BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dan dianalisis , maka dapat diambil kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan penelitian sebagai berikut: 1.
Konsep etika ekofeminis Vandana Shiva dan Karen J. Warren merupakan kritik terhadap cara pandang dan sikap kapitalisme-patriarkhi yang tidak adil terhadap perempuan serta kurang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Bentukbentuk ketidakadilan berupa: a). perempuan tidak memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pemeliharaan
setara dengan laki-laki pada saat proses pengelolaan,
maupun pemanfaatan lingkungan; b). laki-laki memperoleh
keuntungan yang lebih besar karena cara pandang, sikap maupun kebijakan mempergunakan kerangka referensi norma maskulinitas; c) gagasan, keinginan, pengalaman, dan kepentingan perempuan kurang dihargai karena parameter ideal kebaikan moral merujuk pada prinsip-prinsip maskulinitas ; d) bersikap rakus mengejar kepentingan ekonomi kurang mempedulikan penderitaan perempuan maupun alam; e) mentalitas perempuan dan alam diubah dari produksen menjadi konsumen diasingkan dari lingkungan alamiahnya. Penataan kembali pola relasi antara manusia dengan sesama maupun dengan alam berlandaskan prinsip keadilan dapat menghentikan penindasan perempuan dan ekploitasi alam. Shiva mengartikan konsep keadilan dalam artian semua mahkluk diberi hak untuk mengembangkan potensi diri secara optimal sesuai dengan jati dirinya dengan tetap menghormati nilai kehidupan satu dengan lain. Keadilan dapat 424
diwujudkan dengan cara : prinsip-prinsip feminimitas dipromosikan dijadikan arus utama dalam semua aspek pembangunan nasional maupun kehidupan bermasyarakat ditanamkan ke semua manusia sejak usia dini; hutan perlu dikembangkan dengan model multikultur; demokrasi diberlakukan
kesemua
mahkluk; pola pikir dualistik-dikotomis -kompetitif diubah menjadi relasi kerja sama berlandaskan semangat persaudaraan disinergiskan
dengan
ekologi
dan
sejati; kepentingan ekonomi
sosial-budaya;
pengetahuan
ilmiah
dikolaborasikan dengan kearifan lokal; pola pikir reduksi diganti dengan pertimbangan pemikiran yang lebih komprehensif;
sistem ekonomi pasar yang
rakus mengarah pada budaya kematian (nicro-philia) diganti dengan ekonomi subsisten berlandaskan prinsip hormat terhadap kehidupan (bio-philia). Karen J. Warren memaknai
konsep keadilan dalam artian tidak ada
dominasi yang merugikan kepentingan salah satu pihak. Logika dominasi yang dibangun atas dasar pemikiran dualistik dengan menempatkan hirarkhi nilai secara berbeda secara moral
buruk karena dapat memunculkan praktek penindasan
terhadap perempuan dan alam. Kedudukan manusia dipisahkan dengan alam, lakilaki dipisahkan dengan perempuan, kepentingan ekonomi dipisahkan dengan ekologi. Kepentingan manusia, laki-laki
dan ekonomi diposisikan superior
sebaliknya kepentingan perempuan, alam dan ekologi ditempatkan pada posisi inferior. Pola relasi yang timpang merugikan kepentingan perempuan dan alam. Pola relasi yang adil menurut Warren dapat terwujud apabila manusia bersedia melakukan perubahan paradigma dari epistemologi maskulin diganti dengan
epistemologi
feminis.
425
Epistemologi
feminis
melihat
perbedaan
merupakan keanekaragaman yang saling memperkaya tidak perlu disusun dalam peringkat hirarkhi kemudian dikompetisikan untuk dijadikan dasar legitimasi sebagai pihak yang berhak mendominasi. Epistemologi feminis Warren menempatkan unsur perasaan memiliki kedudukan setara dengan rasio. Perasaan dan rasio merupakan sarana untuk memperoleh pengetahuan perlu diasah secara seimbang supaya dapat meningkatkan kepekaan terhadap penderitaan perempuan dan alam. Keadilan bukan merupakan kata benda yang dapat terdistribusikan secara tuntas, final dan merata menggunakan kalkulasi matematis, melainkan merupakan sebuah proses yang perlu secara terus menerus dievaluasi, digali, dipertajam, diperdalam , dan disepurnakan rumusannya. Kemampuan berpikir secara kritis, inklusif, kolaboratif berdasarkan prinsip kesetaraan dan cinta perlu ditumbuhkembangkan supaya manusia semakin sensitif menangkap fenomena ketidakadilan yang menimpa perempuan maupun alam. 2.
Prinsip-prinsip etis yang perlu dikembangkan supaya keadilan gender dan kelestarian lingkungan dapat terwujud menurut pandangan Vandana Shiva adalah : a) hormat terhadap kehidupan, b) bersikap demokratis ke semua mahkluk, c) keadilan, d) kepedulian, e). kasih sayang, f).kemanfaatan , g). kehati-hatian pada saat menerapkan maupun memanfaatkan IPTEK. Warren menekankan prinsip: a) kesertaraan, b).keadilan, c). kepedulian, d).cinta pada
sesama dan alam.
Masyarakat desa Beji memperkenalkan prinsip : hormat terhadap kesucian dan kesakralan hutan Wonosadi, hormat terhadap “sing paring urip, sing ngurip-urip, sing nguripi, lan sebakalaning urip”; “empan papan”; “tekun, teken, tekan”; “sepi ing pamrih rame ing gawe mamayu hayuning buwono”;
426
gotong royong ,
“rumangsa handarbeni, wajib hangrungkebi, mulat sarira hangrasawani”, “tepo seliro”; hidup selaras dengan alam; peduli terhadap kehidupan semua mahkluk. 3.
Konsep etika ekofeminis Shiva dan Warren memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan etika ekofeminis Shiva: a). memperluas ruang lingkup tanggungjawab moral berdemokrasi ke semua mahkluk sehingga dapat mengerem kerakusan manusia pada saat membangun relasi dengan alam dan sesama, b). mempromosikan nilai kesucian dan kesakralan alam serta tubuh perempuan yang selama ini tergerus akibat dominasi cara pandang kapitalisme-patriarkhi berorientasi materialistik, c).mengubah makna produktifitas yang selama ini direduksi sekedar mempergunakan parameter ekonomi-materialistik menuju ke pemahaman yang lebih berdimensi spiritual berupa penghormatan terhadap nilai kehidupan, d).menempatkan posisi pengetahuan kearifan lokal dan pengetahuan ilmiah dalam kedudukan setara dan perlu dibangun relasi kerjasama diantara keduabelah pihak. Kelemahan etika ekofeminis Shiva:a).menggeneralisir seakan akan pengalaman, sikap maupun pengetahuan perempuan bercorak monolitik di masyarakat,b).melakukan pemisahkan secara tegas antara nilai maskulinitas dengan feminimitas, masyarakat belahan utara dengan belahan selatan sehingga menjadikan yang bersangkutan memiliki pola pikir tidak konsisten, disatu sisi mengkritik terhadap pola pikir dualistik disisi lain mempraktekan sendiri, c). gagasan pemberian nilai instrinsik ke semua mahkluk memunculkan problematika dan kesulitan moral pada saat hendak mencari parameter untuk dioperasionalkan, d). konsep keluarga bumi yang mengadaikan semua mahkluk merupakan satu saudara yang dapat membangun kerjasama secara damai satu dengan lain
427
merupakan bentuk ideal kebaikan moral namun dalam realita seringkali sulit terbukti karena di dalam diri setiap mahkluk terdapat juga sifat bawaan kodrat saling bermusuhan. Kelebihan konsep etika ekofeminis Warren adalah:a). memberikan pendasaran pemikiran logis-rasional terhadap persoalan moral, b). memberi peringatan berharga bagi masyarakat supaya mewaspadai alasan logis meta etis yang dikembangkan kapitalisme-patriarkhi karena seringkali menggiring pada pola relasi penindasan, c). memperdalam sekaligus memperluas konsep keadilan distributif Aristoteles. Etika ekofeminis Warren memiliki kelemahan :a). pada saat melakukan analisis etis selalu dibangun atas dasar kecurigaaan adanya penindasan antara laki-laki dengan perempuan maupun manusia dengan alam sehingga mengakibatkan hasil kajian etika tidak bersifat objektif, adil dan berimbang. Pengungkapan praktek unggul perempuan perlu dibahas secara proporsional selain menempatkan posisi perempuan sebagai kurban penindasan supaya hasil kajian etika tidak bersifat berat sebelah,b). memasukkan etika kepedulian dan etika keadilan kedalam etika keutamaan memiliki dampak negatif prinsip-prinsip moral tersebut sekedar menjadi keharusan tetapi tidak dapat diwajibkan secara mutlak dan diberlakukan secara umum dalam kehidupan masyarakat, c). konsep cinta dalam relasi manusia dengan alam maupun dengan sesama dapat membangkitkan romantisme heteroseksual yang menggiring melanggengkan dominasi kekuasaan berdasarkan jenis kelamin, d). konsep cinta pada
hakikatnya
tidak
steril
dari
dimensi
gender,
kesalahan
dalam
mengkonstruksikan makna cinta dapat membingungkan pada saat menentukan
428
orientasi pengembangan diri maupun pada saat membangun relasi dengan dunianya. Kelebihan
etika ekofeminis masyarakat desa Beji mempromosikan nilai
kesucian dan kesakralan hutan Wonosadi sehingga bermanfaat untuk mekanisme kontrol psikis mengerem kerakusan mengekploitasi hasil hutan. Ketaatan melestarikan hutan dan bersikap adil terhadap perempuan mengandalkan daya pengancam bersumber pada mitos bersifat rapuh. Legitimasi mitos mudah pudar seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, besaran arus urbanisasi dan keterbukaan akses informasi 4.
Etika ekofeminis Shiva dan Warren memiliki relevansi sekaligus kontribusi bagi pengembangan visi ekofeminis masyarakat desa Beji. Belajar dari pengalaman sejarah, masyarakat desa Beji disadarkan ketika aspirasi perempuan tidak dipertimbangkan serta logika dominasi menggunakan referensi norma maskulinitas dikedepankan mengakibatkan muncul berbagai bencana alam dan bencana kemanusiaan. Perempuan merupakan pihak yang paling dirugikan akibat dari
penggundulan hutan Wonosadi. Pengalaman negatif di masa lampau
membangunkan kesadaran kritis masyarakat desa Beji untuk mengembangkan visi etika ekofeminis mengarah pada penghormatan nilai-nilai humanisme integral dengan cara menghidupkan kembali kesucian dan kesakralan hutan Wonosadi. Bertitik tolak spiritualitas hutan Wonosadi dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan hakikat kodrat manusia sebagai mahkluk mono-pluralis secara menyeluruh, terpadu,
seimbang,
dan bersinergi. Masyarakat desa Beji
memperluas hakikat sifat kodrat manusia
429
tidak hanya merupakan mahkluk
individu dan sosial tetapi sekaligus
mahkluk ekologi dengan senatiasa
mengkaitkan antara komponen material (kasad mata) dengan non-material (ora kasad mata). Tanggungjawab moral berbuat baik ditujukan ke semua mahkluk, karena komunitas moral tidak hanya dibatasi pada sesama manusia yang hidup dalam dimensi ruang dan waktu saat ini, melainkan mencakup seluruh komunitas ekologis termasuk yang hidup pada masa lampau
(leluhur) maupun masa
mendatang. Hakikat kodrat manusia sebagai mahkluk religius lebih dipromosikan dengan tanpa mengabaikan tanggungjawab manusia sebagai mahkluk otonom yang mempunyai kewajiban untuk mensejahterakan diri, sesama dan alam. Harmoni dalam keselarasan antar seluruh unsur, aspek dan mahkluk di alam menjadi
fondasi sekaligus dambaan masyarakat desa Beji pada saat berelasi
dengan sesama maupun dengan hutan Wonosadi. Masyarakat desa Beji mengembangkan visi ekofeminis tidak hanya berhenti pada kesetaraan, tetapi berusaha melangkah secara lebih jauh lagi pada upaya untuk mewujudkan kesejahtaraan bersama. Warga menyadari tidak ada untungnya mengambil sikap memusuhi perempuan maupun alam karena yang dicari dalam hidup bukan kemenangan melainkan keseimbangan, kerukunan dan kesejahteraan bersama. Warga memiliki kearifan lokal dalam bentuk mengubah konflik menjadi pembagian
adil yang mensejahterakan bersama dengan cara
melakukan alokasi pembagian tata guna lahan secara bijaksana, mengembangkan pola pikir sintetik, melakukan pertimbangan komprehensif pada saat hendak mengambil keputusan. Kearifan lokal tersebut bermanfaat untuk mewujudkan keadilan gender dan kelestarian hutan.
430
5.
Pemikiran etika ekofeminis Shiva, Warren dan masyarakat desa Beji memberi kontribusi bagi pengembangan visi baru bidang etika karena berhasil “membumikan” perdebatan filsafat moral dari pembahasan yang abstrak, teoritis, metafisis dan mengawang-awang menuju ke pembahasan yang lebih bersifat konkrit, aktual dan kontekstual. Etika menjadi bidang kajian yang sangat akrab dan dekat dengan persoalan yang dihadapi masyarakat. Pemikiran etika ekofeminis Shiva, Warren dan masyarakat desa Beji berkontribusi memperluas dan memperdalam asas hukum keadilan yang terdapat pada UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Asas keadilan yang ada dalam undang-undang kehutanan selama ini (ius constitutum) masih bercorak antroposentrsi karena yang ditekankan adalah kemakmuran rakyat. Para pemikir ekofeminis menawarkan konsep keadilan secara lebih komprehensif dengan memperlakukan secara bermoral manusia maupun non-manusia, ruang lingkup keadilan tidak hanya diberlakukan pada generasi sekarang dan mendatang melainkan juga generasi masa lampau (leluhur), pertanggungjawaban keadilan tidak hanya pada sesama manusia tetapi juga pada kekuatan transendental. Cita –cita keadilan yang memberi perhatian ke semua mahkluk mencakup berbagai dimensi historis perlu diakomodasi dalam asas hukum kehutanan dimasa mendatang (ius contituendum).
B. Saran: Kajian etika ekofeminis Vandana Shiva dan Karen J. Warren sebagai landasan untuk merekonstruksi etika lingkungan di Indonesia dengan mengambil studi kasus pengelolaan hutan Wonosadi di Kabupaten Gunung Kidul sudah selesai dilakukan, namun ada beberapa saran yang dapat diusulkan: 431
1.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung secara cepat membawa serta problem ketidakadilan gender dan kerusakan lingkungan. Berbagai persoalan moral baru seringkali bermunculan sehingga perlu diimbangi dengan mengintensifkan kegiatan riset etika terapan yang mengangkat persoalan aktual dan faktual di masyarakat supaya arah perkembangan peradaban bangsa Indonesia semakin manusiawi.
2.
Kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan penghormatan kesetaraan gender bukan semata-mata produk bawaan kodrat manusia, melainkan merupakan hasil proses pembelajaran yang dimatangkan oleh pengalaman hidup. Visi luhur etika ekofeminis yang bertujuan mewujudkan kelestarian lingkungan dan kesetaraan gender perlu diinternalisasikan ke dalam kurikulum dari mulai
jenjang
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dengan tetap mempertimbangkan perkembangan psikologis anak. 3.
Pemerintah perlu bekerjasama dengan para ilmuwan lintas bidang ilmu melakukan kajian ulang (review) terhadap berbagai produk hukum yang secara substansial berpotensi memunculkan ketidakadilan gender dan kerusakan lingkungan. Aparat pembuat maupun
penegak hukum
perlu meningkatkan
kemampuan berpikir rasional dan mengasah ketajaman hati nurani supaya lebih sensitif terhadap
ketidakadilan gender serta peduli terhadap kelestarian
lingkungan .
432