142
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Kritik sastra dikatakan sebagai ilmu sebab memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis yang berkaitan dengan „apa‟ pada kritik sastra mengacu pada berbagai macam teori sastra. Teori struktural, struktural dinamik, struktural genetik, hingga teori postmodern. Landasan epistemologis, berkaitan dengan bagaimana atau metode yang digunakan dalam kritik sastra. Sementara landasan aksiologis berkaitan dengan manfaat dari ilmu kritik sastra itu sendiri. Berbagai maacam pendapat mengenai manfaat kritik sastra telah banyak dikemukakan para pakar. Sebagai ilmu, kritik sastra memungkinkan memiliki paradigmanya sendiri. Thomas Khun mengemukakan bahwa paradigma terdiri atas generalisasi simbolik, model, nilai-nilai, dan ekslemplar. Konsep paradigma tersebut dapat diaplikasikan kepada orientasi atau teori mimetik, pragmatik, eskpresif dan objektif M.H. Abrams. Pengungkapan unsur paradigma kepada orientasi atau teori kritik sastra
128
143
Abrams, membuktikan bahwa orientasi atau teori tersebut merupakan sebuah paradigma. Melalui sudut pandang paradigma tersebut, dapat ketahui berbagai macam paradigma yang terdapat dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer dan Tergantung Pada Kata karya A. Teeuw. Ditemukan bahwa paradigma kritik mimetik, paradigma kritik pragmatik, paradigma kritik eskpresif, dan pradigma kritik objektif. Keempat paradigma kritik sastra itu terdapat pada CMIdKSPAT, sementara dalam TPK, hanya terdapat paradigma kritik yang ditemukan, yakni paradigma kritik mimetik, paradigma kritik ekspresif dan paradigma kritik objektif. Ditemukan dua pola paradigma kritik sastra A. Teeuw, yakni pola kombinasi dan pola dominasi. Pola kombinasi terdiri atas kombinasi unsur paradigma dan kombinasi paradigma. Kombinasi unsur paradigma dibagi menjadi dua katagori, yakni kombinasi yang dimulai dari dugaan paradigma kritik mimetik dan kombinasi yang dimulai dari dugaan paradigma kritik eskpresif. Kombinasi yang bersintesis itu akibat dari persinggungan unsur paradigma, yakni generalisasi simbolik. Persinggungan itu terjadi akibat latar belakang teori Abrams yang berpijak pada teori estetika romantik. Hubungan yang saling tarik menarik dan tampak seolah kontradiktif, sebagai akibat dari proses dialektika, menjadi salah satu sebab munculnya paradigma kritik itu mengalami kombinasi yang bersintesis. Pola dominan yang ditemukan dalam kritik sastra A. Teeuw, pada CMIdKS adalah kombinasi paradigma kritik mimetik dan paradigma kritik ekspresif yang bersintesis sebagai yang dominan, dengan paradigma kritik objektif sebagai yang
144
minor. Sementara dalam TPK, paradigma kritik objektif menjadi dominan, sedangkan kombinasi antara paradigma kritik mimetik dengan paradigma kritik eskpresif, tidak dominan.
5.2 Implikasi Kritik sastra Indonesia selama ini mengalami sejarah panjang. Berbagai persoalan yang terjadi di dalamnya menjadi petunjuk bagaimana arah kritik sastra Indonesia berada. Melalui keberadaan kritik sastra, secara linier dan teoretis dapat pula diketahui bagaimana kualitas karya sastra . Hal itu disebabkan antara karya sastra dan kritik satra tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya saling berelasi dan mendukung. Namun, realitas yang terjadi seringkali tidak menunjukkan kepada keadaan semacam itu. Di satu sisi, ketika perkembangan karya sastra begitu besar, kehadiran kritik sastra berbanding terbalik, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kuantitas yang dimaksud adalah menyangkut berbagai tulisan kritik yang diciptakan atau ditulis. Sementara dari sisi kualitas, memiliki dua kemungkinan. Pertama, berkaitan dengan bobot kritik dan kedua, berkaitan dengan kredibiltas seorang kritikus. Sepeninggal H.B. Jassin dan A. Teeuw, kritikus sastra Indonesia tidak ditemukan kembali, merupakan sebuah paradigma dalam artian sempit. Namun demikian, hal itu telah menegaskan bagaimana sesungguhnya kewibawaan seorang kritikus harus benar-benar diperhatikan.
145
Persoalan yang tidak kalah penting menyangkut posisi seorang kritikus adalah mengenai cara atau metode yang digunakan di dalam melakukan kritik. Peristiwa perdebatan kritik aliran kritikus akademis dengan para kritikus yang merangkap sebagai sastrawan, menjadi peristiwa yang menegaskan bahwa cara atau metode kritik menjadi perhatian yang tidak boleh disingkirkan. Antara penghayatan yang totalitas dalam memahami karya sastra, dan penggunaan cara yang objektif sifatnya, terjadi di dalam sejarah kritik sastra. Penggunaan cara yang objektif, yang kemudian dimaknai dan dapat dilihat di dalam dunia kritik sastra, menjadi sebuah paradigma tersendiri. Bahwa kajian yang masih menggunakan sudut pandang intrinsik dan ekstrinsik karya sastra masih terus dipergunakan dalam memahami karya sastra. Hal itu jelas akan berimplikasi kepada perkembangan kritik sastra yang seharusnya bergerak dan melangkah lebih jauh. Terutama, sebagaimana yang Easthope lakukan, kritik sastra harus dapat menjadi kerja praktik penandaan. Meskipun, sisi lain dari praktik semacam ini akan berimplikasi pula pada kemunculan kritik sastra yang mudah ditemui. Sebab, antara sastra dan yang bukan sastra sudah sulit lagi untuk dipetakan. Diperlukan berbagai upaya dalam meningkatkan kesemarakan kritik sastra. Di antara cara yang dapat dilakukan ialah melihat lebih jauh lagi bagaimana bentuk dan cara operasionalisasi dalam kerja kritik sastra. Objek-objek material yang tidak lagi harus berkutat pada teks (buku) sastra, menjadi alternatif untuk dilakukan. Tema-tema yang berada di luar kesastraan murni, harus dicoba dilirik
146
untuk mendapatkan berbagai segi kemungkinan hadirnya genre kesastraan yang baru. Persoalan mengenai distribusi teks buku sastra, misalnya, dapat dikaji untuk melihat sejauh mana peran penguasa (pemerintah) dalam menjalankan fungsi kontrolnya kepada warganya. Apakah berfungsi untuk meningkatkan kualitas ataukah malah sebaliknya, membelenggu kualitas sumber daya warganya. Persoalan semacam ini, yang menggabungkan lintas disipliner, akan membawa kepada kritik sastra yang tidak monoton. Di sisi yang lain, pemantapan terhadap teori kesastraan, yang di dalamnya termasuk teori mengenai kritik sastra, juga harus diperhatikan dengan baik. Aneka kemungkinan bahwa teori maupuan kritik sastra yang selama ini masih mengacu kepada perkembangannya di luar Indonesia, harus mulai dipikirkan lagi. Meskipun, pada tahun 80-an, upaya untuk mencari dan menentukan teori dan kritik sastra yang benar-benar khas Indonesia telah dilakukan, namun bentuk konkret dari upaya itu masih belum ada. Persoalan paradigmatisasi dalam kesastraan Indoensia, kini perlu untuk dipertimbangkan kembali. Berbagai bentuk kajian yang selama ini masih mengacu pada teori-teori yang terparadigmakaan, perlu untuk dikaji kembali demi kelangsungan ilmu sastra yang terarah dan produktif. Mengingat, selama ini, kecenderungan ilmu sastra, terutama kritik sastra dalam kalangan akademis maupun di luar itu, mengalami berbagai macam polemik dan sejarah yang panjang.
147
Mengacu pada konsep teoretis mengenai paradigma, akan membantu memudahkan berbagai persoalan itu secara lebih baik, meskipun hal itu tidak menjadi jaminan akan konsep teori maupun kerja kritik yang ideal. Namun, tiadanya keidealan kritik itulah yang kemudian membuat laju perkembangan ilmu sastra semakin lebih baik dan berkembang.