BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Lokasi Penelitian 4.1.1 Profil Desa Laiba di Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi di pulau Sulawesi yang merupakan pemekaran dari Sulawesi Selatan. Sulawesi Tenggara memiliki luas wilayah : ± 38.140 km² dengan jumlah penduduk : 1.959.414. Provinsi yang telah berusia 54 tahun ini bila dilihat dari letak geografis terletak pada 2°45’ - 6°15’ lintang selatan dan 120°45’-124°30’ bujur timur. Terdiri atas 11 Kabupaten yaitu Kabupaten Bombana ibu kotanya Rumbia, Kabupaten Buton ibu kotanya Bau-Bau, Kabupaten Buton Utara ibu kotanya Buranga, Kabupaten Kolaka ibu kotanya Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara ibu kotanya Lasusua, Kabupaten Konawe ibu kotanya Unaaha, Kabupaten Konawe Selatan ibu kotanya Andoolo, Kabupaten Konawe Utara ibu kotanya Wanggudu, Kabupaten Muna ibu kotanya Raha,serta Kabupaten Wakatobi yang berpusat di Wangi-Wangi (profil desa Laiba, 2010:16). Adapun penelitian ini dilakukan di Kabupaten Muna sebagaimana telah disinggung di atas yakni salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Muna terletak di sebelah selatan Sulawesi Tenggara. Di sebelah timur kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Buton Utara, disebelah utara berbatasan dengan kabupaten Konawe Selatan di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Buton, dan di sebalah barat berbatasan dengan kabupaten Bombana (profil desa Laiba, 2010:17).
Menurut Bahri dalam (La Kimi Batoa, 1991:25) ‘bahwa asal mula Muna berasal dari kata (Wuna) yang berarti bunga, dengan arti ini berdasarkan adanya kontu kowuna (batu berbunga) yang terdapat di Muna. Menurut tradisi setempat bahwa asal mula nama Wuna karena terdapat sebuah batu di sebuah bukit Bahutara yang berbentuk perahu dan mempunyai bunga seperti bunga jagung. Dengan adanya bunga tersebut, sehingga orang menyebutnya “kontu kowuna” yang akhirnya dinamakan Wuna. Dan setelah kedatangan orang Belanda di mana sulit menyebut kata Wuna, akhirnya di sesuaikan dengan ucapan Belandamenjadi Muna sampai sekarang’. Desa Laiba memiliki luas tanah sebesar 3000 hektar, yang kini merupakan desa terakhir di kecamatan Parigi sebelah Utara yang juga sebagai desa perbatasan dengan Kecamatan Kabawo. Secara geografis desa Laiba di sebelah utara berbatasan dengan Desa Wantiworo, sebelah selatan berbatasan degan Desa Wakumoro, sebelah barat berbatasan dengan Desa Latampu, dan sebelah timur berbatasan dengan Tongkuno lama, posisinya dalam Kabupaten Muna terletak di sebelah wilayah Muna Barat. Adapun letak kecamatan Parigi itu sendiri adalah; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tongkuno, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kabawo, di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kabangka, dan sebelah selatan Kecamatan Bone (profil desa Laiba, 2010:18). Keadaan alam Desa Laiba terletak didataran tinggi, beriklim tropis, suhu udara berkisar antara 23 sampai 37 derajat celsius, curah hujan 95 mm sampai 203 mm pertahun. Akibat dari keadaan relief tanah dengan iklim yang didukung oleh curah hujan menyebabkan daerah ini sangat cocok untuk lahan pertanian dan perkebunan.
Dan yang menjadi habitat flora dan fauna, antara lain (flora) misalnya mahoni, jati, rotan dan sengol. Dan jenis komoditi lainya seperti lahan pertanian yang ditanami beberapa jenis umbi-umbian dan sayur-sayuran, sedangkan bagi fauna seperti : babi hutan, kijang, dan kakatua (profil desa Laiba, 2010:18). 4.1.2 Keadaan Penduduk Desa Laiba Desa Laiba Kecamatan Parigi adalah salah satu Kecamatam Kabupaten Muna yang jumlah laki-laki 853 orang, perempuan 872, dan jumlah kk 425 sehingga jumlah jiwa seluruhnya 1725. Mempunyai keadaan atau ciri-ciri yang hampir sama dengan kecamatan lain di kabupaten Muna (profil desa Laiba, 2010:19). Untuk mengetahui secara jelas identifikasi tersebut dapat dijelaskan dengan keadaan atau ciri-ciri berikut yakni: a) Agama Masyarakat Muna di kecamatan parigi desa Laiba mayoritas beragama islam 100 %. Akan tetapi masyarakat Laiba dalam kepercayaan menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, ini pengaruh ‘masuknya Hindu di Indonesia diperkirakan sejak abad 1 Masehi yang bersifat pasif dan telah menyentuh hampir diseluruh wilayah nusantara. Walaupun disuatu daerah tidak pernah berdiri suatu kerajaan yang bercorak Hindu tetapi pengaruhnya dapat masuk dalam aspek segala kehidupan masyarakat. Termasuk daerah Muna yang tidak pernah ditemukan bukti fisik tentang berdirinya suatu kerajaan Hindu, namun pengaruh kehidupan tetap ada di tengah-tengah masyarakat’ (La Oba, 2005:15). Pada khususnya masyarakat Laiba adanya kekuatan gaib, roh-roh halus pada
pohon besar, batu-batu nisan yang di kenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Misalnya jika menjelang bulan ramadhan, dalam kebiasaan membersihkan kubur karena sebagian masyarakat mempercayai bahwa pada batu nisan orang yang telah meninggal dunia, yang masa hidupnya memiliki ilmuilmu dukun masih dapat memberikan kekuatan dan pertolongan kepada orang yang sakit. Pelaksanaanya dengan mengambil lumut lalu di gosokan pada bagian yang sakit, atau biasa juga dengan memegang nisan sambil berniat meminta disembuhkan dari penyakit. Dan kebiasaan yang dilakukan juga pada pembukaan atau pengolahan lahan baru dengan memberi sesajen kepada roh-roh halus yang mereka anggap berpengaruh terhadap kehidupan. b) Pendidikan Pendidikan merupakan sarana penting yang diharapakan untuk mampu menempatkan manusia seutuhnya. Dan saat ini di desa Laiba mengalami perkembangan dalam bidang pendidikan, namun dipihak lain masih banyak masyarakat tidak sungguh-sungguh meneruskan pendidikan dengan baik. Hal ini banyak masyarakat muda yang putus sekolah dan hanya sampai bangku SD dan SLTP. Bagi mereka menganggap sekolah tidak penting karena yang penting bagaimana cara memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kenyataanya ini karena kurangnya motivasi dari orang tua yang menganggap sekolah hanya menghabiskan uang sehingga siswa banyak yang putus sekolah dan pergi merantau untuk mencari uang, dan tujuan perantauan yakni Papua, Jayapura, Makasar serta Malaysia dan sebagainya. Dilihat dalam dunia
pendidikan seni khususnya tari Linda bagi masyarakat desa Laiba sangat kurang, karena di desa laiba belum ada sanggar tari sehingga minat masyarkat akan belajar tari Linda berkurang. Penari tari Linda biasanya dari kalangan remaja dan orang tua. c) Mata pencaharian Mata pencaharian masyarakat desa Laiba mayoritas adalah bertani, bersawah dan beternak untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, karena banyak lahan yang kosong yang di tanami berbagai macam tanam adalah jambu mente, kelapa, coklat, kopi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, tomat, rica dan sayur-sayuran. Sedangkan ternak yaitu sapi, ayam dan kambing. Hasil dari tanaman tersebut di jual agar menghasilkan uang untuk membeli keperluan lain atau biasa dikonsumsi sendiri. 4.1.3 Kesenian dan Acara-Acara Adat yang Berkembang di Desa Laiba Kesenian merupakan salah satu unsur yang menyangga kebudayaan yang berkembang menurut kondisi kebudayaan itu menurut Umar Kayam dalam (Maryaeni, 2005:93). Sebagaimana masyarakat Muna yang ada di kecamatam Parigi Desa Laiba juga mempunyai bentuk kesenian tersendiri dan kebiasaan-kebiasaan yang di laksanakan secara adat, yang merupakan peninggalan nenek moyang. Jenis-jenis kesenian yang masih dilestarikan dan berkembang sampai sekarang yaitu Modero, Gambus, tari Linda dan Pogala yang merupakan tarian adat daerah Muna yang memiliki gerakan-gerakan indah dan mengandung makna penting. Sedangkan pogala yaitu kesenian bela diri, yang dilakukan lebih dari satu atau dua
orang dengan memiliki gerakan cepat. Kesenian pogala di laksanakan pada sambutan dalam perkawinan, dan untuk upacara adat Kariya hal ini pada saat melakukan pemotongan pisang. Selain itu kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakan secara adat salah satunya upacaraadat Kariya. Dalam proses upacara adat Kariya yang merupakan rangkaian dari pelaksanaanya yakni dengan ditampilkanya tari Linda oleh peserta Kariya yang menandakan bahwa prosesi adat Kariya telah selesai. 4.2 Penyajian Tari Linda dalam upacara adat Kariya 4.2.1 Pelaksanaan Kariya Kariya adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat muna yang tetap dilestarikan sampai saat ini, dan bagi para gadis di tuntut untuk mengikuti pelaksanaan upacara Kariya. Dimana upacara Kariya merupakan evaluasi dari seluruh pakaian rohani bagi seorang perempuan karena setelah upacara Kariya maka wanita telah dianggap telah bersih dam mapan. Setelah proses Kariya selesai maka anak perempuan yang telah disyarati dengan Kariya telah memahami seluk beluk kehidupan dunia khususnya yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Upacara Kariya dikhususkan bagi wanita menjelang dewasa yang berusia dari 20 tahun ke atas. Proses upacara ini juga diwarnai oleh konsepsi ajaran agama islam, karena baik proses maupun meteri yang disampaikan kepada wanita adalah mengenai bekal persiapan untuk menghadapi kehidupan rumah tangga ketika memasuki perkawinan. Upacara Kariya dilaksanakan selama 4x24 jam (4 hari berturut-turut)
tergatung pada kemampuan biaya penyelenggara. Kadang-kadang juga hanya dilaksanakan selama 2 hari dan atau 1 hari. Dalam prosesi adat Kariya dapat ditampilkan pula salah satu tarian tradisional daerah Muna yaitu tari Linda. Tari Linda menjadi rangkaian dari pelaksanaan upacara adat Kariya karena pada proses pelaksanaan tari Linda harus melewati lima tahapan. Dalam tahapan tersebut dianalogikan sebagai proses pembinaan perempuan menjelang dewasa dengan melewati empat alam seperti pada proses kejadian manusia sampai dilahirkan di muka bumi yakni, alam arwah yaitu roh masuk bersifat rahasia dimana hanya tuhan yang mengetahui, setelah roh masuk terjadilah alam misal yaitu roh sudah berada di sekitar manusia dalam kandungan. Salama roh berada dalam kandungan ada yang dimanakan alam aj’sam yaitu roh sudah dititipkan kepada manusia sehingga manusia lahir dalam kandungan, dan alam insani yaitu manusia telah lahir dan berada di muka bumi yang fana (La Ode Wau, 19 maret 2011). Dengan demikian, peserta Kariya melakukan proses kafoluku yaitu peserta dimasukan dalam tempat khusus yang disebut songi. Sehari semalam setelah proses kafoluku dilanjuntkan dengan kabhansule yaitu perubahan posisi para peserta Kariya. Pada malam keempat setelah melaksanakan proses kabhansule dilakukan proses debhalengka yaitu membuka pintu kaghombo peserta Kariya. Setelah itu diadakan proses kafosampu (perpindahan peserta Kariya dari rumah kepanggung) perpindahan perserta Kariya dilakukan pada saat hari yang ditentukan yaitu hari ke empat menjelang magrib bahwa para gadis Kariyasiap di keluarkan dari rumah atau ruang songi ketempat yang disebut bhawono koruma (panggung). Pada saat peserta di Kariya sudah sampai ditempat atau panggung, dilakukan katandano wite yaitu
sentuhan tanah pada dahi, ubun-ubun dilanjutkan pada bagian bawah telinga, bahu, siku, telapak tangan, pinggul, lutut, dan diakhiri telapak kaki. Setelah proses katandano wite selesai maka peserta Kariya melaksanakan tari Linda. Disinilah para peserta Kariya dapat manarikan tarian Linda yang merupakan tarian adat daerah Muna yang sekarang ini masih tetap dilaksanakan dalam upacara adat Kariya. Pada acara tari Linda yakni acara yang ditunggu-tunggu para penonton, undangan yang hadir serta peserta Kariya sendiri karena setiap para peserta dalam menarikan tarian Linda diberikan amplop yang berisi uang atau bingkisan sesuai kerelaaan masing-masing para undangan, tamu atau penonton hal ini sebagai simbol syukuran atau kegembiraan pada peserta Kariya karena telah melalui segala cobaan yang ditempuh selama dalam kaghombo. 4.2.2 Pelaksanaan Tari Linda Tari Linda dilaksanakan pada malam hari yakni setelah badah magrib. Pada umumnya tempatnya berbentuk suatu ruangan yang datar dan terang yaitu dapat dilihat. Tempat penyajianya di atas panggung yang berada di depan rumah atau samping rumah. Pelaksanaan tari Linda bukan hanya sekedar pelaksanaan biasa, akan tetapi tari Linda dianggap sangat penting ketika seorang perempuan dalam mengikuti proses upacara adat Kariya. Hal ini, peserta Kariya akan menarikan tari Lindakarena sudah menjadi syarat yang harus dilakukan atau dilaksanakan. Dalam pelaksanaan tari Linda peserta Kariya harus mampu menarikan tarian Linda sebagai salah satu rangkaian upacara Kariya sebagai proses penyempurnaan adat Kariya.
