WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU SEBUAH PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh Sigit Permadi Wibowo NIM: 004114054
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Dia yang menjadi pujaan segala iman Ayahanda dan Ibunda yang selalu mendoakan aku Dan Saudara yang selalu mendukungku
MOTO
Orang kalah adalah orang yang berhenti untuk berusaha (Tora Sudiro dalam “Quickie Express”)
Pernyataan Keaslian Karya
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10 Oktober 2008 Penulis
Sigit Permadi Wibowo
ABSTRAK Wibowo, Sigit Permadi. 2008. Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Antologi Cerita Pendek Seribu Impian Perempuan Buru: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengkaji wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Menganalisis kondisi sosiokultural yang tercermin pada antologi cerita pendek yang melatarbelakangi wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan. (2) Mendeskripsikan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan di Pulau Buru yang terdapat dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Penelitian ini memilih tiga cerita pendek sebagai perwakilan dari enam cerita pendek yang terdapat dalam antologi, semua populasi bersifat sama dalam mengungkapkan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan serta budaya yang melatarbelakanginya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode analisis. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yakni teknik simak dan teknik catat. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Penganalisisan kondisi sosiokultural dari tiga judul cerita pendek yang mewakili keseluruhan antologi cerita pendek ini dapat terlihat secara garis besar bahwa sistemsistem dan pengaruh-pengaruh yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi perjuangan perempuan dalam pendidikan, adalah kawin piara, sistem patriarkhi, dan konflik bernuansa agama. (2) Wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan terlihat pada tokoh Maria dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, terhadap Lusi, anak perempuan satu-satunya yang selamat dan harus melalui perjuangan berat untuk dapat menyekolahkannya. Lusia Latun (Lusi) dalam cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, Lusi tidak ingin anak-anak perempuannya memiliki nasib yang sama seperti dirinya walaupun salah satu putrinya tetap harus mengalami nasib yang sama menjadi korban tradisi ”kawin piara”. Lusi menginginkan anak perempuan yang lain tetap bersekolah. Tokoh kedua dalam cerita pendek Tragedi TurunTemurun Anak Perempuan Buru adalah Yati, dalam cerita ini Yati berjuang agar dirinya tetap bisa sekolah walaupun harus bertengkar dengan sang ayah, Yati lebih memilih mati jika dipinangkan dengan orang lain. Yosepha Wael (Yos) dalam cerita pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, ia memutuskan meninggalkan orangtuanya untuk waktu yang sangat lama. Yos berani mengambil keputusan penting demi perkembangan dirinya. Wujud perjuangan dari Tokoh-tokoh yang dipaparkan merupakan gambaran perjuangan perempuan sejati dalam arti sesungguhnya, demi hak dan kebebasan untuk kemajuan, mereka berani memberontak tradisi.
ABSTRACT Wibowo, Sigit Permadi. 2008. The Form of Women’s Struggle in the Education Field as seen in the Short Stories Anthology Seribu Impian Perempuan Buru: A Review on Sociology of Literature. Indonesian Literature Department of Sanata Dharma University: Yogyakarta. This research analyzed the form of women’s struggle in the education field as mention in short stories anthology Seribu Impian Perempuan Buru. The aims of this research are (1) To Analyze sosiocultural condition which seen in the short story anthology which background of form woman’s struggle in the education. (2) To describe form of women’s struggle in the education field at Buru Island as mention in the short story anthology Seribu Impian Perempuan Buru, The approach which was used is a sociology literature approach which prioritizes the literature text as a basis of the study. To efficiency, this research is chosen three title as delegation from six short story which there are in anthology and population have all the same of character in laying open form of woman’s struggle in the education and culture which it. The methods which were used in this research were an descriptive method and analysis method. The techniques which ware used in this research consist of two things, a monitor technique and a note taking technique. From the result of the research, it could be concluded that (1) Analysis of sosiocultural condition from three short story title of deputizing the overall of this short story anthology earn seen marginally that systems and effects which seen in the short story anthology which background of form woman’s struggle in the education is “kawin piara”, patriarchy system, and religion conflict nuance, (2) the form of woman’s struggle in the world of education as seen in the character of Maria in the short story Maria, Keteguhan Hati Perempuan, toward Lusi, the only one daughter who saved and have to struggle to get education. Lusia Latun (Lusi) in the short story Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, Lusi doesn’t want her daughters have the same life as her life eventough one of her daughter still have to experienced the same life as her life, become the victim of tradition “kawin piara”. Lusi wants her remain daughters go to school. The second of Figure in The short story Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru is Yati, in this story Yati fight for herself to get stay in School eventough she have to quarrel with her father, she chooses to die if she have to be engaged with someone. Yosepha Wael (Yos) in the short story Perempuan Di Musim Angin Timur, she decides to leave her parents for a long time. Yos dares to take important decision for her development. The form struggle of each character being told is a view of true women’s struggle in the real life for the rights of freedom of development, they dare to break the tradition.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kelimpahan dan tuntunan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia. Skripsi ini dapat terwujud berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, dan Dra. F. Tjandrasih Adji M.Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing sampai tersusunnya skripsi ini; 2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Drs. FX. Santosa, Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Drs. A. Hery Antono, M.Hum, dan Drs. Ari Subagyo, M.Hum, yang telah dengan sabar mendidik penulis; 3. Para karyawan dan karyawati sekretariat Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah pengurusan administrasi; 4. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu mempermudah peminjaman buku-buku; 5. Ayahanda Hari Suatmadji, Ibunda Budi Umi Winarti, dan Kakanda Aries Sutanto serta Agung Budiharto yang telah memberi dukungan kepada penulis;
6. Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Sanata Dharma (MAPASADHA) dan saudara-saudaraku di ”pondok” tercinta, yang telah banyak memberikan pengalaman berharga dan rasa persaudaraan yang luar biasa serta membantu penulis mewujudkan skripsi ini; 7. Keluarga besar paguyuban Waris Mataram Muntilan yang telah memberi dukungan kepada penulis; 8. Vinawinanti yang selalu mendukung penggarapan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 9. Sutikno Sutantyo yang telah banyak memberikan cerita dan pengalamannya selama berkarya di Pulau Buru; 10. Teman-teman Bengkel Sastra dan teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2000 serta yang telah membantu penulis mewujudkan skripsi ini; 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis mengerjakan skripsi ini dengan bantuan pihak-pihak di sekitar, panduan dari buku-buku yang terdapat dalam lembar daftar pustaka. Dengan demikian, segala sesuatu yang terdapat dalam hasil penelitian ini akan menjadi tanggung jawab penulis. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, terima kasih. Yogyakarta,
Oktober 2008
Penulis
(Sigit Permadi Wibowo)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… iii HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………………. iv MOTO…………………………………………………………………………........
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………….…………….... vi ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii ABSTRACT………………………………………………………………………......viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.……………………… ix KATA PENGANTAR…………………………………………………………........ x DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. xii BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………….... 1 1.1 Latar Belakang………………………………................................... 1 1.2 Rumusan Masalah…...………........................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian………..……………………................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian……………...…………...................................... 5 1.5 Landasan Teori……………...………………………………........... 6 1.5.1 Sosiologi Sastra ……...……………………………................ 6 1.5.1.1 Hubungan Karya Sastra dengan Kenyataan……......... 7 1.5.1.2 Sosiokultural dalam Karya Sastra……………………
8
1.5.2 Pendidikan…………………...……………………………..... 9 1.5.3 Kawin Piara……………………………………….................. 10 1.6 Metode Penelitian…………………………...……………………... 12 1.6.1 Metode Analisis…………………………...………………......12 1.6.2 Teknik Pengumpulan Data…………………...…………….... 13
1.6.3 Populasi dan Sampel………………………...………….......... 14 1.6.3.1 Populasi………………………………...…………..... 14 1.6.3.2 Sampel………………………………...…………....... 14 1.6.4 Sumber Data…………………………………………………. 15 1.7 Sistematika Penyajian………………………………………............ 16 BAB II
KONDISI
SOSIOKULTURAL
YANG
TERCERMIN
PADA
ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU YANG
MELATARBELAKANGI
WUJUD
PERJUANGAN
PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN……………………………… 17 2.1 Kawin Piara………………………………………………………... 18 2.2 Patriarkhi………………………………………………………....... 24 2.3 Konflik Bernuansa Agama……………………………………….... 29 BAB III
WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU………………………………………………....... 37 3.1 Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Maria, Keteguhan hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo…………………………………………………………...... 38 3.2 Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung………………………………………………................ 42 3.3 Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari……………………………………….......46
BAB IV
PENUTUP…………………………………………………………….... 51 4.1 Kesimpulan……………………………………………………........ 51 4.2 Saran……………………………………………………………….. 53
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………......... 54 BIODATA PENULIS…………………………………………………………......... 56
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang yang dicipta dengan maksud
menyampaikan perasaan-perasaannya sebagaimana yang dirasakannya pada waktu ia bersentuhan dengan kehidupan sekitar (Suharianto, 1982: 17). Sistem nilai dalam tradisi lokal dan kapitalisme global memiliki pertautan yang unik dalam memandang perempuan. Keduanya meneriakkan jargon tentang tingginya posisi perempuan, tetapi pada saat yang sama menjadikan perempuan sebagai sandera untuk kepentingannya. Dalam banyak tradisi, nilai perempuan ditentukan oleh ”harga” mas kawin para gadis. Sementara kapitalisme global yang mengusung isu demokrasi dalam praktiknya memandang perempuan lebih sebagai pasar, komoditas, sekaligus konsumen. Di dalam kedua sistem nilai itu terjadi hubungan yang rumit di antara perempuan sehingga yang tertindas dan yang menindas menjadi tidak jelas lagi. Namun, yang tidak jelas itu bisa diperjelas dengan melihat pola penindasannya karena ia menukik ke bawah dalam spiral dehumanisasi sistematis. Seperti diingatkan ilmuwan dan pengamat masalah globalisasi, Dr. I. Wibowo, perempuan dunia pertama menikmati hasil dari perjuangan melawan patriarki, tetapi dengan keringat, ratapan, dan darah perempuan dunia ketiga yang miskin dan kurang pendidikan. Istilah ”dunia pertama” dan ”dunia ketiga” harus dibaca sebagai metafor dari kelas sosial yang lebih tinggi di satu negara. Sekaligus kenyataan riil dari bangsa yang lain di negara yang lebih maju
dibandingkan dengan negara-negara pengirim buruh migran, khususnya perempuan, lebih khusus lagi yang tidak punya keterampilan khusus dan bekerja di wilayah domestik. Pola penindasan memperjelas wujud nilai dan sifat patriarki dalam sikap dan tingkah laku. Meskipun sebagian besar yang menginternalisasikannya adalah laki-laki, patriarki tidak terpilah secara ketat atas dasar jenis kelamin biologis. Perempuan dari suku apalagi sebagai ”suku terasing” ras, etnis, kelompok, golongan, dan agama minoritas berada di lapisan paling bawah. Lebih bawah dari yang terbawah kalau dalam kelompoknya mereka berada di lapis sosial terbawah. Penindasnya bisa siapa pun si lapisan sosial di atasnya, entah laki-laki atau perempuan (Hartiningsih, 2006). Pendidikan di Indonesia masih membedakan pendidikan untuk laki-laki dan pendidikan untuk anak perempuan. Menurut Muller (1999: 16) perempuan yang miskin, baik anak maupun orang dewasa, paling sering tidak berkesempatan memperoleh pendidikan karena bermacam-macam alasan, terutama yang bersifat sosio-budaya. Kenyataan ini adalah faktor penting sehubungan dengan permasalahan ”feminisme kemiskinan”
karena
melestarikan diskriminasi struktural kaum
perempuan dan ketergantungan mereka dari kaum laki-laki. Kalau anak perempuan sudah dinomorduakan, maka banyak kesempatan dari semula tertutup bagi mereka. Dengan demikian, keleluasaan untuk bertindak dalam usia dewasa sering juga dibatasi untuk selamanya. Dalam khasanah sastra Indonesia banyak karya sastra yang mengandung tema pendidikan. Sesuai dengan permasalahan tersebut, karya sastra yang diambil adalah
karya sastra yang bertemakan perjuangan wanita dalam pendidikan. Antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang diterbitkan oleh Jesuit Refugee Service (JRS), memiliki nilai lebih tentang perjuangan perempuan di Pulau Buru untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan modernitas yang tampil dalam wajah pendidikan. Mereka mencoba menentang adat istiadat dan mentransformasi masyarakat mereka lewat pendidikan. Mereka terpinggirkan oleh tekanan adat istiadat, struktur sosial, dan struktur ekonomis. Antologi cerita pendek ini lahir berdasarkan kisah nyata dari persentuhan dan pengalaman langsung para staf lapangan Jesuit Refugee Service yang sejak tahun 2000 melayani pengungsi korban konflik di Buru dan Maluku pada umumnya. Perempuan-perempuan yang dihadirkan sebagai tokoh dalam antologi cerita pendek ini adalah perempuan-perempuan yang memiliki daya tahan untuk berjuang dan sekaligus memberi pengaruh dalam proses perjalanan hidup bersama geba bupolo (kelompok masyarakat Buru pribumi) terutama ketika mereka mulai bersentuhan dengan pendidikan. Ulet dan bersemangat untuk memulai hidup baru dengan kerja keras di kebun, sekolah, pelabuhan, menjelajahi hutan lebat, dan lautan untuk meraih mimpinya melanjutkan sekolah adalah bagian dari keliatan dan daya tahan para perempuan geba bupolo yang bisa dialami dan dirasakan lewat kisah-kisah pergulatan dalam masalah pendidikan yang dihadirkan lewat antologi cerita pendek ini. Antologi cerita pendek ini sangat bernilai tinggi jika - nilai-nilai perkembangan dan pertumbuhan pendidikan perempuan di Pulau Buru dipahami dan diselami - Hal ini tergambar melalui gambaran tokoh-tokoh, seting, dan alur
ceritanya. Namun, dalam penelitian ini unsur tokoh, seting dan alur tidak dibahas secara khusus. Unsur-unsur tersebut disinggung dalam pembahasan mengenai perjuangan perempuan dalam pendidikan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka masalahmasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimanakah kondisi sosiokultural perempuan Buru yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi Perjuangan Perempuan dalam pendidikan?
1.2.2
Bagaimanakah wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan di Pulau Buru yang terdapat dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang digunakan untuk penganalisaan adalah sebagai berikut: 1.3.1
Menganalisis kondisi sosiokultural perempuan Buru yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi Perjuangan Perempuan dalam pendidikan?
1.3.2
Mendeskripsikan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan di Pulau Buru yang terdapat dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian terhadap pendidikan perempuan di Pulau Buru dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru ini memberikan manfaat, sebagai berikut 1.4.1
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengajaran sastra pada program studi Satra Indonesia.
1.4.2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra khususnya cerita pendek di lingkungan akademis, serta hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan metode maupun objek penelitian ini.
1.4.3
Hasil penelitian ini dapat menjembatani antara kumpulan cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru dengan masalah pendidikan perempuan dalam masyarakat dewasa ini.
1.4.4
Hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi perkembangan dalam kaitannya untuk studi sastra tentang kajian sosiologi sastra yang diterapkan dalam kumpulan cerita
pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang diterbitkan oleh Jesuit Refugee Service.
1.5
Landasan Teori Untuk meneliti perjuangan perempuan dalam pendidikan, penulis akan
memanfaatkan 3 landasan teori, yakni sosiologi sastra, pendidikan, dan kawin piara.
1.5.1
Sosiologi Sastra Sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang tidak tercipta begitu saja.
Kelahiran sebuah karya sastra dilatarbelakangi oleh sosial suatu masyarakat. Pernyataan ini didukung oleh Teeuw (Pradobo, 1995: 57) bahwa tidak ada karya sastra lahir dari kekosongan budaya oleh karena itu sastra tidak bisa dibicarakan secara terpisah dengan masyarakat karena kaitan sastra dengan masyarakat sangat erat. Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusianya. Kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya, lingkungannya, serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya bahkan mendasari setiap langkah yang hendak dan harus dilaksanakan, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya, demikian luasnya cakupan yang terkandung dalam
kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1971: 18).
1.5.1.1 Hubungan Karya Sastra dengan Kenyataan Sastra dipandang sebagai intuisi sosial yang menggunakan media sarana bahasa, karena sastra sebagai karya seorang seniman yang pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat dengan aneka permasalahan sosial. Sastra sering dianggap bersifat mimetik. Roman harus mendekati kenyataan. Tempat terjadi peristiwa harus sesuai dengan tempat kediaman manusia yang kita ketahui, jalan waktu yang dialami secara wajar, manusia dan alam yang kita temukan dalam karya sastra harus cocok dengan pengalaman kita (Teeuw, 1984: 230). Peralatan yang kuat dalam perwujudan karya sastra adalah bahasa. Dalam bahasa bertumpuklah persediaan pengetahuan sosial yang terus-menerus menentukan, menguasai interaksi dengan orang lain. Bahasa tidak hanya mengintegrasi berbagai bidang pengalaman sehari-hari menjadi keseluruhan yang berarti (Teeuw, 1984: 223). Sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Tokoh-tokoh, tema dan gaya dalam sastra bukan lagi bersifat murni khayali pengarang, melainkan menjadi hal-hal yang bersifat realita sosial (Damono, 1979: 14). Gambaran ini tentu saja dititikberatkan dari suatu sudut pandang lingkungan tertentu yang terbatas. Pandangan terhadap dunia pendidikan tak pernah berubah, bahwa pendidikan adalah hal yang penting sebagai landasan dasar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Generasi muda suatu bangsa akan menjadi generasi yang baik apabila ditanamkan nilai-nilai pendidikan yang tinggi.
1.5.1.2 Sosiokultural dalam Karya Sastra Budaya dilihat dari aspek-aspek sebagai cultural universal adalah sebagai sistem peralatan bagi perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa kesenian, dan sistem pengetahuan serta pegangan agama. Jadi ini berarti segala sesuatu yang bersangkutan dengan sosial budaya kelompok masyarakat tertentu terungkap lewat karya sastra yang ditulis pengarang. Karya sastra itu sendiri merupakan produk budaya yang mengungkapkan gambaran kehidupan suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1971: 15). Berkaitan dengan sastra sebagai bentuk karya seni dari seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat, maka sastra tersebut dianggap sebagai suatu produk karya sastra yang mencerminkan masyarakat pada saat itu. Dengan kata lain mempelajari sastra dapat sampai mempelajari masyarakat, yaitu mengenai aspirasi, tingkat
budaya,
seleranya,
pandangan
hidupnya
dan
sebagainya
(Koentjaraningrat,1971: 15). Dalam penelitian ini : antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru diasumsikan sebagai cerminan kenyataan. Karya ini lahir karena pengalaman dan pertemanan secara mendalam antara tim-tim Jesuit Refugee Sevice yang sejak tahun 2000 melayani pengungsi korban konflik di Buru dan Maluku pada umumnya dengan penduduk asli masyarakat Pulau Buru. Dalam antologi tersebut terdapat aspirasi,
tingkat budaya, selera, dan pandangan hidup, juga hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan perempuan dalam pendidikan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sosiologi menurut pengertian yang pertama.
1.5.2
Pendidikan Pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan manusia. Karena itu,
pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat. Sebagian orang memandang, budaya adalah ciptaan manusia yang dilandasi situasi lingkungan yang tidak dipahami manusia (misteri). Pandangan ini memberikan peluang untuk mengubah citraan tersebut, apabila akibatnya tidak membuat manusia selamat. Tetapi, pandangan lain percaya bahwa budaya adalah kodrat alam yang tidak dapat diubah. Dua pandangan ini dapat mengaburkan kebenaran dan sering kali mendorong ketidaksadaran, lebih-lebih dalam suasana yang stabil atau mapan. Kekaburan pandangan ini juga mempengaruhi pendidikan perempuan (Murniati, 2004:17). Dalam antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru dipahami hubungannya dengan budaya masyarakat Pulau Buru setempat, yakni sikap para tokoh perempuan yang diceritakan dalam kesehariannya terhimpit oleh kebudayaan yang telah turun temurun di percayai dan terkadang dianggap sebagai kodrat alam yang tidak dapat dirubah, bahwa perempuan tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan, namun dengan seluruh tenaga, para tokoh perempuan yang diceritakan
dalam antologi ini berjuang menentang budaya demi hak dan kebebasan diri dan keluarganya demi pendidikan serta kehidupan yang lebih baik Sudah berabad-abad masalah perempuan diupayakan untuk diselesaikan. Tetapi tampaknya perjalanan untuk mewujudkan solusi itu masih jauh. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan khusus perempuan sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, upaya itu belum mencapai hasil dan tahap ideal. Pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan manusia. Karena itu, pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat. Kebangkitan perempuan yang sudah berabad-abad ditandai dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang tidak adil. Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil, maka mereka memberontak. Namun, karena gerakan pembodohan juga sudah berjalan berabad-abad, maka usaha kebangkitan perempuan melalui pendidikan membutuhkan waktu yang lama pula. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan ini, akan terhambat apabila pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan perempuan tidak memiliki visi yang sama, atau bahkan bertentangan (Murniati, 2004: 17).
1.5.3
Kawin Piara “Kawin Piara” terjadi ketika seorang laki-laki membayarkan sejumlah harta
kawin berupa uang dan barang yang telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan sehingga ia berhak membawa pulang sang istri yang masih belum mencapai masa akil
balik. Status perkawinan akan disahkan ketika sang istri ini sudah matang secara fisik. Baru setelah itu, perempuan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang begitu berat (Claresta, 2006). Anak perempuan Pulau Buru adalah korban. Di hadapan tradisi, mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia, enam tahun atau bahkan saat masih dalam kandungan oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang untuk sekolah lagi. Istilah setempat mengatakan ”kawin piara”, Anak yang dipinang dipelihara sampai dirasa siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga (Kuswandari, 2005). Anak-anak perempuan Pulau Buru, di hadapan tradisi mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia. Ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang bersekolah dan kadang juga dilarang untuk bergumul dengan kawan sebaya, seakan tidak boleh mengenal dunia luar. Mereka menyebutnya sebagai “kawin piara”. Mereka dipertukarkan oleh ayahnya karena memang di sana perempuan bisa dipertukarkan sebagaimana barang. Bahkan terkadang mereka juga diteruskan pada laki-laki lain dalam satu keluarga jika suaminya meninggal agar persaudaraan di antara kedua keluarga tidak terputus (Hafidzohalmawaliy, 2008).
1.6
Metode Penelitian Untuk meneliti perjuangan perempuan dalam pendidikan, penulis akan
memanfaatkan 3 metode penelitian, yakni metode analisis, teknik pengumpulan data dan sampel.
1.6.1
Metode Analisis Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran
ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono, 1986: 14). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dan metode deskriptif. Metode analisis merupakan suatu cara membagi suatu objek yang dapat berupa gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur, maupun proses ke dalam komponen-komponennya. Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat (Keraf, 1981: 61). Langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisanya dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan. Hasil analisis tersebut dideskripsikan sesuai dengan penafsiran dan pemahaman
peneliti berdasarkan landasan teori dalam
penelitian ini. Berdasar metode ini, maka pertama-tama peneliti mengkaji bentukbentuk perjuangan tokoh dalam tiga cerita pendek. Kedua, menganalisis kondisi sosiokultural perempuan Buru yang memperjuangkan pendidikan, melalui peristiwaperistiwa yang dialaminya, melalui reaksi tokoh yang lain dan bagaimana reaksi
tokoh utama terhadap pendidikan, lingkungan tempat tinggal, dan keluarga yang dimilikinya, serta bagaimana sikap tokoh utama menghadapi kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal tokoh utama dan keluarganya.
1.6.2
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pustaka. Teknik pustaka ini merupakan teknik yang dilakukan dengan meneliti teks baik lama maupun modern- dengan memanfaatkan kartu data. Teknik pustaka dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Dalam studi tersebut dicari sumber-sumber tertulis yang digunakan dan dipilih sesuai dengan masalah dalam tujuan penelitian (Ratna, 2004: 39). Selain itu juga digunakan teknik simak dan catat. Teknik simak dan catat merupakan teknik dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyimak secara cermat, terarah dan teliti terhadap data-data yang telah diperoleh. Data-data yang diperoleh dari hasil penyimakkan kemudian dicatat pada kartu data (Sudaryanto,1988:1-5). Hal tersebut dimaksudkan agar peneliti memperoleh data yang konkret. Pelaksanaannya dengan menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian.
1.6.3
Populasi dan Sampel
1.6.3.1 Populasi Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Sudaryanto, 1988: 21). Dalam penelitian ini yang disebut populasi adalah seluruh cerita pendek yang ada di dalam antologi Cerita Pendek Seribu Impian Perempuan Buru. Cerita-cerita pendek itu adalah 1. Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo 2. Tragedi Turun Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari 3. Perempuan di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung 4. Potret Perempuan Pilihan, karya Theopilus Yanuarto 5. Perempuan Asing di Tanah Buru, karya Melani Wahyu Wulandari 6. Guru Rakitan, karya Vivi Amalia.
1.6.3.2 Sampel Sampel adalah bagian yang lebih kecil dari populasi yang diambil sebagai bahan penelitian. Karena jumlah keseluruhan populasi tersebut begitu banyak, maka demi kerja penelitian, jumlah dari populasi tersebut diambil sebagian yang dipandang cukup mewakili keseluruhannya (Sudaryanto, 1988: 21). Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel penelitian adalah cerita pendek 1. Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo 2. Perempuan di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung 3. Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari.
Dalam meneliti wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru ini hanya membahas tiga judul cerita pendek, yang merupakan perwakilan dari keenam judul yang ada, selain untuk efisiensi juga karena semua populasi bersikap sama yaitu mengungkapkan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan serta budaya yang melatarbelakanginya.
1.6.4
Sumber Data Sumber data adalah tempat data itu diperoleh. Sumber data dibagi menjadi
dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Karena penelitian ini adalah penelitian sastra, maka sumber data primernya pun berupa karya sastra, yaitu kumpulan cerita pendek dengan identitas sebagai berikut: Judul
: Seribu Impian Perempuan Buru
Penerbit
: Jesuit Refugee Service (JRS)
Tahun Penerbit
: Yogyakarta, November 2005
Tebal buku
: 103 halaman
Cetakan
: Cetakan pertama
Sumber data sekundernya berupa literature dan artikel yang diperoleh dari majalah atau jurnal-jurnal sastra, atau didapat dengan cara mendownload artikel dari internet.
1.7
Sistematika Penyajian Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut : Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan pembahasan analisis kondisi sosiokultural yang tercermin pada antologi cerita pandek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatar belakangi perjuangan perempuan dalam pendidikan. berjudul Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo dan cerita pendek berjudul Perempuan di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung serta cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Bab tiga merupakan pembahasan wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan pada cerita pandek berjudul Maria, keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo dan cerita pendek berjudul Perempuan di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung serta cerita pendek Tragedi TurunTemurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Bab empat merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II KONDISI SOSIOKULTURAL YANG TERCERMIN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU YANG MELATARBELAKANGI PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN
Kebangkitan
perempuan
yang
sudah
berabad-abad
ditandai
dengan
perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang tidak adil. Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil, maka mereka memberontak. Keterikatan pada kaum perempuan berarti ketidakmerdekaan perempuan sebagai manusia dalam menentukan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri. Sampai saat ini, masih banyak hak azasi perempuan sebagai manusia pribadi, dirampas tanpa disadari oleh perempuan itu sendiri. Akibatnya, ketidakadilan terhadap perempuan muncul di mana-mana. Hampir seluruh penderitaan di dunia ini, korban mayoritas adalah perempuan (Murniati, 2004: 1718). Sistem nilai dalam tradisi lokal dan kapitalisme global memiliki pertautan yang unik dalam memandang tentang perempuan. Keduanya meneriakkan jargon tentang tingginya posisi perempuan, tetapi pada saat yang sama menjadikan perempuan sebagai sandera untuk kepentingan. Dalam banyak tradisi, nilai perempuan ditentukan oleh ”harga” mas kawin para gadis. Sementara kapitalisme
global yang mengusung isu demokrasi dalam praktiknya memandang perempuan lebih sebagai pasar, komoditas, sekaligus konsumen (Hartiningsih, 2006). Anak perempuan Pulau Buru adalah korban. Di hadapan tradisi, mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia, enam tahun atau bahkan saat masih dalam kandungan oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang untuk sekolah lagi. Istilah setempat mengatakan ”kawin piara”, Anak yang dipinang dipelihara sampai dirasa siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga (Kuswandari, 2005). Berikut ini akan dipaparkan kondisi kultur yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi perjuangan perempuan dalam pendidikan, berdasarkan pengalaman nyata yang terjadi oleh para tim JRS yang juga sekaligus sebagai penulis cerita pendek ini. Kondisi kultural tersebut meliputi kawin piara, patriarkhi dan konflik bernuansa agama.
2.1
Kawin Piara “Kawin Piara” terjadi ketika seorang laki-laki membayarkan sejumlah harta
kawin berupa uang dan barang yang telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan sehingga ia berhak membawa pulang sang istri yang masih belum mencapai masa akil balik. Status perkawinan akan disahkan ketika sang istri ini sudah matang secara fisik. Baru setelah itu, perempuan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang begitu berat (Claresta, 2006).
Maria dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo adalah sosok wanita yang hak dan kebebasannya direnggut adat semenjak kecil, sebelum masa akil balig menghampirinya. Maria tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menuruti keinginan orang tuanya untuk “kawin piara”. (24) Di kampung itu pula, sebelum masa akil balig menghampirinya dia sudah dikawinkan dengan seorang lelaki bermarga Nurlatu pilihan orang tuanya. ”Poly lebih besar dari saya ketika itu,” jawabannya ketika saya bertanya umur berapa dia dikawinkan. Poly adalah seorang anak perempuan berusia sekitar 6 tahun, putri tetangganya di kampung di mana sekarang Maria tinggal. Ia menikah dalam usia yang sangat muda, tanpa kesempatan untuk memilih (hlm.31).
Setelah menikah dan memiliki anak, salah satu anak perempuannya yang bernama Lusi juga hampir mengalami nasib yang sama seperti ibunya. Jika tidak karena Maria, sang ibu, Lusi yang baru berusia 6 tahun sudah dikawinkan. Maria berjuang untuk menolak pinangan-pinangan itu. Maria mencoba memberontak tradisi ”kawin piara” yang telah turun temurun itu. (25) Sementara itu, Lusi, anak perempuannya yang waktu itu baru berumur sekitar 6 tahun sudah menjadi incaran para lelaki di kampung tempat tinggal mereka maupun dari kampung tetangga. Sudah tiga keluarga yang datang meminang Lusi. Meski suami menyetujui, dengan berbagai alasan, Maria selalu menolak pinangan-pinangan itu. (hlm.34).
Tradisi ”kawin piara” berasal dari para raja yang pernah memerintah pulau ini. Masyarakat setempat masih menjalankan kebiasaan ini. Tradisi Buru memungkinkan para lelaki menikahi kaum perempuan di usia sangat dini bahkan kadang sejak di dalam kandungan. Umumnya, mereka dibesarkan, tepatnya ”dipiara” di rumah suami, hingga tiba waktunya menjalankan tugas sebagai istri atau ibu
rumahtangga, di saat mereka dewasa. Biasanya, gadis yang sudah ”dipilih” tidak lagi diijinkan sekolah. Di usia mereka yang kadang baru enam tahun, para bocah itu sudah harus belajar di ladang dan di dapur (Kompas, 2005). Dengan demikian kaum perempuan di sini digambarkan sebagai kaum yang tersisihkan dan terbelenggu oleh adat yang telah di turunkan oleh raja-raja terdahulu. (26) Dalam tradisi Pulau Buru, perempuan-perempuan di bawah umur sudah dikawinkan. ”Kawin piara”, istilah mereka untuk lelaki yang mengawini seorang anak perempuan yang belum mencapai masa akil balik. Si anak perempuan di boyong ke rumah suami, ”dieram” dulu sampai secara fisik siap untuk bereproduksi. Tak peduli apakah secara mental mereka sudah siap, sang suami berhak untuk memetik bunga yang baru belajar berkuncup itu. (hlm.34).
Tradisi ”kawin Piara” secara hukum adat adalah perempuan yang telah ”dibeli” oleh pihak laki-laki bebas dan mutlak dimiliki siapapun asalkan tetap dalam keluarga yang ”membelinya”. (27) Suatu hari terjadi keributan kecil di kampung Masnana. Terdengar berita, suami Maria kawin lagi. Perempuan yang dikawini ternyata adalah istri anaknya sendiri, Kani. Keluarga istri Kani menyalahkan remaja yang baru beranjak dewasa ini atas kejadian tersebut. Kani harus diungsikan ke Ambon untuk menghindarkan dia dari tajamnya ujung tombak keluarga bekas istrinya. Sementara sang bapak, suami Maria, menurut adat Buru, tak bisa disalahkan. Perempuan yang sudah lunas lunas dibayar mutlak menjadi milik keluarga yang membayarnya. Daripada disia-siakan, entah itu ayah, kakak ataupun adiknya sah-sah saja ”memakai” perempuan itu (hlm.38).
Keinginan untuk mengenyam sebuah pendidikan akhirnya kandas ketika pihak laki-laki atau calon mertua melarang Lusia Latun dalam Cerita Pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari untuk
bersekolah di sekolah dasar daerah setempat. Lusi, panggilan akrabnya, sudah dipinang atau ”kawin piara” sejak usianya baru mencapai enam tahun. (28) Ya, Lusi telah dipinang sejak usia 6 tahun. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, jika seorang anak perempuan sudah dipinang, maka sang anak dilarang sekolah. Lusi sudah dipinang oleh Agus Hukunala. Bukan kehendaknya, melainkan keluarganya dan keluarga laki-laki itu (hlm.45). Setelah dipinang, Lusi yang baru berumur enam tahun dan belum mengalami masa akil balig itu hanya menanti waktu ketika ia sudah dirasa cukup untuk menyandang jabatan sebagai seorang istri. Saat menginjak usia remaja, Lusi diajarkan mengenai seluk beluk menjadi seorang istri yang memiliki tanggung jawab berat terhadap urusan keluarganya kelak. (29) Selama masa penantian menjadi seorang istri, Lusi kecil hanya bisa bermain atau membantu orangtuanya di ladang. Menginjak usia remaja, ia mulai belajar seluk beluk menjadi seorang istri bersama para perempuan yang lebih tua. Ketika usianya 17 tahun barulah ia menikah secara resmi dengan Agus. Hingga kini mereka hidup di Dusun Metar (hlm.45).
Pengalaman ”kawin piara” yang dialami Lusi tidak berakhir begitu saja, atas keinginan sang ayah anak mereka yang juga baru menginjak usia enam tahun itu (umur yang sama ketika Lusi, sang ibu dipinangkan pertama kalinya oleh kedua orang tuanya), akan dipinangkan oleh keluarga lain dari dusun tetangga. Mama Lusi, panggilan akrab setelah Lusi memiliki keluarga dan anak tidak bisa menolak keinginan itu. (30) Anaknya yang nomor lima, Ince Hukunala, mengalami nasib yang sama. Gadis kecil berkulit hitam manis yang baru menginjak usia 6 tahun itu
juga telah dipinangkan. Padahal pada tahun yang sama Ince sudah mulai masuk kelas satu sekolah dasar (hlm.46). (31) Ince telah dipinangkan oleh ayahnya dengan Roby Wael, anak lelaki dari dusun tetangga yang kini duduk di kelas enam SD. Mama Lusi menyatakan tidak dapat menolak pinangan tersebut (hlm.46).
Kehidupan Ince anak kelima dari Lusia Latun yang telah dipinang oleh Roby Wael, anak dari dusun tetangga memiliki nasib yang tidak berbeda dengan nasib Mama Lusi panggilan akrab Lusia Latun yang dipinang pertama kali dahulu. Ince dilarang sekolah dan harus belajar menjadi seorang istri dan ibu ketika umurnya dirasa cukup untuk kelak. (32) sama persis nasib Ince dengan ibunya dulu. Ia hanya bermain di sekitar rumah. Sesekali ia masih diperbolehkan masuk kelas 1 untuk melihat dan mendengar teman-temannya belajar. Tapi takdir telah berkata lain bagi gadis ini. Ia kelak akan menjadi seorang istri dan ibu.
Dalam tradisi ”kawin Piara” yang dialami oleh Ince Hukunala, Ia menerima ”bayaran” dari pihak laki-laki dengan sejumlah uang dan barang, ”harga” Ince Hukunala disesuaikan atas keinginan pihak perempuan atau orang tua Ince Hukunala. (33) Dalam acara pinangan secara adat Buru keluarga Ince Hukunala menerima uang sebesar Rp 4 juta dengan 500 jenis harta benda seperti piring, gelas, gong, tombak, dan lain-lain. Itulah harga Ince (hlm.46).
”kawin piara” tidak hanya berlaku untuk anak perempuan usia dini, tapi juga saat sang anak sedang dalam kandunganpun sudah bisa dikawinkan dengan orang dewasa yang sedang mencari istri. (34) Tradisi mengawinkan anak usia dini masih tetap dipelihara. Ada istilah yang disebut kawin piara. Seorang anak yang masih balita atau bahkan
masih didalam kandungan bisa dikawinkan dengan orang dewasa yang sedang mencari istri. Anak-anak ini memang tidak akan langsung menjalankan fungsinya sebagai istri. Mereka dipelihara dulu oleh sang suami (hlm.47).
Kebiasaan kawin di usia dini atau ”kawin piara” telah ada sejak jaman nenek moyang dahulu. Di pedalaman Pulau Buru hingga kini adat kebiasaan tersebut masih berjalan. (35) Kebiasaan tersebut telah ada sejak jaman nenek moyang orang Buru. Perkawinan dalam tradisi masyarakat Buru juga melibatkan masalah harta untuk ditukarkan dengan sang perempuan. Keluarga pengantin laki-laki biasanya memberikan sejumlah uang disertai dengan harta benda yang jumlahnya telah ditentukan (hlm.47). (36) Jumlah uang yang diberikan berkisar dari seratus ribu hingga yang tertinggi saat ini dalam sebuah perkawinan mencapai Rp 25 juta. Sementara harta benda mencakup barang pecah belah seperti piring, gelas, kain putih, barang-barang dapur seperti kuali dan wajan, gong dan macam-macam lainnya. Jumlah harta ini dari 100 macam hingga 500 macam benda. Siapa yang menentukan harga seorang perempuan dan apa patokannya? Lagi-lagi tak ada yang tahu pasti. Semua penentuan masalah harta ini diserahkan pada orangtua sang perempuan dan diketahui oleh kepala soa (kepala marga) dan kepala adat (hlm.47).
”Kawin Piara” menciptakan tuntutan-tuntutan harta yang sangat tinggi dari pihak perempuan, sehingga masyarakat Buru cenderung untuk menyimpan banyakbanyak harta hanya untuk harta kawin anak-anak laki-laki mereka kelak jika ingin meminang anak perempuan keluarga lain. (37) Tuntutan harta yang demikian tinggi membuat masyarakat Buru cenderung untuk menyimpan uang demi perkawinan anak-anak mereka. Penghasilan mereka sehari-hari sebagian besar akan disimpan sebagai harta kawin anak-anak. Akibatnya, perhatian terhadap kesehatan dan pendidikan anak menjadi prioritas terakhir (hlm.48).
(38) Menurut Petrus Wael, seorang warga Dusun Waegernangan, jumlah harta yang saat ini dijadikan patokan jauh berbeda dengan jaman dulu. ”Dulu tidak memakai uang hanya harta saja dan jumlahnya juga tidak sebanyak seperti sekarang,” keluh lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat minuman tradisional ini (hlm.48).
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa ”kawin piara” merupakan tradisi masyarakat Pulau Buru yang mengikat atau membelenggu kaum perempuan, menyebabkan ketertinggalan pola hidup, termasuk pendidikan. Tradisi yang sudah diwariskan turun-temurun ini membuat kaum perempuan Buru akhirnya terlihat seperti harta keluarga yang tidak boleh mengenal dunia pendidikan dan tidak perlu mengenal kemajuan untuk menuju masyarakat yang modern. Jika bentukbentuk tradisi seperti ”kawin piara” ini terus dan akan ditaati, maka pada akhirnya akan mengikat kehidupan para perempuan Buru sendiri, jauh dari kebebasan dan kemajuan.
2.2
Patriarkhi Secara umum, patriarkhi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang
bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa menentukan (Murniati, 2004: 80). Apa yang membuat kehidupan rumah tangga di Pulau Buru begitu memberatkan pihak perempuannya? Sutikno Sutantyo (dalam Aurelia, 2006) menyebutkan bahwa dalam tradisi masyarakat asli (indigenous people) Buru, suami tidak akan membantu pekerjaan rumah tangga maupun istrinya. Jadi, semua tugas
akan dilakukan oleh sang istri seorang diri sementara sang suami kerjanya hanya duduk, makan pinang dan menghisap tembakau. Melihat hal tersebut, tidak salah kalau perempuan itu hanya layaknya budak yang ”dibeli” sehingga suami pun otomatis lepas tangan. Harta kawin yang begitu mahal dianggap telah cukup untuk membeli sang istri untuk memuaskan suami dan mengerjakan semua hal seorang diri. Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat Pulau Buru memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan kaum perempuan Buru. Lelaki memiliki kekuasaan mutlak dalam rumah tangga. Di tengah himpitan dan kerasnya kehidupan para perempuan Buru tetap berjuang. Budaya patriarkhi sangat kokoh berdiri dan telah turun-temurun mengikat hak dan kebebasan kaum perempuan-perempuan Buru hingga saat ini. Hal ini tergambar dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo, berikut ini. (39) Lelaki mempunyai kekuasaan mutlak atas perempuan. Seorang lelaki yang mempunyai banyak harta berhak mempersunting perempuan sebanyak dia suka. Konsep suami istri di sini sangat berbeda dengan konsep suami istri di dunia modern. Di sini perempuan sudah dibayar dengan harta yang mahal, sehingga lelaki mempunyai hak yang mutlak atas istrinya. Sementara sang istri sama sekali kehilangan hak kalau dirinya sudah terbayar lunas oleh suaminya. Jika sudah tak menghendaki lagi, suami bisa mengoperkan istrinya ke orang lain asal harta yang di bayarkan cocok dengan yang diminta (hlm.34).
Segala keputusan yang menentukan adalah sang suami, Maria tidak bisa begitu saja dapat dengan mudah menawar keputusan paitua (suami). Dengan berbagai alasan, Maria berhasil meyakinkan suaminya agar tidak meminangkan anak perempuan mereka dahulu.
(40) Maria ada di tengah himpitan ini. Hati kecilnya menolak jika Ci, panggilan Lusi, dikawinkan. Tapi tidak bisa begitu saja menawar keputusan paitua (suami). ”Beta bilang pada Paitua, kalau Ci dikawinkan, siapa yang akan jaga adiknya di rumah? Kalau beta jaga si kecil, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari?” lanjutnya. Dengan alasan itu, sang suami setuju menunda mengawinkan anak perempuan kecil mereka (hlm.35).
Mencukupi segala kebutuhan rumah tangga adalah tugas kaum perempuan Buru khususnya istri dari sang suami. Dalam kutipan berikut terlihat hal tersebut. (41) Mencari makan seperti singkong di hutan, mencuci dan melayani segala kebutuhan suami serta anak-anak adalah tugas utama perempuan di pedalaman Buru (hlm.35).
Karena keputusan suami yang tidak bisa di ubah oleh Maria untuk meninggalkan padalaman Buru menuju pantai demi anaknya, Maria memilih untuk nekat lari meninggalkan suaminya tanpa sepengetahuan keluarganya yang lain termasuk sang suami. (42) Beralasan ingin pergi berjalan-jalan menghibur diri setelah kematian anaknya, ibu yang sedang berduka ini membulatkan tekad meninggalkan suami dan anak lelakinya. Ia melarikan diri dengan membawa Lusi yang saat itu hanya tinggal tulang dibalut kulit saking kurusnya (hlm.36). Budaya patriarkhi sudah melekat pada diri Maria yang sehari-hari mengurus rumah tangga dan mencukupi kebutuhan suami dan anak-anaknya, membuat Maria menjadi sesosok wanita yang tahan banting. Ia sudah terbiasa untuk bekerja keras,
apalagi sekarang Maria hanya mengurus satu anak perempuannya Lusi, hal itu tidak terlalu sulit bagi Maria. (43) Untuk menghidupi putrinya dan dirinya sendiri, Maria menanam singkong, jagung, dan kacang tanah di sebidang tanah di kilo empat (jaraknya kurang lebih empat kilo dari rumahnya). Tanah itu dipinjamkan padanya untuk digarap. Berjalan kaki ke kebun untuk merawat tanamannya menjadi santapan hariannya.Bila musim panen cengkeh tiba (biasanya panen besar dua tahun sekali), Maria untuk sementara meninggalkan kerja kebunnya untuk menjadi buruh pemetik cengkeh (hlm.39). Maria sudah merasakan pahitnya hidup di antara himpitan sistem patriarkhi dan kerasnya kehidupan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang sebelumnya berada di pedalaman (hutan Buru). (44) ”Paling setengah mati, mas. Kasiang. Beta sendiri su rasakan setengah matinya kawin muda di gunung. Baru dua tiga hari melahirkan, beta su harus cuci pakeang, cari kasbi di hutan par makang. Kerja paling berat, baru harus gendong anak bayi yang baru lahir di belakang. Pokoknya paling setengah mati, Mas,” jawabnya bersemangat (hlm.39). Sistem patriarkhi sudah ”mengakar” di dalam masyarakat Pulau Buru, pada cerita pendek Tragedi Turun Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Semenjak kecil tokoh Roby yang sudah dipinangkan bersama tokoh Ince, Roby dibebaskan untuk memutuskan kapan mereka siap secara resmi menikah untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Segala keputusan tergantung pada Roby, sedangkan Ince sendiri sudah dilarang untuk sekolah semenjak mulai dijodohkan. (45) Tentang rencana resmi menikah, menurut Mama Lusi, semuanya tergantung keluarga Roby. Jika Roby masih ingin bersekolah, maka Ince harus setia menunggunya selesai. Atau, jika roby memutuskan untuk tidak sekolah, maka gerbang rumah tangga sudah menunggu bagi dua anak manusia yang masih belia ini (hlm.46).
Perempuan-perempuan belia Buru yang sudah dipinang, akan menunggu waktu yang tepat (dianggap cukup dewasa) untuk menjalankan tugas-tugas rumah tangga yang begitu berat untuk mencukupi segala kebutuhan rumah tangga, sedang sang suami hanya menunggu kapan akan disiapkan segala kebutuhan terpenuhi di rumah tanpa harus bekerja keras, suami tidak sedikit pun membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang begitu berat, sang istri sendirilah yang melakukan semua pekerjaan, sistem patriarkhi begitu kental mewarnai hari-hari berumah tangga di Pulau Buru. (46) Setelah mereka menginjak usia yang cukup dewasa dan kuat barulah tugas-tugas rumah tangga menanti mereka, mulai dari melahirkan, merawat anak, memasak, ke kebun, hingga ke ladang. Sebuah tugas yang sangat berat dari dini hari hingga petang (hlm.47). (47) Dalam tradisi Buru suami tidak akan membantu pekerjaan rumah atau istri, jadi semuanya harus dilakukan sendiri. Sampai-sampai, urusan seperti melahirkan biasanya mereka lakukan sendiri tanpa dibantu mantra atau dukun bayi (hlm.47). Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa sistem patriarkhi yang dianut oleh masyarakat Pulau Buru merupakan bentuk-bentuk gambaran penindasan kaum perempuan, hak dan kebebasan kaum perempuan Buru menghilang sejak usia mereka belia bahkan sejak mereka berada di dalam kandungan, semua itu dikarenakan tradisi yang turun temurun. Kaum perempuan Buru terpaksa melakukan pekerjaan-perkerjaan yang sebenarnya berada di luar kemampuan secara mental dan fisik mereka, namun karena kondisi dan sistem patriarkhi yang telah berjalan lama kaum perempuan mau tidak mau harus melakukannya. Budaya patriakhi dalam tradisi
Pulau Buru ini menghasilkan ketidakadilan, kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan.
2.3
Konflik Bernuansa Agama Ketika dominasi Kerajaan Sriwijaya di wilayah Nusantara sirna seiring
dengan kekalahan kerajaan itu pada abad XII, Kerajaan Majapahit menguasai perdagangan rempah-rempah Maluku. Di samping Kerajaan Majapahit, saudagarsaudagar Arab, Gujarat dan Persia juga berdatangan ke Maluku. Selain berdagang secara perorangan, saudagar-saudagar itu juga menyebarluaskan agama Islam. Pada abad berikutnya negara-negara Eropa bergantian datang ke Maluku, menjajah, sekaligus menyebarkan agama. Portugis yang datang pada tahun 1521 dan Spanyol yang datang tahun 1530 menyebarkan agama Kristen Katolik, sedangkan Belanda dan Inggris yang datang di awal abad XVII menyebarkan agama Kristen Protestan. Pesatnya penyebaran agama Kristen di Ambon berdampak pada eksistensi kebudayaan asli setempat. Beberapa atraksi adat yang berbau mistik dan menggunakan jasa roh halus mulai ditinggalkan, karena dinilai atraksi adat itu menggunakan kuasa gelap (Kompas, 2003). Guna menghindari permusuhan antara desa-desa satu suku berbeda agama, tetua-tetua adat Maluku menghidupkan tradisi pelagandong. Secara sederhana, tradisi pelagandong dapat diartikan hidup berdampingan dengan penuh tenggang rasa dalam perbedaan agama, tetapi tidak saling mempengaruhi untuk masuk dan memeluk suatu agama tertentu. Cerita indah di masa lalu menyebutkan, melalui tradisi pelagandong
ini pemuda Muslim turut bergotong royong membangun gereja dan pemuda Nasrani turut terlibat dalam pembangunan masjid. Pelagandong pun menjadi kebudayaan lokal yang lahir setelah pengaruh agama dari luar, yang merupakan salah satu manifestasi dari budaya universal, tersebar di Maluku (Kompas, 2003). Ketika suku-suku dari luar masuk dan menetap di Maluku, tradisi pelagandong sebagai perekat kesukuan pun terusik oleh pendekatan kesamaan agama. Suku-suku pemeluk agama tertentu merasa lebih nyaman berada bersama suku pendatang yang memeluk agama yang sama. Lunturnya pelagandong membuat pemeluk kedua agama membatasi diri. Pendekatan kesamaan agama itu membuat suku-suku dan kampung-kampung berbeda agama saling berhitung perbedaan di antara mereka. Di masa pelagandong masih dijunjung tinggi, perkelahian dua kelompok pemuda adalah semata-mata perkelahian. Setelah pelagandong luntur, jika terjadi perkelahian dua kelompok pemuda, yang kebetulan saja berbeda agama, masing-masing kelompok pemuda dianggap merepresentasikan agama yang dianutnya (Kompas, 2003). Akibat kebudayaan lokal yang tertelan kebudayaan universal itulah, di Ambon pada hari raya Idul Fitri tanggal 19 Januari 1999, perkelahian antara Usman-pemuda warga Batumerah yang mayoritas penduduknya kaum Muslim-dan Yopie-pemuda warga Aboru yang mayoritas penduduknya kaum Nasrani-terseret menjadi perkelahian antara pemeluk dua agama yang berbeda. Tangan-tangan provokator membuat bola api perkelahian kedua pemuda itu terus menggelinding dan membesar menjadi rentetan kerusuhan (Kompas, 2003).
Konflik yang terjadi di Ambon menyebar sampai ke Pulau Buru, segala sisi kehidupan di sana berubah total. Menyebabkan hilangnya kedamaian dan ketentraman hidup bahkan pola hidup dapat berubah cepat. Mengungsi dan melarikan diri adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hidup, segalanya tercerai-berai. Hal ini tergambar dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo, berikut ini. (48) Konflik bernuansa agama yang pecah di Ambon sejak 1999 mengubah segalanya. Dusun berpenghuni 27 kepala keluarga (76 jiwa) itu hancur tercerai berai pada tanggal 12 Februari 2001. Tiap-tiap orang lari mencari selamat sendiri. Semua kacau. Kawan jadi lawan, saudara jadi musuh (hlm.32).
Setelah Maria dan keluarga menetap di daerah pesisir, mereka mulai hidup seperti biasa kembali, namun ketika konflik bernuansa agama muncul di Ambon, segala sisi kehidupan menjadi berubah, tidak terkecuali kehidupan Maria dan keluarganya. Situasi yang buruk itu tidak memperbolehkan Maria dan keluarga tetap tinggal, mereka harus lari untuk menyelamatkan diri. (49) Awal mimpi buruk yang panjang dimulai di sini. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan harus ia lakoni. Situasi tak mengijinkannya tetap tinggal. Ia harus lari, bersama suami dan anak-anaknya. Semua yang ia punya ditinggal. Hanya sedikit barang yang sempat mereka selamatkan (hlm.32).
Pelarian untuk menyelamatkan diri dari konflik agama yang terjadi dimulai, Maria dan suami beserta anak-anaknya memilih menyelamatkan diri ke pedalaman Pulau Buru tanpa ada tujuan pasti mereka harus menetap dimana. Perjalanan dengan
medan berat serta bekal yang tidak mencukupi membuat Maria dan keluarga harus berjuang dengan sangat keras demi keselamatan keluarga dari situasi yang terjadi. (50) Pulau Buru menjadi pilihan penyelamatan. Tujuan pasti belum mereka putuskan. Lari menghindar dari ujung senjata yang siap mencabut nyawa adalah yang terpenting saat itu. Persiapan untuk perjalanan jauh tak pernah sempat mereka lakukan. Jika lapar, mereka terpaksa mengganjal perut dengan umbi-umbian yang tumbuh liar di hutan. Jika haus, air hujan yang menggenang di tanah adalah pelunas dahaga (hlm.32). Berhari-hari mereka lalui dengan berjalan kaki dan menumpang di kampung-kampung kerabat yang tinggal di pegunungan. Setelah berpindah-pindah, akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri perjalanan di kampung asal suami Maria. Tempat itu sama sekali belum pernah mereka kunjungi karena sejak kecil suaminya menjadi anak piara dari bapak mantunya/mertuanya (hlm.32).
Perjalanan panjang yang ditempuh selama berhari-hari dengan berjalan kaki karena memang tidak ada kendaraan yang bisa melewati medan itu kecuali hanya berjalan kaki telah berakhir. Maria dan suaminya serta anak-anaknya menetap sementara di kampung asal suaminya dengan peralatan seadanya. (51) Di tempat itu, hari-hari yang melelahkan itu akhirnya berlalu. Mereka tinggal di gubuk yang sangat sederhana, beratapkan daun sagu namun tak berdinding. Si bungsu yang saat itu baru berusia dua bulan harus tidur hanya dengan beralaskan kulit kayu dilapisi kain dan daun pisang. Sementara anggota keluarga lainnya harus puas tidur beralaskan kulit kayu saja sebagai penahan dingin tanah yang menjalar ke tubuh mereka (hlm.32).
Konflik bernuansa agama membuat segalanya berubah, asupan gizi tidak mungkin tercukupi, makanan layak tidak pernah maria dan keluarga dapatkan, apalagi makan teratur tiga kali sehari.
(52) Kehidupan berubah 180 derajat bagi mereka. Orang-orang yang tinggal di gunung tidak mengenal bumbu. Garam adalah barang langka di sana. Makanan pokok mereka adalah papeda. Papeda adalah singkong diparut, yang diambil patinya lalu diseduh dengan air panas. Setelah masak, persis sekali dengan lem yang biasa digunakan untuk membuat topeng dari kertas koran untuk prakarya semasa saya SD dulu (hlm.33). Kalau beruntung, mereka makan berlauk ikan rebus tawar hasil tangkapan di kali. Singkong bakar sesekali tersaji untuk sarapan. Kopi pahit dengan tekun mendorong zat tepung nakal yang tiap kali macet di tenggorokan. Gula adalah barang mewah di pedalaman Buru. Makan malam pun bukan menjadi kebiasaan rutin mereka (hlm.33).
Pelarian menuju pegunungan membuat kesehatan menjadi memburuk, iklim gunung yang dingin membuat kondisi tubuh menurun, penyakit kulit mulai menjangkit di tubuh mereka. (53) Pinang dan sirih menjadi suatu hal yang wajib bagi mereka. Campuran pinang sirih dan kapur bisa memproduksi panas untuk penghangat tubuh mereka. Air ludah merah tua ini pun juga berfungsi sebagai penahan lapar. Iklim gunung yang dingin membuat mandi menjadi pantangan bagi mereka. Akibatnya jamur dan berbagai kuman penyakit kulit tumbuh subur di sekujur tubuh mereka (hlm.33).
Kondisi lingkungan pelarian yang tidak mendukung dan gizi yang tidak memenuhi standar mengakibatkan anak Maria yang lumpuh sejak lahir dan baru berumur lima tahun terserang penyakit dan sedikit demi sedikit melemah dan akhirnya meninggal. (54) Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tanpa terasa hampir dua tahun Maria sekeluarga sudah tinggal di kampung itu. Perubahan iklim yang drastis didukung dengan tidak terpenuhi asupan gizi yang cukup membuat anak Maria yang baru berumur 5 tahun mulai sakit-sakitan. Tak lama berselang anak lelaki yang lumpuh sejak lahir itu mati (hlm.34).
Penyelamatan yang dilakukan Maria sekeluarga ke pedalaman Pulau Buru, tidak merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik khususnya anak-anak Maria, justru kehidupan semakin buruk, hal ini diakibatkan karena anak-anak Maria sudah beradaptasi dengan kehidupan pantai, dan tak mampu beradaptasi dengan kehidupan orang-orang gunung. Anak-anak Maria adalah orang pantai. (55) Dalam segala himpitan hidup, waktu toh terus berjalan. Dan alam juga turut menghimpit. Meski pernah hidup di gunung, sejatinya mereka telah menjadi orang pantai. Paling tidak anak-anak mereka. Tidak mudah menyesuaikan diri dengan iklim gunung. Seperti si bungsu. Kesehatan terus menurun. Maria berulangkali minta kepada suaminya untuk meninggalkan gunung sebelum semua anak mereka mati (hlm.35).
