BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia terdiri dari multi etnik dan agama. Keanekaragaman
tersebut memungkinkan adanya interaksi antar etnis maupun agama. Selain Itu perpindahan masyarakat dari satu daerah ke daerah lain menyebabkan pembauran di dalam diri masyarakat. Dari interaksi dan pembauran yang terjadi dapat menyebabkan timbulnya perkawinan silang antar etnis maupun antar agama. Perubahan di dalam masyarakat dengan karakteristik yang dimiliki, serta meluasnya pendidikan dan majunya perdagangan di Indonesia, berkembangnya faham-faham modern dan nasionalis, merupakan faktor-faktor pendorong menyebabkan bertambah banyaknya perkawinan beda agama (Nurcholish, 2010). Interaksi antar masyarakat yang berbeda agama semakin kuat, menyebabkan terjadinya perkawinan beda agama (Kieser, 1997) Perkawinan beda agama bukanlah hal yang mudah dilakukan. Berbagai hambatan dapat ditimbulkan dari perkawinan beda agama. Hambatan pertama datang dari segi agama masing-masing. Ketika perkawinan beda agama dilakukan, masingmasing lembaga agama tidak mengijinkan hal itu terjadi. Untuk bisa melakukan perkawinan beda agama salah satu harus melepaskan agamanya (Kiesser, 1997). Hambatan lain dari segi hukum perkawinan di Indonesia. UU perkawinan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU no 1 tahun 1974 tidak secara jelas melarang
1
adanya
perkawinan
beda
agama.
Namun
tidak
dapat
dipungkiri
dalam
pelaksanaannya pasangan yang hendak melakukan perkawinan beda agama mendapat kesulitan hukum. Perkawinan berbeda agama masih sulit tercatat. Pasangan berbeda agama yang ingin menikah harus pergi ke luar negeri untuk mencatatkan perkawinannya atau ‘terpaksa’ berpindah agama hanya karena ketika acara akad nikah. Selain itu, ada yang mengalami kesulitan mendaftarkan anak ke lembaga pendidikan hanya karena berbeda agama, etnis, atau aliran (dalam Kenya, 2005). Cara lain yang di tempuh adalah dengan cara melakukan pernikahan dengan dua cara atau salah satu dari pasangan tersebut setuju untuk melakukan pernikahan menurut agama tertentu (Paramitha, 2002). Misalnya yang terjadi pada pasangan berbeda agama yang melakukan pernikahan di gereja, tetapi sehari sebelum upacara agama di gereja dilakukan, secara diam-diam pernikahan dilakukan dengan cara Islam tanpa diketahui oleh pihak wanita (Kiesser, 1997). Penyelesaian lain yang sering diambil oleh pasangan beda agama yang tetap akan menikah di luar negeri (diperbolehkan menikah beda agama) dan kemudian disahkan kembali menurut hukum di Indonesia atau salah satu pihak pindah agama sehingga dapat dinikahkan menurut agama pasangannya (Saor, 2008). Walau proses pelaksanaannya masih sulit tapi hal ini tidak juga menurunkan angka perkawinan beda agama di Indonesia. Jumlah pasangan yang menikah beda agama di Indonesia menunjukkan angka yang meningkat terjadi dari tahun ke tahun.
2
Dari tahun ke tahun ternyata kasus perkawinan beda agama menunjukkan perningkatan dari tahun 2011 saja telah terjadi 229 pasangan yang melakukan pernikahan beda agama. Sedangkan tercatat dari tahun 2004 hingga tahun 2012 ini telah terjadi 1.109 kali pernikahan beda agama (Nurcholish, 2012). Pada tahun 80-an Jamal Mirdad yang beragama Islam menikahi Lidya Kandow, seorang yang beragama Kristen. Namun sampai saat ini pernikahan diantara keduanya masih tetap terjaga, hubungan keluarga ini masih tetap berjalan harmonis dan bahagia. Jauh sebelum kedua pasangan beda agama ini melangsungkan pernikahan, banyak pasangan lain yang juga melangsungkan pernikahannya (Karsayuda, 2010). Contoh di atas adalah salah satu contoh pasangan pernikahan beda agama yang bahagia dan masih bertahan hingga saat ini. Di dalam kenyataannya ada juga pasangan pernikahan beda agama yang tidak bisa mempertahankan pernikahannya kemudian bercerai. Di era tahun 70an Emilia Contesa yang beragama islam menikah dengan Rio Tambunan yang beragama Kristen, namun keduanya tidak bisa mempertahankan keharmonisan dan kebahagian pernikahan mereka hingga akhirnya berujung perceraian. Ada pula di tahun 2008 kasus pernikahan penyanyi Amara Lingua yang beragama Islam dengan Frans Mohede yang beragama Kristen, orang tua
Amara
tidak
menyetujui
pernikahan
tersebut
Amara
tetap
memilih
melangsungkan pernikahan dengan Frans Mohede walaupun Amara harus kabur dari rumah. Hingga saat ini rumah tangga Amara dan Frans belum mendapat restu dari
3
kedua orang tua Amara meski rumah tangga mereka telah dikarunia anak (Karsayuda, 2010). Perkawinan beda agama sebenarnya memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap perceraian dibandingkan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki keyakinan yang sama. Perbedaan agama dalam suatu perkawinan merupakan masalah serius. Semakin besar perbedaan antara pasangan tersebut, semakin besar pula resiko pecahnya konflik (Sarlito, 2006). Dalam sebuah studi yang dilakukan Saxton pada tahun 1982 (dalam Duvall dan miller, 2006) menyebutkan larangan pernikahan beda agama didasarkan pada dua kekhawatiran, yaitu: (1) kehidupan keluarga pasangan suami istri akan dapat terpisah jika mereka berbeda keyakinan. (2) ikatan keagamaan dapat melemah atau menghilang karena adanya perkawinan beda agama. Terdapat berbagai macam masalah yang muncul dalam perkawinan beda agama. Masalah-masalah tersebut, antara lain: masalah antara suami-istri, masalah eksternal (pihak keluarga besar), dan masalah antara orang
tua-anak
kegagalan dalam mempertahankan toleransi dan pengertian dalam menghadapi beberapa masalah yang terjadi dalam keluarga. Agama sering kali dijadikan pedoman untuk memecahkan masalah gagal menjadi pengikat keluarga dalam mengatasi kesulitan (Duvall dan Miller, 2006). Masalah lain yang muncul adalah perasaa ketidakbersamaan saat menjalankan ibadah. Sebagai contoh dalam sebuah rumah tangga yang istrinya menganut agama Katolik dan suaminya
4
beragama Islam, masing-masing menjalankan aktivitas keagamaan yang berbeda, meskipun secara fisik setiap hari mereka saling berinteraksi. Si istri mengalami perasaan hampa (kurang lengkap) saat dia pergi ke gereja sendiri tanpa keluarga (Kiesser, 1997). Setelah pasangan tersebut memiliki anak, masalah lain akan muncul. Setiap orang ingin agar anaknya mengikuti ajaran agama yang dianutnya, walaupun sudah dibuat kesepakatan mengenai agama anak sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah anak lahir pendidikan agama anak sering kali menjadi masalah
yang menyebabkan
harmonis perkawinan
(Pitauli, 2003)
kehidupan
Menurut
beda agama berdampak
keluarga
Hussein
tersebut
Umar
(dalam
pada perkembangan
beberapa keluarga beda agama yang mungkin
menjadi
kurang
Vinaya, 2006) jiwa anak. Ada
membebaskan anak-anaknya
untuk memilih agama ayah atau ibunya, namun tetap saja muncul kebingungan pada anak mengapa orangtuanya berbeda agama. Setiap agama memiliki nilai-nilai agama yang lain. Dalam perkawinan beda agama anak memperoleh dua nilai agama yang berbeda dari kedua orangtua. Menurut Quraish Shihab (dalam Saor, 2008), hampir semua pasangan yang menikah beda agama mengalami kebingungan yang luar biasa pada saat anakanaknya lahir dan dewasa. Mereka mengalami kebingungan dalam mendidik dan membimbing agama mana yang akan diajarkan pada anak-anak mereka tersebut. Keadaan tersebut menjadi dilematis, bahkan dapat menyebabkan anak
5
tersebut tidak beragama. Anak mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan dan dalam hal ini berbahaya bagi kondisi kejiwaan anak. Selain itu pengalaman seorang anak yang didapat pada awal kehidupannya mempunyai pengaruh yang amat penting bagi perkembangan anak selanjutnya. Pengalaman pertama dari kehidupan seseorang anak didapat dari hubungan anak dengan keluarganya
masing-masing
karena
orangtua
atau
keluarga
merupakan
lingkungan sosial pertama yang dijumpai anak (Zuhriyah, 2009). Kehangatan, kepercayaan, ketegasan, dan konsistensi yang diberikan oleh orang tua merupakan faktor yang mendukung berkembangnya kematangan sismtem nilai seseorang. Anak mengembangkan nilai yang dimilikinya melalui pengasuhan yang terjadi di rumah (Gunarsa, 2001). Anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang tua dan orang dewasa di sekitar mereka tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan agama (Jalaludin, 1996). Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung dan dengan sendirinya akan masuk dalam pribadi si anak. Sikap anak terhadap agama sangat dipengaruhi oleh orangtuanya terhadap agama tersebut. Hubungan anakorangtua mempunyai pengaruh dalam perkembangan si anak (Pitauli, 2003).
6
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Menurut Pargament (dalam Paloutzian, 1996) agama dapat ditemukan dalam semua dimensi kehidupan baik secara personal maupun sosial. Agama dapat diartikan sebagai cara berpikir, bertindak, merasa, hubungan dengan dunia luar. Agama dalam
tingkat
personal
merefleksikan
bagaimana
agama
berperan
dalam
kehidupan pribadi individu misalnya: apa yang dipelajari, fungsi agama bagi dirinya, serta pengaruh agama dalam kehidupan. Sedangkan fungsi sosial mengarah pada kelompok sosial tertentu atau agama sebagai institusi sosial. Agama terdiri dari beberapa aspek yang disebut sebagai dimensi komitmen beragama (Glock dan stark, dalam Palaoutzian, 1996). Kemudian dibuat garis batas yang jelas antara apa yang orang percaya sebagai kebenaran religious, apa yang mereka kerjakan sebagai bagian dari praktik keagamaan, bagaimana emosi tentang pengalaman yang terjadi pada diri mereka, apa yang mereka
ketahui
tentang
agamanya,
serta
bagaimana
kehidupan
mereka
dipengaruhi oleh agama yang mereka anut. Hal-hal tersebut kemudian dibagi oleh Glock (dalam Paloutzian, 1996) ke dalam dimensi yang disebut sebagai dimensi komitmensian beragama. Kelima dimensi tersebut adalah: dimensi ideologis, dimensi ritual, dimensi kontekstual, dimensi eksperiensial, dimensi intelektual, dan dimensi kontekstual. Kelima dimensi ini berdiri sendiri tapi saling berhubungan satu sama lain, misalnya: orang yang memiliki kepercayaan
7
yang kuat terhadap agamanya cenderung memiliki perasaan religius dan mempraktekkan ajaran agama yang dianutnya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang komitmen beragama pada anak dari orangtua berbeda agama. Peneliti juga ingin melihat komitmen beragama dari anak dengan orang tua beda agama berdasarkan
dimensi-dimensi
komitmen
beragama. Penelitian
ini dilakukan
dengan mempertimbangkan makin meningkatnya perkawinan beda agama di Indonesia. Selain Itu pula masih relatif sedikit penelitian yang menggali dampak perkawinan berbeda agama dari sudut pandang anak. Penelitian yang sudah ada masih terfokus pada pasangan berbeda agama sendiri dan belum banyak memfokuskan pada penghayatan perasaan anak dari pasangan yang berbeda agama tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang komitmen beragama pada anak dari orang tua berbeda agama. Dalam penelitian ini, ingin pula didapatkan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi serta konflik-konflik yang terjadi saat proses itu terjadi. Penelitian ini bersifat eksploratif deskriptif dan menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dapat memahami manusia dalam kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif. Melalui pendekatan ini pula dapat ditampilkan kedalaman dan detail pada sebuah kasus tertentu, selain Itu dapat diperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti (kristi poerwandari, 2001). Data
8
diperoleh melalui wawancara dengan pedoman umum dengan menggunakan bentuk wawancara terfokus. 1.2
Permasalahan Berdasarkan hal-hal diatas, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk
memperoleh gambaran tentang : 1. Bagaimana gambaran komitmen beragama pada remaja dari orangtua berbeda agama? 2. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi dimensi komitmen beragama pada anak?
1.3
Tujuan dan manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komitmen beragama
pada remaja dengan orang tua berbeda agama. Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai komitmen beragama pada remaja dari orangtua berbeda agama 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen beragama pada remaja yang memiliki orang tua dengan agama yang berbeda
9
3. Meransang munculnya penelitian lain mengenai dampak dari perkawinan beda agama dari sudut pandang remaja dari pasangan yang menjalani perkawinan tersebut
10