BAB V SIMPULAN
Film Indonesia sebagai produk industri budaya populer merupakan “layar impian” yang dengan prinsip inkorporasi dan artikulasi mampu menyajikan beragam permasalahan sosial, kultural, ekonomi, dan politiko-ideologis sebagai basis untuk memproduksi, meng-eks-nominasi/menormalisasi, dan menegosiasikan pengetahuan ideal sebagai jawaban atas persoalan-persoalan tersebut. Diakui atau tidak, poskolonialitas kultural dalam masyarakat Indonesia, khususnya di era 2000-an, merupakan medan diskursif keberlangsungan tegangan antara mempertahankan sebagian budaya residual/tradisional dengan impian modernitas yang tumbuh-subur semenjak era kolonial serta mendapatkan momentumnya pada masa Orde Baru dengan ekonomi-politik liberal-terarah dan dilanjutkan pada kepemimpinan rezim Reformasi yang menerapkan ekonomi-politik pasar bebas. Dalam kondisi demikian, masyarakat dan rezim negara mengalami ambivalensi-yang-semakin-berlapis-lapis. Ambivalensi-yang-semakin-berlapis-lapis ditandai oleh beberapa persoalan. Pertama, keinginan untuk mempertahankan sebagian budaya tradisional yang menekankan komunalisme dalam bingkai keluarga, masyarakat, dan bangsa, merupakan jawaban pragmatis terhadap globalisasi dan neoliberalisasi yang semakin mencairkan batas-batas geo-politik dan geo-kultural antarnegara. Kondisi tersebut, di satu sisi, dianggap bisa mengancam kedaulatan ekonomi, politik, dan kultural negara. Namun, di sisi lain juga bisa memunculkan peluang-peluang ekonomi baru dalam wujud investasi transnasional. Kedua, kebutuhan ideologis untuk memperkuat budaya 436
nasional dan nasionalisme Indonesia di era pasar bebas menjadikan rezim negara dan kelompok-kelompok penjaga moral melakukan re-esensialisasi budaya residual yang dianggap bisa digunakan untuk terus memupuk proyek kebangsaan tersebut. Ketiga, kebutuhan terhadap peluang-peluang baru untuk memupuk skill dan pengetahuan sebagai prasyarat utama dalam kompetisi pasar telah melahirkan kelenturan subjektivitas dalam memandang budaya luar yang dianggap bisa membantu tujuan dan impian individual warga negara, sehingga narasi besar budaya bangsa dan nasionalisme mengalami
pemaknaan-ulang
yang
semakin
cair.
Keempat,
kebangkitan
tradisionalisme yang berbarengan dengan kerinduan posmodern dalam tataran global, di satu sisi, telah memunculkan peluang tersendiri bagi masyarakat lokal dan rezim negara untuk mengembangkan industri budaya dan pariwisata berbasis eksotika poskolonial yang, lagi-lagi, digerakkan oleh hukum pasar global. Namun, di sisi lain, telah memunculkan dan memperkuat gerakan adat berbasis mobilisasi budaya tradisional di wilayah lokal dan menjadikan bangunan budaya bangsa semakin terfragmentasi. Kondisi, proses, dan permasalahan poskolonialitas kultural di atas merupakan medan diskursif bagi kreativitas insan perfilman Indonesia di era 2000-an. Sebagai bagian dari kapitalisme industri budaya yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik tentu mereka dituntut untuk jeli dalam melakukan praktik inkorporasi dan artikulasi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut di dalam struktur naratif film agar bisa mewacanakan pula kepentingan bermacam faksi atau kelompok dalam masyarakat— termasuk rezim negara—sehingga pengetahuan ideologis apapun yang diproduksi bisa dianggap wajar atau tidak perlu dipermasalahkan. 437
Dengan pemahaman tersebut, berdasarkan analisis yang sudah saya lakukan, budaya poskolonial merupakan pengetahuan ideologis yang mengartikulasikan bermacam warna kultural—budaya residual, budaya modern, dan hibriditas kultural— sekaligus menegosiasikan nilai dan praktik kultural baru yang ditandai dengan individualisme dan kelenturan subjektivitas sebagai usaha untuk membangun blok historis dan konsesnus baru yang mempertemukan bermacam kepentingan ideologis dalam masyarakat di tengah-tengah penerapan sistem ekonomi-politik neoliberalisme. Dengan definisi tersebut, terdapat beberapa konsepsi teoretis yang bisa dimunculkan terkait budaya poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an. Pertama, budaya poskolonial yang diproduksi dalam narasi dan praktik diskursif film memang menghadirkan budaya residual dan budaya modern serta hibriditas kultural yang berlangsung akibat pertemuan di antara keduanya, tetapi pertimbangan ekonomi-politik industri perfilman menjadikan penghadiran tersebut sebagai “pintu masuk”—dengan
prinsip
strukturasi,
dekonstruksi,
dan
rekonstruksi—untuk
menegosiasikan individualisme sebagai rezim kebenaran atau pengetahuan ideologis yang diposisikan mampu mengantarkan masing-masing individu ke dalam capaiancapaian ideal berbasis skill dan pengetahuan. Kedua, alih-alih menjadi kekuatan strategis bagi masyarakat pascakolonial untuk meresistensi kuasa dominan-efektif dari kapitalisme neoliberal, budaya poskolonial merupakan bentuk inkorporasi dan artikulasi terhadap bermacam bentuk budaya dan kepentingan ideologis yang sengaja dilakukan agar individualisme dengan kelenturan subjektivitasnya bisa diterima sebagai pengetahuan ideologis dan sekaligus menciptakan blok historis baru yang mendukung relasi kuasa hegemonik dalam arahan dan kepemimpinan kelas pemodal. 438
Ketiga, relasi kuasa-hegemonik yang dibangun melalui produksi budaya poskolonial dalam film merupakan bagian dari formasi diskursif relasi serupa yang terjadi dalam kehidupan nyata di mana kelas pemodal melakukan eks-nominasi dan normalisasi kepentingan ekonomi-politiknya tidak dengan melakukan labelisasi posisi kelasnya,
tetapi
dengan
menyebarkan
beragam
cara
pandang
baru
yang
mengedepankan individualisme dan kelenturan subjektivitas dalam menyikapi potensi dan persoalan yang ada dalam masyarakat. Keempat, relasi kuasa-hegemonik pada level nasional, tidak bisa dilepaskan dari hegemoni kapitalisme global yang menggerakkan sistem perekonomian dan kultural di Indonesia sebagai akibat penerapan ekonomipolitik neoliberal, sehingga pengetahuan budaya poskolonial yang diproduksi dalam film Indonesia era 2000-an merupakan bagian dari formas diskursif dari neokolonialisme yang terus menyebar dalam kelenturan mekanisme kuasanya. Konsepsi budaya poskolonial tersebut berimplikasi terhadap proyek kebangsaan yang diproduksi dalam narasi dan praktik diskursif film, atau lebih tepatnya menjadi bentuk diskontinyuitas dari proyek serupa yang berlangsung pada masa-masa sebelumnya. Diskontinyuitas tersebut berwujud dalam bentuk transformasi dan modifikasi proyek kebangsaan yang dulunya berada dalam kendali metanarasi negara. Film-film Indonesia era 2000-an memproduksi wacana-wacana terkait bagaimana mempersiapkan subjektivitas individu yang tidak harus terbebani secara membabi-buta oleh nilai-nilai tradisional seperti komunalisme dalam keluarga yang pada masa lampau menjadi rezim kebenaran yang digerakkan oleh rezim negara untuk mengendalikan wacana budaya bangsa dan nasionalisme dalam film. Sebaliknya, budaya bangsa dan nasionalisme diidealisasi bisa dimaknai-ulang secara lentur, 439
khususnya
terkait
masuknya
nilai
dan
praktik
kultural
serta
institusi
global/transnasional yang bisa berkontribusi positif bagi pengembangan skill dan pengetahuan masing-masing individu warga negara untuk bisa mewujudkan impian kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Pemahaman terhadap budaya nasional dan nasionalisme dalam perspektif budaya poskolonial harus mengembangkan sikap terbuka dan lentur terhadap formasi diskursif kultural yang berlangsung dalam ranah global, termasuk kontribusi asing dalam memberikan cara pandang baru terkait proyek kebangsaan yang tidak dogmatis, tetapi dinamis dan bergerak cepat agar bisa meningkatkan daya tawar individu-individu warga negara dalam mekanisme pasar bebas. Kelenturan subjektivitas itu tidak dimaksudkan untuk menghilangkan ikatan psiko-kultural warga negara terhadap budaya bangsa maupun nasionalisme, tetapi menjadikan mereka mampu secara dinamis berpikir dan bertindak dalam memahami proyek kebangsaan tersebut, tanpa harus kehilangan kesempatan untuk mewujudkan tujuan individual. Dengan pemahaman-pemahaman di atas, fungsi strategis film di negara-negara pascakolonial yang diidealisasi mampu menjadi bangunan imajiner yang me-layar-kan berbagai macam masalah ekonomi-politik, sosial, kultural, dan kebangsaan dengan tujuan membangkitkan kesadaran nasional untuk memperkuat subjektivitas nasional juga mengalami diskontinyuitas. Di tengah-tengah peraturan perundang-undangan yang dibuat rezim negara untuk melindungi kepentingan nasional dan peningkatan potensi ekonomi-kreatif perfilman, struktur dunia naratif dan praktik diskursif film nasional era 2000-an memang masih memproduksi idealisasi kebangsaan, tetapi sudah bergeser dan berubah mengikuti wacana-wacana ideologis yang berkembang dalam 440
kehidupan kontemporer berbangsa dan bernegara. Kritik ideologis terhadap kolonialisme dan efek-efek diskursifnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi semangat besar bagi industri perfilman nasional pada masa kepemimpinan Soekarno dan Soeharto—tentu saja, dengan partikularitasnya masingmasing—mencair dan kehilangan landasan diskursifnya ketika para pemodal dan sineas menjadi bagian integral dari penerapan ekonomi-politik neoliberalisme yang digerakkan mengikuti prinsip-prinsip yang berkembang di negara-negara maju penggerak neokolonialisme. “Yang Barat”—dalam artian institusi negara, institusi pemodal internasional, dan pengetahuan ideologis yang mereka bawa—bukan lagi menjadi momok yang menakutkan bagi perkembangan kultural dan nasionalisme bangsa ini, karena sebagian besar subjek pascakolonial juga mendambakannya di tengah-tengah kehidupan metropolitan maupun lokal mereka. Maka, alih-alih menjadi penyemai dan penggerak subjektivitas nasional yang mampu mensubversi secara liat terhadap kekuasaan neokolonial melalui narasi dan praktik diskursif, film-film Indonesia era 2000-an bertransformasi menjadi pendukung dari kekuatan lembut dan lentur neokolonial sebagai kekaisaran baru yang menyebar lewat pasar. Paling tidak, dari analisis yang mendialogkan kajian budaya/media, poskolonial, dan ekonomi-politik, terdapat beberapa implikasi teoretis yang bisa terus diuji dan dikembangkan dalam analisis-analisis ke depan yang menggunakan film sebagai objek material kajian. Pertama, film merupakan produk industri budaya populer yang diproduksi
melalui
proses
inkorporasi
dan
artikulasi
terhadap
bermacam
permasalahan serta kepentingan-kepentingan ideologis yang diwujudkan dalam struktur dunia naratif—tempat di mana makna-makna kultural diproduksi dalam 441
struktur penandaan mitis—dan praktik diskursif—proses dalam narasi yang memproduksi subjek, baik berupa individu maupun wacana—dengan tujuan akhir menegosiasikan pengetahuan partikular yang bersifat ideologis yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif ideologi partikular dalam masyarakat. Kedua, dalam iklim neoliberal yang merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kontemporer serta menjadi pijakan utama dalam kebijakan ekonomi-politik negara dan industri perfilman, persoalan kultural dan kebangsaan tidak bisa lagi dipahami secara biner— dalam artian yang Barat versus yang Timur—karena kelenturan subjektivitas yang dibangun oleh mekanisme pasar global telah menciptakan pula subjek-subjek lentur dalam ranah nasional/lokal yang mewarnai poskolonialitas kultural, termasuk yang diproduksi dalam narasi dan praktik diskursif film. Ketiga, budaya poskolonial yang diproduksi dalam narasi dan praktik diskursif film merupakan pengetahuan ideologis yang mengedepankan individualisme sebagai rezim kebenaran yang menciptakan blok hitoris sebagai bagian dari formasi diskursif untuk membentuk konsensus bagi terciptanya relasi kuasa-hegemonik yang tidak hanya terhubung dengan kepentingan kelas pemodal dalam tataran nasional, tetapi juga dalam tataran global. Implikasi metodologis dari konsepsi-konsepsi teoretis di atas adalah bahwa “mutlak” dibutuhkan
kejelian untuk, pertama-tama, melakukan
pembacaan
tekstual/naratif dengan berpijak pada struktur dunia naratif film dengan menggunakan analisis semiotika yang menerapkan prinsip kerja strukturalisme dan dekonstruksi untuk bisa melihat rekonstruksi dalam bentuk makna-makna kulturalideologis baru yang dihadirkan dalam praktik representasi. Kedua, pembacaan praktik diskursif dalam narasi film akan berkontribusi bagi usaha-usaha untuk melihat 442
produksi subjek tokoh dan wacana kultural sebagai bentuk eks-nominasi dan normalisasi pengetahuan ideologis partikular yang dinegosiasikan secara luas. Ketiga, pengetahuan ideologis partikular yang dihadirkan dalam narasi film, selanjutnya dilihat keterkaitan kontekstualnya dengan kondisi sosio-historis zaman, termasuk di dalamnya kompleksitas permasalahan yang ada dalam kehidupan nyata dan penerapan sistem ekonomi-politik neoliberal. Keempat, berbekal produksi wacana dan pengetahuan dalam analisis praktik dan formasi dikursif, analisis ekonomi-politik akan membantu melihat tegangan antara kepentingan ekonomis-ideologis negara dan insan perfilman—atau industri budaya secara luas—dalam menyikapi persoalanpersoalan kebudayaan dan kebangsaan yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan melihat bagaimana siasat diskursif yang dilakukan oleh para sineas dalam film-film mereka, akan bisa diketauhi pengetahuan seperti apa yang menjadi penggerak terbentuknya blok historis dan kelas apa yang menjadi pemimpin dalam relasi kuasahegemonik. Sekali lagi, analisis yang saya lakukan dalam kajian ini menunjukkan bahwa kelas pemodal-lah yang mampu menjadi pemimpin dan pengarah dalam relasi kuasa-hegemonik dengan pengetahuan individualisme dan kelenturan subjektivitas yang menjadi warna budaya poskolonial Indonesia di era 2000-an. Film dan produk industri budaya populer lainnya akan tetap menjadi situs yang menarik untuk dibaca secara kritis guna melihat bagaimana produksi pengetahuan ideologis di dalamnya berlangsung. Dalam kajian ini saya hanya membicarakan poskolonialitas dalam kerangka umum, dalam artian bagaimana hibriditas kultural yang dimaknai-kembali oleh para sineas untuk menegosiasikan individualisme di tengah-tengah iklim pasar bebas. Tentu saja, bukan hanya persoalan poskolonialitas 443
kultural yang bisa dibaca dengan mendialogkan beberapa pendekatan di atas. Persoalan poskolonialitas terkait dimensi politik, ekonomi, hukum, ekologis, gender, konsumerisme, kegamaan, etnisitas, maupun lokalitas di tengah-tengah pasar bebas merupakan basis diskursif bagi lahirnya kajian-kajian kritis yang bisa berimplikasi bagi munculnya konsepsi-konsepsi teoretis dan kerangka metodologis baru yang semakin memperkaya kajian budaya/media di Indonesia. Hal itu perlu dilakukan karena, menurut saya, kompleksitas permasalahan yang akan dialami bangsa ini ke depan masih akan berkutat pada poskolonialitas dalam masing-masing dimensi kehidupan dengan beragam variannya dan itu semua akan menjadi basis naratif produksi film nasional. Dengan kata lain, kejelian dalam mendialogkan pendekatan teoretis untuk mengkaji film akan mendorong produktivitas bagi munculnya teori-teori dan kerangka metodologis baru di tanah air. Satu hal yang menurut saya harus dijadikan pijakan paradigmatik adalah bahwa tidak mungkin kita membicarakan persoalan kuasa terkait produksi pengetahuan ideologis dalam industri budaya dengan hanya menimbang faktor ekonomi-politik karena hanya menghasilkan dalil-dalil deterministik yang tidak bisa membuka secara detil bagaimana beroperasinya kuasa tersebut. Kuasa yang sebenarnya adalah kuasa yang mampu mengartikulasikan keinginan banyak pihak, kelompok, dan kepentingan ideologis dalam masyarakat sehingga dimensi kuasanya bukan lagi menjadi kekuatan yang harus dilawan, tetapi diresapi dan diyakini sebagai kewajaran dan kebenaran karena bisa mengarahkan cara berpikir dan bertindak subjek individual untuk mewujudkan impian-impian ideal mereka. Maka, membaca secara detil struktur naratif dan praktik diskursif yang ada dalam produk industri budaya—dalam hal ini yang 444
berbasis naratif—akan membantu kita untuk melihat bagaimana kuasa itu mewujud dalam bentuk kuasa yang sebenarnya karena hadir dalam peristiwa-peristiwa naratif yang mengadirkan praktik diskursif terkait bermacam kepentingan dalam masyarakat. Pertimbangan ekonomi-politik akan melengkapi pembacaan tekstual tersebut dengan relasi-relasi kontekstual, sehingga kita bisa mengetahui siapa sebenarnya yang menggerakkan relasi kuasa-hegemonik dalam film yang berjalin-kelindan dengan neokolonialisme di level nasional dan global. Lebih lanjut, terkait dengan relasi kuasa-hegemonik dalam struktur naratif dan praktik diskursif film yang terhubung dengan neokolonialisme, kita harus membacaulang proyek politiko-kultural kajian poskolonial untuk mendekonstruksi kemapanan budaya dan kuasa Barat—dan varian-variannya—dengan anggitan hibriditas maupun transformasi (Aschroft, 2001) dalam praktik representasi, diskursif, maupun kehidupan sehari-hari. Dalam konteks nasional negara pascakolonial—seperti Indonesia—keliatan kultural yang diidealisasi oleh para pemikir poskolonial tidak bisa untuk tidak dibaca-ulang. Apa yang saya maksudkan dengan “dibaca-ulang” adalah membuka prinsip-prinsip teoretis kajian poskolonial seperti mimikri, ambivalensi, dan hibriditas untuk kemudian melakukan kritik dengan cara baca dekonstruksi. Mengapa? Para pemodal dan kreator industri budaya dengan prinsip lentur bisa menginkorporasi dan mengkomodifikasi resistensi maupun keliatan kultural dalam masyarakat untuk memasukkan kepentingan ideologis mereka, memperkuat neokolonialisme. Kapasitas pemodal itulah yang tidak diantisipasi oleh kajian poskolonial serta sekaligus menjadi celah untuk secara ajeg mengkritik dan memperbaiki konsep-konsep teoretisnya. 445