BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Gilas OBB adalah contoh bagaimana kesenian mampu melebur setiap sekat batas usia. Grup dangdut dengan anggota anak muda ini menghilangkan sekat yang selama ini melekat pada musik dangdut bahwa musik ini adalah tipe musiknya orang tua, cocok dinikmati oleh orang tua dan kebanyakan dimainkan oleh orang tua yang sudah berumur. Secara tidak langsung dan mungkin tidak disadari oleh para personil Gilas OBB, mereka tengah mengemban sebuah misi mulia mengenalkan musik dangdut kepada kalangan anak muda. Membawa musik dangdut ke ranah baru yang sebelumnya tidak terjamah, ranah anak muda yang kebanyakan lebih menggemari musik pop atau jenis musik populer lainnya. Gilas OBB adalah antitesis yang muncul menegasikan pakem musik dangdut tua. Gilas OBB juga membuktikan bahwa inovasi dan kreasi dalam ranah kesenian perlu dilakukan agar dapat survive dari persaingan yang begitu ketat. Hal ini terlihat dengan keputusan mereka mengubah arah musik yang dimainkan dari yang sebelumnya membawakan musik rockdut atau rock dangdut, kini lebih condong ke musik dangdut koplo yang lebih digemari oleh penonton. Bisa saja Gilas OBB tetap bertahan dengan pakem musik rockdut yang mereka bawakan sejak awal berdirinya, namun itu akan membuat mereka kalah bersaing dengan grup dangdut lainnya. Maka agar penonton tetap mengikuti setiap pertunjukan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
61
mereka, Gilas OBB harus berinovasi dengan memasukkan unsur musik dangdut koplo ke musik yang mereka tampilkan. Dalam ranah politik, jika Rhoma Irama sebagai raja dangdut saja sudah berkampanye dalam panggung politik sejak tahun 70-an, maka sudah dapat ditebak bahwa para artist penerusnya, mereka yang memainkan musik dangdut, juga bakal dimanfaatkan oleh para politisi untuk media kampanye. Gilas OBB sebagai salah satu grup dangdut yang cukup diperhitungkan di Yogyakarta akhirnya juga masuk dalam ranah panggung politik ini. Saat mereka diundang oleh salah satu partai politik besar untuk bermain di kampanye mereka. Yang kemudian menarik adalah sikap politik dari Gilas OBB. Berbeda dengan Rhoma Irama yang dulu berkampanye untuk PPP dan Golkar dengan ideologi yang benar-benar ada. Dalam artian saat Rhoma berkampanye dalam kedua partai itu, maka secara ideologis Rhoma juga mendukung apapun program partai. Dengan lugas Rhoma Irama mendeklarasikan bahwa Rhoma Irama mendukung penuh partai tersebut. Sementara Gilas OBB ternyata berbeda, saat bermain untuk kampanye politik, mereka menanggalkan nama Gilas OBB. Mereka bermain sebagai grup tanpa nama. Penghilangan nama tersebut dapat dibaca sebagai sikap politik mereka. Mereka menganggap diri mereka sekadar sebagai seniman yang diundang untuk bermusik. Jadi Gilas OBB tidak secara ideologis mengikuti program partai yang mengundang mereka bermain di kampanye. Mereka tidak lantas dengan bangga menyatakan Gilas OBB mendukung penuh PDIP. Gilas OBB hanya datang sebagai artist yang diundang untuk bermain. Dan cukup demikian. Maka
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
62
seandainya ada parpol lain yang mengundang bermain sekalipun Gilas OBB tetap akan melayaninya karena tujuan mereka hanya ingin bermusik sebagai seniman. Mengabaikan sama sekali unsur politis dari panggung kampanye itu. Dengan mengamati hubungan antara PDIP sebagai partai politik yang mengundang, Gilas OBB sebagai artist dangdut yang diundang, serta para simpatisan yang hadir di kampanye terbuka PDIP pada bulan maret tahun 2014. Dapat diperoleh kesimpulan relasi-kuasa seperti apa yang ada dalam fenomena musik dangdut sebagai media kampanye ini. Bahwa musik dangdut ternyata sebatas sebuah alat mobilisasi massa. Musik dangdut adalah sebuah political branding atau pencitraan dari partai agar masyarakat meyakini bahwa partai tersebut benar-benar dekat dengan rakyat. Dangdut selalu dihadirkan dalam kampanye politik sebagai alat mobilisasi massa, penarik massa agar berkumpul dalam satu titik lalu setelahnya partai politik akan memberikan orasi. Musik dangdut yang dimainkan sendiri belum tentu mengandung unsur politik karena biasanya yang dimainkan tetap saja musik-musik dangdut populer. Bukan lagu dengan lirik-lirik menjurus pada ideologi partai tersebut.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
63
B. Saran Dengan relasi-kuasa yang telah terbaca seperti di atas, seharusnya politisi dan parpol segera memulai berpolitik gagasan atau ide. Menjual gagasan dan ide tersebut kepada rakyat selama masa kampanye. Tidak lagi menggunakan dangdut sebagai political branding karena kenyataannya rakyat bukan sekadar objek, mereka adalah subjek organik yang bisa berpikir sendiri dan menyadari dangdut hanya sebatas alat mobilisasi massa. Dangdut harus mendapat sebuah tempat terhormat sebagai bentuk kesenian bangsa, sama seperti saat gamelan atau musik Indonesia lainnya mendapat tempat sebagai kesenian bangsa yang adiluhung.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
64
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Althusser, Louis. 1984. Essays on Ideology. London: Verso. Banton, Michael. 1973. Anthropological Approaches to study of Religion. London: Tavistock Publications. DeNora, Tia. 2003. After Adorno Rethinking Music Sociology. York : Cambridge University Press. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (ed). 2000. Handbook of Qualitative Research. Second Edition. California, Amerika: Sage Publications, Inc. Djohan. 2009. Psikologi Musik. Yogyakarta: Best Publisher. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Heryanto, Ariel (ed). 2012. Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: Jalasutra. __________. 1999. ”The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of Indonesia‟s New Rich”, dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. London: Routledge. Hidayat, Rahmat. 2014. “Analisis Semiotika Makna Motivasi Pada Lirik Lagu Laskar Pelangi Karya Nidji”, dalam eJournal Ilmu Komunikasi Fisip Unmul, 2014, 2 (1). Kaplan, David dan Albert A.Manners. 1999. Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Khan, Hazrat Inayat. 2002. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta: Pustaka Sufi. Mills, Sara. 2003. Michel Foucault. London: Routledge. Nettl, Bruno. 2005. The Study of Ethnomusicology: Thirty-One Issues and Concept. Urbana dan Chicago, Amerika: University of Ilinois Press. North, Adrian C. dan David J. Hargreaves. 2007. “Lifestyle correlates of musical preference: 2. Media, leisure time and music”, dalam Jurnal Pyschology of Music no. 25 tahun 2007. London: Society for Education, Music and Psychology Research dan Sage Publishing.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
65
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batasbatas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Post, Jennifer C. 2004. Ethnomusicology A Research And Information Guide. New York: Routledge. Prier SJ, Karl Edmund. 1996. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Suharto, Ben. 1987. Pengamatan Tari Gambyong Melalui Pendekatan Berlapis Ganda. Kertas kerja yang disajikan dalam Temu Wicara Etnomusikologi III di Medan pada tanggal 2-5 Februari 1987. Turner, Victor. 1997. “Symbol in African Ritual”, dalam Janet L. Dolgin, et al (ed.) Symbolic Anthropology A Reader in the Study of Symbols and Meanings. New York: Columbia University Press. Umam, Moh. Khatibul. 2010. “Gilas OBB dan Musik Genre Minoritas (Studi Sosiologis Atas Dangdut Yang Lain)”. Skripsi untuk menempuh derajat Strata 1 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Wallach, Jeremy. 2008. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia. 1997-2001. Wisconsin, Amerika: The University of Wisconsin Publisher. Weintraub, Andrew. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
66
Internet On Power Relations. Băllan, Sergiu M. Foucault‟s View Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POW ER%20RELATIONS.pdf. Akses 24 Mei 2014. Darajat, Irfan R 2013. Asolole: Antara Rhoma dan Irama. Indoprogress.com. Akses 13 April 2013. Heryanto, Gun Gun. 2014. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program Partai. Detik.com. Akses 30 Januari 2014. http://liputan6.com/tag/miras-oplosan. Akses 12 Juni 2014. http://marxists.org/glossary/terms/o/b.htm. Akses 19 Juni 2014. http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukanmusik-dangdut. Akses 16 Mei 2014. Suwarna, Budi. Nasib Dangdut. http://jakartabeat.net/resensi/konten/nasibdangdut. Akses 16 Mei 2014
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
67
NARA SUMBER Agung Candra Wijaksa, 24 tahun, pemain gitar grup Gilas OBB, mahasiswa, Magelang. Moch Khatibul Umam, 27 tahun, pemain drum Gilas OBB, karyawan, Yogyakarta. Ridwan Abdul Qohar, wirausahawan, Surakarta.
30
tahun,
pimpinan
grup
Gilas
OBB,
Yogi Jaya Pratama, 27 tahun, staf sekretariat PDIP DPC Sleman, karyawan, Yogyakarta. N, 35 tahun, penggemar musik dangdut, Yogyakarta. (nama terang tidak diijinkan untuk disebut) B, 27 tahun, penggemar musik dangdut, Yogyakarta. (nama terang tidak diijinkan untuk disebut) S, 26 tahun, penggemar musik dangdut, Yogyakarta. (nama terang tidak diijinkan untuk disebut)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
68
GLOSARIUM active observation
aliterasi dangdut koplo
etnografi genealogi globalisasi
high-art koplo
kuasa
low-art Marxist model for
model of Oplosan Orientalisme
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
: konsep etnografi bahwa peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan. Pengamatan secara aktif dipilih untuk menjalin hubungan baik dengan informan. : gaya bahasa yang banyak berkaitan dengan efek estetis dan keritmisan bunyi. : varian baru musik dangdut yang memiliki tempo lebih cepat dan dinamis daripada dangdut lama seperti yang dimainkan Rhoma Irama. Disebut koplo karena yang mendengarkan mendapat efek seperti sedang mengonsumsi pil koplo (lihat koplo) : disiplin ilmu tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi : teori yang dikembangkan filsuf Michel Foucault, berfungsi membedah relasi-kuasa dalam sebuah wacana : proses meleburnya kebudayaan ke dalam lingkup dunia. Banyak mendapat kritik karena peleburan ini disinyalir menimbulkan homogenisasi atau penyeragaman budaya : seni yang dianggap tinggi atau memiliki kasta lebih tinggi (bandingkan dengan low-art) : sejenis obat-obatan terlarang; berbentuk pil dan dijual dengan harga murah. Efeknya bisa menjadi doping saat berjoget, membuat mabuk, dan menjadikan sedikit „beringas‟ : dalam pandangan Foucault kuasa adalah sebuah sistem, jaringan relasional yang meliputi seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar relasi antara 'yang berkuasa' dan yang ,dikuasai'. Individu bukan hanya sekadar objek dari kuasa, tapi mereka adalah locus (lokasi) dimana kuasa dan perlawanan digunakan : seni yang dianggap rendah atau memiliki kasta lebih rendah (bandingkan dengan high-art) : dapat diartikan sebagai para pemikir yang mengikuti pemikiran yang dikembangkan oleh Karl Marx : metode analisis dalam etnografi, konsep yang telah ada diterapkan dalam realitas fenomena sosial budaya (bandingkan dengan model of) : metode analisis dalam etnografi, realitas fenomena sosial budaya ditafsirkan atau dipahami : campuran dari berbagai minuman keras atau beralkohol : dalam definisi Edward Said ini berarti pandangan yang menganggap kebudayaan di belahan dunia bagian barat
69
political branding
post-strukturalisme
relasi-kuasa The entertainmentlistener
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
selalu lebih tinggi derajatnya dari belahan dunia bagian timur : sama seperti branding atau merk dalam periklanan, dalam politik ini berarti memberikan merk atau tanda tertentu pada individu atau entitas politik agar lebih mudah dikenali : mazhab dalam ilmu sosial yang muncul untuk menegasikan strukturalisme. Ilmuwan yang dikenal dalam mazhab ini diantaranya Jean Baudrillard, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes : hubungan yang terjadi antara power (kuasa) dengan subordinated (pihak lemah) yang dikuasai : sesuai penjelasan Theodor Adorno, adalah salah satu tipe pendengar musik yang hanya menganggap musik sebagai hiburan
70
LAMPIRAN
Poster Kedai Nevada
Gilas OBB
Logo Passuwo, salah satu kelompok fans Gilas OBB
Temon-Holic, salah satu kelompok fans Gilas OBB
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta