BAB IV SEKILAS MUHAMMADIYAH DAN PANDANGANNYA TENTANG QUNUT
A. Sejarah Muhammadiyah Membaca sejarah Muhammadiyah pada hakikatnya tidak berbeda dengan membaca sejarah negara Indonesia, dengan catatan kalau tujuan membacanya untuk mengetahui, menilai dan mengambil pelajaran. Mambaca sejarah Muhammadiyah adalah membaca fakta sejarah yang menggambarkan rangkaian atau rentangan perjuangan untuk mencapai tujuannya yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah swt. Muhammadiyah didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan berdasarkan pokok pikiran bahwa sesungguhnya tugas dan kewajiban dakwah Islamiyah amar ma’ruf nahi munkar itu amat berat. Ia yakin bahwa dengan organisasi yang kuat, seperti Madinah al-Munawarah yang didirikan Muhammad saw, sajalah tugas itu bisa terselesaikan. Perjuangan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar itulah yang disusun dan dinamakan sejaran Muhammadiyah. Boleh jadi tulisan ini amat berbeda dengan sejarah suatu bangsa, atau sejarah suatu negara. Muhammadiyah hanyalah salah satu dari organisasi sosial keagamaan yang tidak berdaulat yang diakui di dalam wilayah Republik Indonesia. Sedangkan suatu negara adalah suatu organisasi politik yang berdaulat di wilayahnya. Di Madinah al-Munawarah Rasulullah saw. dapat memidana seorang muslim yang tidak membayar zakat, umpamanya, sedangkan di Indonesia ketua Muhammadiyah tidak dapat memidana seorang anggotanya yang tidak membayar zakat. Itulah contoh konkret yang membawa perbedaan antara pengalaman sejarah Muhammadiyah dengan pengalaman sejarah Madinah al-Munawarah.
41
42 Tulisan yang memperkenalkan Muhammadiyah sekarang jumlahnya tidak banyak. Apalagi yang bersifat historis yang menggambarkan Muhammadiyah secara bulat dan utuh belum pernah ada. Sejarah Indonesia atau sejarah nasional peran Muhammadiyah terlukis dalam bagian yang membicarakan peran Islam bersama-sama dengan organisasi Islam lain. Bahkan kadang-kadang tersamar di balik nama seorang tokoh seperti dalam piagam Jakarta yang masyhur itu. Sejarah ditulis untuk keperluan ilmu pengetahuan, untuk kepentingan politik, untuk kepentingan organisasi dan lain-lain. Oleh karena itu perlu digambarkan suasana yang menjadi latar belakang, kejadian-kejadian pada masa lalu sehingga Muhammadiyah kini tampak besar, santai, maju mundur, bahkan kadang-kadang tersudut, kebingungan, serta bagaimana cara memecahkan masalah akibat kejadian itu. Agar tercapai hasil yang memadai, tulisan ini disusun berdasar metode penulisan sejarah. Di samping itu, dikenakan juga penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisannya.1 Latar belakang penulisan sejarah ini sebagian masih tetap sama dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah walaupun dalam jumlah dan kualitas terdapat perubahan yang amat besar. Masyarakat Islam Indonesia pada saat Muhammadiyah berdiri menganut faham sinkretisme, faham yang menganggap semua kepercayaan, semua agama, sama benarnya dan sama baiknya, menggabungkan suatu kepercayaan dan agama itu untuk dianut seseorang warga negara Indonesia menyebabkan mereka makin baik dan makin dekat kepada Allah sehingga mereka makin handal. Penganut faham ini dahulu tidak kuat, namun sekarang mereka mempunyai organisasi yang kuat dan diakui keberadaannya. Muhammadiyah yang hendak memurnikan tauhid umat tidak berdaya menghadapi hambatan dari penganut faham ini.2 Pada saat Muhammadiyah berdiri, penganut faham serba simbol, simbolisme, terbatas di kalangan masyarakat kecil tertentu. Dewasa ini penganut faham ini makin 1
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sejarah Muhammadiyah Bagian I, Majelis Pustaka, Yogyakarta, 1993, hlm. 1-2 2
Ibid, hlm. 5
43 banyak dan makin besar pengaruhnya di hati umat. Simbol atau lambang yang keramat telah dapat difungsikan sebagai alat pemersatu dan penggerak pembangunan. Di kalangan cendekiawan faham ini besar sekali pengaruhnya. Lebih-lebih setelah neo simbolisme dari Ernest Cassier diperkenalkan orang sebagai salah satu aliran filsafat modern. faham ini telah masuk pula ke dalam hati beberapa anggota Muhammdiyah dan telah dipergunakan pula bagi kepentingan organisasi. Permasalahan yang dihadapi Muhammadiyah banyak sekali, di antaranya Muhammadiyah sampai saat ini belum mampu menuliskan pengalamannya dalam suatu buku sejarah. Karena itu sesuatu yang telah ada dan diperjuangkan oleh pendahulu menjadi terlupakan, apa yang masih ada sebagai hasil amal usaha mereka tetap ada. Namun tidak diurus dan diperkembangkan
sebagaimana
mestinya.
Contohnya,
majalah
Suara
Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Kyai Dahlan sempat tidak terbit. Percetakan yang ada tidak dapat dijadikan suatu percetakan modern yang handal seperti yang dimiliki oleh kalangan Nasrani, misalnya. Perlu menjadi renungan sebuah organisasi yang hidup di tengah masyarakat yang melaju dengan cepat tetapi tidak bisa bersaing karena tidak memiliki apa yang disebut percetakan. Padahal yang orang lainnya memilikinya. Muhammadiyah sebagai suatu organisasi perjuangan bisa jadi ketinggalan anggotanya yang mempunyai keahlian yang amat dibutuhkan sehingga organisasi menjadi lemah. Di samping itu, Muhammadiyah tidak ditinggalkan, tetapi diurus tidak sepenuh hati oleh fungsionarisnya sehingga tugasnya menjadi berantakan. Bagaimanakah cara tokoh-tokoh pendahulu mengatasi kelemahan seperti itu ?. Sebagai fungsionaris Muhammadiyah, pengurus tidak mempersiapkan bahanbahan sejarah untuk ditulis dalam suatu buku sejarah sebagaimana Angkatan Bersenjata Republik Indonesia misalnya, telah menulis sejarahnya bersamaan dengan perannya sebagai pembuat sejarah dan sebagai pelaku sejarah. Oleh karenanya Muhammadiyah lahir tidak terlepas dari proses sejarah, baik yang menyangkut perkembangan Islam di Indonesia, maupun
44 perkembangan Islam di dunia internasional. Di samping itu, Muhammadiyah lahir juga tidak terlepas dari kondisi kultural dan kehidupan masyarakat di tempat berdirinya. Untuk menghantarkan penulisan sejarah Muhammadiyah, dalam bab ini akan diuraikan hal-hal sebagai berikut : a. Perkembangan Dunia Islam. Pada abad XVIII muncul era baru dalam perkembangan dunia Islam yaitu adanya titik kesadaran kebangkitan kembali peranan umat Islam di panggung dunia Islam internasional. Hal itu mendapat dorongan munculnya kesadaran para ulama' dan umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kemudian Pan-Islamisme juga berhasil menggugah umat Islam untuk bangkit berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Barat.3 Sebelum kebangkitan Islam pada abad XVIII itu, umat Islam mengalami krisis ke-jumud-an, dan frustasi atas pukulan bangsa Barat pada abad XV. Beberapa pemerintah di dunia Islam pada waktu itu sedang rapuh disebabkan adanya kelemahan akidah dan lebih mengutamakan materialisme sehingga melemahkan kerajaannya dan mudah dipukul dan dikuasai oleh lawan. Sejak runtuhnya beberapa pemerintahan Islam di panggung dunia internasional, negeri-negeri kaum muslimin menjadi jajahan bangsa Barat. Kehidupan beragama terdapat kemerosotan ruhul islami karena pengalaman ajaran Islam bercampur aduk dengan kepercayaan lain. Pengalaman Islam muncul bentuk bid’ah, khurafat, serta praktek-praktek syirik. Perkembangan pemikiran umat Islam dibelenggu oleh otoritas madzhab dan taklid kepada para ulama', sehingga pintu ijtihad dianggap telah tertutup. Akibatnya umat Islam tidak kreatif dan tidak dapat mengantisipasi perkembangan zaman, dinamika pemikiran umat Islam
3
Ibid, hlm. 7
45 lebih banyak porsinya pada bidang fiqih dengan asyik mempertentangkan masalah khilafiyah dan furi’iyah serta aliran-aliran yang ada. Lebih lanjut menghasilkan banyak firqoh. Munculnya berbagai firqoh dan adanya berbagai pertentangan yang muncul di dalam tubuh umat Islam, menyebabkan pertentangan yang muncul di dalam tubuh umat Islam. Hal tersebut menyebakan kondisi umat Islam semakin merosot dan lemah di panggung dunia internasional.4 Sebelum terjadi kemerosotan dunia Islam, seorang ulama' besar dari Damaskus, yaitu Ibn Taimiyah sudah menyadari dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan umat Islam. Upaya Ibn Taimiyah yaitu memperbaiki kehidupan umat Islam dengan mengembalikan setiap pengalaman Islam kepada sumber pokoknya yaitu kitabullah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Artinya upaya yang dilakukan olehnya adalah membersihkan kepercayaan umat Islam dari praktek-praktek syirik dan khurafat. Di samping itu, dia berusaha menyehatkan pengalaman ibadah di kalangan umat Islam dari pengaruh bid’ah dan taklid, dikembalikan kepada tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Gagasan dan upayanya ini merupakan embrio gerakan tajdid, yang pada sat dicanangkan masih terasa asing dan mendapat berbagai tantangan, gagasan dan upaya Ibn Taimiyah (1263-1328) kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Ibn Qayyim (1229-1350). Langkah-langkah Ibn Qayyim sama dengan yang dilakukan oleh gurunya yaitu menyebarkan pengertian dan mendidik umat Islam untuk memurnikan akidah dan pengalaman Islam sesuai dengan sumber pokoknya yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ia juga memperkenalkan tradisi berijtihad dan membukan cakrawala berpikir bagi umat Islam, sehingga tidak beku dan kreatif mengantisipasi perkembangan zaman. Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) mengembangkan ajaran pemurnian Islam di Jazirah Arab. Dia sebagai ulama' besar di 4
Ibid, hlm. 9
46 kalangan Haramain, yaitu Makkah dan Madinah, yang tidak sekadar mengajarkan pemurnian Islam, tetapi juga memimpin suatu gerakan nyata untuk membersihkan akidah dan pelaksanaan ibadah dari pencemaran praktek syirik, khurafat, bid’ah dan taklid.5 Muhammad ibn Abdul Wahab dalam bidang akidah, juga berjuang agar umat Islam hanya menyembah kepada Allah dan menjauhkan dari perbuatan syirik dzatiyah dan syirik sifatiyah.6 Yang disebut dengan syirik dzatiyah adalah perbuatan menyekutukan Allah secara langsung yaitu menyembah selain Allah. syirik sifatiyah adalah tindakan yang meyakini suatu benda atau makhluk memiliki kelebihan sebagaimana sifat Allah. Demikian juga dalam bidang peribadatan khusus, Muhammad ibn Abdul Wahab menegakkan syari’at Islam berdasarkan sumber pokoknya yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ibadah khusus untuk menyembah kepada Allah dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Muhammad saw. Apabila dalam peribadatan khusus itu ada penyimpangan dan terjadi penambahan-penambahan, maka berarti melakukan bid’ah. Perbuatan bid’ah itu sesat dan menggugurkan ibadah, serta sebagai jalan ke neraka. 7 Muhammad ibn Abdul Wahab lebih lanjut, yaitu di bidang fiqih mengutamakan kembali ke sumber pokoknya yaitu al-Qur’an dan sunnah.8 Mengenai kitab “Al-Madzahibul Arba’ah (madzhab yang empat)”, Muhammad ibn Abdul Wahab menganggap sebagai pandangan dan ijtihad ulama' yang hidup pada zamannya.9 Gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab mendapat dukungan yang banyak dari para ulama' dan masyarakat Islam
5
Syaiful Islam Jamaluddin, Kumpulan Surat-Surat Bersih Diri Muhammad bin Abdul Wahab, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, hlm. 23-30 dan 33 6
Ibid, hlm. 98-99
7
Syaiful Islam Jamaluddin, op. cit, hlm. 24
8
Ibid, hlm. 7-8
9
Ibid, hlm. 42-83
47 di Jazirah Arab, khusus tanah suci Haramain. Selain para ulama' dan masyarakat Islam, Raja Ibn Su’ud, pendiri kerajaan Saudi Arabia, juga memberikan dukungannya sehingga gerakannya menjadi besar dan kuat. Para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab memberikan nama gerakannya al Muwahhidin yang berarti penegak tauhid. Orang Barat dan yang memusuhi gerakan Muhammad ibn Abdul Wahab, gerakan ini disebut dengan Wahabi atau Wahabiyah. Gerakan al-Muwahhidin memencar dari Jazirah Arab ke pelosok dunia dibawa oleh para jama’ah haji dan kaum mukminin yang belajar di Makkah dan Madinah, di pelosok dunia gerakan al-Muwahhidin dikenal memurnikan Islam. Juga membangkitkan keberanian umat Islam yang terjajah untuk melawan kolonialisme.10 Para ulama' Makkah dan Madinah abad XVIII, XIX
dan XX
sebagian besar adalah pengikut dan penerus Muhammad ibn Abdul Wahab sehingga merekalah yang berperan mengatur ibadah haji, pendidikan dan aktivitas keagamaan agar bersih dari syirik, khurafat dan bid’ah.11 Dari fakta situasional Makkah dan Madinah di bawah kaum Muwahhidin, maka tidaklah dapat disangkal lagi bahwa Muhammad Darwisy (yang kemudian dikenal dengan KHA. Dahlan) yang telah pergi haji dan belajar agama di Makkah mendapat pengaruh gagasan dan gerakan kaum muwahhidin. Apalagi yang dikembangkan oleh KHA Dahlan kemudian adalah hampir sama gagasan dan semangatnya dengan gerakan kaum muwahhidin, meskipun ada beberapa perbedaannya pula. Pada abad XIX di dunia Islam, selain Jazirah Arab juga muncul beberapa ulama' besar sebagai penerus Ibn Taimiyyah dan Muhammad ibn Abdul Wahab. Para ulama' itu antara lain sebagai berikut.
10
L. Stodard, Dunia Baru Islam, Panitia Penerbitan, Jakarta, 1966, hlm. 33
11
D. Van Der Meulen, Ibn Suud, Djembatan, Jakarta, 1964, hlm. 20-29
48 Jamaluddin al-Afghani, dari Afghanistan, yang hidup pada tahun 1838-1897. Ulama' ini lebih cenderung bergerak dalam bidang politik dengan upaya membangkitkan “Persaudaraan Islam Se-Dunia”. Ia bercitacita untuk meraih kembali kekuasaan Islam di dunia internasional. Jamaluddin al-Afghani dikenal sebagai pendiri gerakan Pan-Islamisme, persatuan umat Islam seluruh dunia. Selain itu, gerakannya juga membangkitkan semangat bantu-membantu berjuang untuk membebaskan tanah air umat Islam yang dijajah oleh bangsa Barat. Gerakan PanIslamisme ini juga mempengaruhi Indonesia sebagai pendorong lahirnya pergerakan nasional Indonesia. Muhammad Abduh (1849-1905) berasal dari Mesir, perjuangannya yang dikenal adalah membuka kembali pintu ijtihad yang sebelumnya telah dirintis oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim. Muhammad Abduh adalah sebagai pelopor pembuka cakrawala berfikir umat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya. Oleh karena itu sebagai realisasinya ia mendahulukan pembaharuan pendidikan bagi umat Islam dengan harapan agar hasilnya akan dapat meperbaiki kehidupan masyarakat Islam. Usaha Muhammad Abduh antara lain mengadakan emansipasi kebudayaan terhadap Barat dengan harapan umat Islam akan dapat lebih maju daripada Barat. Selanjutnya ia menggunakan pendidikan untuk mengkader para ulama' agar menjadi agen pembaharuan pengamalan Islam di seluruh dunia. Selain itu pula, Muhammad Abduh memerangi kejumudan di kalangan umat Islam, menghapus syirik, khurafat, bid’ah dan taqlid. Ia memiliki majalah yang bernama Al-Urwatul Wutsqa yang diterbitkan di Paris, Prancis, sebagai media untuk menyebarkan gagasannya agar tersebar di seluruh dunia, KHA Dahlan termasuk pembaca setia majalah ini. Rasyid Ridha (1856-1935), seorang murid Muhammad Abduh, meneruskan cita-cita serta usaha yang telah digelar oleh gurunya. Dalam rangka menyebarkan gagasannya, Rasyid Ridha menerbitkan majalah Al-
49 Manar di Mesir. Majalah ini berisi gagasan pembaharuan Islam yang disebarkan di seluruh dunia, bahkan sampai di Indonesia. KHA Dahlan juga termasuk pembaca setia majalah ini. Majalah al-Manar di Indonesia juga dibaca oleh Ahmad Syurkati. Kisah perkenalan KHA Dahlan dan Ahmad Syurkati di atas kereta api diawali pada wakti keduanya samasama membaca al-Manar. Dengan kesamaan bacaan itulah keduanya menjadi sahabat. Pembicaraan yang dilakukan oleh keduanya lebih lanjut timbul suatu gagasan bersama untuk mengembangkan pemurnian dan pembaharuan Islam di Indonesia. Keduanya membagi tugas, yaitu Ahmad Syurkati mengembangkan gagasan itu di kalangan keturunan Arab, sedangkan KHA Dahlan mengembangkan gagasan pembaharuan dan pemurnian Islam di lingkungan penduduk Boemi Puetra.12 b. Perkembangan Islam di Indonesia. Sejarah berdirinya Muhammadiyah tidak lepas dari perkembangan Islam di Indonesia, khususnya perkembangan Islam di Jawa sebagai lingkungan sosio-kultural yang melahirkan Muhammadiyah. Untuk melihat perkembangan Islam di Jawa, maka diuraikan selintas sejak masuk dan perkembangan Islam sampai masuknya pengaruh gerakan pemurnian Islam. Proses masuk dan berkembangnya Islam di Jawa mengalami “dialog” budaya yang panjang. Islam masuk di Jawa melalui para pedagang dari berbagai bangsa, antara lain: dari Arab, Persia, Gujarat (India) dan Cina. Di lingkungan bangsa-bangsa yang membawa ajaran Islam itu, agama Islam sudah mengalami proses akulturasi dan sinkretisasi, demikian pula proses perkembangannya di Jawa juga mengalami proses yang sama. Yaitu agama Islam berakulturasi dengan kebudayaan Jawa dan sinkretisasi dengan kepercayaan Pra-Islam.
12
Shaleh al Bakrie, Al Januba Al Arabiyah, Qodim Wa Haditsan 1400-1967
50 Proses awal pengembangan Islam di Jawa dilakukan secara adaptasi dengan pendekatan kebudayaan, yaitu menggunakan lambanglamnang budaya lokal sebagai media penyampaian Islam pada masyarakat setempat. Pola dakwah yang dilakukan memakai dua jalur, yaitu: Pertama, yang dtempuh oleh para wali dengan menggunakan lambang-lambang dan lembaga budaya Jawa, dan Kedua, melalui lembaga pendidikan yang bernama Pondok Pesantren. Pola pertama adalah penyebaran Islam yang dilakukan oleh para ulama' (wali) langsung ke daerah-daerah pedesaan dengan menggunakan metode akulturasi dan sinkretisasi sebagai contoh misalnya : dalam bidang akulturasi seperti: sekaten untuk memperingati maulid nabi Muhammad saw, wayang pembuat ketan-kolak, apem yang berasal dari bahasa Arab Khatha’an-Qala-Afuum, selamatan dengan kenduri dan tahlilan dengan menggunakan bacaan lafadh Islam campur kejawen.13 Metode dakwah yang menggunakan akulturasi dan sinkretisasi di atas memang cepat menarik simpati masyarakat pada waktu itu. Secara kuantitas pemeluk Islam cepat bertambah cepat sehingga dalam perkembangannya umat Islam menduduki jumlah mayoritas di Jawa. Namun, bila bentuk kehidupan Islam yang sinkretik itu tidak diproses lebih lanjut menuju ke kemurniannya, maka yang akan terjadi adalah mengkristalnya pola kehidupan Islam yang sinkretik dikalangan umat Islam di Jawa. Oleh karena itulah diperlukan upaya yang terus menerus untuk menjelaskan Islam yang sebenarnya sehingga Islam benar-benar dapat menjalankan kehidupan Islami secara murni. Proses pengembangan Islam di Jawa menunjukkan adanya kemajuan yang bersifat kuantitas. Artinya mayoritas masyarakat Jawa tertarik dan memeluk Islam, sedangkan secara kualitas terhadap intensitas 13
Baca dalam Cliffort Geertz, Ritual and Social Dhange a Javanese Example, dalam The Interpretation of Cultures, Selected Essay, (Lordsa : Hutchinson, 1975). Lihat pula dalam Meijer L. Th & J. F. A. C. Van de Wall, De Sedekahs on Selametan, In de Desa eh De Daarbij Gewonlijk Door Dengan Javaan Gegeven Festiviteiten, G. C. T. Van Dorp & Co, Semarang, 1909, hlm. 82
51 ke-Islaman-nya masih kurang mantap. Menurut hasil penelitian Raffles yang dilaporkan dalam buku History of Java (1817) dinyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.14 Demikian pula oleh Kyai Ahmad Rifa’i dalam kitab Ri’ayatul Himmah (1855) dinyatakan bahwa pengalaman agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah Islamiyah dan harus diluruskan.15 Demikianlah keadaan umat Islam di Jawa sebelum masuknya gagasan pemurnian Islam. Hubungan antara Jawa dengan Makkah telah dirintis sejak zaman Sultan Agung Mataram pada abad XVIII, sehingga beberapa orang Jawa ada yang pergi haji dan belajar di Makkah.16 Pada zaman Sultan Agung agama Islam mendapat tempat yang cukup layak, para ulama' mendapatkan status sebagai penasehat raja dan anggota dewan pengadilan kerajaan Mataram.17 Pada zaman itu pula mulai dikenalkan kalender hijri yang diganung dengan kalender saka menjadi Jawa. Kedatangan kolonialisme Barat di kawasan Indonesia pada abad XV menambah rumitnya perkembangan Islam di Jawa. Bangsa Eropa lebih bersifat ekspansif bersenjata, mereka datang dengan kekerasan, perang dan penjajahan serta mengandalkan bedil dan meriam untuk menguasai Indonesia.18 Portugis menyerbu dan menjajah Malaka pada tahun 1511, kemudian Belanda dengan VOC nya menguasai Banten pada
14
Thomas Stamford Raffles, History of Java, The East Indian Company, London, 1817,
hlm. 2 15
Ahmad Rifa’i, Ri’ayatul Himmah, Juz. I, hlm. 339
16
B. H. M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesian, The Hague : Van Koeve, 1955,
hlm. 150 17
Ibid,
18
Umar Kayam, Transformasi Budaya Kita, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra UGM, Senat Guru Besar Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1989, hlm. 17
52 tahun 1596. Kaum penjajah bangsa Eropa itu di samping berdagang dan menjajah Indonesia, juga aktif menyiarkan agama kristen.19 Penggunaan politik devide et ampera membuat mereka berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Namun para ulama' dan rakyat di Indonesia tidak tinggal diam, merak aterus mengadakan perlawanan sehingga muncullah perang di hampir seluruh pelosok pedesaan di Indonesia. Adanya kesibukan perang melawan penjajahan bangsa Barat itu, maka proses perkembangan Islam yang dilakukan oleh para ulama' mengalami hambatan, sehingga proses pemurnian Islam pun mengalami kemandekan. Dengan demikian maka wajar bila pengamalan Islam secara sinkretik dan akulturasi semakin digemari oleh umat Islam yang awal terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Munculnya politik kolonial deislamisasi menambah beban keihdupan sosio-kultural umat Islam. Dalam pelaksanaan deislamisasi pemerintah Hindia Belanda mencanangkan kebijakan antara lain : Pertama, umat Islam dipecah menjadi dua yaitu Islam Abangan dan Islam Putihan,
Kedua,
ulama'
dan
pemimpin
adat
diupayakan
saling
bertentangan, Ketiga, umat Islam dilarang berpolitik dengan konsepsi keislamannya, Keempat, mendirikan banyak sekolah dengan tujuan terencana untuk memisahkan anak-anak umat Islam dari keyakinan terhadap Islam, Kelima, politik pendekatan pada umat Islam dan para ulama' dengan menganjurkan untuk membangun masjid-masjid jami’ dan memberangkatkan haji gratis bagi para ulama' yang mau bekerjasama dengan pemerintah. Konsep politik de Islamisasi (Ducth Islamic Polecy) dibuat oleh Christian Snouck Horgonje dengan tujuan untuk melemahkan potensi umat Islam dalam melawan Belanda.20
19
Muller Krager, Sejarah Gereja di Indonesia, Badan Penerbitan Kristen, Jakarta, 1966,
hlm. 17 20
P. JS Van Koningsveld, Snouck Hurgonje dan Islam, Girimukti Pustaka, Bandung, 1989, Lihat pula Adaby Darban, Snouck Hourgonje dan Islam di Indonesia, Pustaka Irma, Yogyakarta, 1984
53 Sebelum deislamisais muncul, pemerintah kolonial Belanda melakukan kritenisasi. Para pendeta dan para pastor atau suster mendapat bantuan fasilitas dan dana serta politis dari pemerintah, bahkan beberapa pendeta ada yang dijadikan pegawai di lingkungan pemerintahan. Di dalam bidang pendidikan kader penyebar agama kristen, gerakan Zending mendirikan sekolah penginjil yang pertama di Jawa Tengah pada tahun 1888. Pada tahun 1905 sekolah itu dipidahkan ke Yogyakarta dengan nama sekolah pendeta. Selain itu juga didirikan sekolah missi dan sekolah guru. Pada abad XIX pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolahsekolah antara lain Earste Klasse sekolah yang diperuntukkan bagi anakanak pegawai dan pejabat, serta orang-orang terpandang, yang diadakan di karisedenan. Tujuan pemerintah menyelenggarakan sekolah itu untuk memenuhi kebutuhan pegawai di lingkungan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1914 sekolah tersebut diubah namanya adalah E.L.S didirikan pada tahun 1864 ; Stovia didirikan pada tahun 1875 dan Tweede Klasse pada tahun 1875.21 Munculnya berbagai sekolah yang dikelola oleh missi Zending dan pemerintah kolonial Belanda ada positifnya dan ada negatifnya. Positifnya mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah itu pada umumnya mengetahui wawasan ilmu pengetahuan umum sehingga membuka cakrawala keilmuan yang luas dan pengetahuan tentang pergerakan nasional. Negatifnya adalah sekolah pada zaman kolonial itu menghasilkan lulusan yang menjadi pengikut kolonialis Belanda. Di samping itu mereka yang bersekolah di sekolah missi, Zanding dan sekolah
pemerintah
kolonial
pada
umumnya
akidah
Islamnya
mengambang, bahkan ada pula yang berpindah agama menjadi Nasrani. Dengan demikian rencana Snouck Horgonje untuk memisahkan umat Islam dari keyakinan agama Islamnya ada yang menjadi kenyataan, meskipun tidak semuanya. 21
Yusron Asrofi, KHA Dahlan Pemikiran dan Kepemipinannya, Yogyakarta Ofset, Yogyakarta, 1983, hlm. 11. Lihat pula Muller Kruger, op. cit, hlm. 71-73
54 Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mempunyai program yang jelas tentang Cristening Politiek yaitu politik untuk mengkristenkan bangsa Indonesia dengan maksud agar mudah dikendalikan dan tidak melawan pemerintah Belanda. Tindakan Belanda ini dapat dilihat dari pernyataan Stodard sebagai berikut : “Suatu tindakan yang tidak dapat dilupakan oleh rakyat yang terjajah, akan kebobrokan politik penjajah, adalah mempergunakan kesucian agama bagi kepentingan busuk kolonialismenya. Misalnya apa yang telah dikerjakan oleh Gubernur Jendra Idenburg dengan politik pengkristenannya terhadap penduduk nusantara. Politik untuk mengkristenakan penduduk Boemi Poetra itu adalah dengan cukup jahat, untuk menanamkan cakar kolonialismenya”.22 Politik Kristenisasi untuk Indonesia mendapat prioritas dari pemerintah Belanda. Hal ini dibuktikan adanya “Pidato Ratu Belanda (Troandrede)” tahun 1901 yang isinya antara lain sebagai berikut : “Sebagai negara Kristen, pemerintah belanda berkewajiban mengatur lebih baik kedudukan hukum rakyat kristen yang berada di kepulauan Hindia Belanda, dengan memperkuat Zending kristen meneruskan kebijaksanaan pemerintah Belanda, yaitu harus mengisi panggilan moral terhadap negara jajahan”.23 Demikianlah gambaran adanya uapaya kristenisasi bagi penduduk Indonesia yang sudah mayoritas muslim. Oleh karena itulah pada akhir abad XIX umat Islam di Indonesia sedang dalam keadaan mundur dan memprihatinkan. Kondisi itu tampak antara lain sebagai berikut. Pertama, kehidupan beragama Islam kondisinya masih bercampur aduk dengan kepercayaan, kehidupan Pra-Islam, sehingga pengalaman umat Islam banyak menyeleweng dari tuntunan pokok ajaran Islam. Umat Islam banyak melakukan praktek syirik, khurafat dan bid’ah.
22
L. Stoddard, Dunia Baru Islam, op. cit, hlm. 306
23
F. L. Rutgers, Idenburg on de Sarekat Islam in 1913, Amsterdam, 1939, hlm. 2
55 Kedua, akibat adanya penjajahan, maka dunia pendidikan Islam menutup diri hanya di pondok-pondok pesantren serta terbatas hanya mempelajari ilmu keagamaan. Ketiga, adanya Kristenisasi yang didukung oleh pemerintah Belanda, sehingga berproses menuju pemurtadan terhadap umat Islam. Keadaan sosio-kultural yang sangat memprihatinkan kehidupan Islam itu, di kampung Kauman Yogyakarta muncul seorang ulama' yang pernah mendidik di Makkah, yaitu KHA Dahlan, yang memiliki gagasan dan upaya berbuat untuk mengubah kehidupan umat Islam Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik. Dari kampung Kauman Yogyakarta inilah KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. c. Keorganisasian Muhammadiyah. 1. Majlis Tarjih. a. Latar belakang timbulnya majlis tarjih (lajnah tarjih). Latar belakang timbulnya majlis tarjih (yang sekarang dengan sebutan lajnah tarjih) dalam persyarikatan, ialah dalam konggres Muhammadiyah ke XVI di Pekalongan pada tahun 1927, almarhum K.H. Mas Mansur yang pada waktu itu sebagai Konsul Muhammadiyah daerah Surabaya, mengusulkan agar di dalam organisasi Muhammadiyah dibentuk suatu majlis ulama' yan gbertugas khusus untuk membahas masalah-masalah agama. Usul K.H. Mas Mansur tersebut disertai dengan alasan, karena dikhawatirkan nanti akan timbul perpecahan di dalam Muhammdiyah
yang
disebabkan
perbedaan
paham-paham
pendapat mengenai masalah-masalah furu’iyah di kalangan ulama' Muhammadiyah
sendiri,
sebagai
kenyataan
dalam
sejarah
menunjukkan bahwa karena masalah khilafiyah itulah timbulnya pertentangan dan perpecahan di kalangangan umat Islam, terutama ulama'nya.
Dan
yang
lebih
dikhawatirkan
lagi
kalau
56 Muhammadiyah sampai menyimpang dari batas-batas hukum agama, hanya kwantitasnya. Maka perlulah dibentuk majlis yang membahas masalah-masalah agama dan mempersatukan masalah khilafiyah yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah, agar Muhammadiyah tetap satu dan utuh. 24 Usul PP Muhammadiyah atas inisiatif perumus kemudian dibawa ke dalam muktamar Muhammadiyah dan muktamar mengesahkan Qoidah Majlis Tarjih serta membentuk pusat pimpinannya. 25 b. Struktur
organisasi
Muhammadiyah,
dan
(sesuai
keanggotaan dengan
surat
Lajnah keputusan
Tarjih PP
Muhammadiyah No. 5 / PP / 1971 tentang Qoidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah) : 26 1. “Lajnah tarjih” dibentuk di tingkat pusat, wilayah dan daerah oleh pimpinan persyarikatan masing-masing tingkat dengan sebutan “lajnah tarjih pusat, lajnah tarjih wilayah, lajnah tarjih daerah”. Ketarjihan pada tingkat cabang dan ranting di urus oleh lajnah tarjih daerah yang bersangkutan. Letak lajnah tarjih sebagai lembaga persyarikatan dalam bidang agama adalah diisi pimpinan persyarikatan. Lajnah tarjih sebagai badan legislatif dan pimpinan persyarikatan sebagai badan eksekutif (pemegang
risalah
tanfidziyah).
Lajnah
tarjih
dalam
melaksanakan tugasnya, dilengkapi dengan pimpinan lajnah tarjih yang disebut dengan majlis tarjih, anggota-anggota lajnah tarjih dan musyawarah lajnah tarjih.
24
H.D.G. Mukhtar, Beberapa Aspek Pedoman Bertarjih, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, hlm. 11 25
Ibid, hlm. 12
26
Ibid, hlm. 15-16
57 2.
Pimpinan
lajnah
tarjih
yang
disebut
majlis
tarjih,
kedudukannya sama dengan majlis-majlis yang lain, yaitu sebagai badan pembantu pimpinan persyarikatan. Susunan dan keanggotaan piminan majlis ditetapkan oleh pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat. Majlis tarjih pusat memimpin lajnah tarjih wilayah memimpin lajnah tarjih wilayah, terdiri sekurang-kurangnya 7 orang, dan majlis tarjih daerah memimpim majlis tarjih daerah, terdiri sekurangkurangnya 5 orang. 3. Anggota lajnah tarjih ialah ulama' dan merupakan anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih, diangat dan
ditetapkan
oleh
pimpinan
persyarikatan
yang
bersangkutan. 4. Musyawarah lajnah tarjih, untuk tingkat pusat disebut muktamar, tingkat wilayah disebut musyawarah wilayah dan tingkat daerah disebut musyawarah daerah diselenggarakan dengan persetujuan pimpinan persyarikatan tingkat yang bersangkutan. Musyawarah
lajnah
tarjih
dihadiri
oleh
anggota
musyawarah, yaitu anggota lajnah tarjih yang bersangkutan dan anggota majlis tarjih, dan mereka yang dipandang perlu oleh majlis tarjih
dengan
persetujuan
pimpinan
persyarikatan
yang
bersangkutan. Musyawarah dipimpin oleh majlis tarjih yang bersangkutan. c. Kegiatan Majlis Tarjih. 27 1. Majlis tarjih atau juga disebut lajnah tarjih tugasnya seperti dinyatakan
dalam
pasal
2
Muhammadiyah tahun 1971, yaitu : 27
Ibid, hlm. 17-18
Qoidah
Lajnah
Tarjih
58 a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. b. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun tarjih sendiri memandang perlu. c. Menyusun tuntunan aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah. d. Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. e. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan. Qoidah induk majlis-majlis, yaitu kepemimpinan PP Muhammadiyah No. 5 / PP / 74 tentang majlis dan bagian serta pokok tugas, hak dan wewenang serta keajibannya, dalam pasal 8 dinyatakan : 1. Majlis-majlis yang diperlukan untuk membantu jalannya pimpinan persyarikatan ialah : Tarjih dengan pokok-pokok tugas : a. Meneliti hukum Islam untuk mendapatkan kemurniannya. b. Memberi bahan dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan
guna
menentukan
kebijaksanaan
dan
menjalankan pimpinan serta memimpin pelaksanaan ajaran dan hukum Islam kepada anggota. c. Mendampingi pimpinan persyarikatan dalam memimpin anggota dalam melaksanakan ajaran dan hukum Islam. 2. Hasil kegiatan majlis tarjih Muhammadiyah, baik yang dengan melalui mu’tamarnya atau musyawarahnya, musyawarah khusus atau terbatas ataupun rapat-rapat pimpinannya ialah : a. Keputusan tarjih seperti yang terhimpun dalam HTP (Himpunan Putusan Tarjih) dan yang belum terhimpun : hasil muktamar tarjih di Garut Jawa Barat tahun 1976 dan hasil muktamar tarjih di Klaten Jawa Tengah tahun 1980.
59 b. Tuntunan
tentang
tata
tertib
dalam
persidangan,
penerangan tentang keputusan tarjih, tuntunan membina keluarga sejahtera. c. Menyelenggarakan PUTM, menyelenggarakan seminar falak dan di susul musyawarah falak terbatas. d. Bersifat
memberikan
Muhammadiyah, perkawinan
pertimbangan
seperti
masalah
masalah
hukum
kepada
PP
rancangan
UU
vasektomi,
tubectomi,
mentrual, regulation. e. Dan lain-lain. d.
Sumber Hukum Islam Menurut Muhammadiyah. Pada tahun 1935 PP. Muhammadiyah mengeluarkan statemen yang dimuat dalam suara Muhammadiyah No. 6 tahun 1936 yang antara lain menyatakan sebagai berikut : 28 Kekhawatiran adanya percekcokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadiyah tentang masalah agama itu, maka perlulah mendirikan majlis tarjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan dan masuk dalam kalangan Muhammadiyah manakala dianggap kuat berdalil benar dari al-Qur’an dan hadits. Penyelidikan dan pertimbangan dengan berdalil al-Qur’an dan hadits itulah putusan majlis tarjih dapat mempersatukan dan menjaga Muhammdiyah dari pada kemasukan perselisihan yang mesti dilenyapkan. Penggunaan dasar al-Qur’an dan hadits ini, lebih tegas di rumuskan pada muktamar khusus yang berlangsung di Yogyakarta tanggal 29 Desember sampai dengan 3 Januari 1955 dengan hasil
28
PP Muhammadiyah, Himpunan Muhammadiyah, Cet. 2, 1971, hlm. 340
Putusan
Majlis
Tarjih
Muhammadiyah,
PP
60 yang terkenal dengan masalah lima yang antara lain dirumuskan tentang agama Islam sebagai berikut : 29
ﺴﻨ ِﺔ ﻣﺎ ﺟﺎ ﹶﺋﺖ ﺑﺎﺍﻟ ﺰ ﹶﻝ ﺍﷲ ﰱ ﺍﻟ ﹸﻘﺮﺃ ِﻥ ﻭ ﻧﻣﺎ ﹶﺃ ﻮ ﻫ (ﻦ )ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻻ ﺳﻼﻡ ﺪﻳ ﹶﺍﻟ ﻫﻢ ﻧﻴﺎﺩ ﺡ ﺍﹾﻟ ِﻌﺒﺎ ِﺩ ِ ﺼﻼ ﺕ ِﻟ ِ ﺭﺷﺎﺩﺍ ﻭﺍ ِﻻ ﻨﻮﺍ ِﻫﻰﺼﺤﻴﺤ ِﺔ ِﻣﻦ ﺍ َﻷ ﻭﺍ ِﻣ ِﺮ ﻭﺍﻟ ﺍﻟ ﻢ ﻫ ﺮﺍ ﺧ ﻭﹸﺃ "Agama yakni agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam sunah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat". Rumusan ini dapat diketahui bahwa dalam masalah agama, Muhammadiyah bersumberkan al-Qur’an dan hadits. Hal ini lebih tegas lagi perumusannya dalam rangka menjelaskan kedudukan qiyas, dinyatakan sebagai berikut:30
ﱘ ﺮﺍ ﹸﻥ ﺍﻟ ﹶﻜﺮ ﻮ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ ﻫ ﻉ ِ ﺳﻼ ِﻣﻰ ِﻋﻠﻰ ﺍ ِﻻ ﹾﻃﻼ ﺸﺮﻳ ِﻊ ﺍﻻ ﺘﺻ ﹸﻞ ِﻓﻰ ﺍﻟ ﹶﺍﻷ ﺚ ﺤ ِﺪﻳ ﹶ ﻭﺍﹾﻟ "Bahwa dasar mutlak (tanpa batasan dan ikatan) untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan hadits". Sedangkan kedudukan ijtihad menurut Muhammadiyah dalam keputusan mengenai masalah lima dinyatakan sebagai berikut : bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat menghajatkan pengetahuan hukumnya untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang bukan ibadah mahdlah (melulu), padahal untuk alasan hukumnya tidak terdapat nash sharih (dalil Qur’an dan hadits yang jelas terang) yang manthuq (terucapkan) di dalam Qur’an (sunnah sahih, maka untuk mengetahui hukumnya dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad
29
Ibid, hlm. 281
30
Ibid, hlm. 283
61 dan istinbath dari nash-nsah yang ada dengan melalui persamaan illah (sebab) sebagaimana telah dilakukan oleh ulama' salaf (yang dahulu) dan khalaf (yang kemudian). Dengan demikian, ijtihad merupakan jalan penetapan hukum, bukan sebagai sumber hukum. B. Qunut Menurut Muhammadiyah 1. Pengertian Makna asli dari perkataan “qunut” adalah “tunduk kepada Allah dengan
penuh
kebaktian.
