BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi yakni Tuhan yang satu yang mengepalai segala kekuatan-kekuatan, dan O Gomanga yakni roh-roh para leluhur. Asal usul kehidupan manusia dan alam semesta bersumber dari Gikiri Moi, ia adalah kekuatan yang netral dan tidak terdikotomi antara feminine atau maskulin. Manusia adalah aktor sentral yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan lingkungan kehidupannya termasuk kekuatan-kekuatan supra-natural. Manusia
memiliki
peranan penting dalam mengontrol sekaligus mengubah suatu kekuatan Gikiri dari baik menjadi jahat atau sebaliknya. Di era pra-Kristen Protestan dan sebelum misi Zending, Gikiri menjadi pusat orientasi dan pemaknaan nilai orang Kao yang dijalani baik secara individual maupun sosial. Pada era ini, orang Kao yang berada sebagai orang pinggiran memberikan suatu kecenderungan Gikiri sebagai identitas perlawanan terhadap penjajahan. Identitas sosial orang Kao terbangun dalam ritual yang memiliki nilai sakralitas kesepadanan dalam agama, juga dalam praktik keseharian melalui komunikasi sosial individu dengan individu maupun individu dengan kelompok sosialnya dalam praktek hidup sehari-hari seperti berkumpul di Halu, memasak bersama dan bercerita soal-soal kehidupan, sosial, politik dan agama.
120
Era Kekristenan merupakan masa dimana Gikiri dialienasi dan didominasi dengan asumsi kafir atau tidak beragama baik oleh Kekristenan maupun oleh negara. Komunitas Kristen Protestan Kao yang terhisap dalam konstruksi zending menjadi superior dengan meneruskan pekerjaan zending dan mempertahankan ajaran-ajaran zending yang bersifat konservatif dan gerakan misi yang terpusat pada Kristenisasi penganut indigenous religion (penganut kepercayaan Gikiri). Bagi orang Kristen Kao, penganut kepercayaan Gikiri hanya menyembah batu, pohon dan kuasa-kuasa yang tidak nyata, sehingga perlu diselamatkan. Proyeksi tentang orang Kao yang dikonstruksi oleh orang luar khususnya zending menempatkan orang Kao sebagai objek perubahan, khususnya dalam bidang keagamaan dengan menegasikan Gikiri sebagai sang liyan. Marginalisasi terhadap kepercayaan Gikiri selain oleh invasi agama-agama besar, juga dilakukan melalui legitimasi negara, yang mengkategorikan kepercayaan Gikiri hanya sebagai aliran kepercayaan. Di era konflik sosial 1999 dan masa sesudahnya, kebudayaan Gikiri mulai diangkat sebagai genius lokal yang harus dipertahankan. Situasi konflik menjadi momentum kebangkitan kembali (revivalisasi) Gikiri sebagai identitas sosial orang Kao untuk membedakan dirinya dari komunitas lain yaitu orang Makian-Malifut. Gikiri yang terkonstruksi sebagai kafir dan hanya menjadi bagian dari masa lalu orang Kao, mengalami reproduksi kultural dan pemaknaan ulang melalui peran dari agen-agen yang memperjuangkannya. Di dalam konflik, Gikiri memiliki daya yang menjadi strategi bagi kemunculannya kembali dalam wilayah kulturalnya. Gikiri yang sebelumnya teralienasi dan tidak berdaya, menjadi berdaya oleh karena sejumlah kekuatan-kekuatan yang dimilikinya. Jaringan relasi yang kuat dengan
121
posisi status quo dominasi versus alienasi antara kekristenan dan Gikiri yang terbangun dalam era sebelumnya di de-konstruksi dalam ruang konflik Kao yang dimasuki oleh para agen untuk saling berjuang. Dari perjuangan simbolik ini, Gikiri ternyata lebih diunggulkan dari pada Kekristenan di dalam mengatasi krisis. Gikiri menjadi unggul, menekan agen yang lain terutama Kekristenan dan kebaradaannya sebagai oposisi biner di masa lalu merupakan posisi yang tidak dapat dipertahankan lagi. Kontestasi di dalam ranah konflik memampukan Gikiri untuk mendesak Kekristenan dan negara dalam merekonstruksi habitus baru yang bersifat kolektif dalam relasi ketiga trilogi (Negara, Kekristenan, Gikiri) yakni recognition, compromizing dan equality. Melalui pemahaman ini teori Bourdieu tentang habitus dan ranah dapat memetakan dengan jelas bagaimana unsur-unsur identitas orang Kao antara Kekristenan dan Gikiri terbentuk ke dalam ruang sosial melalui habitus yang menyusun struktur-struktur sosial di Kao dan diinternalisasi ke dalam individu sebagai struktur pengetahuan kognitif yang melandasi praktik sosial. Dari habitus Gikiri dan Kekristenan maka ruang sosial terbagi ke dalam ranah-ranah diferensiasi dan pertaruhan dari kedua struktur tersebut yang berkontestasi di dalam konflik sosial 1999 dimana kontestasi melahirkan habitus baru yaitu rekognisi, kompromi dan kesederajatan yang merekonstruksi identitas sosial orang Kao. Bagi pendukung kebudayaan Gikiri, identitas Gikiri tidak hanya sekedar suatu pengetahuan kognitif yang membentuk kesadaran sebagai orang Kao tetapi juga turut membentuk ikatan emosional dalam kelompok sehingga kohesi sosial di dalam in group terbentuk atas dasar saling memiliki (sense of belonging) untuk
122
membangun persamaan-persamaan antar individu di dalam kelompok dan membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Ketika identitas dipahami sebagai suatu konstruksi sosial baik kognitif maupun emosional maka identitas itu sendiri bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan sebuah habitus yang dibentuk dan dipelajari secara berulang oleh individu, dalam hal ini elemen-elemen dari budaya Gikiri karena merupakan konstruksi sosial maka kebudayaan tersebut sekalipun mengalami subordinasi maupun eradikasi tetapi pada saat yang sama identitas tersebut dapat melakukan reproduksi simbolik yang dipertahankan setidak-tidaknya pada level individu yang mana semuanya terbentuk di dalam ranah. Pertaruhan di dalam ranah akan terus berlangsung ketika belum terjadinya negosiasi identitas antara Kekristenan dan Gikiri. Sebagaimana konflik sosial yang menjadi ranah bagi kontestasi ketiga agen berhasil membuka ruang bagi kehadiran kembali Gikiri dalam komunitas Kao, secara bersamaan di waktu konflik Kristianitas tidak memiliki modal yang cukup dalam mengatasi krisis, sehingga ia melakukan kompromi terhadap kebudayaan lokal yang menjadi legitimasi praktek ritual Gikiri selama konflik. Selain itu, konsekuensi dari praktek Gikiri memungkinkan pewacanaan terhadap Gikiri sebagai identitas lokal yang memiliki kesetaraan dengan identitas lainnya seperti Kristianitas. Sekalipun demikian, konteks pasca konflik di Kao masih memperlihatkan pemahaman-pemahaman yang bineri tentang Gikiri sebagai kafir, karena itu praktek sekaligus identitas keagamaan yang ada dan dimaknai dalam kehidupan komunal orang Kao bersifat ambigu yaitu di antara prokontra, penerimaan dan penolakan. Hal ini terjadi karena belum adanya format yang tepat khususnya dalam bidang keagamaan (Kekristenan) untuk melakukan de-
123
konstruksi dan keterputusan dengan konstruksi pengetahuan ala Zending yang telah mengakar dalam ruang kesadaran orang Kao, hal ini sangat jelas terlihat dalam rumusan teologi GMIH yang belum memiliki kemandirian dalam mengkonstruksi teologi lokalnnya. Hanya melalui keterputusan dari konstruksi pengetahuan dan kesadaran dari masa lalu ala zending, maka orang Kao khususnya pada level institusi keagamaan lebih mampu melihat identitas lokal dan Kekristenan dalam pemahaman yang utuh. Karena itu sejauh ini, recognition, compromizing dan equality adalah ide-ide yang masih ada dalam perjuangan dan masih terus di perjuangkan di beberapa kalangan orang Kao-Tobelo tetapi ketiga habitus baru tersebut setidak-tidaknya memberikan suatu harapan bagi lahirnya rekonstruksi identitas Kekristenan dan kepercayaan Gikiri yang lebih memberi makna dalam menyikapi konteks kekinian orang Kao dalam melihat identitas sosial (ingroup) yang bersifat integratif serta mampu membangun dialog dan pemahaman yang memadai dengan kelompok-kelompok sosial lain.
B. Rekomendasi Dari hasil penelitian mengenai kontestasi identitas di Kao, terdapat 3 rekomendasi yaitu: 1. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab III tentang signifikansi dari kebudayaan Gikiri, maka perlu dikaji lebih jauh tentang kebudayaan Gikiri untuk dapat memperkaya pemahaman dan perspektif orang Kao tentang identitas sosialnya, sekaligus sikap kritis dalam melihat konstruksi-konstruksi identitas yang terbentuk dalam sejarah orang Kao, sehingga memungkinkan identitas sebagai
124
orang Kao dipahami lebih utuh sesuai pada konteks kultural tanpa mendikotomi Gikiri dan Kekristenan secara terpisah yang mengkerdilkan makna identitas sebagai genius local orang Kao. 2. Pendekatan kultural perlu di kaji lebih mendalam untuk merekonstruksi identitas sosial orang Kao, sehingga melalui pendekatan kultural, lokalitas orang Kao dapat dikonstruksi dalam pengembangan mutu kehidupan orang Kao di berbagai bidang. 3. Perlunya penguatan institusi-institusi lokal baik pemerintahan maupun lembaga sosial kemasyarakatan dalam memberikan pendampingan bagi pemberdayaan masyarakat dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang berbasis lokal demi penguatan identitas sosial.
125