BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kolektibilitas kredit di Bank X Cabang Y dapat dibagi menjadi 2 (dua) sumber yaitu faktor yang berasal dari kreditur dan faktor yang berasal dari debitur. Faktor yang berasal dari kreditur antara lain PKS (Perjanjian Kerjasama) antara pihak bank dengan manajemen perusahaan yang tidak diikat secara notariil, kurangnya kepatuhan terhadap BPP (Buku Pedoman Perusahaan) Perkreditan dalam penghitungan proporsi angsuran kredit dari total pendapatan debitur, kurangnya kepatuhan terhadap BPP (Buku Pedoman Perusahaan) Perkreditan mengenai pengikatan jaminan kredit, kurangnya kemampuan teknis dalam proses analisa kredit yang berkaitan dengan penghitungan nilai taksasi jaminan, kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan keuangan yang sebenarnya dari calon debitur, kurang memperhatikan informasi debitur yang bersumber dari SID (Sistem Informasi Debitur), dan kurangnya monitoring atas kelancaran angsuran kredit oleh petugas terkait yaitu analis kredit. Sedangkan faktor yang berasal dari debitur antara lain adanya itikad tidak baik, penyalahgunaan angsuran oleh koordinator, dan kurangnya kerjasama dari perusahaan tempat debitur bekerja dalam hal informasi mengenai mutasi maupun keluarnya karyawan dari perusahaan. 76
Faktor yang berasal dari kreditur, pertama, yaitu tidak diikatnya PKS (Perjanjian Kerjasama) penyaluran kredit karyawan antara pihak bank selaku kreditur dengan manajemen perusahaan secara notariil. Tidak adanya pengikatan secara notariil berpengaruh secara psikologis terhadap manajemen perusahaan tersebut sehingga kurang memperhatikan tanggungjawab yang tertuang dalam klausula PKS. Kedepannya, perlu untuk mengkaji kembali kerjasama penyaluran kredit KMG khususnya untuk perusahaan swasta. Setiap kerjasama penyaluran kredit sebaiknya secara notariil dan disertai dengan persyaratan wajib masuknya gaji karyawan setiap bulan ke rekening tabungan atas nama karyawan di Bank X Cabang Y untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan angsuran secara kolektif. Kedua, kurangnya kepatuhan terhadap BPP (Buku Pedoman Perusahaan) Perkreditan dalam penghitungan proporsi angsuran kredit dari total pendapatan debitur sehingga berpengaruh terhadap putusan kredit yang lebih besar dari yang seharusnya dan kemampuan membayar debitur yang lebih tinggi dari yang seharusnya yang pada akhirnya mempengaruhi kelancaran angsuran debitur. Kedepannya, analis kredit Bank X Cabang Y harus lebih memperhatikan aturan BPP Perkreditan mengenai penghitungan proporsi angsuran kredit dari total pendapatan debitur. Selain itu manajemen Bank X sebaiknya membuat dan menjalankan sistem reward and punishment mengenai kepatuhan terhadap aturan BPP. Ketiga, yaitu kurangnya kepatuhan terhadap BPP (Buku Pedoman Perusahaan) Perkreditan mengenai pengikatan jaminan kredit yang tidak diikat secara 77
notariil. Pengikatan jaminan kredit yang tidak diikat secara notariil khususnya untuk plafond kredit yang jumlahnya lebih besar dari aturan maksimal plafond kredit tanpa pengikatan jaminan secara notariil, akan berpengaruh pada lamanya jangka waktu yang diperlukan untuk eksekusi jaminan debitur apabila kredit tersebut bermasalah, sehingga jaminan tidak dapat segera digunakan oleh pihak bank untuk mengkompensasi tunggakan kredit. Kedepannya, Bank X Cabang Y harus lebih memperhatikan aturan BPP Perkreditan mengenai pengikatan jaminan berdasarkan batas plafond kredit. Selain itu manajemen Bank X sebaiknya membuat dan menjalankan sistem reward and punishment mengenai kepatuhan terhadap aturan BPP. Keempat, yaitu kurangnya kemampuan teknis dalam proses analisa kredit yang berkaitan dengan penghitungan nilai taksasi jaminan yang lebih tinggi dari harga pasar sehingga berpengaruh terhadap nilai hasil penjualan jaminan yang lebih kecil dari taksasi bank pada saat eksekusi. Kedepannya, taksasi atas jaminan debitur, khususnya untuk plafond kredit yang cukup signifikan. sebaiknya dilakukan oleh petugas dari perusahaan penilai property agar lebih akurat. Kelima, yaitu kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan keuangan yang sebenarnya dari calon debitur yang tercermin dari putusan kredit yang kurang dari kebutuhan, sehingga dana yang ada tidak dapat digunakan secara optimal untuk pengembangan usaha debitur (khusus kredit produktif) dan pada akhirnya mempengaruhi kelancaran angsuran kredit. Kedepannya, analis kredit Bank X 78
Cabang Y perlu untuk memahami kebutuhan kredit yang sebenarnya dari debitur khususnya untuk tujuan pengembangan usaha. Apabila jaminan yang diberikan kurang memenuhi dibandingkan dengan hasil analisa kebutuhan kredit, maka sebaiknya dipertimbangkan kembali untuk tidak menurunkan jumlah plafond yang akan diberikan, namun dapat meminta jaminan tambahan yang lain untuk mendukung persyaratan nilai jaminan. Keenam, yaitu kurang memperhatikan informasi debitur yang bersumber dari SID (Sistem Informasi Debitur). Data debitur yang bersumber dari SID berisi data mengenai seluruh pinjaman atas nama debitur dari seluruh bank maupun lembaga keuangan lainnya. Kedepannya, analis kredit Bank X Cabang Y sebaiknya lebih memperhatikan informasi tersebut sebagai pertimbangan dalam menilai kemampuan debitur dalam membayar angsuran atas semua fasilitas kredit yang telah diperoleh. Ketujuh, yaitu kurangnya monitoring atas kelancaran angsuran kredit oleh petugas terkait yaitu analis kredit. Kurangnya monitoring lebih disebabkan karena adanya beban kerja yang berlebih di bagian analis kredit, dimana bagian analis kredit juga merangkap tugas untuk memasarkan kredit, memonitor kelancaran angsuran dan sekaligus menagih angsuran untuk kredit yang bermasalah. Kedepannya, diperlukan unit khusus untuk melaksanakan fungsi monitoring dan penagihan atas angsuran kredit. Unit tersebut dapat berada dibawah otoritas pemimpin Bank X Cabang Y atau berada dibawah divisi khusus.
79
Faktor yang berasal dari debitur, pertama, yaitu adanya itikad tidak baik yang tercermin dari mangkirnya debitur dalam pembayaran angsuran dan adanya penggunaan dana kredit yang tidak sesuai dengan yang seharusnya atau yang dipersyaratkan dalam
perjanjian kredit
khususnya untuk
kredit
produktif.
Kedepannya, analis kredit sebaiknya lebih memperhatikan karakter debitur sebagai salah satu prinsip dalam analisa kredit. Selain itu, sebaiknya pembayaran angsuran melalui sistem auto debet atau gaji masuk khususnya bagi karyawan serta melakukan monitoring berkala atas perkembangan usaha debitur. Kedua, adanya penyalahgunaan angsuran oleh koordinator sehingga menimbulkan tunggakan kredit. Penyalahgunaan tersebut dapat dikurangi dengan menerapkan sistem gaji masuk atau auto debet angsuran dan dimasukkan dalam salah satu klausula PKS. Ketiga, yaitu kurangnya kerjasama dari perusahaan tempat debitur bekerja dalam hal informasi mengenai mutasi maupun keluarnya karyawan dari perusahaan. Kedepannya, sebaiknya dilakukan pengikatan secara notariil atas semua PKS dan lebih memperjelas kewajiban perusahaan dalam hal pemberian informasi mengenai kondisi karyawannya dalam klausula PKS.
80