BAB V. Antropologi Masyarakat Desa Hutan
Pokok Bahasan Masyarakat pedesaan memiliki arti tersendiri dalam kajian struktur sosial atau kehidupannya. Dalam keadaan desa sebenarnya, desa masih dianggap sebagai standar dan pemeliharaan sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli, seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kesenian, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat, kehidupan moral susila dan lain-lain. Masyarakat pedesaan sering disebut juga dengan istilah „rural comunity‟. Agak sulit untuk memberikan batasan apa yang dimaksud dengan masyarakat pedesaan. Wargawarga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya, di luar batas-batas wilayahnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok, atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian (masyarakat petani), walaupun kita melihat adanya tukang kayu, tukang genting dan bata, tukang membuat gula dan bahkan tukang catut (sistem ijon), akan tetapi inti pekerjaannya penduduknya adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan disamping pertanian hanya merupakan pekerjaan sambilan; oleh karena itu bila tiba masa panen atau masa penanaman padi, pekerjaanpekerjaan sambilan tadi segera ditinggalkannya. Namun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa setiap orang mempunyai tanah.
Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum. Artinya, sering tidak disadari adanya diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam pelbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani ini. Sebagai contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlihat berdasar atas perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka pergunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, topografi atau kondisi-kondisi phisik-geografik lainnya. Di antara gambarangambaran yang bersifat diferensiatif pada kalangan masyarakat petani umumnya, adalah perbedaan antara petani bersahaja, yang juga sering disebut petani tradisional (termasuk golongan peasant) dan petani modern (termasuk farmer atau agricultural entrepreneur). 1
Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk tujuan mengejar keuntungan (profit oriented).
Cara-cara bertani masyarakat pedesaan umumnya sangat tradisional dan tidak efisien, karena belum dikenal secara luas mekanisme dalam pertanian. Biasanya mereka bertani semata-mata untuk mencukupi kehidupannya sendiri dan tidak untuk dijual. Cara bertani yang demikian lazimnya dinamakan subsistence farming, artinya mereka merasa puas apabila kebutuhan keluarga telah dicukupi. Golongan-golongan orang tua pada masyarakat pedesaan, pada umumnya memegang peranan yang penting. Orang-orang akan selalu meminta nasihatnasihat kepada mereka, apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah bahwa golongan orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat, sehingga sukar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang nyata. Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat kuat, sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar untuk dilaksanakan. Itulah sebabnya mengapa sulit sekali untuk merubah jalan pikiran sosial kearah jalan pikiran yang ekonomis, hal mana juga disebabkan kurangnya alat-alat komunikasi. Sebagai akibat sistem komunikasi yang sederhana, hubungan antar seseorang dengan orang lain dapat diatur dengan seksama. Rasa persatuan erat sekali, yang kemudian menimbulkan saling kenal-mengenal dan saling tolong menolong yang akrab.
Apabila ditinjau dari sudut pemerintahannya, hubungan antara penguasa dengan rakyat berlangsung secara tidak resmi. Segala sesuatu dijalankan atas dasar musyawarah. Di samping itu karena tidak ada pembagian kerja yang tegas, seorang penguasa sekaligus mempunyai beberapa kedudukan dan peranan yang sama sekali tidak dapat dipisahkan atau paling tidak sukar untuk dibeda-bedakan. Di desa terpencil, sukar sekali untuk memisahkan kedudukan serta peranan seseorang kepala desa sebagai orang tua yang nasihat-nasihatnya patut dijadikan pegangan, sebagai seorang pemimpin upacaraupacara adat dan lain sebagainya. Singkatnya, segala sesuatu disentralisir pada diri kepala desa tersebut.
2
a. Kebudayaan Tradisional Masyarakat Desa Konsep kebudayaan tradisional dalam buku ini mengacu kepada gambaran tentang cara hidup (way of life) masyarakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang. Dengan rumusan lain, pola kebudayaan tradisioanla adalah merupakan produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung kepada alam. Semakin tidak berdaya –tetapi dilain pihak semakin tergantung- terhadap alam, akan semakin terlihat jelas pola kebudayaan tradisional itu. Menurut Paul H. Landis (1948), sejauh mana besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desaakan ditentukan oleh: (1) sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian; (2) tingkat teknologi mereka; dan (3) sistem produksi yang diterapkan. Ketika faktor tersebut secara bersama-sama menjadi faktor determinan bagi terciptanya kebudayaan tradisional, yakni kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakat amat tergantung kepada pertanian, tingkat teknologinya rendah, dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Mengingat semakin rancunya pengertian konsep tradisionalitas dan modernitas, maka bab ini akan menggambarkan ciri-ciri pola kebudayaan tradisional masyarakat desa sebagaimana yang dimaksud dalam buku ini. Mengacu kepada pendapat Paul H. Landis, dalam garis besarnya ciri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa adalah sebagai berikut. Pertama, sebagai konsekuensi dari ketidak berdayaan mereka terhadap alam, maka masyarakat desa yang demikian ini mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungan(alam)nya. Pertanian sangat tergantung kepada keadaaan atau jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, topografi, banyaknya curah hujan, dan lainnya. Lingkungan alan dengan elemen-elemen seprti itu cukup bervariasi antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Maka masyarakat desa (petani) mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi terhadap pelbagai kekhususan lingkungan alam itu, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan (alam)nya. Kedua, pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya. Petani bekerja dengan alam, elemen-elemen alam sebagaimana disebut di atas (jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, 3
dan sebagainya) sekalipun bervariasi tetapi mengandung keajegan dan keteraturan tertentu. Dengan tingkat kepastian yang cukup tinggi terhadap keajegan dan keteraturan alam tersebut, maka mereka tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru. Semuanya serasa telah diatur dan ditentukan oleh alam. Ketiga, faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyrakatnya. Seperti dikemukakan oleh O.E. Baker (dalam P.H. Landis, 1948), sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya, mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filsafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas. Keempat, pengaruh alam juga terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban. Kebiasaan hidup lamban ini disebabkan karena mereka sangat dipengaruhi oleh irama alam yang ajeg dan lamban. Tanaman yang tumbuh secara alami, semenjak tumbuh hingga berbuah selalu melewati proses-proses serta tahapan tertentu yang ajeg. Dengan rekayasa tertentu orang dapat memperpendek usia tanaman dan meningkatkan produktivitasnya, namun tetap ada batasnya. Orang tidak dapat mempercepat proses pertumbuhan tanaman seperti memutar mesin. Maka masyarakat desa sering dicap statis, bukan hanya karena mereka tidak inovatif tetapi juga karena lamban. Kelima, dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat desa juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul. Takhayul dalam hal ini merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar. C.C. Taylor dalam hubungan ini telah mengidentifikasikan adanya 467 jenis takhayul di kalangan petani Amerika Serikat tatkala mereka belum menjadi petani modern. Lebih dari seperempat jenis takhayul itu berkaitan dengan iklim, udara, tanaman, dan binatang-binatang. Takhayul yang berkaitan dengan pengaruh bulan terhadap pertanian juga mereka kenal. Keenam, sikap yang pasif dan adaptatif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material mereka yang relatif bersahaja. Kebersahajaan itu nampak misalnya pada arsitektur rumah dan alat-alat pertanian. Ketujuh, ketundukan masyarakat desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu. Hal ini dapat dimengerti, karena alam memiliki irama sendiri. Alam tidak menempatkan orang ke dalam kotak-kotak waktu, 4
melainkan orang sendirilah yang menciptakan kotak-kotak waktu itu. Tanaman memiliki proses alami dengan paket waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur tangan manusia. Orang tinggal menanti proses yang alami itu. Akibatnya mereka tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu. Kedelapan, besarnya pengaruh alam juga mengakibatkan orang desa cenderung bersifat praktis. Artinya, mereka tidak begitu mengindahkan segi keindahan dan ornamen-ornamen. Berkaitan dengan sifat praktis ini, masyarakat desa juga cenderung kurang mengindahkan atika dalam pergaulan satu sama lain. Terlebih lagi mereka hidup dalam kelompok dan lingkungan primer, saling akrab, sangat mengenal satu sama lain. Dalam situasi semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan sesuatu dari teman atau tetangga. Maka mereka tidak perlu berbicara panjang lebar dan berbasa-basi satu sama lain. Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat jujur, terus terang dan suka bersahabat (friendly). Kesembilan, pengaruh alam juga mengakibatkan terciptanya standar moral yang kaku di kalangan masyarakat desa. Moralitas dalam pandangan masyarakat desa adalah sebagai sesuatu yang absolut (final). Tidak ada kompromi antara yang baik dan buruk, cenderung pada pemahaman yang bersifat hitam-putih (clear-cut definition). Dengan kata lain, tidak ada pengertian yang bersifat relatif mengenai baik dan buruk. Konsepsi moral yang kaku ini menurut Paul H. Landis tercermin misalnya dalam penafsiran masyarakat desa di Barat terhadap kitab Injil. Mereka menafsirkan ayat-ayat secara harafiah.
b. Etnoekologi Masyaraka Pemilik Hutan Rakyat (Awang, dkk, 2002) Bangsa Indonesia sampai saat ini masih bisa dikatakan sebagai Negara agraris atau dengan kata lain sebagian besar penduduknya masih berada di desa dan bertani. Petani yang ada di negeri ini masih banyak yang hidupnya jauh dari sejahtera. Penyebab petani kurang sejahtera memang bermacam-macam mungkin bisa factor-faktor dari luar dari dalam. Faktor dari luar seperti kondisi alam yang kurang mendukung, factor keterbatasan modal untuk membeli berbagai keperluan pertanian, dan keterbatasan pengetahuan tentang pertanian yang bisa menyebabkan kurang berhasilnya pertanian atau bahkan gagal. Sedangkan faktor dari dalam seperti gaya hidup yang dapat
5
dihubungkan dengan tradisi atau adat yang ada dan juga faktor mentalitas seperti nrimo (menerima apa adanya) dan kurang bersemangat dalam bekerja.
Permasalahan kehidupan di desa memang komplek. Menjadi petani biasanya merupakan profesi utama di desa. Hasil dari pertanian kadang tidak cukup untuk menopang hidup petani di desa. Oleh karena itu, petani tidak cukup hanya menjadi petani saja karena memang hasil pertanian tidak mampu mencukupi kebutuhannya, sehingga petani perlu memelihara ternak atau perlu mempunyai pekerjaan sampingan.
Orang yang hidup di desa memang tidak semuanya melulu berprofesi sebagai petani. Tentu masih ada profesi-profesi lain. Hal menarik dengan kehidupan desa adalah walaupun ada orang desa yang tidak berprofesi sebagai petani, tetapi mereka tetap sering melakukan aktivitas pertanian. Merka hanya merasa saying bila lahannya tidak dimanfaatkan. Namun disisi lain, mereka yang berprofesi bukan petani sering pula merasa tidak cukup jika hanya mengandalkan gaji untuk hidup. Keadaan-keadaan inilah yang menjadikan hidup di desa harus mampu manfaatkan lahan atau lingkungan yang ada guna menopang hidup. Contoh dari keadaan ini dapat kita lihat di salah satu desa bernama Kali Kujang yang berada di wilayah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Daerah Gunung Kidul dikenal sebagai daerah yang berlahan kritis. Tanahnya tandus, tipis berkapur, berbatu, dan beriklim tropis kering serta dikenal sebagai daerah yang sulit air. Desa Kali Kujang tidak ubahnya dengan desa-desa lain di wilayah Gunung Kidul. Kondisi seperti inilah yang menjadikan orang-orang yang hidup di desa-desa Gunung Kidul dituntut untuk bisa mensiasati atau beradaptasi dengan lingkungannya. Singkatnya, mereka harus bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di lingkungannya.
Wujud dari lingkungan di desa Kali Kujang yang sering dimanfaatkan adalah pertanian, peternakan, dan hutan. Secara bertahap, pertanian saja tidak cukup untuk kehidupan petani. Oleh karenanya, mereka lantas menambah dengan usaha peternakan yang sekaligus mendukung pengelolaan pertanian. Dan pada akhirnya, jika keduanya belum 6
mampu menopang kehidupan, barulah petani memanfaatkan hutan di sekitarnya. Namun apabila lingkungan tersebut sudah tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan maka mereka akan mencari penghasilan tambahan dengan berdagang, buruh, atau bekerja sebagai karyawan di perusahaan.
Hutan dalam kehidupan petani memegang peran penting bagi masyarakat karena pohon yang tumbuh di hutan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil pertanian. Sebagian besar kawasan desa Kali Kujang adalah hutan dan bertetangga dengan hutan Negara. Keadaan ini menjadikan penduduk desa lebih tepat dikatakan sebagai „manusia di dalam hutan‟, karena bila dilihat dari salah satu sudut pandang boleh dikatakan penduduk desa tersebut memang bagian dari hutan.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan menjadi satu dengan hutan sudah selayaknya memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat desa itu sudah puluhan tahun hidup dengan hutan, baik hutan rakyat maupun hutan Negara. Keadaan ini menyebabkan mereka mempunyai pengetahuan, cara dan pengalaman yang berkaitan dengan hutan serta lingkungannya sebagai sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.
Penduduk Dusun Kali Kujang dan Dusun Jati Layang mempunyai sudut pandang sendiri mengenai lingkungannya yang mayoritas berupa hutan, pekarangan ataupun kebun, tegalan dan hutan, serta lahan bahon. Dalam kontek masyarakat di kedua dusun tersebut, “alas” yang dalam bahasa Jawa halus disebut wono merupakan hutan yang di dalamnya juga mengandung maksud tegalan dalam arti lahan pertanian. Apabila ada orang bertanya “kowe arep neng ngendi” (kamu mau ke mana), maka yang ditanya akan menjawab “aku arep neng alas” (aku akan ke hutan). Orang ditanya akan pergi ke mana dan menjawab pergi ke “alas” (hutan) bisa mempunyai dua pengertian yaitu mungkin akan pergi ke tegalan untuk bertani atau memang pergi ke hutan atau mungkin juga pergi ke lahan bahon. Alas atau wono yang dimaksud masyarakat dalam kontek ini adalah hutan rakyat. Ada kecenderungan dalam kehidupan sehari-hari bahwa yang dimaksud hutan adalah hutan rakyat, sedangkan hutan Negara lebih sering disebut bahon (baon). 7
Begitu juga yang terjadi dalam konsep pekarangan atau kebun (kebon), orang akan bingung bila ditanya “apa beda antara pekarangan dengan kebun?”. Bagi warga masyarakat yang karena lingkungan atau rumahnya banyak yang dikelilingi pohon jati atau pohon kayu serta lahan pertanian tumpangsari sebagaimana yang ada di hutan, maka warga masyarakat akhirnya akan cenderung berpendapat bahwa pekarangan dengan kebun tidak ada bedanya. Setelah ditanya lebih jauh dan warga yang ditanya berpikir lebih dalam, maka warga akhirnya akan menjawab lingkungan dekat rumah mereka adalah kebun dan yang jauh dari rumah adalah hutan. Kebingungan ini bisa dimaklumi karena dalam konsep mereaka tentang pekarangan pada hakekatnya sudah tidak jelas bahkan hilang atau mereka berpendapat bahwa rumah mereka ada di kebun.
Penduduk kadang-kadang tampaknya juga masih ada yang terpengaruh oleh konsep masyarakat awam tentang pekarangan dan kebun. Padahal apabila mereka diajak berpikir realitas lingkungannya dan dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan menjawab bahwa mereka hidup dalam lingkungan kebun yang tidak ada bedanya dengan hutan. Hal ini dapat dipahami karena antara lahan bahon, hutan, tegalan, kebun, dan juga pekarangan dalam pengelolaannya diberi perlakuan yang sama. Sedang khususnya untuk lahan bahon, masyarakat hanya boleh menanami dengan tumpangsari atau dikelola tanpa merusak kayu putih yang ada serta tidak menanam tanaman kayu seperti pohon jati, meski pada kenyataannya masyarakat di Dusun Jati Layang tetap ada yang menanaminya dengan pohon jati di pinggir lahan bahon dekat sungai. Secara singkat
masyarakat
menjelaskan
konsep-konsep
mereka
tentang
peristilahan
lingkungannya sebagai berikut: - Wono/Alas/hutan
: Tegalan/lahan pertanian
- Bahon
: Hutan Negara
- Pekarangan
: Kebon
Masyarakat kadang bingung kalau ditanya tentang definisi-definisi tersebut di atas karena dalam kehidupan keseharian mereka, warga lebih sering menggunakan istilah alas untuk lahan bahon, hutan, dan tegalan yaitu kawasan yang jauh dari rumah. Sedangkan untuk kawasan yang lebih dekat atau dekat dengan rumah yaitu kebun dan pekarangan digunakan satu istilah kebon.
8
c. Dinamika Kehidupan Masyarakat Penderes Gula Kelapa (Djuwadi, 1985) Seorang penderes kelapa yang rajin pak Kasdi namanya. Jumlah pohon kelapa yang dideresnya sebanyak 13 pohon, terdiri dari 3 pohon milik sendiri dan 10 pohon lainnya milik 2 orang tetangganya. Istilah setempat adalah maro pendakan, yaitu membagi dua hasil nira antara si pemilik pohon dan si penderes. Pendakan dimaksudkan sebagai periode waktu, umumnya 5 hari. Maksudnya hasil nira selama 5 hari menjadi milik si empunya dan 5 hari berikutnya milik si penderes. Walaupun demikian istilah maro pendakan ini pun berkembang, ada yang si empunya pohon minta bagian gula kelapa (yang sudah jadi) bisa secara bulanan atau pendakan (5 hari sekali). Jarang yang minta imbalan bagian berupa uang tunai ataupun sewa.
Pak Kasdi melakukan penderesan setiap hari, pagi dan sore. Biasanya mulai bekerja menderes jam 6 pagi dan selesai jam 7.30. Setiap pohon lebih kurang tingginya 15 meter, selesai dikerjakan selama 5 menit. Pekerjaan mulai dari menyiapkan bumbung, memasangnya di ikat pinggang (di rangka), memanjat, sampai di atas melepas bumbung lama yang telah berisi nira, mengepras atau kepras atau gebral (memperbaharui potongan bunga kelapa), memasang bumbung baru dan kemudian turun sambil membawa nira yang telah berisi. Walau bekerja mulai jam 6, pak Kasdi bangun jam 5 pagi secara rutin dan tidak jarang bangun lebih pagi lagi, tergantung kebutuhan. Pekerjaan yang dilakukan sebelumnya meliputi membersihkan kandang (kambing/ ayam) mengeluarkannya dari kandang luar rumah: dan yang terutama menyiapkan peralatan sebelum melakukan penderesan. Di antaranya memasang bumbung ke langkring (semacam pikulan); di mana bumbung-bumbung sebelumnya telah dibersihkan dan ditambah injet (larutan gamping). (injet biasa digunakan untuk mencampur nira, supaya bisa ngendap; mengendap). Pekerjaan lain adalah mengasah pisau.
Penderesan pagi hari menghasilkan 7 bumbung besar, sementara pada sore hari hanya menghasilkan 4 bumbung besar. Sehingga dapatlah dikatakan sehari diperoleh 11 bumbung besar. Umumnya variasi hasil tergantung dari beberapa hal, diantaranya musim (kering, hujan), kepandaian si penderes dan jenis pohon kelapa. Pada musim kemarau umumnya diperoleh kualitas gula yang baik walaupun mungkin jumlah nira 9
sedikit berkurang. Sebaliknya di musim penghujan. Kepandaian si penderes memegang peranan yang penting terhadap hasil nira. Arah potongan, ketajaman pisau, kecepatan memotong dan lain-lain, bahkan sering juga dihubungkan dengan pribadi si penyadap. Pulung, diartikan sebagai penyadap yang ahli seolah-olah digariskan untuk pandai menyadap.
Di dalam periode 5 hari pertama, dimana semua hasil nira menjadi milik si penyadap, merupakan sumber penghasilan yang lumayan bagi Pak Kasdi. Sebelas bumbung besar setelah dimasak akan menghasilan 16 kerek gula kelapa (satu kerek ialah ukuran satu cetakan gula kelapa berbentuk bulat dengan diameter = 20 cm dan tebal 4 cm). Biasanya 3 kerek beratnya 1 kg sehingga 16 kerek diperkirakan 5.3 kg. Harga gula pada saat itu Rp 230/ kg, atau Pak Kasdi mendapatkan hasil kotor gula kelapa = Rp 1.334 per hari. Periode 5 hari berikutnya, dimana hasil nira menjadi milik si empunya, merupakan periode yang sulit bagi pak Kasdi. Pagi hari 3 pohon kelapanya hanya menghasilkan 2.25 bumbung besar dan sore harinya hanyalah 1.5 – 1.75 bumbung besar. Sehingga hasilnya hanyalah 4 bumbung besar per hari. Kalau nira ini dijadikan gula kelapa akan menghasilkan 6 kerek atau 2 kg. Atau sekitar Rp 460,-/ hari. Sementara itu 10 pohon lainnya adalah milik dua orang tetangganya, sehingga semua hasil nira menjadi milik si empunya pohon tersebut.
Bagian yang masak nira menjadi gula kelapa adalah ibu Kasdi. Sementara pak Kasdi menderes pohon kelapa, ibu Kasdi telah mempersiapkan peralatan untuk memasaknya. Sesudah membersihkan halaman, termasuk dapur dipersiapkan wajan, kayu bakar dan pengaduk. Setelah menerima nira dari pak Kasdi, pekerjaan selanjutnya adalah ngoroki, yaitu membersihkan nira dari kotorannya dengan cara mengaduk-adukannya. Tanpa alat khusus hanyalah bunga kelapa (manggar) yang telah dibentuk sedemikian, kemudian dimasukkan ke dalam bumbung yang telah berisi nira sambil digoyang-goyangkan atau ditarik-lepaskan. Proses ini sambil ditambah air hangat supaya peret katanya. Barulah setelah bersih, dituangkan ke dalam wajan dipanasi sampai mendidih. Tujuh bumbung nira dimasak sekali dengan wajan yang besar, diameter 75 cm. Pemanasan cukup lama lebih dari satu jam. Setelah dianggap cukup masak, diangkat dari api, ditunggu sampai agak dingin baru dicetak. 10
Biasanya proses memasak gula kelapa ini tidak terpisah dari memasak makanan seharihari lainnya. Dilakukan bersama-sama dengan menjerang air, memasak leze1 untuk sarapan pagi. Oleh karena itu kebutuhan kayu bakar untuk memasak gula kelapa tidak diketahui secara pasti. Dari pengamatan diperoleh angka bahwa untuk memasak 7 bumbung besar nira diperlukan 17 kg kayu bakar jenis mahoni (asal dari hutan), sedangkan memasak nira sore hari sebanyak 4 bumbung besar menghabiskan 12.5 kg. Dapatlah diperkirakan bahwa untuk memasak 11 bumbung nira akan membutuhkan kayu bakar 30 kg dan menghasilkan gula kelapa 16 kerek atau 5.3 kg. Harga kayu bakar satu pikul ukuran pak Kasdi adalah Rp 500,- seberat 40 kg (jenis mahoni pecelan dari hutan tebangan); atau Rp 12,5 setiap kg.
Perhitungan keuntungan dari biaya pembuatan gula kelapa oleh pak Kasdi sekeluarga adalah sebagai berikut: I. Lima hari pertama bila nira menjadi milik penderes: Hasil nira 11 bumbung besar, dengan hasil 16 kerek atau 16/3 X 1 kg = 5 1/3 kg. Kalau harga Rp 230,-/ kg, maka harga jual adalah Rp 230,- X 5 1/3 = Rp 1.334, -/ hari. Kebutuhan kayu bakar 30 kg @ Rp 12,5 atau 30 X Rp 12,5 = Rp 375, -. Hasil bersih setelah dikurangi biaya kayu bakar adalah Rp 1.334,- Rp 375,- = Rp 959,-/ hari. II. Lima hari kedua, bila nira menjadi milik si empunya pohon: Hasil nira dari 3 pohon milik sendiri sebanyak 4 bumbung, atau menghasilkan 6 kerek, atau 2 kg. Harga jual adalah = 2 X Rp 230,- = Rp 460,-. Kebutuhan kayu bakar diperkirakan 4/11 X 30 kg = 10,9 kg atau = Rp 12,5 X 10,9 = Rp 136,-. Sehingga hasil bersih setelah dikurangi harga kayu bakar adalah Rp = Rp 460,- - Rp 136,- = Rp 324,-/ hari. III. Penghasilan rata-rata yang dimiliki pak Kasdi adalah Rp (959+324)/ 2 = Rp 479,50/ hari. Waktu kerja pagi hari 1,5 jam, sore hari juga 1,5 jam; ditambah waktu memasak oleh bu Kasdi 1 jam pagi dan 1 jam sore; berarti jumlahnya 5 jam bekerja dengan hasil Rp 479,50. Kalau diperhitungkan upah per jam adalah Rp 479,5/ 2 = Rp 95,90. Bila dibandingkan dengan upah mencangkul (kerja 7 jam/ hari + makan) = Rp 700,- maka hasil menderes ini tidak menguntungkan. Mengapa menderes tetap dilakukan? 11
Di dalam perhitungan di atas pak Kasdi memperoleh hasil bersih sebanyak Rp 641,50 rata-rata per hari. Kenyataanya pak Kasdi memperoleh hasil Rp (1.334+460)/2 = Rp 879,- rata-rata per hari. Disini terdapat selisih Rp 897 – Rp 641,50 setiap hari. Nilai selisih ini adalah harga kayu bakar yang pak Kasdi tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli. Pak Kasdi mengambil sendiri kayu dari hutan tebangan yang berjarak 0,5 km dari rumah dan membawa sendiri pulang tanpa membayar. Inilah alasan pertama. Seandainya kayu bakar harus membeli (dari pak mandor misalnya), pak Kasdi akan berfikir dua kali, antara menderes atau tidak. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Pak Kasdi, keluarga miskin yang hidup serba kekurangan. Satu keluarga bersama istri dan 2 orang anaknya yang masih kecil. Rumahnya sederhana, berdinding papan Albizzia Falcata seperti lazimnya rumah-rumah lainnya, berukuran 6 x 9 m. Rumah tipe srotongan berlantai semen dan sebagian berdinding tembok kotangan. Sawah tidak memiliki, pekarangan masih milik orang tua. Orang tua pak Kasdi pernah memiliki sawah 8 kotak (± 0,4 ha), akan tetapi tahun 1975 telah dibeli desa untuk bangunan KUD di atasnya. Harga pada saat itu Rp 250.000,-. Sampai sekarang uang tersebut belum sepenuhnya lunas. Dari penjualan tanah inilah pak Kasdi memperbaiki rumah, dapat berbeda dengan tetangganya setidaknya berlantai semen, setengahnya tembok dan pintu bercat. Dua orang saudaranya telah ikut bertransmigrasi ke Sumatera, sementara itu kedua orangtuanya semakin lemah masih hidup dan tinggal di rumah tua sepekarangan dengan pak Kasdi. Masih ada saudara perempuan yang tinggal satu desa agak jauh dari pak Kasdi.
Pekarangan orang tua Pak Kasdi seluas 0,15 ha, berisi tanaman kopi, bambu berbagai jenis, duku dan tanaman ketela pohon. Pohon besar di antaranya 3 pohon kelapa yang dideres pak Kasdi dan 2 pohon enau untuk diambil ijuknya. Tegalan juga milik orang tua seluas 0,15 ha berisi tanaman kopi, kayu-kayuan seperti sengon laut (Albizzia falcata), mahoni dan waru, juga tanaman musiman seperti ketela pohon tidak ketinggalan. Baik pekarangan maupun tegalan yang mengerjakan adalah pak Kasdi sendiri, walaupun hasilnya milik keluarga. Pak Kasdi mesti bekerja keras untuk
12
menghidupi keluarga. Luas tanah milik keluarga yang relatif sempit tidak cukup untuk hidup. Ditambah lagi, pak Kasdi sedang menanti kelahiran anaknya yang ketiga.
Mengingat lahan pertanian tidak dapat terlalu diharapkan, pak Kasdi bekerja memburuh di tetangganya. Buruh mencangkul, mengangkat padi atau pekerjaan pertanian lainnya. Pekerjaan menderes kelapa dipelajarinya semenjak menikah. Sementara tenaganya masih muda katanya. Karena pekerjaan menderes kelapa dapat diharapkan kontinyu terus-menerus dilakukan, dapatlah dianggap sebagai sumber penghasilan yang utama. Waktunya yang bisa dilakukan sebelum jam kerja biasa (mencangkul, memburuh dan lainnya) dan sore sesudah jam kerja biasa, dapatlah dipandang sebagai pekerjaan sambilan. Inilah alasan kedua mengapa menderes kelapa tetap dilakukan, walaupun kurang menguntungkan.
Pernah sekali waktu terpikir oleh bu Kasdi, untuk bisa mempunyai tempat tidur dari besi seperti milik tetangganya. Permintaan bu Kasdi inilah yang membuat pak Kasdi berpikir keras. Tidak lazim, ora ilok katanya wanita hamil ditolak permintaannya. Dari menderes atau mencangkul, terlalu kecil. Penjualan kopi, itu milik bapak. Apa akal? Terlintas di pikiran untuk mencari kayu bakar mumpung sedang musim tebangan mahoni di bosch wezen (hutan, perhutani). Jadilah pak Kasdi kredit tempat tidur dari besi, seharga Rp 30.000,- yang dijanjikan 2 bulan lunas. Dengan memperoleh kayu bakar rata-rata 2 pikul/ hari, pak Kasdi berharap dapat melunasi dalam waktu 60 hari. Sepikul di jual ke pasar dan sepikul lagi untuk memasak gula kelapa. Apanila sepikul laku Rp 500,- lunaslah dalam waktu yang dijanjikan. Pemikiran yang sederhana dari si miskin.
Pekerjaan menderes adalah pekerjaan yang berat dan penuh resiko. Menurut pak Kasdi, “kulo diparingi donga keslametan kalih ewangi bapak, namun syaratipun kedah mboten pareng kerjo wonten dinten “geblake” bapak kalih neton kulo”, nggih dinten selasa pahing kalih sabtu kliwon, dados kulo libur kalih dinten saben selapan. Dari kacamata pengorbanan tenaga yang keras dan berat, memang pak Kasdi harus perlu istirahat. Biasanya tidak hanya 2 hari, tetapi lebih bisa sampai 6-7 hari/ selapan. Banyak hari-hari “naas” yang harus dihindari. 13
d. Dinamika Kehidupan Masyarakat Pendolog Kayu Bakar (Djuwadi, 1990) Adalah seorang pendolog tua dan rajin Pak Karin namanya. Pak Karin, umurnya 53 tahun badannya masih tegap, kuat memancarkan semangat muda, rajin bekerja, jam 6 sore parti telah berangkat ke hutan, ke petak tebangan. Bekerja sebagai pendolog2 kayu bakar. Dahulu ketika pak Karin masih kuat, biasa juga sebagai pendolog kayu perkakas. Sekarang lebih senang sebagai pendolog kayu bakar walaupun hasil sedikit tetapi resiko juga lebih rendah. Setahun yang lalu menantunya meninggal dunia di petak tebangan ini pula, sebagai pendolog (kayu perkakas). Punggungnya patah pada waktu memikul dolog bersama kawannya satu regu. Sejak saat itu tidak terlintas bagi pak Karin menjadi pendolog biasa.
Pekerjaan mendolog ditekuni sejak 15 tahun terakhir, atau sejak datang ke daerah ini, Kaliwiro. Pak Karin bukan asli setempat, pendatang dari Garung, 50 km jauhnya dari tempatnya sekarang. Sayangnya pekerjaan tebangan tidak kontinyu ada setiap tahun. Penah pula beberapa tahun ikut menjadi pengontrak tanaman di daerah Jabaran, dengan menanam jenis pinus yang sekarang telah 5 meter tingginya. Dahulu sambil melihat hasil tanaman polowijo di kontrakan biasa pula merumput di sana. Sekarang jarang kesana, selain jauh juga rumput jarang ada di bawah tegakan pinus yang rapat, katanya.
Kelompok kerja Pak Karin, terdiri dari 3 orang kesemuanya berumur sebaya dengannya. Pekerjaan meliputi memotong bagian batang (mahoni) yang tidak bisa menjadi kayu perkakas (karena di bawah standar) memikul dan menumpuknya di pinggir jalan angkutan. Pekerjaan memotong dilakukan dengan gergaji tarik, biasa dilakukan sendirian atau berpasangan. Sementara kawan lainnya yang memikul, membawanya ke tempat pengumpulan. Saya harus berebut kayu bakar dengan orang banyak, katanya. Sekarang ini pengumpul kayu bakar liar banyak sekali tidak sepeti dahulu, lanjutnya! Mengapa demikian pak? Semenjak ada gergaji mesin itulah! Keterangan pak Karin ini banyak yang membenarkan di antara mereka. Dahulu sebelum digunakan gergaji mesin, penebangan dilakukan gergaji tangan biasa. Si penebang berhak penuh melarang atau mengatur pohon hasil hasil tebangannya. Terhadap pengumpulan kayu liar, dapat mengaturnya dengan baik, bahkan melarangnya. Sekarang tidak demikian! Operator Chain Saw kurang sempat mengontrol; asal kayu perkakas terpenuhi cukuplah. Mandor 14
tebang sibuk dengan penomoran batang-batangnya (penerimaan kayu); bahkan sering tidak dapat mengimbangi kecepatan operator gergaji mesin.
Hasil Pak Karin dari mendolog kayu bakar tidak banyak, rata-rata Rp 2.000,- selama sepekan (bekerja 4 hari). Atau setiap hari diperkirakan Rp 500,-. Mereka tidak bekerja di hari Pahing, yaitu hari pasar di pasar kecamatan. Mereka berlibur, pergi ke pasar membeli tembakau, atau menjual hasil pertanian mereka. Tidak jarang mereka hanya berjalan-jalan sambil menonton pertunjukkan obat yang pertebaran di pasar. Hiburan murah bagi masyarakat pendesaan. Suatu kelaziman di daerah hutan (RPH) ini, bahwa upah pekerja pendolog diterima sepekan sekali, malam pahing. Berbeda dengan daerah lain (Perhutani umumnya) yang menerimakan gaji setiap 15 hari sekali. Kasus ini sebenarnya kebijakan lokal, karena permintaan. Mengapa pak Karin mau bekerja dengan gaji yang rendah, di bawah standar pekerjaan di desa mereka? (mencangkul 1 hari Rp 700,-) plus makan siang dan makanan ringan tiap pagi hari). Alasannya sederhana, kesempatan kerja dan kelonggaran kebijaksanaan perhutani setempat. Telah diketahui bahwa pak Karin bukan asli setempat, pendatang dari Garung.
Penghidupan Pak Karin sebelumnya ke daerah yang sekarang ditempati adalah membuat dan menjual arang. Sekali waktu pernah juga sebagai penebas hasil bumi, (hortikultura) seperti petai, jengkol, atau duku. Pak Karin eprtama kali tertarik kedaerah ini, karena kesempatan bekerja lebih mudah, katanya. Bekerja di kontrak pada saat itu dengan luas areal kontrakan yang cukup (tidak seperti sekarang, katanya). Diberi kesempatan longgar membuat arang. Sekarangpun pak Karin masih diberi kesempatan membuat arang apabila keadaan memaksa demikian. Seperti kayu-kayu pokol yang jatuh di jurang dan tidak terangkut, atau jenis lain yang tidak ekonomis diambil oleh perhutani (kesambi, karet, secang dan lain-lain), dibuat arang oleh Pak Karin dengan sistem borongan (kerjasama dengan perhutani). Kesempatan kerja di desa bagi orangorang seperti pak Karin lebih terbatas, tidak seperti tetangga lainnya yang asli setempat. Inilah alasan pertama.
Pejabat perhutani setempat sadar sepenuhnya bahwa pendolog di daerahnya hasilnya rendah. Terutama karena keadaan daerah yang berbukit dan bergunung terjal. Apabila 15
kebetulan mendapat daerah yang datar atau dekat jalan angkutan banyak pendolog yang mendapatkan hasil lebih dari biasanya. Oleh karena itu setiap pendolog diberi kesempatan untuk membawa pulang kayu bakar sepikul sehari. Kayu bakar ini bisa dijual di pasar Kaliwiro Rp 400,- - Rp 500,- tergantung dari kualitasnya.
Pada dasarnya Pak Karin dan kawan-kawannya bekerja di tebangan mulai jam 06.30 sampai jam 15.00. Akan tetapi tidak seluruh waktu digunakan untuk bekerja (untuk perhutani), rata-rata separoh waktu digunakan untuk pribadi dan istirahat. Untuk jelasnya dapat diperiksa tabel waktu berikut ini (pengamatan 3 hari berturutan). Tabel 1. Pengamatan Waktu Bekerja dari Pendolog Tahap
Waktu Rata-rata
Kegiatan
I
1 jam 30 menit
Memotong dan menumpuk kayu
II
35 menit
Istirahat
III
48 menit
Membelah kayu, keperluan sendiri
IV
32 menit
Memotong dan mengangkut kayu
V
55 menit
Istirahat dan persiapan menjual kayu
VI
1 jam 35 menit
Makan siang, terus menjual kayu ke pedagang pengumpul ± 1 km dari tebangan
VII
28 menit
Istirahat
VIII
1 jam 22 menit
Memotong dan menumpuk kayu
IX
22 menit
Istirahat
X
34 menit
Mengangkut dan menumpuk kayu bakar, dan persiapan pulang
Tabel 2. Rekapitulasi Pengamatan Waktu Bekerja dari Pendolog No
Waktu bekerja
Istirahat
Keperlua sendiri
1
1 jam 30 menit
35 menit
48 menit
2
32 menit
28 menit
55 menit
3
1 jam 22 menit
22 menit
1 jam 35 menit
4
34 menit 1 jam 25 menit
3 jam 18 menit
Jumlah 3 jam 58 menit Total :
8 jam 41 menit
16
Dari tabel ini nampak bahwa Pak Karin hanya bekerja 3 jam 58 menit. Kalau waktu istirahat dianggap 20 % (pekerjaan berat/ kasar) maka waktu bekerja 20% + 3 jam 58 menit = 4 jam 45 menit. Sedangkan waktu lainnya adalah untuk keperluan sendiri yang terdiri dari membelah kayu bakar serta menjualnya ke pedagang pengumpul. Apakah wajar upah yang diterima dari perhutani bekerja sehari rata-rata Rp 500,-? Dibandingkan dengan kesempatan kerja di desa (mencangkul) maka harga pekerjaan di hutan adalah = ((4jam 45 menit)/7 jam) X Rp 900,- = Rp 610,-3). Ternyata memang lebih rendah, sehingga kebijaksanaan pejabat perhutani setempat wajar dapat diterima.
Kehidupan Pak Karin memang amat tergantung dari kebaikan hutan kepadanya. Pak Karin tidak punya tanah bahkan pekarangan sekalipun. Rumahnya berukuran 5 X 7 meter berdinding papan sengon laut (seperti lazimnya rumah-rumah kebanyakan) berlantai tanah, ngindung
4)
di tanah pekarangan milik menantunya (yang telah
meninggal). Mengerjakan lahan milik menantunya seluas 0,45 ha, penuh ditanami bodin (ketela pohon). Makanan sehari-hari adalah leze (bahan dari ketela pohon), dengan sayur daun ketela pohon dan sambal. Makan 2 X satu hari, siang dan sore dengan atau tanpa lauk. Lauk biasanya tempe atauteri. Sering dengna lalap jering (jengkol) atau petai (jarang sekali karena mahal). Satu-satunya tabungan yang bisa diharapkan adalah ternak kambing. Ternaknya bukan milik sendiri akan tetapi nggaduh dari tetangganya dengan perjanjian maro anak. Pak Karin amat bersedih kalau di kehutanan tidak ada pekerjaan. Buruh menukang, tidak bisa dilakukan. Menggergaji kayu (sengon laut, di desa) sudah lama sekali tidak dilakukan. Kehidupan pak Karin merupakan gambaran masyarakat terbawah di pedesaan. Tidak punya pegangan. Anak pak Karin 4 orang, yang tertua wanita sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak. Menantunya telah tiada. Anak kedua laki-laki, ikut bekerja mendolog di tebangan. Sementara anak ke-3 wanita, bekerja menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Anak terakhir laki-laki masih duduk di kelas V SD. Yang terakhir inilah yang oleh bapaknya diberi tugas merumput 2 ekor kambing gaduhanny, sambil untuk mendukung biaya sekolah. Pak Karin pernah berkata, bahwa kehidupan tahun depan sudah mulai sulit karena hutan mahoni tua sudah tidak ada. Harapannya tinggal tumpangsari, kalau mendapat bagian.
17
e. Dinamika Kehidupan Petani Desa Hutan (Djuwadi, 1990) Petani desa hutan, yang dimaksud disini adalah petani sebagai lazimnya mempunyai tanah cukup akan tetapi masih sempat bekerja di kehutanan secara musiman. Sebagai studi kasus dipilih seorang petani Pak Darom namanya. Tinggal di sebuah desa dekat hutan, di Kaliwiro, Wonosobo. Kebetulan terhadap hutan tersebut sedang dilakukan penebangan seluas 30 ha dari jenis mahoni.
Pak Darom orangnya masih muda umurnya 39 tahun, rajin bekerja. Pemilikan tanah cukup luas bagi ukuran petani di Jawa. Pekarangan 0,2 ha, ditanami berbagai jenis pohon diantaranya kelapa, sengon laut, cengkeh, kopi, dan buah-buahan seperti pisang, duku, sirsat. Tanaman ketela pohon juga ada ditanam di antara tanaman kopi dan sebagai tanaman pagar. Tegalan luasnya 0,3 ha, terletak di dua tempat. Satu tempat ditanami penuh dengan ketela pohon seluas 0,2 ha. Sudah berumur 1 tahun, tidak dipanen serentak karena sedang tidak laku (@ kg = Rp 20,-). Sedangkan tegalan lainnya berisi pohon-pohonan yang diistilahkan juga (seperti di Jawa Barat) sebagai talun. Jenis-jenisnya terdiri dari bambu, kelapa, sengon laut dan juga ketela pohon. Kemudian tanah lainnya masih bersifat hak menggarap walaupun hasilnya sudah sepenuhnya milik pak Darom. Yaitu bahwa status hak milik masih ada di mertuanya, tetapi sudah diwariskan kepada pak Darom dan keluarganya. Tanah ini meliputi sawah genggong (bisa ditanami di kedua musim) seluas 0,3 ha dan tegalan 0,5 ha. Letak tegal dan sawah ini persis di pinggir hutan pinus di sebelah utara desa. Keadaan tegalan penuh dengan pohon-pohonan dengan dominasi jenis mahoni, sengon laut, nangka, kweni dan di bawahnya terdapat pohon kopi. Lengkaplah luas penggarapan tanah pak Darom seluas (0,2 + 0,3 + 0,3 + 0,5) ha = 1,3 ha.
Ditinjau dari ukuran luas tanah maka luas pemilikan tanah Pak Darom bisa untuk hidup berkecukupan (lebih dari 1 bahu ~0,7 ha sawah tadah hujan). Dilihat dari volume pekerjaannya masih terdapat kelonggaran. Tegalan atau pekarangan dengan dominasi poho-pohonan dan atau ketela pohon tidak menuntut pengerjaan tanah yang intensif. Ketela pohon, hanya memerlukan pekerjaan pada saat penanaman dan sekali pendangiran selama satu tahun. Tanaman kopi memerlukan pekerjaan pada waktu panen kopi (sering ditebaskan) atau waktu wiwil (memotong tunas air). Barangkali pekerjaan 18
yang paling repot adalah mengelola sawah yang luasnya 3 kesuk tersebut (~0,3 ha) dan dapat ditanami setahun duakali yaitu di musim kemarau maupun hujan. Kebetulan sawahnya persis di bawah sumber air (dari hutan) nggowok, yang tidak pernah kering. Dengan menggarap sawah 0,3 ha ini, pak Darom masih merasa banyak waktu senggang. Pak Darom masih memelihara 3 ekor kambing dan 14 ekor itiknya.
Pak Darom sejak kecil merasakan hidup akrab dengan lingkungan hutan. Pernah ketika masih bujang menjadi pangon kerbau milik tetangga selama 8 tahun. Ia biasa menggembala ke jalan-jalan di hutan (~alur) sampai kompleks gunung Beser 2 km dari desa. Biasa merumput di hutan terutama di musim kemarau. Bahkan dalam keadaan sudah rumput, Darom kecil merumput sampai di Kecis, yaitu areal hutan yang jarakngya 3 – 4 km dari desa. Selama menjadi pangon 8 tahun itulah; dapat memperoleh hasil 2 ekor kerbau yang menjadi miliknya. Pada saat itu hampir semua keluarga desa pak Darom mempunyai ternak besar. “Meh saben lawang”, katanya. Ternak-ternak itu banyak mati pada saat digunakan endrin yang berlebihan sekitar tahun 60 an. Sekarang jumlah kerbau di desanya tinggal 2 pasang saja.
Kerbau Pak Darom tidak mati, akan tetapi telah dijual semua. Seekor dijual untuk membeli tegalan seluas 0,3 ha pada saat itu (tahun 1970) dan seekor lagi dijual untuk membuat rumah yang sekarang ditempati. Sekarang pak Darom telah berkeluarga dengan 4 orang anak, yang paling besar wanita telah menginjak bangku SMA kelas 1 di Wonosobo. Yang kedua lahir laki-laki di SD kelas VI, kemudian wanita SD kelas IV dan terakhir wanita SD kelas 1. Pak Darom harus bekerja keras untuk membiayai sekolah anak-anaknya, terutama yang indekost di Wonosobo. Anak-anaknya dididik untuk bekerja. Anak laki-lakinya telah biasa merumput di hutan atau mencari kayu bakar di hutan. Sedangkan wanita (no. 3) sudah biasa menggembalakan itiknya di sawah-sawah atau sepanjang sungai kecil.
Pak Darom biasa ikut bekerja di kontrakan menjadi penolog (kayu perkakas), mulai dari mengangkut kayu (bersama kawan-kawannya satu regu) dan mengumpulkan di pinggir jalan sogokan (anak alur). Sekarang pak Darom ikut mendolog “sudah dua bulan pak” katanya. “Dulu saya keluar dari mendolog kurang lebih 3 bulan, katanya tidak nyaid 19
atau tidak sempat; pekerjaan di sawah sedang menunggu, sedang labuh” terusnya. Pak Darom mengistilahkan kembali mendolog sebagai istirahat, (sambil ngaso, katanya). Ia biasa bersenda-gurau dengan kawan-kawannya, menyanyi dengan berlanggam jawa (uro-uro), mengasyikan. Kalau lama tidak ke hutan, katanya sering kangen (rindu ke hutan). Alasan lain mengapa pak Darom senang pergi ke hutan (mendolog) adalah kebebasan mencari kayu (me-repek). Kalau tidak menjadi pendolog, mencari kayu bakar rasanya seperti mencuri, dikejar-kejar oleh pak Mandor katanya. Apakah pak Darom merasa beruntung secara finansial?
Dari hasil sawahnya seluas 0,3 ha, pak Darom dapat memanen 9 kwintal sekali panen apabila tidak terserang hama. Dengan ditanami 2 X setiap tahun diperkirakan hasil panen 18 kwintal. Dari hasil ini pak Darom harus mengeluarkan uang untuk menanam hampir setengah dari hasil tersebut. Perinciannya sebagai berikut: 1. Beli bibit padi 15 kaleng @ Rp 200,- = Rp 3.000,2. Beli rabuk (perabukan 2 kali, 40 kg dan 30 kg) @ Rp 100,- = 70 X Rp 100,- = Rp 7000,3. Matun 12 orang selama 12 hari @ Rp = 12 X Rp 7000,- = Rp 8.400,- karena dua kali matun = Rp 2 X Rp 8.400,- = Rp 16.800,4. Obat, menghasilkan 1 kaleng = Rp 1.000,5. Upah mencangkul, bila semuanya dilakukan orang lain, 4 orang selama 10 hari, pagi dan sore = 4 X 10 X Rp 700,- = Rp 28.000,6. Pengeluaran seluruhnya = Rp 7000,- + Rp 16.800 + Rp 1000,- + Rp 28.000,- = Rp 52.800,7. Hasil panen 9 kwintal @ Rp 13.300,- = Rp 117.000,Dari catatan di atas selama 1 kali panen hasil pak Darom adalah Rp 117.000 – Rp 52.800,- = Rp 64.200,- atau identik dengan 4,9 kwintal gabah kering.
Kalau tidak ada keperluan mendesak pak Darom jarang menebaskan padi sawahnya. Mereka memetik sendiri (dan dibantu tetangganya), untuk di makan setiap hari. Walaupun demikian pak Darom tidak makan nasi secara utuh, sering sekali bahkan hampir selalu dicampur dengan leze. Leze ini dibuat dari bahan ketela pohon dari 20
tegalnya sendiri, dipetik setiap kali membutuhkan. Yang jelas di dalam menanam pagi sampai panen, pak Darom mesti mengeluarkan uang untuk pengadaannya, sebanyak Rp 52.800,- (tenaga sendiri termasuk diperhitungkan). Uang sebanyak ini diperoleh diantaranya dari bekerjanya sebagai pendolog di hutan.
Hasil lain berupa panen kopi setahun sekali, merupakan tabungan bagi pak Darom. Sering pula digunakan untuk membeli keperluan pakaian, membayar uang sekolah anak-anaknya dan lain-lain. Setahun yang lalu pak Darom menjual 6 batang pohon sengon laut dari talunnya laku Rp 90.000,-. Digunakan untuk membayar anaknya yang mulai masuk SMA di Wonosobo. Dahulu di tegalan/ talun banyak orang menanam suren (Toona sureni)5) selain sengon laut, termasuk juga tegal pak Darom. Selain kayunya lebih mahal dan lebih baik untuk kayu perkakas, kulit kayunya digunakan sebagai racunbagi hama padi. Kelopak kulit ini ditancapkan di beberapa tempat di petak sawah atau dibenamkan. Mereka yang tidak mempunyai surian di tegalan biasanya juga mencari di hutan-hutan dekat desa. Akan tetapi semenjak dikenal insektisida yang dibeli dari toko, cara ini jarang digunakan.
Di dalam musim labuh (menanam padi) atau wiwit (menuai padi) masih ada petani yang merangkum sesajian, termasuk keluarga pak Darom. Sebagian dari sesaji tersebut harus dicari dari hutan. Seperti daun tepus, kayu tua, dan pisang jambe.
Beberapa rupiah hasil pak Darom dari mendolog kayu? Pak Darom menjawab bahwa kalau Cuma dari mendolog tidak begitu banyak sekitar Rp 650,- / hari atau sekitar Rp 2.500,- setiap pekan. Akan tetapi kalau ditambah hasil merencek (merepek) kayu bakar bisa lebih dari Rp 1.500/ hari. Harga jual kayu bakar Rp 500,-/ sepikul. Sehingga kalau pak Darom bisa merepek sepikul sehari, ditambah hasil repek istri dan anaknya maka hasil bisa lebih Rp 1.500,- setiap hari.
Pak Darom belum pernah mengambil kontrakan tumpangsari, akan tetapi ketika masih anak-anak pernah membantu orang tuanya bekerja di kontrak tanaman bila diberi kesempatan? Jawabnya, kemungkinan tidak. Karena selain tanahnya sendiri perlu penanganan sehingga tidak sempat bekerja di hutan, juga dikontrakkan itu banyak hama 21
babainya. Sehingga terlalu banyak menyita waktu dan tenaga, katanya. Andaikata cara kotrakan diperkenankan titip talun misalnya jenis kopi apakah pak Darom tidak tertarik? Tertarik sekali pak, katanya. Saya akan belajar menanam kopi jenis unggul seperti yang saya lihat di Pekalongan atau Wadaslintang, lanjutnya.
Hasil Pembelajaran (1) Mampu memahami dan menjelaskan karakteristik masyarakat desa hutan (2) Mampu menjelaskan dan memberi contoh dinamika kehidupan masyarakat desa hutan dalam mempertahankan hidupnya
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus dalam pengelolaan hutan yang menunjukkan adanya interaksi antara masyarakat desa dengan hutan disekitarnya dalam melakukan berbagai tindakan produktif (4) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan (1) Jelaskan karakteristik umum masyarakat desa hutan yang sering menjadi kendala ketika mereka diajak untuk bersama mengelola hutan! (2) Jelaskan bagaimana tahapan untuk dapat menemukan pola relasi yang ideal antara masyarakat desa dengan hutan disekitarnya ! Terangkan dengan mengambil satu contoh kasus di lapangan !
22
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta. Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta
23
Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel
Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta
24