78
BAB IV MASYARAKAT DAN BAHASA USING DI KABUPATEN BANYUWANGI 4.1 Sejarah Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Pada masa lampau daerah ini menjadi pusat kegiatan politik kerajaan Blambangan dan menduduki posisi penting dalam perkembangan sejarah Indonesia. Kerajaan Blambangan yang luas wilayahnya sama dengan wilayah Kabupaten Banyuwangi sekarang ini sering menjadi
wilayah rebutan kerajaan-kerajaan di
wilayah Jawa dan Bali (Lekkerker, 1923:332). Riwayat kerajaan Blambangan tidak dapat dilepaskan dari kerajaan Majapahit khususnya dengan penobatan Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana (Slametmulyana dalam Suparman, 1987:11). Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Blambangan menjadi salah satu daerah kekuasaannya. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, wilayah
Blambangan
menjadi rebutan kerajaan-kerajaan yang ada di Bali, Pasuruan, dan Mataram Islam. Sejak Sultan Agung menyerbu Blambangan pada tahun 1639, kerajaan ini menjadi kekuasaan Mataram Islam (Suprapto, 1984: 9). Tampaknya, Mataram tidak dengan mudah menguasai beberapa raja Bali
Blambangan karena beberapa kali dihambat oleh kekuasaan seperti penguasa Gelgel, Klungkung, Mengwi, dan Buleleng
walaupun Mataram kembali bercokol di daerah Blambangan pada tahun 1697 (Suprapto, 1984: 9).
78
79
Kerajaan Blambangan tidak pernah tenang. Di samping karena dikuasai oleh Mataram Islam dan beberapa kerajaan Bali, secara silih berganti, perebutan kekuasaan
antaranggota
keluarga
kerajaan
sering
terjadi.
Hal
ini
tidak
menguntungkan Mataram, sehingga pada tahun 1743, Paku Buwana dari Mataram mengadakan perjanjian dengan VOC atas kekuasaannya di wilayah Blambangan. Pada tahun 1765 Blambangan diserbu oleh VOC. Rakyat Blambangan yang memiliki sifat gemar berperang (warlike) bertempur mati-matian untuk mempertahankan wilayahnya di bawah pimpinan
Pangeran Agung Willis. Untuk menakhlukkan
Blambangan, VOC melibatkan pasukan dari beberapa bupati di wilayah Jawa Timur, seperti Bupati Madura Barat, Sumenep, Surabaya, Pasuruan, Bangil, dan Probolinggo. Perlawanan sengit
melawan VOC yang dipimpin oleh Pangeran
Rempeg, yang bergelar Pangeran Jagadipati yang dipercaya sebagai titisan dari Pangeran Agung Willis, berlangsung dari tahun 1771-1772 dan puncaknya terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 yang dikenal dengan nama Puputan Bayu (Suprapto,1984:25) Lekkerker (1923) mengungkapkan bahwa Puputan Bayu adalah peperangan terbesar yang pernah dialami oleh VOC selama menjajah Indonesia karena banyak korban jiwa dan harta dari kedua belah pihak. Bagi rakyat Blambangan, peperangan ini merupakan perjuangan heroik dalam rangka mempertahankan tanah leluhurnya. Akibat perang ini Blambangan mengalami kehancuran dan penduduknya banyak yang hilang karena gugur dalam pertempuran dan mengungsi ke Bali atau ke
80
wilayah pegunungan di sebelah selatan dan barat daya. Hal ini menyebabkan daerah Blambangan sebagian besar dihuni oleh penduduk lapisan bawah. Walaupun sudah dalam keadaan hancur, rakyat Blambangan yang tersisa menolak bekerja untuk Belanda di perkebunan-perkebunan milik mereka. Sikap rakyat Blambangan ini menyebabkan pemilik perkebunan mendatangkan pekerja dari daerah Jawa Tengah (Kebumen dan Banyumas) dan Jawa Barat (Cirebon). Dapat dipastikan pada saat inilah rakyat Blambangan bersentuhan dengan Wong Kulonan sekitar akhir abad ke18 atau awal abad ke 19. Sementara itu, persentuhan mereka dengan Bali terjadi pada saat penguasa Blambangan meminta bantuan raja Bali untuk mempertahankan diri dari serangan kerajaan Pasuruan (Notodiningrat dalam Herusantosa, 1987:81-84). Persentuhan dengan Bali berdampak pada beberapa corak budaya dan
kesenian
Using yang dapat diamati hingga kini.
4.2 Topografi dan Demografi Kabupaten Banyuwangi, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, secara administratif di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso, di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, dan di sebelah Selatan terdapat Samudra Indonesia. Jikalau dilihat dari letak geografisnya, pada zaman dulu Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah yang terisolasi karena di sebelah barat dan utara dibatasi oleh pegunungan, sedangkan di sebelah timur dan selatan berbatasan dengan
81
laut. Hasan Ali (1991: 2) mengatakan bahwa pada zaman dulu, wilayah Banyuwangi merupakan daerah tertutup dan kemudian terbuka dari isolasi setelah dibukanya jalan Anyer-Penarukan dari arah utara dan jalan tembus dari Jember dari arah barat pada pertengahan abad ke 20. Berdasarkan garis batas koordinat, Kabupaten Banyuwangi terletak di antara 70 43‘ – 8o 46‘ Lintang Selatan dan 113o 53‘ – 114o 38‘ Bujur Timur. Secara umum, daerah di bagian selatan, barat, dan utara merupakan daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan 400. Sementara itu, dataran rendah yang terbentang dari bagian utara hingga ke selatan, dengan 35 daerah aliran sungai (DAS), kemiringan tanah kurang dari 15o, dan curah hijan yang cukup tinggi menyebabkan Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu daerah pertanian dan perkebunan tersubur di Provinsi Jawa Timur sehingga daerah ini merupakan daerah penghasil berbagai hasil pertanian dan perkebunan yang sangat terkenal. Di samping itu, karena kesuburan tanahnya daerah ini merupakan tempat potensial untuk hidup dan berkembangnya berbagai jenis flora dan fauna yang mencerminkan bahwa wilayah ini memiliki keberagaman hayati
(biodiversity) yang tinggi yang diikuti oleh keberagaman
leksikon yang mengacunya. Di samping sebagai nama kabupaten, Banyuwangi merupakan salah satu di antara 24 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan luas dan kepadatan penduduk yang berbeda-beda. Berikut adalah nama-nama kecamatan beserta jumlah penduduknya.
82
Tabel 4.1 Situasi Demografi Kabupaten Banyuwangi No
Kecamatan
1
Pesanggaran
2
Luas Wilayah (km2)
Jumlah Penduduk (jiwa)
802,50
45.811
Siliragung
95,15
50.455
3
Bangorejo
137,43
61.732
4
Purwoharjo
200,30
67.783
5
Tegaldlimo
1.341,43
63.397
6
Muncar
146,07
130.319
7
Cluring
97,44
72.362
8
Gambiran
66,77
46.832
9
Tegalsari
65,23
60.151
10
Glenmore
421,98
71.582
11
Kalibaru
406,76
61.695
12
Genteng
82,04
85.167
13
Srono
100,77
89.811
14
Rogojampi
102,33
94.734
15
Kabat
107,20
67.604
16
Singojuruh
59,89
48.938
17
Sempu
174,83
74.120
18
Songgon
301,84
53.145
19
Glagah
76,75
28.677
20
Licin
169,25
33.974
21
Banyuwangi
30,13
108.591
22
Giri
21,31
28.250
23
Kalipuro
310,03
68.722
24
Wongsorejo
464,80
73.281
5.782,50
1.610.909
Jumlah
Sumber: Banyuwangi dalam Angka (2010:55-72)
Berdasarkan hasil Registrasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sampai dengan akhir 2009 penduduk Kabupaten Banyuwangi berjumlah 1.610.909 dengan
83
laju pertumbuhan penduduk 0,24%/tahun. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Basri, secara kasar pada awal tahun 2009, penduduk yang merupakan GTBU adalah sebesar kurang lebih 53% dari seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi yang berjumlah 1.608.135 jiwa (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka, 2009:50). Secara administratif, saat ini GTBU berdomisili di sepuluh kecamatan, yakni Kecamatan Cluring, Srono, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Kabat, Giri, Glagah, Sempu,
dan Banyuwangi. Di luar kecamatan-kecamatan tersebut, etnis Using
merupakan komunitas kecil, seperti di Kecamatan Muncar, Bangorejo, Kalipuro, Tegaldlimo, dan Pesanggaran (Sutarto, 2010:264).
4.3 Masyarakat Using Masyarakat etnis apa pun di dunia ini memiliki ciri-ciri khusus sebagai penanda jati diri mereka. Ciri-ciri khusus ini dapat berupa bahasa, sistem sosial, budaya, adat istiadat, kesenian, mata pencaharian, dan sebagainya. GTBU adalah komunitas yang merupakan penduduk asli yang mendiami sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Mereka merupakan kelompok etnis yang diposisikan sebagai penduduk asli Banyuwangi. Istilah Using berasal dari kata sing ‗tidak‘ yang sering juga diucapkan using, osing, atau hing. Secara historis, lare using atau wong Banyuwangen adalah orang-orang yang tidak (sing) ikut mengungsi ketika terjadi perang Puputan Bayu (19771-1772) di Blambangan (Banyuwangi). Mereka tetap memilih tinggal di ujung paling timur Pulau Jawa. Di samping itu, istilah using
84
mengandung resistensi budaya yang bermakna bahwa orang Using/Osing/ Banyuwangi tidak mau menjadi Bali (tidak mau menjadi dominasi kerajaan Bali) dan tidak mau menjadi Jawa (tidak mau menerima dominasi kerajaan Mataram-Islam) (Sutarto, 2010:263). Struktur masyarakat Using bersifat horizontal egaliter, dalam arti struktur sosial tidak dipahami secara hierarkis seperti masyarakat Jawa pada umumnya. Prinsip hormat bersifat penghargaan dalam kesetaraan, bukan vertikal hierarkis. Perwujudan egaliterisme juga tampak pada tradisi slametan menjelang hajatan, seperti perkawinan atau sunatan. Dalam penyelenggaraan hajatan perkawinan, GTBU khususnya yang berdomisili di Desa Kemiren, semua orang diperlakukan dan dihormati dengan cara yang sama, tidak memandang status sosial, ekonomi, atau jabatan seseorang dan mereka saling bantu satu sama lain. Pengertian saling membantu dalam konteks ini tidak saja dalam bentuk materi (disebut arisan), tetapi juga dalam bentuk tenaga (disebut resayan) (Subaharianto, 2002). Prinsip kesetaraan dalam interaksi sosial itu juga tercermin pada struktur dialek (bahasa) Using yang tidak mengenal pelapisan bahasa atau tingkat
tuturan (speech level)(Zainuddin,
1996:6-7). Masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani yang berdomisili tersebar hampir di beberapa kecamatan. Hal ini merepresentasikan bahwa kehidupan mereka sangat dekat dengan alam sehingga kehidupan sosial budaya mereka terkait dengan alam.
85
Mereka bercocok tanam padi (baik pada lahan basah atau padi basah maupun pada lahan kering atau padi ladang), jagung, palawija (kedelai, kacang tanah, kacang hijau) dan juga pola tumpang sari. Di samping hasil pertanian, Kabupaten Banyuwangi juga sebagai penghasil beberapa jenis buah-buahan, di antaranya yang cukup terkenal adalah pisang, mangga, jeruk, rambutan, dan nangka. Sementara itu, jenis sayur yang dihasilkan dari ladang-ladang yang subur di wilayah ini adalah kacang panjang, cabe besar, cabe kecil, dan labu siam. Di samping untuk dikonsumsi sendiri, hasil-hasil pertanian ini juga dikirim ke daerah sekitar seperti Kabupaten Jember, Situbondo dan Bali (Banyuwangi dalam Angka, 2010: 143-158). Bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani, tanah merupakan penyangga kehidupan dan penghidupan GTBU secara sosial, ekonomi, dan budaya. GTBU sangat jarang menjual tanah (baik lahan sawah maupun lahan kebun). Jikalau pun hal itu dilakukannya, mereka menjualnya kepada kerabat dekat karena mereka berkeyakinan bahwa dari kerabatlah pertolongan akan datang, apabila suatu saat nanti mereka mengalami kesulitan dalam hidup. Di samping itu, menjual sawah atau kebun merupakan perbuatan yang memalukan bagi GTBU. Fenomena ini berdampak pada kecilnya alih fungsi lahan sehingga lahan pertanian masih terjaga (Hasil wawancara dengan Drs.Aekanu Haryono, M.Pd., budayawan dan pemerhati Budaya Using, pada tanggal 12 Agustus 2011). Terkait dengan kepemilikan lahan pertanian atau perkebunan dikenal istilah, seperti sanggan, yaitu lahan sawah atau kebun yang dimiliki dan diolah sendiri oleh pemilik lahan dan yasan apa bila tanah yang
86
dikerjakan milik orang lain. Sementara itu, terkait dengan sistem pembagian hasil dalam tanah yasan antara pemilik tanah dan penggarap dikenal sistem maro (pemilik memperoleh separo ‗setengah‘ demikian juga si penggarap) dan sistem mertelu yaitu hasil sawah atau kebun dibagi tiga, penggarap mendapat dua bagian, sedangkan pemilik mendapat sepertiga (Rahayu dan Haryanto, 2008:6-8). Sebagai masyarakat
agraris, segala kegiatan dalam kehidupan GTBU
ditopang oleh hasil pertanian. Dalam aktivitas mengolah lahan pertanian seperti membajak dan meratakan lahan masih banyak di antara mereka yang melakukan secara tradisional yaitu dengan bantuan tenaga hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau, walaupun belakangan ini tractor tangan telah di kenal oleh para petani yang tinggal di lahan pertanian yang datar. Dalam hal bercocok tanam, pola penanaman, dan pemeliharaan juga dilakukan secara tradisional. Karakter GTBU ini membuat hidup mereka terkait erat dengan lingkungan alam. Ketergantungan terhadap alam atau hukum-hukum alam seperti mangsa rendeng (musim hujan) dan mangsa ketiga (musim kemarau) menentukan pola hidup mereka sehari-hari. Guyub tutur bahasa Using yang berlatar belakang budaya agraris (khususnya golongan dewasa dan tua) sangat percaya terhadap kekuatan alam atau gaib yang dapat memengaruhi kehidupan dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka sangat mendambakan kesuburan lahan pertanian, kelestarian lingkungan, dan kedamaian hidup. Untuk mencapai harapan tersebut, GTBU melakukan berbagai aktivitas dalam bentuk ritual-ritual yang dilakukan dalam waktu-waktu tertentu.
87
Terkait dengan fenomena ini, GTBU masih memegang teguh warisan leluhurnya mengenai ritual-ritual yang terkait dengan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dan pelestarian lingkungan, khususnya tentang pertanian karena fenomena serupa tidak lagi ditemukan pada masyarakat agraris muslim lainnya. Banyak ritual sebagai rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta dalam wujud Dewi Sri dan kepada roh para leluhur yang masih dilakukan oleh GTBU hingga saat ini. Ritual-ritual ini masih secara turun temurun dilakukan oleh GTBU, khususnya yang berdomisili di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, yang menurut beberapa peneliti dianggap homogen etnis Using. Ritual-ritual yang dimaksud di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Rebo Wekasan Uapacara yang dilaksanakan terkait dengan menjaga kelestarian sumber air (mata air, sungai, sumur, sumber mata air alam, bahkan air PDAM). Ritual ini berfungsi untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menjaga sumber air, yakni Nabi Kadhir. Ritual Rebo wekasan dilaksanakan pada setiap Rabu terakhir bulan Sapar
dimana pada hari tersebut masyarakat Using di Desa
Kemiren tidak diperbolehkan mengambil air di semua sumber air mulai sebelum matahari terbit hingga matahari tepat di atas kepala (duhur). GTBU percaya bahwa pada hari tersebut Nabi Kadhir mulai pulul 6 pagi hingga kirakira pukul 12 siang berada di semua mata air untuk membersihkan diri dan GTBU harus menghormati aktivitas tersebut. Di samping tidak mengambil
88
air, pada hari itu GTBU membawa persembahan berupa sesaji yang terdiri atas: (a) Sega golong: nasi putih yang dilengkapai dengan lauk pauk (daging, ikan, telur, sambal); (2) Jajan pasar yang terdiri atas rengginang, nagasari, kripik, dan sebagainya; (3) Pecel ramban/serakat berupa rebusan berbagai jenis sayur; (4) Jenang abang dan putih (bubur merah dan bubur putih) ; dan (5) kemenyan (bakaran kulit atau kayu berbau harum yang diletakkan di atas dulang kecil). Sebelum dibawa ke sumber air, kepala rumah tangga berdoa di rumah. Persembahan sajian ini bertujuan agar penunggu sumber air tidak marah dan membuat bencana. 2) Adeg-adeg/Labuh tandur Adeg-adeg atau labuh tandur adalah upacara yang dilaksanakan sebelum padi ditanam oleh petani Using untuk memohon keberkahan kepada roh halus/ kekuatan gaib penjaga/pelindung suatu desa) dan Dewi Sri agar tanaman padi terhindar dari hama. Ritual ini diselenggarakan secara berkelompok oleh para petani yang sawahnya berdekatan dengan susunan kegiatan sebagai berikut: (1) pembakaran kemenyan dan persembahan sega urap (nasi dan sayur urap beserta lauknya); (2) pembacaan doa/ mantra yang dipimpin oleh salah seorang petani yang dituakan; (3) menikmati sega urap bersama-sama; dan (4) penanaman padi oleh salah satu petani sebagai simbol dimulainya kegiatan menanam.
89
3) Nyelameti Pari Ritual nyelameti pari adalah upacara yang dilakukan pada saat padi bunting (menjelang buah padi menyembul) dengan tujuan agar bulir-bulir padi bernas dan hasil panen melimpah. Ritual yang diselenggarakan untuk memuja Dewi Sri ini dilengkapi dengan sajian berupa pecel pithik (ayam panggang yang diberi bumbu urap), telampik (sayap ayam), dan berutu (bagian ekor ayam). Dari semua sajian ada sajian yang tidak boleh dimakan oleh pemiliknya, namun dibagi-bagikan kepada para tetangga sawah yang juga melaksanakan upacara yang sama dan sebaliknya tetangga sawah juga melakukan hal yang sama (biasanya dilakukan secara bersamaan dalam satu area persawahan). 4) Nggampung Nggampung ialah upacara yang dilaksanakan waktu panen yang bertujuan menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dalam perwujudan Dewi Sri atas anugrah- Nya berupa hasil panen yang bagus kepada para petani. Adapun yang dipersembahkan dalam ritual ini meliputi: (1) ayam pethetheng tanpa nasi, (2) darah ayam yang dimasukkan ke wadah lalu dipanggang, dan (3) kinangan (terdiri atas daun sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih) ditambah bunga telasih yang diikat menjadi satu dengan kinangan
dengan
menggunakan benang. Semua sajian ini diletakkan pada uwangan, yaitu pintu air masuk pada petak sawah pertama, sedangkan kinangan beserta elemennya diikatkan pada rumpun padi yang tumbuh di tempat tersebut. (Di daerah
90
tertentu seperti di Desa Kemiren dan sekitarnya, bagi petani yang ―mampu‖ ada yang nanggap angklung paglak/sawahan, yakni seperangkat alat musik pukul yang terbuat dari bambu yang biasa dimainkan di atas dangau yang menjulang tinggi di tengah-tengah area persawahan yang juga terbuat dari bambu). 5) Saparan Sementara itu, rebo wekasan diselenggarakan oleh GTBU yang bertempat tinggal di daerah pedalaman, upacara saparan dilaksanakan oleh mereka yang tinggal di lingkungan pesisir Banyuwangi sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan Tuhan yang telah memberikan pantai yang indah dan air yang bersih sehingga mereka dapat menikmati keindahan laut beserta pantainya untuk mencari nafkah. Upacara ini dilaksanakan di beberapa pantai di Banyuwangi, seperti Pantai Sukojati dan Pondok Nangka (Kecamatan Kabat), Pantai Santen (Kecamatan Banyuwangi), dan Pantai Cacalan (Kecamatan Kalipuro). 6) Ider Bumi Ritual yang dilakukan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah,
bertujuan
memohon keselamatan agar bencana tidak menimpa desa tersebut. Ritual ini dilakukan dengan cara berkeliling desa untuk membuat ―pagar‖ sebagai penangkal bencana, wabah, atau musibah yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat, lahan pertanian, dan lingkungan alam sekitar mereka. Sesajian
91
berupa tumpeng pethetheng, jajanan pasar, dan berbagai hasil pertanian seperti pala kependhem, pala gumandhul, dan pala bungkil. Persembahan yang berupa jajanan pasar dan berbagai hasil bumi ini melambangkan kesuburan tanah. Terkait dengan kehidupan religi, GTBU adalah
pemeluk agama Islam.
Walaupun demikian, mereka masih tetap memelihara tradisi para leluhurnya dengan baik dan tidak pernah mempertentangkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai tradisi yang ada dan bahkan keduanya saling melengkapi. Memadukan banyak hal yang berbeda dan menjadikannya sesuatu yang baru merupakan keahlian GTBU yang besifat terbuka. Hal ini dikemukakan oleh Singodimayan, sesepuh dan budayawan Using (dalam Kompas, edisi Jumat, 29 Juli 2011 dan edisi Sabtu, 1 Maret 2014), bahwa dalam GTBU banyak terjadi transformasi yang keterbukaannya merupakan akar dari semuanya.
Beberapa bentuk budaya, kesenian, dan tari merupakan
alkuturasi antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan Bali. Budaya dalam bentuk kesenian tari bahkan juga makanan yang masuk akan diserap lalu dipadukan dengan budaya setempat lalu muncul format budaya baru. Dalam hal makanan, misalnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU dikenal rawon pecel. Seperti diketahui, rawon berasal dari Surabaya sedangkan pecel merupakan masakan asal Madiun dan GTBU menciptakan jenis makanan baru rawon pecel yang merupakan penggabungan dari kedua makanan ini. Sementara itu, dalam hal kesenian GTBU juga menyerap beberapa unsur kesenian Bali khususnya tari. Tari panyembarama (tari ucapan
92
selamat datang) dimodifikasi dan disesuaikan dengan gerakan tari lokal lalu menghasilkan tari semboran. Dalam bidang seni dan budaya masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya memiliki potensi seni budaya dan adat istiadat yang sangat kaya. Hampir semua etnis yang berdomisili di wilayah ini sangat perduli dan terus mengembangkan seni tradisional mereka di samping ada pula yang beralkulturasi dengan seni tradisi dan budaya lain dan seni modern. Walaupun demikian, tidak sedikit didapati unsur agama atau kepentingan agama mewarnai produk-produk kesenian Using yang tidak saja bersifat menghibur, tetapi banyak juga mengandung nilai-nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang merugikan yang terjadi pada masa lampau. Di samping itu, produk kesenian Using ini memiliki dua warna, yakni bernuansa agraris dan produk yang bercitra patriotik. Produk-produk kesenian Using yang bernuansa agraris dimanfaatkan sebagai perekat dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat digunakan untuk membangun nasionalisme (Hasil wawancara dengan Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi, pada tanggal 14 Oktober 2009). Interaksi penduduk asli Banyuwangi dengan kaum pendatang selama bertahun-tahun membentuk struktur kebudayaan yang hidup dan berkembang di lingkungan GTBU. Hal ini dapat dilihat pada beberapa jenis kesenian yang merupakan alkulturasi dengan budaya kaum pendatang, seperti terlihat pada uraian berikut.
93
1) Seni pertujukan tradisional yang berhubungan dengan religi animismedinamisme antara lain Seblang, Singa Barong, dan Gandrung. 2) Seni pertunjukan tradisional Using yang berhubungan dengan Bali antara lain Bali-balian, dan Damarwulan (Jinggoan) 3) Seni pertunjukan tradisinal Using yang berhubungan dengan religi Islam antara
lain
Kuntulan,
Macaan
Lontar,
Macaan
Campursari,
Rengganis/Praburara, dan Patrol Using. 4) Seni pertunjukan tradisional Using yang berhubungan dengan kesenian Jawa antara lain Kendang Kempul, Campursari, Ketoprak, dan Wayang Kulit. 5) Seni pertunjukan tradisinal Using Profan antara lain Angklung Paglak dan Kendang Kempul Blambangan (seni musik) dan Tari Tradisional Using Modifikasi (seni tari). Gambaran kedekatan GTBU dengan alam tidak saja tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan seni tari, namun juga dapat diamati pada seni batik. Terkait dengan seni batik, ada kurang lebih 15 motif batik yang semuanya bertema alam. Motif-motif batik yang dimaksud, di antaranya: (1) alas kobong ‘hutan terbakar‘, (2) belarakan ‘daun kelapa kering‘, (3) gajah oling ‗belalai gajah‘, (4) galaran ‗bilah-bilah bambu untuk alas kasur‘, (5) jajang sebarong ‗serumpun bambu‘, (6) jenu ‗tumbuhan yang akarnya dapat dipakai racun ikan‘, (7) kangkung setingkes ‗kangkung seikat‘, (8) kopi pecah ‗kopi terbelah‘, (9) mas‘un ‗pucuk tumbuhan‘, (10) mata pitik ‗mata ayam‘, (11) paras gempal ‗batu padas pecah‘, (12) sekar jagat ‗bunga setaman‘, (13)
94
sembruk cacing ‗cacing bergerombol‘, (14) seretan ‗kulit pohon pisang kering‘, dan (15) sisik papak ‘sisik ikan‘.
4.4 Bahasa Using 4.4.1 Sejarah Bahasa Using Bahasa Using merupakan bahasa ibu bagi penduduk asli Kabupaten Banyuwangi. Tentang statusnya, ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan BU itu dahulunya adalah Bahasa Jawa yang dalam pejalanan sejarahnya digunakan oleh orang-orang Jawa yang berpindah ke arah timur Pulau Jawa. Ketika tiba di wilayah Banyuwangi sekarang, mereka terisolasi oleh hutan lebat, gunung, dan pegunungan di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali dan di sebelah selatan adalah Samudra Indonesia. Hal ini membuat mereka benar-benar terisolasi terutama dari masyarakat Jawa yang ada di bagian barat sehingga Bahasa Jawa yang digunakan di Banyuwangi tetap menggunakan bentuk-bentuk lama (lihat Bolinger, 1975:355) dan kemudian mengalami
perkembangan sendiri menjadi
bahasa Using seperti dikenal sekarang ini yang banyak leksikon-leksikonnya berasal dari bahasa Jawa Kuna, seperti isun ‗saya‘, sira ‗engkau‘, paran ‗apa‘, dan hang ‗yang‘, dan sebagainya (Marwoto dkk., 1999: 23). Pendapat lain beranggapan bahwa
BU merupakan sebuah bahasa dan ada
pula yang beranggapan bahwa BU merupakan salah satu dialek bahasa Jawa. Karena secara geografis Banyuwangi terletak jauh dari budaya Jawa (Solo dan Jogyakarta),
95
pada masa lalu secara sosial politis Banyuwangi merupakan masyarakat dan wilayah politik pinggiran
yang berdampak pada perkembangan BU yang terlepas dari
perkembangan bahasa Jawa baku (bahasa induk) (Zainuddin, 1999). Sebagai bahasa pinggiran, penuturnya merasa bahwa BU lebih rendah dari bahasa Jawa (BJ) dari segi prestise. Berdasarkan kajian diglosia yang dilakukan oleh Arifin dan Zainuddin (1999) dan Sariono (2002) ditemukan bahwa BU merupakan low language dibandingkan dengan BJ baik BJ ngoko maupun BJ kromo. Sebagai masyarakat pinggiran, dalam berkomunikasi dengan etnis Jawa Kulon, etnis Using merasa harus menguasai BJ. Fenomena ini biasa terjadi bahwa masyarakat pinggiran, kelompok minoritas, atau masyarakat dengan prestise rendah cenderung menguasai lebih banyak varietas bahasa dibandingkan dengan masyarakat pusat, mayoritas, dan berprestise lebih tinggi (lih. Poedjosoedarmo, 1996). Di samping itu, mereka cenderung berorientasi pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang berprestise lebih tinggi.
4.4.2 Karakteristik Ejaan Bahasa Using BU memiliki ejaan sedikit berbeda dengan BJ. Ejaan leksikon pada kajian ini didasarkan pada ejaan yang ditemukan pada buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Blambangan. Adapun ejaan BU yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1) Huruf i dan u
96
a. Huruf i pada posisi akhir tuturan diwujudkn dengan bunyi [ai] laki [lakai] ‗suami‘ legundi [legundai] b. Huruf u pada posisi akhir tuturan diwujudkan dengan bunyi [au] milu [milau] ‗ikut‘ deringu [deringau] ‗jerangu‘ 2) Huruf e, a, dan o a. Huruf e pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [e?] jambu mente [jambau mente?] sate [sate?] ‗sate‘ b. Huruf a pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [O?] delima [delimO?] ‗delima‘ kura [kurO?] ‗kura-kura‘ c. Huruf o pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [U?] ijo [ijU?] ‗hijau‘ 3) Huruf b, d, dh, g, m, n, ng, l, bila diikuti huruf a [a] atau e [E] dalam realisasinya terjadi palatalisasi. a. Huruf b kembang [kembyan] ‗bunga‘ kabeh [kabyEh] ‗semua‘ b. Huruf d
97
dami [dyami] ‗jerami‘ renden [rendyEn] ‗daun pisang‘ c. Huruf dh dhangu [dyangu] ‗tangkai buah kelapa‘ gedhang [gedyang] ‗pisang‘ d. Huruf g degan [degyan] ‗kelapa muda garek [gyarEk] ‗cacing yang berkaki banyak‘
4.5 Situasi Kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi dihuni oleh tiga etnis dominan, yakni etnis Using, Jawa, dan Madura dengan bahasa daerah mereka masing-masing. Masing-masing etnik ini secara dominan berdomisili dan menggunakan bahasa mereka masingmasing di kecamatan-kecamatan tertentu. Misalnya, bahasa Using, menurut hasil perhitungan yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Blambangan pada tahun 1985, secara dominan dipakai di 9 kecamatan dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi pada waktu itu (sekarang terdapat 24 kecamatan setelah adanya pemekaran beberapa kecamatan yang ada di bagian utara Kabupaten Banyuwangi). Ali (1990:18) secara lebih rinci mengatakan bahwa BU dipakai di 125 desa dari 175 desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah penutur 58% dari penduduk Kabupaten Banyuwangi.
98
Sutrisno dkk. (1976:274—281) menemukan bahwa dari 175 desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, penutur BU dominan ditemukan di 95 desa, penutur BJ di 35 desa, penutur BM di 8 desa, sedangkan penutur campuran dari ketiga bahasa tersebut ditemukan di 37 desa. Dari segi ranah penggunaan bahasa terungkap beberapa fenomena. Herusantosa (1987) dan Subyatiningsih dkk. (1999) menemukan tingkat penggunaan bahasa di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan ranah sebagai berikut. Tabel 4.2 Perbandingan Pemilihan Bahasa berdasarkan Ranah antara Herusantosa (1987) dan Subjatiningsih (1999) Ranah
Herusantosa (1987)
Subjatiningsih (1999)
1. Keluarga
Pilihan Bahasa BU BJ BI (%) (%) (%) 75 22,3 0
Pilihan Bahasa BU BJ BI (%) (%) (%) 62,4 22,5 14,5
2. Ketetangaan
-
-
-
62,2
24,4
12,8
3. Transaksi
50,8
33
4,3
32,4
21,1
46,1
4. Agama
28
55
2,7
18,7
26
38,8
5. Seni, tradisi, dan budaya
73,5
15,8
0
37,9
41,6
16
6. Pendidikan
39,5
42,5
0
24,8
17,3
57,4
7. Pemerintahan
9
36,8
39,5
20,9
23
56,1
Rata-rata
45,9
34,2
7,7
37
25
34,5
Jikalau hasil kedua penelitian tersebut dibandingkan, dalam jangka 12 tahun terjadi pergeseran penggunaan bahasa dalam semua ranah.
99
4.6 Status Kebahasaan Bahasa Using Mengenai status kebahasaan BU hingga saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan linguis BJ khususnya. Ada dua anggapan
tentang status kebahasaan BU.
Pendapat pertama berasal dari kalangan peneliti yang menjadikan BU sebagai objek kajiannya. Menurut mereka BU adalah salah satu dialek BJ (lih. Penelitian, antara lain oleh Poerwadarminta, 1953; Hutomo, 1970; Sudjito, 1979; dan Sutoko, 1980,). Pendapat kedua berasal dari masyarakat Using dan para budayawan Kabupaten Banyuwangi. Menurut mereka, BU merupakan bahasa yang mandiri, lepas , dan bukan merupakan varian BJ. Untuk memperkuat argumen mereka, sejak awal tahun 1970-an beberapa aktivis budaya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, dan industri media lokal menjadikan BU objek perhatian mereka. Masing-masing kelompok ini membuat gebrakan untuk tujuan politik kebahasaan mereka melalui media cetak, audio, dan audio visual. Dengan cara yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan, mereka ikut membangun sebuah sosio-kultural yang kompleks dan bergerak cepat yang dapat dianggap sebagai pembuatan bahasa, sehingga dalam beberapa kurun waktu ―Bahasa Using‖ yang dianggap merupakan salah satu dialek BJ menjadi bahasa daerah resmi di Banyuwangi, merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di seluruh kabupaten di Banyuwangi, dan sebagai wahana wacana media yang hidup dan digemari masyarakat (Arps dalam Moriyama dan Budiman, ed., 2010:226—227)
100
Bernard Arps, guru besar dalam bidang bahasa dan budaya Indonesia dan Jawa pada Universitas Leiden, Belanda,
menulis sebuah tulisan terkait dengan
sejarah terwujudnya BU yang dikenal masyarakat luas seperti sekarang ini. Arps dalam
Moriyama dan Budiman (ed., 2010:230)
mengamati pencitraan
Bahasa/Dialek Using. Arps menemukan bahwa ada lima periode proses dalam pencitraan tersebut, seperti terlihat dalam uraian berikut. (1) Periode masa ―prasejarah‖, yaitu masa sebelum tahun 1970-an. Arps mengutip pendapat Lekkerkerker (1923) mengenai masyarakat yang mendiami ujung timur Pulau Jawa yang memiliki adat, kepribadian, dan bahasa yang berbeda dengan orang Jawa. Menurutnya, kemungkinan kelompok ini dianggap dan menganggap dirinya bukan orang Jawa. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1970-an dan sekarang pun kategorisasi ini masih terdengar, terutama di daerah pedesaan. (2) Periode 1970-an sampai Sarasehan Bahasa Using Pertama (1990). Pada awal tahun 1970-an berkembang sebuah ―wacana kehilangan‖ identitas sebagai sebuah masyarakat yang berotonomi terhadap sebuah bahasa (beserta sastra dan budayanya) sehingga dipandang perlu adanya langkah-langkah konkret untuk ―penemuan kembali‖ sesuatu yang hilang tersebut. Langkahlangkah konkret tersebut diawali dengan diterbitkannya sebuah buku berjudul Sekedar Petunjuk untuk Dapat Berbicara Bahasa Osing hasil karya Abdurahman (1974). Kemudian terbit buku Selayang Pandang Blambangan
101
karangan Sutrisno, dkk. (1976). Dalam buku ini dicantumkan data historis dan etnografis yang bertujuan untuk mendukung pencapaian kejayaan daerah Blambangan. (3) Periode awal 1991 sampai pengajaran BU di sekolah (1997) Periode ini diawali dengan langkah konkret untuk menunjang citra BU sebagai bahasa dewasa dengan diterbitkannya pedoman ejaan BU (1991) yang disusun oleh Hasan Ali. Selain itu, untuk menunjang usaha ini dia juga mempresentasikan
makalah mengenai bahasa dan sastra Using pada
Sarasehan Bahasa Jawa I pada tahun 1991di Semarang yang bertujuan untuk memancing para ahli BJ berdiskusi sehingga terbuka jalan ke arah pengajaran BU sebagai muatan lokal. Pada Kongres Bahasa Jawa II tahun 1996 di Batu Malang, Hasan Ali mengambil langkah radikal yang pada akhirnya dapat meyakinkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan juga Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur bahwa BU dapat disejajarkan dengan bahasa-bahasa daerah lain, seperti Bahasa Bali, Bahasa Jawa, dan Bahasa Sunda sehingga BU dapat diajarkan sebagai muatan lokal. Puncak dari periode ini ditandai dengan dikeluarkannya rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur dan DPRD Kabupaten Banyuwangi bahwa BU boleh diajarkan pada pendidikan dasar. Hal ini diperkuat oleh turunnya izin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
102
tahun
1977
tentang
pengajaran
BU
di
sekolah-sekolah
khususnya
pendididikan dasar. (4) Periode terbitnya buku tata bahasa (1997) sampai kamus Using (2002) Perjuangan untuk memperoleh bukti bahwa BU merupakan bahasa yang mandiri secara geneologis dan kemufakatan para budayawan Banyuwangi telah mebuahkan hasil dan Hasan Ali (motor perjuangan) melanjutkan usaha pendeskripsian dan pembakuan BU dengan diterbitkannya Tata Bahasa Baku Bahasa Using Jilid I yang membahas fonologi, sedangkan buku yang berkaitan denga morfologi dan sintaksis BU belum terbit. Di samping buku tentang fonologi BU, Hasan Ali sejak tahun 1980 menyusun kamus namun baru bisa terbit 2002 dengan judul Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. (5) Periode sejak 2002 sampai 2009 Masa ini dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi yang ditandai dengan dicetak ulangnya buku pelajaran dan kamus BU dan juga terbitnya majalah berbahasa Using yang berisi puisi-puisi, cerpen-cerpen, budaya dan sejarah. Namun, di tengah-tengah konsolidasi timbul kecaman dari berbagai pihak terutama menyangkut apa yang disebut dengan ―Usingisasi‖ Kabupaten Banyuwangi yang sebenarnya dihuni oleh berbagai etnis dengan berbagai bahasa. Pengajaran BU sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah diprotes di beberapa kecamatan yang mayoritas penduduknya bukan penutur BU. Di samping itu, timbul perdebatan tentang status kebahasaan BU karena ada yang
103
tidak menyukai sebutan ‗Bahasa Using‘ karena dianggap berasal dari pendatang di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan berkonotasi negatif (Moriyama dan Budiman, ed., 2010: 231—232). Mencemati uraian tentang tahapan-tahapan yang dilalui BU selama kurang lebih empat dasawarsa, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini status kebahasaan BU adalah sebuah bahasa daerah di nusantara yang keberadaannya diakui secara sah oleh pemerintah karena belum ada Surat Keputusan Pemerintah yang mencabut surat keputusan sebelumnya yang melegalisasi status kebahasaan BU. Dengan demikian, dalam kajian ini yang dimaksud BU adalah bahasa daerah yang dipakai oleh sekelompok masyarakat yang berdomisili di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
104 BAB V KEBERAGAMAN LEKSIKON LINGKUNGAN ALAM BAHASA USING
5.1 Pengantar Sebelum sampai pada pembahasan keberagaman leksikon lingkungan alam BU, pada bagian ini terlebih dahulu ditampilkan pemabahasan tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU, dalam hal ini yang berkaitan dengan bahasan secara morfologis seperti terlihat pada bagian berikut.
5.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU terdiri dari atas empat wujud, yakni berwujud kata dasar, kata turunan, kata ulang, dan kata majemuk. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
5.2.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Dasar Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985: 45), sedangkan Chaer (2012: 159) menyebutkan bentuk dasar (base) sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberikan afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam proses reduplikasi , atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses pemajemukan. Bentuk dasar tersebut
104
105 berupa morfem tunggal tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (bdk. Katamba, 1993:45). Bentuk dasar yang dimaksud pada subbab ini adalah bentuk dasar yang berupa morfem dasar tunggal. Sebenarnya, untuk menyatakan bentuk dasar yang tunggal ada istilah bentuk asal. Istilah itu tidak digunakan karena bentuk asal dapat berupa morfem pangkal, sedangkan morfem pangkal yang sudah dijelaskan di atas
merupakan bentuk terikat. Tabel berikut adalah tentang leksikon
lingkungan alam BU yang berupa bentuk dasar. Tabel 5.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Dasar No.
Leksikon BU
Gloss dalam BI
1.
menir
2. 3.
lemi ledhebog
4. 5.
bagu welit
6.
singkek
7. 8.
penjalin semprul
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
bojog asu cekeker nyambit rengit nilem deleg logrog
17.
mekrog
beras kecil-kecil, hasil sampingan penyosohan beras kotoran buah jagung batang pisang yabg sudah ditebang daun muda pohon melinjo daun kelapa kering yang disusun untuk atap bangunan Alat pemikul terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang berbentuk segitiga pohon rotan irisan daun tembakau yang berasal dari daun tembakau empat daun terbawah, biasanya berbau apek Kera anjing kaki unggas atau burung biawak nyamuk ikan nila ikan gabus gugur berjatuhan (tentang bunga atau buah) mekar (tentang bunga)
Kategori lingkungan Biotik Abiotik +
Kategori kata N +
V
-
+ +
+ +
-
-
-
+ +
+ +
-
-
-
+
+
-
-
+
-
+ +
-
-
+ + + + + + -
+ -
+ + + + + + + -
+
-
-
-
-
+
-
-
Adj -
106 Berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan, leksikon lingkungan alam BU yang berupa bentuk dasar lebih banyak berkategori nomina. Dari 17 data yang tertera dalam tabel di atas, data (1--15), yakni menir ‗beras kecil-kecil, hasil sampingan dari penyosohan beras‘; lemi ‘kotoran buah jagung‘; gedhebog ‘batang pisang yang sudah ditebang‘; bagu ‗daun muda pogon melinjo‘; welit ‗daun pohon kelapa kering yang disusun untuk atap bangunan‘; singkek ‗alat pemikul terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang berbentuk segitiga‘; penjalin ‗pohon rotan‘; semprul ‗Irisan daun tembakau yang berasal dari daun tembakau empat daun terbawah, biasanya berbau apek‘; bojog ‗kera‘; asu ‗anjing‘; cekeker ‗kaki unggas atau burung‘; nyambit ‗biawak‘; rengit ‗nyamuk‘; nilem ‗ikan nila‘; dan deleg ‗ikan gabus‘ merupakan leksikon dengan kategori nomina. Sementara itu, data (16—17) , yaitu logrog ‗gugur berjatuhan (tentang bunga atau buah) dan mekrog ‗mekar (tentang bunga)‘ adalah leksikon berkategori verba. Bentuk-bentuk dasar tersebut tidak dapat dipecah lagi ke dalam bentuk yang lebih kecil. Jika bentuk-bentuk di atas dipecah maka masing-masing pecahannya tidak memiliki makna (lihat Kridalaksana, 1996:164, bdk. Katamba, 1993: 45).
5.2.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Turunan Pada umumnya, bahasa-bahasa yang termasuk rumpun Austronesia memiliki bentuk turunan berafiks, bentuk turunan kata ulang, dan bentuk turunan berupa kata majemuk (Kridalaksana, 1996). Berdasarkan data yang berhasil
107 dikumpulkan, leksikon lingkungan alam BU juga memiliki ketiga bentuk turunan tersebut. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
5.2.2.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Turunan Berafiks Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, leksikon lingkungan alam BU yang memiliki bentuk turunan berafiks lebih banyak ditemukan pada leksikon verba. Ada dua jenis bentuk turunan berafiks, yakni bentuk turunan berprefiks {-} dan bentuk turunan berimbuhan gabung {-/-i}. Uraian berikut adalah uraian tentang masing-masing bentuk turunan yang dimaksud. (1) Bentuk turunan berprefiks {-} Berdasarkan temuan di lapangan, leksikon verba lingkungan alam BU yang berwujud kata turunan berprefiks {-} cukup banyak ditemukan. Sejumlah leksikon yang tertera pada tabel berikut merupakan contoh leksikon lingkungan alam BU yang berkategori verba berwujud kata turunan dengan prefiks {-}. Akan tetapi, jikalau diperhatikan masing-masing data tampak mempunyai bentuk yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Data ( 18) mbebeng ‗menutup saluran air‗ berasal dari bentuk dasar bebeng; data (19) melar ‗membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering‘ berasal dari bentuk dasar pelar; data (20) negor ‗menebang (tentang pohon)‗ berasal dari bentuk dasar tegor; data (21) ndekung tanaman‘; data (22) nyacal
‗mencangkok
‗menggemburkan tanah sawah/ladang/pekarangan
dengan menggunakan cangkul bukan bajak‘ berasal dari bentuk dasar cacal; data
108 (23) nyebar ‗menebarkan sesuatu (tentang benih)‘ berasal dari bentuk dasar sebar; data (24) ngempet ‗menahan aliran air dengan menggunakan jerami atau benda lainnya‘ berasal dari bentuk dasar empet; data (25) ngurit ‗menyemai benih padi‘ berasal dari bentuk dasar urit; data (26) nggagas ‗mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah panen‘ berasal dari bentuk dasar gagas; data (27) ngokok ‗mengeluarkan suara oleh ayam betina sehabis bertelur‘ berasal dari bentuk dasar kokok: data (28) ngerimbas ‗‗membuang kulit pohon dan membentuk kayunya menjadi balok-balok kayu‘ berasal dari bentuk dasar rimbas; dan data (29) ngeludes ‗menggemburkan tanah yang dilalukan oleh binatang khususnya babi‘ berasal dari bentuk dasar ludes. Berdasarkan uraian data tersebut di atas, terlihat bahwa leksikon lingkungan alam dengan bentuk turunan berprefik {-) memiliki lima buah alomorf, yaitu alomorf [m-/, /n-/, /ň-/, /-/, dan /-/. Penggunaan masing-masing alomorf tersebut tergantung pada fonem awal bentuk dasarnya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa penggunaan masing-masing alomorf tersebut tergantung pada fonem awal bentuk dasarnya yang memiliki daerah artikulasi mirip dengan masing-masing alomorfnya.
109 Tabel 5.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Turunan Berafiks {-} No. 18. 19.
Leksikon BU mbebeng melar
20. 21. 22.
negor ndekung nyacal
23. 24.
nyebar ngempet
25. 26.
ngurit nggagas
27.
ngokok
28.
ngerimbas ngeludes
29.
Gloss dalam BI menutup saluran air membajak sawah atau kebun dalam keadaan kering menebang (tentang pohon) ‗mencangkok tanaman menggemburkan tanah sawah atau ladang atau pekarangan dengan menggunakan cangkul bukan bajak menebarkan benih padi atau palawija menahan aliran air dengan menggunakan jerami atau benda lainnya menyemai benih padi ‗mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah panen mengeluarkan suara oleh ayam betina sehabis bertelur membuang kulit pohon dan membentuk kayunya menjadi balok-balok kayu menggemburkan tanah yang dilalukan oleh binatang khususnya babi-
Bentuk Dasar bebeng Pelar
Kategori Kata N V Adj + + -
Tegor dekung Cacal
-
+ + +
-
Sebar Empet
-
+ +
-
Urit
-
+ +
-
kokok ‗suara ayam betina‘ Rimbas
-
+
-
-
+
-
ludes
-
+
-
Jikalau dat-data pada tabel diperhatikan, terlihat bahwa data (18-19), yakni mbebeng ‗menutup saluran air‘ dan melar ‗membajak lahan sawah atau kebun dalam keadaan kering‘ bentuk dasarnya diawali oleh fonem /b, p/, sehingga alomorf yang digunakan adalah /m-/. Perlu dijelaskan bahwa prefiks {- } apabila bergabung dengan bentuk dasar yang diawali fonem
/b/ maka alomorfnya
dilekatkan langsung pada awal bentuk dasar, sedangkan apabila bentuk dasarnya berawal dengan /p/ maka fonem /p/ nya akan luluh diganti dengan alomorf /m- /. Contoh lain dari data sejenis adalah mbalong ‗menggenangi petakanpetakan sawah dengan air yang cukup dalam sambil menunggu waktu tanam‗ bentuk dasarnya adalah balong ‗kolam/palung‘; mberubuk
‗membuat tanah
110 menjadi gembur‗ dengan bentuk dasar berubuk; mbeseh ‗menyayat kulit pohon‘ yang bentuk dasarnya adalah beseh; medhok ‗bertempat tinggal sementara di area sawah atau kebun selama musim panen‗ yang berbentuk dasar pedhok; majeg ‗menaruh cairan aren (bahan gula) pada cetakan yang terbuat dari gelang bambu atau daun lontar‗ yang bentuk dasarnya adalah pajeg; pintal ‗memintal kapas untuk dijadikan benang‘ yang memiliki bentuk dasar pintal; mepe ‗menjemur sesuatu (bahan kopra atau ikan hasil tangkapan nelayan)
dengan cara
menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik‘ dengan bentuk dasar pepe; dan matun ‗membersihkan gulma di sela-sela tanaman padi‘ yang bentuk dasarnya patun. Jikalau data-data di atas dicermati, tampak bahwa sebagian besar bentuk dasar dari bentuk turunan berafiks {-} berasal dari morfem pradasar atau praketgorial (lihat Verhaar, 2012: 99) karena bentuk-bentuk dasar tersebut tidak bisa berdiri sendiri untuk memunculkan makna kecuali melalui proses pengimbuhan (afiksasi). Selanjutnya, apabila prefiks {-} bergabung dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /t,d/ maka digunakan alomorf /n-/. Hal itu tampak pada data (21--22). Data (21) menunjukkan bahwa prefiks {-} apabila bergabung dengan bentuk dasar yang diawali dengan fonem /t/, maka fonem /t/ akan luluh, sedangkan apabila bergabung dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /d/ maka alomorfnya langsung dilekatkan pada bentuk dasar, seperti tampak pada data (8). Contoh lain dari proses serupa, yakni nanceb ‗menanam pagar hidup untuk kebun atau pekarangan‗ dengan bentuk dasar tanceb; notor ‗memotong ranting atau dahan pohon‗ yang bentuk dasarnya adalah totor; neba ‗hinggap
111 secara bersamaan yang dilakukan oleh kawanan burung di atas tanah atau dahan pohon‗ dengan bentuk dasar teba; dan nderes ‘menyadap tuak atau nira dari pohon enau‘ yang berbentuk dasar deres. Sementara itu, alomorf /ň-/ digunakan apabila alomorf tersebut bergabung dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /c, s/. Hal itu tampak pada uraian data (23—24), di samping digunakan alomorf /ň-/ juga terjadi peluluhan fonem awal /c,s / dari bentuk dasarnya. Contoh lain dari proses ini ditemukan pada leksikon verba, yaitu nyumbat ‗menguliti kelapa dengan menggunakan sumbat‘ dengan bentuk dasar sumbat ‗peralatan yang terbuat dari besi yang berujung tajam yang digunakan untuk menguliti serabut kelapa‘; nyeruh ‗memutihkan beras dengan cara menumbuknya kembali‘ bentuk dasarnya seruh; nyelisir ‗berjalan menelusuri bibir pantai atau sungai‘ yang bentuk dasarnya selisir; nyuluh ‗mencari ikan atau burung pada malam hari dengan menggunakan obor pada malam hari‘ dengan bentuk dasar suluh ‗obor‘, nyeker ‗mengais-ngais tanah dengan menggunakan kaki yang dilakukan oleh ayam untuk mendapatkan makanan‘ yang bentuk dasarnya adalah ceker ‗kaki ayam atau unggas lainnya‘; nyangrab ‗membersihkan pohon dari ranting-rantingnya‘ dengan bentuk dasarnya cangkrab; dan nyenggot ‗mengambil air dari sumur dengan menggunakan senggotan ‗timba yang dianggkat dengan galah‘ bentuk dasarnya adalah senggot ‗tangkai/tongkat‘. Selanjutnya, alomorf yang keempat, yaitu /-/, digunakan pada bentuk dasar yang diawali oleh fonem vokal /e,u/; konsonan /g, k/. Hal itu tampak pada uraian data (25—26). Penggunaan alomorf /-/ disertai dengan peluluhan fonem
112 awal bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /k/, sedangkan bentuk dasar yang diawali oleh fonem vokal dan konsonan /g/ langsung dilekati. Contoh lainnya adalah nguter ‗memindahkan bibit dari tempat persemaian ke tempat penanaman permanen‘ dengan bentuk dasar uter; ngunduh ‗memetik sesuatu (tentang buah atau bunga)‘ yang bentuk dasarnya adalah unduh; dan nggebros ‗memanen atau mengetam padi‘ dengan bentuk dasar gebros; nggejig ‗membuat lubang pada tanah untuk menanam benih‘ dengan bentuk dasarn gejig; nggulud ‗meninggikan tanah sawah atau kebun/membuat gundukan‘ yang berbentuk dasar gulud; dan ngguyang ‗mandi di dalam air atau lumpur yang dilakukan oleh ternak‘ dengan bentuk dasarnya guyang. Alomorf yang terakhir, yaitu /-/, digunakan apabila melekat dengan bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /r, l/. Hal itu tampak pada uraian data (28--29). Untuk penggunaan alomorf ini tidak ada perubahan bentuk. Alomorf langsung dilekatkan pada bentuk dasar. Contoh lain dari proses serupa dapat dilihat pada bentuk-bentuk, seperti ngeregeb ‗berendam di kubangan lumpur yang dilakukan
oleh
kerbau‘
dengan
bentuk
dasar
regeb;
dan
ngeludes
‗menggemburkan tanah dengan menggunakan moncongnya yang dilakukan oleh babi/babi hutan‘ yang bentuk dasarnya adalah ludes. Perlu diketahui bahwa penggunaan alomorf /-/ diangkat sebagai setatus morfem, yaitu morfem {-}, karena morfem ini memiliki distribusi paling banyak jikakalau dibandingkan dengan alomorf-alomorf lainnya. (2) Bentuk turunan berwujud imbuhan gabung {-/-i}
113 Berdasarkan analisis data leksikon lingkungan alam BU yang berupa bentuk turunan dengan imbuhan gabung ditemukan hanya satu jenis, yaitu yang berimbuhan gabung {-/-i} dengan jumlah yang tidak begitu banyak, seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 5.3 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Kata Turunan Berwujud Imbuhan Gabung {N-/-i} No. 30.
Leksikon BU nambaki
31.
macaki
32. 33.
ngileni ngeremponi
34.
nggepluki
35.
ngonceti
Gloss dalam BI
Bentuk Dasar
menahan aliran air ke petak sawah berikutnya‘ mengupas serabut kelapa dengan menggunakan kapak mengairi sawah meratakan tanah sawah sebelum ditanmi memebelah buah kelapa dengan menggunakan kapak menguliti sesuatu (tentang buah)
tambak ‗pematang atau tanggul‘ Pacak
Kategori Kata N V Adj + -
+
-
ilen-ilen ‗aliran air‘ rempon ‗perataan tanah Gepluk
-
+ +
-
-
+
-
Oncet
-
+
-
Data (30--35) adalah contoh data yang menunjukkan adanya penggunaan imbuhan gabung berupa prefiks {-} dan sufiks {-i}. Realisasi penggunaan alomorf-alomorfnya sesuai dengan prefiks {-}
pada uraian (a), yakni
penggunaan alomorf /-/ disertai dengan peluluhan fonem awal bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /p, t, g/ seperti terlihat pada kata-kata turunan macaki ‗mengupas serabut kelapa dengan menggunakan kapak‘ dengan bentuk dasar pacak‘; nambaki ‗menahan aliran air ke petak sawah /-/berikutnya‘ dengan bentuk dasar tambak‘; dan nggepluki ‗mengupas serabut kelapa dengan menggunakan kapak‘ dengan bentuk dasar gepluk. Sementara itu, alomorf digunakan apabila melekat dengan bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /r/ seperti terlihat pada kata turunan ngeremponi ‗meratakan tanah sawah sebelum
114 ditanami‘ dengan bentuk dasar rempon. Hal itu tampak pada uraian data (33). Untuk penggunaan alomorf ini tidak ada perubahan bentuk. Alomorf langsung dilekatkan pada bentuk dasar. Selanjutnya, untuk kata dasar yang diawali dengan fonem vokal (i,o), prefiks {-} langsung melekat pada bentuk dasar, seperti terlihat pada kata turunan ngileni ‗mengairi sawah‘ dengan bentuk dasar ilen dan ngonceti ‗menguliti sesuatu (tentang buah)‘ dengan bentuk dasar oncet. Untuk semua contoh di atas sufiks {-i} dilekatkan langsung di akhir kata tanpa ada perubahan. 5.2.2.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Ulang Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu bentuk turunan dari leksikon lingkungan alam BU adalah reduplikasi (pengulangan). Reduplikasi adalah proses pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya atau sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, serta hasil pengulangannya disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar (lihat Kridalaksana 1996: 93—103 dan bdk Verhaar, 2012: 152--153). Berdasarkan data yang terkumpul, leksikon lingkungan alam BU yang berbentuk kata ulang ditemukan hanya empat buah, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 5.4 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Ulang No. 36. 37. 38.
Leksikon BU giblasgiblas keblakkeblak ason-ason
Gloss dalam BI mengepak-ngepakkan sayap yang dilakukan oleh unggas agar kering mengepak-ngepakkan sayap sambil berkokok yang dil akukan oleh ayam jantan berburu binatang dengan menggunakan anjing
Bentuk Dasar giblas
Kategori Kata N V Adj + -
keblak
-
+
-
ason
-
+
-
115 39.
angkutangkut
40.
ucenguceng iles-iles ngamparampar urangaring kolangkaling lunglungan
41. 42. 43. 44. 45.
sejenis serangga yang sarangnya terbuat dari tanah yang biasanya menempel pada dinding atau langitlangit bangunan seolah-olah tersangkut sejenis ikan air tawar yang hidup di sungai
angkut
+
-
-
uceng
+
-
-
Iles-iles Menyambar-nyambar (tentang petir atau kilat)
iles ampar
+ -
+
-
urang-aring, jenis tumbuhan yang daunnya untuk penyubur rambut buah pohon enau
urang
+
-
-
kolang
+
-
-
leng-lengan, sejenis timbuhan untuk obat diare
lung
+
-
-
Kalau diperhatikan data (36--41), keenam data tersebut merupakan kata ulang penuh karena yang diulang adalah bentuk dasarnya secara utuh. Data (36) giblasgiblas berasal dari bentuk dasar giblas, data (37) keblak-keblak
berasal dari
bentuk dasar keblak; sedangkan data (41—42) merupakan kata ulang yang dihasilkan dengan mengulang bentuk dasar, tetapi terjadi perubahan fonem pada bentuk ulangnya. Data (40) ngampar-ampar berasal dari bentuk dasar ampar mengalami pengulangan yang disertai penambahan prefiks {-} pada bentuk ulangnya, sedangkan data (38) ason-ason merupakan kata ulang yang dihasilkan dari bentuk asu ‗anjing‘ yang direduplikasi yang disertai sufiks {-an}. Pada bentuk ini terjadi proses morfofonemik berupa perubahan fonem, yaitu fonem /u/, sebagai akhir kata bergabung dengan akhiran yang diawali fonem /a/ berubah menjadi fonem /o/.
5.2.2.3 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Majemuk. Menurut Verhaar (2012: 154) kata majemuk (compound) adalah kata yang dihasilkan melalui proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar atau
116 (pradasar) sebagai komponen pembentuknya (lihat Ramlan, 1993: 78—79 dan bdk. Katamba, 1993:54). Sebuah kata majemuk dibentuk oleh komponen inti (head) dan pewatas (modifier). Komponen mana yang menjadi inti tergantung artinya (Verhaar, 2012: 155). Berdasarkan temuan di lapangan, leksikon lingkungan alam BU yang berbentuk turunan yang berwujud kata majemuk lebih banyak berpola
N-N dan N-Adj, hanya dua data ditemukan masing-masing
berpola N-Num dan V-N. Data tersebut disajikan dalam tabel berikut. Tabel 5.5 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Berwujud Kata Majemuk No
Leksikon majemuk BU
46.
jeruk sambel
47.
poh madu
48.
bango kebo
49.
ketan cemeng duren abang gedhang sewu
50. 51. 52.
tapak liman
53.
smbung nyawa
54.
pecah beling
Gloss dalam BI
Jenis jeruk yang dipakai campuran sambal ulek agar rasanya mantap Jenis mangga yang rasanya manis seperti madu Jenis burung bangau yang mencari kutu untuk dimakan di punggung kerbau Ketan hitam Jenis durian yang daging buahnya berwarna merah Jenis pisang yang satu tandannya berisi banyak buah seolah-olah jumlahnya seribu Jenis tanaman obat yang batangnya tumbuh menempel di permukaan tanah dan helaian daunnya menyebar seperti jarijari manusia yang berjumlah lima Jenis tumbuhan obat untuk orang sakit keras agar nyawanya tersambung kembali Bunga pecah seribu
Unsur Pembentuk Inti LeksiKatekon gori jeruk N
Pewatas LeksKatekon gori sambel N
poh
N
madu
bango
N
ketan
Kategori Kata N V Adj +
-
-
N
+
-
-
kebo
N
+
-
-
N
cemeng
Adj
+
-
-
duren
N
abang
Adj
+
-
-
gedhang
N
sewu
Num
+
-
-
tapak
N
lima (n)
Num
+
-
-
sambung
V
nyawa
N
+
-
-
pecah
V
beling
N
+
-
-
Data (46--48) dibentuk oleh kategori N-N, yaitu data (46) yang oleh jeruk sambel. Begitu juga data (47) yang dibentuk oleh poh dan madu dan data (48)
117 dibentuk oleh bango dan kebo. Keenam kata yang membentuk tiga kata majemuk di atas termasuk kategori nomina karena secara sintaktik kategori nomina dapat menduduki fungsi subjek atau objek pada tataran klausa dan kalimat. Contoh kata majemuk lain yang berpola
N-N
adalah gedhang raja ‗pisang raja‘ yang
dibentuk oleh leksikon gedhang dan raja; kara pedhang ‗sejenis kacang kara yang bentuk buahnya melengkung menyerupai pedang‘ dibentuk oleh leksikon kara dan pedhang; jamur menur ‗sejenis jamur/cendawan yang bentuk dan warnanya seperti bunga melati, putih dan kecil-kecil‘ dibentuk oleh leksikon jamur dan menur; wedhus kendit ‘jenis kambing yang memiliki lingkaran putih di bagian pinggangnya sehingga menyerupai kendit ‘sabuk‘ dibentuk oleh leksikon wedhus dan kendhit. Sementara itu, data (49—50) dibentuk oleh kategori N-Adj, yakni data (49) ketan cemeng yang dibentuk oleh leksikon ketan dan cemeng dan data (50) duren abang dibentuk oleh leksikon duren dan abang. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu bentuk termasuk kategori Adj adalah dengan cara melihat bentuk itu dalam konstruksi yang lebih tinggi. Untuk kategori Adj dapat dilihat pada tataran frasa, yaitu biasanya dapat dijelaskan dengan kata sangat dan sekali (bahasa Indonesia). Contoh lain dari leksikon lingkungan alam BU yang berwujud leksikon majemuk dengan pola N-Adj adalah kacang ijo ‗kacang hijau‘ yang dibentuk oleh
kacang dan ijo; bawang abang ‗bawang merah‘ yang
dibentuk oleh bawang dan abang; dan lempuyang wangi ‗lempuyang wangi‘ yang dibentuk oleh lempuyang dan wangi. Sementara itu, berdasarkan temuan di lapangan leksikon lingkungan alam BU yang berupa kata majemuk dengan pola N-Num ditemukan hanya dua, yakni data (51—52). Data (51) gedhang sewu
118 dibentuk oleh gedhang yang berkategori nomina dan sewu berkategori numeralia dan leksikon pada data (52) tapak liman yang dibentuk oleh tapak dan lima(n). Selanjutmya, leksikon yang berpola V-N ditemukan pada data (53) sambung nyawa yang dibentuk oleh sambung (morfem pradasar) yang berkategori verba dan nyawa yang berkategori nomina dan data (54) pecah beling yang dibentuk oleh inti pecah yang berkategori verba dan beling yang berkategori nomina.
5.3 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Keberagaman
leksikon
lingkungan
alam
BU
tergantung pada
kompleksitas sumber daya lingkungan tempat bahasa ini digunakan. Kategori dan jumlah leksikon BU mencerminkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan keterampilan teknologi tradisional GTBU dalam memanfaatkan dan mengolah sumber daya lingkungan melalui proses leksikalisasi dan kulturalisasi (pembudidayaan dan pembudayaan ) yang mereka lakukan, di samping karena kedalaman dan kebermaknaan interaksi
dan interpendensi GTBU dengan
lingkungannya, serta potensi dan karakteristik ecoregion area ini ( lihat SkutnabbKangas & Phillipson, 2001). Pembahasan keberagaman leksikon lingkungan alam BU pada bagian ini dianalisis berdasarkan hal-hal, seperti (1) keberagaman berdasarkan kategori katannya; (2) keberagaman cara penamaan entitas acuannya;
dan (3) dan
keberagaman berdasarkan relasi makna antara leksikon. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
119 5.3.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berdasarkan Kategori Katanya Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa leksikon lingkungan alam BU yang dikaji pada penelitian ini hanyalah leksikon yang berkategori nomina dan verba saja karena berdasarkan temuan di lapangan leksikon-leksikon pada kedua kategori tersebut paling banyak ditemukan, seperti lazimnya fenomena yang terjadi pada banyak bahasa di dunia. Keberagaman leksikon lingkungan alam berdasarkan ketegori katanya dapat dilihat pada urain berikut.
5.3.1.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berkategori Nomina Lingkungan tempat tinggal GTBU, baik di daerah dataran tinggi maupun di daerah dataran rendah merupakan wilayah yang sangat subur karena faktor topografis dan kondisi geografisnya. Secara biologis, hal ini sangat menentukan keberagaman flora dan fauna yang hidup di wilayah ini dengan tingkat populasi, kekuatan, serta persaingan hidup yang berbeda-beda. Ada beberapa jenis flora dan fauna yang memiliki nilai sosial ekonomi yang penting dalam kehidupan GTBU sehingga jenis-jenis flora dan fauna ini dipelihara dan dibudiyakan oleh GTBU. Fenomena ini menyebabkan
adanya
interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara entitas-entitas yang ada dan GTBU khususnya. Mereka mengodekan semua entitas-entitas tersebut secara lingual sehingga terciptalah keberagaman leksikon-leksikon nomina kealaman BU, baik tentang flora maupun fauna. Uraian berikut adalah tentang
120 keberagaman leksikon kealaman BU terkait dengan leksikon flora dan fauna beserta kelompok-kelompoknya. 1) Keberagaman leksikon flora bahasa Using Eksistensi beberapa jenis tanaman di suatu ecoregion tidak terlepas dari adanya faktor biologis, sosiologis, dan ideologis. Secara biologis, beberapa tanaman ini dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan
baik karena tanah yang
subur, iklim yang sesuai, dan juga karena keberadaan tanaman lain di ecoregion tersebut.
Interdipendensi
tersebut menyebabkan adanya
sebuah masyarakat terhadap tanaman-tanaman kedalaman (intensitas) interaksi dan interelasi
mereka dengan entitas tersebut sehingga masyarakat juga mengenal secara detail entitas yang diakrabi dan dikenalnya. Karena adanya interpedensi, interelasi , dan interaksi
mereka dengan tanaman-tanaman tersebut, melalui ideologi yang
mereka miliki, suatu guyub tutur memberi nama, membudidayakan, dan mengadakan penelitian-penelitian baru untuk menemukan jenis-jenis entitas baru untuk beberapa jenis tanaman untuk mendapatkan jenis yang lebih unggul yang semuanya dikodekan dalam bentuk leksikon. Pada bagian ini dipaparkan keberagaman leksikon flora kealaman BU yang dikelompokan berdasarkan kebermanfaatannya pada kehidupan manusia umumnya dan GTBU khususnya. Pengelompokkan menjadi kelompok leksikon yang secara semantik merujuk pada tanaman bahan pangan, buah-buahan, sayursayuran, obat/bumbu, bunga, kelapa, bambu, dan tanaman lainnya. Di samping leksikon-leksikon utama suatu entitas,
pada beberapa tabel juga dipaparkan
beberapa leksikon yang mengacu pada bagian-bagian entitas tersebut seperti
121 yang ditemukan pada kelompok leksikon kelapa
‘kelapa‘, jajang
‘bambu‘,
gedhang ‘pisang‘, dan sebagainya. Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok leksikon yang dimaksud. (1) Keberagaman leksikon tanaman bahan pangan bahasa Using Leksikon bahan pangan dalam kajian ini terdiri atas beberapa kelompok, seperti kelompok leksikon padi dan jenisnya, bagian-bagian tanaman padi, sesuatu yang terkait dengan padi, tanaman jagung dan bagian-bagiannya, serta tanaman bahan pangan lainnya. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa GTBU adalah masyarakat agraris. Seperti masyarakat agraris di wilayah Indonesia lainnya, pari ‘padi‘, jagung ‗jagung‘ dan puhung ‘ketela pohon‘ merupakan hasil utama dari lahan pertanian mereka. Ketiga jenis entitas ini tumbuh subur di wilayah ini karena letak geografis, kondisi topografis dan iklim yang sangat sesuai. Secara sosiologis, pari dan jagung merupakan bahan makanan pokok
dan memegang peran sangat penting dalam kehidupan GTBU
yang
dikenal sejak zaman dahulu. Di samping itu, pari ‗padi‘ (dalam bentuk beras) khususnya juga merupakan tanda persaudaraan terutama pada saat Hari Raya Idul Fitri
dan
pada sebuah keluarga mengadakan hajatan. Sebagai tanda
persaudaraan pada Hari Raya Idul Fitri maksudnya bagi setiap GTBU yang masih ada hubungan darah, mereka biasanya saling bersilaturahmi dan saling bertukar bahan kebutuhan pokok dan salah satu jenisnya dan bahkan yang utama adalah beras. Sementara itu, sebagai tanda persaudaraan
pada saat sebuah
keluaraga mengadakan hajatan maksudnya setiap keluarga GTBU biasanya menyumbang paling sedikit 2 kilogram beras untuk keluarga yang mengadakan
122 hajatan (dan jumlahnya semakin besar apabila mereka masih ada hubungan darah). Di samping pari dan jagung, GTBU yang tinggal di daerah pegunungan juga mengenal beberapa jenis umbian-umbian yang dapat dijadikan sebagai sebagai pengganti beras dan jagung, seperti puhung ‘ketela pohon‘, sabrang ‘ubi jalar‘, kentang jembut ‘kentang jawa (berukuran kecil dan berambut)‘, gadhung ‘gadung (tanaman melilit, berduri, dan berumbi serta sagunya mengandung racun‘), ganyong ‘tanaman berumbi yang bunganya menyerupai bunga kana, umbinya direbus dan dapat dimakan‘ dan sebagainya.
Pada musim-musim
tertentu semua entitas ini tumbuh subur di lingkungan tempat tinggal GTBU, khususnya di wilayah Kecamatan Glagah yang topografisnya terdiri atas lahan perkebunan dengan kemiringan hampir mencapai 450.
Karena adanya
interdependensi, interaksi, dan interelasi yang tinggi terhadap keberagaman entitas di lingkungan alam sekitar mereka, semua pengetahuan (kompetensi) yang luas dan dalam terhadap sumber daya alam lingkungannya terekam dalam memori GTBU dalam wujud satuan-satuan lingual berupa leksikon-leksikon yang mereka wariskan, baik secara lisan maupun tulisan kepada generasi berikutnya. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon bahan pangan BU. Tabel 5.6 Keberagaman Leksikon Tanaman Bahan Pangan Bahasa Using Leksikon BU
Padi dan jenisnya pari pari singgang
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
padi tunas padi yang tumbuh dari batang padi yang telah dipotong
Oryza sativa
Kategori lingkungan Bioti Abiotik k + +
-
123 pari sogel pari unthup pari gaga pari genjah harum sambulan ketan cemeng ketan putih winih Bagian- bagian tanaman padi menir elas dami merang sekem belubon tugih Sesuatu terkait dengan padi rantap palawija tumpang sari
Tanaman jagung dan bagianbagiannya jagung janggel kelobot lemi tebon Bahan pangan lain kentang sabrang gadhung
jenis padi yang cepat berbuah jenis padi yang bulirnya tidak bermiang jenis padi yang ditanam di lahan tadah hujan jenis padi yang berasnya pulen dan berbau harum jenis padi lain yang tumbuh di sela-sela padi utama ketan hitam ketan (putih)
+ + +
-
+
-
+
-
+ +
-
benih (padi)
+
-
beras kecil-kecil hasil sampingan dari menumbuk atau menyosoh beras bulir padi jerami tangkai buah padi yang dikeringkan sekam, kulit padi/abah setelah padi disosoh/ ditumbuk padi yang baru dipotong, belum kering dan sudah diikat-ikat (pada jaman dulu padi ini di jemur di sawah atau di pinggir jalan) bulu padi/ rambut yang terdapat pada ujung biji padi-padian
-
+
-
+ + + +
-
+
-
+
penyakit pada daun padi muda tanaman (kebanyakan dari jenis kacangkacangan) yang ditanam di sawah pengganti tanaman padi tanaman yang ditanam di sela-sela tanaman utama ( kacang panjang/kecipir yang ditanam di pematang sawah setelah musim tanam)
+ +
-
+
-
+ -
+ +
-
+ +
+
-
+
-
+
-
jagung tongkol buah jagung kulit buah jagung yang sudah dikeringkan dipakai pembukus rokok kotoran buah jagung batang pohon jagung kentang jawa (ukuran kecil-kecil dan ada rambutnya) ubi jalar gadung (tanaman melilit dan berduri dengan umbi dan sagunya mengandung
Zea mays
Ipomoea batatas Dioscorea hispida
124
arus ganyong kajar suweg
racun) tumbuhan yang umbinya dapat dibuat tepung tanaman umbi yang batangnya menyerupai batang bunga kana, umbinya dapat direbus dan dimakan birah putih tanaman yang umbinya dapat direbus dan dimakan dengan daun seperti bunga bangkai ketela pohon
puhung
+
-
Canna edulis
+
-
Remusa-tia vivapara Amorpho-palu Campanulatus
+
-
+
-
+
-
Di samping beberapa leksikon generik dan spesifik dari beberapa entitas, GTBU juga mengenal leksikon khusus yang mengacu pada bagian-bagian dari entitas pari dan jagung, yang merupakan bukti lain dari interaksi dan interdipendensi mereka dengan entitas-entitas tersebut. Fenomena ini dapat berbeda dengan di wilayah lain, baik sesama lingkungan tempat tinggal GTBU maupun di luar wilayah tersebut, yang memiliki kondisi topografis dan letak geogafris, serta sumber daya alam yang berbeda. (2) Keberagaman leksikon tanaman buah-buahan bahasa Using. Topografi suatu wilayah tidak saja menentukan namun juga
berpengaruh pada ragam vegetasi
(Poerwanto, 2008),
bentuk permukaan,
yang tumbuh di atasnya
di samping cuaca, curah hujan, dan iklim. Kabupaten
Banyuwangi umumnya dan daerah tempat tinggal GTBU khususnya adalah sebuah wilayah yang terdiri dari wilayah dataran rendah dan
dataran tinggi
dengan kemiringan hampir mencapai 400 disertai curah hujan yang
tinggi
merupakan wilayah yang sangat cocok tempat untuk berbagai jenis buah tropis (Banyuwangi dalam Angka, 2010:138-140). Dengan karakteristik ecoregion di atas, beragam jenis buah-buahan tumbuh subur di daerah ini, utamanya jenis poh/epoh ‘mangga‘ (mangifera indica) dan gedhang ’pisang‘. Ada kurang lebih
125 sebelas jenis poh ‘mangga‘ ditemukan
tumbuh di lingkungan tempat tinggal
GTBU dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. Tingkat interdependensi dan interaksi mereka terhadapnya juga berberda-beda, tergantung pada nilai ekonomis yang diembannya sehingga
ada beberapa jenis epoh/poh yang dibudidayakant,
seperti poh gadhung, poh manalagi, poh golek, dan poh madhu sedangkan jenis lainnya, seperti poh koweni, poh kopyor, dan poh kotak tumbuh liar di kebunkebun atau di pinggiran hutan. Di samping poh ‘mangga‘ (mangifera indica), tumbuhan gedhang ‘pisang‘ tumbuh dengan sangat subur di Kabupaten Banyuwangi umumnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya. Fenomena ini membuat Kabupaten dan Kota Banyuwangi menjadi sangat terkenal sehingga dijuluki kota ―pisang‖. Julukan ini tidak berlebihan karena ada kurang lebih sembilan belas jenis pisang yang tumbuh di lingkungan ini
dengan tingkat populasi yang berbeda-beda
tergantung pada manfaatnya pada perekonomian masyarakat. Entitas dengan nilai ekonomis tinggi cenderung populasinya banyak karena guyub tutur membudidayakannya di lingkungan yang tepat. Di antara jenis pisang ditemukan di wilayah ini yang populasinya cukup banyak adalah gedhang keluthuk, gedhang kethip, gedhang susu/selakat, gedhang raja, dan gedhang saba. Di samping karena bernilai ekonomis tinggi, entitas gedhang-gedhang di atas, tumbuh subur dan gampang berbuah serta buahnya banyak sehingga interaksi, interelasi, interdependensi GTBU terhadaonya sangat tinggi, sedangkan terhadap entitasentitas, seperti gedhang sewu, gedhang sempring, gedhang kidhang, gedhang keladi, gedhang welut, dan gedhang sri nyonyah populasinya sedikit karena tidak
126 dapat tumbuh di sembarang tempat, kurang bernilai ekonomi tinggi, serta jumlah buahnya tidak banyak kecuali gedhang sewu. Khusus untuk gedhang berlin dan gedhang lempeneng populasinya tidak begitu banyak, namun kedua jenis gedhang ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena diolah menjadi keripik pisang yang memiliki rasa yang lezat yang tidak ditemukan di daerah lainnya. Dikenalnya beragam jenis pisang, dinamainya bagian-bagian dari pohon pisang serta diciptakannya beberapa wadah/peralatan terbuat dari daun pisang merepresentasikan adanya interaksi, interdependensi,
pengetahuan,
dan
keakraban antara GTBU dan lingkungan yang ada entitas pisangnya sebagai sumber daya lingkungan tersebut. Tentu semua ini terekam dalam ranah kebahasaan mereka yang menghadirkan keberagaman leksikon tentang gedhang yang turut memperkaya khasanah leksikon kealaman BU yang mungkin sangat berbeda dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di nusantara ini. Tabel berikut menunjukkan keberagaman flora dari jenis buah-buahan yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang secara semantik refernsial (Verhaar: 2007, 318) diacu oleh leksikon masing-masing. Tabel 5.7 Keberagaman Leksikon Tanaman Buah-buahan Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
Mangga dan jenisnya poh
mangga
Mangifera indica
poh manalagi poh golek poh kuweni poh kates poh madu
mangga manalagi mangga golek mangga wani. mangga yang rasanya renyah seperti kates mengkal mangga madu
Kategori lingkungan Biotik Abiotik +
-
+ + + +
-
+
-
127 poh ganda
poh kenyut
poh kopyor poh kotak poh endhog poh kecik
ganda ‗lain rasa‘ yaitu jenis mangga yang waktu muda rasanya kecut, namun ketika sudah matang rasanya manis sekali mangga yang cara makannya dikenyut ‗dihisap‘ (tidak dikupas seperti lasimnya cara makan jenis mangga lainnya) mangga kopyor, jenis mangga yang daging buahnya tidak padat dan sedikit encer mangga yang buahnya berbentuk persegi empat (kotak) mangga yang buahnya berbentuk lonjong seperti telur kecik ‗tak bisa besar ‗ artinya mangga muda dan tua ukurannya hampir sama.
Jambu dan jenisnya jambu jambu mente
jambu jambu mente.
jambu keluthuk
jambu biji
jambu kelampok
jambu kelampok, jenis jambu yang tumbuhnya selalu berkelompok. jenis jambu yang biasanya ditanam di dekat teras rumah. (Lante = tikar yang terbuat dari anyaman rotan yang biasanya digelar di teras rumah untuk santai atau menerima tamu) jambu darsono, jambu yang berwarna merah keputihan jambu semarang
jambu lante
jambu darsono jambu semarang jambu wer Nangka dan bagianbagiannya nangka
Eugenia Anacardium occidentale Psidium guajava Jambosa alba
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ + + +
-
+
-
+ +
-
Syzygium aqueum
nangka
pucil babal tombol empik bethon Rambutan dan jenisnya rambutan
bakal buah nangka buah nangka muda buah nangka yang dipakai sayur kelopak buah nangka biji nangka
rambutan aceh rambutan rapiah rambutan lebak
rambutan aceh. rambutan rapiah. jenis rambutan yang rambutnya lebih
rambutan
Artocarpus integrifolia
Nepheliun lappoceum
128 bulus Duren dan jenisnya duren
pendek dari rambutan lainnya
duren putih
durian (putih)
duren abang
durian merah, yaitu jenis durian yang daging buahnya berwarna merah.
Jeruk dan jenisnya jeruk jeruk sambel
durian
jeruk manis
jeruk jeruk sambal, jeruk yang dipakai tambahan sambal sehingga rasanya menjadi lebih mantap jeruk purut, jeruk yang dapat dipakai untuk obat urut jeruk manis
jeruk limo
jeruk limau
jeruk kikit
jeruk dengan buah kecil-kecil dan rasanya masam sekali
jeruk purut
Delima dan jenisnya delima
delima
delima putih
delima putih
delima abang Pisang dan jenisnya gedhang
delima merah
gedhang sempring
gedhang ambon gedhang emas gedhang keladi gedhang ijo gedhang lempeneng gedhang keluthuk
pisang yang buahnya panjang dan lurus seperti pring ‘bambu‘ pisang agung. Jenis pisang dengan ukuran buah besar-besar dan satu tandan hanya terdiri dari beberapa sisir. pisang yang buahnya kecil-kecil dan harganya mahal (seperti berlian). pisang ambon pisang emas pisang keladi pisang hijau pisang lempeneng (pisang yang buahnya gepeng ‗pipih‘ pisang batu
gedhang sri nyonyah gedhang raja nangka
pisang kulitnya putih (agak pucat) seperti kulit perempuan Cina pisang raja yang rasanya seperti buah nangka
gedhang agung
gedhang berlin
pisang
Durio zibentinus Durio zibentinus Durio zibentinus
+
-
+
-
+
-
+ +
-
Citrus hystrix
+
-
Citrus aurantium Triphasia trifoliate Triphasia aurantiola
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ + + +
-
Citrus aurantifolia
Punica granatum Punica granatum
Musa paradisiacal
Musa branchycarpa
+
-
+
-
+
-
129 gedhang kapuk gedhang selakat(susu) gedhang sewu
gedhang welut gedhang raja gedhang saba Bagian-bagian dari pohon pisang gedhebog peret /serat papah kelaras ontong pupus tandan godhogan
Peralatan dari daun pisang samir pincuk suru takir
pisang kapuk pisang susu
+
-
pisang yang satu tandannya terdiri dari puluhan sisir dan satu sisir juga berisi puluhan biji buah yang jumlahnya seolah-olah berjumlah seribu. pisang belut (pisang yang tumbuh dengan baik di daerah yang berair) pisang raja pisang kapok
+
-
+
-
+ +
-
batang pisang yang sudah ditebang tali terbuat dari serat batang pisang pelepah pisang daun pisang kering bunga pisang pucuk daun pisang yang masih muda dan menggulung, berwarna hijau terang kelompok buah pisang yang terdiri dari beberapa sisir setandan pisang yang sudah matang beserta sebagian batangnya yang diletakkan di depan rumah orang punya hajatan/pernikahan
+ + + + + +
-
+
-
+
-
daun pisang yang dipotong sedemikian rupa untuk alas kue, tumpeng , dan sebagainya daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa digunakan sebagai alas sesuatu sendok terbuat dari sobekan daun pisang dengan cara dilipat. wadah terbuat dari lipatan daun pisang
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
Jenis buah lainnya manggis
manggis
wuni
buni
kedondong
kedondong
kentul
sentul (buah kecapi)
tai lampah
tumbuhan dengan buah menyerupai buah kayu bunut dan rasanya manis belimbing
belimbing manis
Garcinia Mangostana Antidesma bunisius Spondia Spinnata Sandronicum koetjape Averrhoa
130
langsat
langsat
duku
duku
cerème
crème
nanas
nenas
kates pace
papaya mengkudu
belewah belungking
belewah semangka
Di samping
carabola Lansium domesticum Lansium domesticum Euphorbiaceae Ananas comosus Carica papaya Morinda citrifolia Cucumis melo Citrulus vulgaris
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+ +
-
poh/epoh ‗mangga‘ dan gedhang ‗pisang‘, dan jambu
‗jambu‘ merupakan tanaman buah-buahan yang memiliki banyak jenis, baik yang dibudidayakan seperti jambu menthe, jambu lante, jambu dharsana,dan jambu semarang maupun yang tumbuh liar seperti jambu wer dan jambu kelampok. Sementara itu, jeruk ‗jeruk‘ yang juga memiliki beragam jenis, namun tidak sebanyak gedhang ‗pisang‘, tempat tinggal GTBU.
juga ditemukan banyak tumbuh di lingkungan
Salah satu jenis tanaman buah yang satu-satunya
ditemukan di salah satu desa (Desa Kemiren) di Kecamatan Glagah adalah duren abang ‗durian merah‘. Durian yang menurut pemiliknya sudah berumur lebih dari 200 tahun lebih dan tidak ditemukan di wilayah lainnya ini berbuah setahun sekali. Keberadaan duren abang ‗durian merah‘ di lingkunan tempat tinggal GTBU sudah barang tentu memperkaya sumber daya lingkungan dan khasanah leksikon kealaman BU yang membuatnya berbeda dengan bahasa daerah lain dari segi leksikon. (3) Keberagaman leksikon tanaman sayur-sayuran bahasa Using
131 Keberagaman
leksikon
merepresentasikan keberagaman
kealaman
BU
tentang
sayur
mayur
tanaman sayuran yang ada di sumber daya
lingkungan alam BU yang dilatari oleh tanah yang subur karena kesuburan sebuah wilayah dapat diprediksi dari
berbagai jenis sayur mayur yang
dihasilkannya. Tingkat pengetahuan, pemahaman, dan interaksi GTBU pun berbeda-beda terhadap masing-masing jenis karena perbedaan interpendensi. Keberagaman jenis sayuran disertai juga keberagaman pemanfaatannya. Seperti misalnya ada jenis sayuran yang dimanfaatkan bunganya (turi putih dan turi abang), buah/umbinya (semua jenis kara, labu, dan kacang, gambas, kelentang, terong, timun, dan sebagainya), dan daaunnya (beberapa jenis bayem, kangkung, gundha, kelor, genjer, dan sebagainya). Keberagaman pemanfaatan, cara pengolahan, dan penamaan terhadap entitas sayur-sayuran merepresentasikan
kedalaman pengetahuan tradisonal
(indegenius knowledge) dan interaksi GTBU dengan sumber daya lingkungan yang entitas sayur-sayurannya ada di dalamnya. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon sayur-sayuran dalam BU. Tabel 5.8 Keberagaman Leksikon Tanaman Sayur-sayuran Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
turi turi abang turi putih
turi turi yang bunganya berwarna merah dengan daun berwarna hijau keabu-abuan turi yang bunganya putih
Labu dan jenisnya labu labu abang
labu labu merah
Nama Latin
Sesbanea grandifora Sesbanea grandifora
Cucurbita
Kategori lingkungan Biotik Abioti k + + +
-
+ +
-
132
labu kuning labu putih
waluh bligo
labu siyem Kara dan jemisnya kara
manisa
kara benguk kara abang kara ijo kara putih kara komak kara pedang kara utek
jenis polong-polongan dengan batang merambat jenis kara yang baunya benguk ‗langu‘
kacang kacang tanah
kacang ijo
kacang hijau
kacang jangan kacang kapri kacang tunggak
kacang panjang kacang kapri kacang beras (kacang yang tingginya setinggi tunggak yaitu ranjau yang terbuat dari bilah bambu sebagai perangkap jenis kacang yang mengandung banyak minyak karena rasanya empuk seperti uson ‗limpa‘ sapi.
Bayam dan jenisnya dan jenisnya bayem bayem cina bayem abang bayem eri bayem kul bayem menir ayem raja
+
-
+ +
-
+
-
+ + + +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ + +
-
+
-
+
-
Amarantus Lividus Amrantus melancholicus
+
-
Amarantus spinosus
+
-
+ +
-
+
-
+
-
Dolichos lablab Mucuna pruriens
kara merah (kulit buah berwarna merah) kara hijau (kulit buah berwarna hijau) kara putih, kulit buah berwarna putih kara komak, pada ujung biji ada guratan seperti tanda ‗koma‘ kara pedang, bentuk memanjang dan melengkung seperti pedang. kara otak, berbiji lembut dan apabila dimasak warnanya putih seperti warna otak dan rasanya gurih.
Kacang dan jenisnya kacang kacang brol
kacang usi(ose)
moschata Cucurbita pepo Lagrnaria leucantha Sechium edule
bayam bayam cina. Jenis bayam yang warna daunnya agak keputihan menyerupai kulit orang keturunan Cina bayam merah. Bayam yang daunnya berwarna kemerahan bayam yang batangnya berduri baybam kul. Jenis bayam yang daunnya bulat, kecil-kecil menyerupai kul ‗siput‘ bayam menir (daun kecil-kecil seperti menir) bayam raja (daunnya lebar-lebar dan ukuran batang paling tingggi dibandingkan dengan jenis lainnya)
Arachis hypogeal Phaseolus radiates Vigna sinensis Pisum sativum Pisum vulgaris
133 bayem sapi bayem pasir Jamur dan jenisnya jamur jamur dami jamur merang jamur kepong jamur kuping jamur ulan jamur menur jamur manuk
jamur gerigit jamur impes jamur lot jamur gajih
bayam sapi (jenis bayam yang tumbuh pada kotoran sapi) bayam pasir (ketika dikonsumsi, ada rasa seperti pasir)
jenis jamur yang biasanya ditemukan tumbuh pada jerami jenis jamur yang biasanya ditemukan tumbuh pada merang padi jenis jamur yang biasanya ditemukan tumbuh pada kepong ‗kotoran sapi‘ dan tidak dapat dikonsumsi karena beracun jenis jamur yang bentuknya seperti kuping jenis jamur yang bentuknya bulat seperti bulan jenis jamur berukuran kecil yang bentuk dan warnanya seperti bunga melati. jenis jamur yang tumbuhnya berkelompokkelompok seperti burung, berwarna putih keci-kecil. Pada saat memetik seseorang harus barteriak-teriak seperti menghalau burung, supaya lebih banyak lagi tumbuh/bermunculan di tanah jenis jamur yang cara makannya dengan cara digigit (gerigit) karena sangat kenyal jenis jamur yang digunakan sebagai obat puser bayi agar supaya lekas impes ‗kempes‘ jamurnya alot (liat/sulit) sehingga ketika memetiknya harus dipukul-pukul agar cepat terlepas. jenis jamur dengan warna putih dan rasa gurih seperti gajih (lemak)
Jenis sayur lainnya buncis dhangsul Gambas
buncis kacang kedelai oyong
pare
pare
kelentang tegok
nuah kelor kecipir
terong timun belimbing wuluh gundha
terong mentimun belimbing sayur
katu
jenis tumbuhan sayur yang ditanam di sawah (di sela padi) daun katuk
Monilia javanica Hydnum fragile
Hirneola tureecelaria
Calvita bosvita
Glysin max Luffa cylidrical Momordica charantia Momordica chrantia Psophacarpus tetragonolobus Solanum nigrum Cucumis sativus Averrhoa bilimbi Sphaenoclea zeylanica Saurapus
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+ + +
-
+
-
+
-
134
kangkung
kangkung
kelor
kelor/marungga
genjer
genjer
bagu
daun muda pohon melinjo (melinjo)
manting
pohon salam
kemangi
kemangi
kenikir
kenikir
keningar
keningar
lembayung lucu
kecombrang
semanggi
semanggi
androgynus Ipomoea reptans Moringa oleifera Limnocharis flava Eugenia polyantha Syzygium polyanthum Ucimum basilicum Cosmos caudatus Cinnamomum verum Nicolaia speciosa Marcilea crenata
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
Di samping jenis sayuran yang dikenal secara luas, seperti buncis (Phaseolus vulgaris), kangkung (Ipomoea reptans ), bayem (Amaratus tricolor), dan sebagainya, di wilayah ini juga tumbuh jenis
sayuran lokal yang juga
ditemukan tumbuh di daerah Jawa umumnya, seperti daun katu (Saurapus androgynus), kenikir (Cosmos caudatus), keningar (Cinnamomum verum), lembayung, genjer (Limnocharis flava), kelor (Moringa oleifera), dan semanggi (Marcilea crenata) dengan tingkat populasi yang tinggi karena karakter lingkungan dan topografi wilayah ini sangat cocok untuk semua jenis sayuran ini. GTBU mengenal dengan baik khasiat dan lingkungan tempat tumbuh entitasentitas tersebut hingga saat ini. Di antara jenis sayur-sayuran tersebut di atas, kelor ‗marungga‘, baik daun maupun batangnya, memiliki peran penting dalam kehidupan sosial GTBU. Selain digunakan sebagai bahan sayur sehari-hari, daun kelor dipakai sebagai penurun
135 panas badan dan penghilang luka memar, sedangkan batangnya dipakai sebagai penolak bala. Entitas ini banyak ditemukan di pekarangan rumah penduduk. Sementara itu, kenikir, keningar, lembayung, dan bunga turi adalah bahan sayur urap yang dipakai dalam tumpeng serakat, selain pecel pithik.
Dimilikinya
pengetahuan tentang sumber daya alam lingkungan, manfaat masing-masing jenis sayuran, dan adanya kepercayaan tertentu tentang fungsi sayuran oleh GTBU mempresentasikan
adanya
interaksi
dan
interdipendensi
GTBU
dengan
lingkungan alam dan juga pemahaman terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada entitas-entitas sayuran tersebut. (4) Keberagaman leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat bahasa Using Banyak jenis tanaman obat dan bumbu yang tumbuh dengan baik di lingkungan tempat tinggal GTBU. Dari semua kelompok tanaman obat dan bumbu yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, ada yang dimanfaatkan bunganya, batangnya, daunnya, atau umbi/akarnya. Pada bagian ini leksikon-leksikon tanaman obat dan bumbu dibahas dalam satu bagian, karena beberapa jenis entitas ada yang berfungsi ganda, bisa dipakai obat dan juga bisa dipakai
bumbu,
seperti
kunir ‘kunyit‘, temu kunci
‘kencur‘, laos ‘lengkuas‘ dan sebagainya.
‘temu kunci‘, kencur
Banyak jenis tanaman obat dan
bumbu yang tumbuh dengan baik di lingkungan tempat tinggal GTBU dan jenis sangat beragam, demikian juga leksikon-leksikon yang merepresenitasikannya. Di antara jenis tanaman obat yang cukup dikenal di lingkungan GTBU adalah kelompok temu dan jenisnya dengan khasiatnya masing-masing. Tumbuhan temu ini paling banyak tumbuh liar di kebun-kebun penduduk, namun ada pula yang
136 dibudidayakannya dalam pot. Di antara jenis temu yang dikenal oleh masyarakat, temu kunci adalah yang paling populer terutama di kalangan ibu rumah tangga karena temu ini merupakan salah satu elemen bumbu dalam pembuatan sayur bening, di samping kemangi dan bumbu lainnya. Sementara itu, temu cemeng dan temu putih walaupun populasinya sedikit, namun cukup dikenal karena khasiatnya sebagai boreh untuk bagian tubuh yang memar/bengkak karena benturan. Tabel berikut menunjukkan beberapa nama dan jenis tanaman bumbu dan obat yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang sekaligus mencerminkan keberagaman leksikon yang mewadahinya. Tabel 5.9 Keberagaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Temu dan jenisnya temu temu cemeng
temu temu hitam
temu kunir
temu kunyit/kuning
temu putih
temu putih
temu rapet
temu rapat
temu kunci
temu kunci
temu giring
temu giring
Jenis tanaman obat dan bumbu lainnya bawang abang bawang putih bakung bangle
bawang merah bawang putih tumbuhan berumpun berbunga putih yang hidup dipinggir kali yang menyerupai sempol tumbuhan berumpun menyerupai lengkuas yang umbinya berasa pahit
Nama Latin
Curcuma aeroginusa Curcuma domestica Curcuma zedoaria Kaempferia rotunda Kaempferia pandurata Curcuma heyneana
Kategori lingkungan Biotik Abiotik +
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
Allium ceppa Allium sativum Crinum asiaticum
+ + +
-
Zingiber cassummunar
+
-
-
137
iles-iles lempuyang
yang dapat digunakan sebagai obat iles-iles lempuyang
lempuyang wangi lempuyang gajah jae
lempuyang wangi
kencur
kencur
kunir
kunyit
laos sempol
mahkota dewa kemiri
lengkuas sempol,tumbuhan seperti lengkuas, berbunga putih dan air bunganya dapat dipakai sebagai obat tetes mata tumbuhan berbunga putih dengan mahkota bunga berjumlah lima tersusun menyerupai bintang. tumbuhan bergetah yang bijinya dapat dijadikan obat/jamu mahkota dewa kemiri
cabe
cabe jawa
cabe merah
cabe merah
cabe rawit
cabe rawit
pulasari Jinten
pulasari jintan
kapulaga
kapulaga
jemukus
kemukus, tumbuhan rambat jenis ladaladaan/ lada berekor cengkeh
kembang bintang Adas
cengkeh sambiloto
sembung deringu
dilem
lempuyang gajah jahe
sambiloto, tumbuhan yang tinggi batang hamper sama dandaunnya sangat pahit dan dapat dipakai obat panas dalam sembung jerangu, yaitu jenis rumput-ruputan yang tumbuh dengan subur di daerah yang lembab, akar maupaun daunnya dapat dipakai obat boreh tumbuhan dengan daun berbulu halus dan berbau harum, dipakai untuk campuran boreh bayi
Arum masculatum Zingiber Americana Zingiber aromaticum Zingiber zerumber Zingiber officinale Kaempferia galangal Curucuma domestica Alpina galangal Hedychium coronarium
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
Syzygium aromaticum Andrographis paniculata
+
-
+
-
Bumea balsamifera Acorus calamus
+
-
+
-
Pogostemon cablin
+
-
Foeniculum vulgare Aleurites mollucana Piper retrofractum Capsicum annuum Cartamus frutescens Alyxia stellate Coleus amboinicus Amomum cardamomum Piper cubeba
138 kayu putih kayu manis
kumis kucing legundi
lidah buaya luntas mangkokan meniran
tapak dara tapak liman sambung nyawa pecah beling urang-aring sereh pule teki
tumbuhan yang daun dan kulit batangnya disuling untuk bahan minyak kayu putih tumbuhan yang kulit batang pohonnya berbau harum dan dipakai untuk pemberi aroma dalam minuman atau kue kumis kucing tumbuhan semak yang daunya berwarna abu-abu keunguan yang dapat digunakan sebagai obat pengusir nyamuk. lidah buaya, tumbuhan untuk pencegah panas dalam beluntas umbuhan dengan daun menyerupai mangkok dan berkhasiat untuk menyuburkan rambut jenis tanaman yang banyak ditemukan di pekaranagn atau tegalan yang dipakai untuk campuran jamu penambah stamina tumbuhan dengan bentuk bunga menyerupai paruh burung merpati tumbuhan yang tumbuhmenempel di tanah dengan helai daun membentang seperti jari-jari manusia tumbuhan yang daunnya berkhasiat sebagai obat untuk ‗menyambung nyawa orang yang sudah sekarat‘ pecah beling/peceh seribu tumbuhan yang banyak ditemukan di pematang atau saluran air di sawah untuk penyuburkan rambut sereh jenis tumbuhan yang getah dan kulit pohonnya sangat pahit dan dipakai obat rumput teki, jenis rumput yang akarnya dapat dipakai boreh.
Melaleuca leucadendra
+
Cinnamomum verum
+
-
Orthosiphon stamineus/ grandiflorus Vitex trifolia
+
-
+
-
Polygala glamerata Pluchea indica Nothopanax scutellarium
+
-
+ +
-
Phyllantus urinaria/ niruri
+
-
Chataranthus roseus Elephantopus scaber
+
-
+
-
Gynura procumbens
+
-
Sthrobilanthes crispus Eclipta prostrate
+
-
+
-
Andropogon citriodium Alsetonia scholaris Cyperus rotundus
+ +
-
+
-
Di samping beberapa jenis temu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa masih ada cukup banyak tanaman obat dan bumbu yang tumbuh di wilayah ini dengan fungsi dan khasiatnya masing-masing, di samping tingkat populasinya juga berbeda-beda. GTBU, khususnya generasi dewasa dan tua, mengetahui dengan sangat baik ecoregion masing-masing entitas yang mana kebanyakan
139 ditemukan tumbuh di lahan kering seperti di lingkungan pekarangan rumah, di pinggir jalan,
semak belukar,
kebun, dan sawah kecuali sempol ‘sempol‘
(Hedychium coronarium) dan urang aring ‘urang-aring‘ (eclipta prostrate) yang tempat tumbuhnya di lahan basah (pinggir saluran air/parit). Di samping berdasarkan tempat tumbuhnya,
GTBU juga
membedakan
jenis tanaman
bumbu/obat berdasarkan jenis batangnya, yaitu ada yang berbatang tegak, perdu, rumpun, menempel di tanah atau merambat. Tanaman yang termasuk berbatang tegak adalah pule ‘pule‘ dan cengkeh ‘cengkeh‘; sedangkan yang tergolong tanaman berumpun, di antaranya adalah kunir ‘kunyit‘, laos ‘lengkuas‘, temu ‘temu‘, sempol ‘sempol‘,
dan jae ‘jahe‘. Tapak liman ‘tapak liman‘ dan , teki
‘teki‘ tumbuh menempel di tanah. Sementara itu, sambilata ‘sambiloto‘, legundi ‘legundi‘, kumis kucing ‘kumis kucing‘ dan luntas ‘beluntas‘
di antaranya
termasuk tanaman perdu. Pengetahuann mereka tentang banyak hal terkait dengan tumbuhan obat dan bumbu ini, tentunya disertai dengan penngetahuan tentang leksikon-leksikon
pengacunya,
mencerminkan
adanya
interaksi
dan
interdependensi mereka terhadap entitas-entitas ini, di samping keberadaannya di lingkungan hidup GTBU yang menjadi sumber daya lingkungan itu sendiri. (5) Keberagaman leksikon tanaman bunga bahasa Using Dengan kondisi topografis dan geografis yang begitu ideal,
Kabupaten
Banyuwangi umumnya, dan daerah lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya, sebenarnya merupakan ecoregion yang sangat cocok untuk tumbuhnya berbagai jenis bunga, baik di wilayah dataran tinggi maupun dataran rendahnya. Namun, pada kenyataannya, tidak banyak ditemukan tumbuhan bunga yang tumbuh, baik
140 secara liar maupun yang dibudidayakan, di wilayah ini. fungsinya hanya sebagai
Jikalau pun
ada,
tanaman hias yang ditanam di sekitar rumah atau
bahkan tumbuh liar di semak-semak. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya interaksi dan interdipendensi
kehidupan GTBU akan
bunga.
Walaupun
demikian, fenomena yang berbeda terjadi pada tiga jenis bunga, seperti wangsa ‘kenanga‘ (canangium odoratum), mawar ‘mawar‘ (rosa pamascena), pecari ’cempaka‘ (michelia alba/champaka), dan sundel ’sedap malam‘ (polyanthes tuberose). Interaksi dan interelasi GTBU dengan ketiga entitas itu cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh peran penting yang disandang oleh ketiga jenis bunga ini dalam ritual slametan dan santet. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis bunga yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang mendukung keberagaman leksikon BU. Tabel 5.10 Keberagaman Leksikon Tanaman Bunga Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
pecari putih pecari kuning peciring
cempaka putih
Michelia alba
cempaka kuning
Michelia champaka Gardenia augusta
pembang gantil kembang merak kembang bojog menur
bunga gardena. Tumbuhan dengan mahkota bunga berwarna putih dan majemuk. kembang sepatu bunga merak, jenis bunga yang tangkai sarinya menyerupai ekor burung merak bunga dengan bentuk memanjang berwarna merah seperti ekor monyet bunga melati
seruni
Seruni
kembang kertas
bugenfil
Yasminum sambac Chrysantium indicum Bougainvillea spectabilis
Kategori lingkungan Biotik Abiot ik + +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
141 serngenge
bunga matahari
Helianthus annuus Polyanthes tuberose
+
-
kembang sundel
bunga sedap malam
+
-
mawar
bunga mawar
+
-
+
-
+ +
-
+
-
bunga yang baunya seperti bacin ‗kotoran manusia‘ bunga bangkai
Rosa pamascena Lawsonia incernis Nymphaea lotus Calotropis gigantean Calotropis gigantean Amorphophallus variabilis Raflesiaceae
pacar
pacar inai
Tunjung widuri putih widuri biru
teratai widuri putih
kembang bacin kembang bangah kembang tembelekan kembang kecubung tikul balung pecah beling kemuning
+
-
+
-
bunga tembelekan
Lantana camara
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
kembang wangsa sembuja
kenanga
+
-
+
-
widuri biru
bunga dengan bentuk mahkota seperti terompet dan bijinya memabukkan tikul balung pecah beling kemuning
bunga kamboja
Vitis quandrangularis Sericocalyx crispus Muraya paniculata Canangium odoratum Plumiera acuminate
Di samping ketiga jenis bunga tersebut, pecari ’cempaka‘ (michelia alba/champaka) khususnya yang berwarna putih juga memegang peranan penting dalam kehidupan GTBU karena bunga ini merupakan salah satu elemen (selain kembang wangsa ‘bunga kenanga‘ dan kembang sundel ‘bunga sedap malam) dari kembang dirma
3
yang disajikan untuk ‘dijual‘ pada saat pementasan tari ritual
Seblang. 4 . Walaupun kebutuhan akan kembang wangsa, pecari, sundel, dan mawar cukup banyak di wilayah , namun populasi keempatnya tidak banyak sehingga pengetahuan yang dimilki oleh GTBU tentang bunga-bunga tersebut bukan karena
142 populasinya banyak, melainkan karena inetraksi mereka melalui ritual slametan. Sementara itu, sembuja ‘kamboja‘ (plumiera acuminate) dan kembang menur ‘bunga melati‘ (yasminum sambac) juga cukup dikenal dan populasi keduanya cukup banyak karena peran budaya yang diembannya, yakni keduanya terkait dengan siklus hidup manusia. Sembuja ‘kamboja‘ banyak ditemukan di daerah pekuburan yang terkait dengan kematian, sedangkan menur ‘bunga melati‘ dipakai penghias sanggul pengantin yang terkait dengan pernikahan. Peran apa pun yang diemban oleh masing-masing bunga yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, sudah pasti keberadaannya turut memperkaya keberagaman khasanah leksikon BU yang membuatnya mungkin berbeda dengan leksikonleksikon bahasa daerah lainnya. (6) Keberagaman leksikon tanaman kelapa bahasa Using Karena kesuburannya, Kabupaten Banyuwangi menjadi tempat yang sangat cocok untuk tempat tumbunya tanaman kelapa ‘kelapa‘ (cocos municifera). Tanaman kelapa dapat dijumpai tumbuh di hampir semua wilayah kabupaten ini. Kabupaten Banyuwangi merupakan penghasil kelapa terbesar di Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka, 2009:146). Ada beberapa jenis kelapa ditemukan tumbuh di wilayah ini, seperti kelapa bunyuk, kelapa ijo, kelapa kopyor, kelapa puyuh, dan kelapa gadhing namun dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. GTBU memiliki pengetahuan yang cukup dalam terhadap entitas kelapa tersebut. Hal ini dapat diamati dari banyaknya leksikon tentang kelapa yang mereka kenal. Di samping leksikon tentang kelima jenis kelapa, GTBU juga
143 mengenal leksikon yang mengacu pada bagian-bagian tanaman tersebut, seperti janur ‘daun kelapa yang masih muda‘, belarak ‘daun kelapa kering‘ jeliring ‘lidi daun kelapa‘, dan bongkok ‘tangkai daun kelapa‘. Selain jenisnya yang beragam, GTBU khususnya juga memberikan nama-nama spesifik pada bagian-bagian pohon kelapa. Hal ini disebabkan oleh interaksi,interelasi, dan interdepenensi mereka yang tinggi dengan entitas ini. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang kelapa dan turunannya. Tabel 5.11 Keberagaman Leksikon Tanaman Kelapa Bahasa Using Leksikon BU Kelapa dan jenisnya Kelapa kelapa bunyuk kelapa kopyor kelapa puyuh kelapa ijo kelapa gadhing Bagianbagian pohon kelapa janur belarak bongkok jeliring pol beluluk bathok belangkokan cikilan tombong dangu
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
kelapa
Cocos nucifera
Kategori lingkungan Biotik Abiotik +
-
jenis kelapa yang tidak memiliki tapuk buah atau gundul (bunyuk ‗gundul‘) jenis kelapa yang daging buahnya encer
+
-
+
-
kelapa puyuh.
+
-
kelapa yang tapuk buahnya selalu berwarna hijau walaupun sudah kering kelapa yang kulit buahnya berwarna kuning (gading)
+
-
+
-
daun kelapa yang masih muda daun kelapa yang sudah kering tangkai daun kelapa lidi daun kelapa pangkal pelepah kelapa yang masih sangat muda dan dapat dimakan buah kelapa yang masih sangat muda tempurung buah kelapa tempurung beserta serabut kelapa potongan buah kelapa daging yang tumbuh di tengah-tengah buah kelapa yang sangat tua dan berwarna putih tangkai buah kelapa
+ + + + +
-
+ + + + +
-
+
-
144 mayang tapas tali papah ruyung Peralatan terbuat dari bagian pohon kelapa Kepang kisa rinjing sapu tepis kurih welit sepet bencorong canting siwur irus patar Olahan terbuat buah kelapa gulali koyah koprah sawur
bunga pohon kelapa serabut pembungkus tangkai daun kelapa tali terbuat dari serat pelepah daun kelapa batang kelapa yang sudah ditebang dan siap untuk bahan bangunan
+ + + +
-
+
anyaman silang miring terbuat dari daun kelapa wadah terbuat dari anyaman daun kelapa (tempat ayam) wadah berbentuk persegi empat terbuat dari anyaman daun kelapa sapu alat untuk menepis nyamuk/lalat yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa sapu kecil dan pendek terbuat ikatan lidi kelapa untuk membersihkan wajan setelah selesai menyangrai kopi/jagung daun kelapa kering yang disusun untuk atap sikat yang terbuat dari serabut kelapa tempurung kelapa untuk takaran beras alat pencedok air berukuran kecil yang terbuat dari tempurung kelapa yang diberi tangkai gayung terbuat dari batok kelapa yang diberi tangkai cedok/ sendok yang terbuat dari tempurung kelapa untuk mengambil nasi lekukan yang yang dibuat pada batang pohon kelapa tempat injakan kaki ketika memanjat
penganan terbuat dari gula kelapa yang dimasak hingga liat parutan kelapa yang disangrai kopra/ kelapa yang dijemur hingga kering sebagai bahan dasar untuk minyak kelapa parutan kelapa yg diberi bumbu dan disangngrai
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+ + + +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ + +
-
+
-
Bagian-bagian kelapa (khususnya janur,, ruyung, dan buah kelapa ) memiliki nilai ekonomi dan budaya yang sangat penting bagi GTBU. Secara ekonomis, buah kelapa dan janur dapat dijual sehingga menghasilkan uang untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. (Kabupaten Banyuwangi
merupakan pemasok, khususnya buah kelapa untuk beberapa kabupaten kota di
145 Jawa Timur, seperti Surabaya, Mojokerto, Lamongan, dan sebagainya) dan juga buah kelapa diolah menjadi beberapa jenis penganan seperti lidrik,sawur, gulali, dan sebagainya. Sementara itu, ruyung ‘batang pohon kelapa yang sudah ditebang‘ dapat dijual karena merupakan bahan bangunan yang kokoh. Di samping peran ekonomi, buah kelapa dan janur juga memiliki peran budaya dalam kehidupan GTBU
karena keterpakaiannya dalam kegiatan adat
dan budaya yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu di beberapa desa di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Buah kelapa dipakai sebagai bumbu pecel pitk, salah satu sajian dalam berbagai macam upacara slametan. Sementara itu,
janur dipakai sebagai hiasan rumah
dan penjor pada acara
hajatan, khususnya upacara pernikahan, di samping juga dipakai kulit ketupat. Di samping mengenal dan meleksikalisasikan setiap bagian dari pohon kelapa secara rinci,
dengan menggunakan pengetahuan
dan peralatan
tradisionalnya, GTBU juga sangat kreatif dalam menciptakan peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa. Pada tabel di atas terlihat bahwa lebih dari sepuluh peralatan tradisional tercipta dengan memanfaatkan bagian-bagian dari pohon kelapa. Dari lidi kelapa tercipta tiga peralatan yang fungsinya sama yaitu sebagai alat untuk membersihkan namun berbeda dari segi ukuran. Sapu adalah sebuah peralatan yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa yang berukuran genggaman tangan orang dewasa‘ untuk membersihkan
lantai atau halaman
rumah ; tepis adalah alat yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa dengan ukuran lebih kecil dari sapu untuk menepis ‗memukul‘ nyamuk/lalat atau untuk membersihkan tempat tidur; dan welit adalah sebuah alat seperti sapu kecil dan
146 pendek terbuat dari ikatan lidi kelapa untuk membersihkan wajan setelah selesai menyangrai kopi/jagung.
Dari fenomena ini tercermin interdipendensi dan
interaksi GTBU dengan entitas kelapa sangat tinggi, yang berdampak pada keberagaman leksikon BU. (7) Keberagaman leksikon tanaman bambu bahasa Using Bambu
yang dalam BU disebut jajang merupakan salah satu jenis
tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan mudah dan subur di daerah dataran rendah, baik di lahan kering maupaun di lahan basah. Demikian halnya di lingkungan tempat tinggal GTBU.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan
informan kunci dan pengamatan di lapangan kurang lebih ada lima belas jenis bambu yang ditemukan tumbuh di daerah ini, seperti jajang apus, benel, peting, petung, gabug, kuning, cemeng, wuluh, ori, pelet, surat dan sebagainya.
Ada
beberapa jenis bambu yang memegang peranan penting dalam kehidupan GTBU khususnya, seperti jajang petung dan jajang meluwuk. Kedua jenis jajang ini memiliki diameter batang mencapai 30 cm sehingga sering digunakan untuk tiang rumah atau katir jukung karena kokoh dan bentuk batangnya
lurus.
Sementara itu, jajang pelet banyak dibudidayakan karena jajang ini merupakan bahan dasar barang-barang kerajinan, seperti kursi tamu, dinding rumah, dan beberapa barang kerajinan lainnya. Dilihat dari segi kuantitas, jajang gabug populasinya terbanyak. Jajang ini mudah tumbuh, namun tidak memiliki nilai ekonomi kecuali untuk kayu bakar dan tiang bendera (umbul-umbul) karena dinding ruasnya tipis dan mudah patah (berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan Bapak Seraj, budayawan
147 Using, pada 12 September 2010 di Dusun Krajan, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah). Keberagaman leksikon BU tentang bambu dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 5.12 Keberagaman Leksikon Tanaman Bambu Bahasa Using Leksikon BU Bambu dan jenisnya Jajang jajang apus jajang benel jajang peting
jajang petung jajang gabug
jajang kuning jajang cemeng jajang wuluh jajang ori jajang pellet jajang surat jajang tutul jajang meluwuk
jajang tali
Gloss dan penjelasannya dalam BI
bambu jenis bambu dengan batang kuat dan lentur sehingga sangat cocok untuk bahan pengikat. jenis bambu yang benar-benar bambu karena banyak manfaatnya jenis bambu ini ukurannya sama dengan jajang benel. Dinamai demikian karena jenis bambu ini sangat ‗penting‘ untuk bangunan rumah karena kuat. jajang petung adalah jajang peting dengan ukuran sangat besar dan sering kali dipakai untuk katir jukung gabug artinya kosong atau tidak berguna. jenis _bambu ini dipakai hanya untuk tangkai umbul-umbul dan kayu bakar karena dinding ruasnya sangat tipis dan mudah patah bambu kuning bambu hitam jenis bambu yang batangnya lurus dengan dinding ruas sangat tipis dan warnanya tidak kuning dan tidak hijau.‘ jenis bambu yang berduri pada batang dan rantingnya. bambu yang ada colet-colet ‗tutul-tutul‘ pada batangnya bambu yang ada guratan-guratan atau garis-garis pada batangnya bambu dengan ada bintik-bintik pada batangnya jenis bambu yang ukuran batangnya melebihi ukuran jenis bambu-bambu lainnya baik dari segi lingkar maupun tinggi batangnya dan banyak dipakai tiang rumah atau katir jukung/sampan) bambu yang sangat alot (kuat) dan
Nama Latin
Gigantochloa apus
Gigantochloa atter
Bambusa vulgaris
Bambusa arundineceae
Bambusa vulgaris
Kategori lingkungan Biotik Abiotik + +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
148
jajang watu jajang ampel Bagian-bagian batang bambu barongan celumpring ebung serit Peralatan terbuat dari batang bambu kelakah geladhag irig galar seseg langkab lothek kemarang keranjang kereneng kicir nyiru sawu seser kukusan beronjong budhag
tumbu tedhok
biasanya dipakai untuk tali pengikat bambu yang berdinding sangat tebal dan dipakai pikulan singkek untuk mengangkut batu. bambu yang ditanam oleh Sunan Ampel, atas suruhan Sunan Bonang pada saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa
Dendrocalamus strictus
+
-
+
-
sekumpulan pangkal batang rumpun bambu dari jenis apa saja kelopak batang pohon bambu rebung/ bakal pohon bambu bulu/duri halus pada batang/ kelopak bambu
+
-
+ + +
-
bilah-bilah bambu yang dipakai sebagai atap rumah lantai terbuat dari bambu wadah berbentu bulat yang berlubanglubang dibuat dari anyaman bamboo bilah-bilah _bambu yang dianyam sebagai alas dipan/tempat tidur dinding dari anyaman bambu anyaman bambu yang dipakai untk dinding rumah dari bilah-bilah bambu yang dianyam bilah-bilah kecil/tipis dari bambu bakul nasi dari anyaman bambu yang bentuk bingkai dan alasnya sama bakul besar yang terbuat dari anyaman bambu keranjang kecil pembungkus buahbuahan terbuat dari anyaman bambu bubu (anyaman bambu untuk menangkap ikan) alat terbuat dari anyaman bambu untuk menampi beras tangguk penangkap ikan terbuat dari bambu jaring kecil untuk menangkap ikan di sawah atau di parit/sungai kukusan keranjang besar dan panjang terbuat dari anyaman bambu. wadah (bakul) besar yang terbuat dari anyaman bambu untuk menyimpan hasil panen (padi, kedelai, jagung, dan sebaginya). bakul bertutup terbuat dari anyaman bambu untuk tempat nasi kala bepergian wadah (tempat buah) terbuat dari
+
-
+ +
-
+
-
+ +
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
149
tenong golong katir kentongan berajag beranding cokop cantuk singkek penguluran
anyaman bambu berbentuk segi empat wadah terbuat dari anyaman bambu dengan bingkai rotan tabung yang terbuat dari ruas-ruas bambu untuk mengangkut air sebelum dikenalnya jerigen atau ember plastik alat penyeimbang perahu yang terbuat dari bambu kentongan bilah-bilah bambu yang ujungnya diruncingi dan dirangkai untuk penghalang tali yang terbuat dari sayatan-sayatan bambu bambu yang dibelah ujungnya lalu dianyam dipakai untuk memetik jambu atau mangga pangkal batang bambu yang dipakai untuk melumatkan bumbu alat pemikul terbuat dari bilahan bambu yang bagian depan dan belakangnya berbentuk segitiga galah bambu tempat manggungkan burung aduan
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
Di samping menampilkan beberapa leksikon dari berbagai jenis bambu, tabel di atas juga mengandung sejumlah leksikon tentang bagian-bagian tanaman bambu dan peralatan yang dibuat dengan bahan dasar bambu. Tampaknya, tanaman bambu yang melimpah menumbuhkan kreativitas GTBU dari generasi terdahulu
dalam
menciptakan
barang-barang
baru
yang
memperkaya
keberagaman leksikon BU. Karena modernisasi yang melanda kehidupan GTBU, beberapa perlengkapan yang terbuat dari bambu tidak lagi dapat ditemukan di tengah-tengah kehidupan mereka karena fungsinya sudah tergantikan oleh produk-produk baru yang berbahan baku logam atau plastik yang lebih
praktis
penggunaannya. Misalnya, tumbu/besek, yaitu sebuah bakul bertutup terbuat dari anyaman bambu yang digunakan sebagai wadah nasi ketika bepergian fungsinya telah digantikan oleh rantang plastik karena lebih praktis penggunaanya, sedangkan tenong, yaitu suatu wadah terbuat dari anyaman bambu dengan bingkai
150 rotan saat ini fungsinya sudah digantikan oleh keranjang/ember plastik yang lebih multifungsi. Demikian halnya yang terjadi pada kelat, yaitu alat pemotong dari cabang batang bambu yang salah satu ujungnya diiris tipis, pada masa lalu dipakai sebagai alat potong tali pusar bayi yang baru lahir, sekarang tidak lagi ditemukan di tengah-tengan masyarakat karena sudah ada gunting sebagai penggantinya. Sebaliknya, ada dua peralatan yang terbuat dari bambu yang masih ada dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari GTBU karena hampir setiap keluarga memilikinya, yakni kemarang‘bakul tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu‘ dan singkek/cingkek, yaitu alat pemikul (rumput, kayu bakar, atau hasil sawah dan kebun lainnya) terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang berbentuk segitiga. Dikenalnya berbagai jenis bambu, dinamainya bagaian-bagian bambu secara detail, dan terciptanya berbagai peralatan yang berbahan dasar bambu mengindikasikan adanya interaksi, interelasi, dan interidependensi antara GTBU dan lingkungannya, di samping kedalaman pengetahuan lokal mereka tentang perbambuan. (8) Keberagaman leksikon tanaman lain bahasa Using Selain
beberapa tumbuhan yang telah disebutkan sebelumnya, di
lingkungan tempat tinggal GTBU ditemukan pula beberapa jenis tanaman lain dengan manfaat dan tingkat populasi yang berbeda-beda. Kelompok tanaman yang ditampilkan pada bagian ini umumnya yang ada kaitannya secara langsung dengan kehidupan GTBU. Misalnya ,
lirang ‘enau‘, bagi GTBU entitas ini
memiliki peran penting dalam kehidupan mereka.
Di samping dicari niranya,
151 kedhuk ‘ijuk‘ dari lirang ini diperlukan untuk menyaring air yang keluar dari dalam tanah sebelum dialirkan ke kolam penampungan atau pancuran, sedangkan daunnya, oleh kelompok masyarakat pembukus tembakau untuk rokok.
di daerah tertentu, dikeringkan untuk Hal yang sama juga terjadi pada penjalin
‘rotan‘ (calmus sp.). GTBU memanfaatkan penjalin untuk bingkai peralatan yang terbuat dari bambu, seperti keranjang, tenong, tedhok, dan sebagainya, pelepah daun dari entitas ini dulu dipakai ―mata‖ alat pemarut kelapa, sebelum fungsinya digantikan oleh parutan yang terbuat dari besi atau logam lainnya. Sementara itu, suruh ‘sirih (piper betle), di samping untuk perlengkapan nginang bagi beberapa orang dewasa dan bagi hampir semua orang tua, juga suruh kinang memiliki peran budaya, yaitu sebagai salah satu elemen dari ragi kinang yang dipakai pada upacara slametan. Entitas ini biasanya dibudidayakan di kebun-kebun atau di pekarangan rumah. Tumbuhan lain yang cukup banyak populasinya dan dikenal oleh GTBU yang hampir semuanya merupakan tumbuhan
liar,
yakni bungur ‘bungur‘
(lagerstoemia speciosa ) , kepuh ‘pohon kepuh‘ (bombax malaborium), kesambi ‘pohon kesambi‘ (schclechera oleosa), ketepeng kecil ‘petai cina‘ (cassia tora), ketepeng kebo ‘lamtoro gung‘ (cassia alata), waru ‘pohon waru‘ (hibiscus tiliaccus), dan sebagainya. Sementara itu, kelompok jati ‘pohon jati‘ (tectonia grandis) baik jati emas ‘pohon jati emas‘ maupun jati landa ‘pohon jati belanda‘ (guazoma ulmifiola), cukup dikenal oleh GTBU karena nilai ekonomisnya tinggi sehingga jenis ini dibudiyakan di lahan pertanian atau kebun. Tabel berikut
152 menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang tumbuhan selain kelompokkelompok yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Tabel 5.13 Kelompok Leksikon Tanaman Lain Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
Enau dan bagianbagian dari tanaman lirang
enau
Arenga pinnata
kedhuk kolang-kaling mancung manggar kawung sodho Lontar dan bagian-bagiannya gebyong/etal
ijuk buah pohon enau bungkus bunga pohon enau tangkai bunga pohon enau daun enau yang dikeringkan untuk pembungkus rokok kulit pembalut bunga mayang enau pohon lontar
siwalan Rotan dan bagianbagiannya penjalin geronong doni Pinang dan bagian-bagiannya pinang mayang upih Kapuk dan bagian-bagiannya randu
buah pohon lontar
karuk pelenteng Asam dan bagianbagiannya asem
bunga pohon kapuk biji kapuk
tempalok
buah asam setengah matang (mengkal) biji asam buah asam yang diawetkan daun asam
kelingsi asem kamal godhong asem Jati dan jenisnya
Borassus flabellifer
Kategori lingkungan Biotik Abiotik
+
-
+ + + + +
-
+
-
+
-
+
-
pohon rotan puah pohon rotan daun pohon rotan
Calmus sp.
+ + +
-
pinang bunga pinang kelopak tangkai daun pinang
Areca cathecu
+ + +
-
pohon kapuk
Ceiba pentandra
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+ + +
-
pohon asam
Tamarindus indica
153 jati
pohon jati
jati mas jati landa
pohon jati emas pohon jati belanda
Tembakau dan jenis irisan daunnya bako semprul kerosok Jenis tanaman lainnya bungur
kepuh Kesambi
pohon kesambi
ketepeng kecil ketepeng kebo putat
cemara
etai cina lamtoro gung pohon putat, jenis tumbuhan berbatang tegak, pada musim tertentu pohonny menjadi gundul karena seleuh daunnya dimakan oleh ulat berbulu abu-abu kekuningan pohon santan , jenis tumbuhan yg sering dipakai bahan pagar kebun atau pekarangan tumbuhan dengan buah sebesar bola pingpong dan rasanya manis beringin, jenis tumbuhan berdahan dan berdaun rindang serta berwarna hijau tua dan beranting kecil-kecil bunut, jenis tumbuhan yang menyerupai pohon beringin akan tetapi berdaun lebih lebar pohon cemara
kedawung
kedaung
kenari
kenari
waru
pohon waru, jenis tumbuhan berdaun lebar yang sering digunakan untuk makanan ternak sirih, jenis tanaman merambat yang daunnya berguna untuk jamu sirih untuk nginang
rau weringin wunut
suruh suruh kinang
+
-
+ +
-
+ +
-
+
-
Lagerstroemia speciosa
+
-
Bombax malaborium Schleichera oleosa Cassia tora Cassia alata Barringtonia spiccata
+
-
+
-
+ + +
-
Toona sinensis
+
-
+
-
Ficus benjamina
+
-
Focus indica
+
-
Casuarinas eqnisetifolia Parkia biglobosa Canarium commun Hibiscus tiliaccus
+
-
+
-
+
-
+
-
Piper betle
+
-
Piper betle
+
-
Guazoma ulmifiola
tembakau irisan tembakau yang terbuat dari daun tembakau empat daun terbawah dan biasanya berbau apek irisan tembakau kasar dan terbuat dari daun tembakau sisa-sisa panen tumbuhan berbatang tegak yang dapat dipakai untuk kerangka rumah dengan bunga berwarna ungu, merah muda atau putih pohon kepuh/ randu alas
santen
Tectonia grandis
154 suruh temu ros galing
simbukan
sri wangkat lung-lungan
jenis suruh dengan tulang daun saling bertemu, daunnya dapat dipakai untuk obat sejenis tumbuhan merambat, getahnya dapat dipakai obat serta dunnya dapat dipakai sebagai makanan ternak tumbuhan melilit dan daunnya berbau busuk, dapat dipakai untuk umpan menangkap ikan dengan menggunakan bubu jenis tanaman merambat yang daunnya dipakai untuk sayur pada tumpeng serakat leng-lengan
+
-
Vitis trifolia
+
-
Saprosma arboretum
+
-
+
-
+
-
Leucas lavandulifolia
Di samping itu, tabel di atas juga memperlihatkan beberapa nama dan jenis tanaman lain yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU dengan tingkat populasi dan manfaat yang berbeda-beda. Pinang ‗pinang‘, misalnya, adalah tanaman yang tumbuh liar yang dengan mudah dapat ditemukan karena populasinya banyak. Secara ekonomis, tanaman ini tidak memiliki nilai, namun secara budaya perannya cukup penting, sebagai salah satu elemen kinang8. Ada satu fenomena menarik terjadi pada entitas yang diacu oleh leksikon semprul. Dikaitkan dengan bako ‗tembakau‘, leksikon semprul berarti irisan tembakau yang berbau apek yang berasal dari daun tembakau sisa. Jika dikaitkan dengan sifat manusia semprul berarti seseorang yang dapat membuat orang lain merasa tidak senang/jengkel. Pembudidayaan jenis entitas tertentu, dikenalnya ecoregion beberapa jenis entitas,
dan dimanfaatkannya bagian dari entitas tertentu
sebagai peralatan
tradisonal untuk memudahkan hidup mereka, mencerminkan bahwa ada saling ketergantungan antara GTBU dan lingkungan di sekitarnya. Dari interaksi,
155 interrelasi, dan interdependensi GTBU dengan lingkungannya, tercipta leksikonleksikon unik yang turut memperkaya khazanah leksikon BU. 2) Keberagaman leksikon fauna bahasa Using Di samping kaya akan aneka ragam flora, Kabupaten Banyuwangi juga kaya dengan berbagai jenis fauna. Hal ini dapat dilihat dari ditemukannya berbagai jenis fauna, baik yang dipelihara maupun yang tidak dipelihara (liar). Pengelompokan terhadap fauna yang ditemukan hidup di lingkungan
tempat
tinggal GTBU, dalam kajian ini, secara garis besar dibagi menjadi kelompok mamalia, kelompok unggas, kelompok burung, kelompok reptil, kelompok ikan air tawar, dan kelompok serangga. Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok yang dimaksud. (1) Keberagaman leksikon mamalia bahasa Using Dalam hal keragaman fauna, khususnya kelompok mamalia, jumlahnya tidak sebanyak kelompok fauna lainnya. Jenis fauna yang ditemukan hidup di wilayah ini hampir sama dengan fauna yang hidup di wilayah Indonesia pada umumnya. Walaupun demikian, ada keunikan
dalam
penamaan jenis fauna
tertentu sehingga menghasilkan leksikon-leksikon spesifik yang unik. Penamaan pada jenis wedhus ‗kambing‘, misalnya, GTBU mengenal dan menamai wedhus ‗kambing‘ dengan sangat beragam, yang mungkin pada etnis lain tidak dikenal. GTBU memberi nama wedhus berdasarkan perbedaan penampilan fisik binatang ini. Misalnya, GTBU membedakan wedhus gimbal dengan wedhus gibas berdasarkan bulunya. Wedhus gibas berbulu lebih panjang yang selalu di-gibas-gibas-kan, sedangkan
156 wedhus gimbal berbulu sedikit lebih pendek dan bentuknya seperti rambut gimbal. GTBU juga membedakan dan memberi nama wedhus berdasarkan ukuran tubuh, yakni wedhus yang ukuran tubuhnya kecil dinamai wedhus kacangan (disamakan ukurannya seolah-olah sebesar
biji kacang), sementara yang bertubuh besar
disebut wedhus menggala (menggala artinya utama atau besar). Wedhus kendit dibedakan dari wedhus lainnya melalui bulu putih melingkar dipinggang yang menyerupai ikat pinggang yang dalam BU disebut kendhit. Fenomena ini juga mencerminkan tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan lingkungan dan entitas yang diacu oleh leksikonnya
masing-masing. Tabel
berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU terkait dengan fauna dari kelompok mamalia. Tabel 5.14 Keberagaman Leksikon Mamalia Bahasa Using Leksikon BU Tikus dan jenisnya tikus tikus curut tikus kerot tikus langu tikus got
Kambing dan jenisnya wedhus wedhus gimbal wedhus kendhit
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
Kategori lingkungan Biotik Abiotik
tikus tikus bermulut runcing, berbadan kecil, dan biasanya penglihatan kabur sehingga berjalan selalu menepi tikus rumah yang biasanya menggerogoti bagian-bagian dan perabot rumah tikus yang selalu mengeluarkan bau anyir dengan ukuran tubuh kecil tikus yang hidupnya di ‗got‘ atau comberan dan biasanya ukuran tubuhnya lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh tikus lainnya
+ +
-
+
-
+
-
+
-
kambing jenis kambing dengan bulu gimbal
+ +
-
jenis kambing yang memiliki lingkaran putih pada pinggang yang menyerupai sabuk (ikat pinggang).
+
-
157 wedhus kacangan wedhus menggala wedhus gibas wedhus etawa wedhus jawa Jenis binatang lainnya asu
jenis kambing dengan ukuran tubuh kecil yang diumpamakan seperti biji kacang jenis kambing berbadan besar dan telinga panjang. berbulu/berambutn panjang yang sering digibas-gibas’kan dan biasanya berbau apek jenis kambing hasil blasteran antara kambing lokal dan kambing menggala kambing lokal
anjing
kirik jaran
anak anjing kuda
kucing sapi bojog
kucing sapi monyet
bantongan
kera besar
celeng cuwut
babi hutan kera besar
delundheng
linsang
garangan
musang
kidhang
kijang
macan
harimau
Canis familiaris
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ + +
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
Equus caballus
Anthropoidea Macacus synomolgus Babyrausa Macacus synomolgus Prionodon gracilis Paradoxurus hermaphroditus Muntiacus muntjak Filis tigris
Walaupun GTBU hampir seluruhnya merupakan masyarakat Muslim, di tengah-tengah mereka juga ditemukan populasi asu ‗anjing‘ walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. Asu-asu ini dipelihara oleh mereka yang memiliki lahan kebun untuk menjaga kebun mereka dari gangguan maling. Di samping itu, masyarakat Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya sangat akrab dengan leksikon asu ‗anjing‘ karena keterpakaiannya dalam umpatan ABC yang merupakan singkatan dari asu ‗anjing‘, babi ‘babi‘,dan
celeng ‗babi hutan‘.
Umpatan ini, tidaklah bersifat betul-betul mengumpat, melainkan hanya
158 spontanitas di antara mereka yang akrab satu sama lain. Singodimayan (81 tahun), budayawan Using, menjelaskan bahwa umpatan ini dulunya merupakan kode nama pasukan gerilyawan pada saat masyarakat Banyuwangi berperang melawan Belanda pada jaman penjajahan. Nampaknya istilah ini masih dipakai oleh anggota masyarakat tertentu, khususnya kelompok dewasa dan tua, untuk menunjukkan keakraban. Sementara itu mamalia lainnya, yakni sapi ‗sapi‘, kebo ‗kerbau‘, dan jaran
‗kuda‘ memiliki peran sangat penting dalam kehidupan
GTBU. Sebagai masyarakat agraris, yang masih mengolah tanah secara tradisional, GTBU membutuhkan tenaga hewan sapi dan kerbau untuk membantu mereka dalam mengolah tanah sawah. Sebelum pengolahan sawah dimulai, sapi atau kerbau ini dibuatkan slametan yang ditujukan kepada para leluhur dan roh halus agar menjaga hewan peliharaan ini dan pengolahan sawah lancar, dan hasil panen berhasil. Hal yang sama juga dilakukan setelah musim pengolahan sawah dan musim tanam selesai. Sementara itu, jaran ‗kuda‘ cukup dikenal oleh GTBU karena perannya sebagai jaran kencak pada arak-arakan pengantin atau karnaval-karnaval lainnya. Agar kondisinya prima jaran kencak-jaran kencak ini di-jamoni secara rutin di samping diberikan makanan yang bermutu. Sama seperti yang dilakukan terhadap sapi dan kebo mereka, pemilik jaran kencak juga membuat slametan paling sedikit enam bulan sekali dengan tujuan agar kuda-kuda ini dilindungi oleh leluhur dan roh-roh halus sehingga selalu berpenampilan prima dalam setiap karnaval yang diikutinya.
159 Pengetahuan yang dimiliki GTBU tentang mamalia, interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka dengan
beberapa mamalia merepresentasikan
kekayaan verbal GTBU dan kedalaman
pengetahuan mereka terhadap sumber
daya alam karena kelompok mamalia maenjadi salah satu dari bagiannya. (2) Keberagaman leksikon unggas bahasa Using Hampir sama dengan di wilayah pulau Jawa lainnya, di wilayah komunitas Using ditemukan juga hidup dan berkembang berbagai kelompok unggas beserta jenisnya, seperti banyak ‗angsa‘, bebek ‗itik‘, bangsong ‗itik manila/mentok‘ dan pithik ‗ayam‘ Di antara jenis unggas ini ada yang dibudidayakan, seperti pithik, bebek, sedangkan bebek banyon ‗itik yang hidup di rawa-rawa hutan‘ dan pithik alas ‗ayam hutan‘ adalah kelompok unggas yang hidup liar. Bebek ‘itik‘ sangat banyak populasinya karena luasnya lahan persawahan sebagai tempat untuk mengembalakannya. Baik bebek maupun pitik dibudidayakan lebih banyak untuk menopang perekonomian GTBU. Di samping nilai ekonomis yang diperankannya, unggas juga memiliki peran kultural, khususnya pithik ‗ayam‘ yang berbulu putih dan tidak cacat. Ayam putih mulus ini disajikan dalam bentuk pecel pithik, yang merupakan salah satu unsur
dalam
beberapa
upacara
slametan.
Tabel
berikut
menunjukkan
keberagaman leksikon BU tentang unggas. Tabel 5.15 Keberagaman Leksikon Unggas Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Ayam dan jenisnya pitik
ayam (secara umum)
Nama Latin
Kategori lingkungan Biotik Abiotik +
-
160 pitik walik pitik cemara bangkok pitik alas bekisar babon sawung Angsa dan jenisnya banyak berengul Bebek dan jenisnya bebek bebek banyong bangsong Bagianbagian tubuh unggas cekeker cengger cucuk telampik berutu
ayam dengan bulu terbalik, melengkung keluar (seperti rambut keriting) ayam dengan bulu seperti daun cemara ayam keturunan ayam Bangkok ayam hutan ayam bekisar induk ayam ayam jantan/pejantan angsa anak angsa itik itik yang hidup di rawa-rawa di hutan itik manila
kaki unggas jengger unggas paruh unggas sayap unggas bagian ekor unggas
+
-
+ + + + + +
-
+ +
-
+
-
+ +
-
+ + + +
-
(3) Keberagaman leksikon burung bahasa Using Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu, lingkungan tempat tinggal GTBU masih asri. Lahan persawahan dan kebun masih terbentang luas karena sangat sedikit terjadi alih fungsi lahan. Karena keasrian lingkungannya, berbagai kelompok burung dan jenisnya masih dengan mudah ditemukan. Akan tetapi, jenis burung tertentu populasinya tinggal sedikit karena berbagai faktor, seperti pemakaian pestisida untuk memberantas hama padi menyebabkan jenis bango ‗bangau‘ mati karena memakan bangkai belut atau binatang yang mati karena pestisida yang digunakan petani. Di samping itu, perburuan terhadap jenis burung, seperti jalak cemeng, bethet, bango, dan kacer mempunyai peran sedikitnya populasi burung-burung tersebut.
terhadap
161 GTBU sangat mengenal karakter beberapa jenis burung yang hidup di lingkungan mereka. Hal ini tercermin pada nama yang diberikan pada entitasentitas tersebut. Misalnya, pengetahuan mereka terhadap kelompok burung pipit (emprit), mereka dapat membedakan
yang mana emprit uban ‗burung pipit
dengan bulu putih di bagian kepala‘, dan yang mana emprit gantil ‗burung pipit yang sarangnya bergantung di dahan pohon‘. Jenis emprit yang disebut terakhir ini memiliki julukan emprit priyayi atau emprit sugih karena di dalam sarangnya terdapat lapisan-lapisan yang menyerupai kasur yang empuk. Hal ini tentu turut memperkaya khasanah leksikon kealaman BU tentang kelompok emprit dan juga terhadap kelompok burung lainnya. Kekayaan leksikon BU tentang burung dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.16 Keberagaman Leksikon Burung Bahasa Using Leksikon BU Bango dan jenisnya bango bango kebo bango thongthong bango wedhus belekok kuntul Meliwis Jalak dan jenisnya jalak jalak bali jalak
Gloss dan penjelasannya dalam BI
bangau jenis bangau pemakan serangga yang hidup di tubuh kerbau jenis bangau pemakan hewan di sawah, seerti belut, katak, ikan kepala timah dan sebagainya burung bangau yang mencari makan di tubuh kambing jenis burung bangau bertubuh kecil jenis burung bangau berbulu putih mulus dan berkaki hitam, pemakan ikan, katak, dsb burung belibis
burung jalak burung jalak berwarna putih, kecuali pada bagian dada berwarna coklat muda burung jalak hitam, kecuali pada bagian
Nama Latin
Kategori lingkungan Biotik Abiotik + +
-
Leptoptil javanicus
+
-
Egretta ibis intermedia Ardeola speclosa Agretta garzetta Dendrozygn a javanicus
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
Egretta alba
162 cemeng jalak suren
kepala berwarna putih burung jalak yang mencari makan pada bulu kuda yang dikuncir setelah disisir (di-suren)
+
-
burung pipit burung pipit dengan bagian kepala berbulu putih (seperti orang ubanan) burung pipit yang sarangnya bergantung (gantil) di dahan pohon jenis pipit dengan suara yang melingking dan pemakan serangga-serangga kecil jenis burung pipit dengan bulu berwarna – warni, yang diumpamakan seperti orang kaya (kaji atinya harga diri/kehormatan)
+ +
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+ +
-
+ +
-
+
-
+ + + + +
-
+ + + + + +
-
+
-
gagak
jenis burung yang gerakannya seperti orang bersetubuh. (ancel artinya besetubuh) burung pelatuk, jenis burung yang membuat sarang pada batang pohon yang sudah mati dan rapuh dengan cara mematuk-matukan paruhnya burung berkicau yang pandai menirukan kicauan burung lain cucak rawa burung kulik-kulik, jenis burung yang keluar mencari makan menjelang malam hari. burung puyuh, burung yang tidak berekor enis burung hantu bertubuh besar dengan sorotan mata yang sangat tajam dan bertengger seperti orang njegugu ‗jongkok‘ jenis burung hantu dengan ukuran tubuh lebih kecil jenis burung berkicau burung kakak tua burung kepodang jenis burung berkicau urung seri gunting, jenis burung berbulu hitam dan berekor panjang terbelah dua menyerupai gunting) burung walet burung sikatan burung tinil burung tuwu- tuwu burung buas pemakan burung kecil Burung pemakan ikan, berbulu hijau berparuh merah burung betet (jenis kakak tua bertubuh lebih kecil berbulu hijau dan berekor panjang burung gagak
+
-
gedhubug
sejenis elang, bertubuh besar
+
-
Pipit dan jenisnya emprit emprit uban/bodol emprit gantil emprit peking emprit kaji Jenis burung lainnya ancel-ancel angin belkatuk
bence cucak rawa culik gemek jegug kukuk beluk kacer kakak tua kepodang perenjak serigunting seriti sikatan tinil tuwu alap-alap bangkrak betet
Chalcococyx honorata
Geopelia striata Carvus macroryncus
163 samber ulung bidhol dara manyar perkutut gelatik
sejenis elang, bertubuh agak kecil, bermata sangat tajam, ketika sangat ulung ketika menyambar mangsanya elang berjambul, pemakan reptil seperti ular burung merpati burung manyar, jenis burung berkicau yang membuat sarang pada pohon-pohon yang berduri. burung perkutut burung gelatik, jenis burung berbulu berwarna abu-abu kehitaman dengan hiasan merah pada mata
Ploceus hypoxanthus Geopelia striata Munia oryzivora
+
-
+ + +
-
+
-
+
-
Pengetahuan GTBU yang dalam tidak hanya terhadap kelompok emprit saja, tetapi juga terhadap kelompok burung lainnya, seperti jalak. GTBU mengenal dan dapat membedakan dengan baik masing-masing jenis burung ini. Hal ini menandakan interaksi mereka dengan entitas ini berjalan denga baik pula sehingga muncullah nama jalak putih ‗jalak yang bulunya berwarna putih di selruh tubuhnya‘, jalak cemeng ‗jalak berbulu hitam di hampir seluruh tubuhnya kecuali bagian dada yang berwarna putih. Sementara itu, jalak suren adalah burung jalak yang mereka temukan mencari kutu pada bulu kuda yang disisir (disuren). Sementara itu, penamaan terhadap burung lainnya hampir sama dengan nama dalam BI, kecuali nama gemek ‗burung puyuh‘ yaitu sejenis burung yang dulu ditemukan hidup liar di sawah namun sekarang banyak dibudidayakan oleh masyarakat karena telurnya yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi. Sementara itu, GTBU juga mengenal burung manyar, yaitu jenis burung yang bersarang pada pohon-pohon berduri dan sekarang populasinya semakin berkurang karena diburu untuk dijual. Beberapa anggota masyarakat menjuluki burung ini burung arsitek karena bentuk sarangnya yang indah dan banyak bilik untuk berkembang biak secara berkelompok. Kreativitas dalam penamanan
164 beberapa jenis burung mengindikasikan tingkat interaksi yang baik dengan lingkungan hidup burung-burung ini sehingga berdampak pada bertambahnya keberagaman leksikon BU tentang burung. (4) Keberagaman leksikon reptil bahasa Using Sama seperti di wilayah Indonesia pada umumnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya juga ditemukan berbagai macam reptil beserta jenisnya, namun dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. Sebagai daerah pertanian lahan basah, di wilayah ini banyak ditemukan reptil dari jenis ular dan katak. GTBU mengenal delapan belas jenis ular dan mereka menamai ular-ular tersebut berdasarkan perbedaan ciri fisik, warna, dan sifat. Berdasarkan warnanya, ada ula luwuk ‗ular hijau‘ dan ula gadhung ‗ular hijau kekuning-kuningan seperti warna kulit mangga gadung‘. Berdasarkan tempat hidupnya, ada ula sawa ‗ular sawah‘, sedangkan nama ular
berdasarkan sifat ada ula kelasa ‗bergerak
menggulung seperti kelasa tikar dan ula silara ‗kalau terinjak dia merasa lara ‗sakit‘ baru menggigit orang yang menginjaknya. Sementara itu, ula jali, ula cinde, dan ula walur adalah nama-nama ular berdasarkan ciri fisiknya. Penamaan ular yang sangat cermat dan kreatif sangat memperkaya leksikon BU. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang reptil.
165 Tabel 5.17 Keberagaman Leksikon Reptil Bahasa Using Leksikon BU Kodok dan jenisnya bangkrak bangkong Kentus Ular dan jenisnya ula gadhung ula dhawu ula irus ula jali ula lanang ula lumbu ula sungu ula walur ula welang ula gadhung ula lampar ula luwuk ula kayu ula kelasa ula sawa ulo silara ula weling
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
Kategori lingkungan Bioti Abiotik k
jenis katak yang kulitnya berwarna coklat dan beracun kodok besar sejenis katak
+ +
-
jenis ular dengan warna sisik hijau seperti warna mangga gadung (tidak hijau dan tidak kuning) ular dengan panjang melebihi ukuran panjang dari ular-ular lainnya (dhawu=dhawa ‗panjang‘ ular kobra, jenis ular dengan bentuk kepala menyerupai irus ‗sendok dari tempurung kelapa‘ jenis ular yang sisiknya bermotif jali, alur hitam dengan lintang putih ular jantan dari ular kayu, warna ½ kuning (kepala), dan setengah hitam (badan). Selalu jantan jenis ular yang kulitnya berbintik-bintik seperti daun tumbuhan lumbu jenis ular yang memiliki sungu ‗sungut‘ atau benjolan yang menyerupai tanduk pada kepala jenis ular yang sisiknya ada bintik-bintik putih yang menyerupai tumbuhan walur yaitu nama tumbuhan yang hidup di hutan (alas). ular yang bentuk fisiknya seperti ular jali, tetapi ukurannya besar dan sisiknya berwarna belangbelang warna sisiknya hijau seperti warna mangga gadung (tidak hijau dan tidak kuning) jenis ular yang sisiknya berwarna seperti lampar ‗wuluh‘ karena warna ular ini kuning seperti buluh dijemur jenis ular yang berwarna luwuk ‗hijau‘ dengan ekor merah jenis ular yang warna sisiknya seperti kayu, keabuan dan ukurannya panjang jenis ular yang bergerak dengan cara menggelundung seperti menggulung tikar. jenis ular yang hidup di daerah persawahan dan pemakan tikus hama padi. jenis ular yang kalau tidak diganggu dan tidak merasa lara ‗sakit, tidak akan menggigit. jenis ular yang sisik dan ukurannya hampir sama dengan ula jali dan kalau diinjak, ular ini akan mengingatkan (eling)kita akan kehadirannya
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
Naja sputatrix
Bungarus fusciatus
Trimeresurus albolabris
-
+ +
-
+
-
+
-
166 dengan cara melilit sambil menggigit kaki kita. Jenis reptil lainnya bajul
buaya
nyambit
biawak
kura kadal
kura-kura bengkarung
cecek
cicak
tekek
tokek
Crocodiles porosus Valaranus salvator Testudini-dae Tachydromus seclineatus Hemidactylus frenatus
+
-
+
-
+ +
-
+
-
+
-
(5) Keberagaman leksikon serangga bahasa Using Berbagai macam fauna ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU dan kelompok serangga merupakan kelompok fauna yang paling banyak dari segi jenis dan jumlah. Berbeda dengan kelompok fauna lainnya, hampir semua serangga memiliki banyak jenis sehingga khasanah leksikon yang mengacunya juga menjadi beragam. GTBU mengenal enam jenis ulat yang penamaannya berdasarkan beberapa hal, seperti berdasarkan efek yang ditimbulkannya ada uler genit dan uler senggeni; dan berdasarkan ciri fisiknya ada uler jaran, ula jembut, dan uler wulu. Berbeda dari segi jumlah jenisnya dibandingkan dengan uler ‗ulat‘, GTBU mengenal kurang lebih empat belas jenis dudhuk ‗capung‘ dengan berbagai latar belakang penamaan. Ada yang diberi nama berdasarkan warnanya, seperti dudhuk abang, dudhuk kuning; ada diberi nama berdasarkan ciri fisik, seperti duduk edhom (ekornya runcing seperti edom ‗jarum yang ujungnya runcing‘, dudhuk cutrik ‗capung yang sangat kurus seperti cantri/petruk), dan
dudhuk macan
‗guratan kulitnya loreng-loreng seperti macan‘. Sementara itu, dudhuk cilik, dudhuk menggala, dan dudhuk ruyung adalah nama-nama capung berdasarkan
167 ukuran tubuhnya, sedangkan dudhuk maling adalah penamaan berdasarkan cara hidupnya, yaitu keluar hanya pada malam hari seperti maling. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang serangga. Tabel 5.18 Keberagaman Leksikon Serangga Bahasa Using Leksikon BU Ulat dan jenisnya uler uler geni uler senggenit uler jaran uler wulu uler jembut uler keket Capung dan jenisnya dudhuk dudhuk cutrik dudhuk edhom dudhuk abang dudhuk kuning dudhuk macan dudhuk ruyung dudhuk terasi dudhuk cilik dudhuk gerobok dudhuk menggala dudhuk maling
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
Kategori lingkungan Biotik Abiotik
ulat ulat yang bulunya apabila mengenai kulit terasa panas seperti terbakar api ulat yang bulunya apabila mengenai kulit terasa genit ‗gatal‘ ulat yang bersungut dua, bagian badan datar seperti sadel kuda. Ulat dewasa memiliki ekor seperti kuda ulat dengan banyak bulu ulat yang warna bulunya hitam seperti warna rambut ulat yang berbulu warna-warni, kalau dipegang mengeluarkan suara ket-ket
+ +
-
+
-
+
-
+ +
-
+
-
capung capung yg sangat kurus seperti cantrik/ petruk
+ +
-
capung yang ekornya seperti dom (jarum)
+
-
capung merah
+
-
capung kuning
+
-
capung macan, warna guratan kulitnya, lorengloreng spt macan capung yang warnanya seperti warna pohon kelapa kering dengan bingkai putih jenis capung yang warnanya ungu kehitaman, seperti warna terasi capung yang badannya berukuran kecil dan hidup di atas permukaan air yang mengalir capung gajah, ukurannya paling besar, untuk menangkapnya digunakan capung kecil, sambil mengucapkan drok, drok, drok capung besar (manggala), berwarna merah tua dan sangat galak capung yg keluarnya pada malam hari seperti maling ‗pencuri‘, makanannya berupa lemud,
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
168
udhuk entelong Tawon dan jenisnya tawon tawon sruk tawon kenceng tawon keroso tawon gung tawon kunir tawon terasi/ gagak tawon macan tawon menggala
tawon rowan Belalang dan jenisnya walang walang gancong
walang jaran walang kalung walang godhong walang kadhung walang kayu walang
serangga kecil bertubuh lunak yang biasa beterbangan menjelang malam. capung yang gerakannya entelong-entelong ‘mengendap-endap‘ di atas permukaan air sambil membuang telurnya
+
-
tawon tawon yang bersarang di tempat yang jeru ‘dalam‘ di dalam (tanah) tawon yang bersarang pada reng atau langitlangit rumah tawon yang bentuk sarangnya seperti keroso ‗wadah terbuat dari anyaman daun kelapa berbentuk bulat lonjong‘. tawon dengan ukuran sarang sangat besar
+ +
-
+
-
+
-
+
-
tawon yang warnanya kuning seperti kunyit gigitannya menyebabkan gatal, dan ukuran tubuhnya kecil tawon yang warnanya hitam seperti gagak/terasi
+
-
jenis tawon yang warna tubuhnya lorengloreng seperti macan enis tawon yang ukuran tubuhnya paling besar dan sangat ganas. Kalau merasa terganggu, tawon ini akan mengejar lawanya/pengganggunya di manapun sembunyi lebah madu
+
belalang jenis belalang yang tubuhnya berbentuk pipih seperti salah satu sisi mata gancong yaitu sejenis cangkul yang bermata dua, yang satu ujungnya pipih, sedangkan yang lainnya runcing jenis belalang yang punggungnya datar menyerupai pelana kuda jenis belalang yang memiliki lingkaran kuning pada lehernya yang menyerupai kalung belalang daun, jenis belalang yang banyak ditemukan pada daun pepohonan yang tumbuh di semak-semak. enis belalang yang gerakannya menyerupai orang madhung ‗memanggul‘ kayu. jenis belalang yang berwarna abu-abu kecoklatan seperti warna kayu jenis belalang dengan ukuran tubuh kecil,
+ +
-
+
-
+
+
-
-
+ +
-
+
-
+
-
+
-
169 watu walang keretek walang pari
berwarna hitam seperti batu dan hidup di air kali-kali/sungai jenis belalang yang mengeluarkan bunyi keretek-keretek di malam hari jenis belalang yang makan daun padi sehingga tanaman padi tidak dapat tumbuh dengan sempurna jenis belalang yang kencingnya berbau ‗sangit‘ yang dapat menyebabkan daun padi menjadi layu belalang yang gigitannya nyelethet
+
-
+
-
+
-
+
-
jenis belalang yang selalu ditemukan hidup berkelompok (gebog artinya seikat/ segulung)
+
-
kupu-kupu
+
-
kupu abang
kupu-kupu yang sayapnya berwarna merah
+
-
kupu ijo
kupu-kupu yang sayapnya berwarna hijau
+
-
kupu kuning kupu putih kupu cedhung kupu kithi Semut dan jenisnya semut semut abang
kupu-kupu yang sayapnya berwarna kuning
+
kupu-kupu yang sayapnya berwarna putih
+
-
kupu-kupu bertubuh besar
+
-
kupu-kupu bertubuh kecil
+
-
+ +
-
semut cemeng semut gatel semut geni
semut hitam
semut angkrang semut pudhak
semut berjalan dengan cara melangkrang ‗merangkak‘ jenis semut yang ditemukan pada pudhak (sejenis pandan yang bunganya berbau sangat harum) .
walang sangit walang selethet walang gebog Kupukupu dan jenisnya kupu
Lalat dan jenisnya laler laler
semut semut merah
semut kecil-keci berwarna coklat kehitaman, dan gigitannya meneyebabkan gatal semut api, jenis semut yang gigitannya menyebabkan panas seperti kena api
lalat lalat rumah
Plagiolepsis longipes
+ Tetraponera rufonigra Occphylla smaragina Topinoma melanocephalum
-
+
-
+
-
+ +
-
170 cemeng laler ijo/ buyung Kumban g dan jenisnya kuwangwang
lalat hijau
+
-
kumbang kelapa
+
-
Kutis
kumbang tahi
+
-
bapak pucung gasir
kumbang daun
+
-
kumbang yang mengorek-ngorek tanah untuk membuat sarang kumbang/ serangga pemakan daun kelapa yang masih muda, yang dapat mematikan pohon kelapa umbang janti, sejenis kumbang bertubuh sedang dan sayapnya berwarna hijau berkilaukilau.
+
-
+
-
+
-
ancruk samber ilen Jenis serangga lainnya Keremi lingsa limpit kala jengking kala supit tumo rengit berecung pucung angkutangkut lare angon tengu kunang kengkrik jekethit
kutu ayam yang muncul pada saat ayam bertelur hingga menetas telur kutu kepala jenis kutu yang ditemukan pada ternak jenis serangga yang bergerak sambil njengking ‗nungging‘ jenis serangga/kala jengking yang sepitnya lebih besar rerangga yang hidup pada lipatan-lipatan kain yang sudah lusuh nyamuk jentik-jentik nyamuk serangga kecil yang berwarna merah sejenis serangga yang membuat sarang dari tanah dan menempelkan sarangnya pada dinding bangunan atau pohon-pohon sehingga seperti tersangkut serangga yang hidup di permukaan air sawah (banyak muncul menjelang musim tanam padi). tungau, kutu kecil yang sering ditemukan pada ayam kunang-kunang jangkrik sejenis jangkrik dengan ukuran tubuh lebih kecil
+
-
+ + +
-
+
-
+
-
+ + + +
-
+
-
+ +
-
Di samping capung dan ulat, tabel di atas juga memperlihatkan bahwa GTBU juga mengenal banyak jenis tawon dan belalang. Ada sembilan jenis tawon
171 dan dua belas jenis belalang yang mereka kenal dengan tempat hidup dan populasi yang berbeda-beda.
Tawon kenceng adalah tawon yang banyak ditemukan
bersarang pada langit-langit rumah sangat banyak populasinya sehingga hampir semua masyarakat dengan mudah dapat menemukannya. Sebaliknya, tawon sruk sangat sulit ditemukan karena bersarang di dalam tanah pada kedalaman tertentu. Sesuatu yang unik, yakni GTBU memberikan julukan tawon menggala dengan sebutan tawon kirapa karena tawon jenis ini sangat ganas dan akan menyerang musuhnya tanpa ―kira-kira‖, dimana pun musuhnya bersembunyi selalu dikejar dan dapat menimbulkan kematian karena keganasan racunnya. Sementara itu, dari kelompok belalang yang sangat dikenal adalah walang sangit. Di samping bau kencingnya yang sangat menyengat, keterkenalan belalang ini juga karena
kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman padi yang bisa
menyebabkan petani mengalami kerugian yang sangat besar. Walaupun walang pari juga merusak padi karena memakan daunnya, kerusakan yang ditimbulkan tidak separah kerusakan yang ditimbulkan oleh walang sangit karena membuat bulir padi gabug ‗kosong‘. Walang lain yang juga cukup dikenal adalah walang kadhung, yaitu jenis belalang berkaki panjang dengan kaki depan yang selalu dilipat seperti orang madhung ‗memikul‘ sesuatu. Belalang ini sering dipakai mainan oleh anak-anak karena gerakan-gerakannya yang lucu. (6) Keberagaman leksikon ikan air tawar bahasa Using Air yang berlimpah merupakan tempat yang baik untuk berkembang biaknya berbagai jenis ikan air tawar, baik yang dibudidayakan maupun yang hidup liar. Fenomena ini juga terjadi di wilayah tempat tinggal GTBU terutama di
172 beberapa wilayah kecamatan, seperti Kecamatan Glagah dan Kabat tempat terdapatnya banyak mata air karena GTBU sangat menjaga kelestarian mata air ini dengan baik sesuai dengan petunjuk leluhur mereka. Untuk menunjukkan rasa terima kasih mereka kepada leluhur dan juga kepada Tuhan karena telah menciptakan mata air serta menjaganya untuk anak cucu, GTBU mengadakan sebuah upacara yang dinamai Rebo Wekasan. Banyak jenis ikan air tawar yang hidup di perairan di lingkunganan tempat tinggal GTBU khususnya dan di Kabupaten Banyuwangi umumnya. Di antara jenis ikan air tawar yang cukup terkenal melalui pembudidayaan karena memiliki nilai ekonomi cukup tinggi adalah wader, sengkaring, gurame, mujaher, tombro, lele, dan welut (Banyuwangi dalam Angka, 2009:166-170). Sementara itu, jenisjenis ikan yang cukup terkenal, namun tidak dibudidayakan di antaranya adalah deleg, cokol, uceng, dan kuniran (hasil wawancara dengan informan kunci dan pengamatan). Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon BUtentang ikan air tawar. Tabel 5.19 Keberagaman Leksikon Ikan Air Tawar Bahasa Using Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Nama Latin
sepat
Trichogaster thichopterus
badher gurameh
ikan sepat, ikan air tawar bersisik halus, sebagai bahan dasar ikan kering ikan wader ikan gurami
sengkaring tombro lele
ikan sengkaring ikan tombro lele
mujaher tawes nilem
ikan mujaher ikan tawes kan nila
Osphromenus olfa
Clarius melanoderma Tiapia mas Puntius javanicus
Kategori lingkungan Biotik Abioti k + + +
-
+ + +
-
+ + +
-
173 bedhul cokol
ikan bedul dan hidup di sungai ikan di sungai berwarna kehitaman
+ +
-
deleg
ikan gabus
+
-
geruyu
ketam (kepiting) yang hidup di sungai ikan bertubuh kecil yang ditemukan hidup di parit-parit atau sungai
+
-
+
-
meniran
ikan air tawar dengan ukuran tubuh kecil seperti menir
+
-
telekan
ikan yang ditemukan hidup di sungai dengan warna sisik hijau kehitaman
+
-
uceng-uceng
ikan uceng
+
-
kuniran
ikan yang hidup di sungai yang badan bagian bawah berwarna kekuningkuningan
+
-
welut
belut
+
-
encit
ikan air tawar yang warna tubuhnya transparan
+
-
bibis
ikan bibis
+
-
oling
ikan oling
+
-
urang
udang air tawar
+
-
mendhil
Ophiocephalus striatus
Monopterus albus
Crustacean
5.3.1.2 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berkategori Verba Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, leksikon suatu bahasa secara keseluruhan merupakan inventaris tentang semua objek atau benda-benda, pemikiran, kepentingan, dan aktivitas/tindakan yang dianggap penting dalam kehidupan sebuah guyub tutur. Semua hal yang dianggap penting tersebut diberi label atau nama dalam bahasa mereka dalam bentuk leksikon-leksikon yang bermakna yang merepresentasikan budaya mereka. Fenomena ini juga terjadi dalam guyub tutur GTBU.
174 Leksikon kealaman BU tidak saja beragam dari jenis leksikon nominanya tetapi, juga dari jenis leksikon verbanya. Leksikon-leksikon verba ini merupakan rekaman dari berbagai aktivitas GTBU terkait dengan kehidupan sehari-hari dan lingkungan tempat tinggal mereka. Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah dengan kondisi topografis dataran tinggi dan dataran rendah yang subur dengan air yang berlimpah serta keadaan geografis dengan curah hujan yang tinggi, tentu sangat banyak aktivitas yang dilakukan GTBU terhadap lingkungan mereka. Hal ini terekam dalam leksikon verba BU. Leksikon verba pada bagian ini dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yakni leksikon verba BU terkait dengan aktivitas di lahan pertanian dan lahan perkebunan, leksikon verba BU tentang aktivitas sosial, dan leksikon verba tentang aktivitas fauna. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud. 5.3.2.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun Seperti diketahui bahwa mayoritas dari GTBU
bermata pencaharian
petani khususnya petani lahan basah. Hal ini sangat sesuai dengan
keadaan
topografis, letak geografis, dan kesuburan lahan di wilayah tersebut. Sangat banyak aktivitas yan mereka lakukan di lahan pertanian maupun kebun mereka, baik terkait dengan flora, fauna, dan lingkungan yang mereka kenal dan akrabi. Semua aktivitas tersebut terekam dalam memori mereka dan dikodekan secara lingual sehingga melahirkan leksikon-leksikon verba tentang lingkungan alam yang beragam yang
memperkaya khasanah leksikon kealaman BU yang
175 membuatnya berbeda dengan BD lainnya yang ada di wilayah nusantara.Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU terkait dengan aktivitas GTBU di lahan pertanian dan kebun. Tabel 5.20 Keberagaman Leksikon Bahasa Using tentang Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
mbebeng nyirati mbubak
menutup saluran air menyirami sesuatu dengan air memecah tanah dengan menggunakan bajak atau cangkul (setelah habis panen) menahan alira air ke petak sawah berikutnya menggemburkan tanah sawah, kebun atau pekarangan dengan menggunakan cangkul bukan bajak menahan saluran air dengan menggunakan jerami atau benda-benda lainnya mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah panen dilakukan memanen atau mengetam padi membuat lubang dalam tanah untuk menanam benih meninggikan tanah sawah atau kebun (membuat gundukan) mengairi sawah
nambaki nyacal ngempet nggagas nggebros/nggampung nggejig nggulud ngileni (tentang sawah) mbalong melar ngeremponi matun nyebar ngurit nguter mberubuk nggrujug ngunduh mbeseh ndekung nderes ngenam nggepluki ngonceti ngorag/ngureg majeg/nebas macaki nyumbat ngerimbas
menggenangi petakan-petakan sawah dengan air yang cukup dalam untuk menunggu ditanami membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering meratakan tanah sawah sebelum ditanami embersihkan gulma di sela-sela tanaman padi menebar benih padi, palawija, dan sebagainya di lading atau sawah enyemai bakal benih memindahkan benih dari tempat pembenihan ke tempat penanaman permanent membuat tanah menjadi gembur menyirami seseuatu dengan air memetik sesuatu (tentang buah, bunga) menyayat kulit pohon mencangkok tanaman menyadap tuak/nira dari pohon enau menganyam sesuatu (daun kelapa, bilah-bilah bamboo) memebelah buah kelapa dengan kapak menguliti sesuatu (tentang buah) mengoyang-goyangkan batang pohon agar buahnya berjatuhan (tentang pohon mangga, jambu, dsb) menaruh cairan aren (bahan gula di dalam cetakan yang terbuat dari gelang-gelang bamboo atau daun lontar) mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak menguliti kelapa dengan sumbat membuang kulit pohon dan membentuk kayunya menjadi balok-balok
176 kayu menjolok (tentang buah) membersihkan pohon dari ranting-rantingnya menanam pagar hidup untuk kebun atau pekarangan rumah memotong ranting atau dahan pohon menjemur kelapa bahan kopra dengan cara menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik
nyelogrok nyangkrab nanceb notor mepe
Jikalau diperhatikan dengan saksama, tabel di atas menunjukkan bahwa ada 20 leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan kebun, dari mulai mengairi sawah, mengolah tanahnya hingga memanen padi, seperti mbebeng ‗menutup saluran air‘, mbubak ‗memecah tanah dengan menggunakan bajak atau cangkul setelah panen selesai‘, melar membajak tanah sawah atau kebun dala keadaan kering‘, nyacal ‗menggemburkan tanah sawah, ladang atau pekarangan dengan menggunakan cangkul bukan bajak‘, dan seterusnya, hingga leksikon verba nggebros/ggampung ‗memanen padi‘. Hal ini menandakan bahwa GTBU mengodekan secara detail aktivitas-aktivitas mereka tentang pertanian khususnya padi sehingga BU menjadi sangat kaya akan leksikon-leksikon verba tentang pertanian yang membuatnya berbeda dengan BD lain yang guyub tuturnya tidak bermata pencaharian petani. Di samping memuat leksikon-leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian, tabel di atas juga memuat leksikon-leksikon verba tentang aktivitas di lahan kebun. Dari 15 leksikon verba tentang aktivitas di lahan kebun, 6 leksikon di antaranya terkait dengan kelapa ‗kelapa‘, seperti ngunduh ‗memetik sesuatu (tentang buah), nggepluki ‗membelah buah kelapa dengan kapak‘ , macaki ‗mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak‘, nyumbat ‗menguliti kelapa dengan
sumbat‘,
mepe
‘menjemur
kelapa
bahan
kopra
dengan
cara
menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik‘, dan mbeseh ‗menyayat
177 batang kelapa untuk dicari kayu intinya‘. Hal ini mencerminkan bahwa GTBU memiliki interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan entitas ini. Kondisi berbeda akan ditemukan di ecoregion yang tidak ada entitas kelapanya, sehingga guyub tutur yang berdomisili di lingkungan tersebut tidak mengenal leksikon verba tentang kelapa seperti yang dimiliki BU. 5.3.2.2 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya Keberagaman leksikon suatu bahasa, menggambarkan keberagaman lingkungan ragawi dan lingkungan sosial guyub tuturnya karena leksikon-leksikon suatu bahasa merekam buah pikiran, ide-ide, aktivitas-aktivitas penting dalam kehidupan guyub tuturnya. Demikian halnya yang terjadi dalam BU. Yang dimaksud dengan aktivitas sosial dalam hal ini adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat terhadap entitas fauna dan entitas-entitas lainnya yang dilakukan di lingkungan tempat tinggal mereka, seperti leksikon verba yang diacu oleh aktivitas berburu, mengambil air di sumur, menumbuk, hingga aktivitas melempar. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU terkait dengan aktivitas sosial mereka. Tabel 5.21 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya Leksikon BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI
ngangsu nyenggot
mengambil air di sumur dengan timba mengambil air di sumur dengan ‗senggotan‘ (timba yang dianggkat dengan galah) berburu binatang dengan menggunakan anjing (asu) berburu babi hutan dan rusa pada malam hari dengan menggunakan lampu sorot berburu binatang hutan
ason-ason mbelor nggeladag
178 ngantih mbebek mbelasak mbenem mbleteti mbombong nyancang nyekoki/njamoni nyeruh ngangon nggetes ngileni (tentang jangkrik) medhok ngersaya majeg (tentang hasil kebun) nyelisir nyerimpung mbentuk nyerawat nyuluh
memintal kapas untuk dijadikan benang menumbuk (tentang padi atau kopi) memasuki wilayah yang penuh dengan tumbuhan semak beelukar membenamkan sesuatu di abara api (tentang pisang, ketela, dsb). mengeluarkan isi perut hewan semblihan menyabung ayam aduan menambatkan binatang ternak memberi jamu hewan peliharaan (tentang kuda, sapi, kerbau) memutihkan beras dengan cara menumbuknya kembali mengembalakn bintang peliharaan menumbuk kuat-kuat supaya pecah (tentang kemiri) membuat jangkrik geli dengan menggunakan bunga rumput tertentu bertempat tinggal semetara di sawah atau di kebun selama musim panen bergotong royong mengerjakan tanah sawah atau kebun membeli hasil kebun atau sawah secara borongan berjalan menelusuri pinggir sungai atau pantai melempar dengan batang kayu melempar sesuatu (tentang buah-buahan) dengan batang kayu atau batu melemparkan sesuatu Mencari ikan atau burung pada malam hari dengan menggunakan obor
Jika tabel di atas dicermati, terdapat sejumlah leksikon verba tentang aktivitas-aktivitas, seperti berburu, memberi jamu pada hewan peliharaan, mengambil air di sumur, menumbuk, hingga leksikon verba melempar. Untuk leksikon verba berburu, GTBU membedakan antara leksikon verba berburu secara umum dan berburu dengan menggunakan peralatan tertentu sehingga ada tiga jenis leksikon verba terkait dengan aktivitas berburu, yakni
nggeladag
‗berburu binatang hutan‘, ason-ason ‗berburu binatang dengan menggunakan anjing (asu)‘, dan mbelor ‗berburu babi hutan atau rusa pada malam hari dengan menggunakan lampu sorot‘.
Fenomena serupa juga terjadi pada leksikon verba
ngangsu ‗mengambil air di sumur dengan menggunakan timba yang diangkat dengan menggunakan tangan‘ dan nyenggot ‗mengambil air di sumur dengan senggot (galah yang digunakan untuk mengangkat timba dengan cara mengungkitnya‘. Semua fenomena
tersebut merepresentasikan bahwa
di
179 lingkungan tempat tinggal GTBU ada entitas kelapa dan GTBU memiliki pengetahuan cara mengolah dan memanfaatkan bagian-bagian dari entitas tersebut. Demikian halnya kehadiran leksikon-leksikon verba lainnya dengan aktivitas-aktivitas yang diacunya juga turut memberi ciri pada budaya GTBU yang membedakan mereka dari etnis lainnya. 5.3.2.3 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas Fauna Lingkungan tempat tinggal GTBU merupakan lingkungan yang masih asri karena tidak terlalu banyak alih fungsi lahan sehingga merupakan ecoregion yang sangat bagus untuk hidupnya beberapa jenis fauna. Eksistensi dari fauna-fauna dan juga flora tertentu di lingkungan mereka menyebabkan adanya interaksi, interelasi, dan interelasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara GTBU dan entitas-entitas yang ada di lingkungan tersebut, di samping mereka memiliki pengetahuan tentang entitas-entitas tersebut. GTBU
tidak saja
mengodekan aktivitas mereka terhadap alam, tetapi juga aktivitas flora, fauna, dan alam di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman leksikon verba yang mengacu pada berbagai aktivitas dari entitas-entitas yang ada di lingkungan mereka. Pada bagian ini ditampilkan leksikon verba yang terkait dengan aktivitas hewan, unggas dan burung, reptil dan serangga. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba tentang beberapa aktivitas dari entitas-entitas yang dimaksud.
180 Tabel 5.22 Keberagaman Leksikon Verba Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas Fauna Leksikon BU Aktivitas hewan ngeludes Kedrangen ngguyang Ngeregeb nyeludug Aktivitas unggas dan burung nyeker ngendhat ngentit keblak-keblak ngokok neba metingkring giblas-giblas nyisil nyeblak Aktivitas serangga yenget Aktivitas reptile nyeloyor
Gloss dan penjelasannya dalam BI
menggemburkan tanah dengan moncong (tentang babi hutan) berlari sambil berlompatan kesana kemari yang dilakukan oleh anak sapi mandi yang dilakukan oleh ternak di air atau lumpur berendam dalam kubangan lumpur yang dilakukan oleh kerbau menyeruduk dengan tanduk (tentang kambing) mengais-ngais tanah yang dilakukan oleh ayam untuk mendapatkan makanan berhenti bertelur sementara (tentang itik atau ayam) bertelur di luar sarang yang sudah disediakan (tentang ayam) mengepak-ngepakkan sayap sambil berkokok yang dilakukan oleh ayam jantan mengeluarkan suara yang dilakukan oleh ayam betina (dilakukan sebelum bertelur atau sedahnya) hinggap secara bersamaan yang dilakukan secara bersamaan oleh sererombolan burung di atas tanah atau dahan pohon bertengger di atas sesuatu (tentang burung) mengepak-ngepakkan sayap agar kering menguliti bulir padi/kacang yang dilakukan oleh tikus atau burung memukul-mukul dengan sayap (tentang ayam aduan) menyengat melata (tentang ular)
Karena kedekatannya dengan lingkungan alam sekitarnya, GTBU sangat akrab dengan aktivitas binatang yang ada di sekeliling mereka. Aktivitas binatangbinatang diverbalkan secara rinci, seperti perilaku ayam/burung. Burung/unggas yang
mengepak-ngepakkan
sayap
disebut
keblak-keblak,
jika
mereka
membersihkan air dari bulu disebut nyisil, berhenti bertelur sementara disebut ngendat, dan bertelur di luar sarang disebut ngentit. Hal ini turut memperkaya kekayaan leksikon verba BU, khususnya tentang aktivitas fauna yang membuatnya berbeda denagn BD lain.
181 5.3.2.4 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas Alam Aktivitas yang dimaksud pada bagian ini adalah segala aktivitas yang terjadi yang bukan dilakukan oleh manusia. Karena interaksi. interelasi, dan interdependensi mereka dengan alam, GTBU juga mengodekan secara verbal atau lingual aktivitas-aktivitas tersebut yang menciptakan leksikon verba yang beragam yang mengacu pada aktivitas-aktivitas tersebut. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU yang mengacu pada aktivitasaktivitas alam yang dikenal dan diakrabi oleh GTBU. Tabel 5.23 Keberagaman Leksikon Verba Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Aktivitas Alam Leksikon BU
Gloss dalam BI
ngampar-ampar ngungkreg mencorong Aktivitas alam mberojol nggerontol nggeluntung logrog mekrog meldhog mergodog merkatak mecukul methukul melethek
menyambar-nyambar (tentang petir) berguncang/bergetar dengan keras (tentang tanah karena gempa bumi bersinar terang (tentang matahari) terlepas dari ikatannya (tentang buah atau padi) gugur berjatuhan (tentang buah) menggulung (tentang dedaunan) karena teriknya sinar matahari gugur berjatuhan (tentang bunga atau buah) mekar (tentang bunga) merekah karena kekeringan (tentang tanah) menguning pada bagian yang sudah tua (tentang tanaman padi) menyembul serentak (tentang buah padi) munculnya bakal tanaman dari biji kacang-kacangan munculnya tunas dari dahan yang habis dipotong merekah karena terlalu matang/tua (tentang kulit buahbuah)
Karena kedekatannya dengan alam, GTBU tidak saja mengodekan secara lingual aktivitas yang mereka lakukan sendiri terhadap lingkungannya dan aktivitas fauna yang ada di sekitar mereka, mereka juga melakukan hal yang sama terhadap aktivitas alam di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat munculnya leksikon verba, seperti merkatak yang mengacu pada aktivitas tentang buah padi
182 menyembul serentak, methukul
yang mengacu pada
proses keluarnya bakal
tanaman di sela-sela biji kacang-kacangan, mecukul untuk tumbuhnya tunas dari dahan yang dipotong, dan melethik yang mengacu pada proses munculnya buah yang merekah karena terlalu matang, dan sebagainya. Di samping itu, dalam tabel di atas juga terlihat leksikon verba yang mengacu pada beberapa perubahan daun tumbuhan.
5.4
Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Cara Penamaan Entitas Acuan Seperti disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ada dua teori terkait
dengan penamaan. Teori pertama mengatakan bahwa sebuah kata berkategori nomina yang memiliki acuan (reference). Nama juga merupakan sebuah kata yang mengekspresikan sesuatu yang ada di dalam benda atau makna yang ada dibalik sebuah objek. Nama merupakan label yang diberikan untuk orang, tempat, tumbuhan, hewan, dan sebagainya yang membuatnya berbeda satu sama lain karena nama merupakan sesuatu yang spesifik yang mengandung asumsi pembicara sehingga seseorang yang mendengarkannya dapat mengidentifikasikan objek atau referen yang dimaksud pembicara. Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, ed.,1971:91-94) memberi nama objek khususnya binatang, berdasarkan hal-hal, seperti asal, ukuran, jenis makanan, bunyi, bentuk, warna, ekspresi wajah, dan sebagainya. Sementara itu, Verheijen (1984:3) memberi nama pada tumbuh-tumbuhan yang ditemukan tumbuh di wilayah Manggarai, Flores, berdasarkan nama yang terkait dengan peristiwa sejarah, nama pinjaman (dari bahasa lain), nama aetiologis, dan nama deskripsi.
183 Pada bagian ini, untuk penamaan flora dan fauna, khususnya yang berbentuk leksikon majemuk (compound words), yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU diterapkan kedua model yang dikemukakan oleh kedua ahli di atas, namun diadakan modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. 5.4.1 Keberagaman Cara Penamaan Flora Berdasarkan pengamatan dan analisis data ditemukan bahwa GTBU menamai entitas atau objek yang berupa flora yang ada di sekeliling mereka berdasarkan hal-hal berikut, yakni (1) penamaan secara umum, (2) penamaan berdasarkan nama tempat, (3) penamaan berdasarkan bau, (4) penamaan berdasarkan bentuk, (5) penamaan berdasarkan cara mengonsumsi, (6) penamaan berdasarkan cara tumbuh, (7) penamaan berdasarkan jumlah, (8) penamaan berdasarkan ciri fisik, (9) penamaan berdasarkan manfaat/fungsi, (10) penamaan berdasarkan penemu/pemilik pertama, (11) penamaan berdasarkan persamaan bunyi, (12) penamaan berdasarkan persamaan sifat, (13) penamaan berdasarkan rasa, (14) penamaan berdasarkan sifat, (15) penamaan berdasarkan tempat tumbuh, (16) penamaan berdasarkan ukuran, dan (17) penamaan berdasarkan warna. Berikut adalah uraian dari masing-masing penamaan yang dimaksud. 1) Penamaan berdasarkan asal/nama tempat Keberagaman flora yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU memunculkan keberagaman leksikon flora BU yang juga disertai dengan keberagaman nama jenis flora tersebut. Salah satu cara yang dipakai GTBU untuk menamai beberapa jenis flora adalah berdasarkan asal/nama tempat. Di antara
184 jenis flora yang dimaksud adalah: kacang cina, yaitu kacang yang dibawa oleh pedagang-pedagang asal negeri Cina (yang dahulu terkenal dengan sebutan Tiongkok) yang berlabuh di Pelabuhan Pasuruan. Kacang ini terbawa oleh bala tentara Kerajaan Pasuruan pada saat menyerang Kerajaan Blambangan. Entitas lain yang diberi nama berdasarkan asal/nama tempat adalah jenis rambutan, yakni rambutan lebak bulus dengan ciri yaitu bulu/rambut buahnya pendek-pendek, sedangkan rambutan aceh rambut/bulunya lebih panjang. Sementara itu, jenis jambu yang dinamai berdasarkan asal/nama tempat adalah jambu semarang, yaitu jambu yang waktu muda berwarna hijau dan setelah matang berwarna coklat tua. Contoh lainnya adalah gedhang
ambon, yaitu sejenis pisang dengan ukuran
cukup besar, kulit selalu berwarna hijau, baik pada saat masih mentah maupun sesudah matang. 2) Penamaan berdasarkan bau Banyak flora dikenal oleh masyarakat karena baunya, baik bau yang berasal dari daun, bunga, umbi, maupun dari kulit pohonnya. Terkait dengan penamaan flora yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, ditemukan bahwa ada jenis flora tertentu dinamai berdasarkan baunya yang khas. Entitas yang dimaksud di antaranya adalah kembang bacin adalah sejenis flora yang bau bunganya menyerupai bacin ‗kotoran manusia‘. Contoh lainnya adalah kembang bangah ‗bunga bangkai‘, yaitu tanaman berumbi dan getahnya menyebabkan gatal serta bunganya berbau seperti bangkai, dan pandan wangi, yaitu jenis pandan tanpa duri yang daunnya berbau wangi. Pandan ini, secara budaya, dipakai
185 campuran kembang kirim 2 dan juga sebagai pemberi aroma harum berbagai jenis kue. 3) Penamaan berdasarkan bentuk Ada beberapa jenis flora yang dinamai berdasarkan kemiripan bentuk dengan objek lainnya yang bisa berupa flora, fauna atau benda-benda lainnya. Jumlah jenis flora yang mempunyai kemiripan bentuk jumlahnya cukup banyak, di antaranya dari kelompok buah-buahan, yakni poh endhog dan poh kotak, yaitu jenis mangga yang penamaannya karena bentuknya lonjong seperti telur dan hampir persegi empat menyerupai kotak. Sementara itu, dari kelompok sayursayuran yang penamaannya berdasarkan kemiripan bentuk, yakni kara komak, yaitu jenis kara yang bentuknya menyerupai tanda koma; kara pedang yaitu jenis kara yang bentuknya mirip pedang; dan kara urang adalah jenis kara yang bentuknya seperti udang, bungkuk dan melengkung pada bagian ujungnya. Contoh lain dari kelompok sayur-sayuran adalah jamur kuping, yaitu jamur yang bentunya mirip telinga manusia dan biasanya tumbuh pada batang-batang kayu tua yang sudah lapuk, jamur wulan, yaitu jenis jamur yang bentuknya bulat dan berwarna putih seperti bulan. Adapun contoh tanaman obat adalah kembang bintang, yaitu jenis tanaman obat yang hidup di pinggir kali kecil bermahkota bunga lima helai yang membentuk segi lima dan dipakai sebagai obat tetes mata dan kumis kucing, yaitu tanaman obat berkhasiat untuk mengatasi susah buang air kecil dengan sari bunganya menyerupai kumis kucing.
186 4) Penamaan berdasarkan cara mengonsumsinya Tidak banyak jenis flora yang dinamai berdasarkan cara mengkonsumsi bagian-bagian dari flora tertentu. Walaupun demikian, fenomena ini tetap berperan dalam terciptanya keberagaman leksikon lingkungan alam BU. Contoh flora yang dinamai berdasarkan cara mengonsumsi bagian-bagiannya adalah poh kenyut yaitu jenis mangga yang buahnya tidak terlalu besar, berserat, dan dikonsumsi dengan cara di-kenyut ‗dihisap‘, tidak dikupas seperti lazimnya cara mengkonsumsi buah mangga pada umumnya. Flora lain yang penamaannya juga dengan cara ini adalah jamur gerigit, yaitu salah satu jenis jamur yang apabila setelah diolah menjadi masakan tertentu lalu dikonsumsi dengan cara digigit karena jamur ini cukup kenyal walaupun sudah dimasak dengan matang. 5) Penamaan berdasarkan cara tumbuh Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, ada beberapa jenis flora yang dinamai berdasarkan cara tumbuhnya, yakni sambulan, tumpang sari, jambu kelampok, dan jamur manuk. Sambulan adalah jenis padi lain yang tumbuh di sela-sela jenis padi utama yang dibudidayakan petani atau padi lain yang tumbuh di sela-sela tanaman padi utama dan tingginya melebihi padi utama. Keberadaan padi ini dianggap mengganggu sehingga sering dicabuti. Sementara itu, tumpang sari adalah semua jenis tanaman yang ditanam secara ‗numpang‘ di antara tanaman utama, seperti jagung yang ditanam di sela-sela tanaman kedeleai atau kacang hijau, atau kecipir yang ditanam di pematang sawah sesaat stelah musim tanam sehingga berbuah bersamaan dengan padi menguning. Jambu kelampok adalah jenis jambu yang tumbuhnya secara berkelompok dan jarang
187 ditemukan terpisah dari tanaman sejenis. Hal ini terkait dengan cara berkembang biaknya yang terjadi melalui perantara kelelawar. Entitas-entitas ini biasanya tumbuh liar. 6) Penamaan berdasarkan jumlah Keberagaman leksikon BU dari segi penamaan juga ditunjang oleh cara penamaan berdasarkan jumlah buah, daun, bunga atau bagian-bagian lainnya dari tumbuhan tersebut. Fenomena ini melahirkan leksikon baru untuk sebuah entitas seperti yang terlihat pada penamaan salah satu jenis pisang, yakni gedhang sewu. Pada saat berbuah, dalam satu tandannya terdapat belasan sisir pisang yang terdiri atas puluhan biji. GTBU mengumpamakan bahwa pisang ini seolah-olah berbuah seribu sehingga dinamakan gedhang sewu. Contoh lain untuk pengelompokan penamaan dengan cara ini adalah tapak liman, yaitu jenis tanaman obat dengan daun berwarna hijau tua dengan helai daun tumbuh melingkar mengelilingi batang yang menempel rapat di atas permukaan tanah dengan jumlah seolah-olah lima. 7) Penamaan berdasarkan ciri fisik Penamaan berdasarkan keadaan sebuah entitas yang dimaksud pada bagian ini adalah penamaan berdasarkan ciri khusus yang dimiliki suatu entitas. Fenomena ini terlihat pada contoh kelompok entitas, seperti pari sogel adalah jenis padi lokal yang tidak berbulu pada setiap ujung bulirnya (gundul), jambu menthe adalah jambu yang letak bijinya mencle ‗berada di luar daging buah, tidak seperti lazimnya buah pada umumnya, kembang surngenge ‗bunga matahari‘ adalah jenis flora dengan bunga besar, bulat, dan selalu menghadap matahari, dan kelapa
kopyor dan mangga kopyor adalah jenis kelapa dan mangga dengan
188 daging buah yang selalu kopyor ‗encer‘. Gedhang saba ‗pisang kepok‘ adalah salah satu jenis pisang yang paling mudah ditemukan dan paling dicari
di
wilayah Kabupaten umumnya karena pisang ini memiliki nilai ekonomis tinggi di samping keterpakaiannya sebagai bahan dasar berbagai penganan, seperti keripik, kue, naga sari, pisang goring, gethuk, dan sebagainya, sedangkan jajang ori dan bayem eri adalah dua entitas yang dinamai berdasarkan duri yang ada pada batang di kedua entitas tersebut. Sementara itu, jajang pelet adalah jenis bambu yang diberi nama demikian karena ada guratan-guratan pada batangnya dan jajang surat karena adanya guratan-guratan/garis-garis pada batangnya. 8) Penamaan berdasarkan manfaat/fungsi Di samping mengungkapkan bentuk, jumlah, rasa, dan sebagainya tentang entitas acuannya, nama
juga dapat merupakan
sebuah kata yang
mengekspresikan fungsi/manfaat yang diemban oleh suatu tumbuhan karena nama merupakan label yang diberikan pada tumbuhan yang membuatnya dapat dikenali oleh manusia untuk diidentifikasi. Ada sejumlah flora yang dinamai berdasarkan manfaat/fungsi yang diembannya terutama bagi kehidupan manusia, seperti jeruk purut, yaitu jeruk yang dipakai ramuan tambahan dalam obat urut bagi GTBU yang tinggal di daerah tertentu. Contoh flora lainnya adalah jajang watu ‗bambu batu‘ yaitu jenis bambu yang sangat kuat sehingga dipakai sebagai bahan dasar untuk pembuatan singkek untuk mengangkut batu kali. Sementara itu, suruh kinang adalah jenis sirih
yang dipakai untuk nginang dan untuk
perlengkapan kinangan. Selanjutnya, sambung nyawa adalah jenis tanaman obat
189 untuk ramuan yang diberikan kepada orang sakit (biasanya sakit parah) agar ―nyawanya tersambung kembali‖ 9) Penamaan berdasarkan penemu/pemilik pertama Di dunia internasional banyak ditemukan nama penemu sebuah objek sama dengan nama objek itu sendiri, apakah
nama gunung, pulau, tanjung,
tumbuhan, dan sebagainya. Fenomena ini juga ditemukan di tengah-tengah GTBU. Sebagai contoh, jambu dharsono adalah salah satu jambu yang dimiliki/diperkenalkan/ditanam pertama kali oleh Tuan Dharsono. Sementara itu, ranbutan rapiah adalah salah satu jenis rambutan dengan rambut (duri) agak pendek
dibandingkan
dengan
rambutan
aceh
yang
diperkenalkan/ditanam/dibudidayakan pertama kali oleh Nyonya Rapiah dan jajang ampel adalah jenis bambu dengan ruas pendek-pendek, dinding ruas tebal dan ditanam pertama kali oleh Sunan Bonang atas perintah Sunan Ampel pada saat penyebaran Syariat Islam di tanah Jawa. 10) Penamaan berdasarkan prsamaan bunyi Persamaan bunyi yang dimaksud pada bagian ini adalah persamaan bunyi konsonan atau vokal nama entitas fauna dengan bunyi konsonan/vokal leksikon entitas yang menjadi referennya. Misalnya, bunyi til pada leksikon kembang sri gantil ‗bunga kembang sepatu yang memiliki persamaan bunyi dengan bunga yang sarinya intil-intil ‗sari yang bergelantungan‘, bunyi ja pada kembang sembuja ‗bunga kamboja‘ (banyak ditanam di daerah pekuburan) memiliki persamaan bunyi dengan puja ‗memuja‘ yang artinya bahwa sanak saudara orang yang meninggal tetap mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar arwah orang
190 yang meninggal itu dapat diterima di sisi-Nya. Demikian halnya yang terjadi pada bunyi sa pada leksikon kembang wangsa memiliki persamaan bunyi dengan bunyi sa pada leksikon rumangsa ‗mawas diri‘, artinya kehadiran kembang wangsa sebagai salah satu elemen dari kembang telonxx ‗bunga tiga jenis‘ pada upacara slametan dengan harapan agar orang yang di-slameti selalu mawas diri agar terhindar dari marabahaya dan godaan. 11) Penamaan berdasarkan persamaan sifat Cara penamaan berdasarkan persamaan sifat antara flora dan sifat entitas pembanding turut memperkaya keberagaman leksikon lingkungan alam BU dan membedakannya dengan leksikon-leksikon kealaman BD lainnya. Dinamainya satu jenis pisang dengan gedhang welu ‗pisan belut‘ karena pisang ini akan tumbuh subur kalau ditanam di tempat yang ada airnya seperti pinggir parit atau kali. GTBU menyamakan sifat jenis pisang ini dengan sifat belut yang tidak bisa hidup tanpa air. Contoh lain, yakni kembang sundel dan kembang mawar yang dipakai dalam ritual santet. Kembang sundel berbau harum dan dapat memikat hati orang yang menciumnya, sedangkan sundel adalah perempuan yang sering bertingkah laku tertentu untuk memikat hati orang terutama lawan jenis. Kembang mawar yang berwarna merah dan berbau harum dapat memikat orang yang memandangnya. Artinya bahwa orang mengadakan ritual santet juga dapat memikat orang yang di di-santet. Pemberian nama berdasarkan persamaan sifat juga dapat dilihat pada entitas jati mas ‗jati emas‘ dan gedhang berlin ‗pisang berlin‘, dan widuri putih ‗bunga widuri putih‘. Dinamai jati mas karena harganya mahal seperti harga emas dan dinamai gedhang berlin karena ukuran buahnya
191 kecil-kecil seperti berlian dan juga harganya mahal ibarat berlian (rasanya gurih kalau diolah menjadi kripik pisang) dan penamaan terhadap jenis pisang yang buahnya keras dan pada umumnya bentuk buahnya lurus dianggap bersifat sama dengan kayu sehingga dinamai gedhang kayu. Sementara itu, widuri putih ‗(bunga) widuri putih‘ dipakai ramuan untuk anak yang sedang belajar berbicara supaya bicaranya lancar seperti letupan-letupan bunga widuri kering apabila terkena sinar terik matahari. 12) Penamaan berdasarkan rasa Cukup banyak jenis flora yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU dinamai berdasarkan terutama rasa buahnya dan secara kebetulan kebanyakan penamaan model ini berasal dari kelompok buah-buahan. Poh madhu yaitu jenis mangga yang rasanya manis seperti madu, gedhang raja nangka adalah jenis gedhang raja
yang memiliki rasa seperti rasa nangka, gedhang
kapuk, yaitu jenis pisang yang berbiji dan daging buahnya terasa empuk seperti kapuk, jeruk manis, yaitu jenis jeruk yang rasanya manis, jamur gajih, yaitu jenis jamur yang apabila diolah menjadi masakan rasanya gurih seperti gajih ‗lemak‘, dan kacang usi, yaitu jenis kacang yang mengandung banyak minyak dan rasanya empuk seperti uson ‗usus ternak‘ yang digoreng adalah contoh penamaan terhadap entitas-entitas yang didasarkan pada rasa, serta bayem pasir, jenis bayam, apabila dimakan rasanya seperti ada pasir.
192 13) Penamaan berdasarkan sifat GTBU
mempunyai berbagai cara untuk menamai tumbuhan atau flora
yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal mereka. Di samping penamaan dengan cara-cara di atas, penamaan berdasarkan sifat entitas yang dinamai juga dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada nama jajang benel ‗bambu benel‘ yaitu jenis bambu yang benar-benar dianggap bambu karena kegunaannya yang sangat banyak dan jajang gabug, yaitu salah jenis bambu yang hanya bisa dipakai sebagai tiang umbul-umbul dan kayu bakar yang bagi GTBU dianggap tidak berguna (gabug artinya kosong, tidak berguna) karena dinding ruasnya sangat tipis. 14) Penamaan berdasarkan tempat tumbuh Beda tumbuhan berbeda pula tempat tumbuhnya. Fenomena ini menginspirasi GTBU untuk memberi nama tumbuhan tertentu berdasarkan tempat tumbuhnya sehingga menambah keberagaman leksikon BU. Sebagai contoh, jamur dami adalah jenis jamur yang ditemukan tumbuh di atas tumpukan jerami atau jamur yang menggunakan media jerami untuk tumbuh. Jamur kepong adalah jenis jamur yang banyak ditemukan tumbuh pada kepong ‗kotoran sapi‘ dan bayem sapi adalah jenis bayam yang banyak tumbuh pada kotoran sapi di samping merupakan jenis bayam yang sering dijadikan makanan sapi meskipun makanan utamanya adalah rumput. 15) Penamaan berdasarkan ukuran Penamaan flora yang merepresentasikan
ukurannya tidak banyak
ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU jika dibandingkan dengan karakteristik penamaan lainnya dan juga jika dibandingkan dengan jumlah sampel
193 flora yang dipakai. Berdasarkan analisis data, ada
tiga jenis ukuran yang
direpresentasikan oleh cara penamaan flora, yakni ukuran besar, ukuran kecil, dan ukuran merata. Untuk penamaan ukuran besar diwakili oleh entitas gedhang agung dan ketepeng kebo. Gedhang agung adalah salah satu jenis pisang yang ukuran buahnya jauh melebihi ukuran pisang pada umumnya yang jumlah sisirnya dalam satu tandan dua atau tiga dan ketepeng kebo yang dalam BI disebut lamtoro gung adalah jenis lamtoro yang buahnya lebih besar dibandingkan dengan ketepeng (cilik) ‗petai cina‘ yang ranting beserta daunnya digunakan untuk makanan ternak. Sementara itu, contoh entitas flora yang mengacu pada ukuran kecil adalah menir, meniran, dan bayem menir. Menir adalah butiran beras berukuran kecil yang didapat pada saat penyosohan beras; meniran adalah jenis tumbuhan berdaun dan berbuah kecil-kecil yang diumpamakan sebesar menir; dan bayem menir adalah jenis bayam yang tumbuh liar di pekarangan rumah atau tegalan yang ukuran daunnya sangat kecil. Selanjutnya itu, sambilata ‗sambiloto‘ adalah jenis tanaman dengan daun berasa sangat pahit yang dinamai karena tinggi batangnya merata yang biasanya ditemukan tumbuh di semak-semak atau pekarangan rumah. 16) Penamaan berdasarkan warna Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, banyak tumbuhan yang dinamai berdasarkan warna dari entitas-entitas tersebut. Tumbuhantumbuhan yang dimaksud
di antaranya adalah ketan cemeng, temu cemeng,
gedhang ijo, kelapa ijo, kacang ijo, kara ijo, ketan putih, temu putih, kara putih, labu putih, labu kuning, jajang kuning, temu kuning, labu abang, duren abang,
194 turi abang, kara abang, dan sebagainya. Semua entitas di atas diberi nama sesuai dengan warnanya. Di samping itu, ada penamaan berdasarkan warna yang mirip dengan warna entitas lainnya, seperti kembang tembelekan, yaitu bunga yang berwarna hitam seperti kotoran ayam yang warnanya hitam dan kemuning, yaitu jenis tumbuhan yang daunnya apabila digerus akan berubah menjadi kuning. Jikalau cara penamaan flora yang hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU diklasifikasikan maka akan terlihat seperti tabel berikut. Tabel 5.24 Keberagaman Cara Penamaan Flora Acuan Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Leksikon BU rambutan lebak bulus gedhang ambon ranbutan aceh jambu semarang kembang bacin kemabang bangah pandan wangi poh endog kara komak jamur kuping kembang bintang kumis kucing poh kenyut jamur gerigit sambulan tumpang sari jambu kelampok gedhang sewu tapak liman pari sogel jambu menthe kelapa kopyor bayem eri jajang pellet jeruk purut jajang watu suruh kinang sambung nyawa jambu dharsana rambutan rapiah jajang ampel sri gantil
Cara Penamaan Flora 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + -
+ + + -
+ + + + + -
+ + -
+ + + -
+ + -
+ + + + + -
+ + + + -
+ + + -
+
-
-
-
-
-
-
195 kembang sembuja
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
kembang wangsa gedhang welut gedhang berlin jati mas widuri putih gedhang raja nangka jeruk manis jamur gajih kacang usi ajang benel jajang gabug jamur dami jamur kepong bayem sapi menir meniran bayem menir gedhang agung ketepeng kebo sambiloto ketam cemeng gedahing ijo duren abang kembang tembelekan jajang kuning
+ + + + + +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ -
+ + + + -
+
-
-
-
-
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + + -
+ + -
+ + + -
+ + + + + + -
+ + + +
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
Keterangan: (1) Penamaan secara umum, (2) Penamaan berdasarkan nama tempat, (3) Penamaan berdasarkan bau, (4) Penamaan berdasarkan bentuk, (5) Penamaan berdasarkan cara mengkonsumsi, (6) Penamaan berdasarkan cara tumbuh (7) Penamaan berdasarkan jumlah, (8) Penamaan berdasarkan cirri fisik, (9) Penamaan berdasarkan manfaat/fungsi, (10) Penamaan berdasarkan penemu/pemilik pertama, (11) Penamaan berdasarkan persamaan bunyi, (12) Penamaan berdasarkan persamaan sifat, (13) Penamaan berdasarkan rasa (14) Penamaan berdasarkan sifat, (15) Penamaan berdasarkan tempat tumbuh, (16) Penamaan berdasarkan ukuran, dan (17) Penamaan berdasarkan warna.
Keberagaman cara penamaan di atas, di samping mengindikasikan kedalaman pemahaman dan pengetahuan GTBU terhadap sumber daya lingkungan alam, fenomena tersebut juga menandakan adanya interaksi dengan entitas-entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut yang turut dapat memperkaya khasanah leksikon lingkungan alam BU, khususnya tentang flora.
196 5.4.2 Keberagaman Cara Penamaan Fauna Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa di Kabupaten Banyuwangi umumnya dan di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya hidup berbagai jenis fauna. Keberagaman jenis fauna disertai juga keberagaman leksikon
yang diacunya karena adanya keberagaman
cara penamaan yang
dilakukan oleh GTBU. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa ada
sebelas cara penamaan terhadap fauna yang hidup di
wilayah ini. Berikut adalah uraian dari masing-masing cara penamaan fauna yang dimaksud. 1) Penamaan berdasarkan bau yang dikeluarkan Oleh karena adanya interaksi dengan biota yang ada di lingkungan mereka, maka manusia dapat mengetahui ada tidaknya binatang tertentu di sekeliling mereka karena bau yang dikeluarkan oleh binatang tersebut yang berfungsi untuk mempertahankan diri dari musuh-musuhnya, seperti racun yang ada pada serangga. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tikus langu dan walang sangit adalah jenis mamalia dan serangga yang diberi nama berdasarkan bau yang dikeluarkannya. Tikus langu adalah jenis tikus yang kencingnya berbau langu ‗tidak sedap‘. Sementara itu, walang sangit adalah jenis belalang yang kencingnya yang sangit. Jenis belalang ini biasanya menyerang padi yang baru berbuah dan jikalau kencing belalang mengenai bulir padi maka dapat menyebabkan bulir-bulir padi tersebut menjadi gabug ‗kosong‘. Jika serangan dari belalang-belalang ini menimbulkan kerugian pada petani.
pada daerah cukup luas maka
197
2) Penamaan berdasarkan ciri fisik Beragam nama dan leksikon muncul karena keberagaman penamaan berdasarkan ciri fisik. Ciri fisik yang dimaksud dalam hal ini adalah ciri khusus yang ditemukan pada entitas fauna yang dibandingkan dengan sesuatu yang ditemukan pada objek lain atau di lingkungan sekitarnya. Di antara jenis fauna yang diberi nama berdasarkan ciri fisiknya, yakni dudhuk dom, kala supit, kul buntet, samber ilen, ula cinde, wedhus gimbal, dan wedhus kendit. Dudhuk dom adalah jenis capung bertubuh kurus, berekor runcing seperti dom ‗jarum‘, berwarna ungu tua dan biasanya ditemukan di sekitar sungai atau parit. Kala supit adalah sejenis serangga yang menyerupai kala jengking bersumpit lebih besar dan ditemukan hidup di sawah. Kul buntet adalah jenis siput yang berukuruan kecil, berkulit warna hijau kehitaman, dan tidak memiliki lubang (bunthet). Samber ilen adalah serangga jenis kumbang kecil dengan sayap berwarna mingkilap (ilen) dan sering ditemukan di sekitar rumah. Ula cinde adalah sejenis ular berbisa berwarna hijau keabu-abuan yang memiliki lingkaran kuning di lehernya yang menyerupai kalung (cinde). Sementara itu, wedhus gimbal ‗biri-biri‘ adalah jenis kambing bertubuh sedang dan berbulu gimbal, dan wedhus kendit adalah jenis kambing bertubuh sedang dan kebanyakan berbulu putih dengan lingkaran putih pada bagian pinggang yang menyerupai sabuk. 3) Penamaan berdasarkan cara bergerak/gerakan Banyak cara makhluk hidup untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Berbeda makhluk berbeda pula cara bergeraknya. Misalnya, kebanyakan jenis burung
bergerak dengan cara terbang, seperti burung perkutut, burung
198 elang, burung pipit, dan sebagainya. Sementara itu, kebanyakan jenis reptil bergerak dengan cara melata. Cara bergerak hewan-hewan yang hidup di lingkungan tempat tinggal mereka menginspirasi GTBU untuk memberi nama hewan-hewan tersebut berdasarkan gerakan mereka. Nama-nama hewan yang diberi nama berdasarkan gerakannya, yakni wedhus gibas, manuk ancel-ancel angin, dudhuk enthelong, kala jengking, semut angkrang, ula kelasa, dan walang kadhung. Dudhuk enthelong adalah jenis capung yang berwarna kuning muda dengan gerakan encelong-enchelong ‗mengendap-endap‘. Jikalau musim bertelur tiba, gerakan ini biasanya dilakukannya sambil membuang telur. Kala jengking adalah sejenis serangga yang berbisa dengan gerakan njengking ‗menungging‘. Semut angkrang adalah jenis semut yang bergerak dengan cara ngangkrang ‗merangkak‘. Ula kelasa adalah jenis ular yang bergerak untuk mengelabui musuh dengan cara menggulungkan tubuh seperti orang menggulung kelasa ‗tikar pandan‘. Sementara itu, walang kadhung adalah jenis belalang yang memiliki gerakan seperti orang madhung ‗menggotong‘ kayu. 4) Penamaan berdasarkan cara mempertahankan diri Ada banyak cara yang dilakukan binatang untuk mempertahankan diri atau menundukkan musuh-musuhnya. Gajah, misalnya, mempertahankan diri melalui kekuatan fisik dan belalainya, sedangkan harimau mempertahankan diri melalaui gigi yang tajam. Sementara itu, reptil tertentu, seperti ular mempertahankan diri dengan bisa/racun dan belitan yang mematikan, sedangkan dengan warna tubuh yang berubah-ubah merupakan cara memepertahankan diri yang dilakukan oleh bunglon.
Fenomena
ini
memberi
inspirasi
kepada
GTBU
untuk
199 menciptakan/memberi nama serangga tertentu berdasarkan efek yang ditimbulkan, di antaranya uler geni, uler senggenit, semut geni, semut gatel, ula silara, dan ula weling. Uler geni dan semut geni adalah jenis ulat dan semut yang masing-masing bulunya dan gigitannya membuat orang merasa kepanasan seperti kena api. Sementara itu, uler senggenit dan semut gatel adalah juga jenis ulat dan semut yang masing-masing bulunya dan gigitannya dapat membuat orang merasa gatal. Dari kelompok reptil, ada dua jenis ular yang dinamai oleh GTBU berdasarkan efek yang ditimbulkan, yakni ula silara dan ula weling. Ula silara adalah jenis ular yang kalau tidak merasa tersakiti (lara), tidak akan menggigit. Sebaliknya, kalau tersakiti, misalnya terinjak, ular ini akan menggigit. Demikain juga yang terjadi pada ula weling, yaitu jenis ular yang dapat melilit sambil menggigit untuk mengingatkan (eling) musuhnya agar tidak mengganggunya. 5) Penamaan berdasarkan bersamaan/kemiripan bentuk fisik Ada beberapa fauna dari kelompok serangga yang dinamai berdasarkan kemiripan atau persamaan bentuk dengan entitas tertentu walaupun jumlahnya tidak banyak. Entitas-entitas yang dimaksud adalah ula irus, uler jaran, tawon keroso, dan walang jaran. Ula irus ‗ular kobra‘ adalah jenis ular yang dalam keadaan tertentu, bentuk kepalanya menyerupai irus ‗sendok yang terbuat dari tempurung kelapa‘. Uler jaran adalah sejenis ulat bersungut dua (menyerupai telinga kuda), leher berwarna hitam, bagian punggung datar seperti pelana/sadel kuda, dan ulat dewasa memiliki ekor. Tawon keroso adalah jenis tawon yang bentuk sarangnya seperti keroso, wadah berbentuk bulat yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang pada zaman dulu dipakai untuk menaruh periuk nasi
200 atau sayur di dapur dan sarang tawon ini biasanya ditemukan menempel pada cabang pohon yang cukup besar. Sementara itu, walang jaran adalah jenis belalang yang tubuhnya hampir persegi empat dengan punggung datar menyerupai pelana kuda. 6) Penamaan berdasarkan persamaan sifat/tingkah laku Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak banyak jenis fauna yang dinamai karena persamaan sifat dengan entitas lainnya dibandingkan dengan cara panamaan lainnya. Walaupun demikian, berdasarkan analisis data, ada dua jenis entitas yang dinamai berdasarkan sifat/tingkah laku entitas tersebut, yakni dudhuk maling dan emprit kaji. Dudhuk maling adalah jenis capung yang memiliki sifat seperti maling, yakni keluar mencari makan pada saat hari mulai gelap. Emprit kaji adalah salah satu jenis burung pipit yang bulunya berwarna-warni yang mencari makan di pohon-pohon yang berupa semut atau ulat-ulat kecil. Nama kaji diberikan karena, menurut GTBU, bagian bawah dari sarang burung ini terdiri atas lapisan-lapisan yang menyerupai kasur empuk milik seorang kaji, yaitu seseorang yang bergelar haji yang kaya, memiliki status sosial tinggi, dan terhormat. 7) Penamaan berdasarkan suara yang dikeluarkan Hampir sama dengan cara penamaan berdasarkan tempat mencari makan, berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, cara penamaan suatu entitas berdasarkan suara yang dikeluarkannya juga sangat sedikit. Entitas-entitas yang dinamai berdasarkan suara yang dikeluarkannya, yakni uler keket dan walang keretek. Uler keket adalah jenis ulat yang biasanya hidup di daun pisang dan apabila merasa terganggu akan mengeluarkan suara ket-ket-ket, sedangkan
201 walang keretek adalah jenis belalang yang biasanya hidup di pohon-pohon kayu di hutan dengan ukuran tubuh cukup besar dan suara yang keras terutama pada malam hari. 8) Penamaan berdasarkan tempat hidup Beberapa hewan atau serangga yang penamaannya berdasarkan tempat hidup hanya dapat ditemukan pada lingkungan tertentu saja. Misalnya, jenis belalang banyak ditemukan pada tumbuhan berjenis rumput-rumputan, serangga jenis kumbang pada umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan yang berbunga, dan sebagainya. Terkait dengan penamaan berdasarkan tempat hidup hewan, GTBU memberi nama beberapa hewan berdasarkan tempat hidup mereka, seperti semut pudhak, tawon sruk, ula sawa, walang godhong, walang kayu, dan walang pari. Semut pudhak adalah jenis semut yang banyak ditemukan pada bunga pandan pudhak, yang berbau wangi dan airnya berasa manis. Tawon sruk adalah jenis tawon berwarna hitam dengan pantat kuning yang bersarang di dalam tanah yang sruk atau jeru ‗dalam‘. Ula sawa adalah jenis ular yang ditemukan hidup di sawah-sawah dan memakan tikus sebagai hama pemakan batang dan buah padi, sehingga ular ini dianggap sahabat petani karena membantu petani membasmi hama tikus. Sementara itu, walang godhong, walang kayu, dan walang pari adalah jenis belalang yang masing-masing ditemukan hidup pada dedaunan, batang-batang kayu, dan daun-daun padi. Jenis belalang yang disebutkan terakhir ini dapat menimbulkan kerugian pada petani karena serangga ini memakan daun padi.
202 9) Penamaan berdasarkan tempat mencari makan Di samping cara-cara penamaan yang telah disebutkan sebelumnya, penamaan berdasarkan tempat mencari makan dari entitas tertentu adalah cara penamaan lainnya. Jumlah entitas yang dinamai berdasarkan model ini sangat sedikit, yakni bango kebo, bango wedhus, dan jalak suren. Bango kebo adalah salah satu dari jenis burung bangau yang hinggap pada punggung kerbau untuk mencari kutu atau serangga lainnya yang menempel pada badan hewan peliharaan tersebut. Sementara itu, bango wedhus adalah jenis bangau pemakan kutu atau serangga lainnya yang menempel pada hewan kambing, sedangkan jalak suren adalah salah satu jenis dari beberapa jenis burung jalak pemakan kutu atau serangga lainnya yang hidup pada kuncir kuda yang disisir (di-suren). Penamaan dengan cara ini turut memperkaya khasanah leksikon lingkungan alam BU, khususnya tentang serangga. 10) Penamaan berdasarkan ukuran Fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU memiliki ukuran beragam, dari yang paling besar, seperti sapi ‗sapi‘ atau kebo ‘kerbau‘ hingga yang paling kecil, seperti semut ‗semut‘ atau rengit ‗nyamuk‘. Berdasarkan keberagaman ukurannya ini, GTBU memberi nama beberapa jenis fauna berdasarkan ukuran badan atau sesuatu yang terkait dengan entitas tersebut, seperti dudhuk kacangan, wedhus kacangan, dan dudhuk menggala, wedhus menggala, dan tawon menggala. Dudhuk kacangan dan wedhus kacangan adalah jenis capung dan kambing yang tubuhnya berukuran lebih kecil dari ukuran tubuh kambing pada umumnya. Dudhuk menggala, wedhus menggala, dan tawon
203 menggala adalah masing-masing jenis capung dan
kambing
ukuran tubuh paling besar (manggala artinya utama).
yang memiliki
Sementara itu, tawon
menggala adalah jenis tawon yang berukuran paling besar dari segi sarang. Beberapa GTBU menjuluki jenis tawon ini dengan tawon kirapa artinya tawon yang tidak pernah pandang bulu terhadap lawannya karena keganasan serangan dan sengatannya yang dapat mematikan lawan-lawannya. Dengan cara penamaan seperti ini, membuat leksikon lingkungan alam BU menjadi unik dan berbeda dari leksikon BD lainnya. 11) Penamaan berdasarkan warna Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan cukup banyak jenis fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU yang diberi nama berdasarkan warnanya. Beberapa jenis fauna yang dimaksud, di antaranya adalah dudhuk kuning, dudhuk ruyung, kupu ijo, kupu kuning, laler ijo, laler cemeng, semut cemeng, ula gadhung, ula kayu, ula luwuk,
dan sebagainya.
Dudhuk kuning ‗capung kuning‘ adalah jenis capung yang berwarna kuning dan biasanya ditemukan hidup di daerah persawahan, khususnya pada saat padi berumur satu bulan. Dudhuk ruyung adalah jenis capung yang berwarna coklat tua menyerupai warna ruyung ‗pohon kelapa yang dipakai untuk kayu bangunan rumah. Kupu ijo dan kupu kuning adalah jenis kupu-kupu yang masing-masing berwarna hijau dan kuning yang banyak ditemukan di daerah kebun atau daerah yang banyak semak-semak yang berupa tanaman perdu. Laler ijo atau buyung ‗lalat hijau‘ adalah jenis lalat yang ditemukan hinggap pada sesuatu yang berbau busuk. Laler cemeng ‗lalat hitam atau lalat rumah‘ adalah jenis lalat yang
204 ditemukan di lingkungan rumah dengan populasi paling banyak di antara semua jenis lalat. Ula gadhung ‗ular gadhung‘ adalah jenis ular yang berwarna hijau muda seperti kulit mangga
gadhung yang ditemukan hidup melilit di dahan-
dahan pohon. Ula kayu ‗ular kayu‘ adalah jenis ular yang berwarna seperti kulit pohon kayu dan ditemukan hidup pada batang-batang kayu dan ula dhawuk ‗ular hijau (dhawuk) adalah jenis ular yang warnanya lebih tua, bisa/racunnya lebih membahayakan dan ukuran tubuh lebih besar dari ula gadhung. Jika cara penamaan fauna dalam BU disajikan dalam bentuk tabel, akan terlihat seperti tabel berikut. Tabel 5.25 Keberagaman Cara Penamaan Fauna Acuan Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Leksikon BU tikus langu walang sangit dudhuk dom kala supit kul buntet samber ilen ula cinde wedus kendit dudhuk enthelong kala jengking semut angkrang tikus celurut ula kelasa walang kadung uler geni uler senggenit semut geni semut gatel ula silara ula weling ula jaran tawon keroso walang jaran dudhuk maling emprit kaji uler keket
Cara Penamaan Fauna 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + -
+ + + + + + -
+ + + + + + -
+ + + + + + -
+ + + -
+ + -
+
-
-
-
-
205 walang keretek semut pudak tawon sruk ula sawa walang godhong walang kayu walang pari bango kebo bango wedhus jalak suren dudhuk kacangan wedhus kacangan dudhuk menggala tawon menggala wedhus menggala dudhuk kuning dudhuk ruyung kupu kuning kupu ijo laler ijo laler cemeng semut ireng ula gadhung ula kayu ula luwuk
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
-
-
-
-
-
-
+ -
+ + + + + + -
+ + + -
+ + + + + -
+ + + + + + + + + +
Keterangan: (1) Penamaan secara umum, (2) Penamaan berdasarkan bau yang dikeluarkan, (3) Penamaan berdasarka cirri fisik, (4) Penamaan berdasarkan cara mempertahankan diri/efek yang ditimbulkan, (5) Penamaan berdasarkan cara bergerak/gerakan, (6) Penamaan berdasarkan kemiripan bentuk fisik, (7) Penamaan berdasarkan persamaan sifat/tingkah laku, (8) Penamaan berdasarkan suara yang dikeluarkan, (9) Penamaan berdasarkan tempat hidup, (10) Penamaan berdasarkan tempat mencari makan, (11) Penamaan berdasarkan ukuran, dan (12) Penamaan berdasarkan warna.
Jika klasifikasi cara penamaan di atas dicermati, terlihat bahwa GTBU secara rinci memberikan nama kepada entitas-entitas flora dan fauna yang mereka temukan hidup di lingkungan mereka. Begitu rincinya cara mereka menamai entitas-entitas acuan leksikon-leksikon yang ada menandakan bahwa adanya kedalaman interaksi mereka dengan ecoregion tempat hidup fauna-fauna yang di maksud sehingga BU memiliki leksikon yang unik dari segi nama-nama fauna tertentu yang turut memberi warna pada keberagaman leksikon lingkungan alam BU.
206 5.5 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam BU Berdasarkan Relasi Maknanya Ada berbagai cara yang dapat diterapkan untuk menunjukkan adanya relasi semantis antara entitas yang diacu dan leksikonnya. Berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan ditemukan ada beberapa cara untuk menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah melalui keberagaman penamaan sebuah entitas. Dari leksikon-leksikon tentang nama-nama entitas yang ada terlihat bahwa nama entitas mencerminkan adanya relasi semantis, seperti nama tempat, bau, bentuk cara mengkonsumsi,cara tumbuh, ciri fisik, dan manfaat/fungsi entitas acuannya. Di samping relasi makna antara leksikon
dan entitas acuannya,
keberagaman relasi makna pada leksikon lingkungan alam BUjuga terlihat pada adanya hubungan makna antara leksikon tertentu dan leksikon lainnya. Relasi makna yang dimaksud, di antaranya dalam bentuk relasi makna paradigmatik identitas dan inklusi, yang terdiri atas relasi makna hiponimi (hyponimy), dan meronimi (meronimy). Berikut adalah uraian dari masing-masing relasi makna yang dimaksud. 5.5.1 Relasi Makna Hiponimi Relasi makna hiponimi merupakan relasi makna suatu ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Telaah terhadap data menunjukkan bahwa cukup banyak leksikon yang memiliki hubungan semantis jenis hiponimi yang ditemukan dalam leksikon lingkungan alam BU, baik dalam kelompok flora maupun kelompok fauna. Fenomena ini terlihat pada hubungan antara tataran leksikon generik dan leksikon spesik, yang merupakan usaha untuk
207 membuat klasifikasi terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan kelaskelas spesifik. Adanya keberagaman jenis pari ‘padi‘ dari kelompok bahan pangan merupakan kelas spesifik dari leksikon generik pari; keberagaman jenis mangga, pisang, jambu, dan jeruk dari kelompok buah-buahan merupakan leksikon-leksikon generik dari leksikon generik masing-masing
dari poh,
gedhang, jambu, dan jeruk ; keberagaman jenis bambu yang diacu oleh leksikonnya masing-masing merupakan kelas spesifik dari leksikon generik jajang; dan sebagainya, seperti tertera pada tabel berikut. Tabel 5.26 Relasi Makna Hiponimi Leksikon Lingkungan Alam Flora BahasaUsing
Pari
poh
gedhang
Tumbuh-tumbuhan
Buah-buahan Jambu
pari gaga pari genjah arum pari singgang pari sogel pari untup Sambulan ketan cemeng dsb. poh endhog poh ganda poh kecik poh kenyut poh kopyar poh kotak dsb. gedhang agung gedhang berlin gedhang kelutuk gedhang lempeneng gedhang raja nangka gedhang welut dsb. jambu dharsana jambu kelampok jambu lante jambu semarang dsb.
sentul sai lampah jamur dami
208 jamur gerigit jamur impes jamur kepon jamur lot jamur manuk dsb. kara abang kara benguk kara komak kara pedang kara utek Dsb
jamur
Sayur-sayuran Kara
Tanaman bumbu dan tanaman obat
Kenikir Kemanggi temu
temu cemeng temu kunci temu rapet dsb.
Bangle Adas mahkota dewa sambung nyawa pecari Bunga
pecari kuning pecari putih
Sundel Tunjung Wangsa
Relasi makna di atas secara hierakis dapat disajikan dalam diagram di bawah ini tumbuhan
buah
gedhang
gd.saba
bunga
poh
gd.sewu
dsb
dsb
gd.mas
dsb
Diagram 5.1 Hubungan Hierarkhis (Hiponimis) Flora dalam Bahasa Using
209 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa buah yang ada pada paling atas dalam tingkat hierakinya disebut superordinat, dan anggota-anggotanya yang berupa gedhang, poh, dan sebagainya yang berada pada tingkat bawah merupakan hiponim dari superodinat buah. Hubungan yang terdapat antara superordinat dan hiponim adalah bersifat satu arah. Terdapat hubungan yang logis dalam hierarki relasi makna hiponimi ini, artinya bahwa kalau sudah disebutkan hiponim gedhang, maka sudah dapat dibayangkan kelompoknya, seperti gedhangsempring, gedhang welut, gedhang saba, gedhang kidhang, gedhang berlin, gedhang sewu, dan sebagainya.
Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa gedhang sewu,
gedhang saba, dan gedhang mas merupakan hiponim dari gedhang, gedhang merupakan hiponim dari buah, dan buah merupakan hiponim dari tumbuhan. Sementara itu, terkait dengan relasi semantis hiponimi yang ditemukan pada kelompok leksikon fauna, pada tabel berikut terlihat bahwa tikus kerot, tikus curut, dan tikus got merupakan hiponim dari tikus, tikus merupakan hiponim dari mamalia, dan mamalia merupakan hiponim dari binatang. Hal ini tercermin pada tabel berikut Tabel 5.27 Relasi Makna Hiponimi Leksikon Lingkungan Alam Fauna BU tikus mamalia wedhus
tikus curut tikus kerot tikus langu dsb. wedhus kendit wedhus menggala wedhus etawa dsb.
asu bojog pitik walik pitik alas
210 pitik
bekisar bangkok dsb. bango
unggas burung
Binatang
emprit
reptil
serangga
bango kebo bango wedhus bango tongtong dsb. emprit uban/bondol emprit kaji emprit gantil dsb.
gemek kukuk beluk ula ula irus ula jail ula kelasa ula sawa dsb. nyambit kura uler uler jaran uler geni uler keket dsb. dudhuk cutrik dudhuk edom dudhuk udhuk maling dudhuk entelong dsb. tawon kenceng tawon tawon gung tawon rowan dsb. walang jaean walang walang kadhung walang sangit dsb. semut abang semut semut angkrang semut pudhak dsb. kuwangwang angkut-angkut
Relasi makna di atas secara hierarkhis dapat disajikan dalam diagram di bawah ini.
211
binatang
mamalia wedhus
w.gibas
jaran
w.etawa
dsb
reptil
w.jawa
dsb
dsb
Diagram 5.2 Hubungan Hierarkis (Hiponimis) Fauna dalam Bahasa Using 5.5.2 Relasi Makna Meronimi Selain relasi makna hiponimi, ada relasi makna lain yang ditemukan antara leksikon BU dan leksikon BU lainnya, yakni relasi makna meronimi, yakni hubungan inklusi unsur leksikon yang menggambarkan hubungan antara bagian dan keseluruhan entitas. Berikut adalah tabel yang menunjukkan beberapa contoh leksikon yang memiliki hubungan meronimi, baik pada leksikon flora maupun pada leksikon fauna. Untuk melihat beberapa contoh relasi semantis meronimi yang ada pada leksikon flora BU, perhatikan tabel berikut. Tabel 5.28 Tabel Relasi Makna Meronimi Leksikon Lingkungan Alam Flora Bahasa Using menir pari
elas dami merang tugih janggel
212 Jagung
kelobot lemi tebon gedhebog
Gedhang
peret papah onthong pupus tandhan belarak janur bongkok jeliring
Kelapa
beluluk pol bathok belangkokan cikilan tombong dangu Mayang tali papah Ruyung Barongan
Jajang Celumpring Ebung Serit
Hubungan inklusi
antar-leksikon dalam satu kelompok, misalnya
kelompok jajang, yang terlihat pada tabel di atas menggambarkan bagian dan keseluruhan, artinya jajang merupakan keseluruhan, sedangkan barongan, celumpring, ebung, dan serit merupakan bagian. Demikian halnya yang terjadi pada kelompok leksikon kelapa, kelapa merupakan keseluruhan, sedangkan leksikon belarak, janur, belangkok, jeliring, beluluk, pol, bathok, belangkokan,
213 cikilan, tombong, dangu, mayang, dan ruyung merupakan bagian. Sementara itu, relasi semantis meronimi yang ditemukan pada leksikon fauna adalah Tabel 5.29 Relasi Makna Meronimi Leksikon Lingkungan Alam BU tentang Fauna cekeker pithik, bebek, burung
cengger cucuk celampik terutu wulu
214 BAB VI DINAMIKA PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN LEKSIKON LINGKUNGAN ALAM ANTARGENERASI GUYUB TUTUR BAHASA USING Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa lingkungan tempat tinggal GTBU adalah lingkungan yang majemuk, baik secara lingual, sosial, maupun kultural. Secara lingual, di tengah-tengah mereka digunakan beberapa BD, seperti BJ, BM, dan sedikit BB. Sementara itu, secara sosial GTBU hidup berdampingan terutama dengan penutur BJ dan BM dengan budaya mereka masing-masing di sisi keberagaman profesi dan status sosial tradisional. Di samping karena adanya perubahan lingkungan alam tempat GTBU bermukim, fenomena di atas berperan dalam terjadinya perkembangan, perubahan, dan pergeseran bahasa, dalam hal ini, pada tataran leksikon. Pada bagian ini dipaparkan profil tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU, serta perubahan leksikon lingkungan alam BU. Tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon BU oleh ketiga kelompok responden ditampilkan dalam bentuk persentase.
Perbedaan
persentase
tingkat
pemahaman
dan
penggunaan
antargenerasi terhadap leksikon-leksikon tersebut digunakan sebagai parameter dinamika aspek tersebut. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
6.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU Interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan lingkungan alam tempat mereka bermukim terekam dalam alam pikiran dalam bentuk 214
215 gagasan-gagasan konseptual atau pengetahuan mereka tentang lingkungan alam tersebut. Pengetahuan mereka tentang lingkungan alam ini direpresentasikan dalam bentuk pemahaman leksikon-leksikon BU dari entitas-entitas yang secara semantik referensial eksternal diacunya dalam komunikasi verbal mereka seharihari. Penutur suatu bahasa tidak akan memahami leksikon-leksikon yang tidak ada dalam gagasan konseptual mereka. Fenomena yang sama juga terjadi pada GTBU. Di samping hal tersebut, interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan lingkungannya juga berpengaruh pada terhadap leksikon-leksikon
tingkat pemahaman mereka
lingkungan alam BU. Makin tinggi interaksi,
interelasi, atau interdependensi mereka terhadap keberagaman entitas lingkungan mereka, maka makin tinggi pula tingkat pemahaman mereka terhadap leksikonleksikon yang ada atau juga sebaliknya. Demikian juga halnya jikalau lingkungan alam berubah, maka berubah pula pemahaman GTBU terhadap leksikon-leksikon kealaman walaupun perubahan ini terjadi dalam waktu yang lama.
Yang
dimaksud dengan tingkat pemahaman, dalam hal ini, adalah pengetahuan, pemahaman, dan keeratan relasi dengan kekayaan leksikon yang dimiliki GTBU, baik dalam bentuk leksikon-leksikon aktif maupun pasif. Akan tetapi sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka jenis leksikon yang dikaji dalam penelitian ini
hanyalah leksikon lingkungan alam yang tergolong kelompok
nomina dan verba saja. Tingkat pemahaman leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU pada bagian ini, secara garis besar, dipilah menjadi tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok nomina dan kelompok leksikon verba. Selanjutnya, kelompok
216 leksikon nomina dibedakan lagi menjadi kelompok leksikon flora dan kelompok leksikon fauna. Secara lebih rinci, ulasan dari masing-masing kelompok leksikon yang dimaksud dapat dilihat di bawah ini.
6.1.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Alam Antargenerasi GTBU Berkategori Nomina Khazanah leksikon nomina BU terkait dengan lingkungan alam sangat bervariasi. Fenomena ini mengindikasikan keberagaman entitas acuannya yang hidup di wilayah ini. Tingkat pemahaman terhadap leksikon nomina ini dikelompokkan menjadi tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok flora dan tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok fauna, seperti terlihat dalam uraian berikut.
6.1.1.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Flora Antargenerasi GTBU Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dengan kesuburan tanahnya anekamacam flora tumbuh subur di wilayah Kabupaten Banyuwangi sehingga berbagai leksikon yang mengacunya juga beragam. Demikian juga tentang tingkat pemahaman responden yang sangat bervariasi. Berikut adalah uraian dari masingmasing tingkat pemahaman responden terhadap kelompok leksikon flora yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU. (1) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bahan pangan antargenerasi GTBU Secara umum pemahaman responden terhadap leksikon tanaman bahan pangan cukup tinggi, khususnya pada kelompok responden dewasa dan tua. Walaupun demikian, ditemukan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden
217 yang
mencapai 100% untuk leksikon yang entitas-entitasnya, di samping
populasinya sangat banyak,
juga memiliki interaksi, interelasi, dan
interdependensi yang tinggi dengan kehidupan GTBU, yakni sebagai bahan makanan pokok. Leksikon-leksikon yang dimaksud, di antaranya pari „padi‟, pari ketan „padi ketan‟ dan jagung „jagung‟.
Sementara itu, tingkat pemahaman
responden, khususnya golongan remaja, sangat rendah (rata-rata di bawah 30%) terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada jenis-jenis padi, seperti leksikon pari sogel „jenis padi yang cepat berbuah‟, pari gaga „jenis padi yang ditanam di lahan tadah hujan‟, sambulan „padi liar yang tumbuh di sela-sela tanaman padi utama‟, serta leksikon yang mengacu pada bagian-bagian tanaman padi, seperti elas „bulir padi‟, belubon „padi yang baru dipotong dari sawah dan belum kering‟, dan tugih „rambut yang terdapat pada ujung bulir padi‟. Khusus terhadap leksikon elas, tingkat pemahaman responden remaja sebesar 9,6%, dewasa sebesar 25%, dan tua sebesar 50%. Kecilnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon di atas disebabkan oleh benak remaja tidak ingin dibebabni hal yang bersifat spesifik dan kurang bermanfaat pada dunia mereka, di samping karena karena interaksi, interelasi, dan intedependensi mereka lebih banya pada sesuatu yang besifat generik. Khusus untuk leksikon elas, leksikon yang bersangkutan sudah tergantikan oleh leksikon gabah/butir padi (dalam BI). Sementara itu, tingkat pemahaman terhadap leksikon entitas jagung dan bagian-bagiannya cukup tinggi kecuali untuk leksikon lemi „kotoran buah jagung‟ dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 52,4%, 65%, dan 86,%. Di samping itu, fenomena ini disebabkan oleh kurangnya pengalihan pengetahuan
218 tentang entitas acuannya karena entitas ini tidak memiliki manfaat terhadap kehidupan GTBU jika dibandingkan dengan bagaian-bagian tanaman jagung lainnya. Misalnya,
janggel „tongkol buah jagung‟ yang sudah kering dapat
dipakai kayu bakar; kelobot „kulit buah jagung yang dikeringkan untuk pembukus rokok‟; serta tebon „batang pohon jagung‟, kalau yang masih mentah dapat dipakai makanan ternak, yang sudah kering dapat dipakai kayu bakar. Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon tanaman pangan yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU. Tabel 6.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bahan Pangan Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja (%)
Padi dan jenisnya pari pari singgang pari sogel pari unthup pari gaga pari genjah harum sambulan ketan cemeng ketan putih winih Bagian- bagian tanaman padi menir elas dami merang sekem belubon tugih
Dewasa (%)
Leksikon BU Tua (%)
100 47,6 28,6 42,8
100 70 55 40
100 90,9 81,8 54,5
28,6 76,2
50 95
54,5 100
28,6 100 100 100
70 100 100 100
90,9 100 100 100
100 9,6 100 85.7 90,5 23,8 23,8
100 25 100 100 95 50 30
100 50 100 100 100 63,6 63,6
Tingkat Pemahaman Remaja (%)
Dewasa (%)
Tua (%)
57,1 90,5 62
80 100 85
86,4 100 86,4
100 71,4
100 85
100 95,5
kelobot lemi tebon Bahan pangan lain kentang jembut
71,4 52,4 90,5
100 65 95
100 86,4 95,5
100
100
100
sabrang gadhung arus ganyong kajar suweg puhung
100 95,2 52,4 42,9 19 47,6 100
100 100 75 70 30 75 100
100 100 95,5 100 59,1 90,9 100
Sesuatu terkait dengan padi rantap palawija tumpang sari Jagung dan bagianbagiannya jagung Janggel
219 Sementara itu, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon bahan pangan lain cukup bervariasi dengan tingkat pemahaman tertinggi, yakni 100% oleh ketiga kelompok responden yang ada pada leksikon kentang jembut „kentang lokal yang ada rambutnya‟, sabrang „ubi jalar‟, dan puhung „ketela pohon‟, sedangkan yang terendah ditemukan pada tingkat pemahaman leksikon kajar, yakni sebesar 19%, 45%, dan 59,1%. Tingginya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon di atas karena adanya interaksi, inetrelasi, dan interdependensi yang tinggi terhadap entitas acuannya karena fungsinya sebagai makanan pokok hampir sama dengan padi sehingga GTBU mempertahankannya dengan cara membudidayakannya.
Fenomena menarik terlihat pada tingkat pemahaman
yang cukup tinggi yakni dengan rerata di atas 95% terhadap leksikon gadhung yaitu tanaman melilit dengan batang berduri yang umbinya beracun‟. Walaupun populasi entitas ini tidak begitu banyak, ketiga kelompok responden berinteraksi cukup tinggi dengan entitas acuannya karena keterpakaian umbi entitas ini sebagai bahan campuran berbagai macam penganan. (2) Tingkat pemahaman leksikon tanaman buah-buahan antargenerasi GTBU Hampir sama dengan di wilayah Pulau Jawa lainnya, berbagai jenis buah dapat ditemukan di wilayah ini. Karena adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi antara sejumlah entitas buah dengan GTBU, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap sejumlah leksikon buah secara umum cukup tinggi, seperti terhadap leksikon-leksikon entitas jeruk tertentu, rambutan, dan jenis buah lain (nanas, kedhondong, duren putih, manggis, dan pace) yang
220 disebabkan oleh banyaknya populasi karena entitasnya gampang tumbuh serta faktor geografis dan totopgrafis, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 6.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Buah-buahan Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Mangga dan jenisnya poh
100
100
100
poh manalagi poh golek poh kuweni poh kates poh madu poh ganda poh kenyut poh kopyor
100 95,2 100 23,8 90,5 52,4 90,5 42,9
100 100 100 65 100 90 100 70
100 100 100 72,7 100 90,9 100 72,7
poh kotak poh endhog
23,8 47,6
65 70
77,3 90,9
poh kecik
71,4
75
81,8
Jambu dan jenisnya jambu
100
100
100
jambu mente jambu keluthuk jambu kelampok jambu lante jambu darsono
100 100 42,7 28,6 71,4
100 100 55 100 100
100 100 77,3 100 100
jambu semarang jambu wer Nangka dan bagianbagiannya nangka pucil babal tombol empik bethon
23,8 76,2
75 75
81,8 95,5
100 38,1 38,1 72 38,1 100
100 75 75 100 95 100
100 86,4 86,4 100 100 100
Leksikon BU
Pisang dan jenisnya gedhang
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
100
100
100
gedhang sempring gedhang agung gedhang berlin gedhang ambon gedhang emas gedhang keladi gedhang ijo gedhang lempeneng gedhang keluthuk gedhang sri nyonyah gedhang raja nangka gedhang kapuk
57,1 47,6 81 95,2 81 52,4 57,1 85,7
60 85 100 100 100 90 90 90
100 100 100 100 100 90,9 90,9 90,9
90,5 66,7
100 90
100 96,4
81
85
100
57,1
95
100
gedhang selakat(susu) gedhang sewu gedhang welut gedhang raja gedhang saba Bagian-bagian dari pohon pisang gedhebog peret /serat papah
100
100
100
52,4 71,4 85,7 100
95 85 95 100
100 90,9 100 100
100 42,9 66,7
100 80 100
100 100 100
kelaras ontong pupus tandan godhogan Peralatan dari
95,2 95,2 66,7 42,9 28,6
100 100 80 100 80
100 100 82,7 100 100
221
Rambutan dan jenisnya rambutan rambutan aceh rambutan rapiah rambutan lebak bulus Duren dan jenisnya duren duren putih duren abang Jeruk dan jenisnya jeruk jeruk sambel jeruk purut jeruk manis jeruk limo jeruk kikit Delima dan jenisnya delima delima putih delima abang
daun pisang samir 100 100 95,2 76,2
100 100 100 80
100 100 100 90,9
52,4
75
100
pincuk suru takir Jenis buah lainnya manggis
95,2 90,5 81
100 100 80
100 100 100
100
100
100
100 100 71,4
100 100 100
100 100 100
wuni kedondong kentul tai lampah
95,2 100 81 47,6
100 100 85 75
100 100 100 100
100 100 90,5 100 85,7 57,1
100 100 100 100 100 60
100 100 100 100 100 63,6
belimbing manis langsat duku cerème nanas kates pace
95,2 100 100 81 100 100 100
100 100 95 95 100 100 100
100 100 90,9 95,5 100 100 100
100 95,2 81
100 100 90
100 100 95.5
belewah belungking
95,2 71,4
100 90
100 100
Dari tabel di atas terlihat tingkat pemahaman responden terhadap kelompok leksikon gedhang, jambu dan poh sangat bervariasi dalam arti bahwa di antara jenis entitas-entitas tersebut ada yang tingkat pemahaman ketiga kelompok responden mencapai 100%, namun ada juga yang di bawah 30% khususnya oleh kelompok responden remaja, seperti terlihat pada tingkat pemahaman terhadap leksikon poh kates, poh kotak, jambu lante, dan jambu semarang yang besarnya di bawah 30%. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh populasi sedikit, interaksi dan interdependensi rendah, dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu, serta entitas-entitas acuan dari leksikon-leksikon tersebut tidak memiliki nilai penting bagi kehidupan remaja.
222 Sementara itu, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon entitas gedhang „pisang‟, khususnya terhadap gedhang keluthuk, gedhang ambon, gedhang susu, gedhang raja, dan gedhang saba, tidak menunjukkan perbedaan yang tinggi, yaitu berkisar antara 90% - 100%. Tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon ini karena adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara GTBU dan entitas-entitas acuannya sehingga GTBU secara terus-menerus membudidayakan entitas-entitas ini sehingga populasinya tetap banyak. Demikian halnya terhadap leksikon duren abang ‘duren merah‟ yang entitasnya merupakan buah langka yang hanya dapat ditemukan di satu keluarga di Desa Kemiren fenomena unik yang terkait dengan tingkat pemahaman
merupakan
responden. Ketiga
kelompok responden memiliki pemahaman yang cukup tinggi terhadap entitas ini, yakni masing-masing untuk remaja 71,4%, dewasa 100%, dan tua 100%. Faktanya, populasi entitas ini sangat sedikit dan tumbuh hanya di satu tempat. Adanya transfer pengetahuan tentang entitas ini dari generasi pendahulu merupakan faktor penyebab dari fenomena ini. (3) Tingkat pemahaman leksikon tanaman sayur-sayuran antargenerasi GTBU Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa beberapa wilayah di Kabupaten Banyuwangi merupakan lahan yang sangat subur dan cocok untuk tumbuhnya berbagai macam sayuran khususnya sayur-sayuran lokal, seperti beberapa jenis kara, bayem, kacang, jamur, labu, dan sayuran lokal lainnya. Keberagaman jenis entitas sayuran juga disertai keberagaman tingkat pemahaman leksikon-leksikon spesifik yang mengacunya, sedangkan tingkat pemahaman
223 terhadap semua leksikon generiknya adalah 100%. Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat pemahaman responden, khususnya kelompok remaja, sangat rendah terhadap leksikon spesifik kelompok kara, seperti kara benguk, kara pedang, dan kara utek yang masing-masing sebesar 33,3%, 33,3%, dan 19%; sedangkan terhadap kelompok leksikon bayam, yakni bayem raja dan bayem pasir sebesar
14,3% dan 9,6%.
Kecilnya tingkat
pemahaman, khususnya kelompok responden remaja jika dibandingkan dengan tingkat pemahaman terhadap jenis sayuran lainnya di antaranya disebabkan oleh tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka terhadap entitas-entitas tersebut sangat rendah karena sedikitnya populasi dan juga karena beberapa jenis sayuran yang di datangkan dari daerah lain, seperti kol, buncis, dan sawi hijau, dengan mudah dapat dibeli di warung-warung karena lebih praktis. Tentang tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon sayur-sayuran dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.3 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Sayur-sayuran Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Turi dan jenisnya turi turi abang turi putih Labu dan jenisnya labu labu abang labu putih labu siyem Kara dan jemisnya kara
100 57,1 100
100 80 100
100 81,8 100
100 38,1 57,1 66,7 33,3
100 50 95 100 90
100 68,2 95,5 100 90,9
Leksikon BU
Jamur dan jenisnya jamur jamur dami jamur merang jamur kepong jamur kuping jamur ulan jamur menur jamur manuk jamur gerigit jamur impes
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
100 76,2 66,7 76,2 95,2 76,2 71,4 76,2 42,9 28,6
100 85 90 80 100 95 85 100 75 40
100 95,5 95,5 95,5 100 95,5 86,4 100 86,4 77,3
224 kara benguk kara abang kara ijo
100 33,3 42,6
100 60 70
100 90,9 100
kara putih kara komak kara pedang kara utek Kacang dan jenisnya kacang kacang brol kacang ijo kacang jangan
66,7 81 71,4 66,7 33,3
75 85 95 85 75
95,5 95,5 95,5 100 95,5
19
90
95
100 90,5
100 100
100 100
kacang kapri kacang tunggak kacang usi(ose) Bayam dan jenisnya dan jenisnya bayem bayem cina bayem abang bayem eri bayem kul bayem menir bayem raja bayem sapi bayem pasir
100 100 90,5 66,7
100 100 100 100
100 100 100 100
54,2
75
81,8
100 42,9 66,7 76,2 42,9 52,4 14,3
100 55 75 80 75 80 40
100 90,9 90,9 90,9 95,5 86,4 77,3
jamur lot jamur gajih Jenis sayur lainnya buncis dhangsul gambas pare kelentang
90,5 47,6
95 65
95,5 90,9
100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
tegok terong timun belimbing wuluh gundha katu kangkung kelor
81 100 100 100
95 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
genjer bagu manting kemangi kenikir keningar lembayung lucu semanggi
100 81 81 100 100 66,7 95,2 81 100
100 95 95 100 100 80 100 100 100
100 100 95,5 100 100 86,4 100 100 100
Berbeda dengan beberapa leksikon yang disebutkan di atas, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok sayuran lain, khususnya sayuran lokal, seperti tegok, manting, kemangi, kelor, kelethang, dan sebagainya di atas 80%. Berdasarkan pengamatan di lapangan, khususnya entitas kelor dengan mudah ditemukan pada setiap rumah karena entitas ini memiliki nilai budaya, yakni untuk penolak bala sehingga, di samping karena adanya interaksi, interelasi, interdependensi terhadap entitas-entitas tersebut, juga ecoregion yang sesuai, nilai ekonomis yang diembannya, dan adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu menyebabkan tingginya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon tersebut. Khusus untuk leksikon sayuran lokal, seperti
225 kelor dan kelentang, tingginya tingkat pemahaman semua responden yang mencapai 100%, di samping karena faktor-faktor tersebut di atas, keterpakaian daun kelor sebagai salah satu elemen dalam ritual haturi dahar, membuat kedua entitas ini begitu diakrabi oleh GTBU, khususnya yang berdomisili di beberapa desa di Kecamatan Glagah. (4) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi GTBU Di samping kaya akan berbagai jenis tanaman bahan pangan, buah-buahan, dan sayur-sayuran, di Kabupaten Banyuwangi juga ditemukan tumbuh berbagai jenis tanaman bumbu dan obat dengan tingkat populasi yang berbeda-beda, baik yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon yang entitasnya berfungsi, baik sebagai obat tradisional maupun sebagai bumbu, seperti bawang abang, cengkeh, jahe, kemiri, kencur, dan sebagainya hampir mencapai 100%. Hal ini disebabkan oleh interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi terhadap entitas-entitas acuannya karena keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan GTBU seharihari.
Di sisi lain, ada sejumlah leksikon dari entitas-entitas tanaman obat
tradisional yang tingkat pemahaman ketiga kelompok responden sangat rendah, yakni untuk leksikon lempuyang wangi: 19%, 30%, dan 59,1%; lempuyang gajah: 19%, 25%, dan 59,1%; kembang bintang: 14,3%, 35%, dan 59,1%; dan sembung: 9,6%, 35%, dan 54,5%. Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon tersebut di samping karena sedikitnya populasi juga disebabkan oleh kurangnya interaksi, interelasi, dan interdependensi
226 terhadap entitas-entitas tersebut. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh fungsinya sebagai tanaman obat sudah digantikan oleh obat yang bersifat kimiawi. Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon tanaman bumbu dan obat lainnya. Tabel 6.4 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat Antargenerasi GTBU Leksikon BU Temu dan jenisnya temu temu cemeng temu kunir temu putih temu rapet temu kunci temu giring Jenis tanaman obat dan bumbu lainnya bawang abang bawang putih bakung bangle iles-iles lempuyang lempuyang wangi lempuyang gajah jae kencur kunir laos sempol kembang bintang adas mahkota dewa kemiri cabe
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU cabe merah
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 100 100
95,2 81 57,1 52,4 33,3 57,1 33,3
100 90 95 80 75 100 55
100 100 100 81,8 81,8 100 59,1
cabe rawit pulasari jinten kapulaga jemukus cengkeh sambiloto sembung
100 23,8 66,7 71,4 90,5 100 62 9,6
100 55 70 90 100 100 80 35
100 81,8 95,5 95,5 100 100 100 54,5
100 100 19 19 14,3 76,2 19 19 100 100 100 100 19 14,3 23,8 76,2 100 100
100 100 60 65 25 100 30 25 100 100 100 100 35 35 80 80 100 100
100 100 72,7 77,3 81,8 100 59,1 59,1 100 100 100 100 72,7 59,1 81,8 86,4 100 100
deringu dilem kayu putih kayu manis kumis kucing legundi lidah buaya luntas mangkokan meniran tapak dara tapak liman sambung nyawa pecah beling urang-aring sereh pule teki
57,1 42,3 57,1 85,7 90,5 100 76,2 62 66,7 38,1 42,6 28,6 47,6 66,7 100 33,3 57,1
95 95 95 100 100 35 100 100 70 70 40 40 60 70 70 100 45 85
95,5 95,5 95,5 100 100 88,2 100 100 81,8 90,5 68,2 68,2 68,2 86,4 90,5 100 90,9 100
Sementara itu, fenomena menarik terjadi pada leksikon yang mengacu pada entitas legundi, yaitu tumbuhan perdu dengan daun berwarna abu-abu
227 keunguan yang digunakan sebagai obat pengusir nyamuk, dengan tingkat pemahaman responden remaja 0%, artinya bahwa tak satu pun dari mereka tahu atau pernah mendengar leksikon tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, entitas ini populasinya masih ada namun karena tidak adanya interdependensi, ketidaktahuan akan manfaatnya, fungsinya tergantikan oleh obat nyamuk bakar atau obat nyamuk semprot buatan pabrik, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu menyebabkan responden remaja tidak paham dan tidak pernah menggunakan leksikonnya dalam percakapan sehari-hari. (5) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bunga antargenerasi GTBU Tidak banyak ragam tanaman bunga yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, khususnya jenis bunga yang dibudidayakan. Fenomena ini disebabkan oleh hampir tidak adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan entitas-entitas yang dimaksud. Hal ini berdampak pada sedikitnya leksikon tentang tanaman bunga yang dikenal oleh GTBU dari segi kuantitas. Walaupun demikian, berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden secara umum cukup tinggi terhadap beberapa jenis leksikon bunga yang memiliki hubungan dekat dengan kehidupan budaya GTBU khususnya. Kembang sundel, mawar, kenanga (wangsa), dan pecari, misalnya merupakan elemen-elemen untuk kembang telon yang dibutuhkan oleh GTBU dalam ritual santet dan slametanslametan lainnya. Tingkat pemahaman semua responden terhadap leksikon keempat jenis bunga ini masing-masing untuk responden remaja: 47,6%, 90,5%,
228 95,5%, dan 72,2%; responden dewasa: 85%, 100%.100%, dan 90%; dan responden tua: 95,5%, 100%, 100%, dan 100%. Rendahnya tingkat pemahaman responden remaja terhadap leksikon kembang sundel, di samping karena populasinya sedikit sehingga interaksi kurang, juga disebabkan oleh sedikitnya keterlibatan mereka dalam ritual-ritual slametan yang biasanya didominasi oleh kelompok tua. Beberapa besar tingkat pemahaman masing-masing kelompok responden terhadap leksikon bunga, persentasenyadapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 6.5 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bunga Antagenerasi GTBU Leksikon BU
pecari putih pecari kuning peciring pembang gantil kembang merak kembang bojog
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 72,2 90 100 66,7 75 95,5 62 75 95,5 71,4 80 90,9 81 85 90,9 71,4 80 90,9
menur seruni kembang kertas serngenge kembang sundel mawar pacar
71,4 85,7 85,7 90,5 72,2 90,5 90,5
85 100 85 100 100 100 95
90,9 100 90,9 100 100 100 100
Leksikon BU
tunjung widuri putih widuri biru kembang bacin kembang bangah kembang tembelekan kembang kecubung tikul balung pecah beling kemuning kembang wangsa sembuja
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 28,6 60 100 28,6 55 77,3 14,3 50 72,7 66,7 85 90,9 28,6 50 63,6 33,3 60 72,7 52,4 47,6 47,6 52,4 90,5 85,7
85 70 70 90 100 95
90,9 86,4 86,4 100 100 100
Sementara itu, tingginya tingkat pemahaman terhadap leksikon sembuja yaitu sebesar 85,7% untuk responden remaja, 95% untuk responden dewasa, dan 100% untuk responden tua disebabkan oleh eksistensi entitas ini di lingkungan makam sehingga sangat mudah dikenali dan terekam dalam memori GTBU yang pasti pernah datang ke makam, sedangkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon kembang menur, yang masing-masing sebesar
229 85,7%, 100%, dan 100%, didukung oleh keterpakaian entitas ini pada riasan pengantin, yang frekuensinya cukup tinggi. (6) Tingkat pemahaman leksikon tanaman kelapa antargenerasi GTBU Kabupaten Banyuwangi umumnya, dan Kecamatan Glagah, Giri, dan Rogojampi khususnya memiliki lahan kebun kelapa yang sangat luas dan subur sehingga kelapa merupakan salah satu tumbuhan yang populasinya sangat mudah ditemukan di daerah ini di samping padi dan jagung. Di samping untuk dikonsumsi sendiri, kelapa Banyuwangi juga diperdagangkan ke kabupaten atau kodya lain di Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa GTBU khususnya memiliki interaksi, interelasi, serta interdependensi yang tinggi terhadap entitas kelapa sehingga berdampak pada terciptanya beraneka konsep di alam pikiran mereka yang berdampak pada terciptanya beragam jenis leksikon tentang kelapa, baik leksikon tentang jenis-jenis kelapa, bagian-bagian pohon kelapa maupun peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa yang membuat BU sangat berbeda dengan leksikon BD lain tentang kelapa. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden leksikon-leksikon tentang entitas kelapa secara umum cukup tinggi, seperti terlihat dalam tabel berikut Tabel 6.6 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Kelapa Antargenerasi GTBU Leksikon BU Kelapa dan jenisnya kelapa kelapa bunyuk
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 23,8
100 50
100 63,6
Leksikon BU tombong
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 95,2 95 100
pol mancung
95,2 95,2
100 100
100 100
230 kelapa kopyor
77,3
90
100
kelapa ijo kelapa gadhing kelapa puyuh Bagian-bagian pohon kelapa bongkok bathok belarak belangkokan beluluk cangkok cikilan celumpring dangu gelugu tali papah
90,5 66,7 77,3
100 95 90
100 90,9 100
100 100 100 90,5 76,2 95,2 90,5 72,1 76,2 66,7 57,1
100 100 100 95 100 100 100 90 75 80 85
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
janur jeliring mayang ruyung Tapas
100 76,2 57,1 52,4 28,6
100 90 90 75 75
100 100 100 100 100
Peralatan terbuat dari bathok/ pohon kelapa cengkir irus kepang
71,4 90,5 66,7
75 100 85
100 100 100
kiso
66,7
90
100
rinjing riwur patar sapu tepis kurih sepet bencorong canting welit Hasil olahan dari buah kelapa gulali koyah koprah sawur
23,8 90,5 38,1 100 90,5 9,6 100 66,7 66,7 42,9
60 100 65 100 100 70 90 90 75 95
86,4 100 81,8 100 100 81,8 100 95,5 95,5 100
85,7 66,7 66,7 52,4
100 80 95 70
100 86,4 100 95,5
Jika data tabel di atas dicermati, terlihat bahwa dari lima leksikon jenis kelapa yang ada, tingkat pemahaman terhadap leksikon kelapa bunyuk menunjukkan persentase paling rendah untuk ketiga kelompok responden, yaitu masing-masing 23,8%, 50%, dan 63,6% yang merupakan tingkat pemahaman terendah dibandingkan dengan tingkat pemahaman terhadap leksikon jenis kelapa lainnya. Selain karena sedikitnya populasi, kebermanfaatan entitas ini yang diacu oleh leksikon ini juga rendah sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi GTBU juga rendah. Hal sebaliknya terlihat pada tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada nama-nama bagian pohon kelapa, seperti belarak „daun kelapa kering‟, bongkok „tangkai daun
231 kelapa‟, dangu „tangkai buah kelapa‟, tombong „daging berwarna putih yang tumbuh di tengah-tengah buah kelapa yang sudah tua‟, dan sebagainya dengan persentase cukup tinggi yang menandakan bahwa interaksi GTBU terhadap entitas-entitas yang diacunya juga tinggi kecuali untuk leksikon tapas yaitu serabut pembungkus tangkai daun kelapa yang persentase tingkat pemahaman kelompok responden remaja khususnya hanya 28,6% yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok dewasa (75%) dan kelompok tua (100%). Fenomena ini disebabkan oleh ketidakbermanfaatan entitas ini pada kehidupan modern saat ini dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya, walaupun populsi entitas ini sama banyaknya dengan populasi pohon kelapa. Fenomena yang sedikit berbeda ditemukan pada tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada sejumlah nama peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa. Dari 12 leksikon, ada 3 leksikon, yakni rinjing „wadah persegi empat yang terbuat dari anyaman daun kelapa‟, kurih „sapu kecil dan pendek yang terbuat dari ikatan lidi kelapa ynag digunakan untuk membersihkan wajan setelah menyangrai kopi/jagung‟, dan patar „lekukan pada batang pohon kelapa sebagai tempat pijakan kaki ketika sedang memanjat pohon kelapa‟ yang tingkat pemahamannya kurang, khususnya pada responden remaja, yaitu masing-masing sebesar 23,6%, 9,6%, dan 38,1%. Kurang dipahaminya ketiga entitas yang diacu oleh masing-masing leksikon di atas, walaupun populasinya masih banyak, antara lain, disebabkan oleh tergantikannya fungsi entitas-entitas tersebut oleh peralatan lain, seperti rinjing
232 digantikan oleh bakul bambu atau wadah terbuat dari plastik. Sementara itu, leksikon sapu kecil dipakai sebagai pengganti kurih. (7) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bambu antargenerasi GTBU Bambu yang dalam BU disebut jajang tumbuh subur di daerah Kabupaten Banyuwangi umumnya dan di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan ada lima belas jenis bambu yang ditemukan tumbuh dari daerah dataran rendah hingga ke daerah perbukitan dengan lingkar batang dari yang paling kecil, yakni jajang wuluh hingga yang yakni
paling besar,
jajang meluwuk, yang biasanya dipakai katir perahu nelayan karena
kekuatan dan bentuk batang yang lurus. Ada interaksi, interelasi, dan interdependensi yang cukup tinggi antara GTBU, khususnya responden dewasa dan tua, dan beberapa jenis bambu tertentu. Hal ini dapat dibuktikan melalui tingkat pemahaman mereka terhadap leksikonleksikon perbambuan, baik terhadap entitas bambu itu sendiri maupun entitasentitas peralatan yang tercipta dari berbagai jenis bambu. Walaupun demikian, berdasarkan analisis data, dari ke lima belas jenis bambu yang dikenal oleh GTBU, ada empat entitas yang kurang dipahami leksikonnya oleh responden muda dan dewasa
dengan
tingkat pemahaman masing-masing: jajang apus
(23,8%/35%), jajang gabug (19%/45%), jajang pelet (14,2%/35%), jajang watu (4,8%/30%), dan jajang meluwuk (4,8%/10%).
Kurang dipahaminya leksikon
dari entitas-entitas tersebut, di samping karena populasinya sedikit (kecuali jajang gabug), ecoregion tempat tumbuhnya yang jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu
233 merupakan faktor penyebab dari fenomena ini. Sementara itu, untuk jajang gabug fenomena ini dilatarbelakangi oleh kemiripan bentuk fisik dari jajang ini dengan jajang tali, namun yang membedakan keduanya adalah dinding ruas jajang tali lebih tebal dan lebih lentur. Tingkat pemahaman responden terhadap leksikonleksikon perbambuan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.7 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bambu Antargenerasi GTBU Leksikon BU
jajang jajang apus jajang benel jajang kuning jajang ori jajang peting/ keting jajang petung jajang meluwuk jajang pellet jajang surat jajang tali jajang wuluh jajang tutul jajang ampel jajang watu jajang gabug Bagian-bagian dari pohon bambu barongan celumpring ebung serit Peralatan terbuat dari batang bambu keser galar seseg geladhag
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 100 100 23,8 35 77,3 47,6 60 77,3 76,2 90 100 62 95 100 33,3 70 90,9
Leksikon BU
ganjur/sengget golong/gunjo irig katir keranjang kereneng
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 95,2 95 100 19 50 86,4 95,2 95 100 38,1 60 90,9 100 100 100 4,8 50 72,7
81 4,8 14,3 71,4 57,1 66,7 81 47,6 4,8 19
100 10 35 80 75 70 90 60 35 45
100 54,5 68,2 100 100 100 100 100 68,2 68,2
kicir langkab lothek nyiru kentongan sawu Seser kukusan berajag beranding beronjong
71,4 33,3 90,5 100 95,2 52,4 71,4 100 4,8 19 28,6
80 55 95 100 100 60 75 100 35 60 35
95,5 100 95,5 100 100 100 90,9 100 72,7 90,9 86,4
90,5 52,4 100 66,7
95 80 100 85
100 81,8 100 90,9
budhag tumbu/besek cokop cantuk tedhok
9,6 57,1 57,1 95,2 14,3
55 90 70 100 65
72,7 100 95,5 100 95,5
23,8 90,5 90,5
45 100 100
68,2 100 100
tenong singkek penguluran /panggungan
85,7 100 66,7
95 100 85
100 100 90,9
42,9
55
81,8
234 Di samping menampilkan persentase tingkat pemahaman responden terhadap leksikon jenis-jenis bambu, tabel di atas juga memuat sejumlah leksikon tentang nama-nama dari bagian pohon bambu dan peralatan yang terbuat dari bambu yang masing-masing berjumlah empat dan dua puluh sembilan leksikon. Jikalau dicermati, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden cukup tinggi terhadap leksikon bagian-bagian tanaman bambu yaitu di atas 50%, sedangkan untuk leksikon peralatan yang terbuat dari tanaman bambu, persentase tingkat pemahamannya sangat bervariasi. Variasi tersebut tercermin pada perbedaan tingkat pemahaman antarleksikon oleh satu kelompok responden dan variasi antargenerasi yang mencerminkan rentangan persentase yang cukup jauh. Contoh dari kelompok yang disebutkan pertama dengan persentase yang sangat rendah, antara lain, ditunjukkan oleh tingkat pemahaman responden remaja terhadap leksikon-leksikon: kelakah (19%), kereneng (4,8%), beronjong (28,6%), budhag (9,6%), tedok (14,3%), golong/gunjo (19%), berajag (4,8%), beranding (19%), dan keser (23,8%). Fenomena ini, selain disebabkan oleh ketiadaan entitas-entitas yang diacu oleh masing-masing leksikon dimaksud di tengah-tengah kehidupan GTBU karena fungsinya sudah digantikan oleh peralatan lain, juga disebabkan oleh tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi berikutnya. Sementara itu, kelompok kedua dengan tingkat pemahaman antargenerasi ditunjukkan oleh leksikon-leksikon, seperti kelakah (19%, 50%, dan 95,5%), langkab (33,3%, 55%, dan 100%), beronjong (28,6%, 35%, dan 86,4%), golong/gunjo (19%, 50%, dan 86,4%), dan berajag (4,8%, 35%, dan 72,7%).
235 Fenomena ini mengindikasikan keberagaman tingkat pemahaman antargenerasi terhadap leksikon-leksikon tersebut yang disebabkan oleh beberapa faktor. Perbedaan interaksi, interelasi, dan interdependensi
mereka terhadap entitas
acuan dari leksikon-leksikon tersebut, yang disebabkan oleh perbedaan zaman merupakan salah satu faktor penyebab fenomena. (8) Tingkat pemahaman leksikon tanaman lain antargenerasi GTBU Leksikon tanaman lain yang dimaksud pada bagian ini adalah leksikonleksikon yang diacu oleh jenis flora yang berada di luar kelompok yang telah diulas pada bagian sebelumnya yang memiliki interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan kehidupan GTBU, baik pada masa sebelumnya maupun masa sekarang. Kelompok leksikon ini mengacu pada beberapa jenis entitas beserta leksikon-leksikon dari bagian entitas tersebut, seperti enau (lirang), lontar (gebyong), rotan (penjalin), kapuk (randu), tembakau (bako), dan sebagainya. Hasil analisis data dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok-kelompok tanaman ini sangat bervariasi dengan tingkat pemahaman responden terhadap leksikon inti sangat tinggi dengan rerata di atas 95% (kecuali untuk gebyong „lontar‟ dengan rerata tingkat pemahaman 44,2%) , namun tidak demikian halnya terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada bagian-bagian dari entitas tersebut yang menunjukkan tingkat pemahaman yang bervariasi, baik terhadap antarleksikon oleh
satu generasi maupun antargenerasi terhadap sejumlah
leksikon. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
236 Tabel 6.8 Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Lain Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
semprul
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 28,6 70 100
100
kerosok
9,6
30
59,1
80
90,9
100 66,7 42,9 38,1 47,6 62
100 80 85 40 80 80
100 100 90,9 72,7 100 90,9
Jenis tanaman lainnya bungur kepuh kesambi ketepeng kecil ketepeng kebo putat santen
28,6 19 42,9 76,2 19 28,6 100
70 25 50 90 35 70 100
77,3 59,1 59,1 95,5 40,1 77,3 100
100 47,6 47,6
100 55 80
100 72,7 87,3
rau weringin wunut cemara
62 100 33,3 95,2
80 100 65 100
90,9 100 90,9 100
100 57,1 76,2 76,2 100
100 65 85 100 100
100 95,5 95,5 100 100
100 57,1 28,6
100 85 55
100 95,5 77,3
kedawung kenari waru suruh suruh kinang suruh temu ros galing simbukan sri wangkat lung-lungan
57,1 76,2 90,5 100 100 81 19 95,2 42,9 38,1
90 75 100 100 100 85 35 100 55 60
90,5 95,5 100 100 100 90,9 72,7 100 86,4 81,8
100
100
100
Lirang dan bagian-bagiannya lirang
81
100
kedhuk
62
kolang-kaling mancung manggar kawung sodho upih Kapuk dan bagian-bagiannya randu karuk pelenteng Asam dan bagianbagiannya asem tempalok kelingsi asem kamal godhong asem Jati dan jenisnya jati jati mas jati landa Tembakau dan jenis irisan daunnya bako
Leksikon BU
Dari tabel di atas dapat diamati bahwa dari tingkat pemahaman responden muda terendah ditemukan pada leksikon doni „daun pohon rotan‟, yaitu sebesar 4,8%, kemudian disusul oleh kerosok „daun tembakau sisa panen yang diiris secara kasar‟ sebesar 9,6%, dan terendah ketiga, yakni kepuh, ketepeng kebo, dan galing dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 19%. Berdasarkan pengamatan di lapangan, populasi entitas acuan dari leksikon-leksikon tersebut
237 sangat banyak, tetapi karena kurangnya interaksi, intereasi, dan interdependensi menyebabkan tingkat pemahaman mereka rendah. Fenomena yang sedikit berbeda ditemukan pada responden dewasa dan tua dengan tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon tersebut rerata masing-masing 31,7% dan 57,3%. Lebih tingginya tingkat pemahaman kedua kelompok responden ini karena mereka, khususnya yang berprofesi petani, masih berinteraksi dengan entitas-entias acuannya. Sementara itu, ada dua jenis tumbuhan, baik leksikon maupun entitasnya hanya dipahami dan diakrabi oleh GTBU yang berdomisili di Desa Kemiren, yaitu lung-lungan dan sri wangkat. Fenomena ini disebabkan oleh keterpakaian kedua entitas tersebut dalam ritual dimana ada tumpeng sri wangkat-nya. 6.1.1.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Fauna Antargenerasi GTBU Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa GTBU adalah masyarakat yang muslim agraris sehingga jenis-jenis fauna tertentu yang ada kaitannya dengan situasi sosial tersebut banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal mereka. Adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi terhadap fauna-fauna tertentu berdampak pada tingkat pemahaman GTBU terhadap leksikon-leksikon yang diacu oleh entitas-entitas tersebut. Secara umum, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon fauna lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon-leksikon flora. Walaupun demikian, berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data, ditemukan juga tingkat pemahaman yang rendah terhadap beberapa jenis leksikon, khususnya leksikonleksikon spesifik dari entitas-entitas fauna tertentu. Untuk mengetahui tingkat
238 pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tingga GTBU, dapat dilihat pada uraian berikut. (1) Tingkat pemahaman leksikon mamalia antargenerasi GTBU Jenis mamalia tertentu, seperti jaran, sapi, wedhus, dan kebo cukup banyak ditemukan di wilayah tempat tinggal GTBU khususnya. Dipahami dan diakrabinya objek dan leksikon dari entitas-entitas ini oleh masyarakat tidak terlepas dari perannya dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi GTBU sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka pun cukup tinggi. Sapi „sapi‟ dan kebo „kerbau‟ adalah dua jenis hewan yang berperan penting dalam membantu GTBU mengolah lahan pertanian dan kebun hingga saat ini walaupun mereka telah mengenal traktor. Semetara itu, wedhus „kambing‟ bagi GTBU merupakan hewan penting yang memiliki peran budaya yakni untuk aqiqah-an dan juga peran ekonomi, yakni untuk diperjualbelikan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, sedangkan jaran „kuda‟ adalah jenis hewan yang digunakan jaran kencak yaitu kuda yang didandani secantik mungkin yang biasanya ditanggap pada acara kawinan atau sunatan. Beberapa peran penting yang diemban oleh entitas-entitas di atas berdampak pada tingginya tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon entitas-entitas tersebut (kecuali terhadap leksikon-leksikon spesifik kelompok wedhus), yakni 100%. Ditemukan fenomena menarik pada tingkat pemahaman responden terhadap leksikon wedhus etawa, yaitu jenis kambing hasil kawin silang antara kambing lokal dan kambing impor, yakni persentase tingkat pemahaman
239 responden tua terendah, yaitu sebesar 68,2%, dewasa, 85%, dan remaja 71,4%. Ketidakmampuan mereka untuk membedakan bentuk fisik entitas ini dan sedikitnya populasi sehingga kurangnya interaksi merupakan faktor-faktor penyebab fenomena ini. Untuk melihat persentase dan perbedaan tingkat pemahama ketiga kelompok responden terhadap kelompok leksikon mamalia dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 6.9 Tingkat Pemahaman Leksikon Mamalia Antargenerasi GTBU Leksikon BU
tikus tikus curut tikus kerot tikus langu tikus got Kambing dan jenisnya wedhus wedhus gimbal wedhus kendhit wedhus kacangan wedhus menggala wedhus gibas wedhus etawa wedhus jawa
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 100 100 81 52,4 66,7 33,3
95 50 95 55
95,5 72,7 95,5 86,4
100 57,1 19 52,4 33,3 62 71,4 66,7
100 75 50 80 65 80 85 75
100 95,5 72,7 86,4 81,8 95,5 68,2 90,9
Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Jenis binatang lainnya asu kirik jaran kucing sapi
100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
bojog bantongan celeng cuwut delundheng garangan kidhang macan
95,2 66,7 95,2 90,5 57,1 42,9 90,5 100
100 65 100 100 65 95 100 100
100 81,8 100 100 86,4 100 100 100
Ada fenomena unik yang terlihat pada tabel di atas, yakni pada leksikon wedhus etawa „hasil persilangan antara kambing lokal dan kambing menggala‟ yang menunjukkan bahwa tingkat pemahaman generasi tua terhadap leksikon tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan tingkat pemahaman pada generasi dewasa dan generasi remaja. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada tingkat pemahaman terhadap pada leksikon pada umumnya, yakni tingkat pemahaman
240 generasi tua adalah tertinggi. Fenomena ini disebabkan oleh kebaruan dari entitas acuannya sehingga generasi tua kurang mengakrabi entitasnya, di samping ciri fisik dari entitas ini memiliki kemiripin dengan wedhus menggala. Di samping itu, selain terhadap
leksikon hewan-hewan yang telah
disebutkan sebelumnya, tingkat pemahaman yang tinggi juga ditemukan pada tingkat pemahaman terhadap leksikon asu „anjing‟, kirik „anak anjing‟, dan celeng „babi hutan‟ yang masing-masing hampir mencapai 100%. Walaupun GTBU merupakan masyarakat muslim dimana ketiga entitas ini merupakan hewan yang “diharamkan”, di wilayah tertentu, khususnya asu dan kirik,cukup dikenal. Diakrabinya, baik leksikon maupun entitas binatang ini, khususnya asu, karena fungsinya untuk menjaga kebun dari gangguan pencuri dan monyet. Sementara itu, dikenalnya entitas dan leksikon celeng „babi hutan‟ di samping merupakan hewan perusak tanaman kebun, celeng juga merupakan kata umpatan yang berfungsi sebagai sapaan kepada sahabat saat bertemu setelah lama berpisah. (2) Tingkat pemahaman leksikon unggas antargenerasi GTBU Hampir sama dengan wilayah Jawa Timur lainnya, di Kabupaten Banyuwangi juga ditemukan berbagai jenis unggas yang hampir semuanya dibudidayakan atau dipelihara di lingkungan pekarangan sehingga terdapat interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara GTBU dan entitasentitas yang dimaksud sehingga tingkat pemahaman GTBU terhadap leksikonleksikonnya cukup tinggi pula. Kehadiran beberapa jenis unggas, seperti pitik ‘ayam‟, bebek „itik‟, dan banyak „angsa‟di tengah-tengah GTBU, di samping memiliki nilai ekonomis, juga memiliki nilai budaya, khususnya pitik berbulu
241 putih mulus sebagai bahan dasar untuk pecel pitik. Leksikon-leksikon apa saja yang terkait dengan unggas dan jenisnya dan bagaimana tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 6.10 Tingkat Pemahaman Leksikon Unggas Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Ayam dan jenisnya pitik pitik walik pitik cemara bangkok pitik alas bekisar babon bAngsa dan jenisnya banyak Banyak
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
berengul 100 85,7 33,3 66,7 95,2
100 90 70 85 95
100 100 100 100 100
71,4 71,4 71,4
80 80 80
95,5 95,5 95,5
Bebek dan jenisnya bebek bebek banyong bangsong Bagian-bagian tubuh ungags cekeker cengger cucuk
100
100
100
telampik berutu
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 76,2 85 95,5 95,2 66,3 52,4
100 85 70
100 95,5 86,4
100 100 100
100 100 100
100 100 100
100 100
100 100
100 100
Selain beberapa leksikon unggas yang dipahami oleh GTBU, ada sejumlah leksikon tentang bagian-bagian tubuh entitas tersebut yang tingkat pemahaman ketiga kelompok responden mencapai 100%. Hai ini mengindikasikan bahwa GTBU masih menggunakan leksikon BU untuk menyebut entitas-entitas yang dimaksud. (3) Tingkat pemahaman leksikon burung antargenerasi GTBU Lingkungan alam yang asri dan lestari merupakan tempat yang nyaman bagi burung untuk hidup dan berkembang biak. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ada cukup banyak jenis burung yang dikenal dan dipahami oleh GTBU
242 walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda, baik antarleksikon oleh satu generasi maupun antargenerasi, terhadap sebuah leksikon. Sama halnya seperti terhadap entitas-entitas lain yang memiliki leksikon generik dan spesifik, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon spesifik selalu lebih rendah dari tingkat pemahaman terhadap leksikon generik. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan ada tiga jenis burung yang memiliki leksikon generik dan spesifik, yakni bango „burung bangau‟, jalak „burung jalak‟, dan emprit „burung pipit‟ dengan rata-rata tingkat pemahaman responden remaja, dewasa, dan tua terhadap leksikon generik setiap entitas secara berurutan, untuk bango: 71,4%, 100%, dan 100%; jalak: 90,5%, 100%, dan 100%; dan emprit: 100%, 100%, dan 100%. Sementara itu, tingkat pemahaman terendah terhadap leksikon spesifik dari ketiga jenis burung tersebut ditemukan pada tingkat pemahaman terhadap leksikon bango. Sedikitnya populasi karena jenis burung itu mati akibat memakan bangkai hewan yang terkena pestisida dan adanya perburuan terhadap jenis bangau tertentu serta ketidakmampuan GTBU membedakan entitas dari masing-masing jenis secara fisik merupakan penyebab rendahnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon spesifik entitas ini. Untuk mengetahui variasi tingkat pemahaman responden terhadap
leksikon
burung lainnya, dalam hal ini persentasenya, dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 6.11 Tingkat Pemahaman Leksikon Burung Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Bango dan jenisnya bango bango kebo
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 71,4 14,3
100 40
100 63,6
Leksikon BU
culik gemek jegug
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 62 75 100 81 90 95,5 42,9 65 86,4
243 bango thongthong bango wedhus belekok kuntul meliwis Jalak dan jenisnya jalak jalak bali jalak cemeng jalak suren Pipit dan jenisnya emprit emprit uban/bodol emprit gantil emprit peking emprit kaji Jenis burung lainnya ancel-ancel angin belkatuk bence cucak rawa
28,6 14,3 81 95,2 33,3
45 25 85 95 50
63,6 40,1 95,5 100 81,8
90,5 47,6 71,4 23,8
100 75 85 65
100 90,9 90,9 90,9
100 52,4 52,4 52,4 42,9
100 65 65 65 50
100 95,5 81,8 77,3 59,1
23,8 81 62 85,7
70 90 70 85
81,8 95,5 90,9 100
kukuk beluk kacer kakak tua kepodang perenjak serigunting seriti sikatan tinil tuwu alap-alap bangkrak betet gagak gedhubug samber ulung bidhol
47,6 52,4 95,2 66,7 71,4 28,6 33,3 23,8 28,6 19 81 76,2 66,7 100 66,7 19 19
80 65 100 85 95 75 90 60 50 65 90 75 75 100 65 55 55
95,5 81,8 100 100 95,5 95,5 100 86,4 90,9 100 100 77,3 90,9 100 72,7 100 63,6
dara manyar perkutut gelatik
100 28,6 85,7 66,7
100 90 90 75
100 90,9 100 100
Selain memperlihatkan variasi tingkat pemahaman responden terhadap leksikon generik dan spesifik seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tabel di atas juga memuat tingkat pemahaman responden terhadap jenis burung lain yang tingkat pemahamannya juga bervariasi. Tingkat pemahaman ketiga kelompok responden cukup tinggi ditemukan pada leksikon-leksikon yang diacu oleh entitas-entitas, seperti belkatuk: 81%, 90%, dan 95,5%; cucak rawa: 85,7%, 85%, dan 100%; gemek: 81%, 90% dan 95,5%; kakak tua: 95,7%, 100%, dan 100%; gagak: 100%, 100%, dan 100%; dan dara: 100%, 100%, dan 100%. Tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang diacu oleh entitas burung-burung tersebut, di antaranya populasi yang cukup banyak (cucak rawa, gemek), tempat hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU (dara), terkait dengan cerita rakyat/tahyul (gagak), dan sering menjadi berita di media, khususnya TV, karena kemampuan berbicara dan keindahan bulunya (kakak tua).
244 Sebaliknya, tingkat pemahaman, khususnya responden remaja, yang rendah ditemukan terhadap leksikon dari entitas-entitas yang habitatnya jauh dari lingkungan tempat tinggal GTBU seperti ancel-ancel angin (22%) dan sikatan (23,8%) yang hidup di lingkungan persawahan dan juga populasinya sedikit, seperti tuwu, bidol, dan samber ulung dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar19%. Kedua faktor tersebut berkontribusi terhadap rendahnya interaksi responden remaja dengan entitas-entitas dimaksud. (4) Tingkat pemahaman leksikon reptil antargenerasi GTBU Hampir sama dengan di wilayah Kabupaten Banyuwangi lainnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU juga ditemukan beberapa jenis reptil. Di antara semua jenis yang ada yang paling menonjol adalah kelompok ular yang dalam BU disebut ula. Berdasarkan pengamatan di lapangan ada delapan belas leksikon tentang ular dan entitasnya yang dipahami dan dikenal oleh GTBU walaupun dengan tingkat pemahaman responden yang berbeda-beda. Leksikon dengan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden yang cukup tinggi, di antaranya ditemukan pada leksikon-leksikon ula irus dan ula gadhung dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 90,5%, 100%, dan 100%, serta ula gadhung sebesar 62%, 75%, dan 81,8%. Di samping karena populasinya masih cukup banyak, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya merupakan faktor penyebab dari fenomena ini. Sebaliknya, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden yang rendah ditemukan
pada leksikon-leksikon, seperti
ula dhawu dengan tingkat
pemahaman masing-masing sebesar 9,6%, 30%, dan 50%, ula sungu sebesar
245 23,8%, 25%, dan 54,5%, ula walur sebesar 14,3%, 25%, dan 63,6%, dan ula lumbu sebesar 23,8%, 40%, dan 59,1%. tingkat pemahaman 17,9% oleh remaja dan 30% oleh kelompok dewasa, sedangkan tingkat pemahaman kelompok tua terhadap entitas-entitas tersebut di bawah 60%. Rendahnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon dan entitas-entitas yang diacu disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap habitat ular (seperti diketahui habitat hampir semua jenis ular adalah semak belukar yang lokasinya berjauhan dengan pemukiman penduduk, di samping ketidakmampuan responden untuk membedakan ciri-ciri fisik dari entitas-entitas acuannya. Tabel berikut menunjukkan keberagaman tingkat pemahaman responden terhadap leksikon reptile yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU. Tabel 6.12 Tingkat Pemahaman Leksikon Reptil Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Kodok dan jenisnya bangkrak bangkong kentus Ular dan jenisnya Ula ula dhawu ula irus ula jail ula lanang ula lumbu ula sungu ula walur ula welang ula gadhung
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
76,2 23,8 19
80 60 25
81,8 68,2 54,5
100 9,6 90,5 90,5
100 30 100 100
100 50 95,5 100
47,6 57,1 28,6 42,9 33,3 23,8 33,3
50 85 55 40 60 50 50
63,6 90,9 59,1 54,5 86,4 86,4 81,8
28,6 23,8 23,8 14,3 14,3 62
50 40 25 25 60 75
59,1 59,1 54,5 63,6 81,8 81,8
ula lampar ula luwuk ula kayu ula kelasa ula sawa ulo silara ula weling Jenis reptil lainnya bajul nyambit kura kadal cecek tekek
90,5 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100
Jikalau tabel di atas dicermati, terlihat bahwa tingkat pemahaman responden terhadap jenis reptil lainnya, seperti bajul „buaya‟, nyambit „biawak,
246 kura „kura-kura‟, kadal „kadal‟, cecek „cecak‟, dan tekek „tokek‟ sangat tinggi dengan rerata hampir mencapai 100%. Tingkat populasi yang tinggi dan habitat yang berada di pemukiman penduduk sehingga interaksi sangat tinggi (untuk cecek, tokek, dan kadal) dan kondisi habitat yang sangat sesuai yaitu banyak tersedia air (untuk nyambit dan kura) merupakan penyebab dari fenomena ini. (5) Tingkat pemahaman leksikon serangga antargenerasi GTBU Hidup dan berkembangbiaknya banyak serangga merupakan salah satu ciri dari daerah tropis. Demikian halnya di daerah Kabupaten Banyuwangi umumnya, dan di wilayah tempat tinggal GTBU khususnya, hidup dan berkembang biak berbagai jenis serangga yang diacu oleh leksikon generik ataupun leksikon spesifik. Serangga-serangga ini ada yang habitatnya di lingkungan atau dekat dengan lingkungan tempat tinggal GTBU dan juga di daerah persawahan atau kebun. Perbedaan habitat turut berpengaruh terhadap tingkat pemahaman manusia, baik terhadap leksikon maupun entitas serangga-serangga ini. Berdasarkan pengamatan dan analisis data, cukup banyak jenis serangga yang memiliki leksikon generik dan leksikon spesifik, seperti uler „ulat‟, dudhuk „capung‟, tawon „tawon‟, walang „belalang‟, kupu „kupu-kupu, semut „semur‟, laler „lalat, dan kumbang „kumbang‟ dengan jenisnya masing-masing. Untuk mengetahui seberapa paham ketiga kelompok responden terhadap leksikonleksikon serangga yang hidup di lingkungan mereka, dalam hal ini, persentasenya, dapat dilihat dalam tabel berikut.
247 Tabel 6.13 Tingkat Pemahaman Leksikon Serangga Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Ulat dan jenisnya uler uler geni
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
walang selethet 100 66,7
100 85
100 95,5
uler senggenit uler jaran uler wulu uler jembut uler keket Capung dan jenisnya dudhuk dudhuk cutrik
85,7 76,2 95,2 38,1 81
90 90 100 75 95
95,5 95,5 100 90,9 95,5
95,2 52,4
100 60
100 81,8
dudhuk edhom dudhuk abang dudhuk kuning dudhuk macan dudhuk ruyung dudhuk terasi dudhuk cilik dudhuk gerobok
90,5 95,2 62 47,6 9,6 62 62 33,3
90 90 70 70 25 70 80 70
90,9 95,5 90,9 72,7 59,1 77,3 95,5 81,8
dudhuk menggala dudhuk maling udhuk entelong Tawon dan jenisnya tawon tawon sruk tawon kenceng tawon keroso tawon gung tawon kunir tawon terasi/ gagak tawon macan tawon menggala tawon rowan Belalang dan jenisnya walang walang gancong walang jaran walang kalung
14,3 42,9 14,3
55 55 30
63,6 59,1 72,7
100 66,7 95,2 95,2 28,6 66,7 42,9
100 75 95 100 75 75 45
100 100 95,5 100 90,9 90,9 72,7
42,9 23,8 90,5
45 25 90
68,2 50 90,9
100 42,9 38,1 23,8
100 50 45 35
100 72,7 72,7 68,2
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 23,8 35 68,2
walang gebog Kupu-kupu dan jenisnya kupu kupu abang kupu ijo kupu kuning kupu putih kupu cedhung
38,1
45
68,2
100 42,9 33,3 90,5 85,7 71,4
100 50 60 95 85 70
100 81,8 81,8 100 90,9 100
kupu kithi Semut dan jenisnya semut semut abang semut cemeng semut gatel semut geni semut angkrang semut pudhak Lalat dan jenisnya laler laler cemeng laler ijo/buyung Kumbang dan jenisnya kuwang-wang Kutis bapak pucung gasir ancruk samber ilen Jenis serangga lainnya Keremi lingsa limpit kala jengking
23,8
55
81,8
100 100 100 100 95,2 100 90,5
100 100 100 100 100 100 95
100 100 100 100 100 100 100
100 100 85,7
100 100 100
100 100 100
4,8 42,9 9,6 90,5 71,4 42,9
65 65 15 90 90 65
81,8 90,9 63,6 95,5 90,9 90,9
100 95,2 23,8 100
100 100 65 100
100 100 90,9 100
kala supit tumo Rengit berecung
71,4 100 100 85,7
75 100 100 90
90,9 100 100 95,5
248 walang godhong walang kadhung walang kayu walang watu walang keretek walang pari walang sangit
38,1 85,7 62 23,8 23,8 90,5 100
50 85 60 35 25 95 100
72,7 95,5 86,4 68,2 81,8 95,5 100
pucung angkut-angkut lare angon tengu Kunang Jengkrik jekethit
38,1 66,7 9,6 100 100 100 81
40 85 70 100 100 100 85
63,6 90,9 81,8 100 100 100 86,4
Dari tabel di atas terlihat bahwa entitas dudhuk „capung‟ yang memiliki leksikon generik paling banyak, yakni mencapai 12 leksikon. Terbanyak kedua adalah walang „belalang‟ yang mencapai jumlah 11 leksikon, sedangkan terbanyak ketiga tawon „tawon‟ dengan 9 leksikon, kemudian disusul berturutturut oleh kupu „kupu‟ kupu-kupu‟, uler „ulat‟, semut „semut‟, kumbang „kumbang‟ dengan jumlah masing-masing 6, serta yang terakhir adalah laler „lalat‟ dengan 2 leksikon generik. Sementara itu, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terendah ditemukan pada leksikon generik kelompok dudhuk „capung‟, seperti dudhuk ruyung (9,6%, 25%, dan 59,1), dudhuk menggala (14,3%, 55%, dan 63,6%), dan dudhuk entelong (14,3%, 30%, dan 63,6%). Sementara itu, dari kelompok tawon „tawon‟ adalah tawon menggala (23,8%, 25%, dan 50%), sedangkan dari kelompok walang „belalang‟ yakni walang kalung (23,8%, 35%, dan 63,6% , walang watu (23,8%, 35%, dan 68,2%, dan walangselethet (19%,30%, dan 59,1%). Kurangnya pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya, sedikitnya populasi, kurangnya interaksi karena habitat entitas-entias ini jauh dari lingkungan tempat tinggal responden, ketidakmampuan responden membedakan ciri-ciri fisik antara satu entitas dan entitas lainnya, dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu.
249 Berbeda dengan fenomena tersebut di atas, tingkat pemahaman semua responden untuk kelompok semut dan lalat sangat tinggi, yaitu rata-rata di atas 95%. Hal ini disebabkan oleh interaksi GTBU terhadap entitas-entitas tersebut sangat tinggi karena keduanya hidup di lingkungan tempat tinggal manusia, di samping populasi entitas-entitas tersebut masih sangat banyak. (7) Tingkat pemahaman leksikon ikan air tawar antargenerasi GTBU Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Kabupaten Banyuwangi umumnya dan lingkungan tempat tnggal GTBU khususnya memiliki sumber air yang melimpah sehingga wilayah ini merupakan tempat yang bagus untuk hidup dan berkembangbiaknya berbagai jenis ikan, khususnya ikan air tawar. Jenis ikan air tawar yang populer di kalangan GTBU adalah badher „ikan wader‟, gurameh „ikan gurami‟, sengkaring „ikan sengkaring‟, tombro „ikan tombro‟, mujaher „ikan mujair, tawes „ikan tawes‟, dan nilem „ikan nilam‟ yang semuanya merupakan jenis yang dibudidayakan, kecuali wader yang hidup liar di daerah aliran sungai. Berdasarkan analisis data, tingkat pemahaman ketiga responden terhadap leksikon-leksikon dari entitas-entitas di atas 80% yang mengindikasikan bahwa ada interaksi, ineterelasi, dan interdependensi yang cukup tinggi antara GTBU dan entitas-entitas acuan leksikon-leksikon dimaksud. Tabel berikut adalah tabel yang memuat
tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok
leksikon ikan air tawar yang ditemukan pada perairan di lingkungan tempat tinggal GTBU.
250 Tabel 6.14 Tingkat Pemahaman Leksikon Ikan Air Tawar Antargenerasi GTBU Leksikon BU sepat badher gurameh sengkaring tombro lele mujaher tawes nilem bedhul cokol deleg
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 57,1 45 54,5 95,2 90 95,5 100 100 100 100 100 100 81 90 100 100 100 100 100 100 100 95,2 95 95,5 81 85 95,5 81 100 100 100 100 100 47,6 70 95,5
Leksikon BU
geruyu mendhil meniran telekan uceng-uceng kuniran welut encit bibis oling urang
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 100 100 66,7 90 90,9 47,6 45 81,8 38,1 50 68,2 76,2 75 95,5 38,1 60 77,3 100 100 100 28,6 65 95,5 47,6 85 95,5 90,5 100 100 100 100 100
Di samping beberapa leksikon ikan air tawar di atas, di wilayah ini juga dikenal beberapa jenis ikan lain, seperti geruyu „kepiting air tawar, deleg „ikan gabus, meniran „ikan yang hidup di sungai dan bertubuh kecil‟, urang „udang air tawar‟, welut „belut‟, dan sebagainya yang ditemukan hidup liar. Jikalau tingkat pemahaman masing-masing leksikon ikan air tawar dicermati maka terlihat bahwa cukup banyak tingkat pemahaman ketiga kelompok responden persentasenya di atas 80%. Hal ini mengindikasikan bahwa GTBU memiliki pengetahuan tentang sumber daya lingkungan tempat mereka tinggal, walaupun kuantitas dan kualitasnya semakin menurun seiring berjalannya waktu yang disebabkan oleh beberapa faktor. Di samping karena populasinya masih banyak dan adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulunya, juga karena tingginya interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan entitas-entitas acuannya merupakan faktor penyebab dari fenomena ini.
251 6.1.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba Antargenerasi GTBU Interaksi, interelasi, dan interdependensi GTBU terhadap lingkungannya sangat tinggi. Segala aktivitas yang mereka lakukan terhadap alam dan di alam mereka kodekan dalam leksikon-leksikon verba yang beragam yang membuat BU berbeda dengan BD lainnya. Sebagai masyarakat agraris dengan lingkungan alam yang masih lestari sudah tentu banyak aktivitas yang GTBU lakukan di lingkungan alam, seperti di lingkungan sawah, kebun bahkan di lingkungan tempat tinggal mereka. Terkait dengan perihal tersebut, pada bagian ini leksikon-leksikon verba yang mengacu pada aktivitas GTBU terkait dengan lingkungan alam dikelompokkan menjadi leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan kebun, dan aktivitas yang dilakukan di lingkungan pekarangan, baik yang terkait dengan flora maupun fauna. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud. 6.1.2.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU Persawahan di lingkungan tempat tinggal GTBU masih sangat luas dan produktif dan pengolahannya masih banyak dilakukan secara tradisional sehingga leksikon-leksikon yang mengacu pada aktivitas di lahan pertanian, khususnya tentang pengolahan lahan, masih dipahami dengan baik umumnya oleh kelompok responden dewasa dan tua karena sebagian dari mereka bermata pencaharian petani. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data dapat ditunjukkan bahwa tingkat pemahaman kedua kelompok responden ini terhadap leksikon verba di lahan pertanian paling rendah 80%, kecuali untuk leksikon mbubak „memecah
252 tanah dengan cara dibajak atau dicangkul sehabis panen, yakni sebesar 75% dan 77,3%. Fenomena ini disebabkan oleh semakin jarangnya aktivitas mbubak dalam tahapan pengolahan tanah. Karena traktor sudah dikenal di kalangan GTBU, biasanya sehabis panen tanah sawah langsung ditraktor kemudian diratakan dan didiamkan beberapa waktu sebelum siap ditanami padi. Selanjutnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU tidak saja terdapat sawah yang luas, tetapi juga
lahan kebun. Ada berbagai jenis tanaman tumbuh di
dalamnya, baik yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Banyak aktivitas yang dilakukan GTBU di lahan kebun, baik terhadap tanaman maupun terhadap hasil-hasil kebun itu sendiri, yang mengindikasikan adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka dengan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Aktivitas-aktivitas di lahan kebun yang mereka kodekan secara lingual, terekam dalam leksikon-leksikon verba yang mereka pahami dengan tingkat pemahaman yang beragam. Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman responden terhadap leksikon verba di lahan pertanian dan kebun. Tabel 6.15 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU Leksikon Verba BU di Lahan Pertanian mbebeng nyirati mbubak nambaki nyacal ngempet nggagas nggebros/ngga mpung nggejig nggulud
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 85,7 80 100 95,2 100 100 66,7 75 81,8 90,5 90 100 76,2 85 95,5 90,2 90 95,5 100 100 100 100 100 100
Leksikon Verba BU di Lahan Kebun ngunduh mbeseh ndekung nderes ngenam nggepluki ngonceti ngorag/ngureg
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 95,2 100 100 95,2 100 100 42,9 80 90,9 95,2 100 100 71,4 90 95,5 85,7 100 95,5 100 100 100 95,2 100 100
52,4 47,6
majeg/nebas macaki
85,7 95,2
85 90
90,9 95,5
95 95
95,5 100
253 ngileni (tentang sawah) mbalong melar ngeremponi matun nyebar ngurit nguter mberubuk nggrujug
100
100
100
nyumbat
95,2
100
100
62 57,1 71,4 100 100 95,2 52,4 33,3 81
85 80 80 100 100 100 80 80 90
95,5 81,8 90,9 100 100 100 100 86,4 90,9
ngerimbas nyelogrok nyangkrab nanceb notor mepe Mepe
85,7 66,7 76,2 38,1 85,7 85,7 100
100 80 80 80 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100
Sementara itu, untuk responden remaja, walaupun interaksi mereka dengan lingkungan sawah agak kurang, tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon verba tentang aktivitas di lahan persawahan cukup tinggi, yaitu di atas 60%, kecuali untuk leksikon-leksikon seperti nggejig „membuat lubang pada tanah untuk menanam benih‟ dengan tingkat pemahaman sebesar 52,4%, nggulud „meninggikan tanah sawah/membuat gundukan sebesar 47,6%, melar „membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering‟ sebesar 57,1%, nguter „memindahkan bibit ke tempat penanaman permanen‟ sebesar 52,4%, dan mberubuk „membuat tanah menjadi gembur‟ sebesar 33,3%. Kurangnya tingkat pemahaman responden remaja terhadap leksikon-leksikon tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan mereka membedakan leksikon verba generik macul „mencangkul‟ dengan verba spesifiknya seperti nggulud, melar, dan mberubuk yang sama-sama memiliki makna mengolah tanah. Sementara itu, rendahnya pemahaman mereka terhadap leksikon verba nggejig dan nguter disebabkan oleh jarangnya mereka melakukan aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut. Di samping itu, pada tabel di atas terlihat bahwa secara umum tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas di lahan kebun cukup tinggi, yaitu 80% ke atas, kecuali tingkat pemahaman
254 responden muda terhadap dua leksikon, yakni mbeseh „menyayat kulit pohon‟ dan nyangkrab’membersihkan
pohon
dari
ranting-rantingnya‟
dengan
tingkat
pemahaman masing-masing 42,9% dan 38,1%. Hal ini disebabkan oleh langkanya aktivitas menyayat kulit pohon yang menjadi acuan leksikon mbeseh serta adanya kekaburan makna antara nyangkrab dan notor yang keduanya bermakna menghilangkan cabang pohon. Perbedaannya adalah nyangkrab mengacu pada aktivitas menghilangkan ranting-ranting kecil saja, sedangkan notor bermakna menghilangkan ranting-ranting pohon
baik yang kecil maupan yang besar.
Sementara itu, tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikonleksikon verba ini, selain karena adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu, juga disebabkan oleh masih terpakainya leksikon-leksikon tersebut untuk mengacu pada aktivitas-aktivitas yang menjadi acuannya dalam kehidupan sehari-hari. 6.1.2.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU GTBU tidak saja mengodekan secara lingual segala aktivitas yang mereka lakukan di lahan pertanian dan di lahan kebun, tetapi juga aktivitas sosial yang mereka lakukan terhadap entitas-entitas yang ada di sekeliling mereka. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya leksikon verba yang muncul yang mengodekan aktivitas-aktivitas tersebut, seperti termuat dalam tabel berikut. Tabel 6.16 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
255 ngangsu nyenggot ason-ason mbelor
95,2 62 62 23,8
100 80 80 55
100 81,8 95,5 59,1
nggeladag ngantih mbebek
71,4 52,4 85,7
75 95 85
77,3 95,5 86,4
mbelasak mbenem mbleteti mbombong nyancang nyekoki/njamoni
66,7 47,6 76,2 47,6 100
80 85 85 95 100
72,7 90,9 100 100 100
nyeruh ngangon nggetes ngileni (tentang jangkrik) medhok ngersaya majeg (tentang hasil kebun) nyelisir nyerimpung mbentuk nyerawat nyuluh
76,2 62 85,7 95,2
80 85 95 100
90,9 86,4 95,5 100
76,2 76,2 71,4
90 90 100
95,5 100 100
85,7 85,7 100 100 95,2
95 90 100 100 100
100 95,5 100 100 100
Pada tabel di atas terlihat bahwa secara umum tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas sosial cukup tinggi , kecuali terhadap leksikon mbelor „berburu babi hutan atau rusa pada malam hari dengan menggunakan lampu sorot‟ yang tingkat pemahamannya masing-masing sebesar 28,3%, 55%, dan 59,1%. Sementara itu, persentase tingkat pemahaman rendah lainnya, khususnya remaja, juga ditemukan pada leksikon-leksikon, seperti mintal/ngantih „memintal kapas untuk dijadikan benang‟ sebesar 52,4%, sedangkan untuk responden dewasa dan tua sebesar 95% dan 95,5%, serta leksikon mbenem „memasak sesuatu dengan cara membenamkannya di dalam bara api (seperti pisang, ketela, dan pepesan)‟ dan mbombong „menyabung ayam aduan‟ dengan tingkat pemahaman masing-masing 47,6% untuk responden remaja, sedangkan responden dewasa dan tua masing-masing 85%/90,9% dan 95% / 100%. Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon mbelor karena leksikon tersebut memiliki kemiripan makna dengan leksikon nggeladag, yakni keduanya bermakna berburu binatang hutan tanpa
256 memperhatikan spesifikasinya. Sementara itu, selisih persentase tingkat pemahaman yang mencapai hampir 50% antara responden remaja di satu sisi dan responden dewasa dan tua di sisi lainnya terhadap leksikon-leksikon, seperti mintal/ngantih, mbenem dan mbombong disebabkan oleh perbedaan tingkat interaksi dengan aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut. 6.1.2.3 Tingkat Pemahaman Leksikon tentang Aktivitas Fauna Antargenerasi GTBU Karena kedekatannya dengan alam, GTBU tidak saja mengodekan aktivitas dirinya secara lingual, namun juga beberapa aktivitas yang dilakukan fauna yang dilihatnya. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman leksikon yang merepresentasikan aktivitas fauna yang dimiliki BU, seperti ngeludes „aktivitas menggemburkan
tanah yang dilakukan babi hutan (celeng)
tanah dengan
menggunakan moncongnya‟, nyeludug „menyeruduk dengan tanduk yang dilakukan oleh hewan bertanduk, seperti kerbau, sapi, dan kambimg‟. Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman responden terhadap leksikon verba terkait dengan aktivitas beberapa fauna yang hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU Tabel 6.17 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Aktivitas hewan ngeludes kedrangen ngguyang ngeregeb nyeludug
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 66,7 62 76,2 81 95,2
70 70 90 85 100
90,9 95,5 95,5 95,5 100
Leksikon BU
ngokok neba metingkring giblas-giblas nyisil nyeblak
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 95,2 100 100 66,7 70 95,5 100 100 100 90,5 100 100 52,4 90 95,5 90,5 95 100
257 Aktivitas unggas dan burung nyeker ngendhat ngentit keblak-keblak
100 66,7 76,2 90,5
100 75 85 95
100 86,4 95,5 95,5
Aktivitas serangga nyenget Aktivitas reptile nyeloyor
95,2
100
100
62
80
100
Pada tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas fauna di atas 60%, kecuali tingkat pemahaman responden remaja terhadap leksikon nyisil „aktivitas menguliti bulir padi atau kacang yang baisanya dilakukan oleh burung atau tikus‟, yakni sebesar 52,4%.
Di samping karena kurangnya interaksi dengan lingkungan
tempat aktivitas biasanya terjadi dan leksikon verba nyisil digantikan oleh leksikon verba BJ mangan „makan‟. 6.1.2.4 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam Antargenerasi GTBU Aktivitas alam yang terekam dalam leksikon verba BU secara umum terjadi di wilayah tropis, namun menggunakan leksikon verba yang berbeda-beda. GTBU menamai aktivitas alam dalam BU. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan leksikon yang dipakai untuk memverbalkan aktivitas-aktivitas tersebut. Hal ini berdampak pada tingkat pemahaman responden terhadap leksikonleksikon BU untuk mengacu aktivitas-aktivitas alam tersebut. Hampir semua kelompok responden memiliki tingkat pemahaman yang cukup tinggi terhadap kelompok leksikon verba BU tentang aktivitas alam. Hal ini menandakan bahwa mereka cukup akrab dengan lingkungan dan adanya transfer ilmu pengetahuan tentang acuan leksikon-leksikon tersebut telah dilakukan oleh generasi pendahulu, di samping aktivitas yang diacu oleh leksikon tersebut tetap
258 berlangsung dan sering muncul di sekeliling mereka. Bagaimana tingkat pemahaman responden terhadap leksikon verba BU tentang aktivitas alam dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 6.18 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Fenomena alam ngampar-ampar ngungkreg mencorong Aktivitas alam mberojol nggerontol nggeluntung
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 33,3 42,9 85,7
65 70 100
81,8 90,9 100
71,4 90,5 71,4
85 100 75
100 100 95,5
Leksikon BU
logrog mekrog meldhog mergodog merkatak mecukul methukul melethek
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 100 100 66,7 70 90,9 71,4 70 95,5 66,7 75 95,5 62 65 95,5 100 100 100 100 100 100 95,2 100 100
Dalam tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden aktivitas alam cukup tinggi, kecuali terhadap dua leksikon pada responden muda, yakni leksikon verba ngampar-ngampar „menyambar-nyambar (tentang burung)‟ dan ngungkreg „berguncang/bergetar dengan keras karena (tentang tanah) gempa bumi‟, yang masing-masing sebesar 33,3% dan 42,9%. Kekurangpahaman responden remaja terhadap kedua leksikon tersebu disebabkan oleh tergantikannya leksikon BU oleh leksikon BJ, yakni nyamber-nyamber untuk ngampar-ngampar dan goyang untuk leksikon ngungkreg.
6.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU Sama seperti masyarakat Indonesia lainnya, GTBU juga tidak luput dari perubahan. Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, informasi, dan komunikasi misalnya, menjadikan mereka berkembang menjadi masyarakat yang
259 kompleks. Sebagai dampaknya, muncul perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan alam. Bahasa sebagai salah satu aspek budaya tidak luput dari perubahan ini, termasuk leksikon bahasa tersebut. Leksikon yang merepresentasikan lingkungan alam tempat bahasa itu dipakai turut berubah seiring dengan perubahan entitasentitas yang diacunya. Leksikon yang dikenal dan digunakan pada satu dasawarsa sebelumnya, mungkin akan tidak dikenal saat ini karena entitas acuannya sudah tidak ada atau leksikon tersebut sudah tergantikan oleh leksikon bahasa lain namun acuannya tetap sama. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat penggunaan responden terhadap leksikon lingkungan alam daratan Banyuwangi jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, kecuali terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada entitas-entitas yang akrab dengan kehidupan sehari-hari responden. Walaupun demikian, perlu kiranya diungkap leksikon-leksikon mana saja yang mengalami penurunan penggunaan yang sangat tajam dan yang mana masih bertahan. Berikut adalah uraian tentang tingkat penggunaan oleh responden terhadap kelompok leksikon dalam kategori nomina dan verba.
6.2.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Antargenerasi GTBU Nomina
Berkategori
Sama seperti tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon lingkungan alam BU dibedakan menjadi dua, yakni tingkat penggunaan leksikon nomina yang terdiri dari tingkta penggunaan leksikon flora dan leksikon fauna dan tingkat penggunaan leksikon verba BU. Berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan, dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang
260 signifikan antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon lingkungan alam BU, khususnya di kalangan responden remaja.
6.2.1.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Flora Antargenerasi GTBU Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kelompok leksikon flora dibedakan menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil, yaitu bedasarkan fungsi atau kegunaannya bagi kehidupan manusia. Kelompok yang dimaksud meliputi: kelopok
leksikon
tanaman
bahan
pangan,
sayur-sayuran,
buah-buahan,
bumbu/obat, bunga, kelapa, bambu, dan tanaman lain. Berikut adalah uraian tingkat penggunaan leksikon dari masing-masing kelompok leksikon yang yang dimaksud. (1) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bahan pangan antargenerasi GTBU Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa jika dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon lingkungan alam oleh semua responden jauh lebih kecil. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah contoh sebagai berikut. Leksikon lemi „kotoran buah jagung‟ dan entitasnya sangat diakrabi oleh responden dewasa dan tua khususnya yang sering bertanam jagung, karena setiap habis panen jagung mereka akan sering berinteraksi dengan lemi, dan lemi juga sering menjadi topik pembicaraan mereka. Hal yang berbeda akan terjadi pada responden remaja yang hanya pernah mendengar leksikon lemi namun tidak pernah menjadikannya topik pembicaraan karena mereka jarang berinteraksi dengan entitas lemi. Tabel berikut menunjukkan tingkat penggunaan leksikon bahan pangan oleh ketiga kelompok responden.
261 Tabel 6.19 Tingkat Penggunaan Leksikon Bahan Pangan Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Padi dan jenisnya pari pari singgang pari sogel pari unthup pari gaga pari genjah harum sambulan ketan cemeng ketan putih winih Bagian-bagian tanaman padi menir elas dami merang sekem belubon tugih
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
100 9,6 4,8
100 65 45 15
100 63,6 63,6 22,7
4,8 42,8
60 65
63,6 77,3
9,8 62 90,5 90,5
25 60 90 100
81,8 68,2 95,5 100
42,9 52,3 28,6 52,3 14,3 9,6
70 25 80 70 60 20 20
81,8 36,4 81,8 81,8 81,8 45,5 45,5
Leksikon BU
Sesuatu terkait dengan padi rantap palawija tumpang sari Tanaman jagung dan bagianbagiannya jagung janggel
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
47,6 62 23,5
50 90 70
81,8 100 86,4
100 57,1
100 65
100 81,8
kelobot lemi tebon Bahan pangan lain kentang jembut
57,1 33,3 52,4
60 50 70
86,4 63,6 72,7
81
90
95,5
sabrang gadhung arus ganyong kajar suweg puhung
95,2 71,4 26,8 14,3 9,6 33,3 100
95 75 60 55 30 50 100
95,5 90,1 68,2 72,7 40,1 54,5 100
Pada tabel di atas tertera bahwa di antara semua persentase tingkat penggunaan leksikon yang ada, persentase tingkat penggunaan leksikon-leksikon spesifik tentang pari menunjukkan tingkatan penggunaan cukup rendah khususnya pada responden remaja, seperti terlihat pada leksikon-leksikon pari singgang (9,6%), pari sogel (0%), pari gaga (4,8%), dan sambulan (9,8%). Rendahnya tingkat penggunaan responden remaja terhadap leksikon-leksikon tersebut disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap entitas-entitas acuannya karena sebagian besar dari mereka bukan petani.
262 Hal sebaliknya terlihat pada tingkat penggunaan oleh ketiga kelompok responden pada leksikon-seksikon generik, seperti
leksikon pari „padi‟ dan
jagung „jagung‟, dan juga lekikon-leksikon lainnya, seperti ketan cemeng „ketan hitam‟, ketan putih „ketan (putih), winih „benih‟, menir „beras kecil-kecil sisa beras yang ditampi‟, dami „jerami‟, kentang jembut „kentang lokal yang berukuran kecil-kecil dan berambut‟, sabrang „ketela rambat‟, dan puhung „ketela pohon‟ dengan tingkat penggunaan ketiga kelompok responden masing-masing sebesar 100%. Masih tingginya penggunaan leksikon-leksikon tersebut di kalangan responden disebabkan oleh adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi pada entitas-entitas acuannya sehingga GTBU selalu membudidayakannya membuat populasinya tetap banyak. (2) Tingkat penggunaan leksikon tanaman buah-buahan antargenerasi GTBU Sama seperti terhadap leksikon generik entitas-entitas lainnya, tingkat penggunaan ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon generik jenis buah-buahan yang tumbuh di wilayah ini, seperti poh „mangga‟, jambu „jambu‟, jeruk „jeruk‟, gedhang „pisang‟, rambutan ‘rambutan‟, dan duren „durian‟, serta beberapa leksikon spesifik dari jenis buah tertentu dan juga jenis buah lainnya, juga mencapai 100%. Beberapa leksikon spesifik dari entitas buah tertentu yang tingkat penggunaannya mencapai 100% atau rerata tingkat penggunaan responden hampir 100%, di antaranya adalah poh manalagi „mangga manalagi‟, poh koweni „mangga kuweni‟, rambutan aceh „rambutan aceh‟, gedhang raja „pisang raja‟, gedhang saba „pisang kepok‟, gedhang ambon „pisang ambon‟, gedhang selakat „pisang susu‟, kedondhong „kedondong‟, nanas „nenas‟, dan pace „mengkudu‟.
263 Tingginya penggunaan leksikon poh manalagi, poh koweni, gedhang saba, gedhang ambon „pisang ambon, gedhang selakat „pisang susu‟ dan rambutan aceh
di
samping
karena
populasinya
banyak,
sumbangsihnya
kepada
perekonomian masyarakat juga turut menyebabkan entitas-entitas dari leksikon ini dibudidayakan. Sementara itu, fenomena yang terjadi pada leksikon gedhang raja di samping memiliki nilai ekonomi yang tinggi, gedhang juga memiliki peran budaya karena kehadirannya yang wajib pada acara slametan yang bermakna orang yang dislameti berperilaku seperti raja. Untuk mengetahui tingkat penggunaan responden terhadap leksikon buah-buahan, perhartikan tabel berikut. Tabel 6.20 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Buah-buahan Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Mangga dan jenisnya poh/epoh poh manalagi poh golek poh kuweni poh kates poh madu poh ganda poh kenyut poh kopyor poh kotak poh endhog
100 81 66,7 81 4,8 57,1 4,8 36 4,8 14,3
100 85 70 90 35 75 45 40 60 35 45
100 86,4 77,3 90,9 36,4 86,4 59,1 59,1 68,2 36,4 40,1
poh kecik
66,7
70
77,3
Jambu dan jenisnya jambu
100
100
100
jambu mente jambu keluthuk jambu kelampok jambu lante jambu darsono
33,3 76,2 19 9,6 33,3
60 95 50 50 65
63,6 95,5 63,6 68,2 54,5
Leksikon BU
Pisang dan jenisnya gedhang gedhang sempring gedhang agung gedhang berlin gedhang ambon gedhang emas gedhang keladi gedhang ijo gedhang lempeneng gedhang keluthuk gedhang sri nyonyah gedhang raja nangka gedhang kapuk gedhang selakat(susu) gedhang sewu gedhang welut gedhang raja gedhang saba Bagian-bagian
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
100 4,8 14,3 42,9 71,4 42,9 4,8 4,8 52,4 52,4 71,4
100 30 50 85 95 80 20 85 90 75 80
100 31,8 59,1 86,4 95,5 86,4 27,3 86,4 90,9 77,3 86,4
33,3
35
45,5
9,6
35
77,3
81
85
81,8
66,7 95,2 90,5
70 65 100 95
81,9 77,3 100 95,5
264
jambu semarang jambu wer Nangka dan bagianbagiannya nangka pucil babal tombol empik bethon Rambutan dan jenisnya rambutan rambutan aceh rambutan rapiah rambutan lebak bulus Duren dan jenisnya duren duren putih duren abang Jeruk dan jenisnya jeruk jeruk sambel jeruk purut jeruk manis jeruk limo jeruk kikit Delima dan jenisnya delima delima putih delima abang
42,9
60 75
63,6 90,9
100 19 19 23,8 14,3 80,1
100 50 55 70 55 90
100 77,3 81,8 77,3 59,1 95,5
dari pohon pisang gedhebog peret /serat papah
90,5 19 42,9
100 75 65
100 81,8 86,4
kelaras ontong pupus tandan godhogan Peralatan dari daun pisang samir
28,6 85,7 42,9 19 23,8
65 90 65 75 30
77,3 95,5 90,9 77,6 59,1
23,8
35
45,5
71,4 66,7 26,8
75 75 50
81,8 77,3 81,8
manggis
85,7
85
86,4
100 100 95,2
100 100 90
100 90,9 90,9
pincuk suru takir
66,7
70
72,7
Jenis buah lainnya
100 95,2 -
100 95 15
100 95,5 22,7
wuni kedondong kentul tai lampah
66,7 100 19 -
85 100 25 10
86,4 100 31,8 31,8
100 85,7 57,1 85,7 57,1 -
100 85 85 85 85 20
100 90,9 90,9 86,4 86,4 22,7
belimbing manis langsat duku cerème nanas kates pace
71,4 57,1 57,1 71,4 100 100 76,2
95 65 65 85 100 100 100
95,5 86,4 63,6 86,4 100 100 100
100 38,1 9,6
100 40 20
100 63,6 22,7
belewah belungking
42,9 28,6
65 65
77,3 72,7
Sementara itu, leksikon beberapa entitas gedhang sangat tinggi penggunaanya. Namun beberapa jenis lainnya bersifat sebaliknya, di antaranya seperti gedhang sempring „pisang dengan buah lurus dan panjang menyerupai pring‟ (4,8%, 30%, dan 31,8%), gedhang agung „pisang agung‟ (14,3%, 50%, dan 59,1%), gedhang keladi „pisang keladi‟ (4,8%, 20%, dan 27,3%), dan gedhang raja nangka „pisang raja nangka‟ (33,3%, 35%, dan 45,%). Rendahnya tingkat
265 penggunaan leksikon-leksikon tersebut dalam percakapan sehari-hari rsponden disebabkan oleh kurangnya interaksi dengan entitas-entitas acuannya, di samping karena jenis-jenis pisang tersebut tidak bisa tumbuh dengan baik kalau habitatnya tidak sesuai, juga kebermanfaatannya tidak sebesar jenis pisang dengan tingkat penggunaan leksikonnya tinggi. Di antara entitas-entitas buah dalam tabel di atas, ada dua entitas yang termasuk buah langka, yakni sentul „buah kecapi‟ dan tai lampah, yaitu tumbuhan dengan buah yang menyerupai buah kayu bunut. Tingkat penggunaan leksikonleksikon terhadap keduanya sangat rendah untuk ketiga kelompok responden, yakni sebesar 19%, 25%, dan 31,8% untuk leksikon sentul dan 0%, 10%, dan 31,8%. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap entitas acuannya karena manfaatnya yang kurang terhadap kehidupan GTBU. (3) Tingkat penggunaan leksikon tanaman sayur- sayuran antargenerasi GTBU Beragam jenis sayuran, khususnya sayuran lokal, masih banyak ditemukan tumbuh di wilayah ini. Hal ini disebabkan adanya interaksi, interelasi dan interdependensi GTBU yang cukup tinggi dengan entitas-entitas tersebut. Hal ini tentunya berdampak pada tingkat penggunaan leksikon-leksikonnya oleh responden, baik leksikon generik maupun leksikon spesifiknya. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya yang tingkat penggunaan responden terhadap leksikonleksikon generik entitas-entitasnya yang mencapai hampir 100%,
tingkat
penggunaan leksikon generik sayuran bervariasi, ada yang hampir 100% seperti terhadap leksikon generik turi sebesar 90,5%, 100%, dan 100%; kacang dengan tingkat pengunaan semuanya 100%, sedangkan untuk leksikon generik lainnya
266 seperti labu sebesar 62%, 85%, dan 81,8%, kara sebesar 33,3%, 85%, dan 95,5%, jamur sebesar 66,7%, 90%, dan 95,5%, dan bayem sebesar 71,4%, 90%, dan 95,5%. Secara lebih rinci, tabel berikut mengandung tingkat penggunaan responden terhadap leksikon sayur-sayuran. Tabel 6.21 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Sayur-sayuran Antargenerasi GTBU Leksikon BU Turi dan jenisnya turi turi abang turi putih Labu dan jenisnya labu labu abang labu kuning labu putih labu siyem Kara dan jemisnya kara kara benguk kara kerato kara abang kara ijo kara putih kara komak kara pedang kara utek Kacang dan jenisnya kacang kacang brol kacang ijo kacang jangan kacang kapri kacang tunggak kacang usi(ose) Bayam dan jenisnya bayem bayem cina
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Jamur dan jenisnya jamur jamur dami jamur merang jamur kepong
66,7 23,8 23,8 14,3
90 50 35 25
95,5 54,5 54,5 22,7
90,5 23,8 38,1
100 50 85
100 54,5 100
62 4,8 9,6 9,6 33,3
85 25 65 70 50
81,8 22,7 63,6 72,7 50
jamur kuping jamur ulan jamur menur jamur manuk jamur gerigit jamur impes
47,6 23,8 9,6 23,8 9,6
60 35 45 50 40 15
68,2 54,5 50 77,3 45,5 22,7
33,3 -
85 10 70
95,5 40,1 50
42,9 4,8
45 40
63,6 45,5
19 9,6 38,1 -
15 65 25 55 65 40
4o,1 81,8 59,1 63,6 63,6 40,1
jamur lot jamur gajih Jenis sayur lainnya buncis dhangsul gambas pare kelentang tegok terong
100 100 71,4 90,5 100 47,6 95,2
100 100 75 95 100 80 100
100 100 90,9 100 100 86,4 100
100 85,7 100 100 14,3 38,1 -
100 100 100 100 60 60 70
100 100 100 100 54,5 54,5 77,3
timun belimbing wuluh gundha katu kangkung kelor genjer bagu
100 100 85,7 90,5 100 100 71,4 62
100 100 100 90 100 100 75 65
100 100 100 90,9 100 100 95,5 95,5
71,4 9,6
90 25
95,5 50
manting Kemangi
47,6 81
80 100
95,5 100
267 bayem abang bayem eri bayem kul bayem menir ayem raja bayem sapi bayem pasir
4,8 9,6 9,6 9,6 -
55 40 40 30 10 50 35
54,5 45,5 50 50 22,7 72,7 50
kenikir Keningar lembayung lucu semanggi
90,5 33,3 90,5 71,4 71,4
90 40 95 90 100
90,9 77,3 100 90,9 100
Berbeda dengan tingkat penggunaan leksikon-leksikon generiknya, pada tebel
di atas terlihat bahwa
tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon
spesifik dari entitas-entitas tersebut dan leksikon-leksikon entitas sayuran lainnya menunjukkan persentase yang sangat bervariasi pada ketiga kelompok responden. Pada beberapa leksikon spesifik untuk jenis kara, seperti kara benguk, kara kerato, kara abang, kara pedang, dan kara utek , tingkat penggunaan leksikonnya masing-masing sebesar 0%, khususnya pada responden remaja. Fenomena yang sama juga ditemukan pada tingkat penggunaan leksikon spesifik kacang usi/ose, bayem abang, bayem kul, dan jamur gerigit. Tidak pernah terpakainya leksikonleksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari responden remaja khususnya, di samping karena tidak adanya interaksi, juga tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi berikutnya, banyaknya pilihan sayur lokal lainnya, serta sedikitnya populasi
merupakan faktor-faktor penyebab
fenomena ini. Selain informasi tentang tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon generik dan spesifik
entitas-entitas tersebut di atas, dalam tabel di atas juga
dapat terlihat tingkat penggunaan terhadap leksikon jenis sayuran lokal lainnya, yang persentasenya
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
tingkat
penggunaan leksikon-leksiko spesifik yang telah diulas. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat penggunaan leksikon sayuran lokal, seperti
268 di antaranya kelentang, kelor, gundha, kangkung, katu, belimbing sayur/wuluh, lembayung, lucu, dan semanggi reratanya hampir mencapai 100%.
Sering
munculnya leksikon-leksikon sayuran lokal tersebut dalam komunikasi kehidupan sehari-hari GTBU
disebabkan faktor-faktor seperti masih adanya
tingkat
interaksi, interelasi dan interdependensi antara entitas-entitas acuannyadan kehidupan GTBU. Walaupun beberapa jenis sayuran non-lokal, seperti wortel, buncis, sawi putih dan hijau, dan kol telah hadir di tengah kehidupan GTBU, karena populasinya masih banyak serta ecoregion-nya sangat sesuai dengan entitas-entitas ini, maka leksikon beserta entitas acuannya masih bertahan hingga saat ini. Khusus untuk leksikon kelor, tingginya penggunaan leksikon ini dalam komunikasi responden dikarenakan oleh perannya dalam kehidupan budaya GTBU sebagai bahan jangan kelor, salah satu sajian dalam upacara slametan di samping dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan jangan bening „sayur bening‟ sehingga hampir setiap keluarga memiliki tanaman ini di pekarangan atau di kebun mereka. (4) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi GTBU Dari sejumlah leksikon yang ada di kelompok ini, ada yang entitasnya berfungsi ganda yaitu sebagai tanaman obat sekaligus sebagai tanaman bumbu dan ada yang hanya berfungsi sebagai tanaman obat saja. Yang termasuk dalam kelompok pertama diantaranya adalah bawang abang „bawang merah‟, bawang putih „bawang putih‟, jae „jahe‟, kunir „kunyit‟, cabe merah „cabe merah‟, laos „lengkuas‟, dan sereh „sere‟. Entitas yang termasuk kelompok kedua jumlahnya sangat banyak, di antaranya temu cemeng „temu hitam‟, temu kunci „temu kunci‟,
269 bangle „bangle‟, sambiloto „sambiloto‟, kembang bintang „bunga bintang, dan sebagainya. Jika tingkat penggunaan leksikon kedua kelompok tersebut dibandingkan, terlihat tingkat penggunaan leksikon kelompok pertama jauh lebih tinggi dari pada kelompok yang kedua. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.22 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bumbu dan Obat Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Temu dan jenisnya temu temu cemeng temu kunir temu putih temu rapet temu kunci temu giring Jenis tanaman obat dan bumbu lainnya bawang abang bawang putih bakung bangle iles-iles lempuyang lempuyang wangi lempuyang gajah jae kencur kunir laos sempol kembang bintang Adas mahkota dewa kemiri cabe
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 14,3 4,8 4,8 14,3 4,8
85 55 65 50 55 50 35
90,9 63,6 77,3 63,6 63,6 50 40,1
100 100 4,8 9,6 14,3 4,8 100 95.2 100 100 -
100 100 35 25 75 40 25 100 100 100 100 15
100 100 40,1 40,1 22,7 77,3 40,1 36,4 100 100 100 100 13,6
9,6 14,3 100 62
20 35 60 100 80
18,2 40,1 59,1 100 81,8
-
Leksikon BU
cabe merah cabe rawit pulasari Jinten kapulaga jemukus cengkeh sambiloto sembung deringu dilem kayu putih kayu manis kumis kucing legundi lidah buaya luntas mangkokan meniran tapak dara tapak liman sambung nyawa pecah beling urang-aring sereh pule teki
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 100 100 100 100 100 10 18,2 30 36,4 9,6 25 40,1 5 9,1 95,2 100 100 4,8 50 63,6 10 13,6 4,8 14,3 28,6 19 62 38,1 4,8 -
25 50 40 65 80 85 60 45 25 30 30
45,5 36,4 54,5 36,4 72,7 4,5 81,8 86,4 54,5 50 31,8 31,8 36,4
4,8 14,3 95,2 14,3
60 60 95 25 60
63,6 63,6 100 31,8 63,6
Ada dua fenomena penting yang dapat dijelaskan dari isi tabel di atas. Fenomena pertama, tingkat penggunaan ketiga kelompok responden terhadap
270 leksikon tanaman obat yang sekaligus merupakan tanaman bumbu semuanya hampir mencapai 100%, seperti terlihat pada tingkat penggunaan leksikon bawang abang (100%, 100%, dan 100%), jae
(100%, 100%, dan 100%), cengkeh
(95,2%, 100%, dan 100%), laos (100%, 100%, dan 100%), dan sereh (95,2%, 95%, dan 100%). Ada beberapa faktor penyebab tingginya tingkat penggunaan leksikon terhadap entitas-entitas ini. Selain adanya interaksi, interelasi, intedependensi yang sangat tinggi karena semuanya merupakan kebutuhan seharihari GTBU, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi berikut dan banyaknya populasi adalah sebagai faktor peneyebab fenomena di atas. Hal penting kedua yang dapat diamati adalah adanya perbedaan tingkat penggunaan leksikon yang sangat jauh antara responden muda di satu pihak dan responden dewasa dan tua di pihak lainnya. Hal ini dapat diamati pada sebagian leksikon yang mengacu pada entitas-entitas yang hanya berfungsi sebagai tanaman obat saja. Beberapa di antaranya adalah kemukus (0%, 5% dan 9,1%), sembung (0%, 10% dan 13,6%), temu cemeng (4,8%, 55% dan 63,6%), lempuyang wangi (4,8%, 40% dan 40,1), temu kunci (14,3%, 50% dan50%), teki (14,3%, 60% dan 63,6%), kayu putih (14,3%, 50%, 54,5), kumis kucing (19%, 65% dan 72,7), kayu manis (28,6%, 40% dan 40,1%), dan luntas (38,1%, 85% dan 86,5%). Tampilan beberapa contoh data di atas untuk memperlihatkan rentangan tingkat penggunaan responden remaja terhadap leksikon tanaman obat dari terendah 0% dan yang tertinggi 38,1%. Jika tingkat penggunaan ini dibandingkan
271 dengan tingkat penggunaan pada responden dewasa dan tua ditemukan perbedaan yang sangat jauh, yakni 1:5, 1:10,1:11, atau lebih. Fenomena ini hampir sebagian besar disebabkan oleh kurangnya interaksi dan pengetahuan responden terhadap entitas dan manfaatnya pada kehidupan mereka karena fungsinya sebagai obat ramuan tradisional sudah digantikan oleh obat kimia yang penggunaannya lebih praktis serta mudah diperoleh. Sementara itu, tingkat penggunaan terhadap leksikon luntas, yakni sebesar 38,1% bukan semata-mata disebabkan fungsinya sebagai tanaman obat, melainkan sebagai tanaman pagar dan bahan sayur urap di samping populasinya sangat banyak. (5) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bunga antargenerasi GTBU Bunga bukan merupakan entitas penting bagi kehidupan GTBU sebagaimana masyarakat yang menganggap bunga merupakan elemen penting dalam aktivitas sosial, budaya, dan religi, seperti masyarakat Bali, misalnya. Hal ini berdampak pada sedikitnnya leksikon tentang bunga beserta entitas acuannya yang ada di wilayah ini. Walaupun demikian, ada sejumlah leksikon bunga yang persentase tingkat penggunaannya cukup tinggi oleh ketiga kelompok responden, seperti leksikon kembang gantil „kembang sepatu‟ (66,7%, 70% dan 77,3%), kembang mawar ‘bunga mawar‟ (81%,85% dan 86,4%), kembang wangsa „bunga kenanga‟ (47,6%, 85% dan 86,4%), dan sembuja „bunga kamboja‟(62%,60% dan 68,2%). Tingginya tinggkat pengunaan sejumlah leksikon di atas karena adanya keterkaitan kehidupan sosial dan budaya GTBU dengan entitas-entitas acuannya. Sebagai contoh, kembang gantil, populasi entitas ini masih banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU karena fungsinya sebagai pagar pekarangan,
272 sedangkan yang terjadi pada leksikon sembuja karena eksistensinya sebagai tanaman di daerah pekuburan sehingga interaksi responden dengan entitas ini cukup tinggi, di samping populasinya masih banyak. Sementara itu, untuk leksikon kembang wangsa dan kembang mawar yang tingkat penggunaan leksikonnya cukup tinggi disebabkan peran budaya yang diembannya, yakni sebagai elemen kembang telon yaitu tiga macam bunga yang harus ada dalam ritual santet, di samping kembang sundel „bunga sedap malam‟ atau penggantinya yaitu pecari putih/kuning „cempaka putih/kuning‟ apa bila kembang sundel tidak ada. Akan tetapi, dua entitas yang disebut terakhir ini tingkat penggunaan leksikonnya masing-masing 9,6%, 40% dan 45,5% dan 28,6%, 45% dan 68,2%. Untuk mengetahui tingkat penggunaan leksikon bunga lainnya secara lebih rinci, perhatikan tabel berikut. Tabel 6.23 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bunga Antargenerasi GTBU Leksikon BU
pecari pecari putih pecari kuning peciring pembang gantil kembang merak kembang bojog
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 28,6 55 77,3 28,6 45 68,2 23,8 25 36,4 19 30 54,5 66,7 65 77,3 19 55 68,2 19 50 54,5
menur
33,3
55
81,8
seruni kembang kertas serngenge kembang sundel mawar
52,4 63 42,9 9,6 81
30 85 65 40 85
31,8 72,7 86,4 45,5 86,4
Leksikon BU
pacar tunjung widuri putih widuri biru kembang bacin kembang bangah kembang tembelekan kembang kecubung tikul balung pecah beling kemuning kembang wangsa sembuja
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 62 70 77,3 4,8 10 50 15 27,3 10 9,1 57,1 60 59,1 4,8 40 36,4 15 13,6 19
50
54,5
33,3 9,6 47,6 62
65 35 30 85 60
68,2 22,7 59,1 77,3 68,2
273 Selain leksikon dari entitas-entitas yang telah disebutkan di atas, pada tabel di atas juga tampak leksikon-leksikon yang tingkat penggunaannya cukup tinggi karena keunikan dan fungsinya dalam kehidupan GTBU, seperti kembang bacin dengan tingkat penggunaan sebesar 57,1%, 60% dan 59,1% dan pacar „pacar inai‟ sebesar 62%, 70%, dan 77,3%. Tingginya penggunaan leksikon kembang bacin
karena populasinya cukup banyak dan baunya yang busuk
sehingga terekam begitu kuat di memori masyarakat, sedangkan fenomena yang terjadi pada pacar adalah karena berfungsi dalam kehidupan budaya, salah satu elemen kembang kirim „bunga tabur untuk orang meninggal serta kembang menur yang tingkat penggunaannya 33,3%, 55%, dan 81,8% memiliki kaitan dengan kehidupan budaya, yakni untuk hiasan pengantin. (6) Tingkat penggunaan leksikon tanaman kelapa antargenerasi GTBU Entitas kelapa merupakan tanaman yang paling mudah ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU karena begitu banyaknya populasi. Ada interaksi, interekasi, dan interdependensi yang sangant tinggi antara GTBU dengan entitas ini karena beberapa peran penting yang diembannya, di antaranya peran ekonomi dan sosial budaya. Secara ekonomi, tidak saja buahnya namun juga janur dan batang entitas ini dapat dijual sehingga dapat menunjang perekenomian GTBU. Sementara itu, peran sosial entitas dapat dilihat keterpakaian bbeberapa bagian pohon kelapa untuk peralatan rumah tangga dan bangunan, sedangkan peran budaya yang diembannya dapat dilihat pada terpakainya parutan buah kelapa untuk bumbu pecel pitik dalam beberapa acara slametan dan dauannya dipakai sebagai hiasan pada setiap hajatan terutama
274 upacara mantenan. Begitu pentingnya entitas kelapa bagi kehidupan mereka, GTBU tidak saja menjadikan jenis-jenis kelapa dan bagian-bagian dari pohonnya sebagai topik dalam percakapan mereka sehari-hari, tetapi juga barbagai macam peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon entitas tersebut. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam leksikon terkait dengan kelapa yang dimiliki BU yang membuatnya berbeda dengan BD lain khusus leksikon perkelapaan beserta tingkat penggunaannya oleh masing-masing kelompok responden seperti terlihat dalam tabek berikut. Tabel 6.24 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Kelapa Antargenerasi GTBU Leksikon BU Kelapa dan jenisnya kelapa kelapa bunyuk kelapa ijo
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
Tingkat Pemahaman Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
tombong 100 90.5
100 25 100
100 22,7 100
kelapa kopyor kelapa gadhing kelapa puyuh Bagian-bagian pohon kelapa bongkok bathok belarak belangkokan beluluk cangkok cikilan celumpring dangu gelugu tali papah
9,6 42,9 52,4
55 95 55
72.3 90,9 72,7
85,7 85,7 72,1 19 4,6 42,9 62 62 72,1 42,9 19
95 100 75 70 85 80 75 80 80 60 70
95,5 100 86,4 90,9 90,9 77,3 86,4 100 86,4 86,4 81,8
janur
95,2
100
100
pol mancung Peralatan terbuat dari bathok/ pohon kelapa cengkir irus kepang kiso rinjing siwur patar sapu tepis kurih sepet bencorong canting welit Hasil olahan dari buah kelapa gulali
9,6 33,5 33,3 14,3
55 45 60 40
72.3 50 59,1 68,2
47,6 4,8 100 90,5 4.8 95,5 47,6 38,1 9,6
45 65 45 100 100 55 100 80 55 35
45,5 68,2 50 100 100 59,1 100 95,5 59,1 40,1
4,8
5
31,8
275 jeliring mayang ruyung tapas
42,9 23,8 9,6 4,6
60 65 60 75
86,4 77,3 72,7 77,3
koyah koprah sawur
9,6 28,6 23,8
70 70 50
68,2 72,3 77,3
Ada empat kelompok tingkat penggunaan leksikon yang termuat dalam tabel di atas, yakni leksikon-leksikon tentang jenis-jenis kelapa, nama-nama bagian pohon kelapa, peralatan yang terbuat dari bagian pohon kelapa, serta beberapa olahan yang terbuat dari buah kelapa. Hampir sama dengan fenomena yang ditemukan pada bagian lainnya, tingkat penggunaan responden remaja terhadap hampir sebagian besar leksikon jauh lebih kecil dari pada tingkat penggunaan oleh responden dewasa dan tua. Walaupun demikian, dalam beberapa bagian ditemukan juga tingkat penggunaan leksikon oleh ketiga kelompok cukup tinggi, seperti pada leksikon tentang jenis kelapa yaitu kelapa ijo „kelapa hijau‟ sebesar 90,5%, 100%, dan 100%. Tingginya tingkat penggunaan leksikon entitas ini dalam wacana sehari-hari GTBU, di samping karena populasinya cukup banyak, khasiat buah muda entitas ini bila dicampur dengan ramuan tertentu dapat digunakan sebagai penjaga stamina, khususnya kaum lelaki, serta khasiat minyaknya sebagai penyubur dan penguat rambut adalah penyebab semuanya. Sementara itu, terhadap leksikon nama-nama bagian pohon kelapa yang tingkat penggunaannya cukup tinggi adalah pada leksikon janur „daun kelapa yang masih muda‟ sebesar 85,7%, 95%, dan 95,5; belarak „daun kelapa yang sudah tua dan kering‟ sebesar 85,7%, 100%, dan 100%; bongkok „tangkai daun kelapa‟ sebesar 72,1%,75%, dan 86,4%; cikilan „potongan buah kelapa sebagai bahan dasar koprah‟ sebesar 72,1%, 80%, dan 86,4%; dan tombong „daging berwarna putih yang tumbuh di tengah buah kelapa yang sudah sangat tua‟
276 sebesar 95,2%, 100%, dan 100%. Cukup seringnya muncul leksikon janur dan belarak dalam komunikasi sehari-hari karena peran sosial budayanya
dalam
kehidupan GTBU. Janur merupakan elemen penting untuk membuat berbagai jenis ketupat yang ada dalam berbagai slametan sedangkan blarak dipakai obor yang dinyalakan pada hari sebelum upacara ider bumi yang dilakukan di Desa Kemiren khususnya. Tingkat penggunaan yang sangat tinggi terhadap leksikon peralatan yang terbuat dari bagian pohon kelapa seperti sapu „sapu yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa yang berukuran segenggam tangan orang dewasa‟ (100%, 100%, dan 100%), tepis „sapu kecil terb uat dari ikatan daun kelapa yang fungsinya membersihkan tempat tidur dan menepis nyamuk‟ (90,5%, 100%, dan 100%, serta sepet „sikat terbuat dari sabut kelapa‟ (95,2%, 95%, dan 100%) dikarenakan oleh belum tergantikannnya fungsi entitas-entitas ini oleh peralatan modern dalam kehidupan GTBU sehingga leksikon ini masih bertahan. Fenomena sebaliknya ditemukan pada tingkat penggunaan leksikon gulali yang merupakan penganan atau gula terbuat dari aren kelapa yang dimasak hingga liat yang dapat dijulurkan seperti tali yang fungsinya sama seperti permen saat ini‟ dengan tingkat penggunaan sebesar 4,8%, 10%, dan 17,9%. Hal ini disebabkan oleh hampir punahnya acuan leksikon ini karena di samping pembuatannya memerlukan proses yang lama, munculnya berbagai bentuk dan macam permen atau gula-gula adalah faktor penyebabnya. (7) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bambu antargenerasi GTBU
277 Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa lingkungan tempat tinggal GTBU sangat kaya akan entitas bambu, baik dari segi jenis maupun kuantitas. Karenanya banyak leksikon perbambuan yang dimiliki BU terkait dengan jenis-jenis bamboo, bagian dari pohon bambu, dan peralatan yang terbuat dari pohon bambu. Namun, karena perubahan lingkungan dan modernisasi yang melanda kehidupan GTBU khususnya, walaupun masih dipahami dan dikenal, banyak leksikon perbambuan sudah tidak muncul lagi dalam komunikasi seharihari GTBU, khususnya di kalangan responden remaja. Populasi entitas bambu tertentu yang masih banyak tidak menjamin banyaknya interkasi, interelasi, dan interdependensi yang banyak pula, khususnya terhadap jenis-jenis bambu tertentu. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, jenis bambu yang populasinya sangat banyak,
namun tingkat
penggunaan leksikonnya sangat rendah di antaranya adalah jajang gabug, bambu dengan dinding tipis dan rapuh, sebesar 0%, 5%, dan 9,1% dan jajang ampel yaitu bambu beruas agak pendek dan berdinding tebal dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 0%, 20%, dan 31,8%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan responden tentang kelebihan yang dimiliki entitas ini, dan tergantikannya fungsi entitas ini oleh entitas lain, serta kurangnya interaksi karena tidak adanya kebutuhan akan entitas ini. Untuk mengetahui keberagaman leksikon jenis bambu dan peralatan yang terbuat dari bambu, serta tingkat penggunaan masing-masing responden terhadap leksikon-leksikon tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
278 Tabel 6.25 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bambu Antargenerasi GTBU Leksikon BU
jajang jajang apus jajang benel jajang peting jajang petung jajang gabug jajang kuning jajang cemeng jajang wuluh jajang ori jajang pellet jajang surat jajang tutul jajang meluwuk jajang tali jajang watu jajang ampel Bagian-bagian dari pohon bambu barongan celumpring ebung serit Peralatan terbuat dari batang bambu kelakah geladhag irig
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 95,2 100 100 4,8 10 18,2 14,3 25 45,5 14,3 30 31,8 47,6 55 63,6 5 4.5 19 40 54,5 15 18,2 23,8 60 68,2 42,9 65 68,2 5 22,7 47,6 40 63,6 33,3 50 59,1 10 13,6 33,3 70 72,1 4,5 20 31,8
Leksikon BU
galar seseg langkab lothek kemarang keranjang kereneng kicir nyiru sawu seser kukusan beronjong budhag tumbu tedhok tenong golong
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 76,2 75 77,3 52,4 65 77,3 40 40,1 62 70 77,3 90,5 100 100 52,4 90 100 5 18,2 14,4 65 77,3 100 100 100 5 22,7 14,3 40 45,5 90,5 100 100 15 18,2 45 54,5 19 40 50 60 59,1 62 70 95,5 10 9,1
71,4 42,9 81 42,7
75 55 85 60
77,3 63,6 90,9 68,2
katir kentongan berajag beranding cokop
9,6 76,2 14,3
50 70 15 55 50
59,1 77,3 22,7 54,5 50
9,6 23,8 81
35 30 85
40,1 31,8 86,4
cantuk singkek penguluran
62 100 52,4
100 100 70
100 100 72,7
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari 18 jenis bambu yang tumbuh di lingkungan tempat tiinggal GTBU, hanya empat jenis bambu dengan rerata tingkat penggunaan di atas 50%, yakni jajang petung dengan tingkat penggunaan masing-masing 47,6%, 55%, dan 63,6%, jajang ori sebesar 42,9%, 65%, dan 68,2%, jajang surat sebesar 47,6%, 50%, dan 63,6%, serta jajang tali sebesar 33,3%, 70%, dan 72,1%. Tingginya tingkat penggunaan leksikon beberapa jenis bambu di atas karena adanya interaksi, interelasi, dan interdependensia, serta
279 fungsi banyak bagi kehidupan GTBU. Misalnya, jajang petung dikenal luas dan diakrabi oleh GTBU karena entitas ini banyak digunakan sebagai tiang rumah atau bangunan lainnya karena batangnya yang lurus dan kokoh; jajang ori yaitu bambu berduri dan ruasnya berdinding tebal banyak dimanfaatkan untuk pagar dan bambu yang hidup sering dipakai untuk penahan erosi karena perakarannya yang kuat dan rapat; jajang surat, bambu yang memiliki guratan-guratan pada batangnya merupakan bahan dasar untuk pembuatan kursi tamu atau berbagai barang kerajinan yang bernilai seni tinggi; dan jajang tali adalah jenis bambu dengan ruas agak panjang berdinding sedang namun kuat yang merupakan bahan dasar untuk berbagai jenis tali, di antaranya termasuk tali untuk mengikat hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau sebelum dikenalnya tali plastik yang lebih kuat dan lebih praktis. Sementara itu, leksikon barongan „sekumpulan pangkal batang rumpun bambu‟ dengan tingkat penggunaan 71,4%, 75% dan 77,3% dan leksikon ebung „rebung atau bakal batang bambu yang masih sangat muda‟ dengan tingkat penggunaan 81%, 85%, dan 90% merupakan dua leksikon bagian-bagian pohon bambu yang diakrabi oleh responden karena adanya interaksi yang tinggi di samping karena populasinya cukup banyak dan juga sebagai salah satu jenis sayur yang sering dikonsumsiGTBU, khususnya entitas rebung. Dari tiga puluh leksikon peralatan terbuat dari batang bambu yang dikenal GTBU, hanya sebelas leksikon dengan rerata tingkat penggunaan responden di atas 60%, sedangkan yang lainnya tingkat penggunaannya sangat rendah. Leksikon-leksikon yang masih sering muncul dalam percakapan sehari-hari
280 GTBU, di antaranya irig „wadah berbentuk bulat yang berlubang-lubang yang terbuat dari anyaman bambu‟ dengan tingkat penggunaan 81%,85%, dan 86,4%; galar „bilah-bilah bambu yang dirangkai dengan tali untuk dipakai alas dipan‟ sebesar 76,2%, 75%, dan 77,3%; cantuk „pangkal batang bambu yang dipakai untuk menggerus bumbu‟ sebesar 62%, 100%, dan 100%; serta cingkek „alat pikul terbuat dari bilahan bambu yang bagian depan dan belangnya berbentuk segi tiga untuk menempatkan barang bawaan‟ sebesar 100%, 100%, dan100%. Tingginya tingkta kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari GTBU karena entitas-entitas acuannya masih dengan mudah ditemukan karena banyak fungsinya,
khususnya singkek, karena setiap keluarga GTBU pasti
memiliki benda ini. (8) Tingkat penggunaan leksikon tanaman lainnya antargenerasi GTBU Seperti telah desebut pada bagian terdahulu bahwa selain kelompok flora di atas masih ada
kelompok flora lain yang memiliki peran penting dalam
kehidupan GTBU. Hal ini dapat dilihat dari adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dengan entitas-entitas acuannya yang tercermin dalam penggunaan leksikon-leksikonnya. Entitas-entitas lain yang dimaksud pada bagian ini meliputi beberapa jenis tanaman, seperti enau, lontar, rotan, kapuk, tembakau, asam beserta bagian-bagiannya. Hampir sama seperti terhadap entitas-entitas lain yang memiliki leksikon yang mengacu pada nama entitas utama dan leksikon yang mengacu pada bagianbagian entias tersebut, tingkat penggunaan terhadap nama entitas utama selalu
281 lebih tinggi dari tingkat penggnaan leksikon terhadap nama-nama bagian dari entitasnya. Fenomena ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.26 Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Lainnya Antargenerasi GTBU Leksikon BU Lirang dan bagian-agiannya lirang kedhuk kolang-kaling mancung manggar kawung sodho Lontar dan bagian-agiannya gebyong/etal siwalan Rotan dan bagianbagiannya penjalin geronong doni Pinang dan bagianbagiannya Pinang mayang upih Kapuk dan bagianbagiannya randu karuk pelenteng Asam dan bagianbagiannya asem tempalok kelingsi asem kamal godhong asem
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
Tingkat Penggunaan Remaja Dewa Tua (%) sa(%) (%)
Jati dan jenisnya 23,8 19 62 14,3
55 50 65 55
63,6 54,5 68,2 59,1
jati jati mas jati landa Tembakau dan jenis irisan daunnya bako semprul kerosok Jenis tanaman lainnya bungur kepuh Kesambi
66,7 9,6 4,8
90 35 5
95,5 54,5 36,4
4,8 14,3 4,8
60 15 50
59,1 45,5 68,2
81 9,6 4,6
100 50 10
100 50 45,5
-
35 30
40,1 27,3
28,6 9,6 4,8
35 25 55
45,5 36,4 55,5
47,6 -
65 5 5
63,6 13,6 13,6
ketepeng kecil ketepeng kebo putat santen
28,6 4,8 66,7
35 25 55 75
45,5 36,4 55,5 86,4
95,2 23,8 14,3
100 65 50
100 77,3 72,7
rau weringin wunut cemara
9,6 66,7 9,6 47,6
30 70 10 55
45,5 72,7 54,5 72,7
66,7 9,6 9,6
80 40 50
81,8 45,5 45,5
kedawung kenari waru suruh
14,3 9,6 66,7 85,7
15 20 70 90
31,8 40,1 72,7 100
100 23,8 47,6 47,6 100
100 45 75 85 100
100 45,5 81,8 100 100
suruh kinang suruh temu ros galing simbukan sri wangkat lung-lungan
52,4 19 28,6 -
80 75 25 75 35
90,9 86,4 27,2 77,2 63,6 40,1
282 Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, pada beberapa entitas yang memiliki leksikon entitas utama dan leksikon-leksikon yang mengacu pada bagian-bagian dari entitas-entitas tersebut selalu menunjukkan bahwa tingkat penggunaan terhadap leksikon utama lebih tinggi dari leksikon-leksikon yang mengacu bagian-bagiannya, kecuali pada leksikon lirang „enau‟ masing-masing sebesar 23,8%, 55%, dan 63,6%, yang persentase tingkat penggunaannya terhadap salah satu leksikon yang mengacu pada bagiannya, yakni leksikon kolang-kolang „buah enau‟ sebesar 62%, 65%, dan 68% lebih tinggi
sedikit tingkat
pemakaiannya. Fenomena ini disebabkan oleh kehadiran kolang-kolang dalam bentuk olahan, bukan sebagai buah mentahnya. Sementara itu, tingkat penggunaan terhadap leksikon utama tertinggi ditemukan pada leksikon asem „pohon asem‟ masing-masing sebesar 100%, sedangkan terendah adalah pada leksikon gebyong/etal „pohon lontar‟ dengan tingkat penggunaan sebesar 0%, 35%, dan 40,1%. Tingginya kehadiran leksikon asem dalam komunikasi sehari-hari GTBU, di samping karena tingginya populasi juga disebabkan oleh terpakainya buah asem dan daunnya dalam beberapa jenis masakan lokal GTBU sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi sangat tinggi. Sebaliknya,
yang terjadi pada
leksikon gebyong/etal dikarenakan oleh sangat sedikitnya populasi dan tidak adanya kebutuhan akan entitas dalam kehidupan GTBU tersebut sehingga tidak ada untuk membudidayakan entitas ini, di samping faktor geografis dan topografis tidak mendukung tumbuhnya entitas ini. Sementara
itu,
leksikon
suruh
khususnya
leksikon
generiknya
menunjukkan tingkat penggunaan yang cukup tinggi yakni 85,7%, 90%, dan
283 100%. Di samping bahan untuk nginang, khususnya oleh responden tua, keterpakaian entitas ini sebagai salah satu elemen dalam ritual-ritual adat menyebabkan sering munculnya leksikon ini dalam komunikasi sehari-hari GTBU serta mereka membudidayakannya, baik di pekarangan rumah atau di kebun sehingga populasinyab cukup tinggi. Sebaliknya, leksikon sri wangkat hampir tidak pernah muncul dalam percakapan responden remaja dan responden dewasa dengan tingkat penggunaan masing-masing 0%. Hal ini disebabkan oleh mereka yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan entitas ini walaupun entitas ini memegang peranan penting dalam kehidupan budaya GTBU, yaitu sebagai salah satu unsur dalam tumpeng sri wangkat yang dibuat untuk upacara slametan. Tingkat penggunaan leksikon ini pada responden tua adalah 63,6% karena responden tua lah paling sering terlibat dalam ritual slametan sehingga interaksi mereka cukup tinggi. Sementara itu, fenomena menarik terlihat pada kelompok leksikon bako „temabakau‟. Tingkat penggunaan leksikon generiknya di atas 80% untuk ketiga kelompok responden, sedangkan untuk leksikon-leksikon yang mengacu pada jenis irisan daunnya adalah setengah dari leksikon generiknya. Hal ini disebabkan karena bagi sebagian besar responden tidah berpendapat bahwa semua daun tembakau yang sudah diiris disebut bako „tembakau
6.2.1.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Fauna Antargenerasi GTBU Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon fauna jauh lebih tinggi dari tingkat
284 penggunaannya. Tingkat penggunaan leksikon-leksikon fauna cukup rendah dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, di antaranya ada 1:2, 1:3 dan bahkan ada 1:4. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena ini. Berikut adalah penjelasan tentang tingkat penggunaan responden terhadap leksikon mamalia BU. (1) Tingkat penggunaan leksikon mamalia antargenerasi GTBU Mamalia yang hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU ada yang dibudidayakan dan ada pula yang hudup liar. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat penggunaan responden terhadap leksikon mamalia liar dan yang dibudidayakan. Hal yang berbeda tampak pada tingkat penggunaan leksikon oleh kelompok responden remaja di satu pihak dan responden dewasa dan tua di pihak lainnya. Pada leksikon-leksikon tertentu, tingkat penggunaan leksikon pada responden remaja jauh di bawah tingkat penggunaan oleh dewasa dan tua. Fenomena ini dapat diamati pada leksikon-leksikon seperti: tikus curut „tikus bertubuh kecil dan bermulut runcing dan kalau berjalan selalu menepi ke dinding apa saja‟ dengan tingkat penggunaan
sebesar 14,3% untuk responden remaja, sedangkan
responden dewasa dan tua sebesar 70% dan 95,5%; wedhus gimbal „kambing berbulu gimbal‟ masing-masing sebesar 0%, 45%, dan 59,1%; jaran „kuda‟ masing-masing sebesar 33,3%, 80%, dan 86,4%, dan sebagainya. Fenomena ini disebabkan ,antara lain, oleh tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu tentang perbedaan ciri fisik dari entitas sehingga pengetahuan generasi berikutnya hanya sebatas pada leksikon generik saja, seperti yang terjadi pada
285 leksikon tikus curut dan wedhus gimbal, misalnya. Sementara itu, yang terjadi pada leksikon jaran disebabkan oleh kurangnya interaksi responden remaja dengan entitas ini, karena yang biasanya terlibat dalam memelihara dan merawat kuda, khususnya jaran kencak, adalah orang dewasa atau tua. Untuk melihat tingkat penggunaan responden terhadap leksikon mamalia, perhatikan tabel berikut. Tabel 6.27 Tingkat Penggunaan Leksikon Mamalia Antargenerasi GBTU Leksikon BU Tikus tikus curut tikus kerot tikus langu tikus got Kambing dan jenisnya wedhus wedhus gimbal wedhus kendhit wedhus kacangan wedhus menggala wedhus gibas wedhus etawa wedhus jawa
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa (%) (%) 100 100
Tua (%) 100
Leksikon BU
14,3 19 28,6 -
70 25 70 35
95,5 40,1 68,2 54,5
100 19 4,8 4,8 23,8 33,3
100 45 10 55 30 65 30 75
100 59,1 31,8 68,2 31,8 59,1 27,3 68,2
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Jenis binatang lainnya asu kirik jaran kucing sapi
28,6 23,8 33,3 100 90,5
30 30 80 100 100
31,8 27,3 86,4 100 100
bojog bantongan celeng cuwut delundheng garangan kidhang macan
23,8 4,8 52,4 4,8 26,8 -
35 5 40 80 5 55 5 -
40,1 13,6 36,4 81,8 59,1 59,1 9,1 -
Ada beberapa beberapa leksikon yang tingkat penggunaannya cukup tinggi yang terlihat
dalam tabel di atas, seperti kucing „kucing‟ (100%,100%, dan
100%), sapi „sapi‟ (90,5%, 100%, 100%), dan cuwut „tupai‟ (52,4%, 80%, dan 81,8%). Kucing merupakan jenis mamalia yang banyak ditemukan hidup berdampingan dengan manusia; sapi adalah salah satu hewan peliharaan yang membantu manusia dalam mengerjakan tanah sawah; dan cuwut merupakan hewan dengan kelapa sebagai salah satu makanan yang paling disukai (populasi
286 kelpa di wilayah ini sangat banyak) sehingga dapat dikatakan bahwa banyaknya populasi, tempat hidup berdampingan, serta tingginya interaksi merupakan faktorfaktor penyebab tingginya tingkat penggunaan ketiga leksikon tersebut. Sementara itu, leksikon asu „anjing‟dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 26,8%, 30%, dan 31,8% dan leksikon kirik „anak anjing‟ sebesar 23,8%, 30%, dan 27,3%, biasanya hampir tidak pernah muncul penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari di lingkungan masyarakat muslim, namun terjadi pada GTBU karena kedua entitas ini walau pun tidak hidup berdampingan secara langsung dengan pemiliknya, namun perannya sebagai penjaga kebun dari ancaman pencuri dan bojog ‘kera‟ membuat kedua leksikon ini muncul dalam komunikasi sehari-hari GTBU. (2) Tingkat penggunaan leksikon unggas antargenerasi GTBU Jenis unggas yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal etnik Using hampir sama jenisnya dengan yang ditemukan di daerah Jawa Timur lainnya, seperti banyak „angsa‟, berengul „anak angsa‟, bebek „itik‟, bangsong „menthok/itik manila‟, pitik „ayam‟ dan sebagainya. Hanya satu unggas, yakni bebek banyong „itik yang hidup di daerah rawa-rawa di hutan dan bisa terbang‟ dengan tingkat penggunaan masing-masing 9,6%, 25%, dan 36,4%. Penggunaan leksikon ini muncul dalam komunikasi GTBU yang berdomisili di Desa Kampung Anyar, Kecamatan Glagah yang masih memiliki wilayah hutan. Tabel berikut menunjukkan tingkat penggunaan leksikon oleh ketiga kelompok responden.
287 Tabel 6.28 Tingkat Penggunaan Leksikon Unggas Antargenerasi GBTU Leksikon BU
Ayam dan jenisnya pitik pitik walik pitik cemara bangkok pitik alas bekisar babon sawung Angsa dan jenisnya banyak berengul
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
100 4,8 9,6
100 20 15 35
100 22,7 14,2 31,8
47,6 4,8 52,4 38,1
55 5 90 65
54,5 9,1 90,9 86,4
82 23,8
85 50
86,4 50
Leksikon BU
Bebek dan jenisnya bebek bebek banyong bangsong Bagian-bagian tubuh unggas cekeker cengger cucuk telampik berutu
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
95,2 9,6 19
100 25 45
100 36,4 50
100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
Sebagaimana tingkat penggunaan leksikon generik pada umumnya, pada tabel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan leksikon generik untuk entitas pitik „ayam‟ dan bebek „itik‟ sangat tinggi yang hampir mencapai 100%. Namun tidak demikian halnya terhadap leksikon spesifiknya, khususnya pada leksikonleksikon tertentu, yang tingkat penggunaannya jauh lebih kecil. Hal ini jelas terlihat pada tingkat penggunaan leksikon spesifik pitik, seperti pitik walik yaitu ayam yang bulunya terbalik (keriting) dengan tingkat penggunaan 4,8%, 20%, dan 22,7%; pitik cemara yaitu jenis ayam yng bulunya meneyerupai daun cemara dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 0%, 15%, dan 14,2%; dan bangkok „ayam bangkok‟ sebesar 9,6%, 35%, dan 31,8%. Rendahnya kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari responden, selain karena sedikitnya populasi dan sulitnya membedakan ciri fisik kedua acuan entitas leksikon tersebut sehingga interaksi sangat jarang, juga tidak adanya transfer
288 pengetahuan kepada generasi berikutnya adalah beberapa faktor penyebab fenomena di atas. Fenomena berbeda terlihat pada tingkat penggunaan leksikon „induk ayam‟ sebesar 52,4%, 90%, 90,9%
dan
babon
leksikon sawung „ayam
penjantan‟ sebesar 38,1%, 65%, dan 86,4% yang pesentasenya lebih tinggi dari leksikon-leksikon yang disebutkan sebelumnya walaupun tidak sebesar tingkat penggunaan leksikon tentang bagian-bagian tubuh unggas sebesar 100%. Hal ini berarti bahwa leksikon-leksikon BU yang mengacu pada entitas-entitas tersebut tetap terpakai dan sering muncul dalam komunikasi sehari-hari GTBU. (3) Tingkat penggunaan leksikon burung antargenerasi GTBU Walaupun BU memiliki cukup banyak leksikon yang merepresentasikan berbagai jenis burung,
percakapan yang melibatkan leksikon tentang burung
sangat sedikit terjadi walaupun habitat burung masih tetap asri. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa ada tingkat penggunaan beberapa leksikon spesifik burung (bahkan juga terhadap leksikon generik bango „burung bangau‟) sebesar 0% untuk ketiga kelompok responden. Fenomena ini terlihat pada tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon, seperti bango kebo, bango tongthong, bango wedhus, dan jalak putih/bali. Tidak pernah munculnya leksikon generik dan tiga leksikon spesifik bango tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan responden membedakan meliwis, kuntul dan bango secara fisik karena ketiganya berbulu putih. GTBU menyebut burung yang berbulu putih yang berkaki dan berparuh panjang adalah meliwis atau kuntul sehingga leksikon
289 bango tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Untuk melihat tingkat penggunaan leksikon burung lainnya, perhatikan tabel berikut. Tabel 6.29 Tingkat Penggunaan Leksikon Burung Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Bangau dan jenisnya Bango bango kebo bango thongthong bango wedhus belekok kuntul Meliwis Jalak dan jenisnya jalak jalak bali jalak cemeng jalak suren Pipit dan jenisnya emprit emprit uban/bodol emprit gantil emprit peking emprit kaji Jenis burung lainnya ancel-ancel angin belkatuk bence cucak rawa
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
19 -
35 20 5
63,6 40,1 9,1
-
5 -
9,1 13,6 9,1
90,5 14,3 9,6 9,6 4,8
95 50 50 50 15
90,9 77,3 54,5 54.5 27,3
4,8
5 35 50 30
31,8 36,4 54,5 63,6
Leksikon BU
culik gemek jegug kukuk beluk kacer kakak tua kepodang perenjak serigunting seriti sikatan tinil tuwu alap-alap bangkrak betet gagak gedhubug samber ulung bidhol dara manyar perkutut gelatik
Tingkat Penggunaan Rema Dewasa Tua ja (%) (%) (%) 30 40,1 9,6 35 36,4 4,8 10 13,6 20 31,8 14,3 20 13,6 9,6 10 22,7 14,3 25 36,4 4,8 20 27,3 9,6 30 54,5 9,6 55 68,2 23,8 25 27,3 4,8 10 13,6 4,8 15 13,6 14,3 40 59,1 14,3 30 40,1 30 45,5 19 55 54,5 15 18,2 25 27,3 14,3 76,2 85,7 14,3
40 75 25 85 40
59,1 77,3 40,1 90,9 59,1
Sementara itu, leksikon burung dengan tingkat penggunaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan burung lainnya adalah leksikon dara „burung merpati‟ dengan tingkat penggunaan masing-masing 76,2%, 75%, dan leksikon perkutut sebesar 85,7%, 85, dan 90,%. Tingginya kemunculan leksikon dara dalam percakapan sehari-hari GTBU, di samping karena habitat burung ini ada di lngkungan perumahan mereka serta sifatnya yang jinak, juga disebabkan oleh
290 adanya trend adu dara, yaitu sejenis permainan mengadu burung dara dengan memperhitungkan kecepatan dan ketepatannya mencari objek sasaran, khususnya di kalangan responden remaja, sehingga interaksi dengan entitas acuan leksikon ini sangat tinggi. Fenomena yang terjadi pada leksikon perkutut, di samping populasinya yang banyak dan mudah ditemukan di sekeliling GTBU, juga dijadikannya entitas leksikon ini sebagai burung peliharaan karena keindahan suaranya juga menyebabkan leksikon entitas ini sering menjadi topik pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari mereka. (4) Tingkat penggunaan leksikon reptil antargenerasi GTBU Sebagaimana jenis entitas acuannya, tidak banyak leksikon tentang reptil yang dimiliki oleh BU. Walaupun demikian, di antara leksikon reptil yang ada, leksikon spesifik ula „ular‟ jumlahnya paling banyak, yakni sebanyak enambelas leksikon dengan tingkat penggunaan tertinggi ditemukan pada leksikon ula irus dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 52,4%, 65%, 77,3% dan ula jali sebesar
52,4%,75%,
81,8%. Hal yang berbeda terlihat pada tingkat
penggunaan leksikon spesifik ula lainnya yang rerata tingkat penggunaannya di bawah 30%, seperti di antaranya ula dawu (0%, 0%, 4,5%), kelasa (0%, 10%,9,1%) , ula lampar (9,6%, 10%, 22,7%), silara (9,6%, 25%, 27,4%), lanang (4,8%,10%, 22,7%), lumbu, sungu (0%, 10%, 4,5%), walur (0%, 5%, 4,5%) , dan weling (0%, 10%, 22,7%). Di samping sebagian besar habitat ular-ular tersebut jauh dari pemukiman GTBU sehingga interaksi mereka kurang, sedikitnya populasi, serta tidak adanya transfer pengetahuan
dari generasi sebelumnya
291 adalah penyebab rendahnya tingkat penggunaan leksikon tentang ula „ular‟. Tabel berikut menunjukkan keberagaman tingkat penggunaan leksikon reptil lainnya. Tabel 6.30 Tingkat Penggunaan Leksikon Reptil Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Kodok dan jenisnya bangkrak bangkong kentus Ular dan jenisnya ula ula dhawu ula irus ula jail ula lanang ula lumbu ula sungu ula walur ula welang ula gadhung
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%)
Leksikon BU
ula lampar 4,8 -
10 5 -
9,1 4,5 9,1
85,7 52,4
70 65
100 4,5 77,3
52,4 4,8 4,8 19
75 10 10 10 5 30 10
81,8 22,7 18,2 4,5 4,5 31,8 18,2
ula luwuk ula kayu ula kelasa ula sawa ulo silara ula weling Jenis reptil lainnya bajul nyambit Kura Kadal Cecek tekek
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 9,6 10 27,3 14,3 9,6 9,6 9,6 -
40 30 10 50 25 10
31,8 27,3 9,1 50 27,3 22,7
62 14,3 90,5 95,3 100
75 25 90 95 100
9,1 77,3 36,4 90,9 95,5 100
Sementara itu, dalam tabel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan leksikon reptil, seperti nyambit „biawak‟, kadal „kadal‟, cecek „cicak‟ dan tekek „tokek‟ menunjukkan persentase yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan leksikon reptil lainnya. Habitat entitas acuan yang dekat dengan atau di tengahtengah pemukiman warga sehingga interaksi sangat tinggi (khususnya cecek, kadal, dan tekek) dan banyaknya populasi merupakan penyebab tingginya tingkat penggunaan leksikon entitas-entitas tersebut. Leksikon bajul „buaya‟ dengan tingkat penggunaan 0% untuk semua kelompok responden merupakan leksikon yang entitasnya hanya sebagai pengetahuan responden yang didengar melalui
292 dongeng-dongeng atau cerita pada buku, karena bajul tidak ada di lingkungan tempat tinggal GTBU yang letak topografisnya tidak sesuai dengan habitat buaya. (5) Tingkat penggunaan leksikon serangga antargenerasi GTBU Dibandingkan dengan jumlah leksikon fauna lainnya, leksikon serangga jumlahnya jauh lebih banyak karena entitas-entitas acuannya dapat ditemukan di mana-mana. Tidak seperti jumlah jenisnya yang sangat banyak, tingkat penggunaan responden terhadap leksikon serangga sangat rendah kecuali terhadap leksikon-leksikon yang acuannya memiliki interaksi tinggi dengan kehidupan manusia atau habitatnya sangat dekat dengan atau di sekitar pemukiman mereka, seperti leksikon generik dan spesifik semut „semut‟ dan laler „lalat‟ dan beberapa leksikon serangga lainnya. Keberagaman leksikon dan tingkat penggunaannya oleh ketiga kelompok responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.31 Tingkat Penggunaan Leksikon Serangga Antargenerasi GTBU Leksikon BU Ulat dan jenisnya uler uler geni
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 100 9,6
100 55
100 68,2
uler senggenit uler jaran uler wulu uler jembut uler keket Capung dan jenisnya dudhuk dudhuk cutrik
23,8 19 33,3 9,6
55 55 60 50 60
54,5 54,5 54,5 45,5 63,6
57,1 19
95 55
95,5 54,5
dudhuk edhom dudhuk abang dudhuk kuning dudhuk macan
42,9 19 -
45 65 35 5
50 68,2 54,5 9,1
Leksikon BU walang selethet walang gebog Kupu-kupu dan jenisnya kupu kupu abang kupu ijo kupu kuning kupu putih kupu cedhung kupu kithi Semut dan jenisnya semut semut abang semut cemeng semut gatel
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 9,1 4,8 25 22,7
57,1 33,3 33,3 14,3
100 25 35 50 60 25
100 36,4 40,1 59,1 59,1 40,1
4,8
30
40,1
90,5 76,2 71,4 57,1
100 80 85 80
100 81,8 86,4 90,9
293 dudhuk ruyung dudhuk terasi dudhuk cilik dudhuk gerobok
9,6 14,3 -
10 65 20
9,1 27,3 63,4 40,1
dudhuk menggala dudhuk maling udhuk entelong
-
5 -
9,1 9,1 13,6
Tawon dan jenisnya tawon tawon sruk tawon kenceng tawon keroso tawon gung tawon kunir tawon terasi/ gagak tawon macan tawon menggala tawon rowan Belalang dan jenisnya walang walang gancong walang jaran walang kalung walang godhong walang kadhung walang kayu walang watu walang keretek walang pari walang sangit
76,2 23,8 76,2 52,4 9,6 28,6 -
95 60 95 70 15 40 45
95,4 54,5 95,4 72,7 31,8 40,1 45,5
9,6 62
20 15 90
27,3 27,3 90,9
85,7 9,8 19 47,6 14,3 71,4 81
85 30 25 25 40 40 25 20 25 80 95
90,9 31,8 27,3 22,7 59,1 40,1 40,1 22,7 31,8 86,4 90,9
semut geni semut angkrang semut pudhak
47,6 57,1
65 85
86,4 86,4
33,3
85
77,3
Lalat dan jenisnya laler laler cemeng laler ijo/buyung
90,5 66,7 19
100 90 70
100 86,4 72,7
Kumbang dan jenisnya kuwang-wang Kutis bapak pucung gasir ancruk samber ilen
52,4 14,3 -
55 45 10 60 45 45
59,1 45,5 18,2 59,1 50 45,5
Jenis serangga lainnya keremi lingsa limpit kala jengking
62 42,9 52,4
70 60 30 55
72,7 59,1 45,5 54,5
kala supit tumo Rengit berecung pucung angkut-angkut lare angon tengu kunang jengkrik jekethit
14,3 66,7 57,1 62 81 19 66,7 33,3
30 70 75 70 15 55 45 85 80 85 40
50 72,7 86,4 72,7 22,7 60 45,5 81,8 77,3 81,8 50
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari sejumlah leksikon generik dari jenis serangga tertentu, tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon generik dudhuk dengan rerata persentase paling rendah. Hal ini dapat dilihat pada tingkat penggunaan leksikon-leksikon, seperti dudhuk macan (0%, 5%, 9,1%), dudhuk ruyung (0%, 0%, 9,1%), dudhuk terasi (9,6%, 10%,27,3%), dudhuk gerobok (0%, 20%, 27,3%), dudhuk menggala (0%, %, 9,1%), dudhuk maling (0%, 5%, 9,1%), dan dudhuk entelong (0%, 5%, 13,6%). Sedikitnya kemunculan leksikon-leksikon
294 tersebut dalam percakapan ketiga kelompok responden disebabkan oleh beberapa faktor. Sedikitnya interaksi, khususnya di kalangan responden remaja karena habitat dudhuk seperti daerah persawahan, kebun atau lingkungan yang ada airnya; sedikitnya populasi karena pemakaian pestisida untuk memberantas hama padi atau tanaman tanaman lainnya dan tidak adanya pengalihan pengetahuan kepada generasi berikutnya menyebabkan sangat rendahnya kenmunculan leksikon-leksikon tersebut sebagai topik pembicaraan dalam komunikasi seharihari GTBU. Fenomena menarik terlihat pada tingkat penggunaan leksikon generik tawon dan leksikon spesifik tawon kenceng, yaitu jenis tawon berwarna coklat yang paling banyak ditemukan bersarang pada langit-langit bangunan. Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan
bahwa
tingkat penggunaan terhadap kedua leskikon oleh ketiga kelompok responden menunjukkan persentase yang sama, yakni masing-masing sebesar 76,2%, 95%, dan 95,4%. Fenomena ini merupakan akibat dari ketidakmampuan responden untuk membedakan fisik tawon karena ukuran tubuh serta warna beberapa jenis tawon hampir sama namun yang membedakannya adalah tempatnya bersarang. Di samping itu, populasi tawon kenceng yang terbanyak di antara jenis tawon serta sarangnya banyak ditemukan di langit-langit bangunan menyebabkan interaksi antara GTBU dengan entitas ini sangat tinggi sehingga responden cendrung menyeneralisasi bahwa yang disebut tawon adalah tawon kenceng itu sendiri.
295 Sementara itu, jenis serangga lain dengan tingkat penggunaan leksikon cukup tinggi, yakni keremi „kutu ayam yang muncul pada saat ayam bertelur hingga telurnya menetas‟ (62%, 70%, 72,7%); tumo, serangga yang hidup lipatanlipatan kain yang sudah lusuh (66,7%, 70%, 72,7%) ; rengit „nyamuk‟ (57,1%, 75%, 86,4%);
berecung „jentik-jentik nyamuk‟
(62%, 70%, 72,7%); tengu
„tungau‟ (81%, 85%, 81,8%) ; dan jengkrik „jangkrik‟ (66,7%, 85%, 86,4%). Berdasarkan pengamatan di lapangan, semua jenis serangga yang diacu oleh leksikon-leksikon di atas habitatnya ada di sekitar atau di tengah-tengah pemukiman warga sehingga interaksi respoden dengan entitas-entitas acuannya cukup tinggi. (6) Tingkat penggunaan leksikon ikan air tawar antargenerasi GTBU Terletak di wilayah dengan sumber air yang melimpah, daerah lingkungan tempat tinggal GTBU sangat kaya akan berbagai jenis ikan air tawar, baik yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun yang hidup liar. Walau pun jenis ikan cukup banyak, namun interaksi GTBU dengan beberapa jenis ikan tidak begitu tinggi. Hal ini terbukti rendahnya persentase penggunaan beberapa leksikon jenis ikan air dalam percakapan responden sehari-hari, seperti di antaranya terlihat pada leksikon sepat (0 %, 5%, 13,6%) , sengkaring (4,8%, 10%, 22,7%) , tombro (4,8 %, 30%, 45,5%) , meniran (19 %, 35%, 40,1%) , telekan (4,8%, 25%, 31,8%) , kuniran (14,3%, 20%, 27,3%), encit (0%, 25%, 45,5%), dan bibis (0%, 40%, 45,5%). Jarangnya kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam percakapan GTBU, di samping karena harga entitasnya mahal (khususnya sepat, sengkaring, dan tombro), sedikitnya populasi yang disebabkan matinya ikan karena pemakaian
296 pestisida, dan berkurangnya kegiatan mencari ikan di kali atau sungai, seperti yang dilakukan oleh para leluhur, serta munculnya bahan lauk pengganti, seperti tempe, tahu, dan daging adalah faktor penyebab dari fenomena di atas. Untuk mengetahui tingkat penggunaan leksikon ikan air tawar yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.32 Tingkat Penggunaan Leksikon Ikan Air Tawar Antargenerasi GTBU Leksikon BU
sepat badher gurameh sengkaring tombro lele mujaher tawes nilem bedhul cokol deleg
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 5 13,6 71,4 80 72,7 47,6 80 81,8 4,8 10 22,7 4,8 30 45,5 81 80 81,8 81 95 95,5 47,6 65 63,6 42,9 60 63,6 28,6 50 59,1 42,9 65 63,6 19 55 54,5
Leksikon BU
geruyu mendhil meniran telekan uceng-uceng kuniran welut encit bibis oling urang
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 47,6 65 63,6 42,9 65 63,6 19 35 40,1 4,8 25 31,8 23,8 40 40,1 14,3 20 27,3 71,4 80 81,8 25 45,5 40 45,5 28,6 75 68,2 71,4 75 72,7
Fenomena sebaliknya ditemukan pada tingkat penggunaan yang tinggi terhadap leksikon-leksikon ikan seperti badher (74,1%, 85%, 86,4%), gurameh (47,6%, 81%, 81,8%),
lele (81%, 80%, 81,8%), mujaher (81%, 95%, 95,5%),
welut (71,4%, 80%, 81,8%), dan urang (47,6%,
80%, 77,3%). Tingkat
penggunaan yang tinggi pada leksikon-leksikon di atas, di samping karena lokasi pembudidayaan ada di sekitar pemukiman masyarakat juga disebabkan oleh banyaknya populasi sehingga entitasnya dengan mudah dapat ditemukan.
297 6.2.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU Berkategori Verba Bahasa, khususnya pada tataran leksikon, merepresentasikan situasi sosial budaya penuturnya dan lingkungan alam tempat bahasa tersebut digunakan. Karena mayoritas penuturnya bertempat tinggal di lingkungan pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani, leksikon BU sangat kaya akan leksikon verba yang mencerminkan aktivitas penuturnya di lahan pertanian dan kebun serta leksikon tentang aktivitas lain yang dilakukan terhadap isi lingkungan alam di sekeliling mereka. Akhir-akhir ini, karena berbagai faktor, telah terjadi perubahan pola hidup yang menggiring GTBU perlaha-lahan menjauh dari alam sehingga aktivitas yang dulunya begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari mereka menjadi semakin jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan berkurangnya penggunaan leksikon-leksikon yang mengacu pada tindakan-tindakan yang diacunya. Sebagaimana tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon verba lingkungan alam BU juga dikelompokan menjadi kelompok leksikon verba tentang aktivitas manusia terhadap alam, aktivitas fauna di alam, dan aktivitas alam itu sendiri. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat penggunaan responden terhadap leksikon verba lingkungan alam lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pemahamannya. Hal ini dapat dilihat pada bagian berikut. 6.2.2.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU Walaupun banyak di antara responden remaja yang kurang berinteraksi dengan lingkungan lahan pertanian dan kebun, berdasarkan analisis data dan
298 pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tingkat penggunaan leksikon yang cukup tinggi oleh ketiga kelompok responden, seperti terhadap leksikon ngempet „menahan saluran air dengan jerami atau benda lainnya‟ (66,7%, 80 %, 81,8%); nggebros/nggampung „memanen atau mengetam padi‟ (85,7%, 100%, 100%); ngileni „mengairi sawah‟ (85,7%, 100%, 100%); nyebar „menyebar benih padi atau palawija di sawah atau di ladang‟ (62%, 80%, 81,8%), ngurit „menyemai benih di tempat persemaian‟ (62%, 75%, 77,3%); dan ngrujug „menyiram tanaman dengan air‟
(52,4%, 80%, 81,8%), sedangkan untuk verba yang
mengacu pada aktivitas di lahan kebun terlihat pada leksikon verba ngunduh (85,7%, 95%, 100%), negor (57,1%, 95%, 100%),
nggepluki (57.1%, 80%,
81,1%), dan ngonceti (81%, 100%, 100%) Cukup tingginya penggunaan leksikonleksikon di atas di kalangan responden karena leksikon-leksikon tersebut mengacu beberapa aktivitas penting dalam kegiatan pengolahan sawah dan aktivitas di lahan kebun yang masih bisa disaksikan oleh responden remaja khususnya, meskipun mereka jarang terlibat dalam aktivitas mengolah sawah serta sudah dikenalnya pengolahan sawah dengan cara modern, yakni menggunakan traktor. Untuk melihat tingkat penggunaan leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan lahan kebun secara lebih rinci, perhatikan tabel berikut. Tabel 6.33 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU Leksikon Verba BU di Lahan Pertanian mbebeng nyirati mbubak
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 57,1 60 63,6 62 65 77,3 19 45 63,6
Leksikon Verba BU di Lahan Kebun ngunduh negor mbeseh
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 85,7 95 100 57,1 95 100 9,6 35 54,5
299 nambaki nyacal ngempet nggagas nggebros/ nggampung nggejig nggulud ngileni (tentang sawah) mbalong melar ngeremponi matun nyebar ngurit nguter mberubuk nggrujug
23,8 14,3 66,7 52,4 85,7
60 70 80 65 100
81,8 81,8 81,8 68,2 100
ndekung nderes ngenam nggepluki ngonceti
23,8 28,6 38,1 57,1 81
70 65 65 80 100
68,2 63,6 68,2 81,8 100
14,3 23,8 85,7
60 70 100
59,1 68,2 100
ngorag/ngureg majeg/nebas macaki
52,4 28,6 14,3
75 75 75
81,8 77,3 68,2
9,6 19 62 62 4,8 4,8 52,4
85 70 65 80 80 75 60 60 80
95,5 68,2 77,3 81,8 81,8 77,3 81,8 77,3 81,8
nyumbat ngerimbas nyelogrok nyangkrab nanceb notor mepe
63,6 23,8 9,6 28,6 33,3 28,6 66,7
95 50 65 60 80 75 75
90,9 63,6 81,8 63,6 77,3 77,3 77,3
Sementara itu, pada beberapa leksikon, seperti mbubak „memecah tanah dengan menggunakan cangkul yang dilakukan sehabis panen‟ (19%, 45%, 63,6%); nyacal „menggeburkan tanah sawah dengan menggunakan cangkul, bukan bajak‟ (14,3%, 70%, 81,8%);
mbalong „menggenangi petakan sawah
dengan air yang cukup dalam sebelum ditanami‟ (9,6%, 85% , 95,5%); melar „membajak tanah sawah dalam keadaan kering (0%, 70%, 68,2%); ngeremponi „meratakan tanah sawah sebelum ditanami (0%, 65%, 77,3%); matun „membersihkan tanaman dari gulma‟ (19%, 80%, 81,8%); nguter „memindahkan bibit padi atau entitas lainnya dari tempat persemaian ke tempat penanaman permanen‟ (4,8%, 70%, 81,8%); dan mberubuk „membuat tanah pertanian menjadi gembur‟ (4,8%, 65%, 77,3%) tingkat penggunaan di kalangan responden remaja sangat rendah jika dibandingkan dengan responden dewasa dan tua. Penyebabnya adalah sedikit atau kurangnya interaksi responden remaja dengan aktivitas di sawah karena berdasarkan pengamatan di lapangan responden yang sudah
300 menyelesaikan studi pada tingkat SLTA lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik atau toko-toko dibandingkan menjadi petani. Di samping karena leksikonleksikon di atas tidak mengacu aktivitas utama/penting dalam tahapan pengolahan sawah, tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi sebelumnya merupakan penyebab dari fenomena di atas. Sementara itu, berbagai aktivitas yang dilakukan GTBU di lahan kebun melahirkan berbagai macam leksikon yang merepresentasikan aktivitas-aktivitas tersebut. Namun dari enam belas leksikon verba yang dimiliki BU yang merepresentasikan aktivitas di kebun, enam leksikon di antaranya terkait dengan aktivitas terhadap entitas kelapa, seperti ngunduh „memetik buah kelapa‟, ngenam „menganyam daun kelapa atau bilah-bilah bambu‟, nggepluki „memebelah buah kelapa dengan kapak‟, macaki ‘mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak‟, nyumbat „menguliti kelapa dengan menggunakan sumbat‟, ngerimbas „menguliti batang pohon kelapa atau batang pohon lainnya untuk dijadikan balokbalok kayu‟, dan mepe „menjemur daging buah kelapa yang akan dijadikan kopra di atas anyaman bambu atau plastik‟. Hal ini merupakan bukti lain bahwa ada interaksi, interelasi, dan interdependensi yang sangat tinggi antara GTBU dan entitas ini karena kelapa merupakan entitas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik buah, batang, maupun janur-nya. Sebagaimana terhadap leksikon-leksikon lainnya, tingkat penggunaan terhadap leksikon verba tentang aktivitas-aktivitas di lahan kebun juga bervariasi untuk ketiga kelompok responden dan juga tingkat penggunaan responden remaja jauh lebih rendah dibandingkan dengan responden dewasa dan tua. Namun
301 demikian, pada leksikon-leksikon tertentu tingkat penggunaan pada ketiga kelompok responden cukup tinggi seperti leksikon
ngunduh „memetik (tentang
buah) sebesar (85,7%, 95%, 100%), negor „menebang (tentang pohon) sebesar (57,1%, 95%, 100%), nggepluki „membelah buah kelapa dengan menggunakan kapak‟ sebesar (57,1%, 80%, 80,1%), ngonceti „menguliti (tentang buah selain kelapa)‟ sebesar (81%, 100%, 100%), ngorag/ngureg „menggoyang-goyangkan batang pohon agar buahnya berjatuhan‟ sebesar (52,4%, 80%, 81,8%), nyumbat „menguliti buah kelapa dengan sumbat’ sebesar (63,6%, 95 %, 90,9%), nanceb „menanam pagar hidup untuk pekarangan atau kebun‟ sebesar (33,3%, 80%,77,3 %), dan mepe „menjemur daging buah kelapa sebagai bahan kopra dengan alas anyaman bambu atau lembaran plastik‟ sebesar (66,7%, 80%, 77,3%). Cukup tingginya penggunaan leksikon-leksikon tersebut disebabkan karena aktivitas acuan merupakan aktivitas yang penting dan sering dilakukan oleh GTBU dalam kehidupan mereka sehari-hari, khususnya bagi mereka yang memiliki kebun kelapa atau yang bekerja di perusahan kopra.
6.2.2.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainya Antargenerasi GTBU Leksikon verba tentang aktivitas sosial yang dimaksudkan dalam hal ini mengacu pada sejumlah aktivitas yang dilakukan responden di lingkungan pekarangan atau tempat lainnya terhadap objek-objek
yang ada di tempat
tersebut, seperti hewan, tumbuhan, atau entitas-entitas lainnya. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, walaupun aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut terjadi di sekitar tempat tinggal mereka, tidak
302 berarti bahwa tingkat penggunaan leksikon-leksikonnnya dalam percakapan dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tingkat penggunaan leksikon-lekiskon, seperti nyenggot „mengambil air di sumur dengan menggunakan senggotan (timba yang diangkat dengan galah)‟ sebesar (9,6%, 50%, 54,5%), mintal/ngantih „memintal/ngantih kapas untuk dijadikan benang‟ sebesar (0%, 10%, 13,6%), mbebek „menumbuk padi atau kopi‟ sebesar (28,6%, 60%, 63,6%), mbenem „memasak sesuatu (biasanya ketela, pisang, dan sebagainya) di dalam bara api‟sebesar (4,8%, „menyabung ayam aduan‟ sebesar
35%, 40,9%), mbombong
(4,8%, 30%, 31,8%), dan nyeruh
„memutihkan beras dengan cara ditumbuk ulang‟ sebesar (4,8%, 35%, 40,9%). Jarangnya leksikon-leksikon tersebut muncul dalam percakapan sehari-hari GTBU disebabkan semakin berkurangnya aktivitas-aktivitas acuannya dilakukan oleh GTBU. Aktivitas nyenggot misalnya, sudah sangat jarang dilakukan GTBU semenjak kebutuhan air warga sudah dilayani oleh PDAM atau di beberapa tempat untuk mendapatkan air, warga tinggal memasang selang dari tandon umum yang menampung air dari sumbernya, seperti yang dilakukan GTBU di Desa Kemiren. Hal yang sama juga terjadi pada leksikon mbenem, bebek, dan nyeruh. GTBU khususnya sudah sangat jarang menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak sehingga bara api sulit ditemukan karena perannya sudah digantikan oleh kompor minyak tanah atau kompor gas sehingga aktivitas diacu oleh leksikon mbenem sudah jarang dilakukan di lingkungan rumah kecuali di lahan kebun, sedangkan aktivitas mbebek dan nyeruh digantikan oleh mesin penggiling gabah yang lebih praktis. Sementara itu, rendahnya tingkat penggunaan leksikon
303 mbombong disebabkan oleh hampir tidak adanya aktivitas orang mengadu ayam apa lagi dengan menggunaan taruhan karena aktivitas mengadu ayam sangat diharamkan dalam agama Islam. Tabel berikut memperlihatkan tingkat penggunaan leksikon verba tentang aktivitas sosial lainnya oleh GTBU. Tabel 6.34 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Tingkat Penggunaan
Leksikon BU
ngangsu nyenggot ason-ason mbelor
Remaja (%) 71,4 9,6 -
Dewasa (%) 80 50 35 35
Tua (%) 81,8 54,5 31,8 31,8
nggeladag ngantih mbebek
19 28,6
60 10 40
63,6 13,6 40,1
mbelasak mbenem mbleteti mbombong nyancang nyekoki/njamoni
14,3 4,8 42,9 4,8 57,1 63,6
30 35 70 30 80 75
31,8 40,9 81,8 31,8 86,4 77,3
nyeruh ngangon nggetes ngileni (tentang jangkrik) medhok ngersaya majeg (tentang hasil kebun) nyelisir nyerimpung mbentuk nyerawat nyuluh
Tingkat Penggunaan Remaja (%) 4,8 57,1 57,1 63,6
Dewasa (%) 35 70 80 65
Tua (%) 40,9 72,7 77,3 68,2
23,8 42,9 9,6
65 85 70
72,7 90,9 86,4
23,8 14,3 76,2 85,7 28,6
65 80 100 100 60
72,7 81,8 100 100 63.6
Jakalau tingkat penggunaan leksikon-leksikon tersebut di atas cukup rendah oleh ketiga kelompok responden, fenomena sebaliknya terlihat pada tingkat penggunaan leksikon-leksikon yang acuannya masih sering dilakukan oleh GTBU, seperti di antaranya ngangsu „menimba air di sumur‟ sebesar (71,4%, 80%, 81,8%); nyekoki/njamoni sebesar (63,6%, 75%, 77,3%); ngangon „mengembalakan hewan ternak‟ sebesar (42,9%, 70%, 72,7%); ngileni (jengkrik) „membuat jangkrik geli sehingga mau berbunyi atau siap untuk diadu‟ sebesar (63,6%, 65%, 68,2%); dan mbentuk „melempari sesuati (tentang buah-buahan)
304 dengan batu atau kayu agar jatuh‟ sebesar(76,2%, 100%, 100%). Masih tingginya leksikon ngangsu muncul di kalangan responden karena memang di beberapa tempat walaupun air sudah didapat melalui PDAM, air sumur tetap dipakai sehingga aktivitas menimba air dengan timba masih dilakukan. Sementara itu, aktivitas njamoni/nyekoki masih banyak dilakukan untuk hewan-hewan, seperti sapi „sapi‟, kebo „kerbau„, dan jaran „kuda‟. Sapi dan kebo biasanya dijamoni pada saat musim pengolahan sawah tiba dengan maksud agar hewan-hewan peliharaan ini ada dalam keadaan sehat pada saat membantu petani membajak sawah, sedangkan untuk jaran, aktivitas njamoni dilakukan paling sedikit sebulan sekali utamanya setiap menjelang pentas jaran kencak sehingga hewan ini bisa tampil prima. Demikian juga aktivitas ngileni (jengkrik) masih banyak dilakukan khususnya pada saat musim palawija dimana banyak masyarakat mencari jengkrik di sawah baik untuk diadu, diolah untuk bahan lauk, ataupun untuk dijual.
6.2.2.3 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna Antargenerasi GTBU Di lingkungan tempat tinggal guyub tutur bahasa Using banyak ditemukan berbagai jenis hewan ternak, burung, dan unggas. Karena interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka dengan lingkungan, mereka mencermati berbagai tingkah laku entitas-entitas tersebut dan memverbalisasi
aktivitas fauna yang ada di
sekeliling mereka ke dalam satuan-satuan lingual bermakna. Hal ini dapat diamati dari keberagaman
leksikon-leksikon verba tentang aktivitas binatang seperti
terlihat dalam tabel berikut dengan tingkat penggunaan yang beragam pula.
305 Tabel 6.35 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna Antargenerasi GBTU Leksikon BU Aktivitas hewan ngeludes kedrangen ngguyang ngeregeb nyeludug Aktivitas unggas dan burung nyeker ngendhat ngentit keblak-keblak
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 23,8 4,8 28,6 52,4 52,4
55 65 80 85 75
68,2 68,2 86,4 81,8 81,8
95,2 42,9
100 45
100 45,5
4,8 66,7
65 75
68,2 77,3
Leksikon BU ngokok Neba metingkring giblas-giblas Nyisil Nyeblak Aktivitas serangga Nyenget Aktivitas reptile nyeloyor
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 81 85 86,4 14,3 55 54,6 95,2 95 95,4 71,4 85 86,4 9,5 80 81,8 14,3 80 77,3
71,4
100
100
57,1
70
77,3
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari sejumlah tingkat penggunaan leksikon yang ada, tingkat penggunaan terhadap leksikon terkait dengan aktivitas burung dan unggas yang paling beragam terutama dari segi persentasenya, baik antarleksikon maupun oleh antargenerasi. Misalnya, ada sejumlah leksikon yang tingkat penggunaannya sangat tinggi oleh satu generasi, seperti oleh responden remaja seperti terlihat pada leksikon nyeker „mengais-ngais sampah atau yang lainnya untuk mendapatkan makanan‟ (95,2%), ngokok „berkokok‟ (81%), dan methingkring ‘bertengger‟ (95,2%), sedangkan untuk leksikon lainnya tingkat penggunaannya sangat rendah seperti terhadap leksikon ngentit „bertelur di luar sarang yang sudah disediakan (tentang ayam)‟ (4,8%), neba „hinggap secara bersamaan yang di lakukan oleh segerombolan burung di atas tanah atau dahan‟ (14,3%), nyisil „menguliti bulir padi atau kacang yang dilakukan oleh burung atau tikus‟ (19%), dan nyeblak „memukul-mukul lawan dengan sayap (tentang ayam aduan)‟ (14,3%). Tingginya tingkat penggunaan mereka terhadap leksikon-
306 leksikon di atas, selain karena aktivitas acuannya sering dan terjadi dekat dengan lingkungan tempat tinggal mereka, juga disebabkan adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu.
Sebaliknya, tingkat penggunaan yang rendah pada
leksikon-leksikon lainnya disebabkan oleh aktivitas acuannya jarang terjadi karena aktivitas adu ayam (mbombong) sangat dilarang dan walaupun ada dilakukan secara sembunyi-sembunyi; untuk leksikon ngentit disebabkan oleh rendahnya interaksi responden dengan aktivitas tersebut; dan fenomena yang terjadi pada leksikon nyisil dikarenakan oleh tergantikannya leksikon tersebut dengan leksikon BJ mangan „makan‟ dan leksikon BI makan. Sementara itu, keberagaman tingkat penggunaan antargenerasi juga terlihat pada leksikon-leksikon dengan tingkat penggunaannya masing-masing, seperti leksikon ngentit (4,8%, 65%, 68,2%), nyisil (19%, 80%, 81,8%), dan nyeblak (14,3%, 80%, 77,3%). Tingginya kesenjangan tingkat penggunaan antara responden remaja di satu sisi dengan responden dewasa dan tua di sisi lainnya, selain
karena
perbedaan
tingkat
interaksi
dengan
aktivitas
acuannya,
tergantikannya leksikon yang diacu oleh leksikon bahasa lain, juga disebabkan oleh tidak adanya transfer dari generasi pendahulu. 6.2.2.4 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba Aktivitas Alam Antargenerasi GTBU Beradasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan perbandingan antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon tentang aktivitas alam dengan rerata yang tidak berbeda jauh, yaitu pada responden remaja (78,5%:49,9%), dewasa (86,2%:77,6%), dan tua (96,3%:82,3%). Perbandingan
307 tersebut mengindikasikan bahwa kekayaan leksikon aktif tentang aktivitas alam yang dimiliki responden tidak berbeda jauh dengan total kekayaan leksikon tentang hal yang sama. Hal ini menyiratkan beberapa hal, di antaranya adanya interaksi dan interelasi responden, khususnya dewasa dan tua, yang cukup tinggi dengan alam sekitarnya, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu, serta belum tergantikannya leksikon-leksikon yang mengacu aktivitas dalam tabel di atas oleh leksikon bahasa lain. Hal ini sangat baik untuk kebertahanan BU dari segi leksikon. Untuk melihat tingat penggunaan leksikon tentang aktivitas alam, secara lebih rinci adalah sebagai berikut. Tabel 6.36 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam Antargenerasi GTBU Leksikon BU
Fenomena alam ngampar-ampar ngungkreg mencorong Aktivitas alam mberojol nggerontol nggeluntung
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa (%) (%)
Leksikon BU Tua (%)
14,3 4,8 76,2
60 65 100
63.6 77,3 100
23,8 47,6 23,8
65 95 75
72,7 95,5 77,3
logrog mekrog meldhog mergodog merkatak mecukul methukul melethek
Tingkat Penggunaan Remaja Dewasa Tua (%) (%) (%) 85,7 90 90,9 47,6 55 72,7 42,8 50 72,7 47,8 60 72,7 38,1 60 68,2 90,5 85 95,5 71,4 75 95,5 62 90 95,5
Dari tabel di atas juga terlihat bahwa beberapa leksikon dengan tingkat penggunaan yang sangat rendah, khususnya pada kelompok responden remaja, seperti
yang
terjadi
pada
tingkat
penggunaan
leksikon
ngungkreg
„berguncang/bergetar dengan keras (tentang tanah) karena gempa bumi‟ sebesar 4,7%, ngampar-ampar „menyambar-nyambar (tentang petir)‟ sebesar 14,3%, dan nggeluntung „menggulung (tentang dedaunan) karena teriknya sinar matahari‟ sebesar 19%.
Pada kelompok responden dewasa rerata tingkat penggunaan
308 leksikon-leksikon tersebut sebesar 66,7%, sedangkan kelompok tua sebesar 72,7%. Perbedaan tingkat penggunaan yang cukup jauh antar kelompok responden tersebut utamanya disebabkan oleh responden remaja lebih mengenal leksikon tersebut dalam BJ atau BI.
6.3 Kecenderungan dan Daya Tahan Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam menghasilkan kebertahanan, kepunahan, dan inovasi leksikon lingkungan alam BU pada konsepsi GTBU. Jikalau ketiga hal di atas dihubungkan dengan tiga dimensi dalam prksisi sosial yang mempengaruhi perubahan bahasa maka dapat dikatakan bahwa leksikon yang bertahan adalah leksikon yang secara biologis entitas acuannya masih banyak ditemukan di sekeliling tempat tinggal GTBU karena ekologinya cocok; secara sosiologis entitasnya dibutuhkan untuk kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk menjaga interaksi dengan entitas sesama mahluk hidup lainnya; serta secara ideologis sejumlah entitas acuannya dikembangkan atau dibudidayakan untuk mendukung keberlangsungan kedua dimensi sebelumnya. Sebaliknya, ditemukan
sejumlah leksikon mengalami
pergeseran dan yang hampir punah. Hal ini, jikalau dikaitkan dengan uraian berikut mengandung ketiga kelompok leksikon yang dimaksud. 6.3.1 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Bertahan Kebertahanan sebuah bahasa, terutama dari segi leksikon, terkait dengan apakah leksikon-leksikon tersebut masih dipahami serta digunakan dalam
309 percakapan sehari-hari atau tidak oleh komunitas tuturnya. Untuk menentukan leksikon-leksikon BU yang
bertahan dilakukan dengan membandingkan dan
menganalisis perbedaan antara tingkat pemahaman dan penggunaan pada ketiga kelompok responden. Parameter yang digunakan untuk menentukan kategori hal yang dimaksud adalah dengan menentukan tingkat panggunaan terendah sebesar 85% pada ketiga kelompok responden dengan asumsi bahwa dengan tingkat penggunaan
dalam persentase tersebut menunjukkan bahwa frekuensi
penggunaan leksikon yang dimaksud masih tinggi. Hal ini juga merupakan bukti bahwa leksikon tersebut masih ada dalam memori dan kognisi gurub tutur. Tabel berikut menunjukkan beberapa contoh leksikon BU yang masih bertahan. Tabel 6.37 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Bertahan Leksikon BU Remaja TPh (%) TPg (%)
Responden Dewasa TPh (%) TPg (%)
Tua TPh (%)
TPg (%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 95,5 100 100 95,5 100 100 100 100 90,9 100 95,5 100 90,9 100 100 95,5 100 100 100 100 100 100
FLORA pari ketan putih winih jagung sabrang poh/epoh jambu nangka rambutan rambutan aceh duren duren putih jeruk jeruk sambel delima gedhang gedhang saba gedhebog kates turi kacang kacang jangan dangsul
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 90,5 90,5 100 95,2 100 100 100 100 100 100 95,2 100 85,7 100 100 90,5 90,5 100 90,5 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 90 100 100 95 100 100 100 100 100 100 95 100 90 100 100 95 100 100 100 100 100 100
310 pare kelentang belimbing wuluh gundha katu kelor kenikir kunir laos kemiri cabe merah cabe rawit cengkeh sereh kelapa janur belarak sapu jajang kemarang kukusan singkek asem godhong asem FAUNA tikus wedhus kucing sapi pitik cekeker cengger cucuk telampik berutu emprit kadal cecek tekek uler semut laler VERBA nyeker
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
90,5 100 100 85,7 90,5 100 90,5 100 100 100 100 100 95,2 95,2 100 85,7 85,7 100 95,2 90,5 90,5 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
95 100 100 100 90 100 100 100 100 100 100 100 100 95 100 95 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 90,9 100 90,9 100 100 100 100 100 100 100 100 95,5 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 90,5 100 100 100 100 100 100 90,5 90,5 95,3 100 100 90,5 90,5
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 95 90 95 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 90,9 90,9 95,5 100 100 100 100
100
95,2
100
100
100
100
Dalam tabel di atas terlihat bahwa leksikon lingkungan alam BU yang tingkat kebertahanannya sangat tinggi umumnya ditemukan pada leksikon generik. Sementara itu, tingginya tingkat kebertahanan pada sejumlah leksikon
311 spesifik ditemukan pada leksikon yang entitas acuannya masih banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU karena interaksi mereka yang tinggi dengan entitas acuannya sehingga tingkat pemahaman dan penggunaannya hampir sama. Di samping itu, ketergantungan yang tinggi terhadap entitas acuannya juga merupakan faktor penyebab adanyanya fenomena tersebut. Seperti yang terjadi terhadap leksikon pari „padi‟, misalnya, dengan tingkat pemahaman dan penggunaannya sebesar 100%. Seperti telah diulas sebelumnya bahwa Kabupaten Banyuwangi umumnya dan lingkungan tempat tinggal GTBU khusunya merupakan lahan yang subur sehingga sangat cocok untuk tumbuhnya entitas ini. Secara sosiologis, tanaman ini merupakan bahan makanan pokok GTBU sehingga mereka membudidayakannya. Di samping itu, pari khususnya beras juga merupakan elemen penting dalam kehidupan GTBU karena beras ini merupakan lambang persahabatan, terutama pada saat ada hajatan dimana setiap keluarga GTBU menyumbang
beras dengan jumlah tertentu (di samping hasil bumi
lainnya) kepada yang punya hajatan. Dengan kata lain, pari merupakan tali pengikat kerukunan antar GTBU. Secara ideologis pari merupakan lambang Dewi Sri, Dewi Kemakmuran yang hingga kini masih dipercaya oleh sebagian GTBU, terutama yang berdomisili di beberapa desa di Kecamatan Glagah sebagai Dewi yang memberkahi mereka melalui hasil panen yang bagus dan berlimpah. Sementara itu, untuk leksikon wedhus „kambing‟ dari kelompok fauna juga memiliki tingkat pemahaman dan penggunaan 100%. Entitas ini memiliki peranan penting dalam beberapa aspek kehidupan GTBU, seperti aspek sosial, aspek budaya, dan ekonomi sehingga mereka memiliki interaksi, interelasi, serta
312 interdependensi yang tinggi terhadap intitas acuannya dan ada usaha untuk mempertahankan
dan
membudidayakan
entitas-entitas
tersebut.
Wedhus
berkembang biak dengan baik di wilayah ini karena di samping ketersediaan pakan yang berlimpah juga keadaan iklim sangat memadai. Wedhus memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat penting. Dalam kehidupan sosial budaya, entitas ini dipakai kurban pada Hari Raya Idul Kurban dan upacara sunatan dan aqiqahan sehingga berdampak pada peningkatan perekonomian GTBU yang membudidayakannya.
6.3.2 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Mengalami Penurunan Leksikon-leksikon BU yang dikategorikan pada kelompok ini adalah ditinjau dari penurunan tingkat penggunaan di bawah 81% untuk responden remaja walaupun tingkat pemahamannya tetap 100%. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa walaupun seseorang paham akan makna sebuah leksikon namun leksikon tersebut jarang atau tidak pernah digunakan dan jikalau fenomena ini terjadi dalam kurun waktu yang lama, dalam kurun waktu tertentu, leksikon tersebut
tidak lagi menjadi repertoire kebahasaannya. Jikalau fenomena ini
terjadi pada banyak orang bahkan pada seluruh anggota masyarakat tutur suatu bahasa, sudah dapat dipastikan leksikon tersebut tidak lagi menjadi pengetahuan mereka. Analisis data menunjukkan bahwa kelompok leksikon yang mengalami penurunan khususnya dari segi penggunaan ditemukan hampir pada semua kelompok leksikon, walaupun dengan tingkat yang beragam. Ada beberapa
313 leksikon yang menunjukkan adanya perbedaan yang eksterim antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaannya, khususnya pada generasi muda. Hal ini terlihat pada leksikon-leksikon, seperti jambu mente, kura, kunang, asu, kirik, dan gagak, yakni dengan tingkat penggunaan masing-masing, 33,3%, 14,3%, 28,8 %, 23,8%, dan 19%, sedangkan
tingkat pemahamannya masing-masing 100%.
Demikian juga halnya yang terjadi pada leksikon-leksikon seperti turi putih dan kara dari kelompok flora dengan masing-masing tingkat penggunaan pada responden remaja yang hanya sebesar 38,1% dan 33,3% dan dari kelompok fauna yang terlihat pada leksikon-leksikon seperti jaran dan teri sekul dengan tingkat penggunaan masing-masing 33,3% dan 23,8%. kelompok leksikon di atas
Fenomena yang terjadi pada
menunjukkan adanya passive understanding pada
GTBU terhadap leksikon-leksikon tersebut karena kurangnya interaksi dan hampir tidak adanya interdependensi GTBU terhadap
entitas-entitas acuannya. Khusus
untuk leksikon asu „anjing‟ dan kirik „anak anjing‟, terlihat adanya penggunaan yang sangat rendah pada kedua leksikon tersebut menandakan bahwa topik tentang kedua entitas tersebut sangat jarang muncul dalam percakapan mereka sehari-hari yang disebabkan oleh kehidupan sosial keagamaan mereka yang hampir semuanya merupakan masyarakat muslim yang mengharamkan kedua fauna tersebut. Tabel berikut mengalami penurunan.
menunjukkan beberapa bentuk leksikon yang
314 Tabel 6.38 Leksikon Nomina Bahasa Using yang Mengalami Penurunan Leksikon BU
ketan cemeng menir dami poh manalagi poh kuweni jambu mente jambu keluthuk bethon gedhang selakat/susu langsat duku pace turi putih labu kara bayem jamur gambas genjer kemangi semanggi cabe lidah buaya bongkok bathok keranjang kolang-kaling randu jati bako santen weringin FAUNA asu kirik jaran banyak gagak dara nyambit kura tawon kupu semut abang
Remaja TPh (%) TPg (%) 100 62 100 42,9 100 52,3 100 81 100 81 100 33,3 100 76,2 100 80,1 100 81
Responden Dewasa TPh (%) TPg (%) 100 65 100 70 100 80 100 85 100 90 100 60 100 95 100 90 100 85
TPh (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
57,1 57,1 76,2 38,1 62 33,3 71,4 66,7 71,4 71,4 81 71,4 62 62 72,1 62 52,4 62 66,7 66,7 81 66,7 66,7
100 95 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
65 65 100 85 85 85 90 90 75 75 100 100 80 80 75 75 90 65 80 90 100 75 70
100 90,9 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
86,4 63,6 100 100 81,8 95,5 95,5 95,5 90,9 95,5 100 100 81,8 81,8 86,4 86,4 100 68,2 81,8 95,5 100 86,4 72,7
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
28,6 23,8 33,3 82 19 76,2 62 14,3 76,2 57,1 76,2
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
30 30 80 85 55 75 75 25 95 100 80
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
36,4 36,4 86,4 86,4 54,5 77,3 77,3 36,4 95,4 100 81,8
Tua TPg (%) 68,2 81,8 81,8 86,4 90,9 63,6 95,5 95,5 81,8
315 semut cemeng semut gatel semut angkrang laler cemeng keremi tumo rengit kunang jengkrik gurameh sengkaring lele mujaher cokol geruyu welut urang
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
71,4 57,1 57,1 66,7 62 66,7 57,1 19 66,7 47,6 4,8 81 81 42,9 47,6 71,4 47,6
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
85 80 85 90 70 70 75 80 85 80 10 80 95 65 65 80 80
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
86,4 90,9 86,4 86,4 72,7 72,7 86,4 81,8 86,4 81,8 22,7 81,8 95,5 72,7 77,2 81,8 77,2
Sementara itu, adanya penurunan tingkat penggunaan terhadap leksikonleksikon verba oleh generasi muda lebih disebabkan oleh adanya perubahan profesi dari petani ke profesi lain, seperti buruh bangunan, pedagang, atau penjaga toko, sehingga generasi muda tidak lagi mengakrabi aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut sehingga jarang muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Di samping itu, modernisasi yang melanda kehidupan GTBU di bidang pengolahan lahan pertanian yang mana pengolahan tanah yang sebelumnya menggunakan
tenaga hewan seperti sapi atau kerbau, saat ini fungsinya
digantikan oleh penggunaan traktor tangan. Hal ini menyebabkan hilangnya beberapa tahapan dalam pengolahan tanah sehingga verba-verba yang mengacunya juga menghilang dari ingatan beberapa penutur. Di samping itu, fenomena penurunan ini juga disebabkan oleh tergantikannya leksikon verba BU oleh leksikon verba bahasa lain, khususnya leksikon BI. Fenomena menurunnya tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon verba BU ditunjukkan oleh tabel berikut.
316 Tabel 6.39 Leksikon Verba Bahasa Using yang Mengalami Penurunan Leksikon BU Remaja TPh (%) TPg (%) nggagas matun nyebar nggepluki mepe nyekoki/njamoni mbentuk methukul
100 100 100 100 100 100 100 100
Responden Dewasa TPh (%) TPg (%)
52,4 62 62 57,1 66,7 63,6 76,2 71,4
100 100 100 100 100 100 100 100
65 80 80 80 75 75 100 75
Tua TPh (%) TPg (%) 100 100 100 100 100 100 100 100
68,2 81,8 81,8 81,8 77,3 77,3 100 95,5
Menurunnya penggunaan beberapa leksikon verba utamanya oleh responden remaja, seperti terlihat pada tabel di atas, merupakan dampak dari ketidakterlibatan mereka pada aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut, di samping tergantikannya beberapa leksikon verba BU oleh verba BI, seperti yang terjadi pada leksikon nyebar „menaburkan benih padi atau palawija pada lahan pertanian atau kebun‟ digantikan oleh leksikon verba BI nabur dan leksikon mepe „menjemur koprah atau entitas lainnya di atas anyaman bambu atau plastik‟ tergantikan oleh leksikon njemur (BI).
6.3.3 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Hampir Punah Tidak digunakannya sebagai akibat dari tidak dipahaminya beberapa leksikon
lingkungan alam BU oleh penuturnya berdampak pada rendahnya
kebertahanan
atau hampir punahnya leksikon-leksikon tersebut. Dari 728
leksikon yang digunakan sebagai sampel penelitian, ditemukan sebanyak 210 leksikon dengan tingkat pemahaman dan penggunaan yang sangat rendah. Leksikon-leksikon yang dimaksud, di antaranya seperti tertera pada tabel berikut.
317 Tabel 6.40 Tabel Leksikon Nomina Bahasa Using yang Hampir Punah Leksikon BU
pari singgang pari sogel pari unthup pari gaga sambulan elas belubon tugih kajar poh kates poh kotak jambu lante jambu semarang pucil babal tombol empik duren abang godhogan labu abang labu siyem kara benguk kara kerato kara abang kara pedang kara utek kacang usi/ose kayem cina kayem abang bayem eri bayem kul bayem menir bayem raja bayem sapi bayem pasir jamur gerigit jamur impes temu putih temu rapet temu giring bakung bangle iles-iles lempuyang wangi
Responden Remaja TPh (%) TPg (%) 47,6 9,6 28,6 42,8 4,8 28,6 4,8 28,6 9,8 9,6 23,8 14,3 23,8 9,6 19 9,6 23,8 4,8 23,8 28,6 9,6 23,8 38,1 19 38,1 19 38,1 19 38,1 14,3 71,4 28,6 23,8 38,1 4,8 33,3 33,3 33,3 42,6 66,7 33,3 19 54,2 42,9 66,7 76,2 42,9 52,4 14,3 28,6 9,6 42,9 28,6 52,4 33,3 33,3 19 19 14,3 19
9,6 4,8 9,6 9,6 9,6 9,6 4,8 4,8 9,6 4,8
Dewasa TPh (%) TPg (%) 70 60 55 45 40 15 75 60 70 25 25 25 50 20 30 20 45 30 65 35 65 35 100 50 75 60 75 50 75 55 100 70 95 55 100 15 80 30 50 25 90 50 60 70 75 75 90 75 55 75 80 75 80 40 70 75 75 40 80 75 55 60 65 25 30
10 70 15 65 40 70 25 55 40 40 30 10 50 35 40 15 50 55 35 35 25 40
Tua TPh (%) 90,9 81,8 54,5 54,5 90,9 50 63,6 63,6 59,1 72,7 77,3 100 81,8 86,4 86,4 100 100 100 100 68,2 90,9
TPg (%) 63,6 63,6 22,7 45.5 81,8 36,4 45,5 45,5 40,1 36,4 36,4 68,2 63,6 77,3 81,8 77,3 59,1 22,7 59,1 22,7 50
90,9 100 95,5 95,5 95 81,8 90,9 90,9 90,9 95,5 86,4 77,3 90,9 86,4 86,4 77,3 81,8 81,8 59,1 72,7 77,3 81,8 59,1
40,1 50 4o,1 63,6 40,1 77,3 50 54,5 45,5 50 50 22,7 72,7 50 45,5 22,7 63,6 63,6 40,1 40,1 40,1 22,7 40,1
318 lempuyang gajah sempol kembang bintang adas pulasari jinten kapulaga kemukus sembung deringu dilem legundi tapak dara tapak liman sambung nyawa pule kembang sundel tunjung widuri. Putih Wwduri. Biru kembang bangah kembang tembelekan pecah beling kelapa bunyuk tapas rinjing kurih patar jajang apus jajang gabug jajang cemeng jajang pelet jajang meluwuk jajang watu kelakah langkab kereneng beronjong budhag golong/gunjo katir berajag beranding keser gebyong/etal siwalan geronong doni
19
-
25
25
59,1
36,4
19 14,3
-
35 15
15 20
72,7 59,1
13,6 18,2
23,8 23,8 66,7 71,4 90,5 9,6 57,1 42,3 38,1
9,6 9,6 4,8 -
80 55 70 90 100 35 95 95 35 40
35 10 30 25 5 10 25 25 5
81,8 81,8 95,5 95,5 100 54,5 95,5 95,5 88,2 68,2
40,1 18,2 36,4 40,1 9,1 13,6 45,5 36,4 4,5 31,8
42,6 28,6 33,3 47,6 28,6 28,6 14,3 28,6
9,6 4,8 4,8
40 60 75 85 60 55 50 50
25 30 25 40 40 15 10 40
68,5 68,2 90,9 95,5 100 77,3 72,7 63,6
31,8 36,4 31,8 45,5 50 27,3 9,1 36,4
33,3
-
60
15
72,7
13,6
47,6 23,8 28,6 23,8 9,6 38,1 23,8 19 14,3 4,8 4,8 19 33,3 4,8 28,6 9,6 19 38,1 4,8 19 23,8 38,1 47,6 42,9 4,8
9,6 4,8 4,8 4,8 9,6 9,6 -
70 50 75 60 70 65 35 45 25 35 10 35 50 55 5 35 55 50 60 35 60 45 85 55 50 25
35 25 60 45 55 45 10 5 15 5 10 35 40 5 15 45 10 50 15 55 35 30 5 5
86,4 63,6 100 86,4 81,8 81,8 77,3 68,2 59,1 68,2 54,5 68,2 95,5 100 72,7 86,4 72,7 86,4 90,9 72,7 90,9 68,2 93,6 68,2 68,2 77,3
22,7 22,7 72,7 45,5 59,1 50 18,2 4.5 18,2 22,7 13,6 4,5 40,1 40,1 18,2 18,2 54,5 9,1 59,1 22,7 54,5 40,1 27,3 13,6 13,6
319 jati landa kerosok bungur kepuh ketepeng kebo putat wunut galing sri wangkat lung-lungan tikus got wedhus kendhit bango bango kebo bango thongthong bango wedhus kuntul meliwis jalak jalak bali jalak cemeng jalak suren emprit uban/bondol emprit gantil emprit peking emprit kaji ancel-ancel angin serigunting seriti sikatan tinil tuwu samber ulung bidhol manyar bangkong kentus ula dhawu ula irus ula jali ula lanang ula lumbu ula sungu ula walur ula welang ula gadhung ula lampar ula luwuk ula kayu ula kelasa
28,6 9,6 28,6 19 19 28,6 33,3 19 42,9 38,1 33,3 19 71,4 14,3 28,6
4,8 4,6 4,8 4,8 9,6 -
55 30 70 25 35 70 65 35 55 60 35 50 100 40 45
5 10 55 10 25 55 10 25 35 35 10 -
77,3 59,1 77,3 59,1 40,1 77,3 90,9 72,7 86,4 81,8 86,4 72,7 100 63,6 63,6
36,4 45,5 55,5 18,2 36,4 55,5 54,5 27,2 63,6 40,1 54,5 31,8 -
14,3 95,2 33,3 90,5 47,6 71,4 23,8 52,4
19 14,3
25 95 50 100 75 85 65 65
20 5 5 50
40,1 100 81,8 100 90,9 90,9 90,9 95,5
40,1 9,1 9,1 13,6 9,1 77,3
52,4 52,4 42,9 22
9,6 9,6 4,8 -
65 65 50 75
50 50 15 5
81,8 77,3 59,1 81,8
54,5 54.5 27,3 31,8
28,6 33,3 23,8 28,6 19 19 19 28,6 23,8 19 9,6 90,5 90,5 28,6 23,8 23,8 14,3 14,3 62 47,6 57,1 28,6 42,9
9,6 9,6 23,8 4,8 4,8 14,3 52,4 52,4 4,8 4,8 19 9,6 14,3 9,6 -
75 90 60 50 65 55 55 90 60 25 30 100 100 50 40 25 25 60 75 50 85 55 40
30 55 25 10 15 25 40 25 5 65 75 10 10 10 5 30 20 10 40 30 10
95,5 100 86,4 90,9 100 100 63,6 90,9 68,2 54,5 50 100 100 59,1 59,1 54,5 63,6 81,8 81,8 63,6 90,9 59,1 54,5
54,5 68,2 27,3 13,6 13,6 27,3 59,1 40,1 4,5 9,1 4,5 77,3 81,8 22,7 18,2 4,5 4,5 31,8 22,7 27,3 31,8 27,3 9,1
320 ula sawa ula silara ula weling bajul uler jembut dudhuk kuning dudhuk macan dudhuk ruyung dudhuk gerobok dudhuk menggala dudhuk.maling dudhuk entelong tawon gung tawon terasi/gagak tawon macan tawon menggala walang gancong walang jaran walang kalung walang godhong walang watu alang keretek walang seletet kupu abang kupu ijo kupu kithi kuwangwang kutis bapak pucung samber ilen limpit pucung angkut-angkut lare angon
33,3 23,8 33,3 90,5 38,1 62 47,6 9,6 33,3 14,3
9,6 9,6 -
60 50 50 100 75 70 70 25 70 55
50 25 10 50 35 5 20 -
86,4 86,4 81,8 100 90,9 90,9 72,7 59,1 81,8 63,6
50 27,3 22,7 45,5 54,5 9,1 9,1 27,3 9,1
42,9 14,3 28,6 42,9
9,6 -
55 30 75 45
5 15 45
59,1 63,6 90,9 72,7
9,1 13,6 31,8 45,5
42,9 23,8 42,9 38,1 23,8 38,1 23,8 23,8 19 42,9 33,3 23,8 4,8 42,9 9,6 42,9 23,8 38,1 66,7 9,6
9,6 9,8 19 4,8 -
45 25 50 45 35 50 35 50 30 50 60 55 65 65 15 65 65 40 85 70
20 15 30 25 25 40 20 25 25 35 30 55 45 10 45 30 15 55 45
68,2 50 72,7 72,7 63,8 72,7 68,2 81,8 68,2 81,8 81,8 81,8 81,8 90,9 63,6 90,9 90,9 63,6 90,9 81,8
27,3 27,3 31,8 27,3 31,8 59,1 22,7 31,8 9,1 36,4 40,1 40,1 59,1 45,5 18,2 45,5 45,5 22,7 60 45,5
Jikalau data-data pada tabel di atas dicermati, terlihat bahwa sangat banyak leksikon yang tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari khususnya di kalangan responden remaja. Tampak fenomena unik yang terjadi pada leksikonleksikon duren abang „duren merah‟, kara abang „kara merah‟, bayem eri „bayam berduri‟, jinten „jinten‟, kapulaga „kapulaga‟, kemukus „kemukus‟. Pada tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman responden remaja khususnya terhadap leksikon-leksikon tersebut cukup tinggi sedangkan tingkat penggunaannya
321 semuanya hampir 0%. Hal yang sama juga terjadi leksikon kelompok fauna seperti pada leksikon generik bango „bangau‟, jalak „jalak‟, dan leksikon spesifik kuntul „kuntul‟, jalak cemeng ‘jalak hitam‟, dan bajul „buaya‟. Pengetahuan mereka tentang semua entitas di atas diperoleh melalui transfer pengetahuan dari generasi pendahulu dan juga melalui media, seperti TV atau buku-buku dan majalah, bukan melalui interaksi langsung dengan entitas acuannya. Di samping karena populasi sangat jarang, tidakadanya interdependensi terhadap entitas acuannya juga menjadi penyebab dari fenomena ini. Sementara itu, fenomena yang sedikit berbeda terjadi pada leksikon legundi (fitex trifolia), dan jajang cemeng „bambu hitam‟ Tingkat pemahaman dan penggunaan, khususnya generasi muda, terhadap ketiga leksikon di atas adalah 0%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga leksikon tersebut tidak ada dalam verbal repetoire mereka karena mereka tidak paham sehingga tidak pernah menggunakannya dalam percakapan sehari-hari mereka. Berdasarkan pengamatan di lapangan, populasi entitas legundi masih sangat banyak, namun karena tidak adanya ketergantungan terhadap entitas acuannya menjadikan leksikon ini tidak dipahami dan tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka, Sementara itu, untuk leksikon jajang cemeng „bambu hitam‟ populasinya hampir punah dan seandainya masih ada lingkungan tempat tumbuhnya sangat jauh dari jangkauan masyarakat, yakni di daerah hutan. Sementara itu, leksikon yang terancam punah, tidak saja terjadi pada leksikon nomina, tetapi juga pada leksikon verba. Keterancaman ke arah kepunahan ini ditemukan pada kelompok leksikon verba yang terkait dengan
322 verba pengolahan tanah yakni melar „membajak tanah sawah/kebun dalam keadaan kering‟, mberubuk „membuat tanah menjadi gembur‟, dan ngeremponi „meretakan tanah sawah sebelum ditanami‟ dan leksikon verba yang mengacu pada aktivitas berburu berburu, seperti nggeladag „berburu binatang hutan‟, mbelor „berburu binatang hutan dengan menggunakan lampu sorot, dan ason-ason „berburu binatang hutan dengan menggunakan asu (anjing). Ketidakmunculan kelompok leksikon pertama pada percakapan sehari-hari mereka, khususnya responden remaja, disebabkan oleh kekurang-mampuan mereka membedakan bentuk aktivitas yang diacu oleh ketiga leksikon tersebut. Di samping itu, mereka tidak pernah terlibat dalam aktivitas tersebut walaupun pada kenyataan di lapangan aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut masih cukup banyak muncul. Sementara itu, untuk leksikon kelompok kedua yang mengalami keterancaman ke arah kepunahan dilatari oleh jarangnya aktivitas acuannya dilakukan saat ini dan juga ketiga verba tersebut sudah tergantikan oleh verba BI berburu. Beberapa leksikon verba lingkungan alam BU yang mengalami keterancaman ke arah kepunahan, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6.41 Leksikon Verba Bahasa Using yang Hampir Punah Leksikon BU melar ngeremponi nguter mberubuk. ason-ason mbelor medhok
Remaja TPh (%) TPg (%) 57,1 71,4 52,4 4,8 33,3 4,8 62 23,8 76,2 -
Responden Dewasa TPh (%) TPg (%) 80 70 80 65 80 70 80 65 80 35 55 35 90 65
TPh (%) 81,8 90,9 100 86,4 95,5 59,1 95,5
Tua TPg (%) 68,2 77,3 81,8 77,3 31,8 31,8 72,7
323 Di samping leksikon-leksikon verba yang telah diulas di atas, ada dua leksikon
yang
juga tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari,
khususnya responden remja. Fenomena yang terjadi pada leksikon verba nguter „memindahkan bibit padi atau entitas lainnya ke tempat penanaman permanen‟ dan medhok „bertempat tinggal sementara di gubuk pada lahan kebun atau sawah selama musim panen‟ disebabkan oleh tidak akrabnya kelompok responden ini dengan aktivitas yang diacu, karena aktivitas nguter dan medhok biasanya dilakukan oleh orang dewasa. 6.4 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Tergeser Ada beberapa alasan sosial mengapa GTBU dari menggunakan BU dala kehidupan mereka sehari-hari beralih menggunakan bahasa lain. Di samping karena menganggap BU kurang prestisius, rendahnya rasa bangga terhadap bahasa ibu yang ada pada diri mereka, dan adanya perubahan pola hidup adalah penyebab lainnya. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa di samping mengalami kebertahanan dan penurunan, ada sejumlah leksikon lingkungan alam BU yang mengalami pergeseran. Bentuk pergeseran yang terjadi adalah (1) entitas yang diacu tetap namun nama entitasnya tergantikan oleh leksikon dalam bahasa lain dan (2) fungsi entitas-entitas tertentu leksikonnya tergantikan oleh fungsi tanaman/entitas lain. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud
324 6.4.1 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Nama Entitas Tergantikan Bahasa Lain Rendahnya rasa bangga terhadap bahasa ibu yang ada pada seseorang atau pada sebuah guyub tutur merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran suatu bahasa. Fenomena ini juga terjadi pada penutur BU, perasaan rendah diri menggunakan BU karena, terutama orientasi kebahasaan mereka yang cenderung menggunakan bahasa yang berprestise lebih tinggi, seperti BJ dan BI. Pada tabel berikut dapat dilihath beberapa contoh entitas yang dulunya menggunakan leksikon BU namun pada saat ini namanya tergantikan oleh leksikon bahasa lain. Tabel 6.42 Perangkat Leksikon Bahasa Using dengan Nama Tergantikan Bahasa Lain Leksikon BU elas sambulan godhogan
bagu manting pecari tunjung kembang wangsa kembang sundel kembang serngenge kembang gantil kembang menur
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Leksikon Pengganti buah padi padi liar
Bahasa,Leksikon Pengganti BI BI
pajangan
BJ/BI
godhong so daun salam bunga kantil teratai kenanga
BJ BI BJ BI BJ/BI
bunga sedap malam
sedep malem
BJ
bunga matahari
bunga matahari
BI
bunga /kembang sepatu
kembang sepatu
BI
bunga melati
bunga melati
BI
buah padi jenis padi yang tumbuh di sela-sela tanaman padi utama yang tingginya melebihi padi-padi lainnya setandan pisang (biasanya yang sudah matang) beserta sebagian batang yang dipajang di depan rumah orang yang punya hajatan daun melinjo muda daun salam bunga cempaka bunga teratai bunga kenanga
325 Dari sejumlah entitas yang acuannya tetap tetapi namanya tergantikan oleh leksikon bahasa lain yang tertera pada tabel di atas juga dapat terlihat bahwa leksikon BU yang tergantikan dalam bahasa lain paling banyak ditemukan pada leksikon yang diacu oleh leksikon bunga terutama pada bunga yang mempunyai peran sosial dan budaya yang cukup penting dalam kehidupan GTBU, seperti kembang pecari, kembang wangsa, kembang sundel, dan kembang menur. Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa di samping kembang mawar „bunga mawar‟, ketiga jenis kembang
yang disebutkan pertama merupakan
elemen dari kembang telon ‘bunga tiga jenis‟ yang harus ada pada ritual santet atau ritual slametan lainnya. Fenomena yang terjadi pada leksikon kembang sundel khususnya, adalah tergantikannya leksikon BU yang diacu oleh entitas tersebut oleh bahasa lain disebabkan oleh adanya perasaan risih GTBU jikalau mengucapkan kata sundel. Seperti diketahui bahwa kata tersebut memiliki konotasi negatif, yakni mengacu pada PSK (pekerja seks komersial) yang bercitra miring di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu, tergantikannya leksikon BU terkait dengan kembang menur yang berubah menjadi leksikon kembang melati adalah karena pengaruh dari media, khusunya siaranTV tentang flora dan budaya yang di dalamnya ada ulasan tentang bunga melati. Penyebab lainnya adalah perias pengantin yang kebanyakan berasal dari etnik non-Using yang pada setiap kegiatan merias menggunakan leksikon bunga melati yang dalam BU adalah kembang menur.
326 6.4.2 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Fungsi Tergantikan Fungsi Entitas Lain Deraan modernisasi yang menimpa kehidupan GTBU menimbulkan adanya perubahan pola hidup mereka. Hal ini salah satunya terlihat pada aspek kehidupan yang berorientasi pada kepraktisan. Hal tersebut telah merubah pola interaksi, ineterelasi, dan interdependensi mereka terhadap lingkungan alam tempat
tinggalnya,
memanfaatkan
dari
sangat
mengangkrabi,
mengetahui,
memahami,
sumber daya lingkungan menjadi sebaliknya. Salah satu
dampaknya adalah rendah atau berkurangnya ketergantungan dan pemanfaatan mereka terhadap sumber daya alam tersebut
yang dapat berujung pada
ketidakakraban dan dan ketidaktauan tentang manfaat/fungsi entitas-entitas yang ada di dalamnya. Semua hal ini adalah akibat dari sudah ditemukan atau sudah tersedianya entitas-entitas pengganti, seperti yang terjadi kebanyakan
pada
fenomena beberapa entitas tanaman obat dan bumbu yang diacu oleh leksikonnya masing-masing. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis entitas yang fungsinya digantikan oleh fungsi entitas lain. Tabel 6.43 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Fungsi Entitas Tergantikan Fungsi Entitas Lain Leksikon BU FLORA Sempol
kembang bintang
Gloss dan penjelasannya dalam BI
Fungsi
Entitas pengganti
tanaman yang berbunga putih menyerupai lengkuas yang tumbuh di pinggir parit tanaman berbatang lunak dengan daun mahkota berwarna putih dan berjumlah lima yang tumbuh di tembok-tembok pekarangan rumah
sebagai obat tetes mata tradisional
obat tetes mata kimiawi
sebagai obat tetes mata tradisional
obat tetes mata kimiawi
327 sembung
dilem
legundi
urang-aring
Luntas Teki
PERALATAN Samir
kepang
kisa rinjing Welit bencorong siwur
pohon sembung (tumbuhan perdu, daun berwarna hijau keabuabuan, tumbuh di pekarangan rumah pohon dilem (tanamaberbatang lunak, daun bergerigi dan berbau wangi) tumbuhan perdu berdaun hijau keunguan, tumbuh di pekarangan rumah, atau pagar-pagar tanaman. urang-aring (tumbuhan yang tumbuh di pekarangan, pematang sawah, bau daun langu beluntas rumput teki
sebagai obat panas dalam
larutan penyegar penurun panas dalam
campuran boreh bayi
bedak bayi
sebagai bahan untuk mengusir myamuk (dengan cara dibakar)
obat nyamuk bakar
sebagai bahan untuk luka dan penyubur rambut
obat merah atau yodium
sebagai penghilang bau badan ramuan untuk boreh yang dapat menghangatkan badan
deodorant boreh kemasan produski pabrik jamu
daun pisang yang dipotong sedemikian rupa untuk alas kue atau tumpeng anyaman silang miring terbuat dari daun kelapa
sebagai alas tumpeng atau kue yang biasanya diletakkan di atas piring, lepekan atau nyiru atau nampan sebagai atap terob atau dinding bangunan tidak permanen atau gubuk
kertas tisue atau kertas lainnya
wadah terbuat dari anyaman daun kelapa (tempat ayam) wadah berbentuk persegi empat terbuat dari anyaman daun kelapa daun kelapa kering yang disusun untuk atap tempurung kelapa untuk takaran beras gayung terbuat dari batok kelapa
sebagai tempat ayam ketika dibawa ke tempat lain.
irus
cedok/ sendok yang terbuat dari tempurung kelapa
geladhag
lantai terbuat dari bambu
kemarang
bakul nasi terbuatdari anyaman bambu yang bingkainya terbuat dari rotan
sebagai tempat untuk wadah sesuatu. sebagai atap bangunan untuk menakar beras untuk yang diberi tangkai untuk mengambil air di tempayan atau tempat lain untuk mengambil nasi
untuk lantai gubug yang lingkungan yang tanahnya agak lembab/becek untuk tempat nasi setelah dimasak
tenda yang bisa dibongkar pasang keranjang terbuat dari rotan. keranjang plastik alang-alang atau genteng timbangan besi gayung plastik sendok nasi terbuat dari plastik atau logam lantai semen atau ubin keranjang plastik atau magic jar
328 budhag tumbu b eranding cantuk
wadah (bakul) besar yang terbuat dari anyaman bambu bakul bertutup terbuat dari anyaman bambu
untuk menyimpan hasil panen (padi, kedelai, jagung, dan sebaginya). untuk tempat nasi kala bepergian
tali yang terbuat dari sayatan-sayatan bambu ulekan yang terbuat dari pangkal batang bambu.
untuk mengikat padi atau entitas lainnya untuk melumatkan atau menggerus bumbu
Di samping memuat beberapa contoh leksikon
karung plastik rantang aluminium atau palstik tali plastik ulekan terbuat dari batu atau selep bumbu
yang fungsi entitasnya
digantikan oleh fungsi entitas lain, tabel di atas juga memuat sejumlah leksikon peralatan terbuat dari bahan tertentu dengan
fungsinya masing-masing.
Kepraktisan yang ditawarkan oleh penggunaan peratan pengganti, di samping karena mudah mendapatkannya, menyebabkan GTBU beralih menggunakan peralatan tersebut yang berdampak pada tidak diakrabinya penggunaan peralatan lama sehingga leksikonnya pun tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka.