223
BAB VI KESIMPULAN
Kebijakan pengasingan telah dikenal sejak masa VOC, yang mana para bangsawan, raja dan pemuka agama yang dianggap menjadi ancaman bagi VOC disingkirkan dengan cara ini. Lokasi awal yang dipilih adalah pos dagang VOC yang berada di Srilangka dan Tanjung Harapan. Para orang buangan dikirim dengan memanfaatkan jalur dagang dengan kapal-kapal VOC. Kebijakan ini berubah ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda menggantikan VOC yang bangkrut pada akhir abad XVIII, kebijakan baru diterapkan dengan menggunakan kuasa luar biasa dari Gubernur Jendral untuk mengasingkan orang-orang yang dianggap mengganggu rust en orde (ketentraman dan ketertiban). Bersamaan dengan lepasnya koloni Belanda di Afrika ke tangan Inggris, kemudian lokasi pengasingan dipindahkan ke wilayah timur Hindia yaitu wilayah Sulawesi dan Maluku. Tempat ini dipilih karena menyediakan infrastruktur berupa benteng-benteng dan daerah pedalaman yang terisolasi dari dunia luar. Salah satu lokasi pengasingan yang paling terkenal pada masa ini ialah Tondano. Pemilihan Tondano sebagai lokasi pengasingan diusulkan oleh peran Pieter Merkus dan D.W.P.F. Pietermaat. Ketika Tondano dijadikan lokasi pengasingan pada abad ke XIX oleh pemerintah kolonial Belanda banyak tokoh-tokoh dari berbagai wilayah di Nusantara yang kemudian diasingkan di sini. Rombongan awal pengasingan adalah Kiai Modjo dan 62 orang pengikutnya yang datang ke Tondano pada 1830. Setelah
224
itu kemudian datang rombongan lainnya yaitu punakawan Diponegoro pada 1839, Kiai Hasan Maulani pada 1843. Di paruh kedua abad XIX datang beberapa orang dari Padang bernama Malim Muda dan Haji Djamil sekitar 1875, disusul oleh orang Arab bernama Abdullah Assegaf yang diasingkan karena “pemberontakan arab” di Palembang pada 1881. Kemudian beberapa tahun kemudian yaitu pada 1885 datang pewaris tahta kesultanan Banjar bernama Pangeran Perbatasari yang tertangkap di Kutai ketika melakukan usaha mencari dukungan dan senjata. Kemudian pada 1889 tiba di Tondano beberapa orang dari Banten yang terlibat dalam sebuah pemberontakan bernuansa keagamaan di Cilegon. Pemberontakan tersebut sangat menghebohkan dunia kolonial Hindia Belanda karena terjadi ketika penerapan rust en orde sedang mencapai puncaknya di akhir abad XIX. Orang terakhir yang menjadi staatgevangenen di Tondano adalah Malim Panjang yang dibuang karena “Pemberontakan Pajak” pada 1908. Salah satu kategori umum (persamaan) dari orang-orang yang diasingkan di Tondano ialah kebanyakan memiliki akar keislaman yang kuat di tempat asalnya. Hampir seluruh tindakan yang kemudian menyebabkan pengasingan mereka sangat berkaitan dengan gerakan jihad dan ratu adil. Penafsiran terhadap agama masingmasing dipengaruhi oleh konteks negara kolonial yang ekspansif pada abad XIX. Agama mengalami alat perjuangan antikolonialisme. Agama juga menjadi sistem budaya simbolik dan praktikal yang mereka butuhkan ketika mereka perlukan. Dalam situasi dibawah imperialisme, agama menjadi alat yang kuat untuk mendukung ketidakpuasan dan harapan. Hal ini jelas terlihat dalam perang, pemberontakan, ataupun gerakan sosial yang mereka lakukan di tempat asal para orang buangan.
225
Bagi orang-orang yang diasingkan di Tondano, ini adalah awal yang baru. Kepahitan ketika dipaksa meninggalkan kampung halaman, pergulatan untuk bisa bertahan hidup di tanah yang asing, menjadi suatu komunitas kecil yang berusaha bertahan di tempat baru. Bab IV menjelaskan tentang kehidupan para orang buangan sekitar kira-kira 20 tahun sejak kedatangan Kiai Modjo dan para pengikutnya. Kehidupan komunitas yang mereka dirikan itu sudah dalam gambaran yang positif. Para orang buangan di Kampung Jawa Tondano telah mendirikan rumah-rumah yang baik, sehingga kampung tersebut tampak layak dihuni, dan pula dengan jalan-jalan yang teratur dan pembagian pekarangan rumah. Bentuk rumahrumah mereka, seperti yang digambarkan oleh Graafland merupakan perpaduan dengan bentuk rumah khas Minahasa dan dengan hiasan khas Jawa di dalam rumah. Posisi mereka yang minoritas dan terasing dari kebudayaan dan tanah leluhur mereka telah menjadi pemicu dan daya pendorong untuk menjadikan hidup lebih baik di pengasingan. Temuan selanjutnya dalam kajian ini yaitu pada bab V memberikan gambaran proses akulturasi yang berjalan secara kompromi di Kampung Jawa Tondano melalui beberapa aspek yaitu: (1) Perkawinan dengan wanita Minahasa merupakan faktor yang sangat signifikan dalam proses akulturasi dengan orang buangan dari jawa. Dengan menikahi perempuan Minahasa, kesempatan untuk bertahan hidup dan memiliki keturunan menjadi terbuka. Langkah ini juga dapat dimaknai sebagai “jembatan awal” mengikatkan diri masyarakat setempat yang tinggal berdekatan dengan lokasi pengasingan. Kemudian yang kedua (2), dalam bidang pertanian dimana mereka mengerjakan tanah pertanian sawah, kopi dan kebun sayur serta kegiatan industri kecil kecilan dengan dedikasi dan kemauan yang
226
sangat kuat. Juga memberikan contoh dalam mengenalkan cara membajak sawah dengan menggunakan sapi dan kerbau kepada penduduk setempat. Hal lainnya yang juga penting ialah etos kerja mereka yang hanya dalam waktu 20 tahun telah membuka lahan yang luasnya 2,7 km persegi, hampir sama dengan luas desa mereka merupakan sebuah keberhasilan yang signifikan. Selanjutnya pada aspek ketiga (3) yaitu dalam aspek bahasa orang Jawa kemudian beralih menjadi pengguna bahasa Tondano yang aktif dan hanya menyelipkan istilah-istilah bahasa jawa yang terbatas pemakaiannya di dalam lingkungan mereka sendiri. Kemudian dalam aspek keempat (4) yaitu agama Islam. Ke-santri-an orang muslim di Jawa Tondano berbeda dengan santri di Jawa, di mana Islam memiliki tiga varian sebagai sistem sosial yang utuh, yang tak ditemukan di lingkungan kampung Jaton. Tak ada yang namanya “abangan” dan “priayi” di kalangan pengikut Kiai Modjo di sana. Oleh karena itu, bagi orang Kampung Jawa Tondano bahwa “santri” punya arti lain di Kampung Jawa Tondano. Varian “santri” ini bukan lagi cuma atribut, tapi sudah menjadi identitas sukubangsa Jawa Tondano. Oleh karena itu pula, di Minahasa biasanya orang yang beragama Islam akan disebut “orang Jawa” walaupun orang yang dimaksud tidak dari sukubangsa Jawa – karena orang buangan tersebut maka “Jawa” diidentikkan dengan “Islam”. Seluruh kebiasaan yang mereka terapkan disebutkannya sebagai adat, dalam arti agama sebagai praktik. Lebih jauh dalam pemahaman religius Islam, komunitas kampung Jawa Tondano memiliki kecenderungan untuk memperdalam "ngelmu dolong"(tarikat) yang terpengaruh dari Tarekat Syattariyyah. Secara tradisi kampung Jawa Tondano cukup kaya dengan ritual keagamaan, antara lain selawat
227
jowo, zikir Gholibah, punggoan (nyekar leluhur), aderan, maleman dan bakdo ketupat yang semuanya di lakukan dalam hubungannya dengan ramadhan. Di luar itu kesenian islam pun ikut berkembang (gabungan Jawa-melayu seperti hadra atau rodat dan samrak). Leluhur warga Kampung Jawa Tondano adalah hasil perkawinan (percampuran) antara para pria asal Jawa dengan perempuan Minahasa. Selain dari Jawa, kemudian berdatangan juga tokoh-tokoh Islam lainnya dari Sumatera, Kalimantan dan Ambon. Secara geneologis, generasi yang kemudian berkembang hingga sekarang adalah percampuran antara pria yang berdarah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dengan perempuan-perempuan Minahasa. Sementara secara budaya, sosial dan politik, dalam perkembangan kemudian Kampung Jawa Tondano akhirnya mengambil bentuk kebudayaan Minahasa, sementara dari segi agama, mereka terus setia dengan agama yang dibawa oleh leluhur mereka, yaitu Islam. Karena pembauran yang terjadi dalam proses yang cukup panjang, maka dalam hal bahasa, warga Kampung Jawa Tondano kini dominan berbahasa Tondano, dengan hanya sedikit penyesuaian dengan bahasa Jawa. Bukti paling nyata dari perjumpaan yang dialogis antara Keislaman Jawa dengan kebudayaan Minahasa (yang kemudian dominan Kristen) adalah perayaan ”Hari Raya Ketupat.” Ritual keagamaan setelah Hari Raya Idul Fitri ini disebut sebagai hasil perjumpaan dengan kebudayaan Minahasa karena pada awalnya hari raya ini adalah untuk melibatkan saudara dan warga Minahasa Kristen lainnya dalam perayaan keagamaan warga Kampung Jawa Tondano. Hari raya yang sama terdapat di Jawa, asal dari leluhur mereka namun di pengasingan memiliki makna yang berbeda dari tempat asalnya.
228
Bagi warga Kampung Jawa, mempertahankan dan melestarikan tradisi keagamaan yang telah diwariskan oleh para Founding Fathers bukan sekedar menjaga keberlangsungan identitas mereka sebagai 'orang Jawa', akan tetapi, hal ini juga sebagai upaya mempertahankan identitas mereka sebagai seorang muslim dan mukmin. Dalam pandangan masyarakat Kampung Jawa, apa yang telah diwariskan oleh para pendahulu mereka adalah sesuatu yang sarat nilai terlebih dalam relasi dan hubungan mereka dengan penduduk Minahasa. Perubahan zaman pada kenyataannya tidak banyak memberikan pengaruh signifikan bagi masyarakat Kampung Jawa Tondano dalam melestarikan tradisitradisi keagamaan mereka. Semua tradisi di Kampung Jawa Tondano ini hingga sekarang masih dilaksanakan secara konsisten oleh warganya. Meskipun, terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaan tradisi tertentu, akan tetapi perubahan tersebut tidak sampai menyentuh ranah substansial. Bagi warga, tidak ada halangan yang menjadi alasan untuk tidak melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, meskipun dalam setiap pelaksanaannya hanya dihadiri oleh generasi tua. Karena, mereka telah merasakan manfaat tradisi-tradisi tersebut sebagaimana yang telah dirasakan oleh para pendahulu mereka pada masa-awal keberadaan mereka di tanah asing, Tondano, Minahasa. Karenanya, bagi warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan bukan saja menjadi simbol identitas mereka sebagai Muslim, akan tetapi tradisitradisi keagamaan tersebut merupakan simbol kerukunan antara warga Kampung sendiri serta dengan warga masyarakat yang berdomisili di sekitar Kampung. Sejarah panjang Kampung Jawa Tondano telah membuktikan bahwa belum pernah terjadi 'gesekan' yang berarti, dengan komunitas yang tinggal berdampingan dengan Kampung Jawa, yang ditimbulkan akibat dari melaksanakan berbagai
229
tradisi keagamaan tersebut. Menurut warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan mereka merupakan alat pemersatu dalam membina kehidupan yang harmonis dan rukun; bukan saja antar mereka yang heterogenis dalam suku, melainkan juga dengan warga yang berdomisili di sekitar Kampung Jawa Tondano yang berlainan agama dengan mereka.