Tarian Linda merupakan tarian tradisional yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Muna dalam upacara adat Kariya. Tarian tersebut menjadi sebuah simbolis kelahiran kembali atau pensucian diri seorang anak perempuan serta sebagai hajatan kemenagan karena telah melewati tahap demi tahapan bahtera kehidupan. Tarian Linda dalam Kariya dapat dimaknai sebagai berikut: a. Dari aspek estetika bahwa seorang anak perempuan dapat menunjukan penampilan yang indah serta memperlihatkan jiwanya yang halus. b. Dari aspek perjuangan bahwa perempuan selama mengikuti prosesi Kariya mampu malampaui perjuangan melawan hawa nafsu ketika berada di dalam kamar yang tertutup (dalam bahasa Muna songi). Hal ini juga tari Linda menandakan simbolis kegembiraan serta sebagai isyarat dirinya siap menjalani seluk-beluk kehidupan dunia yang penuh tantangan. c. Dari aspek pembentukan keluarga, pentujukan tari Linda yang dilakoni oleh peserta Kariya merupakan langkah awal perkenalan antara laki-laki dan perempuan agar nantinya saling jatuh cinta yang dipertandakan dengan pengalungan selendang (dalam bahasa Muna samba) dipundak sang lelaki atau dalam bahasa Muna dikenal dengan proses kagholuno samba. (La Ode Wau, 19 Maret 2011). ‘Tari Linda lahir, belum ada sumber yang menggungkapkanya begitu pula dengan penciptaanya belum diketahui (anonim). Akan tetapi ada dua versi yang mengatakan bahwa tari Linda mulai ada dan diciptakan oleh putri raja La Ode Husain bergelar Omputo Sangia pada abad ke 17 yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba, ia
bermimpi didatangi oleh bidadari yang menari-nari. Dan kedua, bahwatari Linda ada pada zaman Tandi Abhe (Tenri Abang) gelar Sangke Palangga kira-kira pada abad ke 14. Sangke Palangga artinya yang diangkat dari Palangga (sejenis bakar besar dari kuningan ataupun kayu), karena ditemukan dalam sebuah Palangga yang terapungapung dimuara sungai Lohya. Kedua versi gerakan tari Linda sama yakni terinspirasi dari gerakan burung,akan tetapi kedua versi cerita diatas hanya sebuah mitos’ (Siddo Thamrin 1988:5-6). Bardasarkan hasil wawancara tahun 2011, dari kelima narasumber yang dominan memberikan gambaran tentang asal mula tari Linda yakni ada dan diciptakan oleh putri raja La Ode Husain bergelar Omputo Sangia pada abad ke 17 yang bernama WaOde Kamomo Kamba. Sebab pada zaman raja La Ode Husain begelar Omputo Sangia kepada putrinya Wa Ode Kamomo Kamba mengadakan upacara adat Kariya selama 44 hari. Sehingga, setelah Wa Ode Kamomo Kamba melaksanakan proses upacara adat Kariya tersebut harus manarikan sebuah tarian yang sampai saat tetap dilestarikan secara turun temurun yakni tari Linda. Sedangkan pada zaman Tandi Abhe (Tenri Abang) gelar Sangke Palangga kira-kira pada abad ke 14, tari Linda tidak diadakan dalam upacara adat Kariya. ‘Pada masa pemerintahan raja Muna La Ode Husein yang XVII tahun 1716tahun1757, tari Linda dapat dikatakan sebagai tari klasik yang hanya diperankan oleh putri raja di dalam istana. Dalam perkembangan selanjutnya tari Linda juga digunakan sebagai syarat yang harus dilakukan dalam upacara adat Kariya. Seiring dengan perkembangan zaman tari Linda dalam upacara Kariya tidak hanya bisa
