BAB V KESIMPULAN Pada bagian kesimpulan merupakan jawaban dari pertanyaan yang tercantum di rumusan masalah. Pertama, menulusuri perjalanan hidup A.H. Nasution dipentas politik, ibarat memasuki lorong-lorong misterius. Banyak ruang yang terselubung tirai, banyak yang belum atau bahkan tak terungkap menyangkut perannya dalam sejarah kontemporer Indonesia. Riwayat ketokohan A.H. Nasution adalah sebuah kontroversi dan ironi. Tokoh ini merupakan legenda hidup yang bisa bercerita betapa “tangan pemerintah” bisa membuat hidup seseorang menjadi “naik turun”. Jenderal A.H. Nasution adalah simbol tentara yang cemerlang di bidangnya. Doktrin-doktrin kemiliteran yang dipakai saat ini berasal dari gagasannya. A.H. Nasution lahir di Kampung Huta Pungkut, daerah Mandailing, pada tanggal 3 Desember 1918. Kampungnya terletak di perbatasan antara Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Desa A.H. Nasution terdiri dari tiga kampung, yakni Huta Pungkut Jae (hilir), Huta Pungkut Tonga (tengah), Huta Pungkut Julu (hulu). Ketika A.H. Nasution masih kecil, keinginan dari kakek dan neneknya, supaya A.H. Nasution kelak menjadi guru pencak silat seperti kakeknya, tetapi bertentangan dengan keinginan dari ayahnya. Ayah A.H. Nasution berkeinginan supaya A.H. Nasution selesai sekolah dasar, mengutamakan kesekolah agama dan ibunya ingin supaya A.H. Nasution sekolah di sekolah umum, disebut dengan sekolah “Belanda” mengikuti jejak almarhum kakaknya yang sekolah dokter di Betawi.
97
98
Berbagai jenjang pendidikan telah dilewatinya, A.H. Nasution memperoleh ijazah pada Sekolah Guru (HIK), Sekolah Menengah Atas (AMS) dan dalam bidang militer dari Akademi Militer (KMA). Jejak langkah A.H. Nasution dengan mudah bisa ditemukan dalam politik-militer di Indonesia. Sekitar dua puluh tahun A.H. Nasution berjuang dalam lembaga-lembaga formal. Dialah ketua MPRS yang dianggap berhasil menegakkan kedaulatan lembaga tertinggi itu. A.H. Nasution juga sangat berperan dalam politik militer. Semenjak disingkirkan dari panggung kekuasaan oleh Presiden Soekarno, muncul pemikiran tentang Dwifungsi ABRI, dan Jalan Tengah Militer, berkat pemikiran dan usahanya, para perwira militer menduduki posisi di politik. Bahkan tidak hanya di politik, parlemen, atau lembaga pemerintah, para perwira tersebut menempati kedudukan di bidang perekonomian. Jelaslah itu semua berkat jasa pemikiran dan usaha A.H. Nasution untuk mengaktifkan bagaimana caranya militer juga ikut berperan dalam pembangunan dan politik, tidak hanya sebagai alat pertahanan negara saja. Konsep Dwifungsi ABRI merupakan konsep dari hasil pemikiran A.H. Nasution. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, A.H. Nasution dicopot dari jabatan sebagai KSAD. Selama masa non-aktif dari dinas militer tersebut, A.H. Nasution merenungkan eksistensi dan aktivitas ABRI. Ia menyimpulkan bahwa ada kesalahan pimpinan ABRI terutama selama tahun 1950an. Kendati sebagian besar hidup A.H. Nasution diliputi kegetiran, posisinya dalam sejarah militer memiliki keistimewaan, pembentukan dan perkembangan militer di Indonesia tak lepas dari polesan tangannya. Kalau Panglima Besar Jenderal
99
Soedirman dikenal sebagai “Bapak TNI”, maka A.H. Nasution pernah disebut-sebut dengan predikat :Bapak TNI-AD”. Sebagai prajurit militer, ia menorehkan catatan sejarah yang sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan angkatan darat. A.H. Nasution memang dikenal sebagai perwira lapangan, tetapi juga sebagai perwira konseptor ulung dalam membangun struktur ABRI. A.H.
Nasution
telah
membuat
sejumlah
tindakan
strategis
untuk
mempertahankan Negara Republik Indonesia. Pada saat politisi sipil menyerah dan ditangkap oleh tentara Belanda, A.H. Nasution mengumumkan dibentuknya pemerintahan militer di Jawa, karena menurut A.H. Nasution, pemerintahan sipil sudah lumpuh dan tidak bisa melanjutkan kinerjanya. Pasukan Belanda memberikan nama “Pemerintah Bayangan A.H. Nasution”. Itu sebabnya mengapa peran militer sangat penting dalam politik pada masa itu. Pada masa Agresi Militer Belanda yang menginginkan kembali menduduki Indonesia, kekacauan politik di Indonesia semakin menjadi. Munculnya perjanjian Renville yang menguntungkan Belanda, memaksa TNI Jawa Barat untuk berhijrah ke Jawa Tengah. Pergantian kabinet ke kabinet Parlementer ini membuktikan bahwa politisi sipil belum mampu memimpin negara kearah yang lebih baik. Pada masa Kabinet Parlementer ini banyak menghasilkan perjanjian dengan Belanda yang secara politik tidak menguntungkan bagi pihak Indonesia. Kedua, konsepsi reorganisasi pada tubuh militer, terdapat dua kelompok yaitu kelompok yang pro dengan reorganisasi dan kelompok yang kontra dengan reorganisasi. Perbedaan pandangan tersebut membuat para politisi berusaha ikut
100
campur tangan dalam tubuh TNI AD. Akan tetapi semua itu membuat para perwira, khusunya A.H. Nasution, geram akan mosi dari politisi di parlemen. Atas semua itu membuat hubungan antara politisi sipil dan militer menjadi menegang. Puncak dari ketegangan tersebut terjadi pada peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952, yang pada akhirnya karier A.H. Nasution sempat berhenti dari kedinasan militer, karena bocornya dokumen dialog antara Presiden Soekarno dengan KSAD A.H. Nasution. Pada peristiwa tersebut militer mengerahkan pasukan dan meletakan meriam dan persenjataan berat kearah istana negara. Setelah diberhentikan, A.H. Nasution mencoba untuk merubah manufer kearah politik dengan mendirikan sebuah partai yang diberi nama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Manuver tersebut dinilai A.H. Nasution kurang berarti karena sedikit sekali dari kader IPKI yang mendapatkan kursi di Parlemen. Kekisruhan di dalam tubuh Angkatan Darat semakin menjadi, terdapat kekosongan di kursi jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Presiden memilih dan menunjuk kembali A.H. Nasution untuk menduduki posisi jabatan Kepala Staf Angkatan Darat, karena Presiden Soekarno menganggap pemikiran A.H. Nasution tentang Jalan Tengah Tentara mungkin bisa menyelamatkan kedudukan Soekarno dan menyelamatkan Indonesia dari krisis politik tersebut, A.H. Nasution pun menerima dengan senang hati tawaran tersebut. Konsep Jalan Tengah tersebut sering juga disebut dengan konsep Dwifungsi ABRI. Dampak dari konsep tersebut meletakkan posisi militer untuk aktif dalam percaturan politik. Banyak perwira tinggi TNI yang
101
menduduki posisi penting dan strategis, baik didalam legeslatif, eksekutif, yudikatif, bahkan di perusahaan milik Belanda yang di nasionalisasikan oleh pemerintah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi sumber devisa utama pemerintah masa itu. Semenjak kembali menjabat sebagai KSAD, A.H. Nasution memberlakukan kembali tentang reorganisasi dan membuat manuver bagaimana kalangan militer bisa masuk dalam kancah politik dan membangun bangsa bersama politisi sipil. Selama kerja kerasnya A.H. Nasution dalam bermanuver, akhirnya para perwira TNI menduduki jabatan di parlemen bahkan menduduki perusahaan milik Belanda yang di nasionalisasi yang menjadi tulang punggung bagi pendapatan negara kala itu. Keharmonisan antara Presiden Soekarno dan KSAD A.H. Nasution akhirnya retak, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha mendekati Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berpikir bahwa manuver A.H. Nasution selama ini mengancam kedudukannya, karena Soekarno merasa peran A.H. Nasution dibelakang Soekarno. Doktrin-doktrin A.H. Nasution sangat berpengaruh di kalangan masyarakat. Keberhasilan A.H. Nasution dalam pembebasan Irian Barat (Papua), dalam meredam konflik atau pemberontakan yang dilakukan masyarakat dan perwira didaerah-daerah. Semua itu membuat kekhawatiran Presiden Soekarno untuk beralih pada PKI yang mendukung Presiden Soekarno untuk tetap menjadi Presiden. Presiden Soekarno perlahan mengurangi peran A.H. Nasution, puncak dari ketegangan tersebut pada tragedi Gerakan 30 September 1965 dimana gerakan tersebut dalangnya belum
102
diketahui dan menjadi misteri sampai sekarang. Dalam tragedy tersebut, A.H. Nasution menjadi salah satu target dari penculikan para perwira tinggi TNI AD. A.H. Nasution berhasil selamat. Akan tetapi Ade Irma Nasution menjadi korban peluru yang ditembakan oleh pasukan Cakrabirawa yang dihasut oleh PKI, selain Ade Irma Nasution yang menjadi korban, ajudan A.H. Nasution Piere Tendean juga menjadi korban, karena dianggap oleh pasukan Cakrabirawa itulah A.H. Nasution. Ketiga, peran A.H. Nasution sangatlah penting di republik ini, A.H. Nasution merupakan saksi mata yang mengalami banyak sekali peristiwa sejarah di Indonesia ini. Pengalaman-pengalaman hidup pribadi A.H. Nasution tertuang dalam coretan tinta hitam, dari coretan tinta hitam tersebut menghasilkan berbagai judul. Selain itu, A.H. Nasution juga sering sekali menjadi objek penelitian oleh peneliti dalam maupun luar negeri yang menulis tentang sejarah militer atau politik di Indonesia. Bahkan dari tulisan pengalaman A.H. Nasution yang tercetak maupun tidak, sering kali dipakai sebagai referensi oleh peneliti. Kedekatan A.H. Nasution dan Presiden Soekarno disebabkan ketertarikan Soekarno akan pemikiran konsepsi A.H. Nasution yang dikenal dengan Jalan Tengah Tentara yang lambat laut dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI itu sendiri adalah suatu konsep dimana meletakkan atau mengikutsertakan TNI kedalam dunia politik. Dari konsep, para perwira tinggi TNI salah mengartikan bahwa TNI wajib ikut serta dalam kancah politik, sehingga banyak perwira menduduki kursi-kursi penting di eksekutif, legestatif, yudikatif bahkan perusahaan BUMN.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Malik Haramain. 2004. Gus Dur, Militer dan Politik. Yogyakarta: LKis. Abdoel Fattah. 2005. Demiliterisme Tentara. Yogyakarta: LKis. Abdul Haris Nasution. 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional Bersendjata. Djakarta: Mega Bookstore. _________. 1966. Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia. Djakarta: CV. Pembimbing. _________. 1970. Tentara Nasional Indonesia. Djakarta: Seruling Masa. _________. 1971. Kekarjaan ABRI. Djakarta: Seruling Masa. _________.1977. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda. Jakarta: Gunung Agung. _________. 1989. Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 2A: Kenangan Masa Gerilya. Jakarta: Haji Masagung. _________. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung: Angkasa. Jilid 1-11. _________. 1980. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan Yang Akan Datang. Bandung: Angkasa. _________. Bakri A.G Tianlean (ed). 1997. Bisikan Nurani Seorang Jendral. Jakarta: Mizan Pustaka. Alfian. 1983. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia-Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia. Amrin Imran. dkk. 1971. Sejarah Perkembangan Angkatan-Darat. Jakarta: Departemen pertahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. Burguiere, Andre. 1986. Dictionnaire des Sciences Historiques. Paris: Presses Universitaires de France. Ariel Heryanto (pengantar). 1996. NASIONALISME, Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bilveer, Singh. 1996. Dwi Fungsi ABRI, Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. C.S.T. Kansil dan Julianto S.A. 1982. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
103
104
Deliar Noer. 2000. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan. Diamond, Larry dan Marc F. Plattner. 2001. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Raja Grafindo. __________2001. Terjemahan dari Civil Military Relations and Democracy. Jakarta: Rajawali Press. Djoko Subroto. 1998. Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Disjarah AD. 1971. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD. Jakarta: Offset Virogosari. Dinas Militer TNI-Angkatan Darat. 1972 Cuplikan Sejarah Perjuangan TNIAngkatan Darat. Bandung: Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat dan Fa. Mahjuma Dinas Sejarah Militer TNI AD. 1979. Sejarah TNI AD 1945-1973 Jilid 2. Peranan TNI AD Menegakkan Kesutuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer AD. Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Dwi Pratomo Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi. Dwipayan Ari. AAGN. et. Al., 2000. Masyarakat Pasca Militer Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesia. Yogyakarta: IRE. Eko Endarnoko (ed). 1993. Memoar: Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Feith, Herbert dan Lances Castel. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES. Frans M. Parera (ed). 1982. Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru. Jakarta: Gramedia. Gottschalk, Louis. 1985. Understanding Hisory: A Primer Hisorical Methode, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah. Jakarta: UNI Press. Harsja W. Bachtiar. 1988. Siapa Dia? Perwira Tinggi AD. Jakarta : Djembatan. Harun Al Rasyid. 1968. Sekitar Proklamasi, Konstitusi, dan Dekrit Presiden. Djakarta: Pelita Ilmu. Huntington, Samuel P. 1968. Political in Changing Societies. New Haven: Yale University Press.
105
Hatta Taliwang. 2004. Jendral Besar A. H. Nasution dan Perjuangan Mahasiswa. Jakarta: LKPI ( Lembaga Komunikasi Informasi Perkotaan). Hendri Supriyantmono. 1994. Nasution, Dwi fungsi ABRI dan Kontribusi Ke Arah Reformasi Politik: Tinjauan Kebijaksanaan Politik Jendral Nasution tahun 1955-1959. Surakarta: UNS Press dan yayasan Pustaka Nusatama. Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1993. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud. Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Himawan Soetanto. 1994. Perintah Presiden Soekarno: Rebut Kembali Madiun. Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. Jakarta: Sinar Harapan. Julius Pour, Benny Moerdani. 1993. Profil, Prajurit Negarawan. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman. Julius Pour. 2010. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Kompas. Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah, FISE UNY. Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. ___________. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. Mabes ABRI. 1988. Doktrin Perjuangan TNI-ABRI ‘Catur Darma Eka Karma’ Cadek 1988. Jakarta: Mabes ABRI. Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mohammad Roem. 1972. Bunga Rampai Dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang. Nordlinger, Eric A. Sahat Simamora (a.b). 1994. Militer Dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho Notosusanto. 1984. Perjuangan dan Prajurit. Jakarta: Intermasa. ____________. 1984. Pejuang dan Prajurit; Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Sinar Harapan. ____________. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta. Sinar Harapan Petrik Matanasi. 2007. KNIL Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Medpress. Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyunting). 1999. Hubungan Sipil Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia: Persepsi Sipil dan Militer. Jakarta: CSIS.
106
Mrazek, Rudolf. 1996. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Saefur Rochmat. 2009. Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu. Saleh As’ad Djamhari. 1971. Ikhtisar Sejarah ABRI 1945-Sekarang. Jakarta: Pusjarah ABRI. Salim Said. 1991. Genesis of Power, General Sudirman and The Indonesian Military in Politics: 1945-1949. Singapura dan Jakarta: ISEAS dan Pustaka Sinar Harapan. ________. 2001. Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi: Pengalaman Indonesia: Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ________. 2001. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _________. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sekertariat Negara Republik Indonesia. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Tira Pustaka. Shaw, Martin. 2001. Bebas dari Militer: Analisa Sosiologis Atas Kecenderungan Masyarakat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sides Sudaryanto (ed). 1983. Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman. Jakarta: Karya Unipers. Singh, Bilveer. (a.b) Robert Hariono Imam. 1996. Dwifungsi ABRI, Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Simatupang, T. B. 1981. Pelopor Dalam Perang-Pelopor Dalam Damai. Jakarta: Sinar Harapan. Soebijono, dkk. 1995. Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Solichin Salam. 1990. A.H. Nasution: Prajurit, Pejuang, dan Pemikir. Jakarta: Penerbit Kuning Mas.
107
Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed). 2002. Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H.Nasution. Jakarta: Grafitipers. (cetakan kedua). Suyatno Kartodirdjo. 1997. Kepemimpinan ABRI dalam Perspektif sejarah. Dalam Djoko Subroto, Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Syamsul Maarif. 2011. Militer Dalam Parlemen 1960-2004: Seri Kajian Sosiologi Militer. Jakarta: Prenada Media Group TIM. 1999. Hubungan Sipil-Militer, Peran, Kontribusi dan Tanggungjawab SipilMiliter dalam Penyelenggaraan Negara. Jakarta: Gramedia. TIM PDAT, Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed). 2002. Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H.Nasution. Jakarta: Grafitipers. (cetakan kedua) Thycydude. 1966. Histoire de la guerre du Peloponnese. Paris: Garnier-Flammarion. Todiruan Dydo. 1990. Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30 S/PKI. Jakarta: Golden Teroyan Press. Ulf Sundhaussen. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967-Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES. Wawan Riyadi. 2004. Hubungan Sipil-Militer Selama Demokrasi Parlementer Tahun 1950-1959. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Widja, IG. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. www.kamusbahasaindonesia.org Yahya A. Muhaimin. 1982. Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 19451966. Yogyakarta: Gadjah Mada Uneversity Pres. Yason Demeterius Bani. 1992. Skripsi: Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang Republik Indonesia. UGM. ________. (1993). M.E.M.O.A.R senerai Kiprah sejarah diangkat dari majalah Tempo. Buku kesatu. Djakarta: Pustaka Utama Grafiti.