599
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Makna kearifan budaya Sunda merupakan suatu kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Sunda, baik muncul dalam tradisi lisan maupun tulisan sebagai suatu kepribadian menjadikan identitas kultural masyarakat berbentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan terus-menerus. Esensi kearifan lokal budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai mengandung nilai moral kebaikan sebagai suatu keunggulan budaya yang mengungkap pikiran, perasaan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kebijaksanaan (wisdom) yang terdapat dalam masyarakatnya sesuai identitas budayanya. Kearifan budaya Sunda ini muncul dalam realitas kehidupan masyarakat sehari-hari menjadikan suatu kebiasaan sebagai tuntunan moral yang bersumber dari nila-nilai agama dan kebudayaannya yang terdapat dalam unsur-unsur kebudayaan berbentuk budaya ide, budaya aktivitas, dan budaya artefak pada kebudayaan masa lalu hingga kini. Nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya merupakan hasil reduksi dari perkembangan kebudayaan masyarakat sebagai hasil akulturasi dan inkulturasi budaya masyarakatnya yang dipilah dan dipilih sesuai kebudayaannya menjadikan pandangan hidup dan pedoman dalam kehidupannya. Sumber kearifan
600
budaya Sunda terdapat dalam kebudayaan masyarakat masa lalu hingga kini yang bersumber dari tradisi lisan berbentuk carita, nasihat, pantun, uga, folklor lisan yang juga terdapat dalam bukti-bukti tertulis berbentuk prasasti dan situs, naskah (manuscript) seperti babat, serat, carita, wawacan, karya sastra lainnya yang bersifat tertulis. 2. Kearifan budaya terdapat dalam masyarakat Sunda yang meletakkan pentingnya keharmonisan hubungan antar manusia melalui kehidupan masyarakat yang hidup saling ketergantungan dengan tidak melupakan jati diri dan habitatnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, terkandung dalam konsep silih asih, silih asah, dan silih asuh (3 SA.). Konsep 3 SA. diidentifikasi dikembangkan dalam kebudayaan Sunda masa lalu pada masa kepemimpinan Prabu Siliwangi sebagai realisasi keluhuran hati budi nurani yang kemudian digali oleh Bung Karno sebagai falsafat Pancasila. Makna konsep 3 SA. ini memiliki keterkaitan dengan makna yang terkandung dalam kata pembentuknya, berupa kata silih dan kata asih, asah, asuh yang menjadi esensi kandungan nilainya. Kata silih berarti saling, mengandung makna nilai transformasi yang bersifat resiprokal dan saling memberikan respon dengan penuh kesantunan. Kata asih berarti cinta, mengandung makna nilai ontologis, bahwa keberadaan ‘asih’ berasal dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga nilai asih menjadi landasan kehidupan dalam membangun keharmonisan hidup manusia. Kata asah berarti menajamkan, mengandung makna nilai epistemologis, bahwa kemampuan mengasah jiwa berupa akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan badannya, sehingga menghasilkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya. Kata asuh berarti membimbing, mengandung
601
makna nilai aksiologis, bahwa dalam membangun hubungan silaturrahmi didasari atas saling menghargai kewajiban dan hak asasi manusia berlandaskan pada nilainilai keharmonisan dalam membangun kualitas kemanusiaan. Perpaduan kata silih dengan masing-masing kata asih, asah, asuh menjadikan kata majemuk yang mengandung makna transformasi dari substansi makna yang terkandung dalam nilai: asih, asah, asuh dalam kehidupan antar manusia melalui realitas kehidupan masyarakat, sehingga terbangun harmonisasi yang saling ketergantungan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Orientasi nilai yang terkandung dalam makna 3 SA. pada hakikatnya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam kehidupan sosialnya, sehingga dapat dijadikan metode pemberdayaan manusia dalam kehidupan masyarakat menjadi landasan pendidikan masyarakat, baik pendidikan keluarga, pendidikan formal dan non-formal maupun pendidikan di lingkungan masyarakat. 3. Manusia miskin pada hakikatnya akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, karena ketidakberdayaan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodratnya berupa jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya dalam satu-kesatuan pada struktur sosial masyarakat yang tidak memberikan peluang atas keberdayaan dirinya. Secara ontologis, bahwa keberadaan manusia miskin pada hakikatnya akibat ketidakmampuan mengoptimalkan potensi unsur jiwa berupa akal dalam menghasilkan pemikiran produktif menjadikannya tidak miskin, rasa yang dimiliki belum mampu membangun saling peduli dalam membangun kehidupan yang harmonis, karsa yang dimiliki belum mampu memunculkan budaya ide inovatif dan kreatif yang dapat direalisasikan dalam budaya aktivitas untuk meningkatkan
602
kesejahteraan hidupnya. Beranjak dari substansi kemiskinan manusia yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, maka akar penyebab kemiskinan dapat diakibatkan
oleh
faktor
alamiah,
kultural
dan
struktural
yang
bersifat
multidimensional. Secara epistemologis, bahwa kebudayaan kemiskinan disebabkan oleh perilaku “menyimpang”, dalam arti budaya miskin yang tetap dipertahankan pada strata masyarakat terbawah yang kapitalistik dalam merespon kondisi deprivasi ekonomi. Dalam pandangan struktural masyarakat, bahwa manusia miskin pada kehidupan masyarakatnya mengalami tekanan dari luar dirinya yang bersifat eksploitatif, sehingga ketidakmampuan menghadapi tekanan tersebut berakibat pada ketidakberdayaan dirinya. Kehidupan manusia miskin terjadi dalam suatu rumahtangga miskin yang hidup dalam suatu daerah, ternyata memiliki mata-rantai saling memiliki keterkaitan yang bersifat multidimensional, diakibatkan oleh faktor; kemiskinan dalam arti tidak terpenuhinya standar hidup layak, kelemahan jasmani, isolasi dalam arti bahwa hidupnya dalam masyarakat kurang memperoleh aksebilitas bagi kehidupannya karena keterpencilan atau sikap menyingkirkan dirinya akibat rendah diri, kerentanan dalam arti ketidakpastian atas penghidupannya menghadapi pemenuhan untuk hidup secara layak, ketidakberdayaan dalam arti ketidakmampuan diri menghadapi tekanan kaum yang lebih kuat. Secara aksiologis, bahwa manusia miskin tidak terpenuhinya kebutuhan nilai-nilai utama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia secara layak, berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sehingga terjadi jurang (gap) dalam realitas sosial pada kebudayaan masyarakatnya. Penyebabnya ketidakmampuan memenuhi nilai-nilai utama ini diidentifikasi dalam kebudayaan manusia miskin
603
adalah dimilikinya nilai-nilai negatif berupa perilaku malas, kurang menghargai waktu, rendah diri, tidak kreatif dan produktif serta inovatif, tidak disiplin, dan sifatsifat perilaku negatif lainnya. 4. Landasan pemberdayaan masyarakat miskin dalam hakikat kodrat manusia bertumpu pada kata ‘daya’, yang dimaknai sebagai suatu kekuatan yang ada dalam jiwa pada kesatuan badannya. Secara ontologis, bahwa keberadaan daya pada diri manusia terdapat dalam susunan hakikat kodratnya berupa jiwa yang terdiri dari unsur akal, rasa, karsa pada kesatuan badannya yang mengandung unsur benda mati, sifat-sifat naluriah seperti binatang, dan sifat-sifat seperti pada tumbuhan yang pada hakikat keberadaannya berasal dari sumber segala kekuatan, yaitu Tuhan Maha Kuasa. Ketidakberdayaan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodrat berupa kesatuan jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya dalam diri manusia menjadi penyebab manusia kurang atau tidak berdaya, sehingga berakibat pada kemiskinan dirinya. Manusia yang kurang atau tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak yang terdapat pada keluarga dalam komunitas masyarakat yang berada pada suatu wilayah tertentu disebut manusia miskin. Pemberdayaan masyarakat miskin pada hakikatnya adalah mendorong menumbuhkan kekuatan yang bersumber pada susunan hakikat kodrat pada diri manusia miskin yang diinisiasikan melalui transformasi nilai pemberdayaan berasal dari orang lain yang disebut pemberdaya, sehingga tumbuh keberdayaan dirinya menjadikan hidupnya tidak miskin. Esensi dari transformasi nilai keberdayaan dalam kehidupan manusia ini terjadi melalui interaksi
sosial berlandaskan pada sifat
hakikat
kodrat
manusia
dalam
menyeimbangkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang bersifat
604
monodualis. Ketidakseimbangan manusia sebagai makhluk individu dalam keadaan miskin akan mencari solusi menanggulangi kemiskinan dirinya yang selalu berusaha dan berikhtiar memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak melalui upaya peningkatan keberdayaan diri, yang biasanya membutuhkan stimulasi bantuan orang lain sebagai makhluk sosial. Pada diri manusia harus selalu ada kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan orang lain sebagaimana semestinya menjadikan kewajiban moral sesuai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena itu, dalam kehidupan sosial inilah terjadinya pemberdayaan masyarakat miskin yang pada hakikatnya mengandung nilai transformasi dalam mendorong fungsi susunan hakikat kodratnya menjadikan lebih optimal mengatasi kemiskinannya sebagai pengejawantahan dari watak keadilan. Transformasi nilai ini, terjadi dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui tahapan; penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Dalam implementasinya, program pemberdayaan masyarakat miskin, baik
di
perkotaan
maupun
perdesaan
masih
berkutat
pada
tahapan
‘pengkapasitasan’, karena belum sepenuhnya menyentuh esensi kemiskinan manusia berupa nilai keberdayaan dalam tahapan pendayaan dalam mengoptimalkan unsurunsur hakikat kodrat manusia yang bersifat monopluralis sebagai landasannya. Memaknai pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif epistemologi, pada hakikatnya adalah mentransformasikan nilai-nilai pengetahuan yang bersumber dari akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan badannya melalui kehidupan masyarakat agar memiliki keberdayaan diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Nilai-nilai pengetahuan ini berkaitan dengan pemenuhan kelangsungan kehidupan dalam penghidupannya yang bersifat praksis, baik dari aspek ekonomi, sosial,
605
budaya, dan politik. Dalam perspektif aksiologis, bahwa dalam pemberdayaan masyarakat terjadi transformasi nilai-nilai positif dari manusia yang tidak miskin seperti; jujur, kerja keras, rajin, disiplin, produktif, kreatif, inovatif, menghargai waktu, percaya diri, selalu mau belajar, dan nilai-nilai positif lainnya kepada manusia miskin yang memiliki nilai negatif seperti; malas, rendah diri, tidak menghargai waktu, tidak disiplin, tidak produktif dan kreatif, dan nilai negatif lainnya menjadikannya nilai positif. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan diberi otonomi dan kewenangan untuk eksistensi dirinya, maka segala tindakannya merupakan tanggungjawab diri pribadi dan juga kepada Tuhannya. Karena itu, membangun keberdayaan diri mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodrat yang dimilikinya, merupakan kewajiban moral dalam kehidupan sosial berdasarkan sifat hakikat kodratnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang seimbang dalam membangun eksistensi dirinya sebagai makhluk yang berdiri sendiri. Secara ontologis, keberdayaan manusia pada hakikatnya merupakan suatu tuntutan bagi keberadaan
eksistensi
diri
pribadi
sebagai
makhluk
Tuhan
yang
telah
mengaruniakan susunan hakikat kodratnya berupa jiwa dan raganya, sehingga menjadikan kewajiban agar patuh dan taat melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. 5. Esensi makna nilai 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda pada hakikatnya merupakan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, karena mengandung transformasi nilai pemberdayaan manusia. Secara ontologis, bahwa keberadaan kehidupan manusia di dunia atas ‘asih’nya Tuhan Yang Pengasih, sehingga kedudukan hakikat kodratnya sebagai makhluk Tuhan dan juga makhluk berdiri
606
sendiri sebagai satu-kesatuan. Nilai asih pada hakikatnya berasal dari Tuhan inilah menjadikan landasan dalam membangun hubungan harmonisasi kehidupan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Nilai asih sesama manusia merupakan nilai moral kebaikan dalam diri manusia bersumber dari hati nurani yang dilandasi nilai religius berasal dari dalam jiwa diri manusia. Karena itu, nilai asih dalam bentuk rasa asih pada setiap orang akan berbeda-beda, ada yang bependapat sebagai suatu kewajiban moral karena dilandasi nilai religius, tetapi juga sebagai kesukarelaan yang didasarkan pada kesadaran dirinya. Manusia sebagai makhluk Tuhan menjadikan kewajiban moral melakukan 3 SA. dalam pemberdayaan masyarakat miskin dilandasi nilai moral kebaikan yang diamanatkan Tuhannya
untuk
membangun kualitas kemanusiaan. Upaya itu dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodratnya berupa jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya yang merupakan esensi makna nilai 3 SA. dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam kehidupan sosial, bahwa sifat hakikat kodrat manusia selalu berusaha membangun keseimbangan sebagai makhluk individu untuk meningkatkan kualitas diri sehingga pada saat mengalami kekurangberdayaan membutuhkan transformasi nilai pemberdayaan dari orang lain sebagai makhluk sosial. Sebaliknya, pada saat manusia mengalami keberdayaan diri sebagai makhluk sosial, maka merupakan kewajiban moral mentransformasikan nilai keberdayaan dirinya kepada orang lain yang mengalami kekurangberdayaan sebagaimana mestinya. Esensi nilai 3 SA. mengandung makna transformasi nilai pemberdayaan sehingga menjadikan metode pemberdayaan masyarakat yang memiliki ciri-ciri berpikir kefilsafatan bersifat konseptual, runtut (koheren), dan sistematis. Walaupun 3 SA. merupakan kearifan
607
lokal budaya Sunda, tetapi makna nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, baik yang terkandung dalam nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan,
Persatuan,
Kerakyatan,
dan
Keadilan.
Menginternalisasikan makna 3 SA. dalam program pemberdayaan masyarakat miskin melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan Perdesaan lebih kondusif pada masyarakat perdesaan, karena lebih termotivasi membangun kebersamaan hidup mengembangkan nilai sosial dari pada masyarakat perkotaan. Dalam menginternalisasikan nilai 3 SA. menghadapi kendala antara lain: (a) kurangnya pemahaman masyarakat mengenai hubungan makna nilai 3 SA. relevansinya bagi program tersebut, (b) mulai tergerusnya nilai 3 SA. dalam akulturasi dengan budaya luar, (c) kurangnya kesadaran kolektif mereaktualisasikan dalam realitas kehidupan melalui program ini, sehingga diperlukan refungsionalisasi makna nilai 3 SA. dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin yang disosialisasaikan kepada masyarakatnya.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat disumbangkan atas hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Makna yang terkandung dalam nilai 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda lama yang hingga saat ini masih digunakan dalam masyarakat Sunda telah mengalami penggerusan, sehingga dibutuhkan usaha-usaha pelestarian dan pengembangan yang tidak hanya terfokus pada program pemberdayaan masyarakat semata, sehingga perlu dilakukan refungsionalisasi sebagai suatu tindakan penggunaan kembali dengan
608
melakukan relevansi dengan kebutuhan kebudayaan Sunda masa kini dengan tidak mengubah esensi makna nilainya sebagai upaya revitalisasi dalam kebudayaannya. Revitalisasi kebudayaan adalah upaya terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya tersebut bukan hanya dipahami para pemiliknya, tetapi juga membangkitkan segala kreativitas dalam kehidupan keseharian menghadapi kendala dan tantangan dalam mengimplementasikan pada kehidupan masyarakatnya. Sistem kapitalisme global yang cenderung materialistik mengarah kepada individualistik dan egoisme telah berkembang menjadi tantangan dalam membangun nilai kebersamaan yang diadopsi sebagian masyarakat Sunda sebagai kendala dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dalam masyarakat Sunda bersama-sama pemerintah daerah untuk berkomitmen mereaktulisasikan makna nilai 3 SA. melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat secara terintegrasi dan berkesinambungan. Pemahaman masyarakat dalam memaknai 3 SA. dalam perspektif etimologis semata, belum sepenuhnya dapat mengimplementasikan secara utuh dalam memahami makna nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga diperlukan pemaknaan secara hermeneutik yang direaktualisasikan dalam program pemberdayaan masyarakat miskin melalui berbagai sosialisasi, seperti salah satunya pembuatan buku pedoman yang disajikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami agar mudah diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi ini membutuhkan partisipasi program Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang dalam mereaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda yang tidak bersifat insidentil berorientasi pada proyek semata, tetapi program yang
609
terintegralistik dan berkesinambungan melibatkan tenaga ahli dari dunia pendidikan, budayawan, dan tokoh-tokoh masyarakat dalam menyusun program pelestarian dan pengembangan kearifan budaya Sunda. Pelaksanaan program ini melibatkan partisipasi seluruh masyarakat yang harus selalu dilakukan evaluasi secara terus-menerus untuk keberlangsungan kesinambungan program ini. Program pemberdayaan masyarakat miskin di Jawa Barat belum seutuhnya dapat mengembangkan esensi pemberdayaan masyarakat, yang bertumpu pada nilai pemberdayaan manusia berlandaskan hakikat kodratnya bersifat monopluralis. Hakikat kodrat manusia terdiri dari susunan kodrat, sifat kodrat, dan kedudukan kodrat yang menjadi substansi dalam pemberdayaan manusia menjadikan landasan menanggulangi kemiskinan. Karena itu, perhatian terhadap esensi pemberdayaan manusia miskin dilakukan melalui transformasi nilai pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai yang bersumber dari unsur-unsur hakikat kodratnya menjadikan manusia yang berdaya dan mandiri agar dapat terbebas dari kemiskinan dirinya. Upayaupaya dalam melakukan pemberdayaan manusia miskin melalui sistem sosial budayanya beranjak dari penguatan ketahanan keluarga yang melibatkan partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Penelitian ini baru mengkaji makna 3 SA. dalam perspektif filsafat nilai sebagai objek formalnya. Peneliti lain disarankan agar meneliti lebih lanjut dengan objek material makna 3 SA melalui sudut pandang objek formal yang berbeda, misalnya dari sudut pandang filsafat sosial atau filsafat budaya dan metafisika, yang tentunya memperhatikan relevansi bagi kemanfaatan kehidupan masyarakatnya.