Demi keselamatan anaknya, Maria nekat melarikan diri dari rumah menuju pantai (dataran) dengan membawa Lusi yang satu-satunya anak perempuan yang selamat dari keganasan iklim gunung. (56) Tanah Masnana ini diinjaknya setelah perempuan tak kenal menyerah ini melakukan perjalanan berhari-hari menembus ganasnya hutan Buru bersama gadis kecilnya. Namun, karena suasana di dataran itu masih belum terlalu aman, Maria memilih tinggal di Leksula, kota kecamatan yang berjarak satu hari berjalan kaki dari Masnana. Kecamatan Leksula luput dari ganasnya kerusuhan yang telah memporakporandakan bumi seribu pulau ini. Cukup aman untuk tinggal di sana (hlm.37).
Maria akhirnya tinggal di Masnana, Maria mendapat jatah tanah pengungsi dari Misi Khatolik di sana, dan mendapat bantuan bahan untuk membuat rumah. Awalnya Maria tinggal di rumah bekas kebakaran yang enggan berdiri akibat ganasnya api kerusuhan akibat konflik bernuansa agama. (57) Mereka kembali ke Masnana. Dari beberapa hektar tanah telah dibayar lunas oleh Misi Khatolik di sana, masih tersisa sebidang tanah baginya
untuk membangun sepetak rumah jatah pengungsi. Beberapa bulan pertama dilewatkan Maria dan Lusi di separuh rumah yang sudah enggan berdiri setelah dilalap ganasnya api kerusuhan (hlm.37).
Nasib yang sama dialami tokoh Yosepha Wael dalam cerita pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung. Yos, begitu ia biasa dipanggil, ia baru saja lulus ujian kelas enam sekolah dasar di desanya. Yos salah satu anak yang terkena dampak dari konflik bernuansa agama yang terjadi, yos tidak tahu menahu ujung pangkal atas kerusuhan yang terjadi, hanya saja ia terkena dampaknya. Ia harus mengungsi bersama keluarganya untuk menyelamatkan diri dari konflik. (58) Kerusuhan yang dia tak tahu ujung pangkalnya sampai ke tempat tinggalnya sehingga mereka sekeluarga mengungsi. Bersama mereka ikut pula keluarga lain yang beragama Kristen karena kerusuhan yang sampai ke Buru Sudah diwarnai konflik kekerasan antarkomunitas umat beragama (hlm.52).
Yos dan keluarga memilih mengungsi ke sebuah kampung di Buru yang dianggap mereka aman karena serbuan datang dari luar pulau. Sampai situasi dirasa aman mereka akan kembali lagi ke desa asalnya untuk memulai hidup normal kembali. Kerusuhan membuat Yos tertunda untuk melanjutkan sekolah. (59) Mereka mengungsi ke Waipsalet, sebuah kampung di Buru yang dianggap aman. Aman karena biasanya serbuan datang dari penyerang yang kebanyakan berasal dari luar pulau. Sekolah Yos pun terhenti. (hlm.53).
Kondisi mulai membaik, keluarga Yos sudah kembali ke desa asal, tetapi Yos yang ingin melanjutkan sekolah tetap merasa tidak aman untuk melanjutkan sekolah
yang ada di desanya, Yos masih teringat akan kerusuhan yang terjadi, ia tetap melanjutkan sekolah walaupun harus meninggalkan orangtua dan saudarasaudaranya. Yos adalah salah satu korban konflik bernuansa agama yang terjadi. (60) Bahkan ketika ia kembali ke desa asalnya setelah kondisi keamanan mulai membaik, Yos tidak merasa aman dan leluasa untuk kembali ke sekolah yang lama (hlm.53). Pada saat yang sama, ia mendengar bahwa sekelompok anak akan berangkat ke Langgur, Maluku Tenggara untuk bersekolah. Hati seseorang telah tergerak untuk membawa anak-anak ini bersekolah dan mendapat pendidikan. Yos menyampaikan hal ini kepada bapaknya dan minta ikut bersekolah ke Langgur (hlm.53).
Konflik bernuansa agama yang terjadi di Ambon dan melebar sampai Pulau Buru memberi pengaruh yang amat besar bagi seluruh lapisan masyarakat Ambon, termasuk Pulau Buru. Anak-anak terhenti sekolahnya dan mengungsi bersama keluarganya menyelamatkan diri untuk waktu yang lama, sampai-sampai nyawa melayang karena tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan pengungsian baru. Konflik yang terjadi pasti akan mendatangkan kesedihan dan penderitaan, hilangnya kedamaian serta ketentraman hidup, terkadang pengorbanan nyawa yang tidak perlu terjadi bisa saja terjadi. Anak-anak dan Pulau Buru menjadi korban kerusuhan secara langsung atau tidak langsung, secara mental dan fisik.
BAB III WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PADA ANTOLOGI CERITA PENDEK SERIBU IMPIAN PEREMPUAN BURU
Pulau Buru, merupakan salah satu pulau terbesar di Kepulauan Maluku, saat ini masih terdapat adat istiadat yang membatasi kebebasan kaum perempuan. Di sini kaum perempuan harus berjuang untuk pendidikan di tengah jeratan masalah-masalah adat dan budaya di sela-sela semangat modernitas yang sedang berhembus kencang. Kisah perjuangan para perempuan Pulau Buru ini barangkali terlalu klasik dan kuno untuk dunia yang sedang bergerak cepat, berdasarkan pengalaman para tim JRS yang mendalam bersama pengungsi konflik agama di Buru yang juga menulis dan melahirkan antologi cerita pendek menerangkan bahwa kondisi ini memang sedang berlangsung di Pulau Buru. (Tim JRS, 2005: v-vi). Menurut Gadis Arivia dalam Kuswandari (2005), seringkali kita mendengar karena
alasan
mengatasnamakan
budaya, kultur,
kekerasan
terhadap
perempuan
perempuan
didomestifikasi,
terjadi.
tidak
Dengan
ditingkatkan
pendidikannya, diatur dalam bertindak, berpakaian bahkan hak-hak reproduksi ditentukan bukan oleh dirinya sendiri. Menurut Murniati (1995: 70) perjuangan untuk mengangkat derajat kaum perempuan dikenal dengan istilah emansipasi. Menurut KBBI (1999: 258), kata emansipasi berarti pembebasan dari perbudakan atau persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Emansipasi perempuan diartikan sebagai proses
pelepasan diri kaum perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk maju dan berkembang. Menurut Murniati (1995: 70), perempuan menginginkan perubahan sosial yang membebaskan, memerdekakan. Kata bebas berarti lepas sama sekali, tidak terhalang, tidak terganggu dan dapat berbuat, bergerak serta berbicara leluasa. Sedangkan merdeka berarti bebas dari tuntutan, penjajahan, keterikatan, perhambaan dan bebas berkehendak. Dari pengertian kata-kata tersebut, kata emansipasi mengandung makna perjuangan kemerdekaan.
3.1
Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo. Dalam cerita pendek yang berjudul Maria, Keteguhan Hati Perempuan,
menggambarkan wujud perjuangan perempuan yang terlukis dalam tokoh Maria Latbual, ia memiliki keberanian dan semangat emansipasi yang lahir karena kondisi sosiokultural
di
Pulau
Buru.
Kondisi
tersebut
membuat
Maria
Latbual
memperjuangkan anak perempuan semata wayangnya untuk kehidupan yang lebih baik, pada akhirnya ia berhasil menyekolahkan putrinya, Lusi, setelah melewati masa-masa sulit dan kondisi sosial dan ekonomi yang menghimpit. Masa kecil Maria dilewatkan di kampung kecil bernama Berwan di pedalaman Buru Selatan. Kampung tersebut terletak di pegunungan, sehingga istilah yang digunakan ketika orang memutuskan tinggal di pantai adalah ”turun” ke pantai. Laju pembangunan sudah
barang tentu lebih cepat menyentuh daerah-daerah pantai. Karena sarana transportasi lebih cepat, daerah pantai lebih terbuka pada datangnya modernisasi dari luar. Di kampung itu pula, sebelum masa akil balig menghampirinya dia sudah dikawinkan dengan seorang lelaki bermarga Nurlatu pilihan orang tuanya. Persoalan adat tentang perkawinan memberi jawaban bahwa tidak ada lagi pilihan selain menikah di usia dini tanpa sempat memikirkan pendidikan untuk kemajuan hidup yang lebih baik. (1) ”Poly lebih besar dari saya ketika itu,” jawabannya ketika saya bertanya umur berapa dia dikawinkan. Poly adalah seorang anak perempuan berusia sekitar 6 tahun, putri tetangganya di kampung di mana sekarang Maria tinggal. Ia menikah dalam usia yang sangat muda, tanpa kesempatan untuk memilih (hlm.31).
Demi keselamatan anaknya yang pertama karena sakit keras, keluarga kecil Maria memutuskan untuk turun ke pantai, menuju dusun Fuae. Puskesmas sederhana di daerah itu menjadi harapan untuk kesembuhan anak mereka. Mereka menjadi ”anak piara” di rumah seorang kepala desa bernama Torted. Maria menyekolahkan dua anaknya dari hasil menanam cengkeh dan kelapa. (2) Untuk menghidupi keempat anaknya yang tersisa, ia menanam cengkeh dan kelapa. Dari panenan yang tak seberapa, ia bisa menyekolahkan dua anaknya, Kani dan Lusi, di sekolah setempat (hlm. 31).
Kekacauan terjadi, konflik bernuansa agama di Ambon mengubah segalanya. Maria, bersama suami dan anak-anaknya memilih untuk menyelamatkan diri ke Pulau Buru, dua anaknya yang sedang menempuh pendidikan juga ikut mengungsi. Tak banyak yang bisa mereka bawa dari rumah sebelumnya, persiapan untuk bekal
perjalanan bisa dikatakan tidak ada. Berhari-hari Maria berjalan melewati pegunungan dan hutan bersama keluarganya, sampai pada akhirnya mereka sampai di kampung asal suaminya. Kehidupan berubah total, orang-orang gunung tidak mengenal bumbu. Sudah 2 tahun mereka tinggal di gunung, perubahan iklim yang drastis dan asupan gizi yang tak terpenuhi membuat satu lagi anak Maria yang mengalami kelumpuhan sejak lahir meninggal. Anak perempuan Maria yang bernama Lusi yang baru berumur 6 tahun juga mulai sakit-sakitan. Sudah tiga keluarga datang ingin meminang Lusi. (3)
Dalam tradisi Buru, perempuan-perempuan di bawah umur sudah dikawinkan. ”Kawin piara”, istilah mereka untuk lelaki yang mengawini seorang anak perempuan yang belum mencapai masa akil balig. Si anak perempuan diboyong ke rumah suami, ”dieram” dulu sampai secara fisik siap untuk bereproduksi. Tak peduli apakah secara mental mereka sudah siap, sang suami berhak untuk memetik bunga yang baru belajar kuncup itu (hlm.34).
Perjuangan Maria adalah tetap berharap agar anak perempuannya, Lusi dapat mengenyam pendidikan. Maria tak mau Lusi dikawinkan, dengan berbagai alasan, akhirnya suaminya mau perkawinan Lusi ditunda dahulu. (4)
Maria ada di tengah himpitan ini. Hati kecilnya menolak jika Ci, panggilan Lusi, dikawinkan. Tapi tidak bisa begitu saja menawar keputusan paitua (suami). ”Beta bilang pada Paitua, kalau Ci dikawinkan, siapa yang akan jaga adiknya di rumah? Kalau Beta yang jaga si kecil, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari?” lanjutnya. Mencari makanan seperti singkong di hutan, mencuci dan melayani segala kebutuhan suami serta anak-anak adalah tugas utama perempuan di pedalaman Buru. Dengan alasan itu, sang suami setuju menunda mengawinkan anak perempuan kecil mereka (hlm.35).
Karena anak-anak Maria sejatinya adalah orang pantai, si bungsu yang tidak tahan dengan iklim gunung akhirnya meninggal. Didorong rasa kasih sayang yang begitu besar, Maria memutuskan untuk melarikan diri dari rumah suaminya yang berada di gunung menuju dataran. Perjuangan untuk tetap bisa menyelamatkan anaknya dan memberinya pendidikan yang layak serta melepaskan anaknya dari belenggu tradisi Buru yang kedua dimulai. (5) Didorong oleh kasih sayang yang begitu besar pada anak perempuan semata wayangnya, tak lama setelah kematian anaknya yang kedua kali, Maria melarikan diri dari kampung suaminya. Beralasan ingin berjalanjalan menghibur diri setelah kematian anaknya, ibu yang sedang berduka ini membulatkan tekad meninggalkan suami dan anak lelakinya (hlm. 36). Kini Lusi kembali mengenyam pendidikan setelah harapan sang ibu menyelamatkan jiwa Lusi dan perjuangan yang berliku-liku untuk menyekolahkan Lusi kembali. Walaupun terkadang saat musim panen cengkeh tiba, Lusi ditinggalkan sang ibu untuk bekerja. (6)
Selama dua sampai tiga bulan terpaksa Lusi, yang sekarang sudah kelas 1 SMP, ditinggal sendiri di rumah (hlm.39).
Kini Maria tinggal di Masnana, setelah melakukan perjalanan panjang menembus ganasnya hutan di Pulau Buru. Sejak 2003, Maria dan Lusi tinggal di situ. Dalam pelarian kedua. Mereka tinggal di sebidang tanah untuk pengungsi yang tersisa dari beberapa hektar tanah yang telah dibayar lunas oleh Misi Katholik di sana. Maria tidak ingin nasib anaknya seperti dirinya, terjerat tradisi dan terbelakang,
tidak pernah mengenyam pendidikan. Perjuangan Maria berhasil, Lusi kembali sekolah. (7)
”Paling setengah mati, Mas. Kasiang. Beta sendiri su rasakan setengah matinya kawin muda di gunung. Baru dua tiga hari melahirkan, beta su harus cuci pakeang, cari kasbi di hutan par makang. Kerja paling berat, baru harus gendong anak bayi yang baru lahir di belakang. Pokoknya paling setengah mati, Mas,” jawabnya bersemangat. ”Biar Ci sekolah dulu di sini, lha tahu baca tulis,” sambungnya (hlm.39).
Sutikno Sutantyo (penulis) mengungkapkan keheranannya pada tokoh Maria, dengan penuh keberanian dan semangat yang tidak ada habisnya, Maria berjuang untuk pendidikan anaknya. Tokoh Maria adalah seorang ibu yang berpikiran maju. Ia menginginkan anak perempuannya dapat mengenyam pendidikan dan menjalani kehidupan yang lebih baik kelak. (8) Tak kulanjutkan lagi pertanyaanku. Kuperhatikan dengan penuh kekaguman sosoknya yang sederhana. Saya coba menatap dalam-dalam perjalanan hidupnya. Ia pertaruhkan nyawa dengan melanggar adat nenek moyang. Untuk memperjuangkan hak anak gadis kesayangannya (hlm.39).
3.2
Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung. Cerita pendek Perempuan di Musim Angin Timur ini mengisahkan perjuangan
seorang gadis berusia belasan yang ingin lepas dari jeratan tradisi Buru yang menganggap tabu bagi perempuan bersekolah tinggi. Yosepha Wael adalah gadis yang diceritakan dalam cerita pendek ini, dengan berat ia meninggalkan kedua orangtuanya, dan adik bungsunya dari kampung halamannya menuju Langgur,
Maluku Tenggara, tempat ia harus menempuh pendidikan. Tekadnya telah bulat untuk meninggalkan tradisi di daerah asalnya, Pulau Buru. (9)
Gadis itu bernama Yosepha Wael. Yos, begitu biasa dipanggil, menggunakan alasan sekolah dan pendidikan bukan hanya untuk tidak mengunjungi orangtuanya tapi juga untuk meninggalkan orangtuanya. Kedengarannya klise dan agak didramatisir. Kalau mencermati kisahnya, apalagi seorang anak perempuan yang mengambil keputusan saat berada di simpang jalan. Suatu keputusan yang membentuknya menjadi seorang pencari ilmu pengetahuan sekaligus petualang yang tangguh dalam arti sesungguhnya (hlm. 52).
Kerusuhan yang terjadi di Ambon membuat daerah Pulau Buru tidak aman membuat seluruh keluarga Yos mengungsi. Yos sendiri tidak tahu ujung pangkal kerusuhan itu bisa terjadi. Mereka mengungsi di Waipsalet, sebuah kampung Buru yang dianggap aman. Saat itu Yos baru menyelesaikan ujian kelas enam sekolah dasar. (10) Mereka mengungsi ke Waipsalet, sebuah kampung Buru yang dianggap aman. Aman karena biasanya serbuan datang dari penyerang yang kebanyakan berasal dari luar pulau. Sekolah Yos pun terhenti. Bahkan ketika ia kembali ke desa asalnya setelah kondisi keamanan mulai membaik, Yos tidak merasa aman dan leluasa untuk kembali ke sekolah yang lama (hlm.53).
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada merupakan salah satu wujud dari perjuangan perempuan. Perjuangan untuk ingin melanjutkan sekolah sangat besar. Sampai Yos mendengar kabar sekelompok anak akan pergi untuk bersekolah. (11) Pada saat yang sama, ia mendengar bahwa sekelompok anak akan berangkat ke Langgur, Maluku tenggara untuk bersekolah. Hati sesorang telah tergerak untuk membawa anak-anak ini bersekolah dan mendapat pendidikan. Yos menyampaikan hal ini kepada bapaknya dan minta bersekolah ke Langgur (hlm.53).
Semangat perjuangan Yos untuk tetap maju sangatlah besar, meski kedua orangtuanya enggan melepaskan anak perempuan mereka yang sangat disayangi, Yos sudah harus menempuh perjalanan jauh tanpa ditemani mereka, dan ini adalah pertama kalinya anak mereka merantau ke Langgur, daerah yang sangat jauh untuk anak usia belasan. Yos tetap pergi dengan penuh perjuangan dan segala impiannya. (12) ”Beta bilang par mama, beta musti pi. Barang beta mau sekolah toh. Beta rasa senang sa barang anak-anak banyak toh,” lanjut Yos menjelaskan suasana hatinya saat ditanya mengapa ia tetap nekat untuk pergi. Dan memang, akhirnya, kedua orangtuanya itu tidak dapat lagi menahan kepergian anaknya. Untuk bisa mencapai Langgur, Yos dan anak-anak lain yang berjumlah sekitar 50 orang itu harus berjalan kaki dari dusun Waipsalet, Buru Utara menuju Leksula,Buru Selatan. Barulah mereka akan naik kapal menuju Ambon dan kemudian ke Langgur (hlm.54).
Semangat perjuangan tergambar dalam perjalanan mereka menuju kota untuk bersekolah. Perjalanan yang terhitung jauh itu tetap mereka lakukan dengan hati senang dan gembira walau sempat sedikit merasa takut untuk turun ke kota. (13) Perasaan takut untuk turun ke Kota Namlea, Buru Utara, kemudian menuju Ambon dengan kapal, menjadi alasan mereka menempuh rute seperti ini. Dari Waipsalet di utara menuju Leksula di selatan butuh empat hari berjalan kaki. Yos tidak merasa takut untuk berjalan kaki sejauh itu. Bersama dengan teman-teman yang akan menempuh pendidikan hatinya merasa senang dan gembira (hlm.54).
Sebuah perjuangan akan membutuhkan pengorbanan yang besar untuk mencapai tujuan sesungguhnya. Walaupun sedih, Yos tetap kepada pilihannya untuk menempuh pendidikan, lepas dari tradisi yang menjerat hak kaum perempuan Buru. (14) ”Bapak bajalang antar beta sampai di ketel Kak Yanto. Antua seng kuat bajalang untuk terus antar beta ke Leksula,” kembali Yos mengenang
bapak yang ia cintai itu. Kenangan itu membawa Yos pada perasaan sedih dan sentimental ketika dia sampai di Langgur pertama kali. Kegembiraan dan keceriaannya bersama teman-teman diganti dengan perasaan sedih dan rindu. Ia mengingat bapak, ibu, adik, kakak dan kampung di Buru. Ia menangis sejadinya karena merasakan dan mengalami bagaimana perpisahan, apalagi dengan bapak dan ibunya, yang amat dicintai dan mencintainya, memang menyakitkan. Sekolah menjadi salah satu motivasi dan sublimasi rasa sedihnya. Ia sendiri menyadari bahwa bersekolah di Langgur adalah keputusan yang diambilnya sendiri (hlm.54-55).
Gambaran perempuan berpikiran maju dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk sekolah terdapat dalam kutipan berikut. Yos bersama teman-teman lain menganggap sekolah adalah satu-satunya kesempatan untuk memperoleh bekal di masa yang akan datang. (15) Yos dan beberapa teman lain tak terlalu bersemangat untuk banyak larut dengan dunia gaul. Baginya, bersekolah adalah suatu kesempatan untuk memperoleh bekal di hari depan, menjadi bagian dari suatu masyarakat yang tersentuh modernisasi dan menempatkan pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian. Tarik-menarik antara dua kubu itu ia lakukan dengan menempatkan dirinya sebagai aktor yang menentukan jalannya sejarah hidup. Daripada menyerah pada sentimentalisme orangtua dan dirinya sendiri, dan daya tarik dunia gaul Yos tetap memilih untuk menekuni sekolahnya. Ia tahu bagaimana memutuskan jalan hidup yang akan dilaluinya di antara tarik-menarik kecenderungan yang mengitarinya. Bukankah itu ibarat kapal dan nakhoda yang berpengalaman dan lihai di laut saat kapal berlayar di musim angin timur? (hlm.57).
3.3
Wujud Perjuangan Perempuan dalam Pendidikan pada Cerita Pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru kali ini
dikisahkan dua tokoh yaitu Yati dan Lusia Latun. Dalam cerita pendek ini lebih banyak dikisahkan perjuangan tokoh Lusia Latun, Lusi panggilan akrabnya, ia telah dipinang sejak umur enam tahun, alhasil Lusi tak pernah mengenal bangku sekolah. Lain halnya dengan tokoh Yati yang tidak terlalu banyak diceritakan, Yati adalah seorang anak yang baru berusia dua belas belas tahun, ia dipaksa sang ayah untuk menikah. (16) Ketika usianya menginjak dua belas tahun sang ayah memaksanya untuk menikah. Dengan gigih ia menolak keinginan sang ayah. Ayah yang tidak sabar dengan pemberontakan itu memukulnya bertubi-tubi supaya menurut (hlm.44).
Yati tetap berjuang untuk tetap sekolah, walaupun ia harus melawan keinginan sang ayah. Dipukul sampai mati pun Yati tetap tidak mau dikawinkan. Perjuangan untuk melawan keinginan sang ayah dan juga adat yang mengikat kaum perempuan Buru jelas sekali terlihat pada tokoh Yati. Keteguhan Yati akhirnya berhasil, sang ayah tidak jadi meminangkan Yati. (17) Yati berteriak sekeras-kerasnya, ”Yako kawing mo”, Saya tidak mau kawin. ”Biar dipukul sampai mati saya nggak akan mau dikawinkan,” tegasnya dengan nada tinggi. Yati bahkan berani makan tanah untuk menunjukkan pada ayahnya ia lebih ingin mati daripada kawing. Akhirnya hati sang ayah melunak melihat keteguhan Yati dan membiarkannya sekolah hingga kini (hlm.44).
Perjuangan perempuan dalam pendidikan telah dilakukan Yati, keinginan untuk tetap mengenyam pendidikan terus ditempuhnya. (18) Tahun ini Yati akan lulus sekolah dasar. Ia akan melanjutkan sekolah di luar Buru. Ia hanya ingin meneruskan sekolah, entah kelak pendidikan akan menuntunnya ke jalan mana ia tidak peduli. ”Yako tewa mo,” jawab Yati setiap kali ditanya apa cita-citanya kelak. Saya tidak tahu, katanya (hlm.44).
Tokoh kedua adalah Lusia Latun, ia adalah korban adat Pulau Buru. Lusi dipinang sejak berumur enam tahun. Pendidikan yang akan dilakukan Lusi digagalkan oleh pihak laki-laki atau calon mertua Lusi. (19) Dalam kebiasaan masyarakat Buru, jika seorang anak perempuan sudah dipinang, maka sang anak dilarang sekolah. Lusi sudah dipinang oleh Agus Hukunala. Bukan kehendaknya, melainkan keluarganya dan keluarga laki-laki itu (hlm.45).
Penyesalan hadir pada Lusi ketika ia tidak pernah merasakan pendidikan. Dua putrinya ia sekolahkan di sekolah menengah Tual. Ia tidak ingin penyesalannya bertambah, maka kedua putrinya dari 8 bersaudara harus mengenyam pendidikan. (20) Dari Mama Lusi, demikian ia biasanya dipanggil, keluarga Agus dianugerahi 8 anak. Anak yang tertua berusia 13 tahun dan yang bungsu masih berusia 1 bulan. Putrinya yang pertama serta kedua kini duduk di bangku sekolah menengah di Tual. Mama Lusi mengaku sebenarnya menyesal tidak bisa sekolah (hlm.45).
Keinginan sekolah Lusi pada waktu itu sangatlah besar, sampai suatu saat Lusi jatuh sakit karena dilarang sekolah. (21) ”Saya sampai sakit tiga bulan karena dilarang sekolah,” kenangnya. Ketika diperiksa ke mantri, penyakitnya lebih karena pikiran. Namun
apa boleh dikata, sekolah tetap pamali bagi perempuan Buru yang sudah dipinang (hlm.45).
Salah satu penyebab tingkat pendidikan yang terabaikan pada masyarakat Buru adalah dengan adanya adat ”kawin piara”, karena adat kebiasaan tersebut mengenal tata cara pihak laki-laki ”membeli” perempuan yang akan dipinang dengan harta yang telah ditentukan oleh pihak perempuan, dan harta tersebut termasuk tinggi dan mahal sesuai dengan perjalanan zaman. (22) Tuntutan harta yang demikian tinggi membuat masyarakat Buru cenderung untuk menyimpan uang demi perkawinan anak-anak mereka. Penghasilan mereka sehari-hari sebagian besar akan disimpan sebagai harta kawin anak-anak. Akibatnya, perhatian terhadap kesehatan dan pendidikan anak menjadi prioritas terakhir (hlm.48).
Lusi ingin anak-anaknya terus sekolah; mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Bagi Lusi pendidikan adalah bagian terpenting untuk anakanaknya, terutama anaknya yang perempuan. (23) Ia ingin anak-anaknya yang lain mengejar cita-cita mereka. Melihat anaknya tumbuh dan belajar menjadi guru, perawat atau bahkan sarjana merupakan salah satu keinginan Mama Lusi. Keinginan tulus seorang perempuan yang telah merasakan pahit getirnya kehidupan tanpa pendidikan dan kesempatan untuk berkembang. Anak-anak, terutama perempuan, harus mendapat semua kesempatan yang sama dalam segala bidang (hlm.49).
Kesimpulan dari uraian ketiga cerita pendek di atas sebagai berikut. Pertama, cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, oleh Sutikno Sutantyo menceritakan perjuangan seorang ibu agar anak perempuannya dapat terus sekolah, walaupun adat ”kawin piara” dan konflik agama di daerah sekitarnya hampir
merenggut kebebasan dan perkembangan pendidikan satu-satunya anak perempuan yang selamat. Kedua, cerita pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, oleh Bambang A. Sipayung menggambarkan perjuangan dalam pendidikan oleh seorang anak perempuan atas dirinya sendiri, dengan segala impian dan keputusan untuk rela meninggalkan kedua orangtua demi pendidikan bagi dirinya. Ketiga, cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, oleh Melani Wahyu Wulandari disini terdapat dua tokoh yang dihadirkan, tokoh pertama menggambarkan perjuangan dalam pendidikan atas dirinya sendiri dengan memberontak adat, tokoh kedua menggambarkan wujud perjuangan perempuan seorang ibu terhadap anakanaknya, terutama anaknya yang perempuan agar dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya, sang tokoh tidak ingin perjalanan hidupnya terulang lagi dan dialaminya oleh anak-anak perempuannya. Perjuangan untuk mencapai tujuan memerlukan banyak pengorbanan, kebebasan memilih dan berkembang merupakan hak bagi setiap manusia, khususnya kaum perempuan pada kumpulan cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru. Wujud perjuangan perempuan dalam pendidikan dalam memberontak tradisi yang bersifat menindas kaum perempuan Buru dilakukan dengan sebuah pengorbanan yang besar, kemauan dan pikiran untuk maju. Perjuangan tokoh-tokoh perempuan yang dihadirkan dalam cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru, membuat mereka menjadi pejuang-pejuang sejati dalam arti sesungguhnya untuk menentukan nasib dan mempertahankan hak mereka. Salah satu cara untuk membuka pikiran dan terbebas dari belenggu adat itu adalah pendidikan. Mereka sangat yakin bahwa
pendidikan adalah salah satu jalan keluar yang tepat agar dapat terlepas dari belenggu adat yang menganut sistem patrialkal yang terdapat di dalam masyarakat Pulau Buru.
BAB IV PENUTUP
4.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap antologi cerita pendek
Seribu Impian Perempuan Buru, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut. Pertama, penganalisisan kondisi sosiokultural yang tercermin pada antologi cerita pendek Seribu Impian Perempuan Buru yang melatarbelakangi perjuangan perempuan dalam pendidikan ini dapat terlihat bahwa sistem-sistem dan pengaruhpengaruh yang terjadi pada masyarakat Pulau Buru, adalah kawin piara, sistem patriarkhi, dan konflik
bernuansa agama. ”Kawin piara” menggambarkan
ketertindasan kaum perempuan, hilangnya hak dan kebebasan kaum perempuan Buru, dikarenakan tradisi yang turun temurun. Sistem patrialkal adalah sistem yang dianut di dalam masyarakat Pulau Buru. Budaya patriakhi dalam tradisi Pulau Buru ini menghasilkan ketidakadilan, kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Konflik bernuansa agama memberi dampak yang begitu hebat bagi seluruh kehidupan masyarakat Buru, kedamaian serta ketentraman hidup hilang dengan cepat, mengungsi demi keselamatan seluruh keluarga adalah jawaban yang paling tepat saat itu. Kedua, antologi cerita pendek ini lahir berdasarkan kisah cerita para tim Jesuit Refugee Service yang berkarya sejak tahun 2000 melayani para pengungsi
korban konflik di Pulau Buru. Penceritaan dibentuk oleh tim-tim lapangan yang bergabung dalam Jesuit Refugee Service. Budaya yang dipaparkan pada antologi cerita pendek ini merupakan gambaran nyata kehidupan masyarakat Buru yang terjadi hingga kini. Perjuangan perempuan dalam dunia pendidikan terlihat pada tokoh-tokoh yang dihadirkan, yaitu Maria Latbual, Yati, Lusia Latun dan Yosepha Wael. Perjuangan Maria dalam Cerita Pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo, perjuangan yang dilakukan Maria terhadap anaknya Lusi merupakan perjuangan berat demi satu-satunya anak perempuan yang selamat dari kematian untuk dapat bersekolah. Hampir sama pada tokoh Lusia Latun dalam cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Lusia Latun tidak ingin anak-anak perempuannya memiliki nasib yang sama seperti dirinya walaupun salah satu putrinya tetap harus mengalami nasib yang sama menjadi korban tradisi ”kawin piara”, Lusi sangat menginginkan anak perempuan yang lain tetap bersekolah sampai bisa menjadi guru, perawat, bahkan sarjana. Tokoh Yati dalam cerita pendek Tragedi Turun-Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari, adalah gambaran perjuangan perempuan Buru atas dirinya sendiri, ia berjuang agar dirinya tetap bisa sekolah walaupun harus bertengkar dengan sang ayah. Yati lebih memilih mati jika dipinangkan dengan orang lain. Satu perjuangan dengan Yati, Yosepha Wael dalam cerita pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung, berani memutuskan meninggalkan kedua orangtuanya untuk waktu yang sangat lama bahkan entah kapan akan bertemu orangtuanya kembali. Pada umur yang bisa dikatakan belum dewasa, Yos berani
mengambil keputusan penting demi perkembangan dirinya sendiri, walaupun harus memberontak tradisi. Perjuangan tokoh-tokoh yang dipaparkan pada antologi cerita pendek ini merupakan bentuk gambaran perjuangan perempuan sejati dalam arti sesungguhnya, demi hak dan kebebasan untuk kemajuan, mereka berani memberontak tradisi.
4.2
Saran Penelitian pada antologi cerita pendek seribu Impian Perempuan Buru ini
masih memiliki banyak kekurangan. Cerpen ini dapat diteliti dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu psikologi sastra, karena tokoh-tokoh yang dihadirkan mengalami konflik batin. Konflik batin tersebut berupa keberanian sang tokoh dalam upayanya memberontak tradisi. Pendekatan lainnya seperti gender dengan kritik sastra feminis atau dengan kritik baru yang lain.
Daftar Pustaka
Claresta, Aurelia. 23 Februari 2006. Potret Perempuan, Saudaraku Di Pulau Buru. http://aureliaclaresta.blogspot.com/2006/02/potret-perempuan-saudarakudi-pulau.html. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Hafidzohalmawaliy, 8 Juli 2008. Agama, Perempuan dan Hak Asasi Manusia. http://hafidzohalmawaliy.wordpress.com/2008/07/08/agama-perempuandan-hak-asasi-manusia/. Hartiningsih, Maria. 11 Februari 2006. Anak-anak Perempuan yang Dicuri oleh Tradisi. http://kompas.com/kompas-cetak/0602/11/Fokus/2426515.htm. ”Kawin
Ketika
Piara” Masih Terus Berlangsung. 10 Desember 2005. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0512/10/humaniora/2277166.htm. Universalitas Meminggirkan Budaya Lokal. 15 Januari 2003. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/15/daerah/80816.htm.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kuswandari, Emmy. 12 Desember 2005. Belenggu Perempuan Buru dalam Kawin Piara. http://www.geocities.com/haroekoe/sh151205a.htm. Muller, Johanes. 1999. Pendidikan Dasar Pembangunan Politik dan Kebudayaan. Majalah Basis No. 11-12 tahun ke-46, Desember. Murniati, Agustina Nunuk. 1995. Emansipasi – Juga Untuk Perempuan. Majalah Orientasi Baru. Murniati, Agustina Nunuk. 2004. Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: Indonesia Tera. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tenik Penelitian Sastra dari Strukturalis hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana naratif. Ygyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim JRS, 2005. Seribu Impian Perempuan Buru. Yogyakarta: Kotasis Kamar Desain 3x3x3. Yudiono, K.S. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
BIODATA PENULIS
Sigit Permadi Wibowo lahir pada Juli 1981 di Bandar Jaya, Lampung Tengah. Mengawali pendidikan semenjak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak Pamerdisiwi Bandar Jaya pada tahun 1986-1987. Dilanjutkan ke jenjang pendidikan dasar di Sekolah Dasar Kristen Bandar Jaya pada tahun 1987-1993 dan dilanjutkan ke tingkat menengah pertama di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Xaverius Terbanggi Besar pada tahun 1993-1996. Penulis melanjutkan ke tingkat menengah atas pada tahun 1996-1999 di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri III Bandar Lampung. Skripsi dengan judul WUJUD PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PADA ANTOLOGI CERITA
PENDEK
SERIBU
IMPIAN
PEREMPUAN
BURU
SEBUAH
PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA telah diselesaikan untuk memperoleh gelar sarjana Sastra Indonesia ketika berkuliah di prodi Sastra Indonesia, jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2008.