BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN V.1
Implementasi PNPM MP SPP Suatu kebijakan merupakan suatu ketetapan guna memberikan pedoman
dalam bertindak, yang telah dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu yang pada umumnya berguna bagi banyak pihak. Dalam mencapai tujuan-tujuaan tersebut perlu diadakan implementasi, karena tanpa iplementasi, maka suatu kebijakan hanya akan menjadi dokumen. Adapun tujuan implementasi dari PNPM MP SPP, yaitu: 1.
Mempercepat proses pemenuhan pendanaan usaha
ataupun sosial
dasar Pelaksanaan program Simpan Pinjam bagi kelompok Perempuan (SPP) di Kecamatan Bajo, Kabupaten Luwu sebelumnya memang sudah ada yang dikenal dengan nama Program Pembangunan Kecamatan tepatnya sejak tahun 2003-2007. Kemudian dilanjutkan dengan PNPM PPK pada tahun 2007-2008, lalu berubah menjadi PNPM MPsejak tahun 2008 hingga sekarang. Perubahan tidak hanya terletak pada nama, tetapi upaya peningkatan standar pelaksanaan atau pengelolaan yang lebih baik, misalnya pada upaya sosialisasi, peningkatan pemberdayaan masyarakat serta akuntabilitas pengelolaan yang semakin transparan kepada masyarakat. PNPM MP SPP ini merupakan kegiatan pemberian dana bergulir kepada kelompok perempuan dalam mengembangkan usaha mikro yaitu dengan memberikan akses permodalan yang dibutuhkan oleh pengusaha mikro dan golongan ekonomi lemah secara luas, mudah dan murah.
Tabel V.1 Data jumlah Pinjaman SPP per Desa di Kecamatan Bajo No
Kelurahan / Desa
Jumlah
Alokasi Pinjaman
Kelompok
1
Balla
37
1,872,331,250
2
Sampa
35
1,649,968,750
3
Bajo
32
2,343,985,625
4
Rumaju
29
1,141,118,125
5
Saga
18
420,188,750
6
Jambu
23
2,533,289,750
7
Pangi
30
2,027,362,500
8
Sumabu
30
502,268,750
9
Tallang Bulawang
20
797,930,000
Sumber: Laporan keuangan Sekretariat PNPM MP Kec. Bajo hingga 2012
Berdasarkan data dari tabel diatas serta pemaparan oleh Bendahara UPK kepada peneliti, dapat diketahui bahwa pemberian dana kepada masing-masing desa disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan pengajuan pinjaman per
kelompok. Adapun pengajuan pinjaman tidak boleh melebihi batas maksimum dari jumlah pinjaman yang dialokasikan serta disesuaikan dengan lamanya kelompok dibentuk. Hal ini dapat dipaparkan pada tabel di bawah ini, berdasarkan kategori kelompok dan usaha yang digelutinya: Tabel V.2 Jumlah Pinjaman berdasarkan Kategori Kelompok Penerima SPP Jenis Kelompok
Lamanya Terbentuk
Alokasi Pinjaman/Anggota
Kelompok baru
≤ 2 tahun
≤ 5 juta
Kelompok lama
≥ 2 tahun
≥ 5 juta
Tabel V.3 Jumlah Pinjaman berdasarkan Jenis Usaha Kelompok Penerima SPP Jenis Usaha
Usaha kecil
Usaha sedang
Usaha musiman
Alokasi Pinjaman/Anggota
≤ 5 juta
5-10 juta
10-20 juta
Sumber: Sekretariat PNPM MP Kec. Bajo, 2008 Berdasarkan kedua tabel di atas, dapat diketahui bahwa pengajuan pinjaman telah diatur berdasarkan kategori dan jenis usaha kelompok penerima
SPP. Kelompok baru, yaitu kelompok yang baru terbentuk kurang lebih 2 tahun, pinjaman yang diajukan tidak boleh lebih dari lima juta rupiah sedangkan kelompok lama yaitu kelompok yang sudah terbentuk lebih dari 2 tahun (telah terbentuk semenjak PPK tahun 2003), pengajuan pinjamannya boleh di atas lima juta rupiah. Namun, selain melihat dari aspek kategori kelompok, juga disesuaikan dengan jenis usaha yang digelutinya. Bagi yang menggeluti usaha kecil (usaha kantin/warung, penjual sayuran dan sebagainya di pasar-pasar), maka peminjaman tidak lebih dari lima juta rupiah, sedangkan usaha sedang (pemilik toko-toko kecil, dsb) hanya bisa mengajukan pinjaman berkisar lima hingga sepuluh juta rupiah, dan yang terakhir usaha musiman (pedagang cokelat/kakao/cengkeh, beras, buah, dll) dapat mengajukan pinjaman berkisar sepuluh hingga dua puluh juta rupiah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Akbar selaku ketua UPK, yang mengemukakan bahwa: “Dengan adanya program SPP ini dapat membantu masyarakat khusnya Rumah Tangga Miskin dalam memperoleh pinjaman modal usaha dengan lebih mudah dan dengan bunga yang lebih rendah. (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian dana SPP ini memberikan manfaat besar bagi penerima yang ada di Kecamatan Bajo. Ini dikarenakan syarat yang perlu dipenuhi tidak serumit yang diajukan oleh pihak bank, dan bunga atas pinjaman dana SPP lebih rendah dibandingkan bunga kredit pada bank. Hal ini di kemukakan oleh Ibu Asmawati selaku bendahara pada UPK bahwa: “Bunga yang di kenakan pada pinjaman SPP adalah sebesar 2% menurun, dan bunga tersebut selalu lebih rendah dibandingkan bunga dari bank.” (Hasil wawancara pada tanggal 10 Maret 2012)
Beliau juga menambahkan bahwa:
“Dalam SPP tidak memberikan jaminan kepada UPK seperti pada bank, tetapi dengan memberikan jaminan kepada kelompok, yang dipegang oleh ketua kelompok, yang disebut sebagai tanggung renteng”. Selain itu, kebutuhan akan sosial dasar masyarakat juga sedikit terpenuhi, misalnya dalam aspek kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal yang layak dihuni serta peningkatan standar hidup yang lebih baik. Hal senada diutarakan oleh Ibu Darma, salah satu pemanfaat SPP bahwa: “Saya sangat bersyukur bisa ikut program SPP ini, benar-benar sangat membantu. Selain karena lebih mudah dalam memperoleh pinjaman buat modal usaha, bunganya juga lebih rendah, dan selain itu, proses pengembaliannya juga tidak begitu memberatkan.” (Hasil wawancara pada tanggal Maret 2012)
Selain itu, beliau menambahkan bahwa: “Selama saya mengikuti program ini, kehidupan keluarga saya jauh lebih membaik. Hasil dari usaha saya lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya. Anak-anak dapat bersekolah dengan baik tanpa harus memusingkan biaya sekolah mereka lagi dan Alhamdulillah, atap rumah kami yang dulunya bocor bisa kami perbaiki. Ini semua bermula berkat modal yang saya peroleh dari program SPP ini.” Akan tetapi, adapun hambatan yang muncul pada implementasi program SPP ini, yaitu belum sinkronnya antara tujuan awal program dengan kepentingan dari penerima SPP. Seperti halnya yang terjadi pada sebagian penerima SPP di Kecamatan Bajo. Dalam implementasinya, sasaran program SPP ini belum sepenuhnya tepat. Hal ini dikarenakan sebagian dari penerima SPP ini adalah kelompok ibu rumah tangga yang tidak produktif. Jadi dana SPPnya tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian untuk membiayai kebutuhan sekolah anak-anak mereka. Seperti pernyataan dari Ibu Yuli, juga salah satu pemanfaat SPP yang mengemukakan bahwa: “Sebernarnya, saya ikut menjadi anggota penerima SPP ini memang awalnya dengan mengajukan proposal usaha. Tetapi karena kemarin ada
sedikit masalah, jadi dana itu saya gunakan, yah untuk keperluan sekolah anak-anak dan juga kebutuhan sehari-hari.” (Hasil wawancara pada tanggal 16 Maret 2012)
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibu Sitty, bahwa: “Dananya memang mau saya gunakan untuk modal usaha, tapi saat itu situasi tidak memungkinkan, yaitu gagal panen, jadi dana itu terpaksa saya gunakan untuk keperluan keluarga.” Beliau juga menambahkan bahwa: “Kalau mengenai pengembalian pinjamannya, kan suami saya PNS ji, jadi ada-ada ji dipakai bayarkan, biarpun ta’ lama baru dibayar, tidak marah ji pegawainya.” (Hasil wawancara pada tanggal 16 Maret 2012)
Dari hasil wawancara diatas, dapat dikatakan bahwa, melihat dari aspek kepentingan kelompok sasaran, ternyata masih terkendala. Dana SPP yang diperoleh yang harusnya untuk usaha, tidak lagi digunakan sebagaimana yang menjadi tujuan awalnya, melainkan digunakan untuk kepentingan konsumsi keseharian. Hal inilah yang biasanya menyebabkan terjadinya penunggakan karena tidak ada usaha berarti juga tidak ada pendapatan untuk membayar pinjaman. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Asmawati selaku Bendahara UPK, beliau menyatakan bahwa: “Memang salah satu masalah yang selalu dihadapi dalam program SPP ini pastinya adalah tunggakan-tunggakan. Kami memberikan dana kepada mereka sebagai modal untuk usaha, tetapi karena ada sedikit masalah, membuat mereka harus menggunakan dana tersebut untuk keperluan kesehariannya. Misalnya saja, yang ingin menggeluti usaha musiman, tetapi karena adanya perbaikan bendungan, sehingga mengakibatkan gagal panen selama 3 tahun berturut-turut.” (Hasil wawancara pada tanggal 10 Maret 2012)
Dalam hal ini, karena yang menjadi tujuan awal program ini adalah bagaimana untuk memudahkan masyarakat dalam pemenuhan pendanaaan usahanya, maka kelompok penerima SPP haruslah jelas. Artinya, kepentingan kelompok sasaran perlu diperhatikan dalam sebuah program kebijakan. Dengan
mengetahui
kepentingan
kelompok
sasaran
maka
akan
mempermudah
pencapaian efisiensi dan efektivitas dari setiap program yang dilaksanakan. Kepentingan kelompok sasaran berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya (Nawawi, 2007:135). 2.
Pemberian kesempatan kaum perempuan dalam peningkatan ekonomi rumah tangga Melalui PNPM MP SPP
dirumuskan kembali
mekanisme upaya
penanggulangan kemiskinan melalui pemberian dana bergulir yang melibatkan masyarakat yaitu dari kaum perempuan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantau dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partispatif, kesadaran kritis dan kemandirian kaum perempuan, terutama Rumah Tangga Miskin (RTM) produktif dapat ditumbuh kembangkan sehingga mereka bukan sebagai objek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Pada point ini, ingin dijelaskan seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan, dimana target tersebut harus mempunyai skala yang jelas. Oleh sebab itu, setiap program yang dilaksanakan tentu saja bertujuan untuk memperbaiki atau mengubah kondisi yang ada menjadi kondisi yang lebih baik dan dapat menguntungkan semua pihak, yaitu pemerintah sebagai implementor dan juga masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bajo, Bapak Nazruddin Salla yang mengutarakan bahwa: “Semenjak program SPP ini ada, kondisi kehidupan warga lebih membaik dari sebelumnya. Dulunya mereka hanya mengandalkan Raskin dan dana sosial dari kecamatan, tetapi sekarang mereka lebih mandiri.” (Hasil wawancara pada tanggal 27 Maret 2012)
Hal senada yang diutarakan oleh Ibu Pipit, bahwa: “Memang dulunya saya sangat bergantung pada Raskin dan dana sosial dari kecamatan, yah bisa dibilang mengandalkan subsidi lah. Tetapi sekarang alhamdulillah, saya bisa lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga saya.” (Hasil wawancara pada tanggal 17 Maret 2012)
Bagitupun dengan yang diutarakan oleh Ibu Umbia, bahwa: “Iya dulu pas ada Raskin, saya sering rebutan dengan yang lain untuk bisa mendapatkannya. Tetapi sekarang, berkat program SPP ini, saya sudah bisa beli beras sendiri dengan uang hasil usaha saya. Memang sih pendapatannya tidak begitu banyak, tetapi Alhamdulillah lumayan buat penuhi keperluan rumah tangga.” (Hasil wawancara pada tanggal 17 Maret 2012)
Dari beberapa hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa sebelum adanya program SPP ini, masyarakat khususnya kaum ibu rumah tangga yang tergolong kurang mampu, hanya mengandalkan bantuan atau sejenis subsidi berupa raskin ataupun dana sosial dari kecamatan atau dengan kata lain kelangsungan hidup mereka benar-benar sangat tergantung pada bantuan tersebut. Tetapi setelah program tersebut dijalankan dan diikuti oleh kaum ibu rumah tangga yang kurang mampu itu, keadaannya pun kini membaik. Mereka akhirnya lebih mandiri dan bisa mengusahakan sendiri kebutuhan untuk kelangsungan hidup mereka beserta keluarganya. Adapun pernyataan Ibu Fatimah, salah satu pemanfaat SPP yang menyatakan bahwa: “Memang SPP ini sangat membantu, sebab saya dapat menambah modal usaha saya yaitu usaha kantin di sekolah. Dulunya, karena modal hanya sedikit, saya hanya bisa menjual makanan seadanya saja, tetapi berkat
dana SPP ini, ada penambahan modal usaha, saya jadi bisa menjual berbagai jenis makanan”. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa: “Mengenai perubahan setelah ikut program ini, yang pastinya ada sedikit peningkatan dibanding sebelumnya. Jika diperkirakan, mungkin hampir dua kali lipatnya dari pendapatan saya sebelumnya”. (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Bariah salah seorang pemanfaat dana SPP, yang memiliki usaha bengkel, menyatakan bahwa: “Alhamdulillah dana pinjaman dari SPP sangat membantu penambahan modal saya”. Kalau mau dirata-ratakan kenaikan pendapatan saya sebulan mungkin sekitar 40-50% dibanding sebelumya”. (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti atas pemanfaat tersebut, maka dapat diketahui bahwa memang terdapat peningkatan terhadap usaha mereka. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dana SPP dapat membantu bagi pemenuhan peningkatan modal usaha dan pendapatan bagi para pemanfaatnya. Akan tetapi, setelah peneliti melakukan observasi mengenai para penerima dana SPP ini, dalam implementasinya di Kecamatan Bajo, ternyata terdapat beberapa kelompok penerima SPP yang tidak tepat. Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi kelompok Rumah Tangga Miskin (RTM) yang produktif, ternyata diberikan kepada kelompok yang bisa dikatakan sudah mapan atau memiliki usaha yang pendapatannya lumayan besar (tidak tergolong ke dalam RTM). Misalnya saja dengan Ibu Nurfaidah, salah satu pemanfaat SPP yang yang menggeluti usaha keramik dan elekton (jasa musik untuk suatu acara/perkawinan). Beliau mengatakan bahwa: “Bisa dibilang pendapatan saya memang sudah mencukupi untuk keperluan sehari-hari keluarga saya, begitupun dengan kebutuhan
sekolah anak-anak. Tetapi saya ikut program ini ingin mengembangkan usaha saya biar pendapatannya bisa lebih meningkat dari sebelumnya”. (Hasil wawancara pada tanggal 17 Maret 2012)
Setelah dikonfirmasi dengan Ibu Rumaesah selaku Fasilitator Kecamatan, ia mengemukakan bahwa: “Sasaran SPP memang seharusnya untuk kelompok RTM yang produktif, tetapi jika itu yang diterapkan sepenuhnya, bisa-bisa modal pinjaman yang telah diberikan tidak dapat dikembalikan. Jadi diusahakan bagaimana caranya supaya dananya bisa kembali. Dana yang kemarin saja belum seluruhnya kembali, masih banyak tunggakan-tunggakan.” Beliau juga menuturkan bahwa: “Meski bisa dikatakan memang sepenuhnya tidak tepat sasaran, tetapi ada juga penerima SPP yang asli tergolong RTM yang produktif. Mereka memberikan keyakinan bahwa ia mampu mengikuti prosedur program ini, jadi apa salahnya kalau mereka diberi kesempatan mengingat program ini memang diperuntukkan bagi orang-orang seperti mereka. Selain itu, kelompok penerima SPP ini, tidak diperuntukkan bagi ibu-ibu PNS.” (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Dari pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa pihak pengelola berupaya agar dana SPP dapat dikembalikan, jadi sebagian dari penerima SPP ini harus jelas atau dengan kata lain, jika ia tidak memiliki pendapatan, maka suaminya lah yang menjadi patokannya apa pekerjaannya atau apakah suaminya PNS atau tidak. Tetapi SPP itu tidak diperuntukkan bagi ibu rumah tangga yang menjabat sebagai PNS. Implementasi suatu program diharapkan dapat tepat sasaran kepada mereka yang memang layak untuk menjadi sasaran dari program yang ada. Ketepatan program harus perlu diperhatikan oleh para implementor, hal ini karena apabila terjadi kekeliruan akan berdampak adanya kesia-siaan dari program yang dilakukan. Selain itu, berdasarkan telaah dokumen Laporan Fasilitator yang peneliti lakukan, dapat diketahui bahwa pada Kecamatan Bajo terdapat dua desa yang tidak memiliki pinjaman dana SPP, yaitu Desa Samulang dan Buntu Babang.
Ketika dikonfirmasi dengan Fasilitator, beliau menyatakan bahwa desa yang tidak memiliki pinjaman kepada UPK tersebut diakibatkan karena pada saat penggalian gagasan masyarakat, yaitu pertemuan kelompok-kelompok/dusun untuk menemukan gagasan-gagasan sesuai kebutuhan masyarakat terutama RTM, desa mereka lebih membutuhkan bantuan pembangunan fisik. Sehingga pada saat perengkingan usulan kegiatan, maka usulan SPP hanya terletak pada prioritas bawah, dan adapula yang gagal pada tahap verifikasi usulan. Pada dasarnya terdapat usulan atas dana pinjaman modal SPP, namun melewati tahap-tahap untuk menentukan proritas usulan, program tersebut tidak berada pada prioritas paling mendesak. Meskipun tidak ada batasan alokasi maksimal per desa, namun harus mempertimbangkan hasil verifikasi kelayakan kelompok, oleh karena itu pada beberapa desa memiliki pinjaman yang lebih besar disbanding desa yang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh kepala lingkungan Bapak Siro bahwa: “Kami juga memang mengusulkan dana SPP, hanya saja ketika diadakan perenkingan berada urutan bawah, sehingga yang diprioritaskan adalah perbaikan fisik jalan desa”. (Hasil wawancara pada tanggal 19 Maret 2012)
Beberapa keterangan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Selain itu, terdapat beberapa desa yang tidak memperoleh pinjaman SPP, karena usulan dana SPP tidak berada pada prioritas yang paling mendesak. Berdasarkan berbagai keterangan di atas dapat diketahui bahwa masih terdapat warga di dua desa tersebut yang belum meperoleh pinjaman dana SPP karena adanya usulan lain yang mendesak bagi desa mereka, sehingga belum begitu maksimal dalam pemerataan pencapaian tujuan peningkatan ekonomi rumah tangga seluruh kelompok perempuan warga desa yang ada.
3.
Mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan Pengembangan kelembagaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
lembaga terutama lembaga lokal dalam melaksanakan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga tahap evalusi. Melalui program SPP ini diharapkan dapat mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam bagi kaum perempuan, sehingga partispasi perempuan dalam pembangunan dapat lebih dimaksimalkan. Berdasarkan buku Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang menyatakan bahwa salah satu prinsip dasar dari implementasi Program PNPM MP adalah “Kesetaraan dan keadilan gender”, dimana masyarakat baik laki-laki maupun perempuan mempunyai keseteraan dalam perannya di setiap tahapan program dan dalam menikmai manfaat manfaat kegiatan pembangunan. Untuk menncapai kesetaraan dan keadilan gender, maka salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan pemihakan kepada kaum perempuan. Sebagai salah satu wujud kepemihakan kepada perempuan, PNPM Mandiri Perdesaan mengharuskan adanya keterlibatan perempuan sebagai pengambil keputusan dan pelaku pada semua tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian.
Kepentingan
perempuan
harus
terwakili
secara
memadai.
Pemihakan memberi makna berupa upaya pemberian kesempatan bagi perempuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, ekonomi dan politik serta mengakses asset produktif. Usaha mendorong perempuan dalam penguatan kelembagaan, salah satu diantaranya dengan diadakannya Musyawarah Khusus Perempuan (MKP), yang dihadiri oleh kaum perempuan, yang bertujuan untuk mengajak kaum perempuan dalam menangani permasalahan penyebab kemiskinan. Pada MKP
inilah diadakan pertemuan-pertemuan khusus perempuan untuk menggali gagasan
dan
menumbuhkembangkan
apresiasi
masyarakat
terhadap
pembangunan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa partisipasi masyarakat sangat memiliki peranan yang tidak kalah penting terhadap pembangunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Lurah Bajo, Bapak Dahar, yang mengemukakan bahwa: “Begitu banyak manfaat yang diperoleh dengan adanya program SPP ini, misalnya saja partisipasi masyarakat dari kalangan perempuan saat ini lebih aktif dalam aspek pembangunan khususnya dalam peningkatan kesejahteraan keluarga.” Beliau juga menambahkan bahwa: “Para istri tidak lagi hanya tinggal diam di rumah untuk menunggu hasil keringat dari suaminya, melainkan bisa lebih produktif dan merasakan hasil usahanya sendiri.” (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Berkenaan dengan antusias masyarakat lainnya terhadap program ini, dapat dikatakan sangat aktif. Hal ini terlihat dari partisipasi masyarakat yang sangat besar terhadap program SPP ini, bahkan pihak luar mengaku bahwa partispasi masyarakat di Kecamatan Bajo atas program ini patut diacungkan jempol. Hal ini dikarenakan, lebih dari 100 kelompok SPP yang telah terbentuk di Kecamatan Bajo dan tentu saja ini berarti bahwa keinginan masyarakat untuk lebih mandiri dan terus maju dalam menciptakan suatu perubahan khususnya dalam rangka membangun masyarakat dan keluarga yang lebih sejahtera, sangat besar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bapak Akbar selaku ketua UPK, bahwa: “Partisipasi masyarakat terhadap program SPP ini, sangat besar tentunya, bahkan pihak Bank mengacungkan jempol atas partisipasi masyarakat yang begitu antusias terhadap program SPP ini.”
Beliau juga menambahkan: “Sampai sejauh ini, sudah terbentuk lebih dari 100 kelompok penerima SPP. Tahun inipun telah ada beberapa calon kelompok SPP yang telah mengajukan proposal mereka. Dan mungkin saja, kelompok pemanfaat SPP ini akan semakin bertambah setiap tahunnya ”. (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa semakin banyak masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam program ini, maka akan semakin bagus, sebab itu berarti mereka benar-benar memiliki keinginan yang sangat kuat untuk bisa lebih maju dan madiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya. Akan tetapi di luar dari pada itu, berdasarkan keterangan dari Ibu Fatimah, yang menyatakan bahwa: “Kalau misalnya ada pertemuan kelompok, biasanya agak sulit saya ikuti karena kesibukan sehari-hari, berhubung karena usaha saya adalah usaha kantin di sekolah, jadi setiap harinya selain daripada hari Minggu saya ada di sekolah, jadi biasanya ikut jika pada hari Minggu saja”. Hal ini juga diperkuat dengan penjelasan dari Bapak Acca selaku Pendamping Lokal yang menyatakan bahwa: “Salah satu kendala yang dihadapi, yaitu kadangkala jadwal pertemuan atau musyawarah yang bertepatan dengan suatu acara maupun kesibukan masyarakat, menyebabkan mereka jarang mengikuti pertemuan”. (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Berdasarkan dari wawancara tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa antusias masyarakat untuk menigukti program ini sangat baik. Meski demikian, upaya untuk memaksimalkan penguatan lembaga simpan pinjam oleh kaum perempuan, sejauh ini belum maksimal, yang disebabkan oleh masih kurangnya tingkat partisipasi kaum perempuan, yang disebabkan oleh karena adanya kesibukan aktivitas sehari-hari. V.2
Faktor-faktor yang mempengruhi implementasi PNPM MP SPP
Implementasi sebagai suatu proses merupakan salah satu tahapan atau bagian dari keseluruhan proses pencapaian tujuan dari suatu kebijakan atau program. Dalam implmentasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh berbagai faktor , begitupun dengan implementasi PNPM MP SPP yang ada di Kecematan Bajo. Sesuai dengan tujuan awal penelitian ini, bagaimana
pengaruh
faktor
yaitu hendak melihat
komunikasi, sumberdaya,
lingkungan terhadap pelaksanaan implementasi
isi kebijakan
dan
PNPM MP SPP yang ada
di Kecematan Bajo, maka berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti, maka dapat dijabarkan faktor-faktornya sebagai
berikut:
1. Komunikasi Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi sangat penting, karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, dimana komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan di masayarakat. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu: a. Transmisi atau penyampaian informasi. Proses penyampaian informasi merupakan upaya memperkenalkan dan menyebarluaskan informasi mengenai program PNPM MP kepada masyarakat. Upaya ini juga diharapakan menjadi media pembelajaran mengenai konsep, prinsip, prosedur kebijakan, visi misi program, tahapan pelaksanaan dan hasil pelaksanaan PNPM MP kepada masyarakat luas dalam hal ini adalah masyarakat pemanfaat SPP.
Proses
penyampaian informasi dilakukan antara pembuat kebijakan
dengan implementor menyangkut keterkaitan antara keputusan yang telah dibuat dengan
aturan
pelaksanaan,
mengenai
sehingga
mengimplementasikan
pelaksanaannya,
implementor program.
tidak
termasuk
mengalami
Berdasarkan
petunjuk
teknis
kesalahan
dalam
penjelasan
dari
Fasilitator
Kecamatan, Ibu Rumaesah yang menyatakan bahwa: “Proses penyampaian informasi kepada para implementor mengenai tata cara pelaksanaan program yaitu melalui rapat koordinasi yang dilakukan di tingkat kabupaten.” Beliau juga menambahkan bahwa: “Jika mengenai laporan hasil pelaksanaan Program SPP, yaitu setiap dua minggu sekali, sedangkan laporan keuangan mengenai pengembalian dana SPP, dilakukan pada tiap akhir bulan, dan adapula laporan bulanan yang dikirim melalui email ke kabupaten.” (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Berdasarkan
hasil
wawancara
di
atas,
dapat
diketehui
bahwa
penyampaian informasi kepada pelaksana di kecamatan, diberikan melalui rapat koordinasi yang dilakukan di tingkat kabupaten, sedangkan penyampaian informasi atas laporan pelaksanaan program yaitu dilakukan sekali dalam dua minggu, kemudian mengenai laporan pengembalian dana SPP yaitu setiap akhir bulan dan adapula laporan bulanan yang penyampaiannya dengan melalui email. Selain penyampaian informasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana program seperti yang telah dikemukakan diatas, maka yang tidak kalah pentingnya adalah penyampaian informasi dari pelaksana program kepada target group, agar
dapat memahami sasaran ataupun tujuan dari program
tersebut. Adapun pada PNPM MP SPP ini sistem penyampaian isi dan tujuan program
kepada masyarakat, dilakukan melalui proses sosialisasi yaitu
musyawarah desa. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak Acca selaku Fasilator Pendamping yang menyatakan bahwa:
“Proses sosialisasi kepada masyarakat pada awalnya melalui MAD sosialisasi tingkat kecamatan yang dihadiri oleh wakil dari setiap desa yang terdiri dari 6 orang. Setelah itu, di tingkat desa keenam wakil-wakil tersebut melakukan Musdes sosialisasi untuk disampaikan ke semua warganya di desanya” (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Hal ini juga dibenarkan oleh Ibu Bariah yang mengemukakan bahwa: “Informasinya itu disampaikan pada saat musdes sosialisasi bersama dengan program-program PNPM yang lain, jadi masyarakat yang ikut musdes itu tahu mengenai SPP.” (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Akan tetapi berdasarkan pernyataan dari Ibu Fatimah bahwa: “Kalau informasi awal tentang SPP, saya dapatnya dari kenalan saya, yang kebetulan merupakan salah satu pegawai di kantor itu, jadi saya langsung tanyakan kepada ibu-ibu tetangga untuk ikut serta dan membentuk satu kelompok.” (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Berdasarkan hasil wawancara
tersebut
diatas
diketahui
bahwa
penyampaian informasi dari pelaksana yaitu melalui MAD (Musyawarah AntarDesa) sosialisasi di tingkat kecamatan yang dihadiri oleh 6 orang untuk mewakili desanya masing-masing. Kemudian dilakukan Mudes (Musyawarah Desa) sosialisasi untuk disampaikan kesemua warganya. Tetapi adapula pemanfaat yang memperoleh informasi melalui tetangga atau rekannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu Umbia bahwa: “Kalau proses sosialisasi di kantor desa jarang saya ikuti karena faktor sibuk. Jadi biasanya, ketua yang ikut langsung, lalu dari ketualah informasi dilanjutkan ke anggota kelompoknya.” (Hasil wawancara pada tanggal 12 Maret 2012)
Hal ini juga dibenarkan oleh Bapak Rahman Selaku Fasilitator Teknis Kecamatan, bahwa: “Memang biasanya tidak semua anggota kelompok menghadiri pertemuan sosialisasi karena kesibukan, jadi tiap kelompok biasanya diwakili oleh beberapa anggotanya atau bahkan hanya ketuanya saja. Oleh sebab itu, penyampaian isi program, visi dan misinya tidak maksimal kepada seluruh pemanfaat.” (Hasil wawancara pada tanggal Maret 2012)
Sehingga berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa bagi beberapa pihak pemanfaat hanya memperoleh informasi melalui ketua kelompok atau anggota kelompok yang lain. Hal ini menyebabkan penyampaian visi dan misi program dari pelaksana atau implementor kepada pemanfaat SPP belum berjalan secara optimal. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah apakah informasi menganai tujuan dan sasaran program sudah diketahui seutuhnya serta dipahami oleh pemanfaat dana SPP atau belum. Adapun pemaparan dari Ibu Mimi yang menyatakan bahwa: “Bagi saya informasi atas program SPP sudah cukup, kan semuanya sudah dijelaskan melalui musyawarah dan pada saat sosialisasi program.” Selain itu, berdasarkan penuturan dari Ibu Fatmawati bahwa: “Kalau tujuannya saya tau untuk modal usaha agar meningkatkan kesejahteraan, tapi kalau visi misinya secara lengkap, saya kurang hapal.” Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tujuan umum dari program SPP telah dipahami jelas oleh pemanfaat, meskipun secara detail mengenai visi dan misi program SPP belum dipahami secara keseluruhan oleh pemanfaat. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya partisipasi pemanfaat dalam mengikuti seluruh kegiatan baik sosialisasi maupun pelatihan yang diadakan pelaksana program. Melalui komunikasi berupa penyampaian informasi dengan baik dalam proses implementasi kebijakan dapat menyadarkan semua pihak yang terlibat agar mereka tahu apa yang menjadi tujuan dan sasaran program, sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya. Begitupn dengan implementasi PNPM MP SPP ini, perlu adanya penyampaian informasi yang baik kepada seluruh
target groups, sehingga mereka tahu mengenai keberadaan serta tujuan program SPP tersebut. Selain itu, perlu adanya bentuk penyampaian informasi yang lebih menjangkau keseluruhan lapisan masyarakat, begitupun dari sisi masyarakat itu sendiri sebagai komunikan, perlu ditumbuhkan kesadaran untuk lebih partispatif dalam proses penerimaan informasi tersebut agar informasi yang ada dapat tersampaikan dengan baik kepada semua pihak yang terkait. b. Kejelasan informasi Selain penyampaian informasi mengenai prosedur dan tujuan program, maka aspek lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu adanya kejelasan atas informasi yang disampaikan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kebingungan dan perbedaan persepsi antara keinginan komunikator dengan penerima informasi. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Akbar Selaku ketua UPK bahwa: “Petunjuk pelaskanaan atas hal-hal yang mesti dilakukan oleh pelaksana, sejauh ini saya rasa sudah jelas dan dipahami oleh semua pihak yang terlibat, semuanya sudah tahu apa yang menjadi kewajiban masingmasing dan prosedur pelaksanaannya. Selain itu, fasilitator dan pelaksana pada UPK sudah dibekali dengan buku petunjuk pelaksanaan juga terdapat pelatihan penyegaran.” (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Berdasarkan penjelasan fasilitator tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kejelasan informasi bagi pelaksana sejauh ini sudah baik, selain itu semuanya
telah dijelaskan
dalam
petunjuk
peaksanaan
dan
pelatihan
penyegaran. Dengan adanya kejelasan informasi mengenai tujuan dan petujuk pelaksanaan, maka dapat mendukung dalam pelaksanaan guna pencapaian tujuan. Misalnya saja dalam proses penggalian gagasan hingga penetapan usulan,
para
pelaksana
maupun
masyarakat
harus
tahu
betul
tahap
pelaksanaannya. Dengan demikian, akan lebih teratur dan dapat berjalan secara efektif. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam Bahan Bacaan Penyegaran
Fasilitator Kecamatan Tahun 2008, yang menjelaskan
proses tahapan program SPP, yaitu: a. MAD sosialisasi b. Musdes sosialisasi c. Musyawarah dusun d. Musyawara Desa dan musyawarah Khusus Perempuan (MKP) e. Verifikasi, berupa penetapan formulir verifikasi dan proses pelaksanaan vertifikasi yang mencakup beberapa persyaratan. f.
MAD prioritas usulan
g. MAD penetapan usulan h. Penetapan persyaratan Sementara proses pergulira dana juga melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a. Pengajuan proposal b. Verifikasi usulan c. MAD perguliran d. Pencairan dana e. Pembinaan kelompok Berdasarkan dari pernyataan tersebut di atas, jadi dapat diketahui bahwa prosedur yang dibutuhkan dalam implementasi SPP telah diatur dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO), begitupun dengan proses pencairan dana SPP, perlu melalui berbagai tahapan. Oleh karena itu, informasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat
yang
hendak
menjadi
pemanfaat
program SPP,
sehingga
masyarakat tersebut tahu mengenai keberadaan program SPP ini dan persyaratan yang dibutuhkan. Adapun menurut pernyataan dari Ibu Darma selaku pemanfaat SPP bahwa: “Telah ada informasi mengenai program SPP ini pada masyarakat karena sebelumnya telah disampaikan oleh pihak kantor desa kepada beberapa warganya, kemudian infonya dari mulut ke mulut. Cuma masalahnya informasi mengenai tata cara pengusulannya masih kurang dikalangan masyarakat, mereka hanya tau programnya ada. Jadi biasanya kalau mau mengurus untuk kelompok itu agak susah karena beberapa anggota yang tidak menyiapkan sebelumnya berkas yang dibutuhkan misalnya KTP, hal ini karena mereka kurang informasi, tapi sebenarnya informasi kayak begitu bisa dapat di UPK.” (Hasil wawancara pada tanggal 14 Maret 2012)
Berdasarkan pemaparan di atas dan dengan melihat kondisi di lapangan, justru tahapan-tahapan tersebut lah yang menyebabkan masyarakat terkadang merasa jenuh. Bahkan, kadangkala menimbulkan kekecewaan bagi pihak masyarakat pada saat usulan mereka telah melewati serangkaian tahap, namun gagal oleh satu tahap saja. Selain itu, sebagian dari pemanfaat SPP memperoleh informasi dari mulut ke mulut, sehingga menyebabkan mereka kurang paham dengan prosedur pelaksanaan dari SPP itu sendiri. Hal ini tentu dapat menghambat upaya pencapaian tujuan implementasi yaitu untuk mempercepat proses pemenuhan kebutuhan pendanaan usaha. Oleh karena itu. perlu adanya solusi penyederhanan atas alur tahapan tersebut, namun tetap mengedapankan skala prioritas dari tiap usulan. Sehingga mempermudah dalam percepatan pemenuhan pendanaan usaha bagi kelompok perempuan. Kejelasan informasi yang disampaikan merupakan hal yang penting agar seluruh pihak yang terkait dapat mengerti maksud dan tujuan informasi tersebut dan
dapat
menyebabkan
menjalankan kesalahan
fungsinyya. persepsi
Adapun
bagi
ketidakjelasan
penerima,
yang
informasi
menyebabkan
implementasi dapat melenceng dari tujuan awal, begitupun yang terjadi di desa Jambu dimana adanya persepsi masyarakat bahwa dana tersebut bukanlah dana bergulir. Oleh karena itu dalam komunikasi perlu memperhatikan dan memastikan kejelasan informasi agar dipahami oleh semua pihak, hal tersebut dapat berupa pelayanan kontak masyarakat dan pelaksana, serta upaya aktif dari semua pihak dalam mencari kejelasan informasi. c. Konsistensi informasi Dalam komunikasi antara pelaksana program, tidak hanya merupakan suatu proses penyampaian pesan, tetapi juga merupakan proses interaksi yang saling mempengaruhi antara pihak-pihak yang terlibat. Oleh karena itu diperlukan adanya
konsistensi
dan
kepastian
informasi
yang
disampaikan
harus
diperhatikan, agar tidak berbeda diantara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Menurut pendapat dari Fasilitator Kecamatan, mengemukakan bahwa: “Informasi mengenai petunjuk pelaksanaan program sudah sama diantara pihak-pihak yang terlibat karena kalau tidak konsisten dapat menyebabkan masyarakat bingung.” Selain itu menurut penjelasan dari Ibu Bariah bahwa: “Sejauh ini dalam pelaksanaannya sudah tepat, sesuai dengan informasi yang kita peroleh mengenai alur tahap pelaksanaan program SPP, maupun persyaratan yang dibutuhkan yang disampaikan sebelumnya pada saat musdes sosialisasi” (Hasil wawancara pada tanggal 20 maret 2012)
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan SPP telah ada konsistensi sesuai dengan informasi yang sudah diberikan sebelumnya. Konsistensi atas informasi yang disampaikan diperlukan guna menghindarkan kebingingan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Begitupun dengan pelaksanaannya pada program SPP ini, telah konsisten sesuai alur tahapan yang telah disampaikan sebelumnya,
dimana suatu tahap baru dapat dijalankan apabila tahap sebelumnya (sesuai dengan aturan) telah terlaksana. 2. Sumber Daya Sumber daya merupakan salah satu faktor penting dalam proses implementasi suatu program ataupun kebijakan , dimana
tanpa adanya
dukungan dari sumber daya yang memadai, baik itu berupa jumlah maupun kemampuan ataupun keahlian implementor program. Selain itu dalam aspek sumber daya juga perlu didukung oleh bagaimana ketersediaan informasi guna pengambilan keputusan, kewenangan, serta fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program. a. Staf Dalam hal ini yaitu dari aspek kuantitas dan kualitas pelaksana. Dalam implementasi suatu program tentu saja diperlukan pelaksana guna mendukung terlaksananya
program
dengan
baik.
Tanpa
adanya
personil
untuk
melaksanakan suatu program, maka kebijakan apapun tidak dapat berjalan dan hanya akan tinggal dokumen tanpa adanya realisasinya. Oleh karena itu ketersediaan pelaksana yang cukup serta berkompetensi dalam mendorong keberhasilan kebijakan sangat diperlukan.
Tabel V.4 Pelaksana pada Sekretariat PNPM Kec. Bajo Posisi
PJOK
Pelaksana
Kasman, SE
Tingkat Pendidikan
S1
Fasilitator Kecamatan
Rumaesah Sakartani, ST
S1
Ir. A. Rahman M.
S1
Fasilitator Teknis Kecamatan
Pendamping Lokal
Arsyad
Posisi
SMA
Pelaksana
Tingkat Pendidikan
Unit Pengelola Kegiatan (UPK): Muh. Akbar A. Mt - Ketua
D-3 Fitri Niladewi
- Sekertaris
SMA Asmawati A. Agam
- Bendahara
SMA
Sumber: Profil Pengurus PNPM MP
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa untuk menduduki posisi pelaksana pada PNPM, telah memiliki persyaratan dan seleksi khusus. Selain dari pada pelaksana di atas, berdasarkan Bahan Bacaan Penyegaran Fasiltator Kecamatan Akses BLM-SPP Tahun 2008, juga dijelaskan beberapa pelaku PNPM MP di kecamatan yaitu sebagai berikut: 1.
Camat, berperan sebaga Pembina pelaksanaan PNPM MP pada desa-desa di kecamatan.
2.
Tim Verifikasi (TV), melakukan pemeriksaan serta penilaian usulan kegiatan semua desa peserta PNPM MP dan selanjutnya membuat rekomendasi kepada BKAD/MAD sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan.
3.
Tim Pengamat, memantau dan mengamati jalannya proses diskusi MAD, serta
memberikan
masukan/saran
agar
dapat
berlangsung
secara
partisipatif. 4.
Setrawan Kecamatan, melaksanakan tugas akselerasi perubahan sikap mental
di
kalangan
kepemerintahan
lingkungan
serta
pemerintah
mendampingi
dan
masyarakat
perubahan khususnya
tata dalam
manajemen pembangunan partisipatif. 5.
Badan Pengawas UPK (BP-UPK), melakukan pengawasan pelaksanaan tugas-tugas dan tanggung jawab UPK sehari-hari.
6.
Badan Kerjasama Antar Desa, melindungi dan melestarikan hasil-hasil program yang terdiri dari kelembagaan UPK, sarana dan prasarana, hasil kegiatan PNPM MP. Sedangkan pelaku PNPM MP di desa yaitu terdiri dari:
1.
Kepala desa/lurah, sebagai pembina dan pengendali kelancaran serta keberhasilan pelaksanaan PNPM MP di desa
2.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), lembaga yang mengawasi proses setiap tahapan PNPM MP, mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai pelestarian di desa. selain itu juga berperan dalam melegasi atau mengesahkan
peraturan
peraturan
desa
pelembagaan dan pelestarian PNPM MP di desa.
yang
berkaitan
dengan
3.
Tim
Pengelola
Kegiatan
(TPK),
berperan
untuk
mengelola
dan
melaksanakan PNPM MP, yang terdiri dari Ketua yang sekaligus berperan sebagai PJOK, sekertaris dan juga bendahara. 4.
Tim Penulis Usulan (TPU), menyusun gagasan-gagasan yang telah ditetapkan dalam Musdes dan MKP menjadi usulan desa.
5.
Tim Pemantau, memantau pelaksanaan PNPM MP
6.
Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (KPMD), memfasilitasi atau memandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan PNPM MP di desa dan kelompok masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pemeliharan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Siro selaku kepala
lingkungan desa Rumaju yang menyatakan bahwa: “Dalam pelaksanaan program SPP ini, di lapangan tentu saja kita membutuhkan pelaksananya. Hal itu berupa adanya fasilitator, pegawaipegawai pada tingkat UPK serta masyarakat sendiri yang juga ikut serta mengawal kegiatan ini yang dimaksud dalam beberapa tim pelaksana.” Dalam hal ketersediaan sumber daya pelaksana, di dalamnya termasuk adalah jumlah pelaksana atau dengan kuantitas yang memadai. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan lebih lanjut oleh beliau, yang menyatakan bahwa: “Menurut saya, jumlah pelaksananya yang ada di lapangan itu sudah cukup, kan sudah ada Fasilitator Kecamatan serta pegawai UPK yang ada di kecamatan yang berasal dari rakyat dan pelaksananya di lapangan adalah masyarakat sendiri yang diberdayakan. Jadi saya rasa pelaksana program ini sudah cukuplah.” (Hasil wawancara pada tanggal 19 Maret 2012)
Akan tetapi hal ini agak sedikit berbeda berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Acca selaku Pendamping Lokal yang menyatakan bahwa: “Terkadang saat terjadi masalah pada kelompok pemanfaat SPP, hanya saya sendiri yang diutus untuk menengadahinya karena dianggap mungkin permasalahannya hanya persoalan biasa. Tetapi kenyataannya,
solusinya harus melalui musyawarah dan kewalahan menghadapi mereka seorang diri.”
saya
kadang-kadang
(Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Adapun yang dikemukakan oleh Ibu Fitri selaku Sekertaris UPK bahwa: “Kalau masalah pekerjaan di PNPM itu memang tidak gampang, apalagi kita harus selalu berkoordinasi dengan semua pihak terlibat, sampaisampai kadangkala kita merasa waktu kerja dalam sehari itu tidak cukup kalau lagi masa-masa sibuk, tapi saya rasa disinilah kita perlu selalu belajar untuk bekerja sama dengan semuanya, dan pekerjaan akan lebih mudah kalau masyarakatnya juga lebih aktif.” (Hasil wawancara pada tanggal 10 Maret 2012)
Bagi pihak
sendiri selaku pengawas menganggap bahwa jumlah
pelaksana yang ada saat ini secara kuantitas sudah memadai dan hal yang paling penting adalah partisipasi aktif masyarakat. Meski demikian, mereka khususnya fasilitator masih tetap saja merasa kewalahan. Selain jumlah pelaksana yang memadai, juga diperlukan adanya pelaksana yang berkompeten dalam menjalankan program tersebut, karena apabila jumlah pelaksana telah mencukupi, namun tanpa dibarengi dengan kemampuan atau keahlian dalam menjalankan program, maka dalam proses pelaksanaannya kelak tidak dapat bejalan dengan maksimal. Ketersediaan sumber daya manusia yang terampil merupakan hal yang sangat penting agar pelaksana program lebih efisien, dimana kadangkala pelaksanaan suatu kegiatan terhambat bukan disebabkan oleh jumlah pelaksana yang tidak memadai, tetapi lebih pada kurangnya kualitas sumber daya manusia selaku pelaksana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Akbar selaku ketua UPK, yang mngemukakan bahwa: “Para pengelola pada sekretariat PNPM ini merupakan hasil seleksi dari masyarakat, minimal tamatan SMA atau sederajat, kemudian mengikuti tes di provinsi dan setelah itu mereka diwawancarai. Setelah itu, hasil dari wawancara dilakukan di forum dan saat itulah penentuan para implementor.” (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Maka dapat diketahui bahwa dalam menduduki posisi pelaksana program PNPM MP SPP telah memiliki persyaratan dan seleksi khusus . selain itu untuk peningkatan kemampuan
pelaksana maka diberikan pelatihan pratugas dan
pelatihan penyegaran. Adapun kendala yang ditemui di lapangan pada tim pelaku PNPM MP di kecamatan
dan
desa
adalah
kurangnya
sumber
daya
manusia
yang
berkompeten dari masyarakat yang ikut berpartisipasi, hal ini disampaikan oleh Fasilitator Kecamatan Ibu Rumaesah bahwa: “Terkadang masih kurang tenaga yang memiliki skill seperti harapan yang ikut berpartisipasi tergabung dalam beberapa tim pelaksana yang kita butuhkan, jadi biasanya kita gunakan saja tenaga yang ada” (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Berdasarkan data pelaksana harian yang telah dipaparkan sebelumnya dan hasil wawancara dapat diketahui bahwa pelaksana tetap (pelaksana harian) dari sekretariat PNPM MP kecamatan yang kemudian sebagai pengelola SPP memiliki tingkat pendidikan S1 dan SMA yang ketika bergabung dalam pelaksana PNPM MP wajib mengikuti pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengenai program tersebut. Bagi fasilitator kecamatan memiliki syarat yang harus dipenuhi baik berupa tingkat pendidikan yaitu minimal S1 maupun pengalaman menangani suatu proyek (3 dan 7 tahun) sesuai standar dari PNPM MP pusat. Adapun yang menjadi kendala adalah kurangnya sumber daya yang memiliki skill yang diperlukan ikut berpartisipasi dalam beberapa tim pelaksana yang berasal dari masyarakat, padahal salah satu hal penting yang dibutuhkan dalam implementasi PNPM MP adalah partisipasi masyarakat. Jumlah dan kualitas dari pelaksana yang memadai dapat memberikan dampak positif dalam implementasi. Adapun munculnya masalah pada proses
pencapaian tujuan dalam SPP salah satunya dipengaruhi oleh aspek ini, dimana kurang cepatnya proses pemenuhan pendanaan usaha yang diakibatkan karena semua tahap yang telah ditentukan harus dilaksanakan, akan tetapi karena kurangnya pelaksana dan kadang-kadang ada beberapa lokasi yang perlu dikontrol secara bersamaan sehingga perlu dijadwalkan, yang menyebabkan kadangkala butuh waktu yang lama untuk mendapatkan giliran. Selain itu, jumlah sumber daya masyarakat yang berkompten yang aktif berpartisipasi dalam berbagai program masih kurang dan mengakibatkan kendala. Untuk itu, perlu adanya langkah yang tepat dalam penyelesaian masalah ini, salah satu diantaranya adalah dengan percepatan pengisian beberapa posisiposisi yang masih kosong, contohnya fasilitator yang masih sendiri menangani wilayahnya. b. Informasi Informasi merupakan salah satu sumber penting dalam implementasi kebijakan, dimana ketersediaan informasi yang cukup bagi implementor akan sangat mendukung pelaksanaan kebijakan. Kurangnya sumber daya informasi berupa pengetahuan mengenai bagaimana mengimplementasikan kebijakan dapat menyebabkan ketidak seriusan
implementor
untuk
memenuhi
tanggung
jawabnya,
sehingga
menimbulkan berbagai kendala dan tidak efisiensi. Begitipun dengan implementasi program PNPM MP SPP ini, diperlukan adanya ketersediaan informasi yang diperlukan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara implementor untuk melakukannya. Adapun informasi yang diperlukan berupa tingkat ekonomi masyarakat maupun hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Adapun ketersediaan informasi seperti
informasi mengenai data penduduk yang tergolong kedalam RTM (rumah tangga miskin) juga diperlukan oleh pihak pengelola PNPM MP. Hal ini dimaksudkan agar sasaran program bisa tepat pada kelompok penerima SPP. Hal ini disampaikan oleh Bapak Rahman selaku Fasilitor Teknis Kecamatan bahwa: “Informasi yang kita butuhkan dari masyarakat misalnya berupa persepsi kategori miskin menurut masyarakat setempat serta usulan-usulan yang dibutuhkan. Semuanya kita harus gali pada musyawarah tingkat dusun, tanpa informasi tersebut kita tidak tahu yang dibutuhkan oleh masyarakat, semakin banyak semakin bagus baru diadakan perengkingan. Sehingga sebelumnya harus dimiliki informasi yang mencukupi sebelum suatu program disetujui. Adapun kendalanya, yaitu kalau di dusun tersebut masyarakatnya kurang partisipatif dan hal itu ada beberapa kita temukan, jadi pengetahuan kita mengenai rekap usulan kebutuhan pemanfaat tidak mencukupi.” (Hasil wawancara pada tanggal 21 Maret 2012)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas diketahui bahwa informasi bagi para pelaksana mengenai kebutuhan masyarakat stempat diperoleh melalui musyawarah dusun, tetapi yang menjadi kendala pada beberapa dusun atas ketersediaan informasi tersebut adalah apabila warga kurang berpartisipasi dalam musdes, yang menyebakan tidak optimalnya informasi mengenai peta social dan peta rumah tangga miskin, serta informasi rekap kebutuhan pemanfaat. Selain itu, kendala mengenai tingkat ketersediaan informasi masih dirasakan oleh fasilitator di lapangan yang memiliki lokasi berjauhan dengan kantor sekretariat. Adapun bagi beberapa pemanfaat program masih kekurangan informasi mengenai persyaratan atau tata cara pengusulan, karena biasanya yang tahu tentang hal tersebut hanya ketua atau anggota yang aktif mencari informasi pada UPK. Ketersediaan sumber daya informasi merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam proses implemntasi, agar membantu pelaksana dalam menjalankan fungsinya, baik itu informasi yang berasal dari atas berupa format
dan materi yang terbaru maupun dari masyarakat
berupa peta sosiala dan
kebutuhan yang paling mandesak bagi suatu desa, serta ketersediaan informasi bagi masyarakat mengenai persyaratan dan tata cara pengusulan. Kekurangan informasi tersebut menyebabkan pelaksana maupun penerima kurang tanggap terhadap berbagai perubahan yang trajdi, sehingga memperlambat pelaksanaan di lapangan dan kekeliruan dalam penentuan kelompok yang harusnya mandapat pinjaman dana. c. Kewenangan Sumber daya lain yang juga penting dalam implementasi suatu programadaah adanya wewenang yang diberikan kepada pelaksana program. Tentu saja dalam pelaksanaan suatu kebijakan maka dibutuhkan pendelegasian wewenang dari pejabat pembuat program kepada implementor selaku pelaksana di lapangan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Fasilitator Teknis Kecamatan yang mengatakan bahwa: “Wewenang yang diberikan kepada fasilitator dalam melaksanakan program atau menyelesaikan masalah yang ada, yaitu lebih kepada memfasilitasi dan mengkoordinir masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, karena yang paling pokok dari PNPM yaitu partisipasi masyarakat. Tetapi juga harus ada koordinasi dengan pemerintah yang bertanggung jawab atas PNPM, yaitu PJOK. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa: “Kalau ada masalah pada tingkat desa akan diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat desa, kemudian kalau memang tidak bisa diselesaikan baru dilimpahkan kepada jenjang yang lebih tinggi yaitu PJOK kecamatan melalui musyawarah dengan masyarakat , jadi penyelesaiannya secara berjenjang.” (Hasil wawancara pada tanggal 21 Maret 2012)
Kemudian berdasarkan pemaparan dari Bapak Kasman menyatakan bahwa: “Kalau ada masalah seperti kejadian di kecamatan, maka kami dari pihak PJOK langsung menuju lokasi, kemudian kita usahakan diberikan kesempatan menyelesaikan pada tingkat kecamatan, juga dengan
bantuan dana penyehatan dari pemerintah kabupaten agar kecamatan ini bisa mendapatkan lagi bantuan pada periode berikutnya.” (Hasil wawancara pada tanggal 25 Maret 2012)
Adapun pendapat dari Fasilitator Kecamatan Ibu Rumaesah mengatakan bahwa: “Kalau terjadi keterlambatan pembayaran dari pemanfaat, kita memiliki wewenang untuk memberikan surat teguran, kemudian kalau sudah dalam jangka waktu yang lama, maka dilaporkan kepada jalur hukum formal, misalnya kepolisian.” Lebih lanjut ditambahkan bahwa: “Apabila masalah partisipasi masyarakatlah yang begitu penting dalam keberlangsungan program ini, maka kami dari pihak pelaksana tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan, oleh karena itu hanya dilakukan pendekatan kepada masyarakat bahwa program ini adalah demi kemajuan masyarakat itu sendiri.” (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Berdasarkan
hasil
wawancara
tersebut
dapat
diketahui
bahwa
kewenangan yang paling besar adalah berada ditangan masyarakat, wewenang fasilitor adalah untuk memfasilitasi dan mengkordinir masyarakat, sedang BPUPK berwenang dalam pengawasan kinerja fasiitator dan UPK. Aabila terdapat masalah yang terbilang berat maka diserahkan kepada pemerintah daerah dan kepolisian. Kewenangan dibutuhkan agar pelaksana dapat mengambil langkah antisipasi atau penyelesaian apabila menemui masalah dalam implementasi program. Kewenangan merupakan otoritas atau legimitasi bagi paraa pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Akan tetapi karena dalam pelaksana program SPP ini kewenangan atas kegiatan yang hendak dilakasanakan sebagian besar berada di tangan masyarakat, maka kurangnya partisipasi sering kali menghambat percepatan proses tahapan yang ada.
d. Fasilitas Selain beberapa sumber daya yang telah dikemukakan sebelumnya, salah satu faktor pendukung dari sumber daya yang juga tak kalah pentingnya dalam implementasi program, yaitu ketersediaan fasilitas dalam proses implementasi suatu program. Salah satu fasilitas pendukung yaitu tersedianya sarana prasarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program. Hal ini dikemukakan oleh Fasilitator Teknis Kecamatan, Bapak Rahman yang menyatakan bahwa: “Fasilitas yang disediakan berupa kantor sekretariat dan perangkat komputer, selain itu telah disediakan dana operasional khusus pelatihan yang berguna dalam pengadaan pelatihan dan dana operasional khusus kegiatan, misalnya kebutuhan kertas, tinta print pada UPK. Dana tersebut diluar dana bantuan PNPM termasuk dana SPP. Beliau juga menambahkan: “Kalau ada fasilitas, misalnya alat transportasi pastinya memang lebih baik, tapi sejauh ini fasilitas yang disediakan sudah cukup secara langsung.” (Hasil wawancara pada tanggal 21 Maret 2012)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa fasilitas yang diberikan kepada pelaksana PNPM MP SPP yaitu berupa ruang kantor sekretariat dan separangkat komputer. Sedangkan bagi fasilitator tidak disediakan fasilitas fisik misalnya alat transportasi dll. Ketersediaan fasilitas yang memadai sangatlah penting bagi suksesnya proses implementasi program. Contohnya bagi beberapa fasilitator yang kesulitan apabila tidak memiliki alat transportasi sendiri, karena lokasi rumahnya dengan kantor agak berjauhan serta mengharuskan mengunjungi beberapa lokasi pada satu hari. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk memberikan alat transportasi atau pemberian tunjangan lebih kepada fasilitator pada daerah-daerah yang sulit. 3. Disposisi
Disposisi yaitu berkaitan dengan bagaimana sikap dan komitmen pelaksana terhadap program, dimana pelaksana program kadang kala bermasalah apabila pelaksana yang terkait didalamnya tidak dapat menjalankan program dengan baik yaitu memiliki persepsi yang berbeda dengan pembuat program, maka baisanya
ditempuh penyelesaian ataupun antisipasi dengan
upaya penempatan pegawai yang sesuai yang memiliki dedikasi yang baik program serta pemberian intensif. a. Penempatan Pegawai Adapun salah satu faktor yang penting dalam pelaksana suatu program yaitu penempatan pelaksana program. Dalam implementasi PNPM MP SPP ini terdapat beberapa pelaksana diantaranya PJOK, Fasilitator dan pelaksana pada UPK, dimana mereka melalui tahap seleksi terlebih dahulu untuk menilai kompetensinya apakah sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program. Hal ini berdasarkan pemaparan dari Bapak Akbar selaku ketua UPK, bahwa: “Proses pemilihan fasilitator dilakukan oleh pusat. Mereka kemudian diseleksi melului tes di provinsi. Hasil tes diumumkan di forum di kabupaten. Kemudian juga diwawancarai untuk memaparkan visi dan misinya menyangkut program PNPM ini. Adapun persayaratannya yaitu lulusan S1. Selain itu juga harus mempunyai pengalaman proyek minimal 7 tahun”. Beliau juga menambahkan bahwa: “Sementara pemilihan bagi pengurus UPK yaitu melalui pilihan masyarakat. Adapun persyaratannya yaitu minimal tamatan SMA/sederajat dan yang tak kalah penting yaitu mereka harus berpengalaman”. (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Adapun pernyataan dari Ibu Bariah, yang merupakan salah satu pemanfaat program SPP, berpendapat mengenai penempatan fasilitator yang ada didaerahnya bahwa: “Saya rasa penempatan dari pelaksana yang ada sudah sesuai, mereka paham mengenai program yang mesti dilakukan, hanya saja kendala dari
fasilitator yang berasal dari daerah lain, kadangkala susah memaparkan secara detail dengan bahasa local mengenai konsep program”. (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Berdasarkan
hasil
wawancara
tersebut
diatas
diketahui
bahwa
penempatan pegawai pelaksana yaitu melalui tahapan seleksi guna memperoleh pelaksanayang sesuai dengan tugas yang akan dijalankan. Pengangkatan dan pemilihan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang tepat dan memiliki dedikasi pada tugas yang dijalankan. b. Insentif Selain dengan penempatan pegawai yang sesuai, yang memiliki persepsi atau sikap yang sama dengan pembuat program kebijakan guna pencapaian tujuan, maka salah satu juga yang berpengaruh terhadap sikap dan komitmen pelaksana, yaitu dengan pemberian insentif yang meamadai. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sikap dan komitmen pelaksana dapat ditingkatkan dengan upaya pemberian insentif yang mencukupi. Insentif bukan hanya berupa materi, tetapi dapat berupa penghargaan, dimana pemberian insentif dapat terkait dengan upaya pemberian bonus bagi pelaksana yang menunjukkan prestasi atau dengan memberikan suatu penghargaan baginya. Pada pelaksanaan program SPP ini berdasarkan pernyataan dari Ibu Asmawati selaku Bendahara UPK bahwa: “Insentif sebenarnya memang ada yaitu 5% dari alokasi dana sosial, tetapi jika itu benar-benar diterapkan, maka bonus yang didapat bisa terbilang lumayan besar. Oleh karena itu, bonusnya diganti dengan dua kali gaji per tahun”. Beliau juga menambahkan bahwa: “Tidak ada perubahan insentif apabila masyarakat dapat membayar cicilan mereka tepat waktu” (Hasil wawancara pada tanggal 10 Maret 2012)
Berdasarkan dari hasil wawancara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada implementasi kebijakan program PNPM MP SPP insentif yang diberikan kepada pelaksana yaitu berupa gaji double dalam setahun. Salah
satu
teknik
yang
disarankan
untuk
mengatasi
masalah
kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif yang diberikan. Pada program SPP ini, pelaksana merasa sudah mencukupi atas insentif yang diberikan, walaupun demikian tidak adanya perubahan insentif yang diberikan kepada fasilitator pada saat berprestasi dapat mengurangi motivasinya untuk meningkatkan produktivitasnya, sehingga upaya untuk memfasilitasi pemanfaat guna penguatan kelembagaan antara PNPM dengan masyarakat bisa saja stagnan. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan mengenai manipulasi insntif tersebut. 4. Struktur birokrasi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa struktur birokrasi adalah suatu prosedur atau pola yang mengatur jalannya pekerjaan didalam implementasi kebijakan. Adapun struktur birokrasi yang dimaksud adalah adanya prosedur yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan suatu kebijakan. Selain itu, kadangkala dalam pelaksanaan suatu kebijakan terdapat penyebaran tanggung jawab diantara beberapa unit pelaksana, sehingga dibutuhkan adanya kooardinasi. a.
SOP (Standar Operating Procedur)
Pelaksanaan suatu program membutuhkan suatu prosedur yang menjadi standar pelaksanaannya. Adapun menurut Ibu Rumaesah selaku Fasilitator Kecamatan yang menyatakan bahwa:
“Dalam pelaksanaan PNPM khususnya SPP, sudah disediakan Petunjuk Teknis Operasional (PTO). Jadi semua prosedur-prosedur maupun aturan-aturan yang harus diikuti, sudah termuat dalam PTO tersebut”. (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Selain itu, berdasarkan pernyataan dari Ibu Fitri selaku Sekertaris UPK bahwa: “Pelaksanaan SPP dan program PNPM lainnya memang perlu melalui berbagai tahapan sebelum dana dicairkan. Hal ini dikarenakan ini berkaitan dengan pemberian dana, jadi tidak boleh asal-asalan. Namun, kadangkala dari pihak desa maupun dari masyarakat tidak sabar dan merasa jenuh menunggu hingga usulan mereka disetujui, bahkan kadangkala muncul kekecewaan apabila usulan mereka ternyata tidak disetujui. Hal ini karena adanya perengkingan dalam usulan-usulan tersebut”. (Hasil wawancara pada tanggal 10 Maret 2012)
Ini berarti, sebelum dana yang diusulkan diberikan, maka perlu melewati serangkaian tahapan untuk dilakukan perengkingan atau skala prioritas, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. SOP diperlukan guna mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksana program, dan SOP itu sendiri memuat berbagai aturan untuk menjaga agar pelaksanaan program SPP ini tetap berjalan dengan semestinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Akbar selaku ketua pada UPK, ia mengemukakan bahwa: “Banyak aturan-aturan yang diterapkan dalam program ini, baik itu berlaku untuk para pelaksana maupun kelompok sasaran dalam hal ini adalah masyarakat pemanfaat SPP. Begitupun dengan sanksi-sanksi akan dikenakan bagi yang tidak mengikuti aturan program yang telah diberlakukan.” (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Tetapi setelah mendengarkan pernyataan dari Ibu Fatimah yang mengemukakan bahwa: “Memang ada prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang harus diikuti berkenaan dengan program ini. Tetapi mengenai sanksi, tidak ada sanksi yang dikenakan. Misalnya saja mengenai keterlambatan pengembalian SPP.”
Beliau juga menambahkan bahwa: “Saya sudah beberapa kali terlambat mengembalikan pinjaman, bahkan kadang menunggak hingga berbulan-bulan, tetapi tidak pernah ada sanksi yang saya terima, jaminan pun juga tidak ditarik. Maka dari itu, saya menganggap kalau program ini betul-betul sangat membantu, karena pihak pengelola tidak pernah memaksa dalam proses pembayaran.” (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Kemudian peneliti mengkorfirmasi dengan pihak pengelola, Bapak Akbar dan mengemukakan bahwa: “Sebenarnya sanksi itu ada. Jika ada yang terlambat membayar, maka dikenakan denda sebesar 10.000/hari, dan kami memberlakukan aturan itu pada semua kalangan.” (Hasil wawancara pada tanggal 26 Maret 2012)
Berdasarkan hasil wawancara diatas, prosedur-prosedur atau aturaaturan yang berkenaan dengan program SPP ini, memang telah diikuti dan dipatuhi oleh para pelaku implementasi baik pengelola maupun pemanfaat SPP. Tetapi mengenai sanksi, sepertinya masih belum diaplikasikan seutuhnya. Suatu program atau kebijakan harus mengandung sanksi yang bersifat tegas. Hal ini bertujuan untuk mengatur para aktor implementasi yang terlibat, sehingga tidak bertindak
semaunya,
dan
akhirnya
akan
berdampak
pada
efektifnya
implementasi program yang dijalankan. b.
Fragmentasi
Dalam pelaksanaan suatu program, kadangkala terdapat penyebaran tanggung jawab diantara beberapa unit kerja maupun instansi. Sehingga dibutuhkan adanya koordinasi dan kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat tersebut. Adapun dalam pelaksanaan program SPP ini, melibatkan beberapa pihak yang terkait, diantaranya BKAD, BP-UPK sebagai badan pengawas, Fasilitator, UPK, dan masyarakat sendiri sebagai target groups. Berdasarkan wawancara dengan BP-UPK yang mengemukakan bahwa:
“Kami sendiri selaku Badan Pengawas kegiatan PNPM, termasuk di dalamnya adalah SPP, kami tidak terjun langsung pada masyarakat, karena secara teknisnya yaitu fasilitator dan UPK. Wewenang kami adalah pada fungsi pengawasan terhadap kinerja pelaksana tersebut”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 Maret 2012)
Lebih lanjut Fasilitator mengungkapkan bahwa: “Dalam pelaksanaan program SPP ini yang paling penting adalah bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program kegiatan, oleh sebab itu kendala yang sering kami temui adalah apabila masyarakat berharap bahwa semuanya telah diatur oleh fasilitator, sehingga mereka kurang berpartisipasi.” Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa: “Setiap bulan dilakukan rapat koordinasi, guna mengkoordinir pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program, tetapi meskipn demikian, terkadang masih ada hambatan yang muncul karena kurangnya partisipasi masyarakat”. (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Selain itu, berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh Pendamping Lokal yang mengemukakan bahwa: “Terkadang merasa jenuh jika sudah mendampingi, namun tidak ada hasil, sementara masyarakat dan pemerintah desatidak mengindahkan misalnya jika diminta untuk musdes. Selain itu, masyarakat seakan-akan tidak mengindahkan info dari fasilitator”. (Hasil wawancara pada tanggal 24 Maret 2012)
Hal tersebut diakui oleh pernyataan Ibu Fatimah selaku pemanfaat SPP yang menyatakan bahwa: “Memang agak susah karena setiap warga punya kesibukan masingmasing, jadi partisipasi masyarakat kurang maksimal”. (Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2012)
Berdasrkan pernyatan-pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat masalah koordinasi dengan masyarakat yang disebabkan oleh kesibukan sehari-hari dari masyarakat. Hal ini menandakan bahwa dengan adanya penyebaran tanggung jawab dari beberapa pihak dapat menyebabkan kendala, apalagi jika koordinasi antara pihak-pihak tersebut sulit untuk dilakukan. Begitupun dalam implementasi program SPP, sangat memerlukan partisipasi
aktif masyarakat sebagai kelompok yang akan diberdayakan. Oleh karena kesibukan-kesibukan dari warga, sehingga menyebabkan hambatan dalam proses penguatan kelembagaan yang ada, sehingga seharusnya unsur-unsur tersebut memerlukan koordinasi guna pencapaian keberhasilan program, utamanya partisipasi masyarakat agar mau berkoordinasi aktif dengan seluruh unsur pelaksana.