1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang multi etnis, hal ini ditandai dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat-istiadat, bahasa, dan agama. Kondisi ini disadari menyimpan potensi besar terjadinya pertentangan antaretnis yang satu dengan etnis lainnya. Sementara itu, sebagai mahluk sosial, manusia tentu saja selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Apabila dalam interaksi tersebut terdapat kesamaan tujuan, maka terjadilah kerjasama, dan apabila salah satu individu ingin melebihi individu lainnya, maka terjadilah persaingan atau kompetisi. Dan apabila dua individu atau kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda atau bertentangan satu dengan yang lain, maka dapat memicu terjadinya konflik. Warnaen (2002:12) mengidentifikasi setidaknya terdapat sekitar 205 suku bangsa atau etnis yang berbeda di Indonesia. Banyaknya etnis dengan berbagai perbedaan kebudayaan memperkuat gambaran Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis. Keanekaragaman dan perbedaan dalam etnis (suku bangsa), adatistiadat, budaya, bahasa, dan agama di Indonesia merupakan mozaik yang indah dan merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Apabila keanekaragaman tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, akan dapat memicu terjadinya konflik sosial dan konflik etnik yang pada akhirnya mengancam terjadinya disintegrasi bangsa
2
Indonesia sendiri (Bachtiar, 1987:33). Menurut Nasikun (2007:5) konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa. Konflik dan tidak konflik (kerja sama) merupakan suatu pilihan bagi setiap orang yang ada dalam organisasi maupun yang ada ditengah – tengah masyarakat. Konflik selalu ada disetiap organisasi dan masyarakat, meskipun tidak terlihat adanya konflik. Pada umumnya, munculnya konflik ke permukaan sangat sulit untuk diprediksi, konflik tersebut muncul manakala kepentingan individu atau kelompok merasa terganggu atau terancam disertai dengan kondisi yang menciptakan kesempatan timbulnya konflik, meskipun sebenarnya mereka tidak mengarah secara langsung terhadap konflik, tetapi salah satu dari kondisi ini dapat memicu konflik. (Ranjabar: 2006:185). Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami konflik etnis dan agama. Konflik–konflik ini terdiri dari berbagai bentuk dan intensitas yang berbeda. Ini adalah situasi yang mengerikan dan berbahaya, tidak saja bagi orang– orang yang terlibat dalam konflik, tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap konflik mempunyai latar belakang sejarah, sosial, ekonomi, budaya dan politik sendiri. Hal itu merupakan akibat dari faktor struktural dan kegagalan para politisi dan lainnya dalam mengambil tindakan. Seringkali latar belakang provokasi yang terencana oleh pihak–pihak dengan kepentingan tersembunyi dalam mengarahkan kekacauan. Latar belakang umum terjadinya konflik–konflik ini, yaitu perlu dipahami sebagai sifat konflik tersebut yang sesungguhnya. Pertama, berusaha untuk
3
menempatkan konflik – konflik ini kedalam suatu perspektif sosial. Untuk melakukan hal itu, harus dilihat dalam konteks iklim umum dari tindakan kekerasan yang telah umum di Indonesia saat ini. Iklim ini telah terbukti dalam seluruh konflik. Kedua, Setiap kesalahpahaman kecil ditempat keramaian dapat dengan mudah menjadi pertumpahan darah, bahkan seringkali melibatkan komunitas masing–masing. Karena itu, masyarakat kita seperti sedang dalam gangguan dan cengkeraman budaya kekerasan, dimana konflik yang biasa terjadi sehari–hari tidak lagi dikelola dengan cara konstruktif, tetapi sebaliknya segera menjadi kekerasan dan dapat melibatkan seluruh komunitas. Hal itu terjadi tanpa ada tanda-tanda bahwa pihak yang tertarik dapat dengan mudah mengambil keuntungan dari situasi ini.Bahayanya adalah bahwa begitu agama terlibat, mekanisme pembentukan solidaritas dapat berubah menjadi gerakan dengan dampak secara nasional ( Suseno, 2003: 120-121). Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, terjadinya konflik dalam hubungan atau interaksi adalah mungkin, karena segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan–kesatuan sosial yang terkait ke dalam ikatan–ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain sehingga mudah sekali menimbulkan konflik diantara kesatuan–kesatuan sosial tersebut. Sesuai pengamatan sistemik, sumber–sumber untuk konflik antara suku bangsa atau golongan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, paling tidak ada lima macam ,(Ranjabar: 2006:194-195) yaitu : a.
Konflik jelas akan terjadi kalau satu suku bangsa mendominasi suatu suku bangsa yang lain secara politis. Pada tingkat yang bersifat politis ini, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber–sumber ekonomi
4
b.
c.
d.
e.
yang terbatas adanya dalam masyarakat. Contoh; konflik yangS terjadi di Aceh dan Papua. Konflik biasa terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing– masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup bersama. Contoh; konflik yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat. Konflik biasa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan unsur–unsur dari kebudayaanya kepada warga dari suatu suku bangsa lain. Contoh; konflik yang terjadi di Sampit Kalimantan Tengah. Konflik biasa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa yang lain secara ideologis. Pada tingkatan yang bersifat ideologis, konflik tersebut berwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut. Contoh ; konflik yang pernah terjadi di Maluku, Kupang, Mataram, dan Poso. Potensi konflik terpendam yang ada dalam hubungan antara suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat. Contoh; konflik yang sering terjadi di Papua (konflik antara suku di pedalaman Papua).
Konflik itu sendiri merupakan sebuah konsekuensi dari proses perubahan sosial. Oleh sebab itu teori konflik memandang bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan–pertentangan yang terus–menerus diantara unsur–unsurnya (Ritzer, 1992:30). Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik yang menggunakan kekerasana adalah suatu realitas yang tidak membutuhkan pembenaran moral, karena kekerasan memiliki kualitas pembaruan, pembebasan manusia untuk mengikuti ketentuan tidak rasional dari sifat bawaannya sendiri (Ranjabar: 2006: 195). Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem sosial yang berbeda, menjadi semakin rapuh pada tahun 1990-an. Ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa kerusuhan massal yang lebih sering terjadi, dengan tingkat keterlibatan masyarakat yang jauh lebih besar. Ini semua menjadi semakin
5
jelas sebelum Pemilu 1997, dimana sejumlah kerusuhan terjadi di beberapa wilayah Indonesia (Azra:2003:61). Sejumlah konflik komunal berdarah telah mengguncang beberapa daerah di Indoneisa pada sekitar akhir tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Gelombangn konflik dengan kekerasan ini merisaukan banyak kalangan, di samping karena lambannya penyelesaian oleh negara, juga menyangkut jatuhnya korban yang tidak sedikit. Berbagai penjelasan dan hipotesis telah dikemukakan untuk menganalisis terjadinya konflik. Ada pandang yang mengatakan bahwa transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi duduga sebagai salah satu variabel antara terjadinya berbagai konflik komunal di nusantara yang multikultural ini. Beberapa pihak juga mengaitkan akumulasi dampak negatif pembangunan orde baru, seperti ketidakadilan (marginalisasi), kesenjangan ekonomi, maupun faktor kultural dan rusaknya jaringan sosial budaya lokaltradisional sebagai sumber pendukung pecahnya konflik komunal, sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Konflik kekerasan yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dikaitkan sebagai kerusuhan antar-etnik yang tergolong masif. Kelompok – kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai suku asli Kalimantan –etnik Dayak dan Melayu , berhadapan dengan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai pendatang dari pulau Madura (etnik Madura). Saling bunuh tak terhindarkan tatkala antaretnik sudah tidak lagi saling percaya dan menganggap eksistensi suku yang satu menjadi penghalang eksistensi suku yang lain.
6
Pada akhir Februari 2001, kerusuhan pecah di wilayah Kalimantan Tengah. Ribuan orang Dayak bersenjatakan busur, panah, tombak, memburu warga dari etnik Madura. Pembunuhan dan pengrusakan nyaris berlangsung di semua desa. Kerusuhan semula terjadi di kota Sampit, namun kemudian merembet ke Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya. (Cahyono, 2008:3). Dua tahun sebelumnya kerusuhan serupa terjadi di Kalimantan Barat, yakni pada Februari 1999 yang terjadi di Kabupaten Sambas. Pada kejadian di Sambas, etnik Dayak membantu etnik Melayu dengan target yang sama, yakni suku Madura. Catatn resmi menyebutkan korban meninggal sekitar 200 orang. Konflik ini masih berlanjut, sebab setahun kemudian pada tanggal 25 oktober tahun 2000 massa dalam jumlah besar kembali mengepung GOR Pontianak, tempat penampungan pengungsi dari kelompok etnik Madura. Meskipun dari sudut aktor pelaku tindak kekerasan di lapangan terdapat persamaan, namun dari karakteristik dan sumber konflik diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Konflik etnik di Kalimantan Barat memiliki sejarah yang panjang dan telah berlangsung selama beberapa dekade. Sejak tahun 1950-an pertikaian antara etnik Madura dan Dayak nyaris tak berkesudahan dan telah mengakibatkan ribuan orang meninggal dari kedua belah pihak. Hubungan sosial antaretnik di wilayah ini tidak berlangsung dengan baik. Selama puluhan tahun hubungan antara etnik dayak dan Madura gagal menghasilkan
proses
adaptasi
yang
sehat.
Konflik
lebih
mengemuka
dibandingkan dengan kerjasama, serta integrasi gagal terwujud. Berkurangnya daya dukung lingkungan akibat pembangunan yang merusak lingkungan serta
7
memarginalkan penduduk asli setempat telah mengakselerasi dan mengakumulasi prasangka antaretnik, sementara di pihak lain pola pemukiman khususnya warga Madura tersegregasi secara eksklusif. Pemukiman – pemukiman yang terpisah dari penduduk setempat ini telah mempersulit terjadinya kontak sosial dengan warga etnik lain. Lain halnya dengan Kalimantan Tengah, dalam sejarahnya dapat dikatakan tidak pernah terjadi konflik yang menjurus pada kekerasan. Hubungan sosial antara warga pendatang dengan penduduk asli terjalin cukup baik, meskipun mulai diperumit dengan masalah terdesaknya suku asli Dayak dari kehidupan ekonomi. Ada beberapa faktor penyebab mengapa konflik di Kalbar dan Kalteng dapat meluas. Selain kebijakan komersialisasi hutan yang cenderung membuat rakyat setempat menjadi frustasi (eksploitasi dan ketimpangan) , tidak ditegakkannya hukum oleh aparat keamanan, situasi politik yang tidak menentu , resesi ekonomi, euforia otonomi daerah, kemajemukan etnisitas, tidak adanya budaya dominan, dan adanya perbedaan budaya antara kaum pendatang dengan penduduk setempat, serta yang tidak kalah pentingnya ialah kemungkinan peranan provokator khususnya yang terjadi di Kalimantan Tengah (Cahyono, 2008:5). Semboyan nasional Bhineka tunggal Ika, yang berarti meskipun berbeda– beda tetapi satu juga atau kesatuan dalam keanekaragaman, dalam waktu yang cukup lama mampu menyatukan keanekaragaman di dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, sejauh ini interaksi sosial dalam bentuk konflik sosial ternyata selalu ada dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Konflik–konflik pada masa lalu menunjukkan bahwa konflik telah hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia
8
sejak lama. Sementara itu, beberapa tahun terakhir khususnya setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang
selanjutnya
didikuti dengan krisis politik, konflik sosial begitu banyak terjadi, baik konflik sosial yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal misalnya terjadi antara rakyat dengan pemerintah, atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Konflik ini terjadi dalam bentuk demonstrasi (people power) untuk menolak kebijakan pemerintah. Misalnya, demonstrasi menentang pemerintah yang disebut Aksi Reformasi pada tahun 1998. konflik vertikal antara rakyat dengan pemerintah juga terlihat dalam keinginan rakyat di daerah–daerah tertentu yang ingin memisahkan diri (merdeka)dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti Aceh dan Irian Jaya (Papua). Selain itu, konflik vertikal juga dapat terjadi antara bawahan (karyawan) dengan atasan (pimpinan). Dalam partai politik, konflik vertikal dapat terjadi antara pemimpin partai politik dengan anggota– anggotanya. Konflik horizontal terjadi antara rakyat dengan rakyat lainnya, misalnya dalam bentuk konflik antaretnik atau antarsuku, antarras, antarpemeluk agama, antarapenduduk desa, antarapelajar, atau antarapemuda. Effendi Noer (Ranjabar : 2006:197), mengatakan bahwa konflik sosial menjadi tidak lumrah dan menjadi sumber biang malapetaka dan kehancuran kehidupan berbangsa ketika disertai dengan tindakan anarkhis dan kebrutalan, seperti yang terjadi dipenghujung kebangkrutan Orde Baru dan di awal masa reformasi. Konflik sosial yang terjadi itu diwarnai dengan agresivitas membabibuta , ditandai dengan tindakan yang melampaui batas – batas
9
perikemanusiaan disertai dengan kekerasan. Konflik sosial semakin terasa sangat tidak patut karena sudah menuju ke bentuk kekereasan sosial di hampir seluruh lapisan masyarakat, yang semua itu menandai rapuhnya integrasi nasional. Dahrendorf 1959 (Pruit dan Rubin: 2004:34-35) menyebutkan tiga kondisi yang mendukung kemunculan sebuah struggle group, yang seringkali menjadi pendorong terjadinya konflik, yaitu: 1. Komunikasi terus-menerus diantara orang – orang senasib. 2. Adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok. 3. Legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas atau setidaktidaknya tidak ada tekanan komunitas yang efektif terhadap kelompok. Meskipun konflik dapat ditemukan hampir disetiap bidang interaksi manusia, Darwin, Freud, dan Marx ( Pruitt dan Rubin, 2004: 12-13). Mengatakan bahwa konflik merupakan peristiwa – peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam kehidupan manusia, tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah salah. Orang pada umumnya mampu bergaul dengan baik dengan orang – orang, kelompok, maupun organisasi lain. Pergaulan itu mereka lakukan dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit terjadi konflik di dalamnya. Bilamana konflik itu memang terjadi, maka lebih sering konflik itu dapat diatasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan dapat memuaskan semua pihak. Meskipun konflik sebenarnya tidak perlu menimbulkan konsekuensi destruktif, tetapi konflik yang buruk bisa berakibat mengerikan. Bambang Nurokhim dalam tulisannya ”membangun karakter dan watak bangsa melalui
10
pendidikan mutlak diperlukan” mengatakan bahwa ”pendidikan nasional bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian bangsa, bahkan terjadi adanya degradasi moral”. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu : Pertama secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan – kesatuan sosial berdasarkan perbedaan – perbedaan suku-bangsa (etnis), perbedaan – perbedaan agama, adat, serta perbedaan – perbedaan kedaerahan. Kedua secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan – perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun: 2007:34). Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada pergeseran nilai pasca konflik konflik horizontal (konflik antaretnik), dan tidak akan meneliti atau membahas secara khusus tentang konflik vertikal. Sejak reformasi, banyak konflik yang muncul ke permukaan, baik bernuansa politik, bernuansa etnik, agama, ataupun hanya sekedar perwujudan rasa ketidakpuasan. Konflik – konflik sosial yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini telah menyentuh perasaan manusia dan membangkitkan kecemasan serta ketakutan, sebab konflik – konflik tersebut cenderung bersifat destruktif (merusak) dan meyebabkan kesengsaraan bagi banyak orang. Hal ini karena konflik tersebut tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme yang ada, seperti melalui musyawarah, baik oleh pihak – pihak yang berkonflik maupun oleh bantuan pihak ketiga (mediator atau arbirator).
11
Dipihak lain, struktur yang ada tidak mampu menyelesaikan konflik dalam waktu yang singkat. Keadaan ini diperparah dengan semakin membudayanya kekerasan dalam masyarakat disebabkab faktor media yang semakin mengglobal, dan juga akumulasi kebencian dalam masyarakat. Suseno 2003:122 (Moeis 2006:6). Sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam memecahkan konflik secara damai, beberapa konflik etnik justru meningkat menjadi konflik fisik yang menggunakan kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik. Konflik – konflik ini selanjutnya menyebabkan dampak negatif bagi banyak orang, baik material maupun nonmaterial, baik fisik maupun psikologis. Misalnya konflik yang terjadi di Sambas, Sampit, Palangkaraya, Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan Maluku Utara. Seperti halnya di daerah – daerah lain, penyebab terjadinya konflik etnik di Maluku Utara tidaklah tunggal. Masalah kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam, pertikaian elite politik dan birokrasi merupakan faktor penyebab terjadinya konflik etnik di Maluku Utara. Pada bulan September 1999, parlemen di Jakarta secara resmi sepakat untuk membentuk Maluku Utara menjadi Provinsi baru. Namun pemerintah pusat tidak menyediakan anggaran dan tidak ada peraturan peralihan, sehingga timbul keadaan tidak pasti dimana – mana. Ditengah – tengah kegembiraan dan waktu yang mendesak, perkelahian antaretnis yang sebelumnya terjadi pada tanggal 19 Agustus, pecah kembali di Malifut Kecamatan Kao pada tanggal 24 oktober 1999. Kali ini, etnis Makian kalah total dan sangat menderita, saat itu juga titik polorisasi di Maluku Utara telah melewati
12
titik yang tidak dapat dikendalikan (Ahmad dan Oesman:2000:119). Konflik yang terjadi mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, baik korban hartabenda, maupun korban nyawa. Begitu banyak orang yang harus kehilangan tempat tinggal, dan sanak saudaranya. Konflik ini bahkan menyisakan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Maluku Utara. Masyarakat mengalami depresi, mereka takut untuk kembali ke daerahnya masing – masing, karena khawatir peristiwa itu akan terulang kembali, sampai akhirnya pemerintah pusat melakukan pemulangan ke daerah masing - masing dan memberikan bantuan untuk membangun kembali tempat tinggal mereka. Setelah kondisi Maluku Utara kembali aman, hal ini tentu saja membawa dampak bagi masyarakat di Maluku Utara dalam berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya, etika, pendidikan, agama, moralitas, hukum, dampak psikologi, dan lain-lain yang tentu saja berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bahkan kehidupan bernegara. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tesis tentang ” Pergeseran Nilai Masyarakat Pasca Konflik Etnik di Maluku Utara Implikasinya pada Integrasi Nasional (Studi Kasus di Kota Ternate)”.
B. Masalah Penelitian Bertolak dari latar belakang penelitian tersebut, maka dapat peneliti rumuskan suatu pokok permasalahan yaitu “ Mengapa terjadi pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara, serta bagaimana
13
implikasinya pada integrasi nasional?” Untuk memudahkan pembahasan hasil penelitian, maka masalah pokok penelitian tersebut peneliti jabarkan dalam beberapa sub masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi nilai-nilai budaya masyarakat sebelum konflik etnik di Maluku Utara? 2. Bagaimana kondisi nilai – nilai kehidupan (budaya) masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara? 3. Apakah pergeseran nilai masyarakat berimplikasi pada integrasi sosial dan nasional ? 4. Upaya – upaya apa yang dapat ditempuh dalam mengatasi pergeseran nilai dan menyatukan masyarakat Ternate (Maluku Utara) agar tidak mengakibatkan terjadinya disintegrasi Bangsa ? Sub – sub masalah tersebut dapat dijadikan pertanyaan pokok penelitian.
C. Tujuan Penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara faktual mengenai pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara, implikasinya pada integrasi nasional. Dari tujuan umum tersebut di atas, dapat dirumuskan tujuan khusus sebagai berikut : a. Mengkaji tentang deskripsi nilai – nilai budaya masyarakat yang berkembang sebelum konflik etnik di Maluku Utara. b. Mengkaji tentang deskripsi nilai – nilai kehidupan (budaya) masyarakat, yang berkembang setelah konflik etnik di Maluku Utara
14
c. Mengkaji apakah pergeseran nilai masyarakat berimplikasi pada integrasi sosial dan integrasi nasional. d. Melihat gambaran upaya – upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi pergeseran nilai dan menyatukan masyarakat Ternate
(Maluku
Utara)
sehingga
tidak
mengakibatkan
terjadinya
disintegrasi Bangsa.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara keilmuan (teoritik) maupun secara empirik (praktis) dalam rangka pengembangan Pendidikan Kewargnegaraan. Secara teoritik, penelitian ini akan menggali, mengkaji dan mendeskripsikan, serta
mengorganisasikan informasi tentang
pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara, implikasinya pada integrasi nasional yang akan menghasilkan kerangka dasar secara konseptual-teoritis tentang pergeseran nilai masyarakat yang terjadi pasca konflik etnik di Maluku Utara yang di butuhkan dalam rangka menanamkan nilai – nilai etika dan moral bagi warganegara, khususnya di Maluku Utara serta mengatasi terjadinya disintegrasi nasional. Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut : 1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang pendidikan
kewarnegaraan
sebagai
bahan
kontribusi
ke
arah
15
pengembangan warganegara yang bermoral, bertanggungjawab, serta menjaga dan mempertahankan integrasi nasional. 2. Para pengembang kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dari tingkat pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi. 3. Para pengambil kebijakan khususnya yang terkait dengan program penanaman dan pembinaan nilai – nilai budaya, etika dan moral, serta pembentukan warga negara yang baik, cerdas, bertanggung jawab, dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, serta dapat menghargai dan menerima keanekaragaman sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.
E. Penjelasan Istilah Dalam judul penelitian ini terdapat konsep utama, yakni pergeseran nilai masyarakat, konflik etnik di Maluku Utara, dan integrasi nasional. 1. Pergeseran Nilai Masyarakat Jack R. Fraenkel (Djahiri, 1985:20) mengulas sejumlah rumusan tentang nilai yang intinya sebagai berikut : nilai / value adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang. Dan biasanya mengacu pada estetika (keindahan), etika (pola laku), dan logika (benar / salah) atau keadilan (justice). Nilai menuntun orang untuk berbuat terarah, indah, baik, efisien dan bermutu / berharga (worth), serta benar dan adil. Menurut Hans Jonas (Bertens, 2004:139) nilai adalah the addressee of a
16
yes, ” sesuatu yang ditujukan dengan ’ya’ kita”. Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif, sebaliknya sesuatu yang kita jauhi seperti penderitaan atau penyakit adalah lawan dari nilai atau
”non-nilai”.
Djahiri
(1985:
20),
mengatakan
bahwa
Nilai merupakan keyakinan / belief yang sudah merupakan milik diri dan akan menjadi barometer actions and the wiil yang bersangkutan. Maluku Utara merupakan salah satu dari beberapa provinsi termuda di Indoneisa. Pada kenyataanya, dalam beberapa tahun terakhir setelah terjadi konflik sosial di Maluku Utara, masyarakat lebih banyak menyelesaikan masalah – masalah yang terjadi dengan cara – cara yang tidak rasional, bahkan tidak sedikit yang menggunakan kekerasan dan tindakan – tindakan anarkhis lainnya. Ironisnya, tindakan – tindakan tersebut dianggap sebagai hal yang biasa saja, padahal apabila kita melihat kebelakang, jauh sebelum Maluku Utara mengalami konflik etnis dan konflik – konflik sosial lainnya, tindakan – tindakan anarkhis seperti ini sangat jarang terjadi di kalangan masyarakat, meskipun masyarakat Maluku Utara dikenal mempunyai karakter yang keras akan tetapi tindakan – tindakan anarkhis yang terjadi beberapa tahun terakhir, bukan merupakan bagian dari budaya dan ciri khas masyarakat Maluku Utara. Pergeseran nilai masyarakat mengandung pengertian terjadinya perubahan pola pikir (idea/ konsep) masyarakat, yang selanjutnya membawa perubahan pada pola tindak
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pergeseran nilai disini mengarah pada nilai – nilai yang justru sangat bertentangn (non-nilai) ” dengan nilai – nilai yang sebelumnya dianut dan berlaku
17
dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut telah mengintegrasikan masyarakat selama bertahun-tahun.
2. Koflik Etnik di Maluku Utara Pruitt dan Rubin (2004:9), mengatakan bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak – pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik etnik di Maluku Utara, merupakan konflik yang terjadi antara etnik
Kao (Desa Sosol dan Wangeotak), dengan etnik Makian di
Kecamatan Malifut yang terjadi sejak tanggal 19 Agustus 1999 dan merambat hampir keseluruh pelosok Maluku Utara (Ahmad dan Oesman:2000:85). Kerusuhan beruntun dalam waktu yang relatif singkat, manakala penyelenggaraaan pemerintahan Provinsi Maluku Utara baru berusia empat hari. Pertikaian tersebut selanjutnya berkembang hampir ke seluruh pulau Halmahera dan dampaknya sangat merugikan daerah ini, manakala meletusnya perpecahan masyarakat secara beruntun di kawasan Halmahera Utara yang mencakup Kecamatan Tobelo, Galela, Jailolo, Sahu, Loloda, dan Ibu, dimana posisi strategis Tobelo dan Sidangoli yang merupakan konsentrasi dan economic of power kawasan Halmahera Utara telah menjadi ajang pertumpahan darah yang telah memporak – porandakan sendi – sendi kehidupan masyarakat dan infrastruktur ekonomi yang esensial. Posisi kota Ternate sebagai ibukota pemerintahan (Kota Ternate, Kabupaten Maluku Utara, dan Provinsi Maluku Utara) sekaligus sebagai sentral
18
berbagai aktifitas menghadapi kendala dan masalah secara internal dan eksternal dalam dimensi peran dan fungsi kota tersebut. Hancurnya infrastruktur ekonomi Tobelo secara makro merugikan perekonomian daerah Provinsi Maluku Utara dan juga secara mikro sangat merugikan masyarakat setempat dan wilayah kecamatan sekitarnya. Upaya Pemerintah Daerah dan masyarakat yang mengharapkan kembalinya warga eksodus, pasca kerusuhan di Kota Ternate ternyata menimbulkan benturan karena kepulangan mereka terutama para konglomerat lokal diharapkan akan memulihkan stabilitas ekonomi daerah, namun di sisi lain timbulnya konflik fase kedua di Ternate melahirkan kebencian warga antar kelompok etnis semakin memuncak. Masalah internal yang di hadapi oleh pemerintah Kota Ternate adalah membludaknya pengungsi Halmahera Utara (tujuh kecamatan), yang membutuhkan penampungan serta sandang dan pangan yang memadai. Sementara itu, masalah internal yang dihapi adalah pasokan bahan pangan (sembako) dan kebutuhan lainnya yang mendesak. Belum lagi dampak negatif lainnya yang ditimbulkan seperti dampak psikologis, sosial, pendidikan, dll (Ahmad dan Oesman:2000:126.)
3. Integrasi Nasional Dalam Sumpah Pemuda 1928, sebuah tekad dari beberapa organisasi pemuda berdasarkan ikatan primordial, bersatu untuk berikrar Indonesia yang satu. Bukti sejarah ini menunjukkan bahwa multikulturalisme masyarakat tidak hanya
dipandang mempunyai potensi konflik, akan tetapi lebih dari itu
multikulturalisme masyarakat dapat dijadikan sebagai modal dalam upaya
19
pembangunan kebudayaan nasional. Pemikiran ini dapat kita jumpai dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 32 (1) yang menyatakan bahwa: ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilainilai budayanya”. Peursen (Ritiauw: 2008: 57) menjelaskan: disadari bahwa karena di dalam masyarakat yang multikultural itu, baik dilihat dari sudut suku bangsa, golongan agama dan daerah, di mana golongan-golongan yang ada tidak sama kemampuan dan kesempatan-kesempatan baru atau untuk membela diri terhadap aspek-aspek negatifnya, masalah persatuan bangsa merupakan suatu masalah yang terus menerus memerlukan perhatian dan usaha yang efektif. Segala aspek ini bertemu dalam usaha untuk merumuskan suatu strategi yang mampu membimbing integrasi.
Lebih luas lagi, Howard Wriggins (Muhaimin, 1991: 51) memberi catatan dan komentar tentang integrasi dan menguraikannya menjadi lima tipe, yaitu: (1)
(2)
(3)
Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada pembentukan identitas nasional. Di sini integrasi bangsa menunjuk pada masalah pembangunan rasa kebangsaan dengan cara menghapus kesetiaan-kesetiaan pada ikatan yang lebih sempit. Integrasi dapat menunjuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang lebih kecil yang mungkin beranggotan suatu kelompok budaya atau sosial tertentu. Integrasi dapat juga menunjuk pada upaya menghubungkan pemerintah dengan yang diperintah, yakni untuk menjambati gap antara elite dan massa yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan mencolok dalam aspirasi dan nilai-nilai mereka.
20
(4)
(5)
Integrasi kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan adanya konsensus nilai yang minimum yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial. Integrasi dapat juga menunjuk pada pembicaraan mengenai tingkah laku untuk berorganisasi demi mencapai beberapa tujuan.
Dengan identifikasi yang dibuatnya, Wriggins mengemukakan pula bahwa istilah integrasi merangkum hubungan-hubungan dan sikap-sikap manusia yang sangat luas yakni integrasi antar berbagai kesetiaan kultural dan penciptaan rasa kebangsaan, integrasi unit-unit politik kerangka wilayah bersama dengan satu pemerintah kekuasaan, integrasi antara pemerintah dan yang diperintah, integrasi warga-warga ke dalam proses yang dijalankan bersama, serta integrasi individuindividu ke dalam organisasi-organisasi dengan kegiatan-kegiatan yang berguna. Pengertian-pengertian tersebut, meskipun berbeda-beda, mengandung kesamaan yang konsisten, yaitu adanya upaya mendefinisikan sesuatu yang bisa menyatukan masyarakat dengan sistem politik. Dari kondisi suatu bangsa yang demikian, Weiner (Muhaimin, 1991: 44) menyatakan perlu disusun adanya dua strategi kebijaksanaan pemerintah untuk mencapai integrasi nasional, yaitu: (1)
(2)
Penghapusan sifat-sifat kultural utama dari komunitas-komunitas yang berbeda menjadi semacam kebudayaan nasional. Strategi ini disebut “policy asimilasionis”. Penciptaan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaankebudayaan kecil. Strategi ini disebut “policy bhineka tunggal ika” (integrated pluralism).
Dari paparan di atas, menggambarkan bahwa sebuah integrasi dan dipertahankannya sistem budaya adalah karena adanya komitmen-komitmen nilai sebagai konsensus yang di tetapkan secara bersama oleh suatu masyarakat.
21
Berkaitan
dengan
komitmen-komitmen
nilai
tersebut,
Talcott
Parsons
(Johnson:1986:114), dalam teori tindakannya menguraikan mengenai tindakan manusia yang dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi motifasional yang bersifat pribadi dan orientasi nilai-nilai yang bersifat sosial. Orientasi motifasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhankebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Hal ini mengandung pengertian bahwa tindakan seseorang itu dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan sekaligus di kontrol oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tindakan manusia menurut Parsons memiliki empat elemen sistem, yaitu sub sistem budaya, sub sistem sosial, sub sistem kepribadian dan sub sistem perilaku organisme. Keempat sub sistem tersebut berada dalam suatu hubungan hirarki. Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan dalam peran-peran tertentu dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem itu. Perilaku organisme merupakan energi dasar yang dinyatakan dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Yanse,(2000:19) mengatakan bahwa ” integrasi memiliki dua pengertian, yaitu : 1) Pengendalian terhadap koflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, 2) Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsurunsur tertentu”. Sedangkan
yang disebut integrasi sosial adalah jika yang
dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur
22
sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Lebih lanjut Yanse,(2000:23) mengatakan bahwa Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut : 1 Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar). 2 Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Integrasi nasional merupakan penyatuan atau kesepakatan warga masyarakat Indonesia akan nilai – nilai umum tertentu yang disepakati bersama dan nilai – nilai umum tersebut benar – benar dihayati melalui proses sosialisasi. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, Indonesia, yang tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme dari permulaan abad ke-20 yang berjiwa anti kolonialisme itu merupakan konsensus nasional yang memiliki daya tiada terkira di dalam mengintegrasikan masyarakat Indonesia sampai saat ini. (Nasikun: 2007:80). Selanjutnya menurut Liddle (Nasikun:2007:81) suatu integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila : (1) sebagian besar anggota suatu masyarakat bangsa bersepakat tentang batas – batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya. (2) apabila sebagian
23
besar angota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan – aturan daripada proses – proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut.