BAB IV IMPLIKASI PERAN AKAL MANUSIA DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 190 DAN 191 TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
A. Hubungan Akal terhadap Pendidikan Islam Pendidikan Islam, tujuan akhirnya adalah mengarahkan agar anak didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah. Selain itu juga membina dan mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam, sehingga peserta didik mampu mengamalkan syari’at Islam secara benar sesuai pengetahuan agama.1 Peserta didik yang didambakan dalam pendidikan Islam adalah menjadi insan kamil yaitu manusia yang cerdas, mampu berpikir tetapi dapat menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.2 Tanggung jawab di sini adalah tanggung jawab pendidikan intelektual, maksudnya adalah pembentukan dan pembinaan berpikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan hukum, peradaban ilmiah, dan modernisme serta kesadaran berpikir dan berbudaya.3 Dengan demikian anak akan menjadi kreatif, kaya imajinasi dan cerdas serta ilmu yang didapatkan benar-benar teraktualisasikan. Pendidikan intelektual pada peserta didik merupakan penyadaran, pemberdayaan dan pengajaran bagi mereka. Oleh karenanya, pendidikan merupakan hal yang terpenting dan tak dapat dipisahkan
dari
kehidupan
manusia
yang
sekaligus
membedakan
keberadaannya dengan hewan. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan dengan instinknya. Sedangkan manusia belajar dengan daya piker yaitu kerja akal untuk menuju ke proses pendewasaan. Pendewasaan tidak akan tercapai tanpa adanya kecerdasan akal guna menuju ke kehidupan yang berarti. 1
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993),
hlm. 5. 2
Muslih USA (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogykarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 35. 3 Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad fil-Islam, (Bandung: asy-Syifa’, 1990), hlm. 270._
67
68 Abdullah Nasih Ulwan berpendapat bahwa pendidikan intelektual berpusat kepada tiga permasalahan,4 yaitu: 1. Kewajiban mengajar 2. Penyadaran berpikir 3. Pemeliharaan kesehatan intelektual 1. Kewajiban mengajar Tanggung jawab ini sangat berat, maka para pendidik dan orang tua harus mengajar anak-anaknya, menumbuhkan sikap mengembangkan ilmu dan budaya, serta memusatkan seluruh pikiran untuk mencapai pemahaman secara mendalam, pengetahuan yang mendasar, pengenalan yang matang dan benar, maka yang pertama diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah membaca yaitu wahyu pertama yang diterima Rasul mengabadikan pentingnya belajar dengan sebuah ungkapan “iqra” bacalah (belajarlah).5 Dari proses membaca akan melahirkan “menulis”, baru melangkah ke proses “mengetahui” yaitu mengetahui sesuatu yang belum diketahui.6 Agar mampu “membaca” dengan tepat dan mendalam Allah memberikan kepada manusia suatu kemampuan kecerdasan berpikir yaitu akal. Akal merupakan sarana yang potensial untuk mengembangkan materi pelajaran yang didapat, ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban.7 Diamnya akal adalah berpikir tentang sesuatu dan merencanakan sesuatu yang akan dilakukan. Untuk itu Allah selalu senantiasa mendorong manusia agar memfungsikan akal pikirannya untuk menganalisa tanda-tanda kekuasaanNya yang tampak dalam alam semesta ciptaan-Nya, sebagaimana FirmanNya dalam surat Ali Imran ayat 190 dan 191.
4
Ibid. A. Busyairi Harits, Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 143. 6 Dengan menyebut segala sesuatu yang terhampar di alam semesta dan yang berada di balik alam semesta, barulah manusia dapat beriman melalui kesadarannya. Jadi, dengan melalui proses membaca dan menulis serta mengetahui tingkat atau derajat yang tinggi sebagaimana dinyatakan Allah dalam surat al-Muja>dilah ayat 11. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 5. 7 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 140. 5
69
ﺕ ِﻟﺄﹸﻭﻟِﻲ ٍ ﺎﺎ ِﺭ ﻟﹶﺂﻳﻨﻬﺍﻟﻴ ِﻞ ﻭ ﻑ ﺍﻟ ﱠﻠ ِ ﺧِﺘﻠﹶﺎ ﺍﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻮ ﺴ ﺧ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳﻭ ﻢ ﻮِﺑ ِﻬﺟﻨ ﻋﻠﹶﻰ ﻭ ﺍﻮﺩﻭ ﹸﻗﻌ ﺎﺎﻣﻪ ِﻗﻴ ﻭ ﹶﻥ ﺍﻟ ﱠﻠﻳ ﹾﺬ ﹸﻛﺮ ﻦ (ﺍﱠﻟﺬِﻳ190)ﺏ ِ ﺎﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒ ﺏ ﻋﺬﹶﺍ ﺎﻚ ﹶﻓ ِﻘﻨ ﻧﺎﺒﺤ ﺳ ﺎ ِﻃﻠﹰﺎﻫﺬﹶﺍ ﺑ ﺖ ﺧ ﹶﻠ ﹾﻘ ﺎﺎ ﻣﺑﻨﺭ ﺽ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻮ ﺴ ﺧ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟ ﻓِﻲ
(191-190 :ﻋﻤﺮﺍﻥ-( )ﺍﻝ191)ﺎ ِﺭﺍﻟﻨ
(190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (191) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran: 190-191)8 2. Penyadaran berpikir Orang tua dan pendidik seyogyanya memberikan penyadaran berpikir anak sejak masa kanak-kanak hingga ia mencapai masa dewasa dan kematangan. Kedewasaan dan kematangan yang diharapkan di sini benar-benar mengetahui siapa dirinya dan apa yang diperbuat, baikkah atau burukkah itu. dan mempertanggungjawabkan keadaannya dari segala perbuatannya.9 Di samping itu, harus dikembangkan secara maksimal, dan berisikan program “remedial” dan program “penyegaran”, sehingga akan dapat menolong peserta didik (anak) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.10 Yang dimaksud penyadaran berpikir, sebagaimana yang dikutip oleh Nasih Ulwan adalah mengikat anak dengan:11 Al-Islam, baik sebagai din maupun negara (daulah) Al-Qur’an, baik sebagai sistem maupun perundang-undangan Sejarah Islam, baik sebagai kejayaan maupun kemuliaan Kebudayaan Islami yang umum, baik sebagai ruh maupun pemikiran dan gerakan dakwah Islami 8
Soenarjo dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 109-
110. 9
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 14. 10 Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 68. 11 Nasih Ulwan, op. cit., hlm. 310.
70 Peserta didik yang diberikan kebebasan berpikir dan diberi rangsangan-rangsangan akan selalu berpikir untuk mencari tahu tentang sesuatu. Di saat berpikir dalam memecahkan persoalan-persoalan tertentu, ia akan sadar melakukan sejenis usaha uji coba secara rasional dalam benaknya. Ia akan meneliti dalam benaknya solusi-solusi yang berbedabeda untuk memecahkan problemnya. Dengan berpikir secara kontinu ia akan menolak solusi-solusi yang keliru/tidak relevan dan legitimit.12 Dari sinilah ia akan belajar dengan jalan berpikir mencari solusi-solusi baru bagi problem-problem dirinya, mengungkapkan korelasi antar segala sesuatu, menanti kesimpulan-kesimpulan dasar, dan teori-teori baru, serta ia (peserta didik/manusia) akan memperoleh kepuasan dan petunjuk kepada penemuan dan penciptaan yang baru pula. 3. Pemeliharaan kesehatan intelektual Tanggung jawab yang dijadikan oleh Allah sebagai amanat yang dipikulkan di atas pundak para orang tua dan pendidik adalah memperhatikan kesehatan akal anak-anak dan peserta didik. Oleh karena itu, mereka harus menjaga dan memelihara akal mereka, sehingga pemikiran mereka tetap sehat, ingatan mereka tetap kuat, benak mereka tetap jernih, dan akal mereka tetap matang.13 Kesehatan dalam diri peserta didik harus dididik semaksimal mungkin karena kesehatan adalah kekayaan yang paling berharga dalam diri manusia. Jikalau kita sakit, pastilah kita akan lemah kemauan dan pikiran kita seakan-akan sudah tak ada gunanya lagi bagi masyarakat. Lain halnya jikalau kita sehat lagi cerdas dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat. Tanggung jawab inilah yang harus kita pegang kuat-kuat baik kita sebagai pendidik, orang tua, ulama, orang biasa dan lain sebagainya. Kesehatan intelaktual dilaksanakan dalam rangka menjaga manusia dari kerusakan-kerusakan yang mempunyai dampak yang besar terhadap
12 Muhammad Utsman Najati, Jiwa Manusia dalam Sorotan al-Qur’an, (Jakarta: Cendekia, 2001), hlm. 180. 13 Nasih Ulwan, op. cit., hlm. 310.
