BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian tentang arsitektur rumah tradisional di Desa Pinggirpapas, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Arsitketur tradisional Madura yaitu tanean lanjang di Desa Pinggirpapas ada dua tipe. Tipe tersebut adalah: a. memiliki dua tanean (halaman) di bagian ada’ (depan) dan budi (belakang) bangunan roma (rumah tinggal) yang terbentuk dari deretan bangunan pandhepa – roma – dapor; dan b. hanya memiliki satu tanean (halaman) di bagain ada’ (depan) roma (rumah tinggal) yang terbentuk dari deretan bangunan pandhepa – roma. 2. Arsitektur rumah tradisional di Desa Pinggirpapas adalah hasil karya masyarakat nelayan dan petani garam di wilayah pesisir timur Kabupaten Sumenep. Bentuk rumah tradisional di Desa Pinggirpapas mencirikan salah satu rumah tradisional Madura khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep yang
berbentuk
bangsal.
Rumah
tradisional
di
Desa
Pinggirpapas
menggunakan perpaduan material alam berupa kayu untuk keseluruhan bagian badan bangunan dan rangka atap, batu karang untuk kaki bangunan dan genting tanah liat dari Palembang untuk penutup atap. Bangunan rumah dibuat secara bongkar-pasang sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Roma (rumah tradisional) di Desa Pinggirpapas dilengkapi dengan dua
223
224
bangunan pelengkap yaitu pandhepa dan dapor. Ketiga bangunan ditata secara memanjang lao’ – daja (selatan – utara) yaitu pandhepa – roma – dapor. 3. Wujud arsitektur rumah tradisional di Desa Pinggirpapas adalah salah satu wujud dari kebudayaan yang memperlihatkan adanya kesepakatan bersama dalam menetukan keseragaman yang dapat dilihat pada: 1) bentuk struktur utama dan formasi jumlah tiang; 2) fungsi ruang, 3) orientasi bangunan dan 4) elemen-elemen bangunan. 4. Orientasi bangunan roma (rumah tinggal) menghadap ke lao’ (selatan), bangunan pandhepa menghadap ke daja (utara). Orientasi utama adalah orientasi bangunan roma ke lao’, hal ini dipengaruhi oleh anggapan masyarakat tentang laut sebagai sumber rezeki dan penghidupan. 5. Di Desa Pinggirpapas ada empat tipe bangunan rumah tradisional atau roma menurut strata sosial. Tipe tersebut adalah: a. roma tipe 1, roma strata 1 adalah roma yang terdiri dari amper ada’, abeg dan 1 pangkeng yang memanjang dari barat ke timur terletak di sebelah utara abeg. Tipe roma generasi pertama dan dihuni oleh keturunan leluhur utama yang terletak di Kampong Ageng bagian utara. Roma memnggunakan ornamen tompang bertingkat 5; b. roma tipe 2, perkembangan dari roma strata 1 adalah roma yang terdiri dari amper ada’, abeg, pangkeng kangan, pangkeng kacer, dan amper budi. Tipe roma generasi kedua dan dihuni oleh keturunan dari leluhur utama yang memiliki strata tinggi. Terletak di Kampong Ageng bagian selatan. Roma memnggunakan ornamen tompang bertingkat 5 dan 7.;
225
c. roma tipe 3, roma strata 2 adalah roma yang terdiri dari amper ada’, abeg, pangkeng kangan dan pangkeng kacer. Tipe roma yang di huni oleh keturunan Syekh Anggosuto, Syekh Kabasa dan Panembahan Sumala di luar Kampung Ageng. Roma ini terletak di Kampong Dhalem dan Kauman. Roma
menggunakan
ornamen
tompang
dengan
jumlah
tingkatan
menyesuaikan lokasi roma dibangun (Kampong Dhalem dan Kampong Kauman), yaitu 1 dan 3; dan d. roma tipe 4, roma strata 3 adalah roma yang terdiri dari amper ada’, abeg dan satu pangkeng di bagian kangan (kanan) dari ruang abeg. Roma dihuni oleh kalangan abdi dalem yang tersebar di Kampong Dhalem dan Kampong Kauman. Roma memnggunakan ornamen tompang bertingkat 1 dan 3. 6. Arsitektur rumah tradisional di Desa Pinggirpapas adalah manifestasi dari prinsip hidup kaula ban Guste yang diwujudkan dalam bentuk bangunan roma (rumah tinggal) beserta bangunan pelengkapnya pandhepa (pendopo) dan dapor (dapur). Prinsip hidup tersebut diabstraksikan dari konsep-konsep lokal yang melakat di dalamnya. Konsep tersebut adalah: a. konsep ada’ – budi (depan – belakang): pembagian tatanan ruang skala mikro (ruang di dalam rumah) dan skala makro (bangunan utama dan pelengkap) berdasarkan fungsi keutamaan. Ada’ adalah bagian depan yang dianggap lebih utama, melambangkan kewibawaan pemilik roma, dan terbuka bisa diakses oleh orang lain. Budi adalah bagian belakang yang bersifat privat dan hanya bisa diakses oleh penghuni dan keluarga dekat. Ada’ memiliki nilai keutamaan lebih daripada budi;
226
b. konsep kangan – kacer (kiri – kanan): konsep penataan ruang berdasarkan pengguna. Kangan atau kanan adalah bagian yang dianggap utama dan lebih berkedudukan tinggai daripada kacer atau kiri. Hal ini tampak di dalam ritual-ritual adat, laki-laki akan menempati bagian kangan, karena masyarakat setempat beranggapan bahwa lelaki harus mampu memimpin. Di dalam penataan ruang dalam roma tipe 2 terdapat pangkeng kangan (kamar tidur sebelah kanan) dan pangkeng kacer (kamar tidur sebelah kiri). Pangkeng kangan adalah tempat tidur orang tua dan pangkeng kacer adalah tempat tidur anak. Di dalam tipe roma 3 dan 4 pangkeng terletak di sebelah kangan dari ruang abeg (ruang tengah), pangkeng ini adalah milik orang tua; c. konsep lake – bini (lelaki – perempuan): konsep ini membagi wilayah teritori antara laki-laki dan perempuan. Di dalam tatanan masa bangunan, pandhepa serig dikatakan sebagai bangunan lake’ (laki-laki) karena selain digunakan untuk menerima tamu, pandhepa juga digunakan sebagai kamar tidur penghuni laki-laki. Dapor adalah bangunan bini (perempuan) dan tabu bagi laki-laki. Di dalam skala bangunan roma yang memiliki dua pangkeng, pangkeng kacer akan digunakan bagi anak perempuan tidur, anak laki-laki akan tidur di abeg atau pandhepa; dan d. konsep lao’ – daja (selatan – utara): lao’ adalah arah utama bagi masyarakat petani garam di Desa Pinggirpapas. Bangunan roma – pandhepa – dapor disusun secara memanjang dari lao’ – daja. Lao’ – daja arah yang dianggap akan mendatangkan banyak keberuntungan daripada bara’ – temor (barat –
227
timur). Arah lao’ atau selatan adalah arah yang lebih utama dan baik daripada daja (utara), perwujudannya adalah arah hadap bangunan roma ke selatan karena roma adalah bangunan utama tempat berlangsungnya kehidupan, pandhepa menghadap ke daja (utara). Bangunan roma dan pandhepa saling berhadapan, melambangkan keharmonisan hidup penghuni dengan orang luar, karena pandhepa digunakan sebagai tempat untuk tamu. 7. Wujud rumah tradisional di Desa Pinggirpapas adalah bagian dari pandangan konsepsi hidup, yang masih terjaga dan lestari. Tata nilai di balik wujud arsitektural bangunan rumah tradisional di Desa Pinggirpapas meliputi nilainilai fisik dan non fisik. Secara non fisik dalam skala yang lebih kecil siklus kehidupan manusia digambarkan dalam bangunan roma. Di dalam skala yang lebih besar lagi, roma beserta bangunan pelengkapnya (pandhepa dan dapor) menggambarkan suatu sikap penghambaan diri (dari yang buruk menuju yang baik, dari yang kotor menuju yang bersih). Secara fisik di antaranya adalah pemilihan tempat, bentuk bangunan roma beserta bangunan pendukung, penggunaan elemen bangunan, urutan dalam membangun fungsi setiap bangunan dan penggunaan ruang. 6.2 Saran Dalam penelitian tentang rumah tradisional di Desa Pinggirpapas, temuan tentang teori lokal kaula ban Guste terbentuk dari konsep asritektural yang diwariskan secara turun temurun (ada’ – budi, kangan – kacer, lake – bini, dan lao’ – daja). Saran yang dapat disampaikan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
228
1. Bagi kepentingan keilmuan: penelitian tentang arsitektur rumah tradisional di Desa Pinggirpapas diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah di bidang arsitektur tradisional dan upaya konservasinya. Penelitian ini baru sebuah permulaan dari upaya menguak karakteristik rumah kuno di Sumenep umumnya dan Desa Pinggirpapas khususnya, a. tidak semua roma atau rumah dijadikan sebagai kasus bangunan dalam penelitian, sehingga masih dimungkinkan untuk melakukan pengamatan terhadap seluruh rumah kuno dan membandingkan dengan rumah baru agar terlihat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan rumah tradisional Pinggirpapas sehingga bisa didapatkan hasil yang lebih komprehensif guna pengembangan kawasan; dan b. tipe tanean lanjang di Desa Pinggirpapas berbeda dengan wilayah lain di Madura, di dalam penelitian ini belum diungkap secara dalam faktor apa yang mempengaruhi perbedaan pola tersebut dengan wilayah lain di Madura dan faktor yang menjadi penyebab hilangnya pola tanean lanjang saat ini. 2. Bagi pemerintah: hasil penelitian dapat dijadikan referensi dalam menyusun kebijakan dan peraturan-peraturan dalam pelestarian tradisi dan budaya adat lingkungan kampung tradisional, kekhasan serta keunikan elemen-elemen arsitektur bangunan kuno di Kabupaten Sumenep, khususnya di Desa Pinggirpapas. 3. Bagi masyarakat: memiliki referensi dan gambaran tentang arsitektur rumah tradisional khas Pinggirpapas sehingga dapat lebih peduli, menambah rasa
229
kecintaan terhadap pelestarian rumah tinggal warisan leluhur dan tidak merusak lingkungan desa tradisional.