BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Masalah Musik dangdut dapat menyatukan keberagaman masyarakat
Indonesia yang multi kultur, etnis, dan agama. Wacana tersebut memang sering muncul akhir-akhir ini, berbeda cerita ketika pada awal mula musik dangdut muncul sebagai musik minoritas dan lebih dikenal sebagai musik kaum kelas bawah/pinggiran. Dalam sejarahnya, terma dangdut muncul sekitar 1972 – 1973, berasal dari onomatopoetik suara gendang dan kemudian menjadi terma ejekan untuk menyebut jenis musik ini.1 Terma dangdut tersebut merujuk pada musik melayu (orkes melayu) yang sebelumnya telah lahir di Indonesia pada periode 1950-an. Musik dangdut pada mulanya memiliki karakteristik musik yang terdiri dari beberapa unsur musik, antara lain Melayu, India, Arab, dan Barat. Hal ini tentunya dilandasi oleh proses pertemuan/dialog budaya di Indonesia pada saat itu. Takari menyatakan bahwa : Dangdut adalah suatu ragam seni musik Nusantara yang berasal dari seni etnis Melayu; di dalamnya mengandung unsur – unsur musik India, Arab, dan Melayu. Kemudian berkembang dengan mengadopsi musik Barat, Rock n’roll, Reggae, dan Rap.2 1
William H. Frederick, Goyang Dangdut Rhoma Irama: Aspek-aspek Kebudayaan Pop Indonesia Kontemporer dalam Idi Subandy Ibrahim(Ed), (Bandung : Mizan, 1997), 257. 2 Muhammad Takari, Akulturasi Kebudayaan Musikal dalam Seni Pertunjukan Dangdut, Selonding Jurnal Etnomusikologi Indonesia Vol. 1 No.1 September 2001, 103.
2
Pernyataan
tersebut
serupa
dengan
pernyataan
yang
diungkapkan oleh Philip Yampolsky bahwa : “At the other end of the scale would be music in the European harmonized idioms (pop Indonesia, patriotic songs, church songs) or music in the mixed Middle Eastern/Indian/Western idioms of dangdut, orkes gambus,and qasidah moderen”.3 Weintraub melihat asal-usul dangdut sebagai dialog global antar-budaya, yaitu musik populer India, Timur-Tengah, Eropa, dan
Amerika
Serikat
yang
diapropriasi,
diterjemahkan,
ditransformasi, dan diaduk dengan sensibilitas lokal Indonesia di pusat urban Jakarta dan Surabaya dekade 1950-an dan 1960-an.4 Musik dangdut yang memiliki keberagaman unsur musikal seringkali disebut sebagai musik hibrid, adanya pencampuran tersebut
menjadikan
dangdut.
Karekteristik
identitas musik
musikal dangdut
baru yang
dalam
musik
bersifat
hibrid
mengidentifikasikan bahwa musik dangdut merupakan hasil apropriasi budaya di Indonesia. Musik dangdut kemudian mengalami metamorfosis pada tahun 1970-an berkat kreativitas Rhoma Irama. Rhoma Irama berhasil mengemas dangdut menjadi sajian yang apik dan menarik. Sejak saat itulah dangdut mulai populer, tidak hanya dari kalangan kelas bawah dan menengah saja namun juga kelas atas. Dangdut menjadi musik primadona dan alat yang massive
3
Philip Yampolsky, Can The Tradisional Arts Survive, And Should They ?, Indonesia Vol.71 April 2001, 175. 4 Andrew N. Weintraub, Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.(Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), 64.
3
kala kampanye politik untuk memobilisasi massa. Selain itu karena popularitasnya, hampir semua stasiun televisi nasional memiliki program acara khusus dangdut.5 Pada era 1990 – 2000-an fenomena dangdut lokal mulai muncul dan berkembang di setiap penjuru Indonesia. Dangdut lokal tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan “dangdut murni”. Ukat S (pencipta lagu dan penata musik produktif pada tahun 2006) menyebutnya dengan terma “dangdut etnik” untuk menunjuk dangdut bernuansa etnik Indonesia.6 “Dangdut etnik” dibedakan dari “dangdut murni” (dangdut piur) dan “dangdut biasa” yang, ironisnya, berbasis musik film India dan berwarna India.”7 Karakteristik dangdut etnik (untuk seterusnya disebut dangdut lokal) biasanya memakai bahasa, tangga nada, melodi, irama, dan instrumentasi musik yang berasosiasi dengan salah satu etnik di Indonesia. Beberapa contoh musik dangdut lokal yang berkembang pada masa itu adalah saluang dangdut Minang (dangdut etnik yang berkembang di Sumatera Barat), Pong-dut Sunda (Jawa Barat), Tarling Cirebon (Cirebon), Koplo Jawa (Jawa Timur), dan Dangdut Banjar (Banjarmasin). Kemunculan dan perkembangan dangdut lokal yang pesat juga diperkuat oleh efek krismon (krisis moneter) pada tahun 1997. Weintraub mengatakan
5
Agus Rianto, Dangdut di Televisi : Menelusuri Representasi Ideologi Pada Proram Acara Pertunjukan Musik Dangdut di Televisi, Tesis S2 Program Studi Sosiologi UGM, 2004, 1. 6 Andrew N. Weintraub, 2012, 234. 7 Andrew N. Weintraub, 2012, 234.
4
bahwa “Setelah jatuhnya Soeharto, “dangdut etnik” jenis lain (yang akan saya sebut “dangdut daerah”) menggenangi kancah lokal di banyak belahan negeri ini”.
8
Pada era yang sama, di Situbondo Jawa Timur juga mengalami fenomena serupa. Situbondo memiliki musik dangdut lokal, dikenal dengan sebutan musik dangdut Madura. Musik dangdut Madura memiliki bentuk dan karakteristik musikal yang sama seperti musik dangdut lokal lainnya, yakni penggunaan bahasa Madura dalam lirik lagunya, serta penggunaan instrumen musik tradisi seperti kendang dan beberapa instrumen karawitan Madura lainnya pada beberapa karya. Bentuk penciptaan karya musik dangdut Madura umumnya ada dua macam, yaitu bentuk original dan adaptasi. Lagu original adalah lagu dangdut Madura yang proses penciptaannya asli atau bukan merupakan adaptasi dari lagu lain. Istilah original, umum dipakai oleh para pelaku di Situbondo
untuk
menandakan
proses
penciptaan
musiknya
bukanlah berbentuk adaptasi. Lagu adaptasi adalah lagu dangdut Madura yang proses penciptaanynya mengadaptasi lagu asing (lagu lain), seperti lagu film india. Musik dangdut Madura lebih dikenal sebagai musik rekaman (video klip) dari pada musik pertunjukan live. Diproduksi oleh industri musik dangdut lokal di Situbondo dan mulai menjamur pada era 2000-an ketika teknologi VCD mulai digandrungi masyarakat Situbondo. 8
Andrew N. Weintraub, 2012, 234.
