249
EKSISTENSI TARI BALI DAN JAWA DALAM BAHASA INDONESIA DAN INGGRIS Ni Ketut Dewi Yulianti, Rinto Widyarto, Ni Ketut Yuliasih Program Studi Seni Karawitan, Program Studi Pendidikan Sendratasik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected] Abstrak Ide awal dari penelitian ini terinspirasi dari visi ISI Denpasar untuk menjadi centre of excellence. Untuk menjadi pusat unggulan dan menghasilkan lulusan yang unggul, kemampuan berbahasa Inggris memegang peranan yang sangat penting. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris baik mahasiswa maupun dosen yang ada di lingkungan ISI Denpasar adalah dengan membuat inovasi dalam pengajaran tari Bali dan Jawa dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris bagi mahasiswa ISI Denpasar, yang dikemas dalam buku dwi-bahasa (Indonesia-Inggris). Selain sebagai sarana peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, hasil penelitian ini juga dapat mendukung persebaran kebudayaan Bali dan Jawa ke dunia internasional. Pengajaran tari bagi mahasiswa asing di ISI Denpasar dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sementara ini tidak dilengkapi buku panduan berbahasa Indonesia-Inggris (bilingual) sebagai acuan mahasiswa asing maupun dosennya. Dengan buku panduan yang merupakan luaran dari penelitian ini, kiranya mahasiswa dapat lebih cepat dalam mendalami pemahaman tentang eksistensi tari Bali dan Jawa. Metode yang ditempuh dalam penelitian ini adalah metode penelitian penerjemahan bahasa yang dikombinasikan dengan metode penelitian seni tari, yang diawali dengan mengumpulkan informasi tentang eksistensi tari Bali dan Jawa, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hasil penerjemahan tersebut diujicobakan dalam pengajaran tari bagi mahasiswa jurusan tari ISI Denpasar. Hasil penelitian ini berupa deskripsi eksistensi tari Bali dan Jawa dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang kemudian dicetak berupa buku teks berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris ber-ISBN yang dapat dijadikan referensi dan panduan bagi dosen pengajar dan mahasiswa ISI Denpasar yang sedang belajar tari Bali dan Jawa, dan juga bagi sanggar tari Bali dan Jawa yang memiliki siswa asing. Key words: inovasi, eksistensi, tari Bali dan Jawa, dan dua bahasa. Abstract The initial idea of this research is inspired by the vision of ISI Denpasar for being the centre of excellence. In order to be the centre of excellence and producing great scholars, the ability of speaking English plays an important role. One of the ways of improving the ability of speaking English of both students and lecturers of ISI Denpasar is by making an innovation in teacing Balinese and Javanese dances by using Indonesian and English for the students which is presented in a bilingual book (Indonesian-English). Besides being a means of enhancing the ability of speaking English, the result of this research can also support the spread of Balinese and Javanese cultures internationally. The teaching of dance for the international students of ISI Denpasar by using both English and Indonesian is not completed with an Indonesian-English book (bilingual) as the reference for the students and the lecturers. By using this book which is the result of this research, the students are hoped to understand the existence of Balinese and Javanese dances more quickly. The method adopted in this research is the translation research methods combined with dance research method, which is started with collecting information about the existence of Balinese and Javanese dances, then translated into English. The translation results are tested in teaching dance to students of dance department at ISI Denpasar. The results of the research in the form of description of the existence of Balinese and Javanese dances, which is then printed in the form of Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
250 bilingual textbook with ISBN as a reference and guidance for the lecturers and students at ISI Denpasar who are studying Balinese and Javanese dances, and also for sangar (clubs) of Balinese and Javanese dance that have international students. Key words : innovation, existence, Balinese and Javanese dance, and two languages PENDAHULUAN Visi Institut Seni Indoensia (ISI) Denpasar adalah untuk menjadi pusat unggulan (centre of excellence) dalam bidang penciptaan, pengkajian, dan penyaji serta pembina kesenian baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Meningkatkan kemampuan bahasa Inggris dosen dan mahasiswa dengan menyiapkan buku panduan dalam bahasa Indonesia-Inggris yang berisi tentang eksistensi tari Bali dan Jawa merupakan salah satu upaya yang dapat mendukung tercapainya visi tersebut. Buku panduan pengajaran tari Bali dan Jawa dalam bahasa Inggris akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi dosen pengajar maupun mahasiswa terutama mahasiswa asing yang belajar seni tari. Para dosen pengajar akan secara langsung dapat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Hasil penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi dosen pengajar dan mahasiswa ISI Denpasar, namun juga bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia seni, khususnya seni tari, mengingat pulau Bali yang merupakan daerah kunjungan wisata yang sangat terkenal di dunia, yang selalu dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dengan tujuan tidak hanya berwisata atau berbinis, namun juga untuk mempelajari seni budaya Bali dan Jawa. Sanggar-sanggar seni yang tersebar diseluruh Bali juga dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai acuan yang baku dalam mengajarkan tari kepada orang asing, sehingga hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk memperkenalkan budaya Bali dan Jawa ke dunia Internasional. Tulisan ini membahas eksistensi tari Bali dan Jawa serta terjemahannya dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan teori penerjemaha, dengan penyajian hasil penelitian secara deskriptif. . METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yaitu dengan menyiapkan buku panduan pengajaran tari Bali dan Jawa ber-ISBN sebagai lanjutan dari penelitian tahun pertama, serta membuat DVD rekaman pembelajaran tari Bali dan Jawa dalam bahasa Inggris. Lokasi penelitian ini adalah di Denpasar. Publikasi hasil penelitian melalui seminar internasional dan jurnal terakreditasi Mudra. HASIL DAN PEMBAHASAN Eksistensi Tari Bali 1 Aspek Tari dan Kepenarian Tari Bali yang terdiri dari bermacam-macam bentuk baik tari tunggal (solo), duet (berpasangan) dan tarian kelompok tidak terlepas dari empat aspek yang ada di dalamnya, untuk dapat menentukan kwalitas kepenariannya. Aspek-aspek tersebut antara lain: agem, tandang, tangkis dan tangkep. Agem dalam tarian Bali merupakan gerakan pokok yang dilakukan dalam posisi di tempat (non-lokomotif). Contoh agem antara lain: mungkah lawang, ngembat, ngelung, dan butangwesari. Tandang adalah gerakan tari yang dilakukan secara berpindah tempat (lokomotif). Yang termasuk gerak tandang seperti: ngumpal, malpal, milpil, seregseg, gandanggandang. Tangkis adalah gerak tari yang dilakukan dalam posisi diam di tempat, tapi terdapat lebih banyak variasi dibandingkan agem yang biasanya untuk mendukung pendramaan seperti: ulapulap, nabdab geleng, nabdab urangke, nabdab gelangkana. Sedangkan tangkep adalah menyangkut masalah penjiwaan atau penyertaan rasa gerak dari dalam seperti: ekspresi marah, sedih, terkejut, dan takut. Di samping aspek-aspek tersebut ada pula istilah-istilah yang berkaitan dengan kualitas gerak yang dibawakan serta penjiwaannya seperti adung, pangus dan lengut. Istilah adung digunakan untuk menyebutkan seorang penari yang oleh penonton dirasakan sangat cocok, sesuai, atau tepat dalam membawakan suatu peran atau tarian (baik yang memakai lakon maupun tanpa lakon) berdasarkan bentuk postur tubuhnya (wiraga misalnya: seorang penari oleg tamulilingan Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
251 akan dikatakan tubuh yang semampai, berperangai lemah lembut, berwajah cantik yang postur tubuhnya sama, berwatak halus dan dengan penari pria dengan rupa yang tampan). Pasangan penari oleg tamulilingan seperti ini akan dikatakan pasangan adung yang berarti cocok. Kalau terjadi sebaliknya dikatakan tusing adung (tidak cocok), atau matah (mentah). Pangus, adalah istilah yang diperuntukan kepada seorang penari, biasanya dalam sebuah dramatari, yang berhasil membawakan suatu peran sekalipun tidak memiliki persyaratan yang ideal untuk peran yang dibawakan. Contohnya: seorang penari bertubuh agak kurus, tidak terlalu tinggi, tidak begitu gagah, dengan wajah yang tidak terlalu tampan, namun ketika membawakan tokoh Gatutkaca dalam dramatari Parwa atau Patih Prebangsa dalam dramatari Gambuh ternyata ia berhasil membawakan penjiwaannya yang matang di atas panggung. Ketidak tepatan postur, dan wajah tidak menjadi kendala bagi penari ini untuk membawa tokoh Gatutkaca atau Prebangsa. Lengut, hampir sama pengertiannya dengan pangus, yaitu seorang penari tepat membawakan suatu karakter namun lebih menonjolkan kelucuannya. Misalnya: seorang penari dengan tubuh yang kurus, sedikit tinggi mampu membawakan tokoh dalam dramatari Wayang Wong dengan ciri khas dan karakter tokoh yang dibawakan. Abra dalam bahasa Indonesia berarti gagah dan berwibawa, istilah ini diperuntukkan bagi seorang penari yang gagah dan tampan serta berwibawa yang cocok membawakan tokoh raja dalam suatu tarian baik yang berlakon maupun tanpa lakon dalam bentuk dramatari, ataupun sendratari. Kalau yang terjadi sebaliknya dikatakan tengal atau tidak punya wibawa. Taksu, atau kekuatan dalam yang bersifat spiritual, adalah salah satu faktor yang sangat menentukan bagi suatu penyajian tari Bali. Walaupun seorang seniman secara teknis sudah menguasai, bila dilihat tanpa disertai taksu, maka penampilannya hambar tanpa daya tarik. Oleh sebab itu seorang penari Bali sering kali melakukan berbagai upaya spiritual agar bisa metaksu. 2 Karakterisasi Tari Berdasarkan karakternya tarian-tarian Bali dapat dibedakan menjadi dua yaitu tari putra yang meliputi semua jenis tari yang menampilkan watak laki-laki baik ditarikan oleh penari putra maupun putri, dan tari putri yang meliputi semua jenis tarian yang menampilkan watak wanita, walaupun dibawakan oleh penari putra. Tarian putra selanjutnya masih bisa dibedakan menjadi tari putra keras/gagah yang meliputi: tari Baris, Jauk Keras, Trunajaya, Wiranta,dan tari putra manis/alus seperti Topeng Dalem, Kebyar Duduk, Panji dalam Gambuh. Dalam tari putri juga terlihat tari-tarian yang dapat dikategorikan tari putri keras yaitu: Condong Lenggong, KakanKakan Gambuh, Limbur, Desak dan Liku (dalam Arja). Tari-tarian yang mempunyai watak campuran atau putri dan putra, atau keras dan halus seperti : Panji Sumirang, Margapati, Tenun dan lain-lain yang biasa disebut tari bebancihan (Dibia, 1999:8). Atas dasar bentuk koreografinya tari-tarian dapat diklafisikasikan menjadi beberapa bentuk yakni tarian tunggal/tarian yang dibawakan oleh satu orang penari (solo). Contohnya : tari Baris Tunggal, tari Margapati, tari Wiranata, tari Panji Semirang, tari Taruna Jaya, tari duet (berpasangan) atau tarian yang dibawakan oleh 2 orang penari, contohnya: tari Oleg Tamulilingan, tari Cendrawasih dan tari kelompok/tarian, misalnya : tari Wirayuda, tari Puspawresti dan tari Ciwanataraja. 3 Fungsi Tari Bali Tarian-tarian Indonesia ditinjau dari fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu: tari-tarian upacara, tari-tarian hiburan, dan tari-tarian pertunjukan. Yang termasuk dalam tari-tarian upacara adalah tari-tarian magis yang biasanya dipakai oleh masyarakat primitif untuk mempengaruhi alam, tari-tarian ritual yang diadakan oleh masyarakat pada waktu ada upacara. Adapun yang termasuk tari-tarian hiburan adalah tari-tarian dimana titik berat tarian tersebut bukanlah keindahan tetapi lebih pada segi hiburan dan umumnya merupakan tari pergaulan seperti: tarian Joged dari Bali, tari Ledek dari Jawa dan tarian Ronggeng dari Sumatra. Sedangkan tari pertunjukan adalah tari klasik, tari romantik dan tari kreasi baru. Tari pertunjukan ini nilai seninya sangat diutamakan. Sedangkan fungsi tari Bali berdasarkan ritual dan sosial, sesuai keputusan seminar seni sakral dan profane bidang tarian tahun 1971 di Denpasar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
252 a.Tari Wali yaitu tari-tarian yang ditarikan di pura-pura yang memiliki nilai-nilai religius, sangat disakralkan (disucikan dan dikramatkan) karena melibatkan benda-benda sakral. Pementasan kesenian ini tidak boleh sembarangan melainkan harus pada waktu dan tempat tertentu berkaitan dengan pelaksanaan upacara ritual misalnya: tari Rejang, tari Sanghyang, tari Baris Gede, dan lainlain. b.Tari Bebali yaitu tarian yang berfungsi sebagai pengiring upacara, umumnya tarian ini memakai lakon (ceritera) seperti tari Gambuh, Wayang Wong, Wayang Sudamala. c.Tari Balih-balihan meliputi jenis-jenis tari yang lebih menonjolkan nilai-nilai entertaimen dan estetis, yang pertunjukannya lebih bersifat dan bersuasana sekuler. Kesenian ini dapat dipentaskan kapan dan dimana saja tanpa ada batasan waktu, tempat serta peristiwa-peristiwa yang terlalu mengikat. Tarian balih-balihan ini sangat banyak jenisnya seperti: tari Joged, tari Janger, tari Tenun, tari Margapati dan tari Kekebyaran lainnya. 4 Tari dan Unsur-Unsur Dasarnya Gerak Materi baku dari tari adalah gerak. Gerak tari hanyalah gerakan-gerakan dari bagian tubuh manusia yang telah diolah dari gerak wantah menjadi suatu bentuk gerak tertentu, dalam istilah kesenian, gerak yang telah mengalami stilisasi atau distorsi. Dari gerak yang mengalami stilisasi inilah lahir dua jenis gerak tari yaitu gerak tari yang bersifat murni dan gerak yang bersifat maknawi. Gerak murni adalah gerak tari dari hasil penciptaan gerak wantah yang dalam pengungkapan tidak mempertimbangkan suatu pengertian tetapi lebih mementingkan faktor nilai keindahan dari gerak tarinya saja, misalnya seregseg, angsel dan lain-lain. Sedangkan gerak maknawi adalah gerak wantah yang telah diolah menjadi suatu gerak tari dalam pengungkapannya mengandung suatu pengertian atau maksud disamping keindahannya, misalnya: menggambarkan nelayan yang sedang mendayung dalam tari nelayan. Ruang Berbicara masalah ruang, ruang dapat dibagi menjadi dua yaitu ruang dari gerakan tubuh penari dan ruang pentas. Suatu tempat dimana tarian itu ditampilkan atau dipentaskan. Ruang dari gerakan tubuh manusia seperti: desain simetri dan asimetri; dimana simetri menghadirkan perasaan yang kokoh, sedangkan asimetri menghadirkan perasaan yang aktif, dinamis dan riang. Desain garis menimbulkan berbagai macam kesan seperti: garis lurus memberi kesan sederhana dan kuat, garis lengkung memberi kesan lembut, sedangkan garis tegak lurus memberikan kesan tenang, seimbang dan garis melingkar memberi kesan manis, sedang garis menyilang diagonal memberi kesan dinamis (Sedyawati, 1986: 24-25) Selain ruang dalam gerakan tubuh penari, ada ruang yang lain yaitu ruang pentas, dimana ruang pentas ini adalah tempat dimana suatu pertunjukan ditampilkan. Kemudian ada juga ruang arena dimana penonton bisa melihat/ menonton pertunjukan dengan jarak yang lebih dekat sehingga menghadirkan suasana yang lebih akrab. Iringan Secara tradisional musik dan tari erat sekali hubungannya satu sama lain, keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu dorongan dari naluri ritmis manusia. Iringan tari ada dua yaitu iringan tari secara internal dan eksternal. Iringan internal adalah iringan tari yang datang atau dimainkan oleh penari sendiri seperti: tepukan tangan, hentakan kaki atau krincingan gelang-gelang dari logam. Sedangkan iringan eksternal yaitu iringan yang datangnya dari luar tubuh penarinya seperti: alat musik tradisional gambelan, gambelan Gong Kebyar, Semarpegulingan, gambelan Gong Gede dan lain-lain. Iringan tari dibutuhkan sesuai dengan tema tarinya hingga nantinya dapat memberi ritme, tempo, dan pencipta suasana dalam suatu tarian. Tata Rias dan Busana
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
253 Busana adalah segala perlengkapan yang dikenakan diatas pentas oleh penari. Busana tari memberikan ciri khas suatu bangsa atau daerah. Busana pentas meliputi semua pakaian dan accessories yang dikenakan para penari dengan segala perlengkapan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh penonton. Demikian pula halnya dengan tata rias. Busana yang dipakai oleh penari, harus dipahami dan disesuaikan dengan kebutuhan penari supaya tidak mengganggu gerak tari. Di samping itu pemakaian warna dari busana disesuaikan dengan tokoh atau karakter yang dibawakan di atas pentas karena warna-warna itu bersifat simbolis. Seperti: warna putih berarti suci, warna merah berarti berani, dan sebagainya. Sedangkan tata rias akan menentukan wajah dan perwatakan serta memperkuat ekspresi. Tata rias harus dibedakan, mana tata rias untuk sehari-hari mana tata rias untuk pangung, karena kalau salah memberikan warna, hasilnya akan fatal sehingga tidak sesuai dengan karakter yang dibawakan karena fungsi tata rias disamping memperindah juga untuk memperkuat perwatakan. Tema Tema dalam suatu tarian dapat dibagi menjadi dua yaitu tema literer dan non literer. Tema literer adalah tari yang digarap untuk menyampaikan pesan-pesan seperti; cerita panji, pengalaman pribadi, kehidupan alam, kehidupan binatang, legenda, sejarah dan lain-lain. Sedangkan non literer adalah tarian yang digarap berdasarkan penjelajahan gerak, ruang, waktu dan tenaga, eksplorasi permainan suara dan unsur-unsur estetis lainnya. Tema-tema literer contohnya dapat diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata, tema yang diangkat dari flora dan fauna seperti: tari Cendrawasih, tari Kijang Kencana, tari Tani, tari Sekar Jempiring dan lain-lain. The Existence Of Balinese Dance 1 Aspects of Dance and the Dance Balinese dance, which consists of a variety of dance forms both single and pair dances is inseparable from the four aspects in it in order to be able to determine the quality of the dance. These aspects include agem, tandang, tangkis and tangkep. Agem in Balinese dance is a basic movement that is performed at the same place (non-locomotive). The examples of agem are mungkah lawang, ngembat, ngelung, and butangwesari. Tandang is how to move from one basic movement to another so it becomes one flow of movements that connects to each other. Tandang includes ngumpal, malpal, milpil, seregseg, gandang-gandang. Tangkis is a dance performed when the dancer remains quiescent, but there are more variations than agem which usually supports theatrical performance (pendramaan) like ulap-ulap, nabdab geleng, nabdab urangke, nabdab gelangkana. While tangkep is the facial expresion that reflects the soul of the dance such as the expression of anger, sadness, surprise and fear. Besides these aspects, there are also some terms related to the quality of movement and the soul reflection such as adung, pangus and lengut. Adung is the term used by the audience to describe the best dancer, the most suitable, or the dancer who is appropriate to play a character in a dance (either taking the story or not) based on body posture (wiraga, for example: a dancer of Oleg Tamulilingan with slim body, gentle mannered, beautiful face and the same posture, with such a mild-mannered and handsome). Oleg Tamulilingan dancers like this are called adung which means suitable. If the opposite occurs, it is called tusing adung (not suitable) or weird. Pangus is a term given to a dancer who usually performs in a theatrical dance (dramatari) and is successful to perform the character although they do not have ideal qualification for the charácter he/she performs. For example, although a dancer is very thin, not so tall, strong, and very good-looking, when he/she performs the character of Gatutkaca in a dramatari Parwa or Patih Prebangsa and Gambuh, he/she manages to bring great performance on the stage. The inaccuracy of posture and face is not an obstacle for the dancer to bring the figure Gatutkaca or Prebangsa. Lengut, almost has the same meaning with pangus that is a dancer who is more appropriate for a humorous character. For example a dancer with a thin body, a bit tall and is able to bring a high figure in dramatari Wayang Wong with the uniqueness and the character of the figure he performs. Abra (gagah) means manly and authoritative. This term is used for a dancer who is strong, handsome and has authoritative figures who is appropriate to perform the king figure in a dance Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
254 which is performed both in a play and without a play in the form of dramatari, or sendratari. If the opposite happens, it is called weird or having no power. Taksu or the inner spiritual force is one of the most determining factors for performing Balinese dance. Although, technically an artist has mastered the dance which can be seen from the perfection but if it is not accompanied with taksu, it will not look special, without no attraction. Therefore, a Balinese dancer often performs a variety of spiritual effort in order to get the inner spiritual force. 2 Dance Characterization Based on their characters, Balinese dances can be divided into two categories. First, the male dance that includes all types of dance featuring the character of good men that can be danced by both male and female dancers including all types of dance featuring the character of a woman, even if it is performed by male dancers. Male dances can still be divided into strong dance that includes Baris dance, Jauk Keras, Trunajaya, Wiranta, and refined male dance such as Topeng Dalem, Kebyar Duduk, Panji in Gambuh. Second, female dance also has strong character such as Condong Lenggong, Kakan-kakan Gambuh, Limbur, Desak dan Liku (in Arja). Dances that have a mixed character or male and female, or strong and refined dances such as: Panji Semirang dance, Mergapati dance, Tenun dance, etc which are called Bebancihan dance (Dibia, 1999:8). Based on the form of its choreography dance can be classified into some forms namely solo dance, performed by one dancer, for example: Baris Tunggal dance, Margapati dance, Wiranata dance, Panji Semirang dance, Teruna Jaya. Partner dance is a dance performed by two dancers, for examples Oleg Tamulilingan dance, Cendrawasih dance, and dance group which is performed in a group, for example: Wirayuda dance, Puspawresti dance, and Ciwanataraja dance. 3 Function of Balinese Dance Based on its function, Indonesian dances are divided into three categories namely ceremonial dance, entertainment dance, and performing dance. Ceremonial dance includes magical dance that is usually used by primitive societies to influence nature, ritual dances held by the society when they have ceremonies. Entertainment dance includes the dances aiming at entertaining and is usually categorised into social dance such as Joged dance from Bali, Ledek dance from Java, and Ronggeng dance from Sumatra. While performing dance includes classical dance, romantic dance, and new creation dance. These dances have their own primary art characteristic.Meanwhile, the function of Balinese dance should be based on ritual and social aspects. This is in accordance with the decision of sacred and profane art seminar on dance in Denpasar in 1971. This can be divided into three parts: a.Wali dance is the dance performed at the temples that have religious values, highly sacred (being purified and sacred) because they involve sacred objects. Wali dance should be performed in a certain time and certain place in relation to the implementation of such rituals. For example, Rejang Dance, Trance Dance, Baris Gede dance, etc. b.Bebali dance fucntions as accompaniment of ceremony, and the dance generally use the play such as Gambuh dance, Wayang Wong, Puppet Sudamala. c.Balih-Balihan dance includes the types of dance that highlight entertaiment and aesthetic values, whose show is more secular. This art can be performed anytime and anywhere regardless of time limit, place and events that are too binding. There are various kinds of BalihBalihan dance, such as Joged dance, Janger dance, Tenun dance, Margapati dance and other Kekebyaran dances. 4 Dance and Its Basic Elements Movement Basic material of dance is movement. Dance movements are the movements of parts of human body that have been processed from basic movement into a particular form of movement, in terms of art, which has been stylized or distorted. From the style of movement there are two types Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
255 of dance emerge namely pure dance movements and meaningful dance movements. Pure movement is the movement of dance that results in the creation of basic movement that does not consider a meaning or sense but is more concerned only with the aesthetics of the movement factor such as seregseg, angsel, etc. But the meaningful movement is the basic movements that have been processed into a dance and they contain a meaning or intention in addition to its beauty, for example describing the fishermen who were paddling in the Nelayan dance. Space Space is divided into two types namely spaces of movement of the dancers and stage space. It is the place where the dance is performed. Space of human body movement such as symmetrical and asymmetrical designs. A symmetrical design presents a strong feeling, while the asymmetrical one brings an active, dynamic and cheerful feeling. Line design causes various impressions such as straight lines give the impression of simple and robust, curved lines give the impression of a softness, while the vertical line gives the impression of calm, balanced, and circular lines give the impression of sweetness, while crossed diagonal lines giving a dynamic impression (Edy Sedyawati, 1986:24-25) In addition to space in a dancer body movement, there is another space where a dance is performed. There is also a space where spectators can see/watch the show with a shorter distance so as to present a more intimate atmosphere. Accompaniment Traditionally, music and dance are closely related to each other i.e. both come from the same source, namely the encouragement of rhythmic of human instinct. There are two types of dance accompaniment namely internal and external accompaniments. Internal accompaniment is a dance accompaniment played by the dancers themselves such as clapping, pounding feet or the sound of bracelets which are made from metal. While the external accompaniment is accompaniment which comes from outside such as gambelan traditional musical instrument, gambelan Gong Kebyar, Semar-pegulingan, gambelan Gong Gede, etc. Dance accompaniment is required in accordance with the theme of the dance so that it can give rhythm, tempo, and creates a good mood in a dance. Makeup and Costume Costume is all the equipments worn by the dancers on stage. Dance costume gives typical characteristic of a nation or region. Costume for performance includes all costume and accessories worn by the dancers with all their equipments both visible and invisible to the audience. Costume worn by the dancers must be understood and adapted to the needs of dancers in order not to disturb the dance movement. In addition, the use of the colour of costume is adapted to the character who performed on the stage because the colour is symbolic. For example, white means pure or holy, red means bold, and so on. The makeup will determine the facial expression and the characters and also strengthen the expression. Makeup must be distinguished into makeup for everyday life and makeup for performance because if one gives the inappropriate color, the result will be fatal. It will not fit with the performance since the function of makeup is not only for beauty but also for strengthening the characters. Theme Theme in a dance can be divided into two namely literary and non-literary themes. Literary theme is a dance that is created in order to convey messages such as the story of Panji, personal experience, natural life, animal life, legends, history, etc. While non-literary is a dance that is choreographed based on the exploration of movement, space, time and energy, exploration of sound elaboration and other aesthetic elements. The examples of literary themes can be taken from the epics of Ramayana and Mahabharata, the theme of flora and fauna such as Cendrawasih dance, Kijang Kencana dance, Tani dance, Sekar Jempiring dance, etc. Eksistensi Tari Jawa
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
256 Seni tari memiliki dampak perkembangan yang positif. Tari-tarian yang merupakan puncak-puncak kebudayaan tari yang ada di seluruh tanah air, antara lain tari-tarian Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Munculnya puncak-puncak kebudayaan tari berasal dari kesenian-kesenian gaya lokal yang diakui oleh masyarakat pendukungnya sebagai hasil kesenian tari yang konvensional dengan gaya atau ciri khas dari daerah masing-masing. Sudah barang tentu seperti tari Jawa khususnya, terdapat berbagai gaya lokal. Jawa Barat terbagi dalam gaya Betawi, Sunda, Banyumas. Jawa Tengah terbagi dua, yakni gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta, sedangkan Jawa Timur antara lain terdapat gaya Madura dan Banyuwangi. Adanya berbagai gaya dari tari Jawa sendiri, maka penetapan dan pemilihan obyek dalam penelitian ini adalah tari Jawa gaya Yogyakarta, untuk tari putri dan putra gagah. Pada umumnya seni tari merupakan suatu ekspresi secara sadar, sebagai ungkapan untuk menanggapi alam sekeliling dengan melalui bahasa gerak. Melalui gerak tubuhnya seorang penari merasakan suasana dan ritme-ritme alam sekitar. Sebagai media komunikasi ia mengekspresikan perasaannya, sehingga dapat berhubungan dengan sesama dan dunianya. Demikian pula halnya dengan tari tradisi yang tumbuh dari kehidupan, merefleksikan kehidupan, dan merupakan kehidupan itu sendiri. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila perkembangan seni tradisi itu tetap dapat dimengerti dan dihayati. Edi Sedyawati menyatakan, bahwa jika seni tradisi sebagai kesenian yang memiliki sejumlah norma yang menetap, maka dapat dilihat bahwa tujuannya ialah untuk mengembangkan rasa keindahan, dengan pengolahan teknik melalui jalur tertentu yang dianggap paling efektif.1 Seni tari sebagai bentuk aktivitas budaya tidak bisa lepas dari seluruh kompleksitas yang ada di dalam lembaga budaya tersebut. Seluruh imajinasi tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan dari pengaruh sosial yang ada ketika karya itu tercipta. Seluruh aktivitas sosial senantiasa kait mengait, saling tergantung secara integral mencerminkan suatu kosmos, dalam hal ini dunia kraton.2 Tari klasik gaya Yogyakarta yang terdiri dari tari putri, tari putra halus, dan tari putra gagah adalah juga produk seni tradisi yang merupakan salah satu bentuk aktivitas budaya yang cukup populer di kalangan masyarakat seni Yogyakarta. Tari klasik gaya Yogyakarta yang semula dikembangkan oleh dan di lingkungan kraton ini kemudian semakin berkembang luas, sehingga masyarakatpun juga merasa memiliki dan aktif mengambil bagian dalam pelestarian dan pengembangannya. Tari Jawa klasik gaya Yogyakarta sering juga disebut sebagai Joged Mataram. Kecuali lebih singkat untuk ditulis dan diucapkan, nama ini juga lebih tepat dipakai untuk merangkum pengertian tari yang bersifat kedaerahan dan memiliki nilai seni budaya yang tinggi, sebagaimana kebesaran yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram.3 Di dalam tari klasik gaya Yogyakarta dikenal pula istilah anjoged dan jogedan. Anjoged berarti menari dengan penuh keyakinan disertai gerakgerak mantap, berisi, dan indah dilihat, sedangkan jogedan hanyalah menggerakkan bagian-bagian tubuh tanpa makna dan keyakinan. Dalam peng-hayatannya, seorang penari harus berbekal ilmu Joged Mataram, karena teknik tari merupakan unsur lahiriah atau wadahnya, sedangkan ilmu Joged Mataram adalah isinya. Ilmu Joged Mataram itu sendiri terdiri dari 4 (empat) unsur, yaitu: 1. Sawiji (konsentrasi) 2. Greged (dinamik/ semangat) 3. Sengguh (percaya diri) 4. Ora Mingkuh (tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran).4 Mempelajari suatu bentuk tarian, apalagi tari klasik, sebenarnya menyangkut beberapa hal yang tidak dapat diabaikan. Aspek tersebut antara lain menyangkut masalah bakat, minat, ketekunan, dan kesungguhan. Semua aspek tersebut saling terkait dan sangat perlu, agar dapat dengan mudah menguasai tarian tersebut. Mengingat bahwa tingkat kesulitan teknik tari Jawa klasik ini cukup tinggi, maka dipandang perlu untuk menulis secara jelas tentang teknik tari Jawa. 1
Edi Sedyawati. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Seri Esni 4. Jakarta: Sinar Harapan, 1981: 119. Y.Sumandiyo Hadi. “Perkembangan Tari Tradisional: Usaha Pemeliharaan Kehidupan Budaya.” Dalam Beberapa Cattan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Editor Soedarso SP. Yogyakarta: BP ISI, 1991: 100. 3 Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenal Ta-ri Klasik Gaya Yogyakarta: Proyek Pengembanagn Kesenian DIY, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981:34. 4 Ibid., 1981: 88 – 93 2
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
257 Hal ini dimungkinkan untuk memperlancar dan mempermudah bagi mahasiswa untuk mempelajari teknik tari Jawa. Setiap karya seni sangat perlu dikomunikasikan kepada masyarakat, dengan alasan bahwa komunikasi itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kesenian. Di dalam seni tari orang berkomunikasi lewat gerak-gerak tubuh yang diatur dengan irama, dan dalam komposisi tertentu. Semakin baik teknik yang dimiliki oleh seorang penari, maka penari tersebut akan semakin yakin akan dirinya dalam berkomunikasi pada penonton. Sal Murgiyanto menyatakan bahwa teknik tari bagi penari adalah vokabuler, dengan apa ia berbicara. Lebih menguasai teknik berarti banyak yang bisa dibicarakan dengan lebih menarik. Kemahiran dan keahlian akan teknik adalah sangat mutlak, agar kita dapat berbicara secara bebas dan meyakinkan.5 Untuk meningkatkan kemampuan teknik tari, seorang penari tidak saja hanya dituntut untuk terus berlatih dan menari, akan tetapi kewajiban lain seorang penari adalah menonton saat latihan-latihan maupun pementasan pertunjukan tari. Dengan cara itu seorang penari akan dapat mengetahui bagaimana teknik yang baik dan benar dalam melakukan gerak tari tersebut. Tari terdiri atas unsur-unsur dasar wiraga, wirama dan wirasa. Penulisan ini lebih mengarah pada wiraga saja. Unsur dasar lainnya wirama akan dapat dimengerti setelah penguasaan terhadap wiraga sudah betul-betul jelas dan mapan. Setelah itu baru mengarah pada unsur dasar wirasa secara bertahap melaui proses rasa sedikit demi sedikit dan secara kontinyu lewat penghayatan gerak tersebut, sehingga wiraga di sini akan lebih dianggap sebagai hal yag paling penting dalam pengenalan bentuk tari putra gagah Jawa gaya Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya pengertian dari ketiga unsur tersebut adalah : - Wiraga, merupakan keseluruhan dari unsur gerak tari, baik berupa sikap, gerak dan penggunaan tenaga serta proses geraknya penari, ataupun kesatuan seluruh unsur dan motif gerak tari yang terdapat dalam satu teks tari. - Wirama, adalah berkaitan dengan pengertian irama gendhing, irama gerak dan ritme gerak. Seluruh gerak dari tubuh harus selaras dengan wiramanya, baik dari ketukan hitungan tari, kecepatan pukulan balungan dalam suatu gendhing, maupun suasana gendhingnya. Unsur wirama inilah yang nantinya akan membuat panjang-pendeknya suatu frase gerak. - Wirasa, akan lebih banyak berkaitan erat dengan “isi” dari suatu tari. Dalam studi tari Jawa tentang “isi” ini akan berkaitan dengan pengertian dalam filsafat joged Mataram, Hasta Sawanda untuk Surakarta dan kalau di Bali dikenal dengan nama “Taksu”, sehingga dalam hal ini penjiwaan seorang penari harus lebuh dulu menerapkan wiraga dan wirama tarinya sesuai dengan arti, makna dan tujuan dari tari tersebut yang akhirnya akan tercermin penjiwaan yang utuh. Dengan demikian ketiganya betul-betul merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan serta berurutan dan tidak bisa dibolak-balik. Semuanya selaras dengan simbol gerak yang diterapkannya. The Existence Of Javanese Dance Dances have a positive developmental impact. The dances, which are the peak of the culture come from the regions in Indonesia namely Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, and Irian Jaya. The peak of dance culture is from the local art that is recognized by the local community as a result of conventional dance style or the characteristic of each area. Of course, for the Javanese dance, in particular, there are a variety of local styles. West Javanese dance style is divided into Betawi, Sunda, Banyumas. Central Javanese dance is divided into two namely the style of Yogyakarta and Surakarta style, while East Java, among others, there are Madura and Banyuwangi styles. Since there are various styles of Javanese dance, this study focuses on Yogyakartan style dance, namely male and female dances. In general, the art of dance is an expression of the conscious respond to the surrounding through language of movement. Through the gestures of the dancers, the atmosphere and rhythms of nature can be felt. As a medium of communication, the dancers express their feelings in the 5
Sal Murgiyanto. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari).Jakarta: Deviri Ganan,1993: 38. Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
258 dance so that they can relate to each other and their world. Similarly, the dance tradition emerges from life, reflects on the life, and it is life itself. Therefore, it is not surprising that the development of traditional art can still be understood and internalized. Edi Sedyawati states that the traditional art which has a number of norms that can be seen from its aim that is to develop a sense of beauty. It is processed through certain techniques that are considered the most effective medium. The art of dance as a form of cultural activity cannot be separated from all of the complexities involved in the cultural institutions. The whole imagination cannot be released and separated from social influence that exists when the work was created. The whole social activities are always related, interdependent and integrated. It reflects the cosmos, in this case, the royal life. Yogyakarta classical dance style consists of female dance, refined male dance, and strong male dance are also a traditional art products, which is quite popular among the people of Yogyakarta. Classical dance style of Yogyakarta which was originally developed by and in the palace was then increasingly widespread. Thus, the community also have the sense of belonging and take an active part in the preservation and development. The Yogyakarta style Javanese classical dance is often called as Joged Mataram. Besides being shorter to be written and said the name, it is also used to represent a more precise understanding of dance that is regional and has a high value of art and culture, as well as the greatness that is owned by the Kingdom of Mataram. In the classical dance style of Yogyakarta, there are also two terms namely anjoged and jogedan. Anjoged means dancing with confidence with steady motions, strong and wonderful views, while jogedan means just moving the body parts without meaning and belief. In understanding a dance, a dancer must have the knowledge of Joged Mataram, because the dance techniques are the physical elements, whereas the knowledge of Joged Mataram is the content. The knowledge of Joged Mataram itself consists of 4 (four) elements, namely: 1. Sawiji (concentration) 2. Greged (dynamism/spirit) 3. Sengguh (confidence) 4. Ora Mingkuh (brave to face obstacles) Learning a form of dance, especially classical dance, is actually about a few things that cannot be ignored. This includes several aspects regarding the problem of talent, interest, perseverance, and sincerity. All these aspects are interrelated and very necessary in order to be able to easily master the dance. Given that the technical difficulty of classical Javanese dance is quite high, it is necessary to write clearly about Javanese dance techniques. It is possible to expedite and make it easier for students to learn the techniques of the Javanese dance. Each work of art is very important to be communicated to the community with a reason that the communication itself is an integral part of art activities. In the art of dance people communicate through dance movements which are arranged into the rhythm of the body, particularly composition. The better technique which is owned by a dancer is that the more they will be sure of himself in communicating with the audience. Sal Murgiyanto stated that the dance technique for a dancer is their vocabularies with what they speak. The more they master the technique, the more they can talk and communicate interestingly and excitingly. Proficiency and ability will be very absolute techniques so they can speak freely and convincingly. To improve the technical skills of dance, a dancer is not just simply required to keep practicing and dancing, but other obligations as a dancer is to watch the exercises and dance performances. Through this way, a dancer will be able to know good and true technique of performing the dance. Dance consists of the three basic elements namely wiraga, wirama and wirasa. This study is more directed at wiraga. The other basic element, wirama is understood after mastering the wiraga clearly and firmly. After that, wirasa will be gradually mastered through the a bit-by-bit process and continuously through the understanding and appreciation of the motion, so wiraga will be considered as the most important thing in the introduction form of Yogyakarta style Javanese strong male dance. The detail explanation of these three elements are as follows: - Wiraga is an element of the overall motion of the dance, both in the form of attitude, movement and the use of energy and the dancers’ movement processes, or the unity of all elements of dance movements and patterns contained in the text of the dances. Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
259 -
Wirama is associated with a sense of the rhythm of the song called gendhing, and rhythm of motion. The entire motion of the body must be in harmony with the wirama, both of the beats of the dance, the speed of balungan in a gamelan, and the atmosphere. This element of Wirama which will make the length of a movement. - Wirasa, is more closely related to the "contents" of a dance. In a study of Javanese dance about "content" it would be relevant for understanding the philosophy of Joged Mataram, Hasta Sawanda for Surakarta and in Bali it is known as "Taksu", so in this case the inspiration of a dancer must first apply wiraga and dance wirama in accordance with the complete meaning, significance and purpose. The complete union of these aspects cannot be separated and cannot be inverted. Everything is in harmony with the symbols used in it. SIMPULAN Menerjemahkan eksistensi tari Bali dan Jawa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dalam penelitian ini telah melibatkan penari dan dosen tari Bali dan Jawa, yang sangat siginifikan dalam memberikan masukan untuk pemilihan kata sehingga menghasilkan penerjemahan yang sepadan dengan bahasa sumbernya.Masih ada begitu banyak informasi terkait tari Bali dan Jawa dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Namun dengan adanya keterbatasan dalam berbagai hal, penyajian dalam paper ini masih sangat terbatas, sehingga masih terbuka peluang bagi peneliti lainnya untuk mengembangkan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Proyek Pengembanagn Kesenian DIY, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang, Seni Pertunjukan Bali, Masyarakat Seni Pertunjuklan Indonesia. Murgiyanto, Sal. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari). Jakarta: Deviri Ganan. Sal Murgiyanto. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari).Jakarta: Deviri Ganan, Sedyawati, Edi. (ed) 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______ 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Seri Esni 4. Jakarta: Sinar Harapan Y.Sumandiyo Hadi. 1991. “Perkembangan Tari Tradisional: Usaha Pemeliharaan Kehidupan Budaya.” Dalam Beberapa Cattan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Editor Soedarso SP. Yogyakarta: BP ISI
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154