92
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini meninjau hubungan dan pengaruh dari lemahnya motivasi untuk mengontrol fertilitas (umur wanita, keinginan menggunakan kontrasepsi di masa mendatang), keterjangkauan pelayanan kontrasepsi (lokasi tempat tinggal, indeks kesejahteraan, pengetahuan tentang kontrasepsi), kesehatan dan efek samping (pernah tidaknya menggunakan KB, konseling KB) serta penolakan keluarga, sosial, budaya (komunikasi dengan suami, diskusi dengan keluarga) terhadap pemenuhan kebutuhan kontrasepsi. Hasil dan pembahasan penelitian ini mengidentifikasi penyebab yang berkontribusi terhadap pemenuhan kontrasepsi, serta mengkaji kesesuaian antara determinan yang ditemukan dalam penelitian dengan program KB yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BKKBN.
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor umur wanita, lokasi tempat tinggal, indeks kesejahteraan, pengetahuan tentang kontrasepsi, pernah tidaknya menggunakan KB, konseling KB, komunikasi dengan suami, dan diskusi dengan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan unmet need. Variabel keinginan menggunakan kontrasepsi di masa mendatang tidak dapat dianalisis karena dalam SDKI 2012 pertanyaan ini hanya ditujukan kepada wanita yang mengalami unmet need. Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis ini, 7 (tujuh) diantaranya mempunyai pola yang sama mengenai hubungannya dengan unmet need, baik di wilayah Indonesia secara keseluruhan, maupun di wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa-
93
Bali. Probabilitas unmet need lebih tinggi pada wanita yang berumur tua, bertempat tinggal di kota, mempunyai pengetahuan yang rendah tentang kontrasepsi, pernah menggunakan KB, tidak mendapatkan konseling KB, tidak berkomunikasi dengan suami mengenai KB, dan tidak berdiskusi dengan keluarga tentang KB. Variabel indeks kesejahteraan mempunyai pola yang berbeda di ketiga wilayah, yaitu di wilayah Indonesia secara keseluruhan dan luar Jawa-Bali probabilitas unmet need tinggi pada wanita dengan indeks kekayaan rendah (miskin), sedangkan di wilayah Jawa-Bali probabilitas unmet need tinggi pada wanita dengan indeks kekayaan tinggi (kaya). Terdapat perbedaan konstruksi model regresi logistik binner untuk ketiga pembagian wilayah. Di Indonesia dan wilayah Jawa-Bali, model regresi terdiri dari 2 (dua) variabel, yaitu komunikasi dengan suami dan konseling KB. Komunikasi dengan suami merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap terjadinya unmet need
di Indonesia, dan konseling KB merupakan variabel yang paling
berpengaruh terhadap terjadinya unmet need wilayah Jawa-Bali. Konstruksi model regresi logistik binner untuk wilayah luar Jawa-Bali menggunakan 3 (tiga) variabel, yaitu komunikasi dengan suami, konseling KB, dan diskusi dengan keluarga. Variabel yang paling berpengaruh diantara ketiga variabel tersebut adalah komunikasi dengan suami. Determinan unmet need yang ditemukan dalam penelitian ini telah direspon dalam program/kegiatan BKKBN seperti yang tercantum dalam Rencana Stategis (Renstra) Pembangunan Kependudukan dan KB BKKBN Tahun 2011-2014.
94
6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian mengenai determinan unmet need pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia, terdapat beberapa hal yang dapat disarankan untuk meningkatkan kesertaan KB di masa mendatang, yaitu sebagai berikut: 1. Program KB lebih difokuskan pada wanita dengan kelompok umur 35 tahun ke atas melalui pemberian konseling maupun penyampaian informasi yang benar dan ilmiah karena wanita pada kelompok ini mempunyai probabilitas yang lebih tinggi untuk mengalami unmet need. 2. Fokus program KB tidak hanya diutamakan untuk wanita di daerah perdesan yang identik dengan keterbatasan dalam hal aksesibilitas. Akan tetapi, wanita di daerah perkotaan layak mendapat perhatian yang serius karena wanita di daerah perkotaan mempunyai probabilitas yang lebih tinggi untuk menjadi unmet need daripada wanita di daerah perdesaan. 3. Fokus program KB yang memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan kontrasepsi pada masyarakat miskin harus dipertahankan, karena kelompok ini lebih rentan untuk mengalami kebutuhan KB yang tidak terpenuhi. Akan tetapi, wanita pada kelompok tidak miskin di wilayah Jawa-Bali harus mulai menjadi sasaran utama program KB, karena di wilayah ini wanita yang tidak miskin merupakan kelompok yang lebih tinggi probabilitasnya untuk mengalami unmet need. 4. Pengetahuan wanita tentang KB harus ditingkatkan karena kebutuhan KB yang tidak terpenuhi lebih banyak terjadi pada wanita dengan pengetahuan kontrasepsi yang rendah. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah pemberian materi kependudukan di jenjang pendidikan, baik formal maupun non formal
95
yang mengandung masalah kesehatan reproduksi. Program KB mempunyai kaitan yang erat dengan masalah kesehatan reproduksi. Pemberian materi ini diharapkan mempu membangun pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan reproduksi sejak awal, sehingga remaja mampu menjaga organ-organ reproduksi dengan semestinya dan ketika remaja tersebut menikah akan lebih mudah menentukan kapan akan menggunakan kontrasepsi dan jenis yang akan digunakan 5. Program KB yang berupaya meningkatkan partisipasi penggunaan KB terutama pada kelompok wanita yang belum pernah menggunakan KB harus terus digalakkan. Wanita pada kelompok ini mempunyai kemungkinan yang paling besar untuk menjadi unmet need. Akan tetapi, jika dicermati lebih lanjut tanpa memperhatikan probabilitasnya, distribusi unmet need lebih banyak dialami oleh wanita yang pernah menggunakan kontrasepsi. Dengan demikian, ada indikasi bahwa tingginya unmet need karena adanya tuntutan yang lebih tinggi terhadap pelayanan kontrasepsi. Hal ini dapat diupayakan melalui penyediaan jenis kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan mengurangi kelemahan-kelemahan pada jenis kontrasepsi yang ada pada saat ini. 6. Penyebab terjadinya unmet need adalah karena adanya faktor biaya ekonomi dan non ekonomi. Permasalahan terkait biaya ekonomi dapat diatasi dengan adanya subsidi dan memperbaiki aksesibilitas terhadap kontrasepsi. Biaya secara non ekonomi dapat diatasi dengan memberikan dan meningkatkan kualitas konseling mengenai kontrasepsi. Hasil penelitian menemukan bahwa unmet need lebih tinggi pada wanita yang tidak mendapatkan konseling
96
kontrasepsi. BKKBN telah memiliki PLKB sampai ke tingkat desa, fungsi PLKB dapat lebih dioptimalkan dalam pemberian konseling. Pemberian konseling oleh PLKB perlu ditingkatkan, sehingga tidak hanya mengutamakan kuantitas akseptor saja, tapi juga harus memperhatikan kualitas konseling yang diberikan. 7. Probabilitas wanita yang mengalami unmet need meningkat seiring dengan tidak adanya komunikasi dengan suami/pasangan mengenai kontrasepsi. Dengan demikian, pemberian KIE dan konseling KB perlu dikembangkan lagi dengan melibatkan suami/pasangan karena penggunaan kontrasepsi tidak hanya sematamata menjadi tanggung jawab istri. 8. Probabilitas unmet need lebih tinggi terjadi pada wanita yang tidak berdiskusi dengan keluarga mengenai KB. Oleh sebab itu, pemberian informasi dan penyuluhan tentang KB perlu dikembangkan lagi di lingkungan masyarakat karena informasi yang baik dan benar mengenai kontrasepsi akan mendorong motivasi untuk menggunakan KB. 9. Program KB yang memperhatikan aspek kewilayahan. Konstruksi model regresi logistik binner yang berbeda di ketiga pembagian wilayah, baik dari variabelvariabel yang masuk ke dalam model maupun variabel yang paling berpengaruh menunjukkan bahwa kajian unmet need perlu memperhatikan aspek wilayah. Penelitian ini membuktikan bahwa setiap wilayah mempunyai penyebab yang berbeda dalam hal pemenuhan kebutuhan kontrasepsi. Dengan demikian, program penurunan angka unmet need perlu memperhatikan aspek wilayah dan tidak dapat diseragamkan untuk seluruh propinsi di Indonesia. Oleh sebab itu,
97
perlu ada program penurunan angka unmet need dengan penekanan tertentu di masing-masing wilayah 10. Secara normatif determinan unmet need yang ditemukan dalam penelitian ini telah direspon oleh BKKBN, akan tetapi pada tingkat implikasi kebijakan terdapat beberapa aspek yang harus menjadi perhatian. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan dengan menambah jumlah tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kontrasepsi karena ketika pelaksanaan pelayanan KB mobile pada umumnya sangat diminati PUS demi peningkatan kualitas pelayanan. Bekerjasama dengan dinas pendidikan karena sasaran program KB tidak hanya PUS yang telah menikah secara resmi, akan tetapi juga pada remaja yang belum menikah dengan meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. Memaksimalkan hasil pendataan keluarga dengan cara PLKB memberikan konseling secara intensif kepada pasangan unmet need berdasarkan hasil pendataan keluarga karena data tersebut sampai kepada data by name by address PUS. Konseling diberikan kepada pasangan, tidak hanya kepada salah satu pihak (suami/istri saja). 11. Penurunan unmet need dilakukan dengan menyeimbangkan antara supply dan demand kontrasepsi. Berdasarkan kompetensi teknis, supply (pelayanan) kontrasepsi dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, sedangkan demand kontrasepsi dilaksanakan oleh BKKBN. Penciptaan demand dilakukan dengan mengubah wacana pro natalis menjadi anti natalis di tataran atas, sedangkan di
98
tingkat bawah dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk mengendalikan kehamilan dan meningkatkan intensitas KIE bagi remaja dan atau unmarried women mengenai kesehatan reproduksi dan KB. 12. Berdasarkan kerangka teori yang digunakan sebenarnya terdapat variabel yang dapat dimasukkan untuk mengkaji determian unmet need, akan tetapi karena penelitian ini menggunakan data SDKI maka variabel yang digunakan terbatas pada variabel yang tersedia dalam SDKI. Oleh karena itu, bagi peneliti berikutnya yang menggunakan kerangka teori yang sama untuk mengkaji determinan unmet need perlu memperhatikan variabel yang belum tercakup dalam determinan biaya yang terkait dengan penolakan sosial, budaya, dan keluarga terhadap kontrasepsi, yaitu variabel larangan agama.