BAB V KESIMPULAN Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa pokok permasalahan yang berkaitan dengan peran Nasution, maka pada bab ini akan disimpulkan halhal sebagai berikut. Pertama, Nasution merupakan prajurit yang banyak mengabdikan dirinya kepada tanah air Indonesia. Nasution lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di desa Hutapungkut, Distrik Mandailing, Kotanopan, Tapanuli Selatan, ayahnya bernama H. Abdul Halim dan ibunya bernama Hj. Zaharah Lubis. Orangtuanya berasal dari kalangan petani biasa tetapi tidak menyangka Nasution tumbuh menjadi orang ternama dengan perjuangannya. Tahun 1932, Nasution menyelesaikan pendidikan HIS (Hollandse Inlandse School) di Kotanopan. Tahun 1935, setelah lulus Nasution melanjutkan pendidikan di Sekolah Raja (Sekolah Guru) yang disebut HIK (Hollandse Inslands Kweekschool) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Nasution melanjutkan kembali pendidikannya di AMS B (Algemene Middlebare School) di Jakarta dan lulus seleksi. Setelah selesai menyelesaikan pendidikannya, Nasution menjadi guru di Muara Dua, Bengkulu dan Tanjung Raja. Profesi sebagai guru kurang begitu menarik bagi Nasution, karena Nasution lebih tertarik dalam bidang militer dan untuk mewujudkannya Nasution mengikuti seleksi pendidikan militer tahun 1940, pendidikan CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) di Bandung yaitu pendidikan Perwira Cadangan. Kedua, tahun 1942 Nasution menjadi pembantu Letnan dan mendapatkan tugas untuk mengamankan daerah Surabaya. Nasution pernah bekerja menjadi pegawai pamong praja di Bandung. Tahun 1943 Nasution masuk militer kembali
109
110
dan menjadi Wakil Komandan Barisan Pelopor di Bandung. Bulan Mei 1946 Nasution dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, Nasution menjadi Wakil Panglima Besar TNI. Tetapi sebulan kemudian jabatan “Wangpasar” dihapus dan Nasution ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Dipenghujung tahun 1949, Nasution akhirnya diangkat menjadi KSAD. Metode ini dikembangkan setelah Nasution menjadi Panglima komando Jawa pada masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949). Nasution menyusun Perintah Siasat No. 1 tentang persiapan perang gerilya. Akibat peristiwa 17 oktober 1952 Nasution diberhentikan dari jabatannya sebagai KSAD. Tanggal 1 Nopember 1955, Nasution dilantik kembali menjadi KSAD oleh Presiden Soekarno dengan pangkat Mayor Jenderal. Tahun 1958, Nasution menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional/Menko Hankam/KSAD. Nasution mengajukan gagasan pada Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. Dan tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, yang berisi tentang pembubaran badan Konstituante, kembalinya ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS. Tahun 1963 Nasution diangkat sebagai Menko Hankam merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB), sedangkan komando ABRI masih dipegang oleh Presiden Soekarno, Nasution hanya sebagai Kepala Staf yang hanya mengkoordinasikan dan tanpa wewenang komando untuk menggerakkan pasukan ABRI. Ketiga, tanggal 30 September 1965 terjadilah pemberontakan yang dilancarkan PKI dengan cara menculik dan membunuh enam jenderal. Nasution
111
pada saat itu juga menjadi sasaran tetapi dapat meloloskan diri dari maut. Malangnya putri dan ajudannya harus meninggal dalam peristiwa G 30 S/PKI tersebut. Tanggal 21 Juni 1966, Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dengan didampingi Wakil Ketua yang terdiri dari Osa Maliki, Subhan Ze, Melanthon Siregar dan Mashudi. Dalam Sidang Umum MPRS IV Presiden Soekarno, MPRS meminta pertanggungjawaban. Pidato Presiden yang dikenal dengan Nawaksara tidak memuaskan MPRS. Beberapa Ketetapan MPRS yang dikeluarkan adalah TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 yang menetapkan kelanjutan dan Perluasan Penggunaan Supersemar, TAP No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera, dan terutama TAP No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Selain itu Soekarno juga diminta untuk melengkapi Nawaksara. Pidato Nawaksara Presiden Soekarno ditolak oleh DPRGR pada tanggal 9 Desember 1966 dan mendesak MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk membahas tentang pemberhentian Soekarno dari jabatan Presiden. Keputusan penolakan diputuskan oleh Badan Pekerja MPRS pada tanggal 16 Februari 1966. Sidang Istimewa MPRS pun digelar dengan memberikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada tanggal 12 Maret 1967. Demikianlah awal karir politik Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden dan nantinya diangkat penuh menjadi Presiden pada tahun 1968. Pada tahun 1968 muncul hubungan tidak baik antara Nasution dengan Presiden Soeharto. Hal ini disebabkan karena Presiden Soeharto secara perlahan mematikan fungsi MPRS. Terlebih pada tahun 1969
112
mulai muncul perbedaan pendapat antara Nasution dan Presiden. Perbedaan mengenai berbagai hal, seperti 5 tugas kabinet, salah satunya adalah penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara dari tingkat pusat sampai daerah serta pembaharuan politik menurut Nasution “pembaharuan sistem dan strukutur politik adalah pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, terutama kedaulatan rakyat, penyederhanaan kepartaian, pelembagaan dan pewadahan golongan-golongan. Kekuasaan Eksekutif secara resmi berada ditangan Soeharto, tetapi memiliki arti yang berbeda bagi Nasution dan Soeharto. Nasution menganggap bahwa kekuasaan militer pada saat itu harus menjadi pemerintahan transisi yang sanggup membuka jalan bagi normalisasi konstitusi, maka berbeda dengan Soeharto yang dimana tugas pemerintah (pada Orde Baru didominasi oleh kaum militer) harus berlanjut pada pembangunan ekonomi dengan penekanan stabilitas politik dan keamanan dan karenanya normalisasi konstitusi harus ditunda.
DAFTAR PUSTAKA Buku Abdoel Fatah. (2005). Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta: LKIS. Achmad Wisnu Aji. (2010). Kudeta Supersemar. Yogyakarta: Garasi House Of Book. A.H Nasution. (1966). Banting Setir, Politik Pertahanan atau Keamanan. Jakarta: Matoa. _____. (1967). Menegakkan Keadilan dan Kebenaran, Jilid I. Jakarta: Seruling Masa. _____. (1967). Menegakkan Keadilan dan Kebenaran, Jilid II. Jakarta: Seruling Masa. _____. (1963). Tentara Nasional Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Seruling Masa. _____. (1967). Tentara Nasional Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Seruling Masa. _____. (1971). Tentara Nasional Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Seruling Masa. _____. (1974). 17 Oktober dalam Rangka Proses Mencari Posisi TNI dalam Kehidupan Bernegara. Jakarta: Stensilan. _____. (1975). Dari KUP 1 Oktober 1965 ke Sidang Istimewa MPRS 1967. Jakarta: S.N. _____. (1982). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 1; Kenangan Masa Muda. Jakarta: Haji Masagung. _____. (1983). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 2; Kenangan Masa Gerilya. Jakarta: Haji Masagung. _____. (1984). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 3; Masa Pancaroba I. Jakarta: Haji Masagung. _____. (1985). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 4; Masa Pancaroba II. Jakarta: Haji Masagung. _____. (1986). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 5; Kenangan Masa Orde Lama. Jakarta: Haji Masagung.
113
114
_____. (1987). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 6; Masa Kebangkitan Orde Baru. Jakarta: Haji Masagung. _____. (1988). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 7; Masa Konsolidasi Orde Baru. Jakarta: Haji Masagung. Agus Salim. (2007). Bung Karno. Bandung: Jembar. Anton Tabah. (1999). Dua Jenderal Besar Bicara tentang Gestapu/PKI. Klaten: Sahabat. Anwar Rosihan. (1981). Sebelum Prahara, Pergolakan Politik di Idonesia. Jakarta: Sinar Harapan. . (1996). Bertarung dalam Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. _____ . (2007). Sukarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Arman Arroisi. (1991). Pengembaraan Batin Bung Karno. Bandung: Remaja Rosda Karya. Asvi Warman Adam. (2009). 1965: Orang-orang Dibalik Tragedi. Yogyakarta: Galang Press. Bakri A.G Tianlean. (1993). Bisikan Nurani Seorang Jendral. Bandung: Mizan Pustaka. _____. (1997). A.H. Nasution di Masa Orde Baru: Lewat Kesaksian Tokoh Eksponen 66 Bakri Tianlean. Bandung: Mizan. _____. ( ). Suka Duka 28 Tahun Mengabdi Bersama Jenderal Besar A.H Nasution. Jakarta: Republika. Baskara T Wardaya. (2007). Membongkar Supersemar Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press. Crouch, Harold. (1986). Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Connie Rahakundini Bakrie. (2007). Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dake, Antonie C.A. (2005). Soekarno File: Berkas-berkas Soekarno 1965-1967. Jakarta: Aksara Karunia.
115
Darmawan. (2008). Soekarno Memilih untuk Tenggelam agar Soeharto Muncul. Bandung: Hikayat Dunia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). 50 Tahun Indonesia Merdeka Jilid I (1945-1965). Jakarta: Citra Media Persada. Dinas Sejarah Angkatan Darat. (1965). Penumpasan Pemberontakan Separatisme Di Indonesia. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. Djanwar. (1986). Mengungkap Penghianatan/Pemberontakan G 30 S/PKI. Bandung: Yrama. Dwi Pratomo Putranto. (2005). Militer dan Kekuasaan: Puncak-puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi. Eros Djarot. (2006). Siapa Sebenarnya Soeharto (Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI). Jakarta: Media Kita. Feith, Herbert. Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Fic, Victor M. (2008). Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Gie, Soe Hok. (1997). Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang Budaya. Ginandjar Kartasasmita, dkk. (1997). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Skretaris Negara Republik Indonesia. Gottschalk, Louis. (1982). “Understanding History : A Primer of Historical Method”. a.b. Susanto, Nugroho Noto. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Helius Sjamsuddin. (2007). Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak. Honna, Jun. (2007). Soeharto dan ABRI: Menjelang Runtuhnya Orde Baru. Yogyakarta: Centre for Information Analysis. I Gdhe Widja. (1989). Sejarah lokal dan Prespektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. J.B. Soedarmanto. (2007). Jejak-jejak Pahlawan. Jakarta: Grasindo. Jenkins, David. (2010). Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, Rezim Militer Indonesia 1975-1983. Jakarta: Komunitas Bambu.
116
Jurusan Pendidikan Sejarah. (2006). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Kahin, Audrey. (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kuntowijoyo. (1955). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. Lekra. (1959). Laporan Kebudyaan Rakyat. Jakarta. Lembaga Ketahanan Nasional Departemen Pertahanan Keamanan RI. (1999). Hubungan Sipil-Militer. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Materu, Mohamad Sidky Daeng. (1985). Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Moh Mahfud. (2009). Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. Pusat Data Dan Analisa Tempo. (1998). Jendral Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI (1996). Tri Komando Rakyat (Trikora). Jakarta: Yayasan Telapak. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition. Satrio Wahono. (2005) Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi. Rizal Sukma dan S. Kristiadi. (1999). Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia: Persepsi Sipil dan Militer. Jakarta: Centre For Stategic and International Studies (CSIS). Roosa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra. Roso Daras. (2009). Bung Karno Serpihan Sejarah yang Tercecer. Jakarta: Pustaka Media Utama. Saleh A Djamhari. (1997). Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan RI. Salim Islam. Terobosan PDRI dan Peranan TNI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Samsudin. (2004). Mengapa G30S/PKI Gagal?. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
117
Sartono Kartodirdjo. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi sejarah, Jakarta: Gramedia. Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1994). Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, aksi, dan Penumpasannya. Jakarta: Dana bhakti Wakaf. Singh, Bilveer. (1996). Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Subhan S.D. (1996). Langkah Merah Gerakan PKI 1950-1955. Yogyakarta: Bentang Budaya. Sularto. (2001). Dialog Dengan Sejarah (Soekarno Seratus Tahun). Jakarta: Kompas. Sulastomo. (2006). Dibalik Tragedi 1965. Jakarta: Yayasan Pustaka Umat. S.M Amin. Indonesia di Bawah Rezim “Demokrasi Terpimpin”. Jakarta: Bulan Bintang. Solichin Salam. (1990). A.H. Nasution, Parajurit, Pejuang dan Pemikir. Jakarta: Kuning Mas. Tatang Sumarsono.(ed). (1997). A.H. Nasution di Masa Orde Baru. Bandung: Mizan. Taufik Abdullah. (1978). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. TIM. (2009). “Biografi Jendral Besar DR. A.H. Nasution: Perjuangan Hidup dan Pengabdiannya”. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. TIM Narasi. (2009). 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Jakarta: NARASI. (T.N). (2000). Saksi dan Pelaku GESTAPU: Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September PKI. Yogyakarta: Media Pressindo. _____. (1982). Pemberontakan G 30 S/PKI dan Penumpasannya. Jakarta: Dinas Sejarah TNI AD. _____. (2009). Profil 143 Pahlawan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Timur. Tugas Tri Wahyono. (2011). Rute Perjuangan Gerilya A.H Nasution pada Masa Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
118
Yahya A Muhaimin. (2005). Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yuli Hananto. (2005). Bermuka Dua: Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno Beserta Keluarganya. Yogyakarta: Ombak. Skripsi Winarno Hegit Hedi. (2009). Peranan Nasution dalam Peralihan Kekuasaan dari Pemerintahan Sukarno ke Suharto 1965-1968. Skripsi. Bandung: UPI. Puji Astuti. (2005). Peranan Abdul Haris Nasution dalam Modernisasi TNI (19481952). Skripsi. Yogyakarta: UNY.
Sumber dari Majalah dan Jurnal Kusumowidagdo, Sigit Putranto. Pembangunan Politik Orde Baru Menghadapi Krisis Partisipasi. Prisma, no. 1, Januari 1983. Salam Said. Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Dulu, Sekarang dan pada Masa Datang. Prisma, nomor 1, tanggal 6 Juni 1987. (T.N).
(1995). Kesaksian Seorang Korban: Bekas KASAB Jenderal (purnawirawan) A.H Nasution Membantah Amerika Serikat Campur Tangan dalam Peristiwa G-30-S/PKI. Gatra.
_____. (1995). CIA. Gatra.
Sumber Internet Coro.
2011. http://gmic.co.uk/uploads/monthly_04_2011/post-10454-041492200-1302171489.jpg. Diakses tanggal 28 Juni 2012 Pukul: 19.02 WIB.
Egaemstrong. 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September, Diakses tanggal 5 Juli 2012, pukul: 13.03 WIB. Mustaqim. 2010. http://mustaqimzone.files.wordpress.com/2010/04/soehartodanjenderalahn asution1.jpg. Diakses tanggal 28 Juni 2012 Pukul: 18.56 WIB. Sekretaris Negara. 2010. http://penasoekarno.files.wordpress.com/2010/10/tonys178.jpg. Diakses tanggal 28 Juni 2012 Pukul: 19.09 WIB.
119
. http://thearoengbinangproject.com/jakarta/museum-sasmita-loka-abdul-
haris-nasution-5.jpg. Diakses tanggal 28 Juni 2012 Pukul: 19.12 WIB. TIM
A. http://catatan-chiva.blogspot.com/2009/05/tentara-pembela-tanah-airpeta.html. Diakses tanggal 5 Juli 2012 Pukul: 08.05 WIB.
(T.N). Hukumpinrangkab.com/index.php?. Diakses tanggal 27 Maret 2012 Pukul: 23.30 WIB.