BAB IV KESIMPULAN Analisis pada skripsi ini memperlihatkan kontras antara penggunaan bentuk pasif dalam bP dan bI. Pada bentuk pasif, terdapat inferioritas pada pasiennya karena sebagai pihak yang menderita tindakan. Namun, tidak semua bentuk pasif dapat dikatakan menginferiorkan pasiennya, bentuk pasif yang dapat dikatakan menginferiorkan pasiennya adalah: •
Bentuk klausa adalah pasif (dalam bP verba être + participe passé dan dalam bI dengan imbuhan di-, ter-, agentif atau ke-/-an) dengan pasien dan agen sama-sama adalah nomina manusia. Verba yang hadir dalam klausa juga berkonotasi negatif. Klausa semacam ini adalah klausa yang paling menginferiorkan pasiennya
•
Pasif yang tidak menghadirkan agen juga dapat dikatakan menginferiorkan pasiennya jika verbanya berkonotasi negatif dan secara konteks dapat dilakukan oleh manusia. Klausa semacam ini menginferiorkan pasien tapi tidak sekuat jenis pertama
Ditemukan bahwa pasif kategori pertama hanya sebesar 1,3% dari seluruh jumlah bentuk pasif yang terkumpul dari data. Hasil ini jauh lebih kecil daripada perkiraan. Pasif lebih banyak digunakan dalam klausa yang nominanya bukan manusia, dengan me-personifikasi-kan nomina tersebut. Bentuk pasif jika diurutkan dari tingkat inferioritas (pada pasien) tertinggi, maka urutannya akan menjadi seperti berikut:
59
1. Pasien Manusia + Verba berkonotasi negatif + Agen Manusia 2. Pasien Manusia + Verba berkonotasi negatif 3. Pasif Tindakan dengan pasien manusia dan konotasi verba netral atau positif Perbandingan persentase keempat jenis diatesis di atas dalam total data yang terkumpul disajikan dalam piramida di bawah ini
1
1,3%
2
9,3%
3
21%
Bagan 3 Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa dalam penyampaian pesan, bP cenderung menghindari cara penyampaian yang ada unsur inferioritas di salah satu komponen wacananya. Penghindaran bentuk pasif dalam bP sudah menjadi rahasia umum. Di dalam sistem bahasanya, bP menyediakan fasilitas bagi penuturnya untuk menggunakan bentuk pasif tapi bentuk tersebut tidak disukai. Penjelasan yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya hanya mengatakan bahwa bentuk pasif dirasa tidak natural. Anggapan tidak natural ini terbentuk secara alami dan tanpa sadar. Anggapan tersebut barangkali dipengaruhi oleh budaya dan latar belakang sejarah
60
prancis. Pada masa rezim lama yaitu sebelum Revolusi Prancis, masyarakat dibagi berdasarkan 3 golongan di antaranya golongan aristokrat, golongan bangsawangereja dan golongan tiers états. Golongan gereja pada masa itu punya hak-hak istimewa karena gereja masih merupakan suatu kekuatan sedangkan golongan bangsawan dan aristokrat mendapatkan status mereka berdasarkan keturunan. Golongan tiers états yang merupakan mayoritas pada saat itu menderita ketidakadilan dan ekstorsi lewat penarikan pajak. Karena dendam dan amarah ini, golongan tiers états menggulingkan rezim Louis XVI dan menghapus ketidaksetaraan. Setelah Revolusi Prancis pada abad ke 18, prinsip kesetaraan semakin diusung dan menjadi nilai mendasar bangsa tersebut yang dikenal dengan liberté, égalité, fraternité. Pasal-pasal mengenai kesetaraan dan keadilan juga dicetuskan. Prinsip ini bertolak belakang dengan konsep bentuk pasif yang mengandung unsur inferioritas. Pola pikir, prinsip dan budaya ini juga dapat menular ke penggunaan bahasa, sehingga, di luar ranah sintaksis, penghindaran bentuk pasif juga dapat, barangkali, menjadi cerminan pola pikir orang Prancis. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, bentuk pasif dapat digunakan sebagai bentuk yang lebih halus saat menyampaikan perintah atau pertanyaan. Pada bentuk pasif, yang dipentingkan adalah state of affair dan bukan pelakunya. (103) Pintunya ditutup, ya! (104) Kamu tutup pintu, ya! Klausa (103) tidak mementingkan siapa pelakunya, yang dipentingkan adalah tindakannya. Dengan tidak secara langsung menyebut pelaku yang
61
diharapkan, unsur memerintah akan kurang terasa. Kehalusan ini penting karena bI sangat memperhatikan keharmonisan. Oleh karena keharmonisan dan kesopanan sangat diutamakan, penutur bI juga menjadi terbiasa dengan pola seperti itu. Ini ada hubungannya dengan pengaruh dari bahasa jawa yang merupakan bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Indonesia. Pasif tidak selalu sebagai bentuk yang lebih halus. Kalimat seperti ‘Joko ditipu Tono’ juga sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dianggap mengganggu. Meskipun adanya inferioritas pada bentuk pasif seperti itu, nampaknya unsur inferioritas tersebut tidak menjadi masalah bagi penutur Indonesia. Fenomena ini barangkali ada kaitannya dengan latar belakang Indonesia sebagai negara jajahan. Selama 3 abad ini, mungkin terbentuk juga mental inferior pada masyarakat Indonesia, sehingga dalam pemakaian bahasa, unsur inferioritas juga tidak dirasa janggal. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Tagalog di Filipina. Bahasa tagalog juga banyak menggunakan bentuk pasif dalam sehari-hari, dan Filipina pernah dijajah Spanyol dan Amerika. Dalam terjemahan pun banyak ditemukan bentuk aktif bP yang diterjemahkan menjadi bentuk pasif bI. Untuk lebih jelas, angkanya disajikan dalam tabel di bawah ini Kategori
Jumlah
Bentuk aktif bP yang diterjemahkan menjadi pasif bI
591
Bentuk aktif dengan pronom on yang diterjemahkan
336
62
menjadi pasif bI Bentuk aktif pronominal yang diterjemahkan menjadi
135
pasif bI Tabel 1 Perbedaan karakter 2 bahasa tidak hanya terletak pada sintaksis dan morfologisnya. Latar belakang sejarah dan budaya yang membentuk pola pikir penuturnya turut menentukan karakter bahasanya. Meskipun tidak terasa, tapi pengaruhnya nyata terjadi pada kehidupan sehari-hari. Pemaparan mengenai relasi antara tanggapan terhadap inferioritas dan pengaruhnya pada penggunaan bentuk pasif dalam skripsi ini merupakan suatu ide yang baru dan tentu masih memerlukan peninjauan dan penelitian yang lebih lanjut.
63