71 akal, ingatan dan fisik manusia secara umum, khususnya bagi para kaum muslimin. Kerusakan itu antara lain dengan: a. Minum-minuman keras dan berbagai bentuk macamnya. Semua ini dapat membunuh kesehatan dan mengakibatkan kegilaan. b. Kebiasaan onani. Hal ini dapat mengakibatkan kanker, melemahkan ingatan-ingatan dan menyebabkan kemalasan berpikir serta kelainan otak. c. Merokok. Di antara pengaruhnya terhadap akal adalah mengencangkan urat-urat syaraf, mempengaruhi ingatan dan melemahkan daya konsentrasi berpikir. d. Rangsangan. Rangsangan seksual, seperti menonton film-film porno, gambar-gambar telanjang dan drama-drama gila. Sebab, semua ini dapat memperhentikan fungsi akal, menimbulkan berbagai kelainan dan membunuh daya ingatan dan konsentrasi berpikir, di samping menyiakan-nyiakan waktu yang mahal.14 Pernyataan di atas, tidak menutup kemungkinan hanya terjadi pada peserta didik. Akan tetapi bisa saja menyerang atau dilakukan oleh kaum remaja dan siapa saja. Bila hal itu sudah terjadi pada peserta didik khususnya dan kaum muslim umumnya, maka tujuan utama dari pendidikan Islam belum dapat tercapai, yaitu sebagai manusia yang paripurna. Melainkan sebaliknya yaitu menjadi manusia yang paling hina karena dibawa kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.15 Supaya akal manusia terhindar dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat mengubah pikiran, maka perlu adanya pendidikan akal yang berdasarkan atas: a. Membebaskan akal dari semua kekangan dan belenggu. Bila akal kita selalu terbelenggu menutup kemungkinan akal akan tidak berfungsi yaitu berpikir tentang sesuatu.
14
Ibid., hlm. 322. Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, (Berkely: Mizan Press, 1989), hlm. 98.
15
72 b. Membangkitkan indra dan perasaan, karena hal itu merupakan pintu untuk berpikir. Akal harus disuguhi ide-ide atau permasalahan yang ada. c. Membekali berbagai ilmu pengetahuan yang bisa membersihkan akal dan meninggikan kriterianya,16 yaitu berusaha menghilangkan pikiran kotor dalam akal dan membekalinya dengan cahaya Ilahi serta membiasakan dzikir dan fikir. Kalau pendidikan akal ini bisa berjalan dengan baik, sudah tentu kegiatan-kegiatan aktivitas-aktivitas dan rencana-rencana manusia akan terselesaikan dan terselenggara dengan mulus kelak akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kemudian pemahaman terhadap potensi berpikir yang dimiliki akal sebagaimana yang telah dipaparkan di atas memiliki hubungan yang amat erat dengan pendidikan. Hubungan tersebut antara lain terlihat dalam merumuskan tujuan pendidikan. Benyamin Bloom, Cs, dalam bukunya Taxonomy of Educational Objective (1956) yang dikutip oleh Nasution, membagi tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah (domain), yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Tiap-tiap ranah dapat dirinci lagi dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik yang hierarkis. Ranah kognitif dan afektif tersebut sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja dari akal. Dalam ranah kognitif terkandung fungsi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi.17 Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi akal pada aspek berpikir (tafakkur), sedangkan dalam ranah afektif terkandung fungsi memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi nilai, dan mengkarakterisasi.18 Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi akal pada aspek mengingat (tazakkur) sesuai dalam surat Ali Imran ayat 190-191.
16
Syaikh Muhammad Abdul Wahab Fayid, Pendidikan dalam al-Qur’an, terj. AlTarbiyah fi al-Qur’an, (Semarang: Wicaksana, 1989), hlm. 11. 17 Nasution, Azas-azas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 50. 18 Ibid.
73 Dengan demikian, akal adalah motor dari segala kegiatan pendidikan Islam untuk menuju ke peradaban yang maju, dimulai dari proses
membaca,
menulis,
memahami,
mengetahui,
menghayati,
menelaah, menentukan tujuan, materi dan metode adalah membutuhkan kerja akal untuk dikembangkan. Tanpa akal pendidikan Islam belum tentu tatanannya terlaksana dengan baik. Sebaliknya tanpa pendidikan Islam, akal akan berjalan seenaknya sendiri. Karena pendidikan Islam mempunyai kode etik dan moral serta batasan-batasan tertentu untuk mengendalikan hawa nafsu ke perbuatan buruk yang nantinya akan menjerumuskan ke lembah hitam. Maka antara akal dan pendidikan Islam sangat berkaitan dan berhubungan sekali, seperti hubungan guru dan murid. Jelasnya guru adalah pendidikan Islam yang mempunyai segudang pengetahuan dan menyampaikan materi-materi pelajaran. Sedangkan murid adalah akal yang menjalankan materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.
B. Urgensi Peran akal dalam surat Ali Imran ayat 190 dan 191 terhadap Pendidikan Islam Para filosof muslim yang menyatakan secara umum bahwa tujuan manusia adalah mengenal Tuhan melalui pengetahuannya. Jalan pengetahuan itu dapat dilalui manusia dengan mempergunakan akal atau kecerdasan. Jika pendidikan dimaksudkan sebagai jalan pencapaian maksud hidup manusia, maka pendidikan haruslah merupakan jalan pengetahuan.19 Sejalan dengan pandangan demikian, maka sasaran utama pendidikan ialah akal atau kecerdasasan manusia. Pernyataan ini relevan dengan kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia lengkap dengan potensinya berupa akal dan
19
Pengetahuan adalah konsekuensi dari jalan pengetahaun dalam arti jika menempuh dalam pengetahuan, maka orang akan sampai ke pengetahuan. Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikian Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 222.
74 kemampuan belajar.20 Sebagaimana Firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 30-32 sebagai berikut:
ﻦ ﻣ ﺎﻌﻞﹸ ﻓِﻴﻬ ﺠ ﺗﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋﻞﹲ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻲ ﺟﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇﻧ ﻚ ِﻟ ﹾﻠ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻋ ﹶﻠﻢ ﻲ ﹶﺃﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ ﹶﻟﺪﺱ ﹶﻘﻭﻧ ﻙ ﻤ ِﺪ ﺤ ِﺑﺒﺢﺴ ﻧﺤﻦ ﻧﻭ ﺎ َﺀﺪﻣ ﺍﻟﺴ ِﻔﻚ ﻳﻭ ﺎ ﻓِﻴﻬﺴﺪ ِ ﹾﻔﻳ ﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻢ ﺿﻬ ﺮ ﻋ ﻢ ﺎ ﹸﺛﺎ َﺀ ﹸﻛ ﱠﻠﻬﺳﻤ ﻡ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺩ ﻢ ﺀَﺍ ﻋ ﱠﻠ ﻭ (30)ﻮ ﹶﻥﻌ ﹶﻠﻤ ﺗ ﺎ ﻟﹶﺎﻣ (31-30 :( )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ31) ﲔ ﺎ ِﺩ ِﻗﻢ ﺻ ﺘﻨ ﺆﻟﹶﺎ ِﺀ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ ﻫ ﺎ ِﺀﺳﻤ ﻧِﺒﺌﹸﻮﻧِﻲ ِﺑﹶﺄﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ
(30) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? “Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (31) Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (QS. alBaqarah: 30-31)21 Lembaga pendidikan Islam baik yang masih tradisiopnal maupun yang sudah modern perlu menintegrasikan antara subjek-subjek keagamaan dengan subjek-subjek sekuler dalam satu paket yang namanya pembelajaran. Pembelajaran akan menghasilkan kualitas peserta didik, bilamana peserta didik mempunyai kemampuan “3 H”, yaitu head (aspek kognitif dan kecerdasan otak), heart (aspek afektif dan kecerdasan emosi dan spiritual), dan hand (aspek psikomotorik dan kecakapan teknik) dapat terwujud.22 Dari ketiga kemampuan tersebut yang paling menentukan dalam kemajuan pendidikan adalah aspek kognitif (head). Sebabnya sederhana, kemampuan kognitif adalah sebuah kemampuan yang diperlukan oleh setiap manusia di dalam mengenali secara inteligen fenomena kehidupan, dengan kemampuan kognitif, manusia mampu mengenal
20
Hery Noor Aly, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insan, 2003), hlm. 11. Soenardjo dkk., op. cit., hlm. 13-14. 22 Ali Maksum, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, (Yogyakarta: IRCISOD, 2004), hlm. 286. 21
75 dan memecahkan masalah secara rasional, bernalar atau bila perlu dengan mengambil keputusan dan mempertanggungjawabkan alternatif pilihan,23 dengan kemampuan kognitif pula, manusia dapat mencapai tingkat bernalar yang bijak, mampu menyimpulkan memutuskan dan menilai. Sedangkan aspek afektif “heart” adalah kecerdasan spiritual atau emosional, yaitu suatu kemampuan mengelola diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa keberhasailan seseorang di masyarakat ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh prestasi akademik di sekolah, melainkan juga oleh kemampuannya mengelola diri, yang dilakukan dengan secara terus menerus berulang-ualng. Adapun ciri-ciri manusia yang mempunyai kecerdasan emosional sebagaimana yang dikutip oleh Deniel Goleman: The caracteristic emotional intelligence: abilities such as being able to motivate one selft and persist in the face of frustrations, to control impulse and deley gratification, to regulate one’s moods and keep distress from swamping the ability to think, to empathize and to hope. Ciri-ciri dari kecerdasan emosional ialah kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa.24 Dari kedua aspek di atas, yakni aspek kognitif dan afektif sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja akal. Kognitif erat kaitannya dengan aspek berfikir (tafakkur) dan afektif erat dengan aspek mengingat (tazakkur). Aspek ketiga psikomotorik adalah merupakan buah atau hasil dari aspek kognitif dan afektif. Tanpa adanya aspek psikomotorik, maka tujuan dan cita-cita hidup manusia atau pendidikan Islam belum dapat terwujud. Manusia yang mampu mempergunakan fungsi berfikirnya yang terdapat pada aspek kognitif dan fungsi mengingat yang terdapat dalam aspek efektif serta aktualisasi kedua
23 Winarno Surachmat dkk., Mengurai Benang Kusut Pendidikan, Gagasan: Para Pakar Pendidikan, (Jakarta: Transformasi UNJ, 2003), hlm. 31. 24 Daniel Goleman, Emotional Intelegensi, (New York: Batam Books, 1995), hlm. 36.
76 fungsi tersebut (berfikir dan mengingat)
yang terdapat pada aspek
psikomotorik adalah termasuk ke dalam kategori “ulul al-bab”.25 Berfikir, mengingat dan kelupaan merupakan variabel yang sangat penting dalam sebuah “pembelajaran”. Berkaitan dengan pemeliharaan ingatan berfikir dan mengurangi kelupaan, al-Qur’an menegaskan bahwa bila manusia lupa Allah SWT, hendaklah ia selalu menyebut-Nya, mengingat nikmat dan karunia-Nya, memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya, ciptaanNya.26 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat 24 sebagai berikut:
ﺏ ﺮ ﻲ ِﻟﹶﺄ ﹾﻗﺭﺑ ﻳ ِﻦﻬ ِﺪ ﻳ ﻰ ﹶﺃ ﹾﻥﻋﺴ ﻭ ﹸﻗ ﹾﻞ ﺖ ﻧﺴِﻴ ﻚ ِﺇﺫﹶﺍ ﺑﺭ ﺮ ﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﻪ ﻭ ﺎ َﺀ ﺍﻟ ﱠﻠﻳﺸ ِﺍ ﱠﻻﹶﺍ ﹾﻥ (24 :ﺍ )ﺍﻟﻜﻬﻒﺷﺪ ﺭ ﻫﺬﹶﺍ ﻦ ِﻣ Kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” (QS. al-Kahfi: 24)27 Al-Qur’an juga memuji orang-orang mukmin yang selalu mengingat Allah dan
menyifatkan
mereka sebagai orang-orang yang berakal.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat ali Imran ayat 190-191. karena mengingat Allah SWT. merupakan obat bagi penyakit lupa dan kelalaian dalam hati, maka Dia (Allah) memerintahkan kita untuk selalu mengingat-Nya siang, malam pagi maupun sore, kelak Allah akan selalu hadir dalam kalbu manusia. Anjuran untuk selalu “menyebut Allah” bila terjadi kelupaan memberikan suatu indikasi, bila diaplikasikan dalam teori belajar, bahwa bila seseorang lupa akan sesuatu objek, maka ia dituntut untuk mempelajarinya kembali, membaca kembali dan seterusnya.28
25 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, terj. Tafsir al-Ayah al-Tarbawy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 233. 26 Utsman Najati, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, terj. Al-Qur’an wa al-Ilm al-Nafs, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 233. 27 Soenardjo dkk., op. cit., hlm. 447. 28 Abdul Rahman, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 318.
77 Orang yang demikian itulah yang akan berkembang kemampuan intelektualnya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta emosionalnya dan mampu mempergunakan semuanya itu untuk berbakti kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Manusia yang demikian itulah yang harus menjadi rumusan tujuan pendidikan dan sekaligus diupayakan untuk mencapainya dengan sungguh-sungguh. Pendidikan Islam bersifat elastis dan selalu mengedepankan akal manusia. Pintunya terbuka lebar-lebar bagi setiap orang yang ingin belajar dan sanggup untuk memahami pengetahuan, mendorong siswa untuk terus menerus belajar dan melakukan penyelidikan (pemeliharaan), tanpa melihat batas umur.29 Karena tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk moral dan akhlak yang tinggi serta melakukan yang mulia. Pendidikan Islam harus dinamis dan menjadi obor dalam berpacu dan menghadapi perubahan sosial. Konservasi budaya yang selektif mengharuskan pendidikan untuk menumbuhkan pemahaman yang benar tentang kebutuhan dan tantangan masa depan manusia. Peradaban modern telah mengekspresikan berabagai kekhawatiran akan masa depannya. Munculnya ponemuanpenemuan baru dan teknologi yang semakin canggih telah membuat manusia semakin pesimistis. Untuk menanggulangi semua itu, pendidikan Islam perlu membangun kecerdasan dan memperkuat wawasan kepada peserta didik dalam membangun kecerdasan dan memperluas wawasan kepada peserta didiknya agar dapat mendayagunakan alam seisinya dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban.30 Kemajuan sebuah bangsa pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu sendiri dalam mendayagunakan sumber daya manusia melalui pergumulannya mengembangan ilmu pengetahuan. Pertama, Allah memerintahkan agar manusia senantaisa berfikir dan mendayagunakan pikirannya dalam memecahkan persoalan-persoalan hidup yang dihadapi, seperti dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Allah mencela orang yang emosional dan terburu-buru menyerah 29 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, terj. AlTarbawyyah al-Islamiyah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 32. 30 A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 42.
78 ketika menghadapi persoalan yang dianggap berat. Padahal Allah tidak akan memberikan cobaan kepada manusia (hamba) yang lemah. Karena cobaan yang diberikan Allah kepada hambanya sudah diatur sesuai dengan kekuatan hamba tersebut. Allah juga mencela orang-orang yang tidak realistic misalnya berdoa tanpa ikhtiar, cepat putus asa, mempercayai dukun, perbuatan seperti itu tidak akan memberikan jalan keluar, melainkan justru akan menjatuhkan martabat kemanusiaannya. Kedua, Allah telah melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu. Semua manusia khususnya kaum muslimin dan muslimat, baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Allah sangat mencela orang-orang bodoh, dan sebaliknya sangat mencintai orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu diwajibkan menyebarluaskan pengetahuannya kepada orang lain, dan mengamalkan pengetahuannya itu demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Ketiga, dengan akal manusia diperintahkan untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengelola alam demi keperluan hidupnya, tetapi juga dilarang untuk berbuat kerusakan dan pertumpahan darah. Dalam hal ini, Allah telah memberikan pernyataan-pernyataan penting dalam al-Qur’an yang berupa potensi-potensi besar yang ada di lautan, daratan dan ruang angkasa. Al-Qur’an juga memberikan postulat-postulat atau aksioma, sebagai kunci dalam memahami dan mendayagunakan aalam. Keempat, manusia diperintahkan untuk fantasyiru fi ardl (mengembara di muka bumi) dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Karena setiap bangsa oleh Allah diberikan keistimewaan sendiri-sendiri. Dan ilmu pengetahuan atau perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti, apalagi mundur, melainkan berpoutar dan berpindah dari suatu bangsa pada kurun waktu yang berbeda. Karena itu, kalau suatu bangsa ingin bangkit menguasai ilmu pengetahuan, maka perlu melakukan pengembaraan ke berbagai bangsa.
79 Kelima, kecintaan terhadap informasi atau pengetahuan yang akhirnya akan menumbuhkan kecintaan kepada kegiatan belajar.31 Sebagaimana kita ketahui, bahwa al-Qur’an yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca (iqra’),yaitu mengkaji tentang hakikat Tuhan, manusia, alam hubungan antar ketiganya serta fungsi masing-masing (QS. 96: 1-5). Pengkajian tentang Tuhan akan melahirkan idealisme dan nilaiu-nilai universal yang merupakan idealitas manusia dan pedoman hidup absolut. Dan pengkajian tentang manusia akan melahirkan ilmu-ilmu sosal kemanusiaan yang akan memberikan gambaran riil tentang kebutuhan, tujuan dan persoalan hidup, sedangkan pengkajian tentang alam akan melahirkan sains dan teknologi untuk sarana kehidupan. Senada dengan pernyataan di atas, UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organizazation) telah merumuskan empat visi dasar pendidikan untuk menghadapi abad 21, sebagaimana dikutip oleh Qadri Azizy.32 Pertama, learniong to think (belajar bagaimana berfikir), atau learning to know. Berfikir yang terus menerus itu bukan hal yang mudah. Termasuk di sini adalah sasaran agar berfikir secara rasional, tidak semata-mata mengikuti “membeo” bahkan tidak mandeg dan tumpul. Hasilnya akan menjadikan sesorang independen gemar membaca atau selalu belajar, mempunyai pertimbangan rasional tidak semata-mata emosional dan selalu ingin tahu segala sesuatu. Kedua, learning to do (belajar hidup atau belajar bagaimana berbuat atau bekerja). Pendidikan dituntut untuk menjadikan anak didik setelah selesai lulus mampu berbuat dan sekaligus mampu memperbaiki kualitas hidupnya. sesuai dengan tantangan yang ada. Dengan ketatnya kompetensi global, kita dituntut untuk mampu berkompetisi. Di samping kemampuan (skill) sangat diperlukan ketekunan, kerja keras, tanggung jawab,disiplin dan semacamnya sengat diperlukan untuk mampu berkompetensi secara ketat pula. Motivasi ini 31
Ibid., hlm. 42-43. A. Qodri Aziz, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 30-33. 32
80 sangat penting, sehingga menekankan kepada peserta didik bahwa bekerja adalah ibadah. Ini akan menjadi landasan peserta didik untuk persiapan kerja sercara profeisional. Ketiga, learning to be (belajar bagaimana tetap hidup) atau sebagai dirinya. Untuk dapat tetap hidup diperlukan pula “tahu diri”. Pendidikan haruslah mengajarkan kepada peserta didik agar menjadi tahu diri, sehingga sadar atas kekuaranganya. Kemudian mau belajar. Sadar atas kemampuannya akan membangkitkan kesadaran terhadap prestasi yang diperoleh. Ia tidak akan menuntut hal-hal yang aneh yang tidak realistic. Dengan “tahu diri” insya Allah anak akan terhindar dari sikap takabbur, riya’, paling pintar, ujub dan sesamanya. Hal ini akan menghasilkan sikap tahu diri, sikap memahami diri sendiri, sadar kemampuan diri sendiri dan nantinya akan mampu menjadikan dirinya mandiri serta sadar akan lingkungan agar bumi kita terjaga dan terpelihara.. Keempat, learning to live (belajar untuk hidup bersama-sama). ini merupakan dunia kenyataan, pluralisme. Hal ini akan dapat terwujud jika kita bersedia menerima kenyataan akan adanya perbedaan. Pemahaman terhadap pluralisme akan menyadarkan kita pada nilai-nilai univesal seperti HAM dan demokrasi. Abad 21 adalah abad global sekaligus plural. Di mana manusia dituntut untuk menguasi kecanggihan teknologi informasi. Cara yang dipilih adalah harus mau belajar bersama-sama antar agama, saling menopang kehidupan bersama. Asalkan tidak mencampuradukkan akidah masingmasing. Dari uraian di atas, pendidikan Islam dalam mengarungi dan menghadapi era globalisasi ini perlu mencakup visi dasar di atas. Hal ini semakin bermakna jika para pendidik lebih mampu mendasarinya dengan nilai-nilai agama. Dengan kata lain, agama seharusnya diajarkan dengan pendekatan yang sesuai dengan tuntutan yang sedang muncul, yakni tuntutan mellineum
ketiga.
Yang
akhirnya,
pendidikan
Islam
akan
mampu
menggantisipasi masa depan umat islam yang akan berhadapan dengan berbagai ideologi-ideologi besar dan tantangan-tantangan lain seperti:
81 1. Disintegrasi sosial, merosotnya nilai solidaritas 2. Makin majunya proses sekularisasi dan spesialisasi 3. Kecenderungan materialisme. Manusia mengukur segala sesuatu menurut kaca mata ekonomi, sehingga makin menyempitnya waktu sosial.33 Produk pendidikan Islam yang selama ini diajarkan pada peserta didik, seyogyanya mampu menciptkan tatatanan moral baru yang bersumber dari etika Islam yang menunju kepada universalisme. Hal ini akan dapat diwujudkan dengan meramu nilai-nilai yang mampu melindungi semua produk pemikiran manusia. Inilah tatatanan moral yang didambakan manusia di abad 21. Dengan demikian, pendidikan Islam harus mempertimbangkan manusia yang merupakan sasarannya sebagai makhluk yang memiliki akal dengan berbagai fungsinya yang amat variatif. Bertolak dari pertimbangan ini, maka materi atau mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum juga harus berisi mata pelajaran yang dapat merangsang pertumbuhan fungsi akal pikiran tersebut, seperti mata pelajaran matematika, sejarah, logika, tata bahasa dan sebagainya. Tujuan mata pelajaran sejarah misalnya tidak hanya melatih ingatan terhadap berbagai peristiwa masa lalu lengkap dengan tahun, tempat, pelaku, sebab-sebab dan orang yang melakukannya, melainkan juga untuk membangun rasa kebanggaan, pengharagaan dan sekaligus mengambil pelajaran yang berguna bagi dirinya dan masa mendatang. Dapat diketahui pula bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan hanya dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaranajaran keagamaan Islam sendiri. Orang yang terbina akalnya dan bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, karena dengan akal pikirannya manusia menemukan berbagai rahasia dan hikmahnya yang terdapat di balik ujian dan kesulitan yang dihadapi. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari dari kenyataan melainkan
33
Muslih USA, op. cit., hlm. 39.
82 menghadapinya dengan tenang dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan kemenangan. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan dalam al-Qur’an karena alQur’an sendiri dapat dipahami, dihayati dan dipraktekkan oleh orang-orang yang berakal . begitu juga dalam pendidikan Islam. Selanjutnya seluruh aturan ibadah dan aturan lainnya dalam ajaran Islam baru diwajibkan apabila manusia itu memiliki akal yang sudah berfungsi (baligh). Implikasi pendidikian dari pemahaman terhadap uraian tersebut adalah bahwa
pendidikan
yang
baik
adalah
pendidikan
yang
harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal pikiran manusia (peserta didik), sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, di isi dengan berbagai konsepkonsep dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya dengan segala isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenungkan dan menangkap pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Berbagai fungsi akal yang terdapat dalam diri manusia harus dijadikan sebagai titik tolak dalam merumuskan tujuan dan mata pelajaran yang terdapat dalam kegiatan pendidikan. pemahaman yang keliru terhadap akal dalam merumuskan tujuan dan materi pendidikan akan menyebabkan terjadinya kekeliruan pula dalam meneruskan tujuan dan materi pendidikan. Dengan demikian pemahaman yang tepat terhadap fungsi dan peran akal amat penting dilakukan, dan dijadikan pertimbangan dengan kegiatan pendidikan, terutama masalah tujuan dan kurikukum pendidikan.