BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Sistem waris masyarakat Kajang Le’leng Luar (Ipantarang Embaya dan Ilalang Embaya) menunjukkan sistem waris yang berbeda. Dalam proses pembagian warisan masyarakat Kajang Le’leng Dalam (Ilalang Embaya) masih berpegang teguh pada Hukum Adat berdasarkan Pasang, yakni sistem pembagian secara kolektif
bergilir untuk harta warisan berupa
rumah dan tanah garapan pertanian, dan perkebunan yang dikhususkan kepada ahli waris laki-laki untuk dikelola secara bergiliran. Namun untuk ahli waris perempuan, mendapatkan harta warisan berupa perhiasan, alat tenun dan perlengkapan rumah tangga yang berada di dalam rumah pewaris. Rumah yang diwariskan, akan ditinggali secara bergiliran oleh para ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan selama 2 tahun. Sementara di lingkungan masyarakat Kajang Luar (Ipantarang Embaya) menjalankan sistem kewarisan individual. Pembagiannya dilakukan saat pewaris masih hidup dan saat akan dilakukan perkawinan. Proses pewarisan disaat pewaris masih hidup dilakukan dengan cara penerusan atau pengalihan. Cara penerusan atau pengalihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris dengan melihat kedudukan, hak dan kewajiban. Pembagian warisan yang dilakukan adalah pembagian
114
sama rata antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan satu banding satu, yakni laki-laki mendapat satu bagian dari harta warisan orang tuanya demikian halnya dengan perempuan mendapat 1 bagian dari harta warisan orang tuanya. Pembagian ini tentunya didasari niat untuk selalu mengutamakan perdamaian, kerukunan dan terpenting adalah keutuhan keluarga. 2. Masyarakat Kajang Le’leng Dalam memaknai keadilan berdasarkan nilainilai pasang yang di ajarkan oleh Ammatoa selaku pimpinan adat. Ammatoa berperan penting mengajarkan dan mempertahankan nilai-nilai Pasang di dalam kehidupan masyarakat Kajang Le’leng Dalam termasuk menciptakan rasa keadilan pada proses pembagian warisan. Berbeda dengan masyarakat Kajang Le’leng Luar yang melihat keadilan dari sudut pandang yang berbeda. Masyarakat Kajang Le’leng Luar memaknai keadilan berdasarkan pertimbangan rasional dari masing-masing anggota keluarga. Misalnya, adil itu ketika perempuan dan laki-laki mendapat bagian yang sama. Mengingat Masing-masing memiliki peran dan tanggungjawab yang sama khususnya dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Oleh karena itu bagi masyarakat Kajang Le’leng Luar, keadilan adalah kondisi dimana masing-masing ahli waris mendapatkan bagian yang sama rata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa untuk proses pembagian warisan dan pemaknaan keadilan terhadap proses pembagian harta warisan pada masyarakat Kajang le’leng Dalam ditentukan oleh Ammatoa selaku pimpinan Adat, sedangkan untuk proses pembagian harta warisan dan
115
pemaknaan keadilan pada masyarakat Kajang Le’leng Luar ditentukan berdasarkan hasil musyawarah dalam keluarga, yang melibatkan setiap anggota keluarga khususnya para ahli waris.
B. Refleksi Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Tindakan dan interaksi di masyarakat tidak terbentuk dengan begitu saja.Tindakan dan interaksi masyarakat Kajang diciptakan secara terus menerus dan terbentuk suatu konstruksi sosial. Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Konstruksi sosial menyatakan tidak ada kenyataan pokok (essences) yang benar, realitas adalah kontruksi sosial oleh karena itu setiap fenomena adalah kontruksi sosial, hasil dari suatu budaya, bahasa, dan juga institusiinstitusi. Demikian halnya konsep pemikiran John Rawls tentang keadilan sosial yang mengatakan bahwa keadilan sosial dapat tercipta berdasarkan peran atau perlakuan dari institusi sosial yang ada. Dalam hal ini institusi sosial pada masyarakat kajang le’leng adalah Ammatoa. Ammatoa selaku pimpinan adat berperan dalam mengkonstruksi sistem pembagian harta warisan yang harus dijalankan oleh masyarakat Kajang Le’leng Dalam. Demikian
halnya
dengan
keadilan.
Keadilan
diciptakan
melalui
116
pemahaman Ammatoa terhadap nilai-nilai pasang, yang kemudian akan dijalankan dan dipertahankan di dalam masyarakat Kajang Le’leng Dalam. Hal ini tentu terkait dengan kepentingan Ammatoa untuk mempertahankan nilai-nilai yang ada dalam pasang, selain itu Ammatoa berperan penting untuk mempertahankan Kajang le’leng dalam sebagai wilayah adat yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan adat istiadat nenek moyang mereka. Sedangkan pada masyarakat Kajang Luar sistem pembagian warisan ditentukan berdarkan hasil musyawarah, yang melibatkan para anggota keluarga. Sehingga keputusan untuk menjalankan suatu sistem waris yang tepat berdasrakan pemahaman masing-masing anggota keluarga yang terlibat dalam musyawarah, bukan sistem waris yang telah ditentukan oleh satu orang seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Kajang Le’leng Dalam. demikian halnya dengan keadilan. Keadilan yang dipahami masyarakat Kajang Luar lebih mengarah pada keadilan yang dimaknai pembagian sama rata, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, berdasarkan hasil musyawarah. Hal ini tentunya didasarkan pada pertimbangan rasionalitas masing-masing individu dalam hal ini para ahli waris dalam keluarga. Dengan demikian pemaknaan tentang keadilan tentu berbeda, karena institusi yang berperan juga berbeda. Ammatoa selaku pimpinan adat tentu memiliki kepentingan untuk mempertahankan nilai-nilai Pasang yang ada, agar tetap hidup di tangah-tengah masyarakat Kajang Le’leng Dalam. Sedangkan masyarakat Kajang L’leng Luar memiliki kepentingan yang berbeda pula, yaitu demi keutuhan keluarga. Dengan demikian setiap hal, termasuk dalam menciptakan keadilan dalam
117
pembagian warisan harus di musyawarahkan oleh seluruh anggota keluarga, sebagaimana gagasan penting tentang keadilan yang disebut oleh Rawls sebagai prinsip keadilan bagi masyarakat merupakan hasil dari kesepakatan atau musyawarah. Kontruksi sosial merupakan sebuah pandangan yang menunjukkan bahwa semua nilai, ideologi, dan institusi sosial adalah buatan manusia. Oleh karena itu nampak bahwa dari kedua masyarakat ini menjalankan proses pembagian harta warisan yangberbeda demikian halnya pemaknaan terhadap keadilan, meskipun keduanya sama-sama merupakan masyarakat adat. Oleh karena itu perubahan dalam masyarakat bukan lagi hal yang tidak mungkin, mengingat peran institusi yang ada serta kuatnya arus globalisasi yang tak kenal ruang dan waktu.
118