diperankan oleh anak putri raja, tetapi dapat pula dilakukan oleh anak-anak remaja putri yang berasal dari kalangan masyarakat biasa’ (La Ode Wau, 19 Maret 2011). Mereka dituntut untuk menarikan tarian Linda sebagai salah satu rangkaian upacara Kariya sebagai proses penyempurnaan adat Kariya. Selain itu tari Linda dapat juga dilakukan sebagai pertunjukkan hiburan pada berbagai acara-acara dalam masyarakat saat ini. Perkembangan zaman membawa tuntutan perubahan dalam berbagai bidang, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, termasuk di bidang kesenian yang ada di Kabupaten Muna khususnya pada tari Linda di Desa Laiba. Sesuai dengan hasil wawancara (La Ode Wau, 19 Maret 2011), Tari Linda dalam upacara adat Kariya pertama kali diperagakan oleh anak raja La Ode Husein yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba tahun 1716 pada pelaksanaan upacara adat Kariya ia melakukan tari Linda masih secara terstruktur yakni : 1. Gerakan menghormat yaitu memohon doa restu pada hadirin bahwa tarian akan dimulai 2. Gerakan membuang sapu tangan yaitu menunjukan rasa kasih sayang terhadap pasangannya. 3. Gerakan mengambil selendang dari leher yaitu mengajak menari. 4. Gerakan selendang dibuka yaitu menunjukan bahwa gadis muna dahulu selalu lembut atau rendah hati. 5. Gerakan selendang diikat dipinggang yaitu kepribadian selalu disenangi orang banyak. 6. Gerakan tangan ditekuk dan menyentuh pipi yaitu selalu berdoa dan minta restu kepada yang maha kuasa.
7. Gerakan kedua tangan sejajar dengan dada yaitu dapat menjaga harga diri dan kehormatanya. 8. Gerakan kedua tangan direntangkan dengan memegang selendang yaitu menujukan rasa kesenangan bahwa mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan dari orang lain. Penyajian tari Linda ‘Pola gerak tari Linda yang pertama gerakanya masih utuh (asli) yaitu 8 gerakan dan masih tetap fungsinya dalam upacara adat Kariya, sedangkan pada pola gerak yang ke dua fungsinya telah bergeser pada hiburan. Untuk membedakan ke dua pola gerak ini maka untuk pola gerak pertama dipakai istilah “Linda stangke kulibhea, setangke artinya selembar, kulibhea artinya pelepah pinang”. Dinamakan demikian karena Linda pertama tidak bergeser tempat dan hanya tetap satu daerah yang tidak lebih luas dari selembar pelepah pinang. Sedangkan untuk pola gerak yang ke dua di pakai istilah “Linda lakadandio”. Dinamakan demikian karena Linda ini diiringi oleh lagu dalam fungsinya sebagai hiburan’ (Thamrin, 7:1988). Dari ke dua pola gerak diatas tari Linda sampai saat ini tetap dilakukan oleh masyarakat Muna khususya masyarakat desa Laiba meskipun pola geraknya sangat berbeda, misalnya tari Linda tetap dilakukan dalam upacara adat Kariya sebanyak 7 gerakan dan begitu pula dalam hiburan memakai iringan lagu. 4.2.3 Struktur Penyajian Tari Linda Tari Linda yang ditarikan oleh peserta Kariya berbeda dengan tari Linda yang digunakan untuk acara hiburan atau tontonan. Tari Linda dalam upacara adat Kariya
ditarikan oleh seluruh peserta Kariya, sedangkan tari Linda dalam acara hiburan dan tontonan ditarikan oleh beberapa orang tergantung keinginan dan desain pertunjukan. Peserta Kariya dalam menarikan tari Linda hanya sendiri-sendiri (tunggal) karena sudah menjadi syarat. Pomantoto (pemandu) melakukan tari Linda sebagai pendahulu yang kemudian disusul oleh peserta Kariyasecara berurutan yang di mulai dari putri tuan rumah dan seterusnya oleh peserta yang lain secara bergiliran berdasarkan urutan tempat duduknya. Peserta tari Linda berjumlah empat orang dan harus mampu menarikan tari Linda. Gerak tari Linda ini dapat disebut gerak maknawi yakni gerak yang diolah menjadi sebuah gerakan tarian indah dan mengandung makna. Gerak maknawi adalah ‘Gerak wantah yang telah diolah menjadi suatu gerak tari yang dalam pengungkapanya mengandung suatupengertian atau maksud di samping keindahanya’ (Supardjan, 8:1982). Dengan hasil obsevasi dan penelitian pada tahun 2011, gerakan tari Linda memiliki 7 gerakan. Akan tetapi, ke 7 gerakan itu tidak dilakukan oleh semua peserta Kariya, akan tetapi dilakukan oleh pemandu. Dalam hal ini, peserta Kariya dalam memperagakan tari Linda hanya 5 gerakan. Sedangkan yang memperagakan gerakan 2 dan 3 yakni dari pemandu (tokoh adat). 4.2.3.1 Awal penyajian tari Linda Pada penyajian tari Linda di awali oleh pemandu (tokoh adat) yang mampu menarikan tarian Linda dengan menandakan bahwa penyajian tari Linda akan dimulai. Dalam panyajian tari Linda pemandu malakukan gerakan ke 1, 2 dan 3
merupakan awal dari gerakan tari Linda, kemudian untuk gerakan selanjutnya yaitu gerakan 4, 5, 6, dan 8 akan dilakukan oleh peserta Kariya. Setelah pemandu memperagakan gerakan 1, 2, dan 3, akan langsung menuju ke tempat duduk peserta Kariya (paserta pertama) untuk menyuruh menarikan tari Linda. Peserta dalam memperagakan tari Linda dimulai dari gerakan menghormat disusul dengan gerakan yang tidak dilakukan oleh pemandu. Dalam pengurangan gerakan tari Linda yang dilakukan oleh pemandu untuk peserta Kariya karena sebagian besar anak-anak wanita tidak menguasai gerakan tari Linda sehingga pada saat hendak menjalani Kariya mereka mengalami kesulitan bahkan tidak dapat melakukan tari Linda. Peserta Kariya menganggap gerakan tari Linda cukup sulit sehingga minat mempelajari tarian ini berkurang. Dengan demikian, menunjukkan bahwa tari Linda sudah tidak sempurna dan mengalami pergeseran nilai. Pada masing-masing gerakan mengandung makna yaitu: 1. Gerakan tari Linda yang dilakukan pemandu a. Gerakan menghormat yaitu memohon doa restu pada hadirin bahwa tarian akan dimulai. Seperti gambar berikut:
Gambar 4.1 gerakan menghormat dalam tari Linda b. Gerakan membuang sapu tangan yaitu menunjukan rasa kasih sayang terhadap pasangannya.
Gambar 4.2 Gerakan membuang sapu tangan dalam tari Linda c. Gerakan mengambil selendang dari leher yaitu mengajak menari.
Gambar 4.3 gerakan mengambil selendang dari leher dalam tari Linda 2. Busana yang dipakai pemandu Busana merupakan ‘Faktor yang mendukung atau pelengkap dalam pertunjukan tari. Karena dapat memberi keindahan sesuai dengan perwatakan’ (Muryanto, 2008:17). Suatu tarian pada upacara adat Kariya untuk penari tari Linda harus menggunakan busana adat. Busana yang dimaksud adalah busana adat daerah Muna atau dapat disebut sebagai baju kebesaran. Busana yang di gunakan oleh pemandu (tokoh adat) yaitu baju Muna, sarung dan selendang warna hijau yang melambangkan kedamaian. Lapisan sarung dengan dasar putih yang melambangkan kesucian, dan berbeda dengan yang dipakai oleh peserta Kariya. 3. Tata rias yang dipakai pemandu Tata rias merupakan ‘Suatu rekayasa manusia untuk menghasilkan sebuah karya dalam bentuk lain sesuai apa yang diharapkan atau dikehendakinya’
menurut Caturwati dkk, dalam (Widaryanto, 2009:45). Make-up yang di gunakan oleh pemandu yakni bedak dan lipstik berbeda yang dipakai oleh peserta Kariya. 4. Iringan tari Linda yang dipakai pemandu Fungsi iringan tarian yaitu ‘Sebagai iringan ritmis gerak tarian, sebagai ilustrasi suasana pendukung tarian, dan dapat terjadi kombinasi keduanya secara harmonis’ (Sumandiyo Hadi, 2003:52). Dengan fungsi iringan tari di atas sebagai iringan ritmis gerak tarian sangatlah penting untuk mendukung sebuah tarian. Apabila sebuah tarian tidak menggunakan iringan atau alat musik, tari tersebut tidak dapat dinikmati oleh penari ataupun penonton. Pengiring tarian Linda yang digunakan pemandu yaitu alat musik gendang, gong dan kasepe (pengatur irama) dengan cara ditabu atau dipukul. Pemukul alat musik dalam tarian biasanya berjumlah lebih dari satu orang masing-masing memainkan gendang, gong dan ditambah dengan kasepe (pengatur irama). Para pemukul gendang adalah laki-laki untuk memperoleh pukulan yang nyaring agar dapat menghidupkan tarian tersebut. Sedangkan alat musik yang digunakan untuk peserta Kariya sama, begitu pula ketukan dan bunyinya tetap sama dan tidak berhenti sampai semua peserta menarikan tarian Linda. Property yang digunakan yakni selendang dan sapu tangan.
Gambar 4.4 Iringan dalam tari Linda(Alat musik gendang)
Gambar 4.5 Iringan dalam tari Linda(Alat musik gong). 4.2.3.2 Inti penyajian tari Linda Peserta Kariya merupakan inti dalam pelaksanaan tarian Linda karena dituntut harus mampu menarikan dan sudah manjadi syarat yang menandakan proses adat Kariya telah selesai. Peserta tari Linda yang berjumlah 4 orang dalam melalukan gerakan tidak semua peserta dapat melalukan gerakan yaitu: a) peserta pertama melakukan gerakan ke 1, 4, 5, 6
dan 8, b) peserta ke dua melakukan gerakan ke 1, 4, dan 8, c) peserta ke tiga melakukan gerakan ke 1, 4, 6 dan 8, d) peserta ke empat melakukan gerakan ke 1, 4, 5, dan 8. Properti yang digunakan oleh
peserta kariya yaitu
selendang. Pengurangan dari gerakan tari Linda tersebut karena masyarakat sudah tidak mengetahui gerakan tari Linda secara utuh karena tidak adanya proses (pengajar tari Linda), kurangnya apresiasi masyarakat terhadap tari Linda serta kurangnya sanggar tari dalam masyarakat. Proses pembalajaran hanya terjadi secara turun-temurun sebagaimana adat-adat lain yang ada dalam masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya bakat atau keinginan untuk mempelajari dan mengetahui tari Linda, sehingga mereka tidak dapat menyalurkan bakat dan perannya dalam melestarikan tari Linda. Dengan demikian, menunjukkan bahwa tari Linda sudah tidak sempurna dan mengalami pergeseran nilai. 1.
Gerakan tari Linda yang dilakukan peserta Kariya a. Gerakan selendang dibuka yaitu menunjukan bahwa gadis Muna dahulu selalu lembut atau rendah hati.
Gambar 4.6 gerakan membuka selendang dalam tari Linda b. Gerakan selendang diikat dipinggang yaitu kepribadian selalu disenangi orang banyak.
Gambar 4.7 Gerakan mengikat selendang dipinggang dalam tari Linda c. Gerakan tangan ditekuk dan menyentuh pipi yaitu selalu berdoa dan minta restu kepada yang maha kuasa.
Gambar 4.8 Gerakan tangan ditekuk dalam tari Linda d. Gerakan kedua tangan direntangkan dengan memegang selengang yaitu menujukan rasa kesenangan bahwa mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan dari orang lain.
Gambar 4.9 Gerakan kedua tangan direntangkan dengan memegang selendang dalam tari Linda 2.
Busana tali Linda yang di pakai peserta Kariya
Pakaian adat untuk peserta Kariya yang digunakan dalam tari Linda yaitu Baju Muna yang disebut kombo dengan dasar warna putih yang di kemas dalam kembang merah yakni, leher baju yang pinggir dililit dengan bis warna emas, seluruh pakain dihiasi dengan manik-manik warna emas. Sarungnya yaitu bhotu warna dasar adalah putih. Warna putih melambangkan kesucian dan dilapis dengan sarung Muna. Bagian kepala dihiasi dengan beberapa hiasan seperti tiga buah panto (gelang kepala) model kerucut di pasang pada bagian atas (tarima kasih) diantara tiga buah panto yang bentuknya seperti daun jambu mente dipasang tegak lurus di atas sanggul. Dan pada konde (sanggul) dilingkar dengan bandol konde dari kain berwarna merah yang di hiasi pula manikmanik, bagian belakang kepala dipasang kabunsale berwarna merah tersambung dengan terima kasih yang terjuntai kebawah. Pada bagian leher memakai dhao-dhaonga sejenis kalung terbuat dari emas atau perak, untuk telinga dengan memakai dali (anting-anting) terbuat dari emas atau perak bentuk burung (manu-manu) yang dipasang pada telinga (1 pasang). Sedangkan bagian perut dengan memakai ikat pinggang (sulepe kecil) yang terbuat dari logam (perunggu), dan pada kedua pergelangan tangan memakai gelang tangan (simbi) terbuat dari emas (perak). Setelah peserta Kariya telah memakai busana atau peralatan yang di kenakan di seluruh anggota badan disebut dengan pakaian kalempagi. Warna merah melambangkan keberanian dan tanggung.
Gambar 4.10 Busana warna merah dalam tari Linda
Gambar 4.11 Busana tari Linda motifnya sudah bermacam-macam Busana yang di pakai oleh peserta Linda pada tahun 1716 yaitu memakai busana yang disebut kombo. Baju kombo dengan dasar warna putih dengan lapisan luar yang serupa (jaring), terbuat dari benang merah dan pada setiap luarnya dihiasi dengan kembang merah. Sarungnya penari bercorak ‘bhotu’ suatu corak spesifik asli
daerah Muna. Bhotu warna dasar adalah hitam dengan deretan garis-garis putih yang lebar melintang (sejajar dengan mulut sarung). Garis-garis putih hiasanya dari benang perak kecuali bhotu menggunakan corak lain, tetapi selalu hasil tenunan dari benang emas atau benang perak (kumbeano) yaitu terang (La Ode wau, 19 Maret 2011). Akan tetapi, busana dan sarung yang dipakai oleh peserta Linda pada masa sekarang motifnya sudah bermacam-macam misalnya warna pink dengan mengikuti perkembangan budaya dalam masyarakat. Hal ini disebabkan adanya proses akulturasi budaya yang semakin hari semakin berkembang pada budaya masa sekarang sehingga pandangan masyarakat terutama generasi muda terhadap busana tari Linda menurun. 3.
Tata rias tari Linda yang dipakai peserta Kariya Tata rias merupakan ‘Suatu rekayasa manusia untuk melahirkan suatu karya dalam bentuk lain sesuai apa yang diharapkan dan dikehendaki dalam garapan ini’ Widaryanto, 2009:76). Tata rias yang dijelaskan diatas merupakan rekayasa manusia untuk menghasilkan sebuah karya yang diharapakan. Rekayasa yang dihasilkan tersebut mengenai alat make-up atau cara pemakaianya, sehingga dalam sebuah tarian akan menonjolkan karakter seorang penari. Dalam unsur pendukung tari peserta Kariya dalam tari Linda menggunakan alat make-up yaitu a) alas bedak, b) bedak padat, c) pensil alis, d) kelopak mata dengan menggunakan eye shadow, e) mengunakan perona pipi, f)
menggunakan bulu mata palsu, ditambah kelopak mata bagian bawah aye liner, g) menggunakan lipstik. Rias atau make-up yang digunakan oleh peserta Linda pada tahun 1716 menurut masyarakat Muna khususnya mayarakat desa Laiba belum mengenal atau memakai alat make-up. Setelah itu pada tahun 1881 sampai 1989 sudah telah mengalami perubahan yakni peserta Linda sudah memakai bedak dan lipstik (La Wunse, 17 Maret 2011). Berdasarkan hasil penelitian tahun 2011, make-up yang digunakan dalam tari Linda berupa merek atau alatnya sudah bermacam-macam. Hal tersebut disebabkan terjadinya proses perubahan budaya yang semakin hari semakin berkembang dengan mengikuti arus globalisasi sekarang ini, sehingga make-up yang dipakai dalam tari Linda semakin beragam. 4.
Iringan tari Linda yang dipakai peserta Kariya Pengiring tari Linda yang digunakan oleh pemandu dan peserta Kariya sama yakni menggunakan alat musik gendang, gong dan kasepe (pengatur irama) dengan cara ditabu atau dipukul. Pemukul alