136
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pilkada di Indonesia secara konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) merupakan ketentuan pemerintahan daerah. Hal ini sesuai dengan amanat reformasi, dimana Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Gubernur,
Bupati,
dan
Walikota
masing-masing
sebagai
kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Hanya saja, rumusan “dipilih secara demokratis” dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 ini kemudian ditafsirkan oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR) menjadi “dipilih secara langsung”. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 24 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa: “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
136
137
bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Pengaturan pilkada yang seperti ini mengidentikkan pilkada dengan pemilu. Hal tersebut kemudian diikuti dengan pengalihan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada yang sebelumnya dilakukan oleh MA dialihkan kepada MK. Bahkan dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggara pilkada dimasukkan dalam pengaturan mengenai penyelenggara pemilu. 2. Pemaknaan kalimat ‘dipilih secara demokratis’ dalam pilkada di Indonesia sesungguhnya tidak harus dilaksanakan secara langsung. Dengan kata lain, kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) bisa saja dipilih melalui lembaga perwakilan yaitu DPRD. Alasannya adalah bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur secara eksplisit mengenai bentuk dan prosedur pilkada. Oleh karena itu, untuk menakar apakah penafsiran pilkada langsung sesuai dengan kalimat ‘dipilih secara demokratis’, terdapat tiga ukuran dalam UUD NRI Tahun 1945, yang diuraikan sebagai berikut: Pertama, ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang secara tegas menyebutkan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945. Pasal ini mensyaratkan pengejewantahan kedaulatan yang berada di tangan rakyat tersebut harus bersandar dan memiliki landasan serta diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan berdasarkan konstitusi.
138
Dengan kata lain, pengaturan pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak cukup hanya diatur berdasarkan politik hukum setingkat UU saja. Kedua, Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan jelas mengatur bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden”. Sejatinya pasal ini sudah cukup jelas mengatur bahwa pemilu hanya mengenal pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengenal pilkada langsung sebagai ranah pemilu. Oleh karena itu, memasukkan pilkada langsung ke dalam ranah hukum pemilu yang hanya dengan menyandarkan pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak cukup kuat, bahkan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Ketiga, Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan; “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis’. Apabila
dicermati betul pasal ini, maka sebenarnya
konstitusi juga tidak mengamanatkan pilkada dilakukan secara langsung, karena hal tersebut hanyalah sekadar sebuah tafsir saja terhadap rumusan
139
“dipilih secara demokratis” yang dilakukan oleh pembentuk UU, menjadi “dipilih secara langsung”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,217 pengertian “dipilih secara demokratis” bersifat luwes, sehingga dalam pengaturan selanjutnya bisa dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD sebagaimana praktek sebelumnya. 3. Pengaturan hukum yang ideal pilkada di Indonesia
seharusnya lebih
condong ke domain pemerintahan daerah daripada dipersamakan dengan pemilu. Pernyataan tersebut sesuai dengan alasan-alasan penulis sebagai berikut: a. Ketentuan-ketentuan mengenai pilkada (electoral regulations) Jika mengacu kepada hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia, maka setidaknya ada beberapa produk hukum yang mengatur mengenai pilkada. Pengaturan-pengaturan tersebut dimulai dari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yaitu: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juncto PP Nomor 49 Tahun 2008 217
Ibid., hlm. 81.
140
tentang Perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jika diperhatikan, harus diakui bahwa paradigma yang dibangun UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sesungguhnya sudah benar, yakni meletakkan pilkada sebagai domain pemerintahan daerah – bukan domain pemilu – sehingga instrumen pelaksana (penyelenggara) dan pelaksanaan (peraturan pelaksanaan) pilkada tidak mengalami bias pengaruh (intervensi) pejabat-pejabat pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada independensi penyelenggara dan pilkada itu sendiri. Padahal prinsip pemilihan langsung yang paling penting adalah penyelenggara yang independen. b. Selain itu, sebagai bukti bahwa ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah yang mengamanatkan agar pilkada dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah, dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut, yakni: Pertama, UU Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan pilkada sebagai konsekuensi dari atau bagian dari penyelenggaraan pemerintah daerah – bukan bagian dari pemilu. Kedua, pilkada dijalankan oleh KPUD, tapi tanpa hubungan hierarki dengan KPU.
141
Oleh karena KPUD bertanggung jawab kepada DPRD. Hal ini sebagai konsekuensi pilkada bukan pemilu. Ketiga, otoritas pendanaan pilkada ada di tangan pemerintah daerah. Keempat, regulasi pilkada mengacu pada PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan perubahannya, sekaligus sebagai pedoman KPUD dalam pilkada. Kelima, MA sebagai lembaga pemutus sengketa hasil pilkada, kendati kemudian UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa sengketa hasil pemilukada diselesaikan oleh MK. Keenam, panitia pengawas pilkada dibentuk dan diberhentikan oleh DPRD.
B.
Saran-saran Adapun yang menjadi saran-saran penulis dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Oleh karena pilkada di Indonesia sesungguhnya merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, bukan pemilu, maka pengaturan pilkada di Indonesia dilakukan sesuai dengan kekhasan atau local wisdom di setiap daerah yang bersangkutan, bukan penyeragaman dalam bentuk pilkada langsung seperti yang ada saat ini. Hal ini juga perlu
142
diatur mengingat belum semua daerah siap atau mampu dalam menyelenggarakan pilkada secara langsung. 2. Ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilu sebaiknya diubah, sebab pilkada merupakan domain pemerintahan daerah, bukan pemilu. 3. Perlu adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945 dalam rangka meredesain konsep pilkada dan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada di Indonesia.