BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Sebagai sebuah program pemerintah, realitas kampung ramah anak hadir sebagai manifestasi dari kebijakan yang memiliki seperangkat aturan yang mengikat secara hukum. Kebijakan diyakini pemerintah dapat membawa kampung badran sebagai wilayah ramah anak seperti yang dicita-citakan. Sejauh itu, bila berdasarkan realitas, implementasi kampung ramah anak memiliki kesenjangan bila ditilik dalam bingkai konstruksi sosial. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, yakni : konteks, isu, agen, strategi dan hasil. Secara konteks, oleh pemerintah, wilayah kampung Badran diasumsikan sebagai wilayah urban sprawl dengan stigma negative yang melekat dinilai tidak responsive pada anak sehingga program kampung ramah anak menjadi suatu program yang diyakini dapat mengubah hal tersebut. Namun disisi lain warga RW 11 mengkonstruksikan kampung ramah anak sebagai bentuk adaptasi dalam melakukan perubahan sosial di wilayah. Meskipun disadari bahwa program kampung ramah anak belum mengikat kesadaran subyektif warga. Warga cenderung berkutat dengan permasalahan ekonomi yang menyangkut kebutuhan hidup. Individu melihat sebagai program baru yang memiliki peluang untuk memperbaiki kondisi anak khususnya dalam pendidikan, kesehatan dan etika yang dirasakan memprihatinkan. Secara isu, pemerintah menggunakan beragam indikator yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebagai tolak ukur dalam 141
mewujudkan kampung ramah anak. Berbeda dari warga RW 11 yang memandang bahwa permasalahan pendidikan dalam konteks penanaman nilai moral dan etika serta pola asuh dan permasalahan pernikahan dini menjadi isu yang seringkali menjadi masalah wilayah. Disisi lain, dalam proses distribusi pengetahuan, pemerintah menggunakan mekanisme pendekatan pada struktur kelembagaan dengan strategi pelatihan Focus Group Discussion (FGD). Sehingga bagi warga hal ini membentuk realitas bahwa program kampung ramah anak hanya dipahami oleh kader yang ditunjuk sebagai pengurus program. Hal ini membawa konsekuensi pada kadar pengetahuan kampung ramah anak yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Sekalipun strategi sosialisasi telah banyak dilakukan melalui pertemuan pada tingkat formal maupun nonformal dalam kehidupan sehari-hari. Melalui konteks, isu dan staregi yang diusung oleh pemerintah. Program Kampung Ramah anak diharapkan dapat terimplementasi nyata sehingga kebijakan KLA dapat terlaksana dan menganhantarkan Kota Yogyakarta sebagai kawasan kota yang layak untuk anak. Kesadaran yang semula ingin di pupuk melalui realitas kampung ramah anak masih menggantung pada tataran pengurus dan struktur kelembagaan. Keterlibatan warga dalam implementasi program masih bersifat apa adanya.Artinya, keterlibatan yang terjadi belum sepenuhnya ada dalam setiap kegiatan. Hal ini karena beban kerja, pemahaman dan masalah sosialisasi. Sedangkan, secara umum dapat dicermati bahwa kepentingan warga masih seputar permasalahan yang sifatnya pada pemenuhan kebutuhan dasar, program kampung ramah dinilai merupakan proses jangka panjang yang realisasinya membutuhkan banyak pendekatan dan strategi agar dapat benar-benar terlaksana.
142
Disamping itu, realitas yang terjadi menunjukkan bahwa, Kampung Ramah Anak telah dikonstruksikan sebagai identitas sosial yang menjadi ciri khas bagi warga dan wilayah RW 11 Kampung Badran. Identitas sosial diyakini oleh warga sebagai suatu cara untuk membedakan warga RW 11 dan wilayah kampung Badran dengan Kampung lainnya di Yogyakarta. Identitas sosial yang dikontruksi diyakini dapat membentuk kepercayaan pihak luar kepada warga RW 11 Kampung Badran. Serta menjadikan RW 11 sebagai wilayah percontohan Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta. Sebagai bentuk eksternalisasi yang merupakan pencurahan diri individu terhadap realitas Kampung Ramah Anak, keterlibatan masyarakat sebagai upaya partisipasi dilakukan secara aktif maupun pasif. Partisipasi secara aktif terjadi ketika kesadaran objektif hadir serta dapat bertransformasi menjadi kesadaran subyektif dalam diri individu melalui usaha memaksimalkan kegiatan yang responsif terhadap anak serta mengarah pada pemenuhan hak anak, mensosialiasikan mengenai Hak anak kepada orang tua dan anak di setiap kesempatan dan pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh RT dan RW, memenuhi kebutuhan anak yang merujuk pada indikator hak-hak pada anak, serta melakukan kontrol sosial pada kegiatan yang melibatkan anak sebagai individu. Sedangkan partisipasi pasif cenderung lebih banyak dilakukan oleh warga yang belum mengetahui secara jelas mengenai program Kampung Ramah Anak. Karena minimnya intensitas keterlibatan dalam aktivitas dan kegiatan yang diselenggarakan di RT dan RW. Kampung ramah anak telah memberikan makna kepada komponen masyarakat yang terdiri dari : anak, orang tua, pengurus selaku kader dan pemerintah. Secara bersamaan, realitas kampung ramah anak merupakan upaya bagi RW 11 dalam membentuk citra positif bagi Kampung Badran. Citra positif lahir dari 143
stigma negatif dalam ruang sejarah yang telah menempatkan Kampung Badran sebagai kampung hitam sejak masa lalu. Citra positif yang hadir diyakini akan memberikan dampak bagi dalam mengubah pandangan orang luar terhadap wilayah RW 11 Kampung Badran. Sehingga masyarakat dapat berkunjung ke wilayah Badran dan dapat menceritakan perubahan sosial yang kini telah terjadi di Badran, Memperbaiki hubungan peer group anak dengan lingkungan sosial, Kemudahan bagi warga dalam mengakses kebutuhan ekonomi di lingkup publik. Bagi Anak, realitas kampung ramah anak telah dimaknai sebagai penghargaan terhadap suara dan aspirasi yang disampaikan oleh anak. Pandangan modern instrumental masih dipegang oleh kebanyakan warga RW 11. Sehingga masih menempatkan anak sebagai objek, sekaligus individu yang harus tunduk dan patuh. Tidak adanya penghargaan terhadap suara memberikan dampak pada minimnya keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan di tingkat kelembagaan. Lebih lanjut, aspek kesehatan dan pendidikan menjadi dua hal yang seringkali bersinggungan dengan wilayah urban seperti yang terjadi di RW 11 Kampung Badran. Permasalahan gizi dinilai menjadi isu yang strategis yang kerap dialami oleh wilayah urban. Permasalahan gizi berkaitan dengan kemampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan makanan anak. Pendapatan secara ekonomi yang tidak menentu menyebabkan gizi seringkali menjadi hal yang dikesampingkan. Sehingga, bagi orang tua keberadaan kampung ramah anak menjadi sarana dalam memberikan pelayanan gizi yang seimbang bagi anak melalui kegiatan kesehatan seperti posyandu yang diselenggarakan di tingkat RW. Tidak hanya itu, permasalahan kesehatan menyangkut pada aspek kesehatan reproduksi seksual pada anak. Hal ini terkait dengan permasalahan pernikahan dini yang dijumpai di RW 11 Kampung 144
Badran. Realitas tersebut dimaknai oleh orang tua sebagai upaya bagi kampung dan kader dalam memberikan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi bagi anak. Melalui kegiatan penyuluhan dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi kepada anak anak. Agar anak dapat mengikuti pergaulan dengan baik dan benar. Sedangkan kader pun meminta perhatian orang tua dan seluruh warga untuk memberikan pengetahuan mengenai pendidikan seksualitas bagi anak. Dari aspek pendidikan, kampung ramah anak dimaknai oleh kader sebagai wilayah yang mementingkan pendidikan bagi anak dengan memberikan kesempatan bagi anak dalam mengenyam pendidikan baik di jenjang formal, informal maupun nonformal. Disisi lain, secara masif pendidikan menyangkut upaya mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, bagi kader pendidikan dimaknai sebagai upaya orang tua dalam mendidik anak melalui pola asuh yang baik, tanpa adanya kekerasan yang selama ini telah membudaya. Dari segi lingkungan, kampung ramah anak dimaknai secara bersama oleh orang tua sebagai wilayah yang dapat memberikan lingkungan yang nyaman dan aman bagi anak dalam beraktivitas. Lingkungan yang aman dipersepsikan sebagai tempat yang jauh dari bahaya, sedangkan lingkungan yang nyaman dimaknai sebagai tempat yang memberikan rasa betah bagi anak ketika melakukan aktivitas bermain dan memanfaatkan waktu luang. Sedangkan bagi pihak pemerintah, implementasi program kampung Badran di RW 11 telah dianggap dapat untuk mendukung kebijakan Kota Layak Anak yang berjalan di Kota Yogyakarta
V.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang disampaikan. Adapun saran yang dapat peneliti sampaikan ialah sebagai berikut : 145
a. Saran Teoritis 1. Dalam hal ini, menurut peneliti, Teori Konstruksi Sosial Berger belum sepenuhnya mengakomodir mengenai pemaksimalan peran media yang juga menjadi salah satu alat untuk menyebarluaskan informasi. 2. Teori Berger memang masih bersifat relatif umum, belum menjangkau pada tataran proses mendetail mengenai distribusi pengetahuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki realitas subjektif berbeda. 3. Masih minimnya jangkauan realitas objektif mengenai implementasi Kampung Ramah Anak tersebut bila disandingkan dengan sejarah dan tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di wilayah RW 11 dengan tingkat pendidikan yang masih rendah. b. Saran Praksis 1.
Dalam penelitian ini, peneliti melihat bahwa adanya kecenderungan belum maksimalnya pengetahuan mengenai Kampung Ramah Anak secara menyeluruh kepada seluruh warga masyarakat. Sehingga kebijakan mengenai Kampung Ramah Anak perlu mempertimbangkan aspek sosial masyarakat yang disesuaikan dengan seiring berjalannya advokasi program.
2. Dalam hal ini, peneliti menyadari benar keterbatasan waktu dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti masih sangat terbatas. Ditambah lagi, keberadaan Program Kampung Ramah Anak yang baru saja diimplementasikan, masih dirasa minim rujukan sebagai referensi. Padahal permasalahan dan kondisi lapangan yang dihadapi oleh peneliti sangat kompleks. Berbicara masalah konstruksi sosial tentu saja akan berdampak pula pada identitas dari para tokoh yang juga menghadirkan konflik tersembunyi di RW 11 Kampung Badran. Serta 146
peneliti belum menganalisis mengenai bagaimana kesiapan masyarakat dalam merespon implementasi Program Kampung Ramah Anak yang diterapkan di wilayah RW 11 Kampung Badran. Maka, tak berlebihan kiranya bila peneliti mengatakan bahwa kompleksitas yang terjadi di wilayah Kampung Badran bisa dikatakan multi layer. Sehingga, hal ini dirasakan akan menarik untuk diteliti oleh peneliti selanjutnya yang memiliki kemampuan dan kesempatan waktu yang memadai. Sehingga hasil penelitian yang didapatkan akan lebih detail.
147