BAB V SIMPULAN DAN SARAN
V.1
Simpulan Dari analisa yang telah dilakukan, berikut adalah kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini: 1.
Perbedaan pelakuan pajak penghasilan a. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dapat memilih untuk menyelenggarakan pencatatan ataupun pembukuan. Apabila wajib pajak orang pribadi memilih untuk menyelenggarakan pencatatan, maka penghasilan netonya dihitung dari peredaran bruto dikalikan dengan norma penghitungan penghasilan neto. Besarnya norma penghitungan penghasilan neto untuk jenis usaha rumah makan seperti restoran yang berada di Jakarta adalah 25%.
Dan
apabila
wajib
pajak
orang pribadi
memilih
untuk
menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan neto dapat diperoleh dari
peredaran
bruto
dikurangkan
dengan
biaya-biaya
untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Penghasilan neto baik dari penghitungan wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan maupun pembukuan, kemudian dikurangkan dengan PTKP dan hasilnya dikalikan dengan tarif progresif yang ada di Undang-Undang
82
PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) bagian (a). Hasil dari perhitungan tersebut merupakan besarnya PPh yang terutang. b. Untuk bentuk usaha badan hukum, besanya penghasilan kena pajak dapat diperoleh dari peredaran bruto dikurangkan dengan biaya-biaya untuk mendapatkan,
menagih,
dan
memelihara
penghasilan.
Kemudian
penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif untuk badan, yaitu sebesar 25% dan hasilnya merupakan PPh yang terutang. Apabila peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka seluruh penghasilan kena pajak mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%. Apabila peredaran bruto antara Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) hingga Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka hanya sebagian penghasilan kena pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan tarif. Dan apabila peredaran bruto lebih dari Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka tidak mendapatkan fasilitas pengurangan tarif. 2.
Penghitungan pajak penghasilan pada Restoran T a. Berdasarkan penghitungan, besarnya PPh yang terutang tahun 2011 pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan adalah Rp 71.672.250. b. Berdasarkan penghitungan, besarnya PPh yang terutang tahun 2011 pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah Rp 37.189.000. c. Berdasarkan penghitungan, besarnya PPh yang terutang tahun 2011 pada Restoran T berbentuk badan hukum adalah Rp 39.861.875. 83
3.
Analisa laporan laba rugi Restoran T a. Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum dapat memperkecil besarnya PPh yang terutang dengan melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 atas imbalan sehubungan dengan jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 2.795.125. b. Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum dapat memperkecil besarnya PPh yang terutang dengan melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 atas gaji, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai/karyawan. Pemotongan PPh 21 yang terutang pada karyawan sebesar Rp 1.270.456 untuk bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan sebesar Rp 2.473.456 untuk bentuk usaha badan hukum. c. Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum dapat memperkecil besarnya PPh yang terutang dengan mengakui
biaya
penyusutan
harta
berwujud.
Baik
itu
dengan
menggunakan metode saldo menurun sebesar Rp 6.834.333 ataupun dengan metode garis lurus sebesar Rp 3.417.167. d. Restoran T berbentuk badan hukum dapat memperkecil besarnya PPh yang terutang dengan melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23 atas jasa. Besarnya PPh 23 yang dipungut atas jasa pembasmi hama dalah Rp 23.865, atas royalti sebesar Rp 2.767.171, dan atas jasa service
84
peralatan sebesar Rp 855.598. Pemotongan PPh 23 ini dapat dijadikan kredit pajak (pengurang PPh yang terutang). 4.
Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T bila telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku a. Berdasarkan penghitungan, besarnya PPh yang terutang tahun 2011 pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah Rp 3.207.400. b. Berdasarkan penghitungan, besarnya PPh yang terutang tahun 2011 pada Restoran T berbentuk badan hukum adalah Rp 3.570.750.
5.
Analisa perbandingan Pajak Penghasilan yang terutang a. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan adalah sebesar Rp 71.672.250. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan ini dipengaruhi oleh besarnya peredaran bruto dan status wajib pajak orang pribadi (PTKP). b. Untuk yang berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, besarnya PPh yang terutang adalah sebesar Rp 41. 801.000. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ini dipengaruhi oleh besarnya peredaran bruto, besarnya biaya-biaya yang dapat dikurangkan dan status wajib pajak orang pribadi (PTKP). c. Besarnya PPh yang terutang dalam bentuk badan hukum adalah Rp 39.861.875. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk badan hukum ini dipengaruhi oleh peredaran bruto. 85
V.2
Saran Untuk kedepannya, diharapakan Restoran T memotong atau memungut PPh 21 atas gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai, PPh 21 atas imbalan sehubungan dengan jasa, dan mengakui biaya penyusutan atas harta berwujud serta memotong atau memungut PPh 23 sebagai wajib pajak badan. Dengan demikian, biaya-biaya yang tadinya tidak dapat diakui sebagai biaya menjadi dapat diakui sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan. Sehingga akan memperkecil besarnya PPh yang terutang. Berdasarkan penghitungan laporan laba rugi tahun 2011, dimana peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki PPh yang terutang dalam jumlah yang lebih kecil daripada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan ataupun berbentuk badan hukum. Namun penulis tidak menyarankan agar pemilik Restoran T untuk segera
mengubah
bentuk
usahanya
menjadi
orang
pribadi
yang
menyelenggarakan pembukuan. Hal ini dikarenakan penulis hanya melakukan penelitian di Tahun 2011 dan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya PPh yang terutang seperti peredaran bruto, penghasilan neto, status pemilik Restoran T, dan besarnya penghasilan kena pajak.
86