94
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Situ merupakan sumberdaya alam yang hampir terlupakan. Di kota besar seperti Jakarta, tekanan penduduk dan pergeseran fungsi lahan semakin memperparah kondisi situ yang ada.
Hingga saat ini, kewenangan untuk
pengelolaan situ belum jelas karena pemerintah pusat hanya memberikan kewenangan kepada Pemprov DKI untuk menanggulangi dampak banjir. Berdasarkan data registrasi, jumlah situ di Wilayah Provinsi DKI Jakarta berbeda satu sama lain, tergantung kepada instansi pengumpul data.
Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa belum ada upaya yang serius untuk mengelola situ secara komprehensif. Catatan penting yang pantas dikemukakan adalah bahwa baik data registrasi maupun sensus menyebutkan bahwa ada beberapa situ yang sudah berubah menjadi daratan, oleh karenanya apabila tidak ditempuh langkah-langkah yang sistematis maka dikhawatirkan situ tersebut akan hilang dan berubah peruntukannya. Dari hasil Analisa Burt terlihat bahwa faktor kelembagaan menjadi faktor penentu kualitas pengelolaan situ.
Kondisi lingkungan situ yang tertata
cenderung membuat kondisi situ lebih bagus kondisinya dibandingkan situ-situ yang tidak tertata, pemanfaatan tumpang tindih dan mengabaikan estetika. Selain itu situ-situ yang terletak di kawasan penduduk dengan tingkat pemanfaatannya optimal dan dibarengi dengan pengaturan kolektif yang lebih banyak mengikutsertakan banyak pengguna juga akan cenderung membuat kondisi situ lebih bagus. Berdasarkan tiga pendekatan analisis data, maka faktor kelembagaan menjadi faktor penentu kualitas pengelolaan situ.
Kondisi situ lebih banyak
dipengaruhi oleh pengelolaan kawasan sekitar situ. Pengelolaan situ yang optimal bisa dicapai melalui pengelolaan yang melibatkan beberapa stakeholders dengan pemanfaatan yang optimal. Kejelasan tata laksana pengelolaan situ menentukan kondisi situ.
Bila terdapat kejelasan tata laksana yang mengatur hak dan
95
kewajiban seluruh stakeholders, maka kondisi situ cenderung bagus. Rendahnya perhatian pemerintah atas situ, ketidakjelasan status kepemilikan, tidak tertibnya pendataan lahan, okupasi lahan secara sepihak, dan kemungkinan adanya praktek kolusi yang melibatkan aparat merupakan sebagian dari penyebab banyaknya lahan situ yang rusak parah. Pengelolaan situ tidak dapat mengandalkan pada aspek kewenangan karena biaya pengelolaan menjadi mahal. Pengelolaan situ yang optimal bisa dicapai melalui pengelolaan yang melibatkan beberapa stakeholders dengan pemanfaatan yang optimal. Penelantaran akan berakibat pada kerusakan situ Keenam situ sampel wawancara mendalam secara de jure dimiliki oleh pemerintah atau “state property” namun secara de facto ada situ yang tetap menjadi “state property” seperti Situ Lembang dan Situ Rowa Dongkal, ada juga yang menjadi “common property” seperti Situ Babakan. Walaupun Situ Babakan secara de facto menjadi common property tidak membuat terjadi tragedy of common karena adanya kejelasan tata laksana situ.
Situ Rorotan adalah
merupakan contoh situ yang pernah secara de facto menjadi common property bahkan salah satu media ibukota pernah menulis bahwa situ ini telah hilang. Kondisi ini berubah sejak dikeluarkannya Surat Keputusan yang salah satunya menetapkan PT Modernland Realty Tbk dari Modern Group mengembangkan hunian kota mandiri modern dan terpadu dimana salah satu nilai lebih dari hunian ini adalah keberadaan situ Rorotan sebagai wahana wisata air sekaligus area resapan air hujan. Sedangkan Situ Rawa Badung tidak hanya secara de facto menjadi common property namun situ ini juga mengalami open access sehingga selain dimanfaatkan oleh setiap orang, situ ini juga mengalami eksploitasi yang berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan situ harus dipertegas, karena apabila kondisi yang memberi kesan tidak adanya pengelolaan situ ini terus berlangsung, dapat memperburuk nasib situ di masa yang akan datang. Karena tekanan pertumbuhan penduduk atau kepentingan yang lain maka situ dapat dialihfungsikan menjadi permukiman atau untuk tujuan lain. Dengan demikian, perlu kejelasan mengenai sistem kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan situ.
Kesadaran stakeholders situ untuk tidak hanya
96
memanfaatkan tapi juga memelihara situ menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas situ. Bagaimana sikap dan aspirasi stakeholders terhadap situ tidak dapat diabaikan begitu saja tetapi harus dipertimbangkan dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan dan pengembangan situ yang ada. Walapun situ terletak di kawasan penduduk yang padat dengan tingkat pemanfaatannya optimal namun bila diiringi dengan pengaturan kolektif dengan melibatkan lebih banyak pengguna dan menampung aspirasi masyakarat sekitar, maka akan cenderung memperbaiki kondisi situ. Tentunya hal ini juga harus dikuti dengan monitoring yang efektif melalui penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan masyarakat dan mekanisme penyelesaian konflik yang jelas. Situ yang memiliki batas yurisdiksi, property right dan aturan representatif yang jelas akan berpengaruh pada kondisi situ yang semakin baik karena situ yang terawat dapat lebih bermanfaat bagi warga sekitarnya. Secara umum tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang fungsi situ juga sangat terbatas. Hampir sebagian besar warga masyarakat di sekitar situ tidak menyadari fungsi situ sebagai pengendali banjir, penyimpan air, apalagi untuk kelestarian flora dan dauna endemik. Terkait dengan pembenahan situ, maka partisipasi warga masyarakat dalam memelihara situ hanya dapat terwujud apabila ada kepastian hukum akan status kepemilikan situ serta konsistensi pengawasan baik oleh masyarakat mau pun pemerintah. Ini antara lain ditunjukkan dengan keseriusan mereka ikut menjaga
areal situ dari
kemungkinan adanya orang yang membuang sanpah di lahan situ karena adanya kesadaran bahwa situ berfungsi sebagai penampungan limpasan air hujan sehingga kawasan di sekitar situ terhindar dari ancaman banjir. Hal ini sudah terbukti efektif dilaksanakan di Situ Babakan terutama sejak ditetapkan menjadi bagian dari Perkampungan Budaya Betawi
6.2. Saran Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa belum ada upaya yang serius untuk mengelola situ secara komprehensif, maka perlu dilakukan sinergi dalam rangka keterpaduan agar pengelolaan situ agar tidak menjadi tumpang
97
tindih dan pemanfaatan situ menjadi lebih optimal. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan situ cukup banyak, namun dalam implementasinya masih lemah, terutama dalam hal pengawasan. Pemberian sanksi hukum juga masih lemah. Implementasi peraturan perundangan harus diikuti dengan sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan dan penegakan hukum. Mencermati berbagai persoalan yang timbul akibat pengelolaan situ di DKI Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta dapat mengambil manfaat berupa informasi dan masukan untuk menyusun kebijakan perencanaan yang komprehensif untuk pengelolaan situ dengan mempertimbangkan seluruh parameter pengelolaan situ. Selain itu perlu disusun profil lengkap mengenai situ di Wilayah DKI Jakarta dengan melibatkan seluruh stakeholders. Peran dan fungsi Dewan Sumber Daya Air perlu dioptimalkan dan pengelolaan situ harus mempertimbangankan tipologi situ yang bisa murni state property dan yang memakai pendekatan pengelolaan optimal. Situ yang terletak di kawasan padat penduduk perlu mempertimbangkan tingkat pemanfaatan optimal yang diiringi dengan pengaturan kolektif yang lebih banyak dengan melibatkan lebih banyak pengguna dan menanmpung aspirasi masyakarat sekitar. Situ-situ yang secara de jure dimiliki oleh pemerintah (pusat) atau “state property” dapat dikembankan kondisinya menjadi lebih baik dengan pelibatan partisipasi masyarakat sekitar. Dari contoh Situ Babakan terlihat bahwa kejelasan tata laksana pengelolaan situ dan pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan situ menentukan kondisi situ.
Situ-situ yang lain pun
berpotensi untuk menjadi bagus seperti situ Babakan karena secara umum tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat untuk menjaga kawasan di sekitar situ agar terhindar dari ancaman banjir sudah mulai muncul. Beberapa situ yang secara de jure adalah “state property” dan berada di pemukiman penduduk dan dapat dikembangkan menjadi kondisi situ yang bagus antara lain Situ Rawa Dongkal, Situ Arman, Situ Kelapa Dua Wetan, Situ Sunter Hulu, Situ Mandara Permai, Situ Rawa Kepa dll. Sedangkan
untuk Situ Rawa Penggilingan sebenarnya partisipasi
masyarakat untuk tidak membuang sampah di areal situ sudah terlihat, tentunya dibutuhkan dukungan dari Pemerintah Daerah untuk mempercepat proses serah
98
terima fasos-fasum. Rencana penertiban dan penataan Situ Rawa Badung tdengan melibatkan BLTP pengelola kawasan PIK Jakarta Timur; BPKD Prof DKI Jakarta, BPN Prov DKI Jakarta serta Biro Hukum Setda provinsi DKI Jakarta perlu diupayakan dipercepat sehingga masyarakat sekitar situ mendapat manfaat dari keberadaan situ sehingga tidak terkena banjir lagi.
Penerbitana SK untuk
Situ Rorotan yang bekerja sama dengan pengembang juga perlu didukung karena pengelolaan situ tidak dapat mengandalkan pada Pemerintah saja karena biaya pengelolaan yang ditanggung menjadi mahal. Hal senada dapat diterapkan pula pada situ-situ yang secara de jure berstatus “private property” seperti Situ Taman Makan Pahlawan, Situ MBAU, Situ Ragunan dll