62
BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA
Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian, untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Permasalahan tersebut adalah “Bagaimana Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Etnis Tionghoa tahun 1955- 1969”. Pokok permasalahan tersebut diuraikan dan disusun ke dalam empat bahasan utama : pertama, Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua, Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Ketiga, Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. Keempat, Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. IV.1. Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia IV.1.1. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Zaman Kolonial Belanda Pemerintahan kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan sering menggunakan siasat devide et impera. Siasat ini digunakan mengingat jumlah orang Belanda yang lebih sedikit dari jumlah penduduk jajahan. Seperti halnya di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menggunakan golongan-golongan tertentu dalam usaha mengendalikan mayoritas orang-orang pribumi untuk mempertahankan kekuasaannya.
62
63
Dalam menjalankan siasatnya ini pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan. Golongan pertama yaitu orang-orang Eropa yang merupakan warganegara kelas satu, lalu golongan Timur Asing yaitu orang-orang Arab, India dan Cina serta terakhir adalah orang-orang pribumi. Siasat devide et impera dijalankan dengan memberikan fasilitas atau kedudukan pada kelompok tertentu. Di Indonesia kelompok tersebut adalah kaum ningrat dari golongan pribumi dan orang-orang Tionghoa untuk golongan Timur Asing. Kepada kaum ningrat pemerintah kolonial Belanda memberikan jabatan seperti Pamong Praja, sedangkan
untuk
orang-orang Tionghoa pemerintah Belanda memberikan kedudukan sebagai Mayoor dan kapitein der Chinezen. Jabatan untuk orang-orang Tionghoa tersebut
diberikan
setelah
pada
tahun
1917
pemerintah
Belanda
menyamakan kedudukan hukum orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Belanda. Dengan perubahan itu berarti status sosial orang-orang Tionghoa lebih tinggi dibanding orang-orang pribumi. Di samping pemisahan status sosial, pemerintah Belanda juga memisahkan kehidupan orang-orang Tionghoa dari masyarakat pribumi dengan dibentuknya suatu perkampungan yang disebut kampong tjina (Chinese Wijk) (Lie Tek Tjeng, 1971: 4). Dengan pemisahan ini maka sulit terjadi asimilasi antara penduduk pribumi dengan orang-orang Tionghoa. Dalam
bidang
pendidikan
pemerintah
kolonial
Belanda
memberikan kesempatan yang lebih kepada orang-orang Tionghoa dengan
64
didirikannya Hollandsch Chinesche School (HCS) pada tahun 1908. Kesempatan inilah yang menghasilkan lahirnya kaum intelektual di kalangan orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda ini
akhirnya
menyadari
akan
pentingnya berpolitik
dan
berorganisasi. Pada tahun 1920 mereka membentuk suatu organisasi yang bertujuan mengarahkan kaum Tionghoa peranakan untuk tidak berkiblat kepada pemerintah Cina melainkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam kongresnya pada tahun 1928 akhirnya organisasi ini sepakat membentuk partai politik kaum peranakan yang pertama yaitu Chung Hwa Hui (Perhimpunan Tionghoa, CHH). Dalam perkembangannya partai ini pada tahun 1939 berhasil menempatkan tiga orang wakilnya dalam Volksraad (Suryadinata, 1984: 50). Dalam bidang ekonomi orang-orang Tionghoa memperoleh kesempatan dari pemerintah Belanda untuk terlibat sebagai pengumpul pajak (yang kemudian dimanfaatkan untuk memeras rakyat), mengusahakan pegadaian, monopoli perdagangan candu dan sebagainya, oleh karena itu banyak penduduk pribumi yang merasa benci kepada orang-orang Tionghoa. Kondisi seperti tersebut diatas secara tidak langsung telah merebut lapangan ekonomi orang-orang Arab yang merupakan saingan bagi orang Tionghoa, pengusaha-pengusaha Jawa, serta sejumlah saudagar. Bagi masyarakat pribumi tindakan ini merupakan tekanan yang kuat dari orangorang Tionghoa di kepulauan Nusantara. Kehidupan ekonomi pribumi mulai tergeser dimana semua perekonomian mulai dikuasai atau didominasi orang-
65
orang Tionghoa, oleh karena itu benteng terakhir bagi orang-orang pribumi adalah SDI. Sebagai reaksi atas situasi ini adalah munculnya Sarekat Dagang Islam (tahun 1911) yang didirikan oleh Hadji Samanhudi di Solo. Tujuan organisasi ini adalah untuk mempertahankan dan mengimbangi para pedagang Tionghoa yang makin meluas. Pengusaha-pengusaha Tionghoa yang mencari jalan untuk merebut sebagian dari benteng terakhir kehidupan ekonomi pribumi ditanggapi dengan aksi kekerasan oleh anggota-anggota muda SDI di Solo yang dipimpin oleh R.M. Tirtoadisuryo. Gangguan-gangguan yang bersifat rasialis ini meningkat sedemikian rupa hingga akhirnya pada 10 Agustus 1912 Residen Surakarta terpaksa mengeluarkan suatu dekrit untuk mengurangi aktivitas organisasi itu ( Niel, 1984: 120). Sejak dibekukannya organisasi tersebut, perekonomian orangorang Tionghoa semakin maju. Mereka tidak lagi mendapat saingan dari orang-orang pribumi. Hal ini menimbulkan rasa superioritas dan menjadikan status sosial mereka lebih tinggi dari orang-orang pribumi. IV.1.2. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman Jepang Sikap pemerintah pendudukan Jepang terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari pengalamannya ketika berperang melawan negeri Cina. Walaupun akhirnya Jepang menang dan berhasil mendirikan pemerintahan boneka di negara Cina, namun banyak korban kerugian yang diderita oleh tentara Jepang. Orang-orang Tionghoa yang bersimpati kepada negeri leluhurnya ditawan, seperti Thio Thiam Tjong
66
tokoh CHH dan Ang Jan Goan salah satu pemimpin Sin Po. Surat kabar Cina diberangus, semua partai politik (baik partai pribumi, Belanda maupun Cina) dilarang, demikian pula perkumpulan-perkumpulan Cina dibubarkan dan diganti dengan perkumpulan Cina yang dibentuk dan ditunjuk pengurusnya oleh Jepang. Salah satu organisasi sosial yang dibentuk oleh pemerintahan militer Jepang bagi orang-orang Tionghoa adalah Hua Chiao Tsung Hui (Perhimpunan Perantau Cina). Organisasi ini dipimpin oleh orang Jepang bernama Toyoshima dan bertanggungjawab kepada pimpinan militer setempat (Hidajat, 1977: 96). Organisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan lebih praktis dalam mengkonsentrasikan orang-orang Tionghoa dalam kehidupan eksklusifnya. Manfaat lain dari organisasi ini adalah untuk memudahkan pemungutan pajak dan sumbangan-sumbangan untuk biaya perang. Perlakuan yang diterima oleh orang-orang Tionghoa ini berbeda dengan yang diterima oleh orang-orang pribumi. Jepang mengharapkan kerjasama orang-orang pribumi untuk mendukung peperangan yang sedang dilaksanakannya dengan janji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Kedudukan orang-orang Tionghoa pada masa ini selalu dicurigai oleh pemerintah Jepang karena mereka dianggap sebagai mata-mata Belanda. Walaupun demikian ada pula orang Tionghoa dan beberapa nasionalis Indonesia yang bekerjasama dengan Jepang, seperti Ong Siang
67
Tjun, Drs. Yap Tjwan Bing, Han Kang Oen, Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta. Dukungan tersebut diperlukan pemerintah Jepang untuk menumbuhkan semangat dan kerjasama rakyat dalam melawan sekutu. Selama pendudukan Jepang sekolah-sekolah Belanda dilarang dibuka dan yang diizinkan hanya sekolah-sekolah berbahasa pengantar Indonesia dan Cina. Anak-anak peranakan yang sebelumnya memperoleh pendidikan Belanda dan tidak dapat berbahasa Cina diharuskan untuk belajar dalam sekolah yang berbahasa sekolah Cina. Program ini dikenal dengan “totokisasi” (pengtionghoan kembali) orang-orang Tionghoa peranakan
(Suryadinata, 1988: 23). Seperti halnya pada jaman
pemerintahan Hindia Belanda, perekonomian pada saat itu tetap didominasi oleh orang-orang Tionghoa yang mendapat pengawasan ketat dari pemerintah militer Jepang. Bahan mentah terutama minyak bumi, karet, kina dan gula saat itu sangat dibutuhkan oleh Jepang untuk mendukung tentaranya. IV.1.3.
Golongan
Etnis
Tionghoa
di
Indonesia
pada
Jaman
Kemerdekaan Kekalahan Jepang pada pertengahan Agustus 1945, telah dimanfaatkan
oleh
para
pemimpin
nasionalis
Indonesia
untuk
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tetapi Belanda yang dibantu pasukan Inggris masuk lagi ke Indonesia guna melanjutkan pemerintahan kolonialnya. Kembalinya Belanda ini menimbulkan konflik antara kaum nasionalis Indonesia dan Belanda.
68
Pada masa kemerdekaan ini orang-orang Tionghoa banyak yang menjadi korban baik oleh pihak Belanda maupun karena kemarahan rakyat Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Timbulnya korban ini disebabkan pada masa itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam tiga golongan (Hidayat, 1993: 95), yaitu : a. Golongan Cina yang berada di wilayah kekuasaan Belanda.Mereka tetap pada usahanya yaitu mencari untung dalam situasi apapun yang dihadapi. Mereka berusaha melayani kebutuhan Belanda dengan sebaik-baiknya. Untuk keperluan ini Belanda mendirikan suatu organisasi semi militer Pao An Tui, yang dilatih dan dididik militer serta dipersenjatai oleh Belanda. Tujuan organisasi ini adalah untuk melindungi keselamatan orang Cina disamping Belanda sendiri mendapat tambahan pertahanan dari orang-orang Cina. Sebagai contoh adalah organisasi Chung Hua Hui wilayah Jakarta dengan tokohnya Thio Thiam Tjong cenderung membantu Belanda. b. Golongan Cina yang berada di wilayah Republik Indonesia. Orangorang Cina ini banyak usahanya untuk ikut membantu perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Seperti halnya organisasi CHH di wilayah Jakarta, organisasi yang berada di wilayah kekuasaan tentara RI ini dengan pemimpinnya Ong Siang Tjoen, cenderung membantu tentara RI.
69
c. Golongan orang-orang Cina intelektual sebagai hasil pendidikan Belanda. Mereka ini dalam politiknya juga berpihak pada Belanda, seperti Dr. Kwa Tjoan Sioei salah seorang tokoh CHH Jakarta. Sikap orang-orang Tionghoa pada masa ini pada hakekatnya hanya mencari keselamatan pribadi dan kepentingan golongannya. Sikap inilah yang menimbulkan rasa benci masyarakat Indonesia terhadap orang-orang Tionghoa. Ditambah lagi dengan adanya gerakan Pao An Tui, yaitu organisasi orang Tionghoa yang dipersenjatai oleh Belanda, di Jakarta pada tahun 1947 yang meluas keseluruh pulau Jawa. Keadaan kacau selama masa revolusi ini dimanfaatkan oleh pedagang Tionghoa untuk memperoleh keuntungan lebih banyak lagi. Mereka melakukan perdagangan gelap baik untuk keperluan Belanda maupun untuk keperluan pejuang Republik Indonesia. Bagi mereka politik tidaklah penting, yang penting adalah mencari keuntungan dengan berdagang. Dalam hal pendidikan, pada masa kemerdekaan anak-anak Tionghoa mendapat perhatian pula. Setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949, sekolah-sekolah Belanda ditutup. Anak-anak Tionghoa peranakan yang berada di sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda melanjutkan sekolahnya di sekolah berbahasa pengantar Indonesia yang dikelola oleh kelompok swasta ataupun pemerintah. Melihat adanya kecenderungan orang-orang Tionghoa yang menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah Tionghoa atau ke
70
sekolah-sekolah Katolik dan Protestan, maka pada tahun 1950 pemerintah Indonesia menghentikan subsidi terhadap sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina. Tindakan tersebut merupakan akibat dari sistem sikap hidup eksklusifisme
pemerintah
kolonial
Belanda
dan
Jepang.
Dengan
penghapusan subsidi tersebut diharapkan orang-orang Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Namun, kebanyakan orang-orang Tionghoa memperlihatkan sikap yang anti dan apatis terhadap pemerintah RI. Mereka juga lebih bersikap menutup diri dalam tradisi mereka sendiri tanpa mau menyesuaikan dan mengintegrasikan ke dalam masyarakat dan kebudayaan nasional Indonesia. Sikap eksklusifisme ini mereka pertahankan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sikap semacam ini dikenal dengan “racial and cultural nationalits”, seperti yang diharapkan oleh pemerintah Cina komunis di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 98).
IV.2. Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Masalah hukum mengenai status sipil golongan Tionghoa di Indonesia merupakan masalah rumit yang merupakan warisan dari jaman kolonialisme Belanda. Perundang-undangan pemerintah Belanda menggolongkan mereka sama dengan “orang-orang pribumi”, setingkat lebih rendah dari orang-orang Eropa, dalam hal hukum mereka dianggap sebagai kaula negara Belanda. Namun, orangorang Tionghoa di Hindia Belanda digolongkan sebagai “orang asing”, bahkan
71
untuk tujuan statistik mereka digolongkan sebagai “Orang Timur Asing” yang dibedakan dari “Orang-orang Eropa” dan “Bumiputera”. Penggolongan-penggolongan tersebut sesungguhnya melukai perasaan orang-orang Tionghoa, dan pada saat rasa nasionalisme Cina tumbuh menjelang abad ke 20, maka baik orang-orang Tionghoa yang di negeri Cina maupun yang berada di Laut Cina Selatan menuntut dihapusnya penggolongan tersebut. Pemerintah Manchu pada waktu itu mulai menekan pemerintah Hindia Belanda untuk dapat menempatkan konsul-konsulnya di negeri koloni guna menghapus segala bentuk diskriminasi hukum bagi orang-orang Cina di Hindia Belanda. Melihat kondisi tersebut pemerintah Cina pada tahun 1909 mengumumkan undang-undang kewarganegaraan yang menganut asas ius sanguinis, yaitu kewarganegaraan yang ditentukan dari garis keturunan. Undang-undang tersebut yang kemudian menjadi inti pokok masalah dwi kewarganegaraan bagi orangorang Tionghoa di perantauan. Pemerintah Belanda pada tahun 1910 membalas dengan diberlakukannya Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda (Wet op het Nederlandsch onderdaanschap atau WNO) yang menganut asas ius soli, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran orang tersebut. Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda tahun 1910 ini berisi peraturan mengenai kaula negara Belanda dari penduduk Hindia Belanda, menyatakan bahwa mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang bertempat tinggal disana, jika bapaknya tidak diketahui dari ibunya yang bertempat tinggal di sana dan masih ada beberapa kelompok orang yang bertautan
72
WET dari Belanda sekalipun mereka itu bukan orang Belanda menurut tahun 1892 (Paulus, 1983: 156). Penentuan UU 1910 tersebut mengakibatkan seorang anak dapat dipisahkan status kewarganegaraannya dari orang tuanya. Undangundang tersebut juga masih membedakan antara “warganegara” yaitu warga dari sebuah negara dengan “kaulanegara Belanda” yaitu semua orang yang lahir di negeri jajahan Belanda seperti Suriname, Hindia Belanda dan Antillen (Paulus,1983:164). Dengan demikian baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Cina sama-sama memiliki hak yuridis atas orang-orang Tionghoa kelahiran Hindia Belanda. Masalah ini kemudian dibawa ke meja perundingan antara pemerintah Cina dan Belanda. Perundingan tersebut menghasilkan penandatanganan Perjanjian Konsuler tahun 1911. Hakikat perjanjian itu adalah bahwa pemerintah kekaisaran Cina mengakui bahwa orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda selama di negeri Belanda dan wilayah kekuasaannya tunduk pada undang-undang Belanda. Namun bila mereka keluar dari wilayah kekuasaan Belanda mereka bebas menentukan kebangsaannya. Sebaliknya Belanda menyetujui pembukaan konsulat Cina di Hindia Belanda yang akan bertindak sebagai perwakilan dagang. Perjanjian konsuler tersebut berlaku untuk lima tahun dan akan diperbarui setiap tahun. Meskipun telah ada perjanjian konsuler, namun pada kenyataannya pemerintah RRC tetap melindungi keturunan Tionghoa di perantauan. Hal ini dapat diketahui dari kasus Oen Keng Hian, seorang pegawai bank Belanda di Pulau Jawa. Pada tahun 1926 Oen menggelapkan uang dalam jumlah besar dan
73
melarikan diri ke negeri Cina. Atas permintaan konsul Belanda, Oen ditahan di Shanghai. Kasus ini menimbulkan perselisihan antara pemerintah Belanda dan pemerintah RRC yang memasalahkan status kewarganegaraan Oen. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa Oen adalah kawula kerajaan Belanda, maka ia harus diadili di Jawa. Namun pemerintah RRC bersikeras bahwa Oen adalah warga negara Cina yang hanya dapat diadili di Cina. Argumentasi pemerintah RRC adalah bahwa Oen belum pernah menyatakan melepas kewarganegaraan Cinanya, maka ia tetap warga negara RRC. Akhirnya Oen diadili oleh pengadilan campuran dan dapat keluar dari tahanan dengan membayar uang tanggungan (Suryadinata, 1984: 122). Perjanjian konsuler diatas kemudian membawa dampak pada jaman Indonesia merdeka, yaitu kewarganegaraan ganda. Timbulnya kewarganegaraan ganda ini karena perbedaan sistem penentuan kewarganegaraan yang dianut oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Cina. Pemerintah Indonesia menganut sistem ius soli, sedangkan pemerintah Cina menganut sistem ius sanguinis. Adanya dua sistem tersebut menjadikan etnis Tionghoa di perantauan mendapatkan status dwi kewarganegaraan. Segala sesuatu menjadi sulit setelah pemerintah Cina Nasionalis memperlihatkan sikap mempertahankan para warganegaranya sedapat mungkin. Pemerintah Cina tetap berpegang teguh pada Undang-undang Kewarganegaraan Cina Taiwan yang ditetapkan pada tahun 1929. Dalam undang-undang tersebut tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali mendapat izin dari Menteri Dalam Negeri Cina. Menteri hanya dapat memberikan izin bila yang bersangkutan telah
74
menjalankan
wajib
militer
untuk
Angkatan
Bersenjata
Cina
(Suryadinata, 1984:121). Pada tahun 1949 situasi politik di Cina mengalami perubahan, yaitu dengan jatuhnya pemerintahan Kuo Min Tang di negeri Cina daratan yang kemudian digantikan oleh pemerintahan komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong. Rezim Kuo Min Tang yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membentuk negara sendiri yang kini dikenal dengan Cina Taiwan. Sejak saat itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Cina daratan dengan pusatnya di Peking yang dipimpin oleh Mao Zedong, kemudian Cina Taiwan yang dipimpin oleh Kuo Min Tang dan Cina yang dianggap berdiri sendiri berbeda dari dua kelompok terdahulu yaitu Cina Singapura dan Cina Hongkong. Kedua golongan Cina yang pertama, yaitu Peking dan Taiwan saling berebut pengaruh terhadap para Tionghoa perantauan di negara-negara Asia Tenggara. Kedua kelompok ini berusaha menggunakan para Tionghoa perantauan ini sebagai kekuatan politik di luar negerinya. Hal ini penting karena dari para perantau tersebut diperoleh uang jutaan dolar yang selalu dikirim kedaratan Cina yang sangat berpengaruh dalam memperkuat posisi devisa pemerintah Cina. Dalam usaha memperebutkan pengaruh ini pemerintah Cina daratan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia dengan tujuan utama untuk memutuskan ikatan Cina di Asia Tenggara dengan Cina Taiwan. Karena undang-undang kewarganegaraan Cina yang ditetapkan pada tahun 1929 ini tidak diubah pada saat orang-orang komunis Cina berkuasa di Cina, maka pemerintah Indonesia yang non komunis khawatir akan intervensi RRC melalui
75
warga negara Indonesia keturunan Cina. Ditambah lagi dengan politik pemerintah RRC terhadap para imigran Cina di Asia Tenggara ini juga dijadikan alat penyebaran ideologi negaranya. Pemerintah RRC tetap mengikat dan memelihara kesetiaan para warganya yang merantau untuk tetap cinta pada bangsa dan negeri leluhurnya(Hidajat, 1993: 70). Sebagai contoh adalah berdirinya organisasi kamar dagang Shiang Hwee pada tahun 1909. Organisasi dagang ini selain bertujuan untuk melindungi kepentingan dagang orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda juga sebagai wadah yang mengumpulkan dana bantuan material untuk negeri leluhurnya. Penyebaran ideologi komunis juga dilakukan oleh pemerintah Cina melalui sekolah-sekolah Tionghoa perantauan. Pemerintah komunis Mao Zedong membentuk kader-kader guru yang diambil dari Tionghoa perantauan. Mereka diberi bea siswa untuk menyelesaikan sekolahnya diperguruan-perguruan tinggi di negeri Cina. Sehingga setelah selesai studinya mereka kembali ke negara tempat mereka merantau dan bertugas sebagai guru yang juga membawa misi untuk menanamkan ajaran komunis (Hidajat, 1993: 93). Berdasarkan hal-hal diatas, pemerintah Indonesia mengadakan pendekatan kepada pemerintah RRC untuk mencari jalan keluar bagi masalah dwi kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Bersamaan dengan niat pemerintah RI ini, pemerintah RRC pun ingin memainkan peranan yang besar dalam percaturan politik dengan menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Dengan demikian kepentingan keduabelah pihak, RI dan RRC dapat dipertemukan untuk bersama-sama memecahkan masalah.
76
Usaha-usaha
pemerintah
RI
untuk
mewujudkan
Perjanjian
Dwi
Kewarganegaraan ini diawali pada masa kabinet Ali yang disampaikan kepada Parlemen pada tahun 1953. Pada saat itu dikemukakan usul untuk membuat untuk undang-undang kewarganegaraan yang akan membawa akibat terhadap status hukum orang-orang Tionghoa perantauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1954 rancangan itu telah siap, namun karena belum ada pembicaraan dengan pihak RRC mengenai aspek-aspek tertentu dari undang-undang yang diusulkan tersebut, maka undang-undang yang diusulkan itu, maka undang-undang tersebut belum dapat diberlakukan. Rancangan
undang-undang
tersebut
timbul
dari
memuncaknya
ketidakpuasan terhadap akibat-akibat perumusan KMB. Dalam hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang semula kaula negara Belanda diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraannya. Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia secara otomatis atau memperkokoh
kewarganegaraan
Cina
dengan
penolakan
secara
resmi
kewarganegaraan Indonesia. Kesempatan untuk memilih ini diberikan selama dua tahun dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1951. Selama periode tersebut banyak peranakan Tionghoa yang dituntut sebagai warganegara baik oleh pemerintah Indonesia maupun RRC. Namun dalam pelaksanaannya orang-orang keturunan Tionghoa yang tidak melakukan penolakan terhadap kewarganegaraan Indonesia ternyata secara hukum tetap memiliki kewarganegaraan Cina. Hal ini berarti isi perjanjian KMB tersebut tidak menyelesaikan masalah kewarganegaraan orangorang Tionghoa di Indonesia. Kabinet Ali berkesimpulan bahwa keadaan tersebut
77
harus segera diperbaiki. Sebelum kabinet Ali, tidak ada satu pemerintah pun yang siap untuk menggarap masalah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah RRC tetap menjalankan politik kebudayaan guna memelihara kesetiaan para emigran untuk selalu setia pada bangsa dan negeri leluhurnya. Dengan demikian keuntungan yang mereka peroleh dari berdagang di negeri orang mereka gunakan untuk membangun negeri leluhurnya. Ikatan yang erat ini oleh pemerintah RRC juga digunakan untuk menyebarkan ideologinya melalui para emigran tersebut (Hidajat, 1993: 70). Dengan dijalankannya politik kebudayaan tersebut maka pemerintah RI menghendaki perubahan-perubahan di dalam hubungannya dengan beberapa negara Asia Tenggara sampai pada suatu tingkat yang berarti untuk dapat menekan pemerintah RRC. RRC harus mengubah masalah-masalah yang tidak berkenan bagi negara lain sehubungan dengan minoritas Tionghoa yang dapat digunakan demi keuntungannya. Apabila RRC dapat melepaskan tuntutannya terhadap kewarganegaraan Cina yang lahir di luar negeri maka hal itu merupakan suatu dorongan bagi beberapa negara Asia Tenggara untuk memajukan hubungannya dengan RRC. Masalah di atas juga dikemukakan oleh Duta Besar Mononutu setibanya di Peking. Dalam kesempatan tersebut Dubes RI ini mengajukan pemecahan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa dan mendapat tanggapan positif dari Perdana Menteri Chou En-lai. Menurut Mononutu, pemimpin Cina itu menyatakan
bahwa
dengan
menyetujui
untuk
membicarakan
masalah
kewarganegaraan saja sudah merupakan suatu langkah besar, karena akan
78
melepaskan politik tradisional Cina. Selain itu, pemerintah RRC juga mengemukakan bahwa bila perjanjian dengan Jakarta berhasil maka akan diperluas dengan negara-negara lain secara bilateral. Sebagai tindak lanjut atas pembicaraan di atas maka pada tanggal 24 November dan 23 Desember 1954 dikirim suatu tim khusus ke Peking untuk melakukan perundingan pertama. Perundingan ini diakhiri dengan persetujuan formal mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tanggal 22 April 1955 tepat pada waktu Konferensi Asia-Afrika berlangsung. Sikap keras pemerintah Cina terhadap status dwi kewarganegaraan orangorang Tionghoa peranakan ini berubah pada pertengahan tahun 1955 saat tukar menukar pandapat antara Chou En-lai dan Ali Sastroamidjojo. Pada kesempatan tersebut Chou menyatakan bahwa adalah merupakan hak pemerintah Indonesia untuk memutuskan siapa yang boleh menjadi warganegara Indonesia dan siapa yang tidak boleh bagi orang-orang dari golongan Cina (Suryadinata, 1984: 121). Tukar menukar pendapat antara Chou En-lai dan Ali Sastromidjojo dilanjutkan dalam perundingan antara Jakarta dan Peking. Pada tanggal 22 April 1955, bersamaan dengan berakhirnya Konfrensi Asia-Afrika, perjanjian mengenai dwi kewarganegaraan ditandatangani. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk memberikan pemisahan yang tegas antara warganegara Indonesia dengan warganegara RRC, sehingga dapat diambil tindakan-tindakan ke arah tercapainya suatu proses asimilasi, untuk menjadi bangsa yang homogen. Perjanjian tersebut memuat ketentuan untuk memilih salah satu di antara dua kewarganegaraan dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu mulai berlaku.
79
Ketentuan ini dikenakan bagi mereka yang sudah dewasa, yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah (pernah) kawin. Bagi anak yang belum dewasa kewarganegaraan mereka ditentukan oleh kedua orang tuanya. Untuk seorang warganegara RI yang kawin dengan warganegara RRC, maka masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan yang dimilikinya ketika sebelum kawin, kecuali bila salah satu dari
mereka
dengan
kehendak
sendiri
memohon
dan
memperoleh
kewarganegaraan yang lain. Selain itu perjanjian tersebut juga menggunakan sistem aktif untuk pelaksanaan pemilihan kewarganegaraan. Dalam sistem ini seseorang dalam menentukan pilihannya harus menyatakan menerima kewarganegaraan yang satu dan melepas kewarganegaraan yang lain dihadapan petugas negara yang kewarganegaraannya dipilih. Pada awalnya pemerintah Cina menghendaki digunakannya sistem pasif, yaitu penerimaan kewarganegaraan secara otomatis tanpa adanya pernyataan di depan pengadilan, seperti yang sudah berjalan sampai saat itu, tetapi pemerintah Indonesia menolaknya dan menghendaki sistem aktif. Sistem aktif, yaitu penerimaan atau pelepasan suatu kewarganegaraan yang harus dilakukan dengan membuat pernyataan di depan pengadilan, dikehendaki oleh pemerintah Indonesia karena berkaitan dengan ketidak percayaan pemerintah kepada kelompok minoritas Tionghoa yang tidak hanya secara ekonomi kuat, melainkan juga tak dapat berasimilasi. Di samping sistem aktif ini untuk menunjukkan kesetiaan dan kesungguhan mereka kepada pemerintah juga dimaksudkan untuk membatasi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia (Suryadinata, 1984: 118).
80
Menanggapi
keinginan
pemerintah
Indonesia
yang
menghendaki
digunakannya sistem aktif, akhirnya pemerintah Cina menyetujui hampir semua usul pemerintah Indonesia. Menurut pemerintah RRC pada dasarnya sistem pasif yang telah dilaksanakan selama ini sebenarnya juga akan memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan sistem aktif. Kesediaan pemerintah Cina untuk menggunakan sistem aktif tidak lepas dari masalah-masalah etnis Tionghoa di luar negeri yang sejak pemerintahan Cina terdahulu tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Maka perjanjian dengan pemerintah Indonesia ini merupakan salah satu kesempatan bagi pemerintah RRC untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cepat. Ketentuan-ketentuan yang tercantum di atas dimuat dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP No.20 Tahun 1959 jo PP No. 5 Tahun 1961) (Paulus, 1983: 299). Undang-undang dwi kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau di konsulatkonsulat Indonesia untuk orang Tionghoa di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda harus menolak kewarganegaraan Cina dalam periode antara 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962. Di luar periode itu dengan sendirinya akan kehilangan
kewarganegaraan
Indonesia (Siong,
1958:170). Usaha-usaha dari RI dan RRC dalam mewujudkan perjanjian ini yaitu pertukaran nota Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Perdana Menteri kedua negara pada tanggal 3 Juni 1955 di Peking. Nota tersebut mengatur tentang
81
kewarganegaraan rangkap yang harus dipilih salah satu. Dalam pidatonya Menlu RRC Tjen Ji mengatakan bahwa upacara penandatanganan mengenai pertukaran piagam ratifikasi perjanjian Cina-Indonesia telah disahkan oleh kedua pihak menurut prosedur Undang-Undang Dasar masing-masing. Hal ini dilakukan mengingat perantau Tionghoa mempunyai dwi kewarganegaraan adalah tidak wajar. Status tersebut bukan hanya merugikan perantau Cina tetapi ada kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi persahabatan kedua negara untuk mengadu domba. Oleh karena itu pemerintah Tiongkok senantiasa bersikap aktif dan secara sungguh-sungguh berusaha untuk bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut (Warta Bandung, 1959: II). Untuk melaksanakan perjanjian tersebut pemerintah Indonesia membentuk suatu panitia yang dilantik pada tanggal 25 Januari 1960 oleh Menteri Luar Negeri Subandrio.
Panitia
ini
dibentuk
untuk
menyelesaikan
masalah
dwi
kewarganegaraan dengan bijaksana agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut diratifikasi dalam undangundang No. 2 Tahun 1958 dan disahkan di Jakarta pada 11 Januari 1958. Undangundang No. 2 Tahun 1958 ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah dwikewarganegaraan yang ada pada waktu itu dan mencegah timbulnya dwikewarganegaraan di kemudian hari. Masalah dwi-kewarganegaraan diselesaikan dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang. Pada hakikatnya dalam perjanjian tersebut diatur dan ditentukan siapa saja orang Tionghoa di Indonesia yang diakui berstatus WNI dan siapa saja yang
82
berstatus warga negara RRC. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal berikut ini : 1. Suatu golongan yang mempunyai dwi kewarganegaraan dianggap tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat Pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya telah melepaskan kewarganegaraan RRC- nya. 2. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a, harus memilih dengan kehendak sendiri salah satu kewarganegaraan yang akan mereka pertahankan. Dengan ketentuan bahwa mereka yang tidak menyatakan pilihannya menjadi warga negara asing. Suami/ istri yang berkewarganegaraan rangkap menentukan pilihannya masing-masing. Dan selama anak belum dewasa, mengikuti pilihan bapak/ ibunya. Dan jika telah
dewasa anak
tersebut
harus
memilih
salah
satu
kewarganegaraan. Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menentukan bahwa apabila seorang warga negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC, masingmasing tetap memiliki kewarganegaraan asal, kecuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan dari partnernya. Apabila ia memperoleh kewarganegaraan partnernya, dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan asalnya. Dari sudut ketentuan Indonesia, ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang No. 68 Tahun 1958.
83
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958. peraturan tersebut antara lain menjelaskan bahwa mereka yang melepas kewarganegaraan RRC, harus membuat pernyataan, baik secara lisan maupun tertulis. Mereka yang menyatakan penolakan
secara
tertulis
akan
diberi
”surat
pernyataan
melepaskan
kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara RI”. Sedangkan mereka yang membuat pernyataan lisan akan diberi ”Surat catatan pernyataan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara Indonesia”. Selanjutnya diatur siapa saja orang Tionghoa yang terkena dan dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan dan mereka diharuskan membuat pernyataan melepaskan diri dari warga negara RRC. Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 disebutkan bahwa ada berbagai kelompok Warga Negara Indonesia yang dikelompokkan sebagai Warga Negara Indonesia tunggal atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRC dan tetap menjadi Warga Negara Indonesia, yaitu mereka yang berstatus tentara, veteran, pegawai pemerintah, mereka yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani, bahkan secara implisit mereka yang sudah mengikuti Pemilu 1955. Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan sehingga pemilihan kewarganegaraan RI atau RRC tetap diterapkan kepada mereka. Bagi mereka yang berkewarganegaraan ganda disediakan sejumlah formulir pernyataan. Terdapat enam jenis formulir bagi orang-orang Tionghoa yang dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan. Lima dari enam jenis formulir
84
tersebut dituangkan padaa PP No. 20 Tahun 1959 (formulir I-V), sedangkan satu jenis formulir lainnya (formulir VI) adalah perwujudan dari PP No. 5 Tahun 1961. Masing-masing formulir tersebut yang menunjukkan latar belakang pemohon dan merupakan
indikator
kewarganegaraan
RI,
penting
untuk
khususnya
menelusuri
dalam
rangka
keabsahan
keterangan
menentukan
status
kewarganegaraan para keturunan mereka di kemudian hari (Poerwanto, 2005: 241). Surat pernyataan keterangan ini merupakan surat bukti langsung tentang kewarganegaraan Republik Indonesia bagi orang yang menyatakan keterangan tersebut dan bagi anak-anak yang belum dewasa yang disebut di dalam surat itu selama anak-anak tersebut belum dewasa. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RIRRC yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 dengan masa opsi mulai tanggal 20 Januari 1960 sampai 20 Januari 1962 telah menyelesaikan permasalahan dwi kewarganegaraan RI-RRC. Pada tanggal 10 April 1969, Undang-Undang No.2 Tahun 1958 dicabut dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1969. Pencabutan ini dilakukan karena menurut Titi Sumbung (Suryadinata, 1984: 128-129): ”perjanjian tersebut, sebagaimana diuraikan oleh seorang pengacara peranakan, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana yang dimaksudkan karena sebagian besar orang yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir 1961”. Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang memiliki status warga negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958 tetap menjadi warga negara Indonesia. Demikian juga dengan keturunannya atau mereka yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Untuk selanjutnya mereka tunduk
85
kepada Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 mengenai kewarganegaraan Republik Indonesia. Sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969, Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Edaran No. DTB/16/4 tentang Penyelesaian
Pernyataan
Memilih
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 yang menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tidak dapat dipergunakan lagi mulai tanggal 10 April 1969. Surat Edaran tersebut kemudian diikuti oleh Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/9/11, tanggal 1 Juli 1969, yang ditujukan kepada semua ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Surat Edaran ini memberikan pedoman kerja, salah satunya adalah Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) bagi orang-orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, dan Pasal 13 Undang no. 62 Tahun 1958. Dengan demikian, setelah Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain, selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.
86
IV.3. Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Pada tanggal 22 April 1955 telah tercapai perjanjian antara pemerintah RI dan RRC mengenai masalah dwi kewarganegaraan, dan perjanjian tersebut telah diundangkan pada tanggal 27 Januari 1958 (Lembaran Negara No.5 Tahun 1958). Dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut dalam waktu dua tahun, secara yuridis formal orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang memilih dan menentukan kewarganegaraannya sesuai dengan perjanjian tersebut. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak menyelesaikan persoalan dwi kewarganegaraan, karena pada saat itu masih terdapat kekaburan kewarganegaraan diantara orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Sebagaimana Titi Sumbung mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi tentang pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (Sinar Harapan, 26 dan 28 Februari 1969) yaitu : 1. Sebagian besar dari mereka telah memilih kewarganegaraan RI dan melepaskan kewarganegaraan RRT. 2. Banyak diantara mereka juga dengan perjanjian ini seruan RRT atau tidak menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perjanjian tersebut. Sehingga secara yuridis formal mereka warga neagra RRT. Tetapi secara sosial-psikologis mereka acuh tak acuh dengan kewarganegaraan RRTnya sebab mereka merasa tidak ada pilihan lain dengan tidak diakuinya Republik Cina Taiwan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Orang yang berstatus demikian ini lebih banyak lagi jumlahnya sekarang. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik RI-RRT dan dibukanya hubungan Indonesia-Taiwan, meskipun secara tidak resmi, sehingga banyak diantara mereka yang tidak memilih berdasarkan perjanjian tersebut, atas permintaan sendiri minta “pasport Stateless” dan menjadi tanpa kewarganegaraan. 3. Kepada anak-anak yang belum dewasa, setelah mereka dewasa 18 tahun diharuskan memilih kewarganegaraan meskipun orang tuanya berdasarkan perjanjian ini sudah menjadi orang Indonesia. Keadaan juga demikian ini akan berlaku terus, juga kepada anak-anak yang dilahirkan setelah perjanjian tersebut selesai dilaksanakan (1961) karena dalam pasal XIV dari perjanjian tersebut ditetapkan bahwa perjanjian ini
87
berlaku untuk 20 tahun dan sesudah 20 tahun akan terus berlaku, kecuali salah satu pihak hendak memutuskannya. Dengan demikian terus menerus status kewarganegaraan anak-anak keturunan Tionghoa masih belum jelas, yaitu masih berstatus sementara, begitu ia sudah berumur 18 tahun, dalam waktu satu tahun ia harus memilih warga negara RI ataukah RRC, jika ia memilih kewarganegaraan RI maka ia harus menyatakan melepaskan
kewarganegaraan
RRC,
demikian
juga
sebaliknya.
Dengan
dibekukannya hubungan diplomatik antara RI-RRC, pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC sudah tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih kewarganegaraan RRC, praktis sudah tidak ada yang menampung lagi dengan kenyataan-kenyataan tersebut sudah jelas bahwa perjanjian tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan, yang ada justru merugikan kepentingan-kepentingan nasional bangsa Indonesia (Sinar Harapan, 28 Februari 1969). Selain berdampak kepada kepentingan nasional bangsa Indonesia, terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tahun 1955, tentunya menimbulkan dampak bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Baik dampak dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya. 1. Dampak dalam Bidang Politik Orang-orang Tionghoa dalam perkembangan politik di Indonesia, bersikap dan bertindak dengan dasar politik “menumpangkan nasib”. Bagi mereka siapa saja yang memegang pemerintahan Indonesia, tidak menjadi soal bagi mereka. Dengan politik demikian mereka berhasil menyelamatkan kedudukannya. Pada waktu kemerdekaan ada sepenuhnya ditangan bangsa Indonesia, mereka merasa
88
khawatir, cemas oleh karena merasa kehilangan perlindungan dari Belanda. Itulah sebabnya mereka berusaha untuk mencari perlindungan kepada pemerintah di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 110). Pada periode banyak partai, muncul sebuah partai orang-orang Tionghoa yang berorientasi pada konsep integrasi, yaitu Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Akan tetapi umur partai tersebut tidak lama karena tak dapat bertahan mengahadapi tumbuhnya kecenderungan untuk berbaur di kalangan peranakan, sikapnya yang apatis terhadap masalah politik dan sosial, serta ketidakacuhan golongan totok, para penganut konsep pembauran mendorong Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa untuk bergabung dengan berbagai partai yang di dominasi pribumi dan tidak menjadi elite yang secara rasial, ekonomi, dan kultural berbeda. Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) terdapat beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota parlementer dan menteri, delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bula Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To). Di dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I Dr. Ong Eng Die ditunjuk menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi menteri kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Khatolik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di
89
Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen seng, Oei Poo Djiang semuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI. Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam kabinet kerja ke IV, Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya dan Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yangdisempurnakan. (http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html). Namun, kondisi menjadi berubah dengan adanya gejala-gejala disintegrasi dalam bidang politik, sosial dan ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun 1950an, kemenangan-kemenangan di parlemen, kemajuan ekonomi pada umumnya, dan perpecahan yang semakin besar di antara orang-orang totok yang tidak mau berpartisipasi, golongan peranakan integrasionis, dan saingannya yakni golongan asimilasionis, bahkan ancaman hebat yang ada terhadap kehadiran orang Tionghoa di Indonesia. Seperti pengusiran orang Tionghoa dari daerah pedalaman, serta masalah-masalah lainnya yang membuat kehidupan orang Tionghoa di Indonesia tidak menentu. Sebagai akibat dari keadaan tidak menentu tersebut, lahirlah Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1954 atas inisiatif Siauw Giok Tjhan. Organisasi tersebut terbuka untuk semua orang Indonesia, tanpa memandang ras, dan tujuannnya yaitu untuk memilih dan
90
mendukung calon-calon dalam partai-partai politik yang nonetnis dan non religius, serta untuk memperjuangkan perlakuan yang sama terhadap semua WNI (Greif, 1991: 14). Di masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin perlu dicatat peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa WNI yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku. Pada hakikatnya Baperki itu bersifat Cina dan peranakan, untuk menggantikan PDTI yang tidak bertahan lama. Pada awalnya Baperki tidak menganut sesuatu ideologi dan pada dasarnya integrasionis, yakni menginginkan agar golongan Tionghoa menjadi sebuah suku bangsa di samping suku-suku bangsa Indonesia lainnnya yang sudah ada. Dalam menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa, Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam tubuh bangsa Indonesia.
91
Secara sederhana integrasi adalah suatu proses percampuran etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, tanpa meninggalkan budaya asalnya. Dalam pengertian yang lebih spesifik, integrasi ini lebih tepat sebagai “penggabungan” etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, sebagai “suku baru” lengkap dengan budayannya. Nation yang bersih dari diskriminasi hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, etnis, ras dan agama beserta budayanya masingmasing. Pada awalnya Baperki menguntungkan, namun selanjutnya Baperki larut ke dalam kemelut politik Indonesia. Dalam perkembangannya, Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak memiliki pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol-Usdek dan persatuan Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, tentunya Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh kekuatan revolusi pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Partai Khatolik, NU, PSII dsb. Dalam rangka perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia.
92
Kondisi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, PNI, Partindo serta kekuatan-kekuatan pendukung Soekarno lainnya. Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal tersebut menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, selanjutnya turut bergabung di dalamnya. Masalah kewarganegaraan bukan semata-mata masalah hukum, melainkan mencakup soal yang lebih kompleks, seperti loyalitas dan arti memiliki negara. Oleh karena itu dengan didirikannya organisasi di kalangan orang Tionghoa yakni Baperki,diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut. Awalnya organisasi ini tujuan utamanya adalah membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan. Akan tetapi organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Baperki ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Setelah Pemilihan Umum tahun 1955 dan krisis tahun 1957-1959, di bawah ketuanya Siauw Giok Tjhan yang pro komunis, organisasi tersebut beralih ke kiri. Hal tersebut menyebabkan reputasi Baperki menurun di mata publik. Setelah PKI mengejutkan dengan meraih sukses dalam pemilu tahun 1955 dan sikap simpatinya terhadap orangorang keturunan Tionghoa yang dinyatakan secara terang-terangan., membuat aktivitas Baperki menjadi sejajar dengan aktivitas PKI, sebagai akibatnya
93
sentimen kaum pribumi yang anti komunis dan anti Cina makin besar. Mulai saat itu komunisme diasosiasikan dengan Cina. Meskipun Baperki berhasil melindungi kepentingan bisnis orang Tionghoa, namun banyak kaum peranakan yang merasa kecewa pada Baperki yang berpindah haluan ke kiri dan mengeluarkan pernyataan yang kurang baik bahwa pembauran itu salah dan orang Tionghoa harus hanya berkeinginan untuk menjadi salah satu suku bangsa Indonesia. Karena itu Baperki dituduh berusaha untuk melestarikan sikap ekslusif orang Tionghoa. Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktif dan bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr. Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs. Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs. Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr. Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Selanjutnya pada tanggal 13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan “Piagam Asimilasi”. Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan. (http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).
94
Dalam rangka melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta mengahambat pengaruh Baperki, maka pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof. Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs. Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry Tjan, Djoko Sukarjo, dllnya. Para pemimpin organisasi tersebut terdiri dari orangorang muda yang terpelajar dan bersikap agresif dalam mengejar tujuan pembaurannya banyak dari mereka yang telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menganjurkan agar semua orang Tionghoa melakukannya. Bagi organisasi tersebut hanya ada dua kategori orang Indonesia yaitu WNI dan WNA, tanpa adanya perbedaan ras. LPKB dan kaum penganut pembauran muncul pada saat yang tepat, yaitu ketika kaum totok telah berkurang jumlahnya dengan terusirnya 100 ribu orang Tionghoa pada tahun 1959. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRC telah meningkatkan jumlah orang Tionghoa WNI yang memutuskan semua hubungan dengan Cina. Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan dengan menitikberatkan pada asimilasi sosial. Asimilasi dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan yakni, asimilasi politik, asimilasi ekonomi, asimilasi kultural, dan asimilasi sosial. Semuanya harus dilaksanakan dengan seimbang dan sebaik-baiknya.
95
Setelah meletusnya peristiwa G 30 S tahun 1965, maka PKI dan Baperki dibubarkan, dan LPKB muncul untuk membuktikan bahwa tidak semua orang Tionghoa pro komunis. Memang ada perasaan anti Cina pada tahun 1965-1967 dan beberapa tindak kekerasan yang ditujukan terhadap mereka, terutama di Kalimantan pada tahun 1967, namun golongan Tionghoa berhasil menyelamatkan diri dan mendapat kesempatan dan arahan baru di bawah pemerintahan baru Jenderal Soeharto. Berbagai langkah dijalankan untuk membaurkan semua golongan Tionghoa di Indonesia. Semua sekolah berbahasa Cina ditutup, termasuk sekolah-sekolah Baperki, dan diubah menjadi sekolah-sekolah negeri. Semua surat kabar dan majalah Cina dilarang, kecuali satu koran yang bernama Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, sebuah harian pemerintah yang terbit di Jakarta. Semua WNI keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama dan harus konsisten dengan kebangsaan yang mereka pilih. Suara
LPKB
didengar
dikalangan
pemerintah
baru
yang
para
pemimpinnya menganggap betapa pentingnya proses pembauran. Dalam hal ini LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama, dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rezim Orde Baru. Adanya segi positif dari LPKB, dengan diprakarsai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dibentuk badan baru yang dinamakan Badan Pembina Kesatuan Bangsa DKI yang mirip dengan LPKB. Diantara 14 orang pengurusnya, empat diantaranya adalah orang Tionghoa yang salah satunya bekas pemimpin LPKB. Badan ini kemudian diambil alih pula oleh
96
pemerintah Orde baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi Pembinaan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB). Dalam pandangan LPKB, untuk menjadi orang Indonesia, orang Tionghoa dianjurkan melebur kedalam penduduk Indonesia asli sehingga kaum minoritas Tionghoa tidak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri. Paham asimilasi ini kemudian diambil alih oleh pemerintah Orde Baru untuk kepentingan politiknya, dan telah menyimpang dari tujuan semula. Salah satunya adalah anjuran untuk berganti nama yang cenderung dipaksakan. Para pencetus paham asimilasi kemudian satu persatu mengundurkan diri dari LPKB, dan akhirnya LPKB dibubarkan pemerintah. Dengan munculnya dua kelompok atau paham besar pembauran yaitu kelompok integrasi yang bernama Baperki dan kelompok asimilasi yang bernama LPKB. Sejak terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka peran Baperki sebagai kelompok atau paham besar pembauran berusaha untuk mewujudkan integrasi serta menghilangkan diskriminasi di kalangan WNI keturunan Tionghoa. Namun demikian organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Sehingga
tujuan
utamanya
yaitu
membantu
pemecahan
masalah
dwi
kewarganegaraan menjadi terabaikan. Akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, orangorang Tionghoa WNI telah mampu turut serta secara efektif di dalam kelompokkelompok politik yang anggota-anggotanya sebagian besar terdiri dari WNI asli. Pada pemilihan umum tahun 1955 dan 1957, calon-calon dari golongan Tionghoa WNI telah diajukan oleh beberapa partai politik. Terutama di dalam dua partai Kristen dan dalam PKI. Dari hal tersebut nampak adanya suatu kerjasama antara
97
Tionghoa WNI dengan WNI asli, maka arah untuk menuju pada asimilasi dalam bidang politik mulai terbuka. 2. Dampak dalam Bidang Ekonomi Di
tengah-tengah
proses
pematangan
penyelesaian
masalah
dwi
kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC, meletuslah kerusuhan sosial. Kerusuhan tersebut muncul setelah diterbitkannya Penetapan Presiden No.10 Tahun 1959 tertanggal 16 November 1959 mengenai larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Keresidenan (Poerwanto, 2005: 248). Penetapan presiden tersebut bertujuan mempercepat perkembangan para pedagang kecil nasional. Namun setelah peraturan tersebut diterbitkan, terjadilah pengusiran terhadap orang asing yang bertempat tinggal di pedesaan. Benny G. Setiono (2002:710) mengungkapkan bahwa: “salah satu kebijakan pemerintah yang bersifat rasialis pada masa Demokrasi Terpimpin terhadap keberadaan etnis Tionghoa, baik totok maupun peranakan di Indonesia ialah keluarnya peraturan PP No. 10/1959 yang dikeluarkan pada tahun 1959. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) unuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960”. Sebagian besar orang asing yang bertempat tinggal di luar daerah tingkat I dan II adalah orang Tionghoa, maka merekalah yang terkena langsung penetapan presiden tersebut. Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Peraturan yang sebenarnya hanya melarang berdagang eceran tetapi dalam pelaksanaannya juga melarang
98
bertempat tinggal (Setiono, 2002: 711). Telah lama diketahui bahwa potensi orang Tionghoa menonjol di sektor perekonomian maka penetapan presiden itu juga berdampak menimbulkan rasa kurang puas kaum pribumi terhadap peran mereka. Menurut Sa’dun (1999: 35-36) faktor yang menunjukkan sukses golongan etnis Tionghoa dalam kegiatan bisnis dan perekonomian, yaitu: 1. Faktor kebijakan pemerintah sendiri yaitu yang pada dasarnya membatasi kegiatan mereka di bidang-bidang yang berada di luar jalur ekonomi dan bisnis. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa sukar bagi seorang yang punya latar belakang etnik Cina untuk menjadi pegawai negeri (kecuali pengajar universitas), ABRI (kecuali untuk bidang-bidang tertentu yang memerlukan keahlian khusus) atau jabatan-jabatan strategis lainnya. Oleh karena berbisnis atau menjadi profesional merupakan bidang yang terbuka luas untuk golongan ini, maka mereka melakukannya dengan tekun dan serius yang pada akhirnya dapat mencapai kesuksesan. 2. Ada juga pengaruh budaya kapitalis yang memang sudah mendarah daging dalam tubuh mereka dan itulah yang menjadi pendorong mereka untuk bekerja keras dan mencapai sukses. Ada ahli yang berteori bahwa Konfusianisme sebagai kunci keberhasilan golongan etnik Cina dalam bidang perdagangan. Tapi teori tersebut masih merupakan asumsi saja karena pada dasarnya ajaran Konghucu sendiri tidak memandang kegiatan jual beli sebagai aktivitas terhormat. Faktor positif ajaran Konfusius yang selalu diajukan sebagai argumentasi penyebab sukses orang Cina dalam perdagangan adalah patuh pada penguasa, menghormati orang tua, kerja keras dan lain-lain yang sebenarnya juga hadir dalam kebudayaan Asia non-Cina. 3. Penjelasan lain adalah yang melihat fenomena keberhasilan golongan etnik Cina dari kacamata antropologi/sosiologi. Itu ditandai dengan dimilikinya sifat fleksibel, ulet dan tidak segan bekerja keras, “tahan banting”, dan punya rasa solidaritas tinggi. Di samping itu pula adanya budaya nepotis yang membekali sebagian besar masyarakat etnis Cina, telah menjadikan kalangan ini menjadi cenderung eksklusif. Dari keadaan ini pula akhirnya tercipta suatu jaringan bisnis di kalangan mereka yang tidak dimiliki oleh etnik lain yang non-Cina. 4. Posisi sebagai golongan minoritas menyebabkan mereka cenderung dekat dengan kekuasaan karena mereka memerlukan perlindungan, kepastian hukum, dan kesinambungan kebijakan. Kedekatan ini kemudian dimanfaatkan dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang akhirnya menimbulkan kecemburuan pada golongan pri, akibat dari kecenderungan ini menyebabkan mereka selalu menjadi pelimpahan
99
kemarahan golongan pri pada saat ketakpuasan terhadap pemerintah timbul dalam masyarakat. 5. Kebijakan pemerintah juga banyak memegang peranan menentukan pada keberhasilan golongan nonpri. Pada masa-masa awal Orde Baru, pemerintah memberikan fasilitas dan kemudian terhadap mereka demi membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang mandek selama periode ekonomi terpimpin. Pemerintah melihat para pelaku bisnis etnik Cina adalah golongan yang siap pakai untuk membantu kebijakan baru pemerintah pada saat itu. Oleh karena itu rasa tidak puas tersebut lalu berkembang menjadi konflik sosial-ekonomi, antara lain berupa pengusiran orang Tionghoa dari daerah pedesaan. Di Kalimantan Barat, terutama di kabupaten Sambas ungkapan ketidakpuasan itu tercermin dari “peristiwa kebakaran” di Pemangkat, ibu kota kecamatan dan pelabuhan laut utama di Kabupaten Sambas. Sebagai pintu keluarmasuknya barang-barang di Kabupaten Sambas, khususnya untuk Singkawang, kota tersebut bernilai penting dalam dunia perdagangan. Di daerah tersebut banyak toko, perusahaan dan gudang hasil bumi milik orang Tionghoa (Poerwanto, 2005: 249). Selain itu, di kota Bandung peristiwa pengusiran terhadap orang-orang Tionghoa yang dilarang berdagang di pedesaan, dan kabupaten juga ikut memberikan dampak yang besar terhadap keberadaan Tionghoa Peranakan. Wilayah-wilayah di daerah Kabupaten Bandung seperti Lembang, Cimahi, Padalarang, Soreang, dan Majalaya turut merasakan dampak dari PP-10, mengingat wilayah-wilayah tersebut sebagian besar merupakan kawasan daerah industri, pada saat itu seperti tekstil dan komoditi hasil pertanian, otomatis mengalami hambatan dalam menyalurkan pasokan barang ke Bandung yang dikuasai oleh orang-orang Tionghoa.
100
Pada periode tersebut sebagian besar orang Tionghoa belum jelas status kewarganegaraannya, atau sedang dalam proses mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian berkurangnya proporsi orang-orang Tionghoa Indonesia antara tahun 1956 dan 1961 yang tinggal di Jawa, terutama mencerminkan bahwa kenyataan orang-orang Tionghoa yang kembali ke RRC pada tahun 1960 jauh lebih banyak dari Pulau Jawa, terutama setelah Penetapan Presiden No.10 Tahun 1959 diberlakukan. Selanjutnya berlangsunglah gelombang repatriasi para perantau Cina di Indonesia. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh peraturan presiden tersebut yang diikuti kerusuhan “anti Cina”. Hingga Desember 1960, tercatat sekitar 210.000 orang Cina berkewarganegaraan RRC yang menyatakan ingin kembali ke negeri leluhurnya (Sukisman, 1975: 69). Gelombang repatriasi orang-orang Tionghoa pada tahun 1960 terjadi pada saat dimulainya pelaksanaan dwi kewarganegaraan. Peristiwa tersebut digunakan sebagai momentum, khususnya di kalangan orang Tionghoa untuk lebih mematangkan sikap. Haruskah mereka sebaiknya pulang ke negeri leluhur atau tetap berkewarganegaraan RRC tetapi bermukim di Indonesia, atau memilih kewarganegaraan RI dan tinggal di Indonesia. Memilih salah satu dari ketiga pilihan tersebut, tentunya mempunyai konsekuensi yang berbeda. Poerwanto (2005: 252-253) mengungkapkan konsekuensi dari alternatif pilihan tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Mereka yang kembali ke negeri leluhurnya mempunyai berbagai motivasi. Mereka yang umumnya lahir di Indonesia dan memilih repatriasi, mungkin pilihan ini sebagai kesempatan pulang dan menetap di RRC, suatu negeri yang sebelumnya hanya pernah mereka dengar melalui cerita atau mereka lihat melalui gambar. Bermukim di negeri leluhur, dianggap akan membuat kehidupan mereka lebih baik,
101
lebih aman/tentram. Mereka akan terhindar dari perlakuan yang kurang enak seperti yang baru dialaminya di Indonesia. Begitulah harapan mereka akan kehidupan dan penghidupan yang lebih layak nantinya. 2. Memilih kewarganegaraan RRC seraya menolak kewarganegaraan Indonesia tetapi tetap bermukim di Indonesia, juga merupakan masalah. Lantaran status mereka adalah WNA, maka mereka tidak dapat menikmati berbagai fasilitas yang sama dengan orang Cina WNI, misalnya dalam perpajakan dan pendidikan. Mereka tetap mempertahankan kewarganegaraan RRC karena merasa aman berkat kehadiran wakil pemerintah RRC di Indonesia,yaitu Kedutaan Besar di Jakarta dan Konsulat Dagang di Pontianak. Berdirinya organisasi politik di kalangan orang Cina, yaitu Baperki dapat pula dianggap sebagai jaminan keamanan untuk tetap tinggal di Indonesia. Rasa aman tersebut juga didukung anggapan bahwa ide Perjanjian Dwi Kewarganegaraan merupakan pencerminan pemecahan persoalan secara bersama antara kedua pemerintah. Hal ini merupakan manifestasi Dasasila Bandung, yang menekankan “Hidup berdampingan secara damai yang dilandasi sikap tidak saling turut campur terhadap urusan dalam negeri masing-masing”. 3. Disisi lain, memilih kewarganegaraan Indonesia dapat pula dipandang sebagai perwujudan dari keinginan mereka untuk tetap tinggal di Indonesia. Seringkali terucap bahwa mereka lahir, mencari nafkah dan mati di bumi Indonesia. Itulah sebabnya mereka memilih status kewarganegaraan Indonesia. Bahkan ada yang berucap: “dalam mimpi pun tidak pernah melihat negeri leluhurnya”. Memilih kewarganegaraan Indonesia juga didorong berbagai motivasi,baik yang didasarkan pada latar belakang mereka maupun harapan tertentu. Terdapat pandangan umum dikalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia bahwa bermukim di negeri leluhur tidak sepenuhnya lebih baik. Pandangan tersebut sering diperkuat oleh pemberitaan yang dimuat di media massa. Terdapat indikasi bahwa mereka yang pulang ke negeri leluhur, berusaha kembali ke Indonesia secara ilegal. Jika mereka tertangkap, maka mereka dikategorikan sebagai imigran gelap. Pada waktu pemberangkatan pemerintah Indonesia hanya memberikan exit permit tanpa re-entry permit. Mereka yang ingin kembali ke Indonesia juga
tidak disertai dokumen imigrasi dalam bentuk apapun dari
pemerintah RRC. Kepergian mereka dari sana juga dilakukan secara ilegal.
102
Pada masa itu lebih dari 136.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di Tiongkok. Tetapi kondisi dan sistem masyarakat di tempat baru serta kebiasaan di tempat lama Indonesia, ditambah lagi kendala bahasa ternyata menimbulkan banyak kesengsaraan bagi orang-orang Tionghoa yang pindah ke Tiongkok tersebut. Pada akhirnya, banyak dari mereka yang nekat pergi ke Hongkong, Macau, Singapura. Adanya berbagai cerita yang penuh penderitaan di Tiongkok menyebabkan menurunnya minat orang Tionghoa untuk kembali ke Tiongkok sehingga pada akhir 1960, gelombang tersebut surut sama sekali (Setiono, 2002: 714). Pelaksanaan PP-10 Tahun 1959, menimbulkan keretakan hubungan diplomatik RI-RRC. RRC menuduh pemerintah Indonesia melanggar perjanjian tentang dwi kewarganegaraan yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan melindungi kepentingan warga negara Cina. Sebagai jawabannya, pemerintah Indonesia melalui Subandrio menuduh bahwa para pedagang Tionghoa bersalah karena melakukan tindakan kapitalistis dan monopolistis, dibarengi dengan berbagai macam manipulasi dan spekulasi. Selain itu Indonesia juga menuduh RRC mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Suryadinata, 1984: 142). Pemerintah RRC kemudian menyampaikan protes-protesnya dan menyatakan kesediannya menampung korban PP-10, dengan mengirimkan beberapa kapalnya dan mengangkat mereka untuk ditempatkan di berbagai tempat di Tiongkok. Selain itu pula ternyata pelaksanaan PP-10 menimbulkan dampak yang sangat negatif bagi perekonomian Indonesia. Daerah-daerah pedalaman yang
103
ditinggalkan para pedagang Tionghoa mengalami kemunduran, berbagai barang kebutuhan menjadi langka dan harganya sangat tinggi. Produk-produk pertanian para petani bertumpuk dan tidak dapat dipasarkan. Ternyata jaringan distribusi yang ditinggalkan oleh para pedagang Tionghoa tidak dapat segera digantikan. Dan yang paling utama akibat dari pelaksanaan PP-10 berkaitan dengan masalah dwi kewarganegaraan terhadap etnis Tionghoa adalah terjadi kesimpangsiuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI, karena pada masa itu undang-undang kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan. 3. Dampak dalam Bidang Sosial-Budaya Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, tidak hanya berdampak kepada kehidupan ekonomi saja, namun berdampak pula pada kehidupan sosialbudaya masyarakat Tionghoa. Peraturan tahun 1957 membawa dampak yang besar terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dengan cara yang drastis yaitu mengurangi jumlah sekolah Cina dan mengadakan pengawasan yang sangat kuat, pemerintah mencegah anak Tionghoa peranakan untuk di Cinakan oleh sekolahsekolah berbahasa Cina, serta memisahkan mereka dari Tionghoa yang totok. Pada bulan April 1958, sebuah surat keputusan militer telah menghentikan penerbitan surat kabar dan majalah dalam bahasa Tionghoa. Larangan itu kemudian tidak berlaku lagi, tetapi yang terbit kembali kurang dari setengah dari ke 34 surat kabar Tionghoa yang terbit ketika larangan itu diadakan. Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua surat kabar yang terbit dengan aksara selain Latin dan Arab harus ditutup. Larangan tersebut bertujuan membatasi penggunaan bahasa yang tidak dapat
104
dipahami oleh rakyat Indonesia. Namun, peraturan tersebut mengalami modifikasi. Sejumlah surat kabar Cina diperbolehkan terbit dengan alasan bahwa surat kabar tersebut masih dibutuhkan untuk kepentingan informasi kepada orang Tionghoa berkaitan dengan berbagai kebijaksanaan, peraturan pemerintah dan lain-lain. Tetapi tidak lama kemudian surat kabar itu dilarang lagi. Selanjutnya pada tahun 1963, surat kabar berbahasa Cina muncul lagi karena hubungan Cina dengan Indonesia membaik, akan tetapi semuanya dimiliki warga negara Indonesia dan ada kaitannya dengan organisasi politik yang ada. Pada masa sebelum diberlakukannya PP-10 tahun 1959, perayaan Imlek disertai barongsai dapat dilakukan sampai ke tempat-tempat umum. Namun ketika pemberlakuan PP-10 1959 diberlakukan sampai Demokrasi Terpimpin berakhir, perayaan-perayaan menyangkut hari raya etnis Tionghoa di Indonesia, arakarakan seperti Cap Go Me dilarang dilakukan di tempat-tempat umum dengan alasan mengganggu ketertiban umum, praktis kegiatan-kegiatan tersebut hanya dapat dilakukan di lingkungan internal saja, sepanjang tidak mengganggu aktifitas-aktifitas masyarakat lainnya. Berhubungan
dengan
pendidikan,
pemerintah
Indonesia
mulai
mengadakan pengawasan ketat terhadap sekolah-sekolah yang berbahasa Cina pada tahun 1957, bersamaan dengan timbulnya pemberontakan daerah di Sumatera dan Sulawesi. Pada bulan Maret tahun 1957 diumumkan keadaan darurat perang dan diberlakukan hukum darurat. Pemerintah menyatakan bahwa sekolah-sekolah Cina harus diawasi secara ketat demi keamanan dan kepentingan nasional. Tanggal 6 November 1957, Djuanda sebagai Menteri Pertahanan,
105
mengundangkan peraturan yang menetapkan bahwa WNI dilarang masuk ke sekolah-sekolah Cina, sedangkan guru di sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina dan sekolah-sekolah itu sendiri diwajibkan minta izin dari Menteri Pendidikan. Di Indonesia tidak boleh didirikan sekolah-sekolah baru. Semua buku pegangan yang digunakan di sekolah berbahasa pengantar Cina harus disetujui oleh Menteri Pendidikan. Pada 20 November oleh Menteri Pendidikan diundangkan petunjuk pelaksanaan peraturan tersebut yang memberikan penegasan mengenai butir-butir yang disebutkan diatas dan memberikan garis besar mengenai bagaimana hal tersebut harus dilaksanakan. Skala perubahan itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada bulan November 1957 terdapat 2000 sekolah berbahasa Cina dengan 425.000 siswa di seluruh Indonesia dari antara mereka, 250.000 adalah WNI, pada Juli 1958 hanya tinggal 850 buah sekolah berbahasa Cina, dengan siswa berjumlah 150.000, yang semuanya Tionghoa asing (sekolah-sekolah iu terletak di tempat-tempat yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan). Bersamaan dengan itu terdapat 1.100 sekolah berbahasa Cina yang diubah menjadi sekolah Nasional Indonesia (Suryadinata, 1984: 160). Baperki mengambil alih pengelolaan sekolah berbahasa Cina yang dijadikan sekolah berbahasa pengantar Indonesia. Kurikulumnya sama dengan sekolah pemerintah, namun siswanya berasal dari etnis Tionghoa dan bahasa Cina boleh diajarkan sebagai mata pelajaran tambahan. Pada masa itu anak-anak Tionghoa dapat bersekolah di tiga macam sekolah berbahasa pengantar Indonesia yaitu, sekolah negeri, sekolah yang dikelola oleh badan perkabaran Injil, dan
106
sekolah Baperki. Banyaknya peranakan yang telah bersekolah di sekolah-sekolah berbahasa Indonesia sebelum tahun 1957, ditambah dengan mereka yang terkena peraturan tahun 1957 dan terpaksa masuk sekolah Indonesia, menurut perkiraan lebih banyak siswa Tionghoa yang bersekolah di sekolah berbahasa pengantar Indonesia dibandingkan dengan yang bersekolah di sekolah berbahasa Cina. Sehubungan dengan hal tersebut, maka jumlah sekolah berbahasa Cina kemudian semakin berkurang apalagi setelah timbulnya pemberontakan daerah (PRRI-Permesta) pada tahun 1958. Dalam hal ini Taiwan ikut terlibat , oleh karena itu pada tanggal 16 Oktober 1958 Jenderal A.H. Nasution, mengeluarkan peraturan yang melarang sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina yang ada hubungannya dengan Taiwan yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Dari tahun 1958-1965 sekolah berbahasa Cina yang masih ada sebagian besar pro-Peking. Sekolah tersebut tentunya diawasi secara ketat oleh Kementrian Pendidikan. Selain itu, guru-gurunya harus melewati tes, bahkan tes kelancaran berbahasa Indonesia. Kurikulumnya mengalami perubahan dengan lebih menekankan pada mata pelajaran mengenai Indonesia. Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi Indonesia harus menjadi mata pelajaran wajib, baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah. Bagi mereka yang merupakan lulusan sekolah menengah berbahasa Cina, banyak yang melanjutkan ke RRC, namun banyak siswa Tionghoa perantauan yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi di RRC, sehingga banyak yang pergi ke Hongkong dan Makao, bahkan ada pula yang kembali ke Indonesia
107
secara gelap. Melihat pengalaman yang demikian banyak lulusan sekolah menengah yang takut pergi ke RRC. Untuk itu para lulusan sekolah berbahasa Cina sebagian melanjutkan pendidikan tingginya di Indonesia. Namun, sebagian besar Universitas di Indonesia tertutup bagi mereka. Kecuali yang didirikan oleh Baperki pada tahun 1960 yaitu Universitas Res Publica (Ureca), universitas tersebut menggunakan bahasa Indonesia dan sebagian besar mahasiswanya dari etnis Tionghoa. Adanya usaha pemerintah RI untuk menghapuskan sistem pendidikan Cina, kemungkinan akan menghilangkan jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Anak-anak Tionghoa Indonesia seharusnya secara merata dididik pada sekolah-sekolah pemerintah, tanpa terkecuali, apakah mereka ini berasal dari golongan mana. Dengan demikian dalam pergaulan kehidupannya sejak anakanak telah dibina senasib sepenanggungan dalam lembaga-lembaga sekolah. Kesadaran akan bahasa Indonesia, kesadaran akan kewarganegaraan Indonesia, serta kesadaran akan kehidupan sosial-budaya Indonesia, akan lebih meresap sejak kecil. Pergaulan ini akan lebih luas, dalam kegiatan-kegiatan sosial-budaya lainnya seperti organisasi pelajar, mahasiswa dan organisasi sosial-budaya lainnya terutama yang dilakukan oleh para pemuda. Dalam hal ini pihak pribumi harus bersikap terbuka bagi kehadiran dan partisipasi orang Tionghoa dalam suasana tentram, sehingga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam proses asimilasi. Koentjaraningrat menyatakan (2003 : 160) bahwa : “asimilasi merupakan suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah
108
mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas. Sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas”. Adanya prasangka dari pihak pribumi bahwa masuknya orang-orang Tionghoa menjadi WNI hanya bermaksud untuk mendapat perlindungan dari pemerintah resmi Indonesia. Sebagai akibatnya sikap hubungan dalam pergaulan dengan penduduk pribumi kaku dan tidak harmonis. Apalagi dalam proses asimilasi masih terdapat jurang yang lebar. Perbedaan agama, kepercayaan yang paling utama mengahalangi proses asimilasi. Walaupun pernah ada hanyalah dalam jumlah kecil, dengan akibat mereka diasingkan dan tidak diakui lagi dalam keluarga. Mereka yang telah hidup lama di daerah-daerah menghasilkan suatu sikap dari generasi mudanya yang lebih lunak terhadap kebudayaan Indonesia. Generasi muda terutama golongan intelektual yang bersikap progresif banyak juga yang melakukan proses asimilasi. Leo Suryadinata mengungkapkan bahwa : “kuatnya pengaruh kebudayaan negeri leluhur dalam identitas mereka, menimbulkan masalah yang berkaitan dengan identitas nasional orang Cina sebagai bangsa Indonesia. Sekalipun sudah memiliki status WNI , berbagai simbol dari identifikasi nasional Indonesia masih sukar diserap dalam kehidupan mereka sehari-hari. Banyak diantara mereka masih bersikap mendua, karena itu sebagian besar Cina dipandang harus membuktikan loyalitas dirinya, baik secara politis maupun ekonomis terhadap negara barunya” (Poerwanto, 2005: 92). Mereka yang bertekad untuk memilih kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1960-1962 berkaitan dengan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, telah menyatakan kesetiannya kepada Indonesia dan berketetapan hati bahwa anakanaknya akan diintegrasikan ke dalam masyarakat luas, dimana anak-anak
109
Tionghoa WNI dididik di sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Selain itu sejumlah besar perkumpulan resmi yang anggota-anggotanya terutama adalah orang peranakan, pada masa itu telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menjalankan kebijaksanaan keanggotaan terbuka. Namun, tidak semua WNI keturunan Tionghoa berkeyakinan seperti hal tersebut diatas. Dalam bukunya Mely G.Tan (1979:24) Willmott mengungkapkan bahwa : “Diantara orang-orang Tionghoa WNI yang menyadari kenyataan yang ada dan hari depannya, terdapat dua kelompok yang berpengaruh: pada satu pihak terdapat mereka yang menentang asimilasi yang dilakukan dengan kecepatan yang dipaksakan dan bertekad untuk ikut serta dalam masyarakat dan kehidupan politik Indonesia sebagai kelompok yang terpisah, sedangkan di lain pihak terdapat mereka yang berpendirian bahwa asimilasi sukarela dan segera adalah satu-satunya jalan untuk menghindari diskriminasi atau bahkan penindasan”. Meskipun demikian, ternyata pada masa itu yang lebih cenderung berasimilasi semakin meluas walaupun belum dominan. Hal tersebut nampak dari banyaknya WNI keturunan Tionghoa yang terpelajar memberikan nama Indonesia kepada anak-anak mereka yang baru dilahirkan.
IV.4. Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Pada tanggal 10 April 1969, Undang-undang No.2 tahun 1958 dicabut dengan Undang-undang No.4 Tahun 1969, maka dibatalkanlah Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC. Hal ini disebabkan karena hubungan antara Cina dan Indonesia memburuk setelah peristiwa G 30 S 1965 yang berakibat dihancurkannya PKI dan lengsernya Soekarno sebagai presiden. Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang mempunyai status warga negara
110
Indonesia berdasarkan UU No.2 Tahun 1958 tetap menjadi WNI. Demikian juga dengan keturunannya atau mereka yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Untuk selanjutnya mereka tunduk kepada UU No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang pengacara peranakan, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tidak dapat berfungsi lagi, karena sebagian besar orang yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir 1961. Akan tetapi, perjanjian tersebut tetap mensyaratkan bahwa anak-anak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir sebelum 20 Januari 1962 harus menentukan pilihan apakah ingin menjadi warga negara Cina atau Indonesia. Tentu saja kondisi demikian akan menimbulkan status kewarganegaraan yang kabur diantara anak-anak keturunan Tionghoa, karena mereka yang ingin memilih kewarganegaraan Indonesia oleh hukum masih diminta membuat pernyataan pelepasan kewarganegaraan Cina. Persyaratan yang demikian itu juga diterapkan pada mereka yang ingin menjadi warga negara Cina. Namun pernyataan pelepasan kewarganegaraan Cina tidak berarti lagi setelah pembekuan hubungan IndonesiaCina pada Oktober 1957 dan permohonan menjadi warga negara Cina menjadi tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada badan yang mengurus hal tersebut. Oleh karena itu pemberlakuan perjanjian tersebut tidak perlu dilanjutkan lagi dilihat dari segi kepentingan nasional Indonesia. Faktor politis menjadi suatu hal yang penting bagi pemerintah Indonesia sehingga tidak memberlakukan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Perjanjian tersebut memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya memilih
111
kewarganegaraan Cina, untuk menjadi WNI selama waktu kesempatan pemilihan tanpa
penyaringan
oleh
pejabat
Indonesia.
Pemerintah
Soeharto
ingin
menghentikan praktek tersebut karena curiga akan orientasi politik orang Tionghoa. Akibat dari pembatalan perjanjian tersebut yaitu, anak-anak Tionghoa asing
hanya
dapat
menjadi
WNI
melalui
naturalisasi
menurut
UU
kewarganegaraan tahun 1958. Itu berarti bahwa pemerintah Soeharto akan dapat menyaring Tionghoa asing yang ingin menjadi WNI. Mengenai orang Tionghoa yang telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, status mereka tetap tidak berubah dan anak-anak mereka dianggap WNI. Undang-undang kewarganegaraan 1958 menentukan persyaratan bagi orang asing yang mengajukan permohonan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui naturalisasi, yaitu harus ada pernyataan penanggalan kewarganegaraannya dari kewarganegaraan negara asalnya. Namun mengingat hubungan yang memburuk antara Indonesia dan RRC, maka tidak mungkin seorang Tionghoa asing dapat memperoleh pernyataan resmi dari RRC. Pejabat Indonesia untuk itu menggunakan penafsiran bebas terhadap ketentuan tersebut, dan membatalkan persyaratan untuk menyerahkan pernyataan yang dikeluarkan oleh negara asal seseorang. Sebagai gantinya pernyataan mengenai keinginan untuk menanggalkan kewarganegaraan RRC dianggap sudah cukup. Selain itu, tidak berlakunya lagi Perjanjian Dwi Kewarganegaraan mengakibatkan sejumlah anak Tionghoa di bawah umur 18 tahun tidak lagi memperoleh kesempatan menjadi warga negara secara mudah. Sejak saat itu
112
kewarganegaraan untuk semua WNA dilakukan dengan naturalisasi. Pada mulanya sebelum tahun 1969 untuk memperoleh naturalisasi hampir tidak pernah diproses, tapi kemudian dipermudah di masa Orde Baru. Meskipun demikian, prosedurnya sangat rumit dan biayanya sangat mahal. Sebuah laporan dalam Tempo (17 Agustus 1974: 48) mengungapkan bahwa : “Orang memerlukan sedikitnya 14 dokumen untuk mengajukan permohonan dan membayar biaya yang berkisar antara 30.000 dan 100.000 Rupiah (kira-kira US$ 75-250)”. Sejumlah orang mengatakan bahwa biaya tersebut sekitar 500.000 dan 1 juta Rupiah. Walaupun biaya yang dikeluarkan sangat tinggi, tetap saja banyak yang mengajukan naturalisasi. Lie Tek Tjeng mengungkapkan (Suryadinata, 1984: 130) bahwa : “antara 75 dan 90 % dari Tionghoa yang “tidak berkewarganegaraan” tentu akan minta menjadi warga negara Indonesia kalau prosedurnya dipermudah dan biaya pemrosesan diturunkan ”. Tetapi pemerintahan Soeharto justru memperkeras pengawasan atas permohonan tersebut. Pada bulan Juni 1973 pemerintah membentuk Badan Penyelidik Kewarganegaraan untuk melakukan penyaringan mengenai latar belakang dari setiap pemohon. Untuk itu setiap permohonan harus disetujui oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, kejaksaan setempat hanya bertindak sebagai badan koordinator. Perubahan kebijaksanaan tersebut didasarkan atas jalan pikiran pemerintah yang mengkhawatirkan percobaan subversif yang dilakukan oleh etnis Tionghoa melalui cara menjadi WNI. Dalam hal ini Bakin (Badan Koordinasi Intelijens Negara) turut terlibat melaksanakan penyaringan permohonan tersebut, jadi sebelum lolos dari badan tersebut permohonan belum dapat diproses.
113
Status sebagai WNA merupakan rintangan yang sangat besar bagi kebanyakan orang. Nampaknya pemerintah Orde baru sangat berhati-hati sehingga memperlambat proses naturalisasi. Tujuannya yaitu untuk memajukan hubungan antar ras yang lebih baik melalui perubahan yang tidak mengandung resiko. Sehubungan dengan proses naturalisasi yang ketat itu pemerintah mengumumkan bahwa terdapat seribu orang imigran Tionghoa ilegal yang masuk ke Jakarta dari Hongkong. Sebagian besar mereka adalah bekas mahasiswa yang pergi ke RRC selama tahun 1960-an dan kemudian menetap di Hongkong karena kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daratan Cina. Pada pertengahan 1975 pemerintah mengumumkan bahwa kira-kira seribu imigran Tionghoa yang ilegal telah ditangkap, dan masih banyak lagi yang belum terjaring. Dengan melihat kondisi yang demikian, maka pejabat setempat di Jakarta dan Jawa Barat menentukan persyaratan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing harus mendaftarkan diri kembali kalau mereka ingin memperoleh kartu penduduk yang baru (Sinar Harapan, 9 Desember 1975). Kira-kira pada waktu yang sama dilaporkan bahwa di Pontianak (Kalimantan Barat) ada 468 orang Tionghoa yang setelah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, kewarganegaraan tersebut batal karena mereka tidak memenuhi persyaratan hukum (Sinar Harapan, 18 Desember 1975). Pemerintah Indonesia masih ragu untuk menetapkan orang Tionghoa asing sebagai WNI, karena pemerintah khawatir tidak bisa mengawasi dan menyerap mereka. Di pihak lain status quo dipertahankan, Peking diwajibkan melindungi orang-orang Tionghoa asing. Kebimbangan pemerintah akan status Tionghoa
114
asing ini dikembalikan pada persepsi masyarakat Indonesia terhadap kaum minoritas tersebut. 1. Dampak dalam Bidang Politik Karakteristik dalam bidang politik dapat dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa kurang sekali perhatiannya. Mereka bersikap hanya ke arah politik ekonomi yang menjadi pokok utama dalam usahanya. Sejarah perkembangan politik Indonesia memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa pada masa perjuangan, bagi siapa saja yang berkuasa di Indonesia, mereka akan mengakuinya asalkan mereka tidak dirugikan dalam usahanya. Dengan kata lain siapa yang dapat menjamin keselamatan dan keuntungan usahanya, mereka akan membantu sepenuhnya kepada tuan pelindungnya. Oleh karena itu dalam revolusi fisik, mereka yang berada di kekuasaan RI sekuat tenaga membantu RI. Demikian juga mereka yang berada di wilayah kekuasaan Belanda akan membantu Belanda sepenuhnya. Setelah kemerdekaan RI tercapai, mereka mengakui kedaulatan RI, akan tetapi banyak diantara mereka cenderung meminta perlindungan dari negeri leluhur mereka. Usaha ini terbukti dengan banyaknya terlibat pada waktu pemberontakan PKI (G.30.S 1965). Kenyataan bahwa etnis Tionghoa sampai sekarang masih tetap memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Keberhasilan dalam ekonomi dan putusnya hubungan RI dan RRC, mengakibatkan banyak orang Tionghoa perantauan di Indonesia cenderung berorientasi kepada kehidupan politik “negara Cina yang ketiga” (Singapura dan Hongkong), yang bersifat liberal demokratis.
115
Kehidupan liberal dan kesuksesan dalam ekonomi dan tradisi kehidupan barat, menyebabkan kecenderungan untuk tetap mempertahankan pola kehidupan politik yang apatis dan eksklusif. Sifat ini dipertahankannya hanya untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Inilah sebabnya mereka berkarakter politik yang bersifat rasial “racial and cultural nationalist” dan bukan politik yang bersifat “political nationalist” sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya (Hidayat, 1993: 115). Walaupun demikian terdapat segolongan masyarakat Tionghoa yang lebih cenderung pada pengakuan politik nasional Indonesia, akan tetapi dalam kehidupan politik ini tidak sepenuhnya yakni tidak cukup aktif dan kritis. Golongan ini hanya menerima segala ketentuan pola kehidupan pemerintah secara pasif. Perubahan sikap kehidupan politik ini hanya sebagai salah satu cara menitipkan diri dan bukan didasarkan atas kesadaran sebagaimana mestinya sebagai warga negara Indonesia yang ideal. Dilihat dari sikap orientasi politik masyarakat Tionghoa Indonesia dapat digolongkan dalam tiga kategori (Hidayat, 1993: 115), yaitu : 1. Golongan politik yang berorientasi kepada pemerintah Republik Indonesia. 2. Golongan politik yang berorientasi kepada pemerintah negara leluhurnya RRC. 3. Golongan yang orientasi politiknya tidak jelas (tidak ke Indonesia maupun RRC), akan tetapi lebih mengarah dan menginduk kepada Singapura dan Hongkong golongan ini biasanya dikenal dengan “stateless”. Di mata sebagian besar pemimpin pribumi, orang Tionghoa di Indonesia membentuk sebuah kelompok eksklusif tetapi juga mempunyai hubungan dengan Cina. Dengan demikian kesetiaan mereka lebih tertuju kepada Cina daripada ke Indonesia. Sebagian besar pemimpin pribumi berpendapat bahwa pada masa lalu
116
orang Tionghoa melayani kepentingan para penguasa kolonial (Belanda dan Jepang) dan oleh sebab itu tidak dapat dipercaya. Karena ketidakpercayaan dan iri hati kaum pribumi kepada etnis Tionghoa, politik dalam negeri Indonesia selalu berupaya mengurangi apa yang dianggap sebagai kekuatan ekonomis, politis, dan budaya para Tionghoa lokal. Sebelum Soeharto berkuasa, pemerintah Indonesia mentolelir adanya organisasi sosio-politik etnis Tionghoa. Baperki yang didirikan pada tahun 1954, berusaha untuk mendapatkan persamaan antara sesama warga negara Indonesia, tanpa memandang latar belakang rasnya. Menurut Baperki bahwa orang Tionghoa merupakan satu bagian dari suku bangsa Indonesia. Jadi, orang Tionghoa kedudukannya sama dengan suku bangsa Indonesia seperti Jawa, Sunda, dan Minang. Dengan begitu orang Tionghoa tidak perlu meleburkan diri ke dalam masyarakat pribumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Baperki berkembang menjadi organisasi massa. Tujuannya menitikberatkan pada integrasi politik, bukan asimilasi dikalangan orang Tionghoa. Organisasi tersebut makin condong ke kiri dan mendekati Soekarno untuk mendapat perlindungan. Politik kiri inilah yang akhirnya membuat Baperki dibubarkan setelah terjadinya G 30 S tahun1965. Dengan dilarangnya Baperki dan perkumpulan-perkumpulan Tionghoa lainnya, pemerintah Orde Baru mulai menyokong LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang ditugaskan untuk mengatasi masalah Tionghoa. Tujuan LPKB yaitu agar orang Tionghoa di Indonesia berasimilasi total ke dalam masyarakat pribumi, hal ini dianggap sebagai solusi masalah Tionghoa. Namun, kemudian LPKB dibubarkan dan badan ini diambil alih oleh pemerintah Orde
117
Baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi Pembinaan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) atau Badan Kontak pada tahun 1977 di bawah naungan Departemen Dalam Negeri. Bakom berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat Tionghoa. Bakom terus menekankan asimilasi orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi. Akan tetapi sejak tahun 1987, dalam publikasi Bakom terdapat unsur integrasi nasional, bukan asimilasi. Setelah jatuhnya Soekarno pemerintah Soeharto melarang semua organisasi sosio-politik kiri Baperki. Organisasi Tionghoa ini dianggap eksklusif dan berharap orang Tionghoa itu bergabung dalam organisasi massa yang didominasi oleh pribumi. Jadi bagi orang Tionghoa yang menaruh minat dalam politik yaitu menggabungkan diri dalam organisasi asimilatif seperti Golkar, partai pemerintah atau organisasi yang berafiliasi dengan Golkar. Jusuf wanandi (Liem Bian Kie), Harry Tjan Silalahi adalah dua tokoh dari kelompok ini. Sedangkan anggota DPR yang mewakili Golkar, hanya terdapat Djoko Sujatmiko (Lie Giok Hauw), Budi Dipojuwono (Lie Po Yoe) mewakili PNI (1971-1977). Sejak tahun 1966, tidak ada seorang pun Tionghoa yang diangkat menjadi menteri kabinet, kecuali dalam kabinet Soeharto yang terakhir (Maret 1998), yang hanya betahan satu bulan menteri Tionghoa itu adalah Mohammad Bob Hasan (The Kian Seng). Sebenarnya pada masa Soekarno, terdapat tiga orang menteri kabinet Tionghoa yaitu Tan Kiem Liong (Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan, anggota NU), Oei Tjoe Tat (Menteri Negara, anggota Partindo) dan David G. Cheng (Menteri Cipta Karya dan Konstruksi). Pada masa Demokrasi Liberal, terdapat dua orang menteri Tionghoa yaitu Ong
118
Eng Die (Menteri Keuangan, anggota PNI) dan Lie Kiat Teng (Menteri Kesehatan, anggota PSII) (Suryadinata, 2002:83). Selain Golkar, dua buah lembaga yang anggotanya banyak peranakannya adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan Bakom-PKB. Baik CSIS atau Bakom-PKB bukan organisasi massa. CSIS adalah pusat studi yang dekat dengan pemerintah dan banyak tokohnya yang aktif dalam Golkar dan di pemerintahan, sedangkan Bakom berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri. Tokoh-tokoh CSIS yang non pri termasuk Yusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, dan J. Panglaykim. Sedangkan tokoh-tokoh Bakom yang non pri termasuk K. Sindhunata (mantan ketua LPKB yang dibubarkan dalam tahun 1967), Junus Jahya, dan Lo SH Ginting. Politik Tionghoa pada masa Orde Baru merupakan politik tipe “broker”. Kepentingan orang Tionghoa diwakili oleh beberapa tokoh Tionghoa yang ada hubungan dengan penguasa. Beberapa lembaga yang berhubungan dengan pemerintah atau orang pemerintah seperti Bakom dan CSIS sering digunakan untuk menyalurkan permintaan minoritas Tionghoa. Meskipun pemerintah Orde Baru menggunakan pewarganegaraan agar etnis Tionghoa bisa membaur secara politis, namun pemerintah sepertinya masih merasa keberatan untuk menonjolkan etnis Tionghoa sebagai tokoh politik. Hal ini mungkin disebabkan oleh prasangka elite pribumi terhadap orang Tionghoa. Diskriminasi dan prasangka merupakan faktor yang dapat menghambat terciptanya asimilasi dalam hubungan mayoritasminoritas.
Schermerhorn (Poerwanto, 2005 : 10) mengemukakan bahwa:
“prasangka merupakan jawaban yang muncul dari berbagai situasi, yaitu situasi sejarah, ekonomi atau politik”.
119
Tidak dapat disangkal bahwa kebijaksanaan pemerintahan Soeharto terhadap golongan etnis Tionghoa itu mengandung unsur-unsur asimilatif, namun unsurunsur lain yang bertentangan juga hadir. Pembedaan antara pribumi dan nonpribumi dalam bidang ekonomi dan politik masih tetap dipertahankan. 2. Dampak dalam Bidang Ekonomi Memburuknya kondisi perekonomian Indonesia dimana tingkat inflasi mencapai 650 % merupakan faktor yang mendorong lengsernya pemerintah Soekarno pada tahun 1965. Tentunya penguasa baru dalam hal ini Orde Baru berusaha memperbaiki kondisi perekonomian, baik dalam menurunkan laju inflasi maupun untuk menaikkan taraf hidup bangsa Indonesia. Sekitar tahun 1965-1968 pasca terjadinya peristiwa G 30 S, merupakan masa yang sangat mencekam bagi para Tionghoa perantauan, karena dianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Perasaan anti Cina sangat tinggi dan orang Tionghoa mengalami kondisi yang sulit. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan pribumisme dalam bidang ekonomi untuk melemahkan kedudukan ekonomi orang Tionghoa dan membantu pedagang pribumi, seperti adanya Sistem Benteng pada awal tahun 1950-an dan PP No.10 pada tahun 1959. namun, perlindungan terhadap pedagang pribumi dan pemaksaan pedagang kecil Tionghoa keluar dari pedesaan tidak berhasil menekan peran orang Tionghoa dalam bidang ekonomi Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia harus membekukan pelaksanaan PP-10 untuk mengelakkan kehancuran ekonomi dan ketidakstabilan politik.
120
Berbeda dengan era Soekarno yang menjalankan kebijakan berdikari dan melalaikan perkembangan ekonomi, maka era Soeharto berorientasi pada perkembangan ekonomi (pembangunan). Pemerintah Soeharto berhasil dalam mengurangi laju inflasi dari 650% menjadi 15 % per tahun. Meskipun demikian Indonesia masih kekurangan modal asing untuk itu pintu Indonesia dibuka lebar dan penanaman modal asing digalakkan. Etnis Tionghoa, baik WNI maupun asing dikerahkan untuk mensukseskan program ekonomi Orde Baru. Pada masa Orde Baru kebijakan terhadap etnis Tionghoa melalui dua cara. Pertama, secara sosial politik diarahkan ke asimilasi yang intinya menghilangkan identitas “kecinaan” dan pemisahan antara etnis Tionghoa WNA dan WNI. Kedua, secara ekonomi kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Indonesia diarahkan ke akumulasi dan pendayagunaan modal milik etnis Tionghoa. Bagi etnis Tionghoa yang merasa keamanannya terancam di tengah maraknya anti Cina di awal 1966, maka untuk kepentingan keamanan mereka segera mengikuti kebijakan pemerintah tersebut. Etnis Tionghoa WNA segera mengganti nama dan menempuh proses naturalisasi sebagai WNI. Secara ekonomis, pengusaha etnis Tionghoa Indonesia yang tersisa juga memberikan sisa modal atau membantu pemerintah menggalang modal seperti keterlibatan beberapa pengusaha di dalam IBC dan NDC. Indonesian Business Centre (IBC) didirikan pada 6 Juni 1968 di Jakarta. Mayjen Suhardiman sebagai ketuanya direktur Perusahaan Negara Berdikari. Organisasi tersebut melibatkan pejabat tinggi pemerintah dan kelompok Tionghoa swasta. Tujuannya adalah membantu kabinet yang baru dalam melaksanakan
121
Repelita Pertama (1969-1974) melalui pengembangan kerjasama antara sektor negara dan sektor swasta. Kemudian Suhardiman membentuk National Development Corporation (NDC) untuk memobilisasi modal domestik sehingga dapat digunakan untuk pembangunan. Ong Ah Lok, seorang bankir sebagai ketuanya. Namun, pada kenyataannya NDC dan IBC dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuannya. Suryadinata mengungkapkan (1984: 146) bahwa: “NDC menjadi suatu organisasi perusahaan dari para Tionghoa lokal yang bertujuan mengkoordinasi berbagai kegiatan ekonomi dari kaum Tionghoa lokal termasuk impor-ekspor, industri, pertambangan, kehutanan, perikanan, dan usaha lainnya. Program organisasi itu sangat ambisius, dan orang yang terlibat di dalamnya terbatas pada pengusaha yang proTaiwan. Pengusaha yang pro-RRC atau “netral” tidak termasuk. Juga patut dicatat bahwa kebanyakan orang yang giat dalam IBC dan NDC hanya mereka yang dikenal oleh kalangan yang terbatas dan hampir tidak ada yang pernah diketahui menjadi pemimpin tertinggi baik di kalangan masyarakat totok maupun peranakan Tionghoa. Tidak mengherankan jika organisasi tersebut tidak efektif”. Disinilah dua kepentingan bertemu terutama antara tahun 1966 hingga awal tahun 1970-an, kepentingan etnis Tionghoa Indonesia untuk mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah yang memang didominasi militer dan adanya larangan serta pembatasan dari pihak penguasa untuk mengekspresikan dan mengorganisir diri sebagai kelompok etnis akhrinya membawa mereka untuk mendukung dan membantu pemerintah dalam usaha penggalangan dana. Di sisi lain pemerintah mendapatkan dukungan sumber daya atau dana terutama bagi pemenuhan
kebutuhan pokok dan juga dukungan dana bagi konsolidasi
kekuasaan di awal masa Orde Baru. Dan inilah dasar tumbuhnya kembali kekuatan ekonomi etnis Tionghoa Indonesia (Wibowo, 1999: 71).
122
Meskipun ada kemauan pemerintah untuk menggunakan modal asing domestik, perlakuan yang membeda-bedakan terhadap Tionghoa lokal dengan golongan pribumi tetap berlangsung (Suryadinata, 1984: 146). Kondisi tersebut mengakibatkan banyak orang Tionghoa yang kemudian bekerjasama dengan orang Indonesia asli yang memegang surat izin.
Pedagang Tionghoa yang
menjalankan bisnisnya dan membagi keuntungan dengan pribumi yang memegang surat izin. Praktek tersebut, telah ada sebelum masa Orde Baru yang dikenal sebagai sistem Ali Baba yang berkembang menjadi sistem cukong di masa Orde Baru. Cukong adalah istilah Hokkian yang artinya majikan atau bos, tetapi dalam konteks Indonesia, istilah tersebut digunakan untuk menyebut seorang pedagang Tionghoa yang bekerjasama dengan elite yang berkuasa, termasuk presiden dalam perusahaan
patungan. Umumnya mitra pribumi memberikan
fasilitas dan perlindungan, sedangkan orang Tionghoa memberikan modal dan menjalankan perusahaan tersebut (Suryadinata, 2002: 91) Alasan dari kerjasama antara Tionghoa dan pemegang kekuasaan yang pribumi itu sangat kompleks. Sehubungan dengan lingkungan usaha di Indonesia ditambah dengan undang-undang dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap Tionghoa, mengakibatkan orang Tionghoa memandang bahwa kerjasama dengan orang pribumi yang berkuasa merupakan cara terbaik untuk mendapatkan perusahaan yang bisa memperoleh keuntungan. Berbeda dengan para pejabat Indonesia yang memiliki fasilitas dan uang, namun tidak memiliki pengalaman berusaha, bersedia menggunakan golongan Tionghoa untuk menjalankan
123
perusahaannya untuk mereka. Para pejabat Indonesia tidak suka menggunakan pengusaha pribumi. Suryadinata mengungkapkan (1984: 148) bahwa : “Mereka tidak suka memakai pengusaha pribumi dengan status pribuminya mempunyai posisi tawar (bargaining power) yang kuat, lagipula mereka juga sering mempunyai hubungan dengan golongan politik sehingga mereka dapat merupakan ancaman bagi beberapa pejabat tertentu. Sebaliknya, kaum minoritas Tionghoa memiliki landasan politis yang lemah dan posisinya rawan. Orang Indonesia yang duduk dalam kekuasaan merasa lebih aman menggunakan orang Tionghoa daripada pengusaha pribumi. Mitra Tionghoa mereka mendapatkan perlindungan ekonomis melalui kerjasama itu, walaupun itu tidak berlaku bagi masyarakat pengusaha Tionghoa pada umumnya. Kendatipun demikian, cukong-cokong itupun masih mengalami tekanan budaya, sosial, dan politis yang sama dengan Tionghoa Indonesia yang lain”. Adanya kerjasama antara penguasa Tionghoa dan pribumi pemegang kekuasaan menimbulkan ketidaksenangan pada sementara kaum pribumi Indonesia, terutama di kalangan pengusaha yang kurang berhasil. Selain itu penanaman modal asing ternyata lebih memberikan keuntungan kepada pengusaha nonpribumi karena para penanam modal asing lebih tertarik bekerjasama dengan pengusaha Tionghoa daripada pengusaha Indonesia, sebab Tionghoa pada umumnya lebih unggul dalam pengalaman berusaha, kepemilikan modal dan pengetahuan teknis. Pada gilirannya hal tersebut menimbulkan kritik pedas dari pihak pribumi terhadap pemerintah Orde Baru, karena sistem cukong tersebut dianggap tidak menguntungkan
pribumi.
Dari
sistem
tersebut
tidak
ada
pemindahan
keterampilan. Selain itu, hanya orang yang berkuasa yang menikmati hasilnya. Berhubung dengan protes yang timbul di kalangan pedagang pribumi dan kerusuhan anti Tionghoa semakin sering terjadi pada tahun 70-an, pemerintah Orde Baru mulai melaksanakan politik pribumi kembali dalam bidang ekonomi.
124
Untuk mendapatkan bagian yang lebih besar bagi pribumi dalam bidang ekonomi, pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pada tahun 1974 di mana ditentukan bahwa semua penanaman modal asing harus berupa perusahaan patungan. Akhirnya banyak bidang bisnis yang tertutup bagi orang Tionghoa Indonesia. Untuk itu surat izin baru tidak akan dikeluarkan lagi untuk pedagang nonpribumi. Peraturan yang mencerminkan kebijakan ini adalah Keppres No.14 yang dikeluarkan pada tahun 1979. Keppres ini kemudian disempurnakan dan menjadi Keppres No. 14A / 1980 yang mewajibkan semua lembaga pemerintah dan kementrian memberikan keistimewaan kepada pedagang dan kontraktor pribumi (Suryadinata, 2002: 91). Untuk proyek besar, usaha patungan antara pribumi dan nonpribumi digalakkan, akan tetapi pribumi harus memiliki andil 50% dan harus aktif dalam perusahaan tersebut. Karena banyak nonpribumi yang telah memperoleh mitra pribumi, jadi peraturan tersebut tidak mengubah kondisi yang telah ada. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa kedudukan ekonomi nonpribumi menguat pada masa Orde Baru, khususnya dalam bidang perdagangan pedagang Tionghoa lebih dominan. Ini merupakan akibat kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengarahkan orang Tionghoa ke bidang ekonomi. Kebijakan ini merupakan keputusan yang dibuat pada Seminar Angkatan Darat yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966, dimana ditetapkan bahwa orang Tionghoa harus dicegah masuk ke bidang lain, terutama ke bidang politik, karena pemimpin militer tidak percaya kepada orang Tionghoa sebagai sebuah kelompok (Suryadinata, 2002: 92). Maksudnya dengan membatasi orang Tionghoa di bidang
125
ekonomi, elite yang berkuasa merasa bahwa pemerintah bisa lebih mudah menguasai minoritas Tionghoa. Orang Tionghoa disalurkan ke bidang tersebut agar ekonomi Indonesia dapat berkembang pesat. Namun banyak pengamat politik berpendapat bahwa orang Tionghoa sengaja dibatasi dalam bidang ekonomi, jika terjadi sesuatu, mereka dapat dijadikan sasaran. Ada pula yang berpendapat bahwa pemerintah sengaja memupuk orang Tionghoa dalam bidang ekonomi agar mereka mudah diajak kerja sama, bahkan diperas. Sedangkan kaum pribumi sulit untuk diperlakukan demikian karena mereka mempunyai kedudukan politik yang kuat. Akibat dari kebijakan Orde baru tersebut, segelintir pengusaha yang terkait dengan penguasa besar bermunculan yang dikenal sebagai konglomerat. Akhirnya kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan pribumi semakin kuat dan jurang pemisah semakin besar. Keinginan untuk mewujudkan etnis Tionghoa yang telah berstatus WNI baik yang melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan maupun naturalisasi, untuk dapat berasimilasi dengan pribumi semakin sulit yang ada justru sebaliknya yakni kerusuhan anti Tionghoa yang makin sering terjadi pada tahun 70-an. Menurut Soerjono Soekanto (1975 : 209-210) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyulitkan asimilasi antara orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Indonesia, adalah antara lain : a. Perbedaan ciri-ciri badaniyah. b. In-group feeling yang sangat kuat pada golongan Tionghoa, sehingga mereka lebih kuat mempertahankan identitas sosial dan kebudayaannya. c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap superior. Dominasi ekonomi tersebut bersumber pada fasilitas-fasilitas yang
126
dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda, dan juga karena kemampuan tekhnis dalam perdagangan serta ketekunan dalam berusaha. Dalam mempertahankan sikap hidup tradisi tersebut mereka berusaha agar disetiap keadaan dimana saja harus lebih tinggi derajatnya dari masyarakat pribumi, di mana mereka berdomisili. Oleh karena itu, walaupun pada waktu datang mengembara tidak mempunyai apa-apa, akan tetapi dengan bekerja keras, tekun dan sabar serta hemat dalam pengeluaran, akhirnya mereka menonjol dalam tingkat kehidupan ekonomi Cinanya dari pada penduduk pribumi. Setiap usaha tersebut dilakukan dengan kerjasama antar keluarga, saling tolong menolong, sikap hemat dan melakukan suatu tugas dengan teliti dan tekun. Karakter khas inilah yang mendorong mereka dalam perkembangan sejarah di Indonesia lebih menonjol dalam bidang ekonomi. Apalagi dalam perkembangan sejarah Indonesia, mereka dijadikan alat Belanda dalam melaksanakan keinginannya, sehingga mereka lebih banyak terpengaruh oleh sikap mental usaha Belanda daripada kaum pribumi. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dengan melalui lembaga pendidikan sekolah Katolik dan Protestan, banyak dari generasi selanjutnya yang menganut agama Katolik dan Protestan. Dengan demikian mereka merasa lebih dekat dengan orang Barat daripada dengan penduduk pribumi. Mereka merasa lebih tinggi baik dalam ekonomi, agama dan dalam ilmu pengetahuan, daripada penduduk pribumi. Hal inilah yang merenggangkan dan terbentuknya pola hidup eksklusif orang Tionghoa.
127
3. Dampak dalam Bidang Sosial-Budaya Pada masa Orde Baru secara sosial-politis kebijakan terhadap etnis Tionghoa dirahkan ke asimilasi yang intinya menghilangkan identitas kecinaan dan pemisahan antara etnis Tionghoa WNA dan WNI. Mulai dari penggantian istilah Tionghoa menjadi Cina, dan pemisahan antara WNA dan WNI, pelarangan pendirian sekolah Cina. Pelarangan perayaan-perayaan di tempat umum sampai dengan pelarangan penggunaan aksara Cina dan publikasi beraksara Cina. Usaha untuk mengasimilasikan orang Tionghoa itu tercermin dalam kebijakan pendidikan, bahasa dan nama Tionghoa. Pada mulanya pemerintah Indonesia tidak menaruh banyak perhatian terhadap pendidikan orang Tionghoa. Bahkan tidak ada pengontrolan terhadap sekolah Tionghoa. Namun, setelah pemerintah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya, pemerintah baru menaruh perhatian pada bidang pendidikan. Perlahan-lahan pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang bertujuan mengindonesiakan mata pelajaran dan tenaga pengajarnya. Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia telah mengumumkan satu peraturan yang melarang warga negara Indonesia belajar di sekolah Tionghoa. Peraturan tersebut membawa pengaruh besar pada masyarakat Tionghoa. Akibatnya sekitar 1.100 sekolah Tionghoa mengalami perubahan menjadi sekolah bahasa Indonesia. Pada tahun 1965, di Indonesia terjadi G 30 S, dalam hal ini Beijing dianggap telah terlibat dalam peristiwa tersebut, sehingga semua sekolah berbahasa Cina ditutup. Sekolah-sekolah Baperki, termasuk Ureca yang disponsori dan diawasi Baperki akhirnya diambil alih oleh pemerintah. Anak
128
Tionghoa asing tidak diberi pendidikan sekitar dua tahun. Kemudian pada awal 1968 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkenal dengan Peraturan Presiden No. B 12/Pres./1/1968 yang memberikan izin untuk mendirikan sekolah yang disponsori oleh golongan swasta dalam masyarakat Tionghoa (Suryadinata, 1984: 162). Meskipun masyarakat Tionghoa telah mendirikan sejumlah sekolah khusus (Sekolah Nasional Proyek Khusus) pada tahun 1968, bahasa pengantar dan mata pelajarannya tidak berbeda dari sekolah nasional, kecuali bahasa Tionghoa sebagai mata pelajaran tambahan. Namun bahasa Tionghoa hanya boleh diajarkan di luar waktu sekolah. Meskipun demikian, sekolah-sekolah tersebut akhirnya ditutup pada tahun 1975. Pada masa Orde Baru, semua anak Tionghoa hanya dapat belajar di sekolah Indonesia. Jadi anak-anak Tionghoa baik peranakan maupun totok sama-sama mengalami Indonesianisasi. Pada tahun 1965, bukan hanya sekolah Tionghoa yang diIndonesiakan, tetapi sekolah Baperki (Ureca) juga diambil alih dan dijadikan Universitas Trisakti. Komposisi mahasiswanya pun mengalami perubahan. Bahkan jumlah mahasiswa pribumi lebih besar daripada yang nonpribumi. Sebuah universitas swasta kecil, Universitas Tarumanegara, selanjutnya berkembang menjadi universitas yang cukup besar dan menampung banyak mahasiswa Tionghoa. Begitu pula beberapa universitas swasta di Jakarta dan Surabaya yang menerima mahasiswa Tionghoa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, generasi muda Tionghoa mengalami proses sosialisasi di Indonesia.
129
Selama masa Orde Baru, bahasa Tionghoa tidak boleh dipamerkan dan semua nama toko harus dalam bahasa Indonesia. Setelah peristiwa G 30 S 1965 semua surat kabar berbahasa Cina dilarang terbit, dan pada April 1966 semenjak Soeharto berkuasa, hanya sebuah koran berbahasa Cina yang diizinkan terbit. Koran tersebut bernama Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, sebuah harian pemerintah yang terbit di Jakarta. Harian Indonesia berjumlah 8 halaman, 4 halaman dalam bahasa Tionghoa dan sisanya dalam bahasa Indonesia. Sejak pertengahan tahun 60-an penerbitan berbahasa Tionghoa tidak boleh diimpor ke Indonesia, buku atau majalah berbahasa Inggris yang terdapat aksara Tionghoa pun dilarang. Selain bahasa Cina yang dianggap membahayakan, agama dan adat istiadat Tionghoa pun tidak disenangi. Pada tanggal 6 Desember 1967 dikeluarkan Peraturan Presiden (Suryadinata, 1984: 169) yang menyatakan bahwa : “.....agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina (di Indonesia) yang berasal dari tanah leluhur mereka dengan berbagai manifestasinya mungkin dapat menimbulkan pengaruh yang tidak wajar terhadap kejiwaan, mentalitas, dan moralitas warga negara Indonesia dan karenanya menghambat jalan asimilasi secara wajar.....”. Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden N0.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara total sesuai dengan yang dicita-citakan
130
LPKB. Dengan dikeluarkannya Inpres N0.14/1967 seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Capgomeh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian-tarian barongsay (tari singa) dan liang-liong (tari naga) dilarang dipertunjukkan di muka umum. Semua hal tersebut akan diatur oleh Departemen Agama atas rekomendasi Jaksa Agung. Agama dan adat istiadat Tionghoa tidak diberi kesempatan berkembang oleh pemerintah, kurang lebih sampai tahun 1968. Pada tahun 1965 telah dikeluarkan sebuah penetapan Presiden (Penpres No.1/1965) yang mengakui enam agama di Indonesia yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu-Bali, Budha dan Konghucu. Segolongan orang Tionghoa khususnya peranakan memeluk agama Konghucu dan Budha. Pengakuan atas agama-agama monoritas tidak sejalan dengan kebijaksanaan umum Soeharto terhadap Tionghoa WNI, yakni kebijaksanaan asimilasi. Pemerintah Orde baru yang ingin melebur orang Tionghoa menjadi pribumi, akhirnya tidak mengakui agama Konghucu sebagai agama. Pada tahun 1979, kabinet mengeluarkan instruksi, menyatakan agama Konghucu bukan agama dan tidak lagi diakui sebagai agama resmi. Meskipun demikian, kondisi setempat kurang mendukung perkembangan agama Konghucu atau Budha. Pada tahun 70-an, 0,8 % penduduk Tionghoa di Indonesia beragama Konghucu, sedangkan yang beragama Budha berjumlah 0,9 %. Tetapi penduduk Tionghoa di Indonesia berjumlah 3 %, jadi kira-kira
1,3
%
(Suryadinata,2002:89).
beragama
lain
(Katolik,
Protestan
dan
Islam)
131
Menurut Leo Suryadinata (1984: 170) sebenarnya kesulitan pertama datang dari masyarakat Tionghoa sendiri, yaitu : ”Para Tionghoa peranakan pada umumnya tidak lagi dapat berbahasa Cina, sedangkan kebudayaan mereka sangat terpengaruh pemikiran Barat dan lingkungan Indonesia. Banyak di antara mereka beragama Protestan dan Katolik. ”Budaya Cina” telah menjadi asing bagi kebanyakan Tionghoa peranakan, khususnya bagi generasi muda yang oleh undangundang diharuskan bersekolah di sekolah-sekolah Indonesia sejak 1957. Dengan demikian jalan pemikiran mereka lebih bersifat Indonesia daripada Cina”. Selain itu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia mulai berkembang pada periode itu dan dikatakan telah mempunyai anggota yang cukup banyak. Dari hal tersebut nampak bahwa agama yang dianut para peranakan Tionghoa bermacam-macam. Kebijakan yang paling jelas dari diterapkannya asas asimilasi di bidang sosial-budaya adalah peraturan tentang perubahan nama yang dikeluarkan bulan Desember 1966. Pada tahun 1961, ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan tersebut sudah diumumkan, namun tidak dilaksanakan. Pada tahun 1966 setelah Soeharto berkuasa, peraturan ganti nama diterbitkan lagi. Presidium Kabinet mengeluarkan keputusan N0.127/U/KEP/12/1966 untuk mempermudah proses ganti nama dibandingkan dengan Undang-undang N0 4 tahun 1961. Dengan prosedur baru tersebut, proses ganti nama tidak usah dilakukan di pengadilan dan diumumkan dalam Berita Negara, tetapi cukup dilakukan di kantor kabupaten atau kantor walikota dengan biaya tidak lebih dari Rp.25.-. Namun pada kenyataannya biaya yang dikeluarkan lebih dari itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama tersebut tidak wajib. Peraturan ini bertujuan untuk mempercepat asimilasi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa ke
132
dalam bangsa Indonesia, pengubahan nama dari non Indonesia menjadi nama Indonesia dianggap sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses asimilasi. Berdasarkan peraturan tersebut bagi WNI keturunan Tionghoa yang ingin mengubah nama maka harus memasukkan permohonan mereka kepada penguasa setempat (gubernur, bupati atau walikota) untuk didaftar. Permohonan akan diteruskan ke Departemen Kehakiman. Jika dalam waktu tiga bulan tidak ada keberatan diajukan oleh masyarakat setempat maka nama baru itu menjadi sah. Peraturan tersebut mula-mula diberlakukan dari bulan Januari 1967 hingga Maret 1968. Selanjutnya diperpanjang satu tahun karena warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang mengubah nama ternyata lebih sedikit daripada yang diharapkan. Alasan pengubahan nama berlainan. Beberapa diantaranya mengubah nama untuk alasan praktis, mereka yakin bahwa hal tersebut akan mempermudah hidup mereka di Indonesia, seperti untuk mendapat izin, untuk mendapat tempat di sekolah atau perguruan tinggi, untuk dapat diterima oleh orang Indonesia pribumi. Beberapa lagi mempunyai alasan untuk menjadi diri mereka satu dengan bangsa Indonesia, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah tingkah laku simbolik, semacam pernyataan orang Tionghoa bahwa mereka setia kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan budaya Indonesia. Akan tetapi tidak semua orang Tionghoa mengganti namanya, misalnya Liem Swie King (pemain bulutangkis) dan almarhum Yap Thiam Hien (pengacara dan pembela hak asasi manusia).
133
Fungsi nama Tionghoa yang mewakili keakuannya yang diwujudkan dalam pemilihan kata yang melambangkan sesuatu, menimbulkan persoalan ketika mereka harus mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Sebab mereka ingin agar nama Indonesia-nya tetap mewakili keakuannya. Namun, jika namanama yang dipilihnya merupakan terjemahan langsung, akan terdengar janggal. Solanya nama-nama orang Indonesia tidak lazim memakai ungkapan tersebut. Contohnya yaitu Kho Kim Djin yang berarti kemanusiaan emas. Jika ia ingin tetap memakai nama Indonesia yang artinya kurang lebih sama, maka ia harus mencari kata lain sebagai pengganti yang lazim digunakan sebagai nama diri, yang mempunyai arti mirip dengan ”kemanusiaan emas” dan lazim digunakan, yaitu Darmawan atau Budiman. Dalam rangka mengganti nama-nama Tionghoa ke dalam nama-nama Indonesia, terdapat kecenderungan mereka tetap mempertahankan identitas nama lama mereka. Pengganti nama ini berdasarkan peraturan yang tertuang dalam keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966. Terdapat dua macam cara yang dilakukan agar identitas nama lama mereka tidak hilang begitu saja. Pertama, pada sebagian dari nama baru mereka, terkandung identitas nama lama. Contohnya, Lim Sioe Thiam mengganti nama menjadi Muslim; Tjunk Djie Hin mengganti nama menjadi Sujiman. Kedua, seperti di Singkawang maupun di daerah lain, seperti di Blora, Jawa Timur, sebagian orang Tionghoa mengganti namanya dengan menggabungkan sebagian dari identitas nama lama mereka, tanpa perubahan penting sehingga terdengar janggal. Contohnya, Po Kiem Hwa menjadi Hwandini, Khoo Kwee An menjadi Khonawan
134
(Poerwanto, 2005: 272). Dalam hal ini banyak orang Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama aslinya, seperti Salim untuk Liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei, Tano atau Tanzil untuk Tan, Chandra untuk Chan, dan Kusuma untuk Khoe. Sebagaimana tulisan yang dimuat dalam koran Sinar Harapan tanggal 12 Februari 1967, yang berjudul ”Pengalamanku dengan Penggantian Namaku” mengungkapkan bahwa: ”Tidak dapat disangkal bahwa belenggu-belenggu mental yang berasal dari jaman penjajahan sampai saat ini terasa dalam bentuk anggapan pada orang-orang dari semua lapisan masyarakat (termasuk pejabat-pejabat pemerintah terutama seperti lurah, camat dsb.) bahwa WNI keturunan Cina dan orang Cina asing (Stateless atau warga negara RRT) ”sama saja”. Dengan diadakan penggantian nama seolah-olah ditegaskanlah sekarang oleh pemerintah dengan sekongkrit-kongkritnya bahwa WNI keturunan Cina pun termasuk bangsa Indonesia dan oleh karena itu berhak atas dan perlu mendapat perlakuan yang sama seperti Bangsa Indonesia lainnya. Bagi WNI keturunan Cina yang sudah berhasil mengasimilasi dirinya, keputusan ini adalah pengesahan dari apa yang sudah dipraktekannya. Dari WNI keturunan Cina yang sedikit banyak masih dipengaruhi oleh cara berpikir jaman kolonial diharapkan agar mereka dapat membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu mental ini dan tanpa ragu-ragu menjatuhkan dirinya dengan bangsa Indonesia lainnya dalam perjuangan kita bersama membangun kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosial yang sehat serta menyelamatkannya dari rongrongan dari luar dan dari dalam, terutama dari pihak RRT dan PKI. Terutama diharapkan juga pikiran kita sehat, dari mereka serta penglihatan yang tajam terhadap kenyataan dan arah perkembangan di negara kita”. Dalam pengembangan doktrin asimilasi tidak dapat dipungkiri media massa memegang peranan yang penting. Pada tahun 1934 ketika Kwee Hing Tjiat secara berturut-turut menampilkan editorial yang berjudul “Asimilasi” terjadi banyak reaksi dari para pembacanya. Banyak yang mengirim surat protes, malahan ada yang mengirim blangkon batik, ikat kepala batik, peci dan surat kaleng. Padahal artikel tersebut tidak menganjurkan ganti nama, ganti agama dan
135
sebagainya. Artikel tersebut mengupas keadaan masyarakat peranakan Tionghoa dan perlunya sebagai golongan menyatukan diri dengan rakyat Indonesia. Demikian juga munculnya doktrin dan gerakan asimilasi yang kemudian berkembang menjadi LPKB diawali dengan terjadinya polemik yang ramai di antara sekelompok peranakan Tionghoa dalam mencari solusi masalah minoritas Tionghoa sebagai kelanjutan dari pelaksanaan PP-10, di majalah Star Weekly terbitan 13 Februari sampai 25 Juni 1960. Di antaranya adalah sejumlah tulisan Siauw Giok Tjhan yang menjelaskan idenya, yaitu konsep integrasi etnis Tionghoa dalam perjuangan mencapai masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari segala bentuk diskriminasi. Disusul dengan tulisan Yap Thiam Hien yang menjelaskan konsep integrasi tetapi tanpa harus mencapai masyarakat sosialis sesuai dengan ide komunis dan berbagai tulisan para pendukung doktrin asimilasi antara lain tajuk rencana majalah Star Weekly yang dipimpin Auwjong Peng Koen dan tulisan Ong Hok Ham, Lauchuanto dan pendukung asimilasi lainnya. Menurut Ong Hok Ham salah seorang teoritikus dan konseptor terkemuka doktrin asimilasi dalam artikel “Asimilasi Golongan Peranakan” yang dimuat dalam majalah Star Weekly tanggal 27 Februari 1960, satu-satunya jalan agar minoritas peranakan meninggalkan kedudukannya sebagai minoritas dan menjadi loyal kepada negara adalah dengan melakukan asimilasi atau peleburan seratus persen, menjadi orang-orang Indonesia “asli”. Ia juga berpendapat kalau orang-orang Tionghoa masih tetap mempertahankan cara-cara hidup mereka sendiri seperti tradisi-tradisi “imlek”, adat-istiadat dan lainnya, dalam keadaan biasa mungkin konflik-konflik dengan golongan minoritas dapat dihindarkan.
136
Tetapi bila timbul krisis, entah krisis ekonomi, politik atau lain-lain, maka konflik-konflik akan timbul. Diskriminasi juga tidak akan dapat dihilangkan sama sekali. Mengutip perkataan Dr Mely G. Tan, ia berpendapat bahwa hubungan antara peranakan dengan pribumi merupakan hubungan ’love and hate relation’ atau hubungan cinta dan benci antara peranakan dan orang Indonesia. Sebagai contoh, jika kaum minoritas ini unggul dalam bidang olah raga mereka dipuji karena dianggap telah mengharumkan nama bangsa. Namun jika ada berita mengenai penyelewengan yang dilakukan oleh mereka di bidang ekonomi dan moneter, mereka akan dimaki-maki. Dalam konteks Indonesia, persoalan etnis Tionghoa yang telah berstatus warga negara Indonesia (WNI) adalah erat hubungannya dengan proses pembinaan bangsa, terutama mengingat sifat majemuk bangsa Indonesia dan polarisasi yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.
Diskriminasi
dan
prasangka
merupakan
faktor
yang
dapat
menghambat terciptanya asimilasi dalam hubungan mayoritas-minoritas. Pada gilirannya, peraturan pada masa Orde Baru menjadi pemicu dan stimulan terhadap munculnya konflik. Peraturan-peraturan yang dibuat harus dipenuhi total oleh peranakan, dimana orang-orang Tionghoa telah dipaksa untuk membaur dengan mengganti namanya, dengan larangan melakukan upacaraupacara keagamaan, kepercayaan, budaya dan tradisinya secara terbuka. Bahasa dan aksaranya dilarang. Hasilnya adalah berbagai kerusuhan anti Tionghoa.