BAB V PEMBAHASAN
A. Kecemasan pada Mahasiswa Kedokteran saat Menghadapi OSCE 1. Persepsi OSCE menurut Mahasiswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan mendefinisikan OSCE sebagai ujian praktik untuk mengevaluasi proses pembelajaran keterampilan klinis yang sudah diajarkan di Skills Lab. Hal ini sesuai dengan pengertian OSCE yang disampaikan oleh Brannick et al. (2011), menurutnya OSCE merupakan pemeriksaan yang sering digunakan dalam ilmu kesehatan untuk menguji kinerja keterampilan klinis dan gambaran dari kompetensi rata-rata yang dimiliki tenaga kesehatan dalam keterampilan. Partisipan juga menyatakan bahwa OSCE merupakan ujian yang objektif, dimana keobjektifan tersebut dapat dilihat dari penggunaan checklist sebagai indikator penilaian dalam ujian. Sifat OSCE yang objektif yang berarti setiap mahasiswa yang diuji dan dinilai dengan alat uji berupa checklist yang sama dan dengan kriteria kinerja yang terukur, selaras dengan apa yang disampaikan Newble (2004) dan Regehr et al. (1999) di dalam jurnal penelitiannya.
76
77
Walaupun banyak partisipan menyatakan bahwa OSCE merupakan ujian yang objektif, namun terdapat pendapat yang menyatakan sebaliknya, bahwa dalam OSCE masih memungkinkan adanya subjektifitas, terutama bersumber dari penguji. Menurut Harden (1988), tiga komponen atau variabel utama dalam ujian keterampilan klinis terdiri atas pasien, penilai/pemeriksa, dan kandidat yang mana OSCE dibuat agar dapat meminimalkan bias yang mungkin dapat terjadi oleh ketiga komponen tersebut. Namun Harden (1988) sendiri menilai, bahwa objektifitas adalah suatu hal yang relatif, ujian dengan metode pilihan ganda (multiple choice) sekalipun tidak akan benar-benar objektif seperti yang dinyatakan oleh pembuatnya. Apa yang disampaikan Harden sejalan dengan essay yang membahas tentang pengalaman seorang penguji dalam menilai OSCE (UK Essays, 2013). Penulis dalam essay tersebut menyatakan bahwa sekalipun dengan sistem scoring berupa checklist, masih terdapat celah subjektifitas, khususnya dalam menyatakan kapan seorang mahasiswa melakukan suatu hal di dalam checklist dengan baik dan benar, tidak ada standar global yang sama terhadap hal tersebut. OSCE menurut Furlong (2005) dan Fidment (2012) merupakan peristiwa yang penuh tekanan (stresful) dan kecemasan merupakan hal utama yang dirasakan mahasiswa ketika menghadapi OSCE. Sejalan dengan kedua penelitian tersebut hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan menyatakan OSCE sebagai sesuatu yang mencemaskan. Hal ini dibuktikan dengan gejala-gejala kecemasan yang partisipan rasakan
78
selama periode OSCE, seperti perubahan fisik berupa jantung berdebar, perut dirasa tidak nyaman, berkeringat lebih banyak, badan panas tinggi, fisik lemas, dan sering ke kamar mandi, maupun perubahan psikis seperti tegang, takut, gugup, dan khawatir. Gejala-gejala kecemasan yang dirasakan partisipan ini baik fisik maupun psikis sesuai dengan teori menurut Maramis dan Maramis (2009) yang juga membagi gejala-gejala anxietas menjadi dua komponen, yaitu komponen psikis/mental dan komponen fisik. Menurut Maramis dan Maramis (2009) komponen psikis berupa anxietas atau kecemasan itu sendiri misalnya khawatir atau was-was. Sedangkan komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan (hyperarousal
syndrome):
jantung
berdebar,
napas
mencepat
(hiperventilasi, yang sering dirasakan sebagai ‘sesak’), mulut kering, keluhan lambung (maag), tangan dan kaki merasa dingin dan ketegangan otot (biasanya di pelipis, tengkuk atau punggung). Perubahan-perubahan yang terjadi akibat kecemasan tersebut merupakan respons tubuh hasil dari meningkatnya aktivitas sistem saraf otonom (Kaplan dan Saddock, 2010). Kecemasan yang secara dominan dirasakan oleh hampir semua mahasiswa selama periode OSCE ini menurut Fidment (2012) dan Rushfort (2007) akan berdampak buruk pada performance mahasiswa. Hal ini diakibatkan karena pada kondisi ini seseorang akan mengalami distorsi pemrosesan
informasi.
Sehingga
akan
mengganggu
kemampuan
memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan lain-lain (Hancock, 2001; Kaplan dan Sadock, 2010). Namun kecemasan dapat pula berdampak
79
baik pada mahasiswa karena dapat mempertahankan perilaku mereka yang berorientasi pada tugas (task oriented). Dilain pihak, kekhawatiran yang berlebihan akan sangat melemahkan dan mengganggu mereka dalam menghadapi ujian jika tidak dikelola dengan benar (Maramis dan Maramis, 2009). Tidak semua partisipan menyatakan bahwa dirinya merasa cemas, sebagian kecil mengaku merasa biasa saja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena partisipan telah sering mengikuti OSCE atau akibat sifat kepribadian dari partisipan itu sendiri. Semakin sering mengikuti ujian menyebabkan mahasiswa memiliki mekanisme coping yang lebih baik terhadap kecemasan (Waqas et al. 2015). 2. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan saat OSCE Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
penyebab
kecemasan,
pengalaman utama yang dirasakan partisipan selama periode OSCE, terbagi menjadi dua faktor, faktor internal yaitu yang berasal dari dalam diri partisipan dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri partisipan. Minimnya pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang menjadi penyebab kecemasan tersebut. Byrne dan Smyth (2007) menyimpulkan bahwa mahasiswa yang sudah mengalami OSCE lebih dari sekali akan merasakan kecemasan yang lebih kecil dan akan melakukan persiapan yang lebih baik pada OSCE-OSCE selanjutnya. Labaf et al. (2014) juga menemukan hal serupa, menurutnya pengalaman dan jumlah paparan ujian dapat menurunkan kecemasan saat OSCE. Selain
80
pengalaman, partisipan juga menyatakan bahwa kondisi fisik merupakan salah satu penyebab kecemasan yang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Tomb (2004) bahwa keadaan fisik sangat mempengaruhi kecemasan seseorang. Menurutnya individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami kelelahan fisik. Selanjutnya kelelahan fisik yang dialami tersebut akan mempermudah individu mengalami kecemasan. Persiapan yang kurang adalah poin terakhir penyebab kecemasan dari internal yang disampaikan oleh partisipan. Literatur yang sama disampaikan oleh Fidment (2012), Awaisu et al. (2007; 2010), dan Pierre et al. (2004). Mereka menyimpulkan bahwa persiapan yang kurang turut menyumbang kecemasan dan stress pada mahasiswa selama OSCE. Simulasi atau latihan yang disesuaikan dengan standar OSCE menurut Zartman et al. (2002) dapat mengurangi kecemasan yang berumber dari kurangnya pengalaman dan kurangnya persiapan mahasiswa. Dengan simulasi yang di-setting semirip mungkin terhadap kondisi OSCE yang sebenarnya (adanya manekin, setting kasus, pembatasan waktu, kertas penilaian) akan memberikan outcome berupa terbiasanya mahasiswa terhadap format OSCE tersebut. Lebih lanjut menurut Zartman simulasi ini tidak sebatas hanya mempraktikkan bagaimana OSCE berlangsung namun juga kesediaan waktu bagi dosen-dosen atau instruktur kepada mahasiswa untuk memberikan feedback terkait bagaimana performa mereka ketika mensimulasikan OSCE serta menjawab pertanyaan dan memberikan saran kepada mahasiswa agar dapat menjalani ujian ini dengan baik. Penekanan
81
simulasi OSCE ini adalah bukan terhadap nilai/hasil namun fokus terhadap format dan logistik selama ujian OSCE. Dengan persiapan yang lebih baik dan lebih rileks, ketika dilakukan penilaian pada ujian yang sebenarnya, Zartman menemukan pemahaman mahasiswa yang lebih baik karena penurunan tingkat kecemasan telah meningkatkan kinerja mereka. Peer learning menurut Pegram dan Fordham-Clarke (2015) juga membantu mahasiswa untuk dapat memperbaiki kemampuan keterampilan klinisnya sekaligus mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepercayaan diri mereka selama OSCE. Metode berupa dukungan fasilitas suportif oleh mahasiswa yang lebih senior kepada mahasiswa junior ini memberikan lingkungan yang tenang dan santai untuk mahasiswa belajar mempersiapkan OSCE. Hal ini terutama dikarenakan adanya pertukaran informasi terkait bagaimana tips dan trik yang diberikan oleh asisten kepada mahasiswa selama menghadapi OSCE. Berdasarkan penjelasan tersebut peer learning akan sangat membantu mahasiswa terutama dalam menambah pengalaman mereka terkait OSCE dan membantu dalam proses mempersiapkan OSCE dengan baik. Dosen, isu-isu negatif, fasilitas penunjang, perbedaan persepsi, materi yang sulit, padatnya jadwal akademik, kurangnya waktu tiap stase, dan kekhawatiran terhadap hasil/nilai yang juga ditemukan dalam penelitian, merupakan faktor-faktor eksternal yang menurut partisipan menjadi penyebab kecemasan yang mereka rasakan. Dosen sebagai penguji dianggap sebagai salah satu faktor yang paling mencemaskan, pernyataan
82
tersebut ditemukan pada hampir semua sesi FGD maupun wawancara. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Praptiningsih (2014) bahwa penguji yang mengawasi ketika mahasiswa mendemonstrasikan merupakan pemicu kecemasan. Zartman et al. (2002) juga menemukan bahwa lingkungan yang seakan selalu mengawasi mahasiswa ketika OSCE menyebabkan mahasiswa merasa sangat terancam. Faktor-faktor eksternal penyebab kecemasan OSCE lainnya seperti isu-isu negatif terkait OSCE dan fasilitas penunjang ketika OSCE juga tercatat pada literatur penelitian yang dilakukan oleh Fidment (2012). Menurutnya banyak mahasiswa membicarakan isu-isu negatif terkait OSCE dan juga bagaimana kekhawatiran mereka terhadap alat-alat dan probandus/manekin yang digunakan. Adapun hal-hal tersebut menambah kecemasan yang dirasakan oleh mahasiswa. Terkait fasilitas berupa peralatan yang kurang memadai sehingga menimbulkan kecemasan juga dikemukakan oleh Zartman et al. (2002) di dalam penelitiannya. Faktor lainnya seperti kurangnya waktu untuk tiap stase sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Zartman et al. (2002) dan Labaf et al. (2014). Dari penelitian Zartman et al. (2002) kebanyakan mahasiswa mengungkapkan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu pada beberapa stase. Selanjutnya dia menilai bahwa dari detail-detail kecil seperti ini kemungkinan dapat menjadi sumber stress yang memiliki efek bola salju bagi mahasiswa sehingga akhirnya dapat menimbulkan kecemasan. Adapun Labaf et al. (2014) menemukan bahwa 64% dari total mahasiswa yang dia
83
teliti menyatakan tidak puas dengan alokasi waktu yang diberikan tiap stasenya. Faktor selanjutnya yaitu materi yang banyak dan sulit sebagai penyebab timbulnya kecemasan didukung oleh penelitian yang dilakukan Hashmat et al. (2008) dan Zartman et al. (2002). Partisipan pada penelitian ini menyatakan mereka khawatir terhadap materi yang dirasa sulit sehingga mereka merasa lebih berat dalam mempersiapkan OSCE. Menurut Zartman et al. (2002) materi yang banyak dan sulit akan menyebabkan mahasiswa mempersiapkan lebih lama, sehingga mahasiswa akan cenderung kekurangan waktu istirahat dihari sebelum ujian. Belajar berlebihan semalaman akan menimbulkan kelelahan fisik pada saat ujian berlangsung. Pada akhirnya hal ini akan berkontribusi pada kecemasan yang mereka rasakan (Hashmat et al., 2008). Faktor lainnya yaitu kekhawatiran akan hasil/nilai ujian dan padatnya jadwal akademik juga sejalan dengan apa yang ditemukan Hashmat et al. (2008).
Kekhawatiran
akan
hasil/nilai
ujian
kemungkinan
akan
menyebabkan mahasiswa merasa terbebani dan menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami kegagalan dalam memanage stress yang dirasakan. Sedang padatnya jadwal akademik akan menyebabkan mahasiswa lebih mudah kehilangan fokus sehingga dapat meningkatkan kecemasan. Selain kehilangan fokus padatnya jadwal akademik juga dapat menimbulkan kelelahan fisik pada mahasiswa ketika ujian.
84
Penelitian lainnya yang juga membahas faktor-faktor penyebab kecemasan saat OSCE diungkapkan oleh Ping et al. (2008) dan Al-Doughmi et al. (2006). Ping et al (2008) menyatakan bahwa 93% dari 86 mahasiswa Fakultas Kedokteran Penang di Malaysia menjalani ujian klinik dibawah performa yang seharusnya. Penyebab yang kebanyakan muncul yaitu kegugupan akibat pembatasan waktu, kurangnya pemahaman materi, pasien yang tidak kooperatif, perasaan tertekan, dan kurang percaya diri. Pengalaman negatif yang lain yaitu mahasiswa tidak mampu mengontrol perasaan cemas ketika ujian berlangsung, kurang dapat mengungkapkan materi yang diingat, dan adanya perbedaan persepsi pada penguji. Hal tersebut menjadi stressor penting bagi mahasiswa. Kecemasan ujian juga dirasakan lebih tinggi pada materi yang sulit (Al-Doughmi et al., 2006). Solusi terkait hal-hal tersebut diatas yang menyoroti bagaimana mahasiswa menganggap lingkungan selama OSCE sebagai penyebab kecemasan secara eksternal, salah satunya dinyatakan oleh Allen et al. (dalam Labaf et al., 2016). Menurutnya mahasiswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga melalui OSCE karena lingkungan OSCE memberikan kesempatan untuk mereka merasa menjadi lebih seperti dokter daripada seorang mahasiswa yang sedang melaksanakan ujian. Sejalan dengan hal ini Pegram dan Fordham-Clarke (2015) juga menyatakan bahwa mahasiswa sangat menghargai lingkungan pembelajaran yang tidak mengancam dan cenderung memberikan mereka support berupa feedback yang konstruktif. Fidment (2012) juga menyebutkan bahwa OSCE
85
seharusnya dibuat serealistis mungkin dengan keadaan aslinya. Realistis dalam hal ini adalah sesuai dengan kondisi klinis yang mungkin terjadi di lapangan, karena beberapa mahasiswa merasa sulit untuk menghubungkan antara kondisi OSCE dengan kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya, Zartman et al. (2002) menegaskan bahwa harus ada standarisasi kepada penguji/penilai sehingga apabila terdapat intervensi dari mereka maka intervensi tersebut secara teknis diberlakukan secara sama kepada semua mahasiswa yang melakukan OSCE. Adapun intervensi yang dilakukan haruslah sesuai standar topik yang diujikan saat itu. Keempat hal ini menurut penulis merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh pengelola Skills Lab selaku pelaksana OSCE di FK UNS untuk dapat meminimalisir kecemasan yang mahasiswa rasakan diakibatkan oleh faktorfaktor eksternal sehingga diharapkan mahasiswa dapat menjalankan OSCE dengan performa terbaik mereka. 3. Mekanisme Coping Mahasiswa ketika Menghadapi OSCE OSCE yang dianggap sebagai stressor kuat (Bedewy dan Gabriel, 2013) akan menimbulkan respons dari seorang individu. Respons tersebut menurut Stuart (2013) adalah dengan mengaktifkan coping resource seperti kemampuan pemecahan masalah, dukungan sosial, dan kepercayaan terhadap agama dan budaya untuk membantu mengintegrasikan stressor dalam kehidupannya dan membentuk mekanisme pertahanan (coping mechanism). Gagalnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi rasa cemas secara konstruktif inilah yang merupakan penyebab utama munculnya
86
kecemasan. Sesuai penjelasan tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa respons partisipan terhadap kecemasan saat OSCE terbagi menjadi dua subkategori utama yaitu mekanisme coping yang berorentasi langsung pada masalah (problem focused coping) dan yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping). Pembagian mekanisme coping ini oleh peneliti didasarkan pada teori strategi coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984). Problem focused coping adalah usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau meningkatkan sumbersumber coping yang dimiliki (Lazarus dan Folkman, 1984). Problem focused coping juga merupakan usaha untuk melakukan sesuatu yang bersifat konstruktif mengenai kondisi stres yang dianggap membahayakan, menekan, atau menentang individu (Taylor, 2009). Adapun menurut Carver et al. (dalam Arjanggi et al., 2006) bentuk dari problem focused coping diantaranya: a. Active coping (pengambilan langkah aktif untuk memindahkan atau menghilangkan sumber stres), b. Planning (pemikiran bagaimana cara untuk mengatasi sumber stres), c. Suppression of competing activities (pembatasan ruang gerak atau aktivitas yang tidak berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada stressor), d. Restrain coping (pengendalian tindakan langsung sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak), e. Seeking support for instrumental reasons (pencarian informasi, nasehat, atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan).
87
Berdasarkan pada penjelasan di atas dan mengutip hasil dari penelitian, maka respons partisipan terhadap kecemasan selama OSCE yang merupakan bentuk dari problem focused coping diantaranya yaitu menyiapkan mental (planning), belajar materi (active coping), belajar dengan mengulang-ulang checklist atau mempraktikkan/simulasi (active coping), belajar bersama teman (seeking support for instrumental reasons), dan konsentrasi (active coping). Adapun penelitian yang mendukung hal ini diungkapkan oleh Fidment (2012). Menurutnya persiapan merupakan kunci strategi coping utama untuk mengatasi kecemasan saat OSCE. Studi lain yang juga mendukung hal ini dilakukan oleh Abbiati et al. (2016). Dia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran umumnya menggunakan problem focused coping dalam menghadapi stressor yang dihadapinya. Menurut Garmezy dan Rutter (dalam Arjanggi et al., 2006) problemfocused coping merupakan bentuk coping yang baik dalam menghadapi masalah
karena
individu
berusaha
memecahkan
masalah
serta
mengembangkan keterampilan-keterampilan yang baik dalam menghadapi masalah tersebut. Hal yang perlu menjadi catatan adalah individu cenderung menggunakan strategi coping ini (problem focused coping) hanya saat individu meyakini bahwa terdapat peluang untuk mengubah sumber-sumber stres atau tuntutan dari situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006). Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Park et al. (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) yaitu problem-focused coping akan lebih efektif pada situasi yang dapat dikendalikan. Adapun hasil penelitian menunjukkan hal
88
yang sejalan dengan penjelasan tersebut. Tindakan-tindakan yang telah dilakukan partisipan seperti menyiapkan mental, belajar materi, belajar dengan mengulang-ulang checklist, belajar bersama teman, berkomunikasi dengan teman saat OSCE, dan konsentrasi merupakan bentuk usaha yang dilakukan sebelum dan selama periode OSCE sehingga terdapat peluang untuk mengendalikan atau mengurangi sumber stressor dan kecemasan tersebut. Emotion focused coping merupakan bentuk mekanisme coping yang bertujuan untuk mengendalikan respons emosi terhadap situasi menekan (Lazarus dan Folkman, 1984). Bentuk coping ini menyertakan usaha untuk meregulasi pengalaman emosional akibat situasi stres tersebut (Taylor 2009). Menurut Carver et al. (dalam Arjanggi et al., 2006) bentuk dari emotional focused coping diantaranya: a. mencari dukungan untuk pertimbangan emosi (seeking social support for emotioanl reasons) yaitu kecenderungan untuk memperoleh dukungan, simpati, dan pengertian dari lingkungan sekitar, b. Menilai kembali keadaan atau kejadian secara positif (positive reinterpretation) yaitu mengkonstruksikan kondisi stres dalam istilah positif yang secara intrinsik mengarahkan individu untuk tetap aktif dan melakukan penyelesaian pada masalahnya, c. pengingkaran (denial) yaitu suatu respons atau tanggapan individu yang berbentuk penolakan terhadap sumber permasalahan, d. penerimaan (acceptance) yaitu tanggapan individu terhadap situasi stres dengan menerima kondisi tersebut sebagai suatu hal yang harus dijalani, e. berpaling pada agama (turning to
89
religion) yang mana hal ini merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengurangi stres dengan cara mendapatkan dukungan emosional dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, dan f. venting of emotion yaitu perasaan menyesal, menghukum, dan menyalahkan diri sendiri atas tekanan masalah yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif yang lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha keluar dari masalah. Berdasarkan pada penjelasan di atas dan mengutip hasil dari penelitian, maka respons partisipan terhadap kecemasan selama OSCE yang merupakan bentuk dari emotion focused coping diantaranya yaitu berdoa (turning to religion), meminta restu kedua orang tua (seeking social support for emotioanl reasons), berfikir ada remedial (positive reinterpretation), mencari hiburan (denial), adanya kelabilan emosi (venting of emotion), dan pasrah (acceptance). Literatur yang membahas penggunaan emotion focused coping pada mahasiswa salah satunya dikemukakan oleh Mattlin (1990). Dia menemukan bahwa mahasiswa menggunakan emotion focused coping seperti positif reinterpretation dalam melawan stress yang dihadapi. Senada dengan hal tersebut Gajalakshmi et al. (2012) juga menyatakan perlunya waktu rekreasi dan santai (denial) untuk mengatasi kecemasan bagi mahasiswa kedokteran. Martinez et al. (2007) juga menyebutkan bahwa banyak pasien dengan keluhan anxiety disorder dapat dibantu dengan terapi-terapi spiritual seperti berdia, berdzikir, dan membaca AlQur’an (turning to religion) bagi pasien yang beragama muslim. Secara umum penelitian-penelitian tersebut menegaskan bahwa bentuk emotion
90
focused coping merupakan salah satu jenis coping yang juga penting ketika menghadapi stressor dan kecemasan. Lyons dan Chamberlain (2006) mengemukakan individu cenderung menggunakan strategi ini pada saat individu tersebut meyakini bahwa tidak ada yang dapat diperbuat untuk mengubah situasi. Hal senada juga disampaikan Park, et al. (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) yaitu strategi ini lebih efektif pada situasi yang kurang dapat dikendalikan. Adapun hasil penelitian menunjukkan hal yang sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Lyons dan Chamberlain dan Park et al. tersebut. Bentuk emotion focused coping yang disampaikan oleh partisipan seperti berdoa (turning to religion), meminta restu kedua orang tua (seeking social support for emotional reasons), berfikir ada remedial (positive reinterpretation), mencari hiburan (denial), dan adanya kelabilan emosi (venting of emotion) adalah bentuk kepasrahan atau usaha terakhir setelah mereka berusaha sepenuhnya untuk menghadapi kecemasan OSCE tersebut. Secara umum beberapa literatur menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran umumnya akan lebih menggunakan jenis mekanisme coping berupa problem focused coping dibandingkan menggunakan emotion focused coping. Seperti yang dinyatakan oleh Abbiati et al. (2016). Dalam penelitiannya mahasiswa cenderung menggunakan jenis coping berupa problem focused coping yaitu sebesar 61% dibandingkan emotion focused coping yang berjumlah 45%. Sejalan dengan hal terebut Adnani (2014)
91
dalam thesisnya juga menyatakan 55,4% dari subjek penelitiannya menggunakan problem focused coping dibandingkan sebanyak 42,4% yang menggunakan emotion focused coping. Terkait hal ini Abbiati et al. (2016) menemukan bahwa terdapat hubungan antara problem focused coping dengan tingkat kesadaran dan jenis pendekatan pembelajaran. Kesadaran yang tinggi memungkinkan adanya manajemen masalah yang baik, perencanaan yang detail dan matang, kecenderungan terhadap achievement oriented yang akan membuat seseorang dapat berkonsentrasi lebih tinggi, dan penyesuaian strategi yang baik terhadap stress ketika ujian yang efisien. 4. Keterkaitan OSCE, Kecemasan, dan Mekanisme Coping Hasil penelitian menunjukkan terdapat keterkaitan, antara OSCE, kecemasan, dan mekanisme coping. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya OSCE yang dianggap sebagai stressor kuat (Bedewy dan Gabriel, 2013) akan menimbulkan respons dari seorang individu. Respons tersebut menurut Stuart (2013) adalah dengan mengaktifkan coping resource seperti kemampuan pemecahan masalah, dukungan sosial, dan kepercayaan
terhadap
mengintegrasikan
agama
stressor
dalam
dan
budaya
kehidupannya
untuk
membantu
dan
membentuk
mekanisme pertahanan (coping mechanism). Gagalnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi rasa cemas secara konstruktif inilah yang merupakan penyebab utama munculnya kecemasan.
92
OSCE menjadi stressor dan sumber kecemasan diakibatkan oleh dua faktor, internal dan eksternal. Adapun respon terhadap stressor tersebut berupa mekanisme coping yang terdiri dari problem focused coping dan emotion focused coping. Problem focused coping akan berguna apabila terdapat peluang untuk merubah sumber-sumber stress. Sedangkan emotion focused coping cenderung digunakan apabila individu menyadari sudah tidak dapat merubah kembali sumber stress yang ada. Keberhasilan mekanisme coping akan meminimalisir stressor yang timbul, sedang kegagalan mekanisme coping akan menyebabkan kecemasan hingga akhirnya menimbulkan manifestasi perubahan pada individu yaitu perubahan fisik dan psikis. Kecemasan ini nantinya akan berdampak buruk pada performance mahasiswa. Hal ini diakibatkan karena pada kondisi ini seseorang akan mengalami distorsi pemrosesan informasi. Sehingga akan mengganggu kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan lain-lain. Kekhawatiran yang berlebihan juga akan melemahkan dan mengganggu mereka dalam menghadapi ujian jika tidak dikelola dengan benar. Keterkaitan antara OSCE, kecemasan, dan mekanisme coping dijelaskan lebih lanjut pada skema berikut.
93
OSCE
Faktor Ekternal: -
Faktor Internal: - Kurangnya pengalaman - Pengaruh fisik - Persiapan yang kurang
Pengaruh dosen Isu-isu negatif terkait OSCE Fasilitas penunjang ketika OSCE Perbedaan persepsi terkait topik yang diujikan Materi OSCE yang sulit Padatnya jadwal akademik Waktu tiap stase Kekhawatiran akan hasil/Nilai OSCE
Stressor Coping Mechanism
Problem-focused Coping
Emotion-focused Coping
- Menyiapkan mental (planning) - Belajar materi (active coping) - Belajar dengan mengulang-ulang checklist (active coping) - Belajar bersama teman (seeking support for instrumental reasons) - Berkomunikasi dengan teman saat OSCE (seeking support for instrumental reasons) - Konsentrasi (active coping)
- Berdoa (turning to religion) - Meminta doa kedua orang tua(seeking social support for emotioanl reasons) - Berfikir ada remedial (positive reinterpretation) - Mencari hiburan (denial) - Kelabilan emosi (venting of emotion).
Coping gagal
Coping berhasil
CEMAS
Perubahan fisik
Perubahan psikis
Gambar 5.1 Skema Keterkaitan OSCE, Kecemasan, dan Mekanisme Coping
94
B. Keterbatasan Penelitian Terdapat beberapa kendala yang peneliti hadapi selama melakukan penelitian ini. Salah satu yang utama ialah ketika memilih dan mengkoordinasi partisipan penelitian untuk mengikuti sesi FGD dan wawancara. Peneliti memasukkan kriteria variasi nilai OSCE (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai slah satu syarat menjadi partisipan. Sehingga peneliti tidak dapat sepenuhnya memilih partisipan secara random. Ketika penentuan partisipan telah disesuaikan dengan kriteria yang peneliti maksud, terkadang terdapat partisipan yang menolak atau tidak menyanggupi untuk hadir memenuhi undangan sesi FGD maupun wawancara yang telah dijadwalkan. Sehingga peneliti harus berkali-kali merubah daftar partisipan yang sudah peneliti pilih hingga seluruh partisipan yang telah sesuai kriteria benar-benar menyatakan bersedia, jumlah minimum dapat terpenuhi, dan pengambilan data dapat dilaksanakan. Akibatnya proses pengambilan data memerlukan waktu yang cukup panjang. Kendala yang kedua diakibatkan koordinasi yang cukup lama tersebut, proses pengambilan data baru dapat dilaksanakan setelah dua bulan dari waktu partisipan mengikuti OSCE, sehingga peneliti tidak mengetahui secara langsung afek dan mood partisipan saat menjelang dan selama OSCE. Namun, dikarenakan metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali pengalaman mahasiswa selama periode OSCE maka kemungkinan informasi yang kurang lengkap diakibatkan lamanya jarak pengambilan data dengan waktu yang dimaksud (saat OSCE) dapat
95
diminimalisir
dengan
metode
triangulasi.
Itulah
mengapa
peneliti
menggunakan dua metode pengambilan data yang berbeda (FGD dan wawancara) agar saat proses pengolahan data, data tersebut dapat saling dibandingkan. Kendala yang ketiga adalah kurang detailnya informasi yang peneliti gali. Terkait hal ini informasi yang dimaksud yaitu mengenai jenis kepribadian. Padahal salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kecemasan dan mekanisme coping seseorang adalah jenis kepribadian. Seharusnya dengan mendapatkan informasi tersebut penelitian akan mampu mengungkap mengapa kecemasan tidak dirasakan pada semua partisipan. Kendala yang keempat yaitu kurangnya pendalaman informasi yang peneliti ambil terkait berhasil atau gagalnya proses coping. Dalam hal ini peneliti tidak menemukan bagaimana instrumen yang tepat yang dapat digunakan untuk mengukur hal tersebut. Harapannya penelitian selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut mengenai hal ini sehingga dapat diketahui secara kuantitatif berapa persen angka mahasiswa kedokteran berhasil atau gagal dalam menghadapi stressor berupa OSCE.