Muktamar
Muhammadiyah31
dalam
keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti “berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan berdo’a sekehendak hati” sebagaimana dapat diambil pengertian tersebut. Adapun landasan teori yang digunakan adalah: a. Hadits dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda : shalat yang paling utama adalah berdiri lama (untuk membaca dan berdo’a). (Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Imam Tirmidzi menshohehkan hadits tersebut). (Nalilul Authar : 3 hlm. 64). b. Berkata Bukhari : berkata Muhammad bin ‘Ajlan dari Nafi’, dari Ibnu Umar R.H.A, katanya : pernah Rasulullah mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah menurunkan ayat: ﺍﻷﻳﺔ
""ﻟﻴﺲ ﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺮ ﺷﺊ
2. Macam-Macam Qunut a. Qunut Shubuh Pada perkembangan sejarah fiqih, di masa lampau orang telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut shubuh, yakni ‘berdiri sementara’ pada shalat subuh sesudah ruku’
31
PP. Muhammdiyah, Keputusan Muktamar Tarjih, op. cit, hlm. 367-369
62 pada rekaat kedua dengan membaca do’a: allahu mmahdini fi man hadait dan seterusnya. Muktamar tarjih mempunyai pemahaman berkaitan dengan qunut shubuh, yaitu: a. Setelah diteliti kumpulan macam-macam hadits tentang qunut, maka muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat subuh. b. Bacaan do’a adalah : ﺍﱀ... ﺖ ﻳﺪ ﻫ ﻦ ﻤ ﻫ ِﺪﱏ ﻓﻴ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍ
dalam
shalat
untuk
khusus
subuh itu, haditsnya tidak sah. c. Penerapan hadits riwayat hasan tentang do’a : dalam qunut subuh, tidak dibenarkan. Muktamar Tarjih Wirodeso32, Pekalongan telah melakukan penelitian kembali terhadap dalil yang menuntunkan membaca qunut dalam shalat subuh. Penelitian itu menunjukkan bahwa dalil yang selama ini dipergunakan ternyata tidak kuat. Oleh karena itu qunut tersebut tidak perlu dilaksanakan. b. Qunut Nazilah. Penggunaan qunut nazilah ternyata masih menjadi persoalan. Hal tersebut berasal dari pemahaman yang berbeda dan belum dapat dipertemukan, yaitu mengenai hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. tidak mengerjakan qunut nazilah setelah di turunkan ayat :
(128)ﻮ ﹶﻥﻢ ﻇﹶﺎِﻟﻤ ﻧﻬﻢ ﹶﻓِﺈ ﺑﻬﻌ ﱢﺬ ﻭ ﻳ ﻢ ﹶﺃ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺏ ﻮﻳﺘ ﻭ ﻲ ٌﺀ ﹶﺃ ﺷ ﻣ ِﺮ ﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻚ ِﻣ ﺲ ﹶﻟ ﻴﹶﻟ “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, apakah Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka,
32
Abdul Munir Mulkhan, Jawaban Kyai Muhammadiyah, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 62
63 karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dholim”. (Q.S: Ali Imran: 128)33 Jelasnya ialah bahwa Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan telah mengerjakan qunut nazilah dalam hubungan penganiayaan orang kafir terhadap kelompok orang Islam. Rasulullah saw. dalam do’a tersebut memohon untuk dikutukkann mereka yang telah melakukah kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka (kaum kafir yang telah membantai para shahabat Nabi), kemudian turunlah ayat :
ﺍﻷﻳﺔ...ﻲ ٌﺀ ﺷ ﻣ ِﺮ ﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻚ ِﻣ ﺲ ﹶﻟ ﻴﹶﻟ Pemahaman yang timbul dari riwayat tersebut adalah : a. Bahwa qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan. b. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan. c. Qunut Witir Hadits yang dijadikan alasan bagi qunut witir diperselisihkan oleh ahli-ahli hadits. Muktamar masih merasa memerlukan penelitian dan mempertimbangkan dasar perbedaan penilaian ahli-ahli hadits tersebut. Oleh karenanya keputusan Majlis tarjih masih menunda (tawaquf) persoalan qunut nazilah yang akan dibahas pada kesempatan lain. PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih mengusulkan kepada PP. Muhammadiyah, berhubung dengan masih tawaqufnya qunut witir ini, maka hendaknya dalam pentahfidzan keputusan muktamar, hal itu (qunut witir) tidak perlu dimuat. Pengertian qunut menurut Muhammadiyah adalah sesuai dengan yang ada pada hadits, yaitu "panjang bacaannya untuk membaca dan berdo’a dan 33
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag, RI, Jakarta, 1989, hlm. 97
64 lama berdirinya". Artinya shalat tersebut dilakukan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Lebih lanjut dapat disarikan sebagai berikut:
()ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﺼﻼ ِﺓ ﰱ ﺍﻟ ِ ﺪﻋﺎ ِﺀ ﺮﺃ ِﺓ ﻭﺍﻟ ﲎ ﹸﻃﻮ ِﻝ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴﺎ ِﻡ ِﻟ ﹾﻠ ِﻘ ﻌ ﻤ ﺕ ِﺑ ﺲ ﹶﺍ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﻨﻮ ﺠِﻠ ﻤ ﺮﻯ ﺍﹾﻟ ﻳ.1 .ﻉ ﺮﻭ ﺸ ﻣ ﻑ ِ ﻤﺘﻌﺎ ِﺭ ﺠ ِﺮ ﺍﹾﻟ ﺕ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ِ ﻚ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴﺎ ِﻡ ﺑ ﹸﻘﻨﻮ ﺴ ِﻤﻴ ﹶﺔ ﹶﺫِﻟ ﺗ ﺹ ﺨﺼﻮ ﻣ ﺲ ﺠِﻠ ﻤ ﺮﻯ ﺍﹾﻟ ﹶﻻ ﻳ.2 ﻤ ﺍﹾﻟ .ﺣ ﹾﻜ ِﻤﻪ ﺘِﻠﻔ ِﺔ ﰱﺨ . ﺍﻻﻳﺔ,ﺷﺊ ﻣ ِﺮ ﻚ ِﻣﻦ ﹾﺍ ﹶﻻ ﺲﻟ ﻴ ﹶﻟ,ﻧﺰ ﹶﻝ ﺍﷲﱴ ﹶﺍ ﺣ ﺎ ِﺯﹶﻟ ِﺔﺖ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻌﻢ ﻟﻠﻨ ﹶﻗﻨ.3 .ﺒﻮِﺗﻪﺠ ﹰﺔ ﰱ ﺛ ﺣ ﺗ ِﺮﺕ ﺍﹾﻟ ِﻮ ِ ﺚ ﹸﻗﻨﻮ ِ ﺣﺪﻳ ﻋِﺘﺒﺎ ِﺭ ﺲ ِﻓﻰ ﺍ ﺠِﻠ ﻤ ﻒ ﺍﹾﻟ ﺗﻮﱠﻗ .4 1. Bahwa qunut dengan arti berdiri lama untuk membaca dan berdo’a di dalam shalat itu masyru’ (ada tuntunannya). 2. Tidak membenarkan adanya pengertian (qiyam) di atas di khususkan untuk qunut subuh yang sudah dikenal dan diperselisihkan hukumnya. 3. Nabi saw menjalankan qunut nazilah sampai Allah menurunkan surat Ali Imran: 128. 4. Belum dapat mengambil keputusan tentang menilai hadits witir yang dipakai hujjah alasan bagi adanya qunut witir