5
Pada era tersebut bukanlah hal yang aneh ketika kita pergi ke lapak-lapak kaki lima di pasar, semuanya serba dangdut Madura. Hampir di setiap lapak kaki lima memutar lagu dangdut Madura setiap harinya sebagai tanda jika ada lagu dangdut Madura yang baru. Sampel cover yang dipajang di etalase pun semuanya serba dangdut Madura, hanya ada sedikit yang memajang cover band dan artis nasional. Menurut Angga selaku seniman
dan
ketua
komite
musik
DKS
(Dewan
Kesenian
Situbondo), “dahulu pasar atau pemasaran musik dangdut Madura, ke arah barat sampai Kabupaten Pasuruan, ke arah Selatan sampai Kabupaten Lumajang, ke arah timur sampai Kabupaten Banyuwangi, dan ke arah utara sampai Kabupaten Sumenep Madura”.9 Fenomena tersebut juga bisa dirasakan di acara hajatan pernikahan, pemilihan kepala desa, kampanye pemilu, petik laut (sedekah laut), warung kopi, pertandingan sepak bola, volly dan kasti antar kampung, serta acara publik yang lain di Situbondo. Musik dangdut Madura menjadi bagian dari masyarakat yang tak terpisahkan. Hampir setiap radio dan televisi lokal di Situbondo memiliki program acara khusus untuk dangdut Madura. Bahkan ada radio amatir yang terletak di pasar Mimbaan Baru Situbondo secara khusus didirikan oleh komunitas Madura dan pencinta dangdut Madura sebagai wadah ekspresi mereka. 9
Wawancara dengan Angga selaku ketua komite musik Dewan Kesenian Situbondo, pada tanggal 3 April 2015 di Situbondo.
6
Perlu dijelaskan bahwa kompleksitas komunitas Madura di Situbondo berbeda dengan komunitas Madura (pulau Madura) asli. Ada istilah Madura swasta yang merujuk pada komunitas Madura di luar pulau Madura seperti Situbondo, sedangkan orang Madura di pulau Madura sendiri disebut Madura negeri.10 Istilah tersebut memberikan pembedaan antara Madura asli (pulau Madura) dan Madura di Jawa (Situbondo). Perbedaan tersebut sudah barang tentu terjadi karena adanya proses dialog budaya antara Madura dan budaya asli Situbondo yang berlangsung sejak lama. Tidak hanya berbeda dari pulau Madura, Identitas keMaduraan di Situbondo sendiri pun juga berlapis, dalam artian bermacam-macam dan kompleks. Berdasarkan pola migrasinya, komunitas Madura di Situbondo terbagi mejadi dua bagian yakni Situbondo bagian Barat dan Timur. Bagian Barat (Banyuglugur, Besuki, Suboh, Jatibanteng, Sumbermalang dan Melandingan Barat) merupakan destinasi migrasi orang Madura Pamekasan, sedangkan wilayah lainnya adalah destinasi migrasi orang Madura Sumenep. Migrasi tersebut juga turut membawa aspek-aspek kebudayaan asalnya, seperti bahasa, kesenian, adat istiadat dan lainnya.
Berdasarkan
aspek
bahasa,
komunitas
Madura
di
Situbondo bagian Barat adalah penutur bahasa Madura dialek
10
Disampaikan dalam acara mocopat syafaat Ainun Najib, tanggal 17 Mei 2015 di Yogyakarta oleh Kiyai Muzammil untuk menyebut Sujiwo Tedjo yang pernah hidup dalam masyarakat Madura di Situbondo.
7
Bârâ’ sedangkan bagian Timur adalah penutur bahasa Madura dialek Témor. Hal ini yang menjadikan komunitas Madura di Situbondo memiliki karakteristik tersendiri. Bentuk artikulasi dan ekspresi
komunitas
Madura
terhadap
identitas
mereka,
terepresentasi dalam produk budayanya. Salah satunya adalah dangdut Madura. Ada indikasi perbedaan musikal antara dangdut Madura dialek Bârâ’ dan dialek Témor di Situbondo. Perbedaan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh aspek dialek, perbedaan dialek di
antara penutur komunitas Madura di Situbondo
memunculkan persepsi tersendiri bagi setiap kelompok penutur tersebut. Perbedaan persepsi tersebut mewujud dalam ekspresi dan artikulasinya melalui musik dangdut Madura. Selain itu, juga ada indikasi bahwa musik dangdut Madura lahir dan berkembang dari seni pertunjukan drama musikal Al Badar
yang
bersifat
syiar
islam,
kemudian
mencapai
popularitasnya menjadi dangdut Madura melalui industri rekaman musik. Melalui perkembangan seni drama Al Badar itulah kemudian
tercipta
musik
dangdut
Madura
yang
spesifik
Situbondo. Musik dangdut Madura yang diproduksi oleh industri rekaman lokal di Situbondo, memiliki ciri musikal tersendiri dengan menggunakan dialek Témor. Beberapa musik dangdut Madura yang menggunakan dialek Bârâ’ umumnya merupakan produksi dari Madura Sampang, Bangkalan serta daerah lainnya.
8
Penelitian ini membahas persoalan musik dan identitas dalam konteks komunitas Madura di Situbondo, termasuk analisis terhadap bentuk – bentuk karyanya. Penelitian difokuskan pada musik dangdut Madura dalam program acara musik di radio, karena sampai saat ini radio merupakan salah satu media yang tetap eksis dan konsisten mengembangkan musik dangdut Madura di Situbondo. Radio merupakan media yang representatif untuk melihat kompleksitas komunitas Madura di Situbondo. Alasan
memilih
topik
ini
adalah
pertama,
minimnya
penelitian terhadap seni dan budaya komunitas Madura di Situbondo. Kedua,
bagaimana komunitas Madura/keturunan
Madura di Situbondo menampakkan ke-Maduraannya melalui musik dangdut Madura. B.
Rumusan Masalah Penelitian ini secara komprehensif mengulas persoalan,
mengapa
komunitas
mengartikulasikan
Madura
identitas
di
mereka
Situbondo
dalam
musik
perlu dangdut
tertentu?. Berdasarkan fenomena-fenomena mengenai dangdut Madura
dan
komunitas
Madura
di
Situbondo
yang
telah
dijabarkan dalam latar belakang di atas, maka akan dirumuskan ke dalam rumusan masalah sebagai berikut:
9
1. Mengapa komunitas Madura dialek Témor di Situbondo membedakan dirinya dengan komunitas Madura dialek Bârâ’ melalui musik dangdut Madura. 2. Bagaimana bentuk musikologis musik dangdut Madura di Situbondo. 3. Bagaimana relasi antara musik dangdut Madura dengan identitas komunitas Madura di Situbondo. C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang diangkat di atas, yaitu: 1) Memahami kompleksitas komunitas Madura dan musik dangdut Madura yang berbeda dialek, 2) Mengetahui bentuk-bentuk musik dangdut Madura melalui analisis secara musikologis, 3) Memahami relasi antara musik dangdut Madura dengan identitas komunitas Madura di Situbondo. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam dunia akademis khususnya dalam bidang kajian seni dan budaya, dapat memberikan informasi yang komprehensif kepada mereka yang membutuhkan khususnya akademisi, praktisi, seniman dan pelajar di ranah musikologi, etnomusikologi, antropologi dan ilmuilmu humaniora yang lain. Hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat luas khususnya
10
masyarakat Situbondo tentang dangdut Madura dan kompleksitas komunitas Madura di Situbondo. D.
Tinjauan Pustaka Penelitian ini diawali dengan meninjau beberapa penelitian-
penelitian sebelumnya yang relevan dan berkaitan dengan topik penelitian. referensi,
Tinjauan serta
pustaka
untuk
menjadi
mengetahui
bahan
rujukan
perkembangan
dan
penelitian
terkait. Sehingga nantinya akan terlihat kontribusi dan posisi kajian ini atas penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian yang terkait yaitu, Pertama, tesis Agus Rianto berjudul “Dangdut di Televisi: Menelusuri Representasi Ideologi Pada Program Acara Pertunjukan Musik Dangdut di Televisi”. Penelitian ini merupakan tesis S2 pada program studi sosiologi, Universitas Gadjah Mada 2004. Tesis
tersebut
membahas
tentang
fenomena
dangdut
pada
program acara di televisi. Penulis melakukan pembacaan melalui teori
semiotika
dalam
pertunjukan
musik.
Tanda
dalam
pertunjukan musik menjadi ruang untuk memahami representasi ideologi media televisi. Pertunjukan musik dagdut di televisi merupakan
representasi
yang
mendistorsi
dan
membesar-
besarkan citra. Citra goyang (joget) yang memiliki ciri mitos dan mengandung nilai seksualitas, kemudian direpresentasikan dalam media Nasional. Tubuh dimanfaatkan sebagai komoditas untuk
11
meningkatkan rating program acara musik dangdut di televisi. Citra yang terlihat netral sebenarnya mengandung muatan ideologis. Penelitian Agus Rianto secara garis besar memberikan gambaran tentang representasi ideologi pada acara dangdut di televisi melalui tinjauan semiotika, sedangkan penelitian ini melihat representasi budaya komunitas Madura di Situbondo dalam musik dangdut secara antropologis, tidak hanya sematamata menggunakan kajian tekstual namun juga dikombinasikan dengan penelitian etnografis. Jika tulisan Agus Rianto berfokus pada
pembacaan
menggunakan
dan
pembacaan
penafsiran
tekstual,
dengan
penafsiran
penelitian tekstual
ini yang
dikombinasikan dengan data etnografi. Penelitian kedua adalah tesis Michael Haryo Bagus Raditya berjudul “Esensi Senggakan Pada Dangdut Koplo Sebagai Identitas Musikal”, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, 2013. Tulisan tersebut membahas unsur senggakan dalam dangdut koplo dengan menggunakan metode etnografi. Penulis menganalisis menggunakan beberapa teori antara lain teori habitus untuk melihat habitus dari senggakan, partisipasi dan presentasi untuk melihat interaksi senggakan dalam dangdut koplo, fungsi dan guna untuk melihat seberapa jauh peran senggakan, serta Identitas untuk menekankan bahwa senggakan merupakan identitas musikal dan kultural.
12
Penelitian Michael memberikan gambaran umum tentang esensi senggakan dangdut koplo dalam budaya masyarakat Jawa, tulisan ini menghubungkan senggakan dengan konteks kultural masyarakat Jawa secara antropologis melalui penelitian etnografi. Jika tulisan Michael berfokus pada hubungan antara senggakan dengan kultur masyarakat Jawa, penelitian ini berfokus pada bagaimana komunitas Madura di Situbondo mengartikulasikan dan mengekspresikan identitasnya yang melalui musik dangdut. Penelitian ketiga adalah sebuah disertasi yang ditulis oleh Michael Hari Sasongko berjudul “Perubahan Wujud Penayangan dan Makna Musik Dangdut di TPI dan Indosiar 1994-2004”, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, 2006.
Tulisan
penayangan
ini
mengupas
dangdut
di
tentang
televisi.
perubahan-perubahan
Fokus
penelitiannya
yakni
memahami perubahan fenomena dangdut di TPI dan Indosiar pada tahun 1994 – 2004, yang semula berupa tampilan video klip kemudian
tampilan
pertunjukan
live.
dalam Perubahan
rekaman wujud
studio, juga
dan
disertai
terakhir dengan
perubahan makna, makna dangdut yang semula „joged‟ kemudian berubah menjadi spektakuler. Dikemas dalam mewahnya kostum, penyanyi seksi, musisi terampil, penari yang menggairahkan, pembawa acara yang menarik, riuhnya tepuk tangan penonton di sekitar panggung serta beberapa teknik tata lampu, sound dan panggung yang mewah dan modern.
13
Penelitian yang keempat yakni karya tesis Moh. Muttaqin berjudul “Musik Dangdut: Sebuah Kajian Musikologis”, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, 2003. Tulisan ini membahas mengenai musik dangdut menggunakan pendekatan musikologis. Temuannya menunjukkan bahwa musik dangdut merupakan sebuah genre musik Indonesia yang namanya berasal dari anomatophea bunyi kendang. Dangdut memiliki ciri musikal dengan menggunakan tangga nada diatonis, berbentuk 3 bagian, bermetrum 4/4, menggunakan instrumen flute dan kendang sebagai instrumen utamanya. Lirik yang terkandung dalam lagu dangdut umumnya menceritakan persoalan cinta dan rumah
tangga.
Dalam
perkembangannya
musik
dangdut
bersentuhan dengan beberapa jenis musik lain seperti dangdut jaipong, dangdut rock, dangdut latin, dan lainnya. Kebertahanan musik dangdut dalam masyarakat dikarenakan beberapa faktor di ataranya karena musiknya mudah dinikmati, harganya murah, tersedianya tempat pertunjukan dan mampu menjadi sarana hiburan bagi masyarakat. Penelitian Muttaqin lebih bersifat musikologis, ditunjukkan dengan analisis terhadap beberapa karya lagu dangdut dengan menggunakan kacamata musikologi. Pembacaan tentang musik dangdut hanya difokuskan melalui sudut pandang musikologi. Sedangkan dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan tidak hanya pendekatan musikologis namun juga memadukan beberapa
14
teori dari disiplin lain seperti antropologi dan kajian budaya. Dalam penelitian ini pendekatan musikologis digunakan untuk menganalisa
karya-karya
musik
dangdut
Madura
ditambah
dengan riset etnografi untuk meneliti budaya dalam komunitas Madura di Situbondo. Penelitian kelima yakni sebuah artikel karya Timothy Rice berjudul Reflections on Music and Identity in Ethnomusicology. Karya ini diterbitkan dalam jurnal Muzikologija/Musicology. Secara garis besar, artikel ini merefleksikan upaya dari tema musik dan identitas
dalam
bidang
kajian
etnomusikologi
melalui
pengkerucutan satu dari jurnal utamanya. Penelitian literatur ini menyajikan
satu
gambaran
mengenai
bagaimana
ahli
etnomusikologi Amerika menyikapi tema musik dan identitas dalam seperempat abad terakhir. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa 17 artikel yang telah diterbitkan semenjak tahun 1982 dengan penggunaan kata
'identitas'
pada
judulnya
adalah
hanya
menunjuk
kepentingan etnomusikologis pada tema tema peranan musik dalam menciptakan, mengkonstruksi, mengartikulasi, menegosiasi dan
merefleksikan
identitas
sosial.
Setiap
artikel
etnogrfik
menyajikan sudut pandang menarik dalam proses pembentukan identitas dalam kasus tertentu dari setiap wilayah di dunia, Afrika, Amerika Latin, Eropa, Amerika Utara, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, hanya studi dari Pasifik dan Timur Tengah yang
15
tidak dicantumkan. Semua jenis identitas termasuk identitas beragam dalam konflik diteliti, etnis, nasional, regional, kelas, religius, komunitas, suku, hibrid, dan individual. Penelitian keenam adalah karya Andrew N. Weintraub berjudul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Penelitian ini membicarakan perihal aspek historis perkembangan dangdut yang dimulai dari era orkes melayu hingga mengalami metamorfosis menjadi dangdut era Rhoma Irama, dangdut etnik dan kemunculan dangdut koplo. Weintraub juga memberikan penjelasan perihal perdebatan konstruksi identitas nasional di Indonesia,
ia
melihatnya
melalui
perspektif
musik
populer
dangdut. Pada penelitian ini Weintraub juga menggunakan pembahasan analitik menggunakan perspektif musikologis dan semiotis pada musik dan teks lirik musik dangdut. Relevansi penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada objek material (dangdut) dan topik penelitian (musik dan identitas) yang sama, namun perbedaannya adalah beberapa penelitian di atas mengkaji musik dangdut dalam media televisi, live performance, dan produk industri (VCD, kaset dan lainnya). Penelitian ini mengkaji musik dangdut Madura dalam media radio.
16
E.
Landasan Teori Guna
memahami
sebuah
permasalahan
secara
komprehensif, maka dibutuhkan landasan teoritik sebagai pisau bedah untuk menganalisa dan menginterpretasi permasalahan. Tesis
ini
membahas
persoalan
musik
dan
identitas,
lebih
khususnya mengenai artikulasi dan ekspresi komunitas Madura di Situbondo
melalui
lagu
dangdut.
Landasan
teoritik
yang
digunakan adalah pokok pemikiran Thomas Turino mengenai musik dan identitas dalam tulisannya yang berjudul Sign of Imaginations, Identity and Experience: A Piercian Theory for Music. Turino memberikan sketsa perihal sebuah teori musik, emosi dan identitas menggunakan konsep semiotika triadik C.S. Peirce. Konsep
Peirce
digunakan
secara
kritis
oleh
Turino
untuk
memahami efek sosial dari musik, seni, budaya ekspresif dan cara-cara orang memahami dunia. Pemikiran semiotis
musik
Turino yang
didasarkan makrolevel,
atas
pemahaman
tersusun
dari
tanda
komponen-
komponen musik mikro level. Guna membedah komponen musik yang makro level, maka dibutuhkan analisis secara linguistis dan musikologis. Analisis linguistis dan musikologis dalam hal ini membantu
membedah
musik
agar
dapat
dianalisis
secara
mikrolevel, dan kemudian dianalisis menggunakan analisa Turino. Analisis linguistik digunakan untuk menelaah komposisi lirik dan perbedaan dialek yang digunakan dalam dangdut Madura, karena
17
komposisi lirik juga turut mempengaruhi struktur dan bentuk melodi vokal. Analisis musikologis difokuskan pada aspek melodi vokal untuk melihat perbedaan bentuk musikologis dangdut Madura yang berbeda dialek. Analisis musikologis yang digunakan adalah metode analisis dari Karl-Edmund Prier S.J, dalam bukunya Ilmu Bentuk Musik dan Leon Stein dalam bukunya Structure & Style: The Study and Analysis Of Musical Forms, Expanded Edition, Summy-Bicard Music.11 Analisis linguistis dan musikologis digunakan untuk menjawab persoalan penelitian dalam rumusan masalah pertama perihal bentuk musikologis dangdut Madura. Artikulasi dan ekspresi komunitas Madura melalui lagu dangdut bisa dipahami melalui konsep Turino, bahwa musik merupakan kumpulan dari tanda yang mewakili objek dan diinterpretasi oleh interpreter kemudian menghasilkan efek. Bagi Peirce, interpretan merupakan efek dari sebuah tanda, ada tiga macam klasifikasi interpretan dinamis yaitu pertama adalah emotional
interpretant
yakni
sesuatu
yang
langsung,
tidak
terefleksikan oleh perasaan yang disebabkan tanda. Terma ini sedikit membingungkan, sense, feeling, dan sentiment interpretant mungkin lebih sesuai dengan apa yang dimaksud Peirce.12 Kedua
11
Leon Stein, Structure & Style: The Study and Analysis of Musical Forms, Expanded Edition. (Summy-Bichard Music, 1979). 12 Thomas Turino, Sign of Imagination, Identity, and Experience: A Piercian Semiotic Theory For Music. Ethnomusicology, Vol 43, No2, 1999 (Spring-Summer 1999), 224.
18
adalah energetic interpretant yaitu sebuah reaksi fisik yang disebabkan oleh tanda, Peirce memberikan contoh hentakan kaki saat mendengarkan musik, denyut jantung yang berdegup cepat ketika mendengar sirine polisi dan lainnya. Ketiga adalah sign interpretant yang merupakan konsep berbasis linguistik. Setiap tanda memiliki potensial spesifik dalam kaitannya terhadap efek yang dihasilkannya. Peirce menjebarkan melalui tiga kategori tanda yakni firstness, secondness, dan thirdness. “These are Firstness, something in and of itself without relation to any second entity; Secondness, relations between two entities without the mediation of a third; and Thirdness, involving the mediational capabilities of a person to bring a first and a second entity into synthetic or general relationships with each other”.13 Komponen pertama dalam setiap trikotomi Peirce (qualisign, icon, rheme) dan trikotomi I (alam tanda itu sendiri) berhubungan dengan firstness yang merupakan ranah ke-tunggalan, kualitas dan posibilitas. Komponen kedua dalam trikotomi (sinsign, index, dicent) dan trikotomi II (relasi tanda dan objek) berhubungan dengan
secondness
yang merupakan ranah dari hubungan
eksistensi aktual dan hubungan realitas. Komponen ketiga (legisign, symbol, argument) dan trikotomi III (bagaimana tanda diinterpretasi) berada dalam thirdness dan merupakan yang paling dimediasi, tanda general yang sesuai dengan abstraksi.14
13
Thomas Turino, 1999, 231. Thomas Turino, 1999, 232.
14
19
Ketiga tipe interpretan yang telah diuraikan sebelumnya juga
dihubungkan
kepada
firstness
(interpretan
emosional),
secondness (interpretan energetik) dan thirdness (konsep berbasis bahasa).
Tanda
firsts,
seconds,
dan
thirds,
akan
dapat
menciptakan efek yang tingkatannya sama atau lebih rendah dari tipe
interpretan.
Contohnya
icon
(firsts)
akan
menciptakan
emosional interpretant (firsts) dalam rantai semiotika. Indeks (seconds) akan menciptakan energetic interpretant (second) atau secara alternatif emosional interpretant (firsts).
15
Gagasan terebut merupakan gagasan kunci dari teori musik Turino. Teori musikal Turino secara afektif didasarkan pada hipotesis
bahwa
potensi
afektif
dari
tanda
adalah
tidak
berkebalikan proporsinya terhadap tingkat mediasi, generalitas dan
abstraksi.16
Tanda
pada
tingkatan
yang
lebih
rendah
cenderung menciptakan interpretasi emosional dan energetik di mana tanda yang melibatkan simbol cenderung menghadirkan respon alasan berbasis kebahasaan, efeknya biasa digambarkan sebagai respon rasional dan respon sadar. Poinnya adalah bahwa tipe – tipe tanda yang berbeda memiliki potensial berbeda.17 Turino meletakkan konsep tersebut dalam analisisnya terkait musik dan sosial. Menurut Turino, “icon merupakan tanda dari identitas yang mana mereka bergantung pada beberapa 15
Thomas Turino, 1999, 233. Thomas Turino, 1999, 234. 17 Thomas Turino, 1999, 234. 16
20
kemiripan tanda dan objek, pada kenyataannya dia merupakan hubungan dari identitas”.18 Lebih lanjut Turino menambahkan, “Feld telah mendiskusikan bagaimana ikonisitas berfungsi untuk menciptakan identitas sosial dan sistem estetika berdasar pada identifikasi
dalam
lingkungan
sosial
dan
ekologi”.19
Turino
memberikan contoh pada musik Kaluli yang ikonik dengan kondisi lingkungan sosial dan ekologinya. Sependapat dengan gagasan Turino mengenai ikonisitas tanda musikal yang berelasi dengan sebuah identitas, Timoty Rice juga memiliki pandangan yang sama. “Bahwa musik memberikan bentuk simbolik terhadap sebuah identitas yang muncul maupun yang sudah ada. Pembentukan identitas tersebut inheren dalam struktur musik dan biasanya menyusun sebuah representasi ikonik dari elemen identitas. Temporalitas musik dapat menjadi sebuah ikon bagi logik temporal dari identitasnya. Terlebih lagi musik memiliki kemampuan untuk meng-indeks aspekaspek berbeda dari identitas beragam melalui keberagaman properti formalnya – melodi, harmoni, ritme, timbre dan lain sebagainya”.20 Seperti halnya icon yang menandai sebuah identitas, index menurut Turino merupkan tanda dari pengalaman dan emosi. Pada kenyataannya sebuah icon dan index bekerja bersama-sama dalam mengekspresikan praktik kultural, dan indeks memiliki potensi spesialnya sendiri dalam memproduksi respon emosional
18
Thomas Turino, 1999, 234. Thomas Turino, 1999, 235. 20 Timoty Rice, Reflections on Music and Identity in Ethnomusicology, Muzikologija/Musicology 7 : 17-38, 2007, 35. 19
21
dan identifikasi sosial.21 Di dalam musik, indeks bisa muncul secara simultan dan kontradiktif, “One source for the affective power of musical indices is the fact that they are able to condense great quantities and varieties of meaning-even contradictory meanings-within a single sign”.22 Dalam teori afektifitas musikal, indeks secara terus menerus memberikan makna selain juga membawa serta asosiasinya yang lalu (semacam bola salju semantik). Turino memberikan poin penting terkait indeks, “sebagaimana tanda secondness, indeks menandai kepribadian kita dan pengalaman kolektif dalam sikap tertentu, mereka benar benar terkait dengan event dan aspek aspek dalam kehidupan kita dan sekaligus dialami sebagai kenyataan; mereka adalah tanda-tanda kehidupan kita, bukan tanda mengenai mereka”.23 Turino memberikan contoh bagaimana tanda musikal dapat mengonstruksi
identitas
kelompok
sosial
di
Zimbabwe.
Sebagaimana tanda dari kemungkinan dan bayangan, rheme merupakan
kunci
bagi
konstruksi
formasi
sosial
baru,
pembayangan akan sebuah identitas dibuat dari penggabungan indeks (creative indexing) kelompok sosial yang sudah ada ke dalam
ikon
memproyeksikan
21
rhematis
tunggal,
kemungkinan
Thomas Turino, 1999, 235. Thomas Turino, 1999, 235. 23 Thomas Turino, 1999, 236. 22
hasil
terbayang
gambaran dari
sonic
pembentukan
22
kelompok sosial/identitas baru.24 Selain mengonstruksi identitas, pada
contoh
yang
lain
tanda
musikal
juga
dapat
merepresentasikan identitas sosial. Turino mencontohkan dalam musik Chica di Peruvia. Perbedaannya jika di Zimbabwe indeks kreatif bekerja berdasarkan rheme (pembayangan/kemungkinan), dalam konteks ini indeks kreatif bekerja berdasarkan dicent-index (hadir secara organik dari pengalaman penduduk migran). Turino
menjelaskan
perihal
identitas
sebagai
berikut,
“Seperti habitus, Identitas merupakan individual sekaligus perihal sosial; mereka merupakan persimpangan afektif dari pengalaman pengalaman hidup”.25 Melalui konsep Turino, pengalaman dan identitas komunitas Madura yang berlapis di Situbondo akan dilihat. Secara garis besar, teori ini akan menjawab pertanyaan tentang, bagaimana tanda-tanda musik dalam dangdut Madura bekerja pada komunitas Madura di Situbondo?, Obyek apa yang dimunculkan
oleh
tanda?,
Ikon
macam
apa
yang
ingin
disampaikan? dan Indeks (pengalaman-pengalaman) apa yang dimunculkan oleh musik dangdut Madura?.
24
Thomas Turino, 1999, 245. Thomas Turino, 1999, 221.
25
23
F.
Metode Penelitian Kajian seni (seni pertunjukan dan seni rupa) merupakan
disiplin ilmu yang masih baru. Dalam perkembangannya selalu mengalami nasib yang sama dengan ilmu-ilmu humaniora (baru) lain dalam menggunakan pendekatan dan metode penelitiannya.26 Berbagai pendekatan yang telah digunakan dalam penelitian seni sebelumnya
antara
lain,
pendekatan
ilmu
komunikasi,
antropologi, sosiologi, linguistik dan filologi, arkeologi, musikologi, etomusikologi, histori, semiotik, psikologi, Ikonografi, dan lainlain. Beberapa contoh di atas bisa dikatakan sebagai penelitian dengan menggunakan pendekatan multi-disiplin, inter-disiplin dan perbandingan.27
Kompleksitas
multidimensional
membuat
seni
dan
penelitian
sifatnya seni
yang menjadi
memungkinkan untuk dikaji menggunakan pendekatan tersebut. Hal ini dilakukan guna mendapatkan hasil yang komprehensif melalui sudut pandang yang holistik. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Pendekatan multidisiplin adalah
pendekatan
yang
dalam
pemecahan
suatu
masalah
menggunakan berbagai sudut pandang banyak disiplin ilmu yang relevan, namun tetap ada pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian. Pendekatan multidisiplin diperlukan karena data
26R.M.Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 1. 27 R.M.Soedarsono, 1999, 2.
24
kualitatif
bersifat
kompleks
dan
multidimensi.
Pendekatan
antropologi menjadi pendekatan utama yang digunakan untuk mengkaji fenomena-fenomena dalam penelitian. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa teori dari disiplin ilmu lain seperti musikologi, etnomusikologi, linguistik, dan kajian budaya sebagai penguat dalam mengkaji, mengolah serta menganalisis data penelitian. Guna mendapatkan hasil yang diharapkan, maka dibutuhkan tahapan yang sistematis dalam melakukan penelitian. Adapun tahap-tahap yang harus dilakukan adalah: 1.
Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field
work), maka metode pengumpulan data yang sesuai untuk penelitian ini adalah metode etnografi. Secara sederhana metode etnografi memiliki teknik dalam pengumpulan data yaitu, menulis laporan
observasi
lapangan,
merekam
dan
mencatat
hasil
wawancara para informan. Dalam sejarahnya metode etnografi mengalami
beberapa
perubahan
yakni
dari
etnografi
lama,
modern, dan baru. Etnografi lama merupakan metode yang berfokus terhadap proses evolusi biologi suatu etnik, Menurut Marzali, “Tipe penelitian etnografi pada masa awal ini adalah “informan oriented”, karena tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut”.28 28
James P, Spradley. Metode Etnografi. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), xi.
25
Metode tersebut kemudian berkembang menjadi etnografi modern,
metode
ini
tidak
terlalu
memperhatikan
sejarah
kebudayaan suatu masyarakat, fokusnya hanya pada kehidupan masyarakat saat itu. Tujuannya menurut Malinowski adalah to grasp the native’s point to of view, his relation to life, to realise his vision and his world, selain itu metode ini juga sebagai usaha untuk membangun “a complex network of social relation”, atau “social structure”.29 Metode ini tidak cukup dengan melakukan wawancara terhadap beberapa informan dan para tetua saja namun juga dengan melakukan partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat yang diteliti (partisipatoris). Langkah-langkah dalam pengumpulan data secara teknis mengikuti langkah-langkah metode etnografi baru James P. Spredley dengan menambahkan beberapa elemen-elemen yang lain, adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: a.
Observasi Salah
satu
metode
dalam
pengumpulan
data
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatoris (participant observation), “participant observer using non-controlled observation generally lives or otherwise share in the life of the group which he is studying”,30 yaitu metode pengumpulan data oleh peneliti dengan ikut terlibat dan menjadi bagian dalam kehidupan 29
James P, Spradley, 2006, xi. P.V. Young dalam Sharma, Ram Nath dan Sharma, Rajendra K., Anthropolog, (New Delhi: Atlantic Publisher and Distributors, 1997). 30
26
kelompok komunitas atau masyarakat yang diteliti. Observasi partisipatoris dilakukan untuk melihat fenomena-fenomena musik dangdut, serta melihat bagaimana kompleksitas budayanya dalam konteks komunitas Madura di Kabupaten Situbondo. Perihal korpus field of research, penelitian dibatasi pada konteks
wilayah
Kota,
Kecamatan
Besuki,
dan
Kecamatan
Asembagus. Hal tersebut dipilih karena ketiga wilayah tersebut memiliki kompleksitas kultur yang berbeda, dan karena ketiga wilayah tersebut representatif untuk melihat artikulasi komunitas Madura
di
Situbondo.
Observasi
dilakukan
untuk
melihat
bagaimana musik dangdut Madura digunakan oleh komunitas Madura dan bagaimana mereka memaknainya, baik dalam ruang lingkup pribadi, keluarga, ataupun publik. Secara teknis penulis akan memulai observasi dengan memilih salah satu stasiun radio dalam tiga wilayah tersebut. Pemilihan radio didasarkan atas beberapa alasan, pertama karena radio tersebut memiliki program acara musik dangdut Madura; Kedua, pemilihan lagu dangdut Madura yang diputar dalam proram acara tidak mengarah pada satu etnik Madura tertentu (bersifat general); Ketiga, memiliki banyak pendengar dan fans. Melalui radio tersebut, kemudian dilihat dan dilakukan perhitungan secara kuantatif. Lagu apa saja yang sering direquest,
siapa
saja
pendengarnya,
seberapa
besar
atensi
pendengar terhadap program acara musik dangdut Madura
27
tersebut. Dari hasil perhitungan kuantitatif, kemudian dapat ditentukan lagu yang akan dianalisis secara musikologis, dan kategori informan yang dapat mewakili komunitas Madura di Situbondo. Observasi yang dilakukan sebenarnya telah dilakukan sejak lama, mengingat penulis merupakan bagian dari masyarakat Situbondo, namun hanya sebatas pengamatan tanpa melakukan penelitian mendalam, kemudian penulis memilih fenomena musik dangdut dalam komunitas Madura ini sebagai topik penelitian, dengan mengangkat pertanyaan penelitian mengenai hubungan antara musik dangdut Madura dengan konteks masyarakat komunitas Madura di Kabupaten Situbondo. b.
Mengumpulkan
dan
Mentranskripsi
Karya
Dangdut
Madura Pada tahap ini, beberapa karya lagu dangdut Madura dikumpulkan melalui media online, membeli di pedagang kaki lima, meminta kepada beberapa seniman dan pelaku dangdut Madura. Setelah karya lagu tekumpul, lalu dilakukan klasifikasi jenis lagunya berdasarkan aspek linguistis dan musikologis. Lagu yang telah diklasifikasi kemudian diambil beberapa karya lagu berdasarkan klasifikasinya sebagai sampel. Sampel tersebut kemudian ditranskripsi dan dianalisis secara linguistis dan musikologis. Pemilihan sampel juga ditentukan berdasarkan aspek
28
kuantitas dalam pemutarannya di radio. Lagu yang sering diputar dan di-request akan dipilih sebagai sampel untuk dianalisis secara linguistis dan musikologis. c.
Menetapkan Informan Dalam penelitian ini, ada beberapa kategori informan yang
dipilih
karena
mereka
dianggap
dapat
merepresentasikan
kelompok-kelompok dalam komunitas Madura di Situbondo serta kelompok pelaku seni musik dangdut Madura sebagai data tambahan. Kategori pertama adalah komunitas Madura, untuk melihat bagaimana komunitas Madura memaknai musik dangdut Madura, dan bagaimana mereka mengartikulasikan identitasnya. Pertama adalah para fans radio, kategori ini dipilih berdasarkan data kuantitatif melalui observasi pada radio yang dipilih di tiga tempat tersebut (Besuki, Situbondo dan Asembagus). Kedua adalah informan dalam ruang lingkup publik, pembeli dan penjual di warung kopi terminal (Besuki dan Situbondo), pembeli dan penjual di pasar Mimbaan Baru Situbondo, pembeli dan penjual di pasar Asembagus. Kategori tersebut dipilih dengan pertimbangan di tempat-tempat tersebut paling marak dan sering diputar lagu dangdut Madura melalui radio. Kelompok kategori kedua adalah pelaku seni dangdut Madura yang terdiri dari penulis lagu, arranger, pemain musik, vokalis dan sound enginer.
29
d.
Mewawancarai Informan Proses wawancara diawali dengan melakukan perckapan
informal (kind interview), wawancara dilakukan di beberapa tempat, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi seperti ngopi bareng,
cangkru’an,
dan
bhâg-rembhâg
(berembuk).
Teknik
wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara tidak terstruktur (yang cair) dengan menggunakan bahasa informan (Madura
dan
Indonesia).
Khusus
untuk
informan
awam,
wawancara dilakukan dengan nonformal, dengan berbincangbincang, ikut nimbrung sembari memunculkan kalimat-kalimat pancingan guna mengarahkan pembicaraan pada topik penelitian. e.
Membuat Catatan Etnografis Salah satu catatan etnografis didapatkan dari proses
wawancara.
Peneliti
mencatat
hal-hal
percakapan
ketika
wawancara.
yang
keseluruhan
penting
dari
percakapan
wawancara didokumentasikan melalui alat perekam berupa digital voice recording. Catatan etnografis yang lain didapatkan melalui kegiatan observasi partisipatoris, secara langsung peneliti tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat (komunitas Madura) di Situbondo. f.
Mengajukan Pertanyaan Deskriptif Pertanyaan
deskriptif
dilakukan
agar
informan
dapat
berbicara lebih dari sudut pandangnya, difokuskan agar informan
30
lebih banyak berbicara, baik dari hal yang umum sampai hal yang spesifik. Adapun pertanyaan yang diajukan seputar sosio-kultural komunitas Madura di Situbondo, Industri musik dangdut Madura, dan
berbagai
pandangannya
terhadap
identitas
kultural
komunitas Madura di Situbondo. g.
Melakukan Analisis Wawancara Setelah melakukan wawancara, data-data hasil wawancara
berupa catatan etnografi (tulisan, gambar (visual), hasil rekaman) dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan kategori-kategorinya masing-masing. Setelah diklasifikasi kemudian dilakukan analisis data yaitu pemeriksaan ulang catatan lapangan untuk mencari keterkaitan antara satu dengan yang lain. Langkah terakhir yaitu peneliti menuliskan semua hasil analisisnya. h.
Kajian Literatur Kajian literatur juga digunakan dalam penelitian ini, melalui
buku, artikel, jurnal, tesis, disertasi, koran, majalah, tabloid, foto, televisi, website, dan lainnya. Kajian literatur digunakan sebagai pendukung dan penajam guna mendapatkan penggambaran yang lebih jelas dari data. 2.
Analisis Data Metode analsis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode verstehen (pemahaman). Verstehen adalah suatu metode penelitian dengan objek nilai-nilai kebudayaan manusia,
31
simbol, pemikiran-pemikiran, makna bahkan gejala-gejala sosial yang sifatnya ganda.31 Objek penelitian berupa nilai kebudayaan, simbol dan pemikiran tidak dapat ditangkap oleh peneliti secara parsial, esensi yang harus ditangkap adalah makna yang bersifat nonempiris, holistik, dan tidak dapat ditangkap oleh indrawi. Melalui gejala-gejala empiris yaitu fenomena-fenomena budaya manusia, hakikat makna tersebut dapat ditangkap yang kemudian untuk dianalisis dan dilakukan interpretasi.32 Tahap – tahap penerapan metode ini adalah : a)
Peneliti menghadapi objek material yang berupa data-data empiris, baik berupa, kebudayaan manusia, teks, gejalagejala sosial budaya atau gejala-gejala psikologi. Pada tahap pertama,
peneliti
menangkap
objek
berupa
fenomena-
fenomena pada taraf empiris, misalnya berupa data karya seni tari, musik, rupa, dan berupa data bahasa seperti satuan frasa, klausa, kalimat dan wacana. Tahap ini bisa disebut
juga
sebagai
tahap
memahami
simbol
(tahap
simbolik).33 Dalam penelitian ini, peneliti akan menghadapi secara empiris objek material berupa data tentang musik dangdut Madura (teks), kebudayaan dalam komunitas Madura di Situbondo, wacana dalam komunitas Madura, gejala sosial budaya dan lainnya. 31
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), 71 32 Kaelan, 2005, 74. 33 Kaelan, 2005, 74.
32
b)
Data yang telah diinventarisir kemudian dipahami dimensidimensinya, unsur-unsurnya serta keterkaitannya dengan sistem nilai yang ada. Tahap kedua ini adalah tahap pemberian dan penggalian yang cermat tentang makna yang terkandung dalam objek.34 Misalnya objek penelitian berupa musik dangdut dalam industri musik dangdut dalam komunitas Madura di Situbondo, tidak hanya sekedar menampilkan nilai-nilai estetis tetapi juga memberikan ajaran moral, nilai-nilai budaya dan religius, serta nilai-nilai yang terkandung lainnya.
c)
Setelah ditemukan kandungan unsur-unsur yang ada di dalamnya serta keterkaitannya dengan nilai-nilai yang ada. Proses dilakukan dengan menghubungkan objek data tadi dengan pengetahuan dalam diri manusia secara holistik baik moral, religius, estetis serta nalar. Tahap ini merupakan tahap awal untuk melakukan interpretasi, sehingga setelah tahap verstehen ini kemudian dilakukan interpretasi.35 Interpretasi adalah suatu proses menunjuk arti, yaitu mengungkapkan, menuturkan dan mengatakan sesuatu yang menunjukkan realitas.36
34
Kaelan, 2005, 75. Kaelan, 2005, 75. 36 Kaelan, 2005, 76 35
33
G.
Sistematika Penulisan Setiap penulisan ilmiah memiliki sistematika penulisan yang
digunakan dalam penelitiannya. Penulisan ini terbagi kedalam beberapa bab, tiap bab akan menjelaskan secara keseluruhan tentang
tema
berdasarkan
judul
pada
tiap
bab.
Adapun
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: Bab I Pengantar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai fenomena-fenomena terkait industri dangdut dan Komunitas Madura di Situbondo, permasalahan penelitian serta alasan peneliti mengkaji permasalahan tersebut. Bagian ini terbagi atas beberapa sub bab, yaitu latar belakang masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian. Bab II. Migrasi Komunitas Madura, Perkembangan Musik Dangdut Madura di Situbondo, dan Program Siaran Dangdut Madura di Radio. Bab ini membahas perihal musik dangdut Madura secrara kontekstual. Terdiri dari 3 sub bab yang membahas mengenai latar historis migrasi komunitas Madura ke Kabupaten Situbondo, perkembangan musik dangdut Madura secara kronologis berdasarkan era-nya, dan program siaran dangdut Madura di radio. Bab III. Analisis Linguistis dan Musikologis. Bab ini membahas perihal musik dangdut Madura secara tekstual. Pembahasan
disertai
dengan
analisis
secara
linguistis
dan
34
musikologis. Terdiri dari tiga sub bab bahasan yaitu analisis lirik, analisis melodi vokal, dan idiom musik tradisional dalam lagu dangdut Madura. Bab IV. Relasi Antara Musik Dangdut Madura Dengan Identitas Komunitas Madura di Situbondo. Bab ini mengulas secara mendalam mengenai relasi antara musik dangdut Madura dengan
identitas
komunitas
Madura
di
Situbondo.
Melihat
bagaimana ekspresi dan artikulasi komunitas Madura terhadap identitas kulturalnya melalui musik dangdut. Melalui musik dangdut
Madura
akan
ditinjau
pengalaman,
wacana,
dan
identitas, dalam kebudayaan di Situbondo, serta bagaimana komunitas Madura memaknai musik dangdut Madura. Bab
V.
Kesimpulan.
Bab
terakhir
ini
berisi
tentang
ringkasan, dan simpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan berisi beberapa argumen yang menjawab beberapa rumusan masalah dalam penelitian. Sehingga hasil penelitian dapat memenuhi tujuan dilakukannya penelitian.