BAB V KESIMPULAN Dari seluruh pembahasan studi ini dapat disimpulkan bahwa industri batik di Karangkajen yang dimotori oleh para pengusaha santri menunjukkan dinamika yang tinggi pada periode 1950-1975 akibat pengaruh dari beberapa faktor penting yaitu faktor ekonomi, faktor sosial-teknologi, dan faktor politik Indonesia. Dalam perkembangannya faktor ekonomi adalah faktor utama dalam memajukan sebuah kegiatan usaha / industri. Dengan modal yang cukup, relasi yang luas berdasarkan kekerabatan dan pertemanan serta distribusi yang lancar mereka membangun kekuatan ekonomi yang kuat di wilayah Yogyakarta. Seiring kemajuan teknologi di Eropa, pada akhir abad 19 ditemukan teknik cap dalam industri tekstil yang turut berdampak pada kelancaran produksi batik di Karangkajen. Sebelum teknik cap ditemukan satu lembar kain bisa dikerjakan selama satu bulan lebih, namun dengan adanya teknik cap kain bisa diproduksi secara massal dengan harga yang murah dan waktu yang lebih cepat. Selanjutnya peran pemerintah dalam Program Benteng yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi eksistensi para pengusaha batik di Karangkajen turut menstabilkan keadaan ekonomi mereka hingga tahun 1970an. Sejak awal perkembangannya pengusaha batik di Karangkajen yang dimotori oleh para komunitas santri ini memiliki hubungan yang erat dengan Kauman. Komunitas ini merupakan keturunan dari Haji Hasan yang melakukan babat hutan di selatan kraton Yogyakarta untuk mendirikan kampung Karangkajen. Di kampung ini
147
cukup banyak dihuni oleh golongan santri dan haji yang banyak berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat Yogyakarta. Melalui kegiatan perdagangan batik, mereka turut menyebarkan kepentingan dakwah keagamaan. Sejak Ahmad Dahlan menyebarkan paham Muhammadiyah di Karangkajen, para warga di kampung ini terpengaruh dengan kegiatan dakwah yang sekaligus membangun jaringan ekonomi di pelbagai pelosok di Pulau Jawa. Tahun 1950an industri batik muncul sebagai industri yang mempunyai pangsa pasar besar karena sebagai bahan sandang, batik termasuk ke dalam kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Jawa. Keberadaan batik yang mulai menyebar di luar Kraton berdampak positif pada kemunculan sentra-sentra batik yang turut menaikkan taraf hidup masyarakat di Yogyakarta utamanya. Hubungan kekerabatan yang terjalin antara Karangkajen dan Kauman menyebabkan industri batik di Karangkajen semakin dinamis. Banyak pengusaha batik Karangkajen yang menikahkan anaknya dengan anak pengusaha batik di Kauman. Pengusaha batik di Karangkajen yang mulai menjalankan bisnisnya di tahuntahun 1950an umumnya merupakan kelompok pengusaha yang meneruskan bisnis batik milik orang tua mereka. Di tahun pertama menjalankan bisnis batik, anak-anak pengusaha batik ini masih diawasi dan dibantu dalam pengelolaannya. Dalam penjualan hasil produksi, orang tua mereka juga terlibat dalam menyediakan buruhburuh berpengalaman yang dapat dipercaya untuk diperjakan dalam perusahaan milik anaknya.
148
Pengusaha batik di Karangkajen dalam menjalankan bisnisnya mempunyai beberapa strategi usaha, diantaranya yaitu menjaga kualitas produk batik, berbisnis dengan menjual bahan mentah, perdagangan antar kota, iklan di majalah Muhammadiyah dan meng-copy motif batik yang sedang laku dipasaran. Semua strategi tersebut mereka kembangkan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai pengusaha batik yang mempunyai kehidupan ekonomi yang baik dan kuat. Akibat pengaruh dari kepercayaan agama yang mereka anut, mereka dalam hal menjalankan bisnis selalu mempertimbangkannya dengan ajaran agama. Mereka selalu menghindari bentuk-bentuk pengelolaan bisnis yang tidak sesuai dengan keyakinan agama, sepertihalnya berbuat curang dan merugikan orang lain. Meski demikian mereka juga bersikap rasional dalam berbisnis sehingga tidak segan-segan menjalin hubungan bisnis dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, misalnya orang Cina yang beragama Nasrani dan aliran kepercayaan. Asalkan sama-sama menguntungkan, kerjasama yang mereka jalin akan terus dipertahankan. Dalam mengelola industri batik mereka selalu bersemangat dan pantang menyerah dalam bekerja, karena mereka meyakini bahwa dalam Islam bekerja adalah bagian dari ibadah. Strategi bisnis yang mereka kembangkan sepertihalnya menjual bahan mentah tanpa bersusah payah harus mengolahnya sendiri dan meng-copy (nembak) motif batik milik orang lain bukanlah bentuk strategi yang mereka anggap bertentangan dengan agama dan juga tidak merugikan orang lain. Perilaku meng-copy ataupun me-nembak motif tidak dianggap merugikan karena yang mereka copy motifnya masih dalam satu keluarga besar. Mereka menyatakan bahwa, suatu saat
149
nanti saudaranya yang di-copy motifnya akan meng-copy juga motif yang mereka miliki. Selanjutnya, para pengusaha batik Karangkajen ini termasuk ke dalam kelompok pengusaha yang enggan berhubungan dengan bank. Mereka menganggap praktek penyimpanan uang di bank konvensional saat itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Islam dengan keras melarang umatnya untuk memakan uang hasil riba. Mereka memandang bunga bank termasuk ke dalam riba. Para pengusaha batik ini ketika kekurangan modal maka mereka akan meminjamnya kepada sanak famili, sedangkan ketika mereka mendapatkan untung besar dari perdagangan batik hampir tidak ada yang menyimpannya di bank. Mereka lebih banyak mengalihkan hasil keuntungan mereka untuk membeli berbagai macam bentuk investasi seperti tanah, emas dan berlian. Adapula yang menggunakan uang hasil keuntungannya untuk memperbaiki atau memperkuat industri batik yang mereka kelola. Para pengusaha batik di Karangkajen tersebut adalah kelompok pemeluk Islam yang cukup taat sekaligus bertindak sebagai motor penggerak di lingkungan sosialnya. Dengan kekuatan ekonomi yang mereka miliki, mereka membiayai berbagai kegiatan sosial-keagamaan, membangun masjid dan mushola di wilayah sekitar tempat tinggal. Sejak awal tahun 1910an Ahmad Dahlan telah menyebarkan “bibit-bibit” paham Muhammadiyah di Karangkajen ketika paham ini ditolak oleh para penghulu kraton. Paham Muhammadiyah diterima dengan terbuka oleh warga masyarakat Karangkajen. Hal ini selanjutnya berdampak pada penyalurkan aspirasi sosial politik warga Karangkajen yang tidak bisa terlepas dari pengaruh paham tersebut. Mereka sangat yakin bahwa paham Muhammadiyah sudah sesuai dengan Al-
150
Quran dan As-Sunnah. Di Karangkajen Muhammadiyah dipandang sebagai gerakan yang mewakili kepentingan kelas menengah. Dengan bergabung ke dalam organisasi Muhammadiyah pengusaha batik di Karangkajen juga mendapatkan kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengan pengusaha batik di kota lain yang kebanyakan juga anggota Muhammadiyah. Dalam menyalurkan aspirasi bidang politik para pengusaha batik di Karangkajen mendukung berbagai kegiatan politik yang memberikan ruang dan tempat untuk aspirasi umat Islam, seperti dukungan yang mereka berikan kepada Masyumi. Mereka percaya bahwa Masyumi mampu memperjuangkan aspirasi umat Islam di Indonesia. Pada bidang pendidikan, sejak tahun 1923 mereka sudah bekerja sama dengan sesama rekan pengusaha batik di Karangkajen untuk mendirikan sekolah ongko loro. Selanjutnya, mereka mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) Bustanul Al-Athfal pada tahun 1924. Menjelang tahun 1960, mereka kembali mendirikan sebuah sekolah dasar (SD) Muhammadiyah yang berada di sebelah barat Pasar Telo Karangkajen. Kemampuan mereka untuk membangun tempat-tempat pendidikan tersebut salah satunya dikarenakan kuatnya stabilitas ekonomi yang mereka miliki. Mereka juga berkontribusi menyediakan lapangan kerja untuk warga sekitar yang hendak menjadi buruh batik di industri-industri yang mereka miliki. Berawal dari buruh-buruh yang mereka pekerjakan inilah para pengusaha batik di Karangkajen memberikan dakwah keagamaan kepada mereka. Para buruh ini selanjutnya diharapkan bisa menularkan ilmu agama yang sedikit mereka dapatkan dari juragan tempat ia bekerja. Di Karangkajen juga rutin diadakan pengajian
151
keagamaan. Berawal dari pemberian dakwah agama, mereka berkembang untuk memberikan sokongan dana pada kampung-kampung sekitar mereka yang membutuhkan dana untuk membangun tempat ibadah atau kegiatan keagamaan.
152