspora India ini juga mempertahankan nilai-nilai tersebut di daerah diaspora mereka dengan baik. Orientasi ketanah-airan dipupuk dengan cara-cara mereka mempertahankan nilai-nilai negara asal di negeri baru. Yang perlu digarisbawahi dari keempat perempuan ini adalah identitas asli mereka masih terjaga meski dalam beberapa nilai-nilai negara baru juga mereka adopsi sebagai bentuk usaha diri untuk bertahan. Beberapa dari perempuan-perempuan diaspora India ini harus berhadapan dengan nilai-nilai patriarki negara lama yang terbawa ke negara baru. Singkat kata, bagi perempuan-perempuan diaspora India ini, negara baru dapat membebaskan mereka dari nilai patriarki negara lama atau juga dapat mengungkung mereka dalam fase patriarki baru di negara tamu.
Daftar Pustaka Brubaker, Rogers. 2005. “The ‘Diaspora’ Diaspora” in Ethnic and Racial Studies 28.1 (January, 2005):1-19. Brah, Avtar. 1996. Cartographies of Diaspora: Contesting Identities (Gender, Racism, Etnicity Series). London: Routledge. Braziel, Jana Evans, and Anita Mannur. 2003. “Nation, Migration, Globalization: Points of Contention in Diaspora Studies” in Theorizing Diaspora. Eds. J.E. Braziel and A. Mannur. Manhattan: Blackwell Publishing, 1-22. Chambers, Iain. 1994. Migrancy, Culture, Identity. London; New York: Routledge, Cho, Lily. 2007. “The Turn to Diaspora.” In Topia 17: Diasporic Pasts and Futures: Transnational Cultural Studies in Canada:11-30. Clifford, James. 1994. “Diasporas.” Cultural Anthropology 9.3 : 302-338.
15
Ganguly, Keya. 1992. “Migrant Identities: Personal Memory and the Construction of Selfhood”. Cultural Studies 6.1: 27-50. Hall, Stuart. 1996. “Introduction: Who Needs ‘Identity’?” Questions of Cultural Identity. Eds. Stuart Hall and Paul du Gay. London; New Delhi: Sage Publications, 1-17. Lahiri, Jhumpa. 1999. Interpreter of Maladies. New York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company, 1999. Mukherjee, Bharati. 1985. Darkness. Ontario: Penguin Books. Parrenas, Rhacel S., and Siu, Lok C.D. 2007. “Introduction: Asian Diasporas-New Conceptions, New Frameworks.” Asian Diasporas: New Formations, New Conceptions. California: Stanford University Press, 1-27. Rayaprol, Aparna. 1997. Negotiating Identities: Women in the Indian Diaspora. Delhi: Oxford University Press, 1997. Shukla, Sandya. “Locations for South Asian Diasporas” in Annual Review of Anthropology 30:551-572. Tololyan, Khachig. 2007. “The Contemporary Discourse of Diaspora Studies.” In Comparative Studies of South Asia, Africa, and the Middle East 27.3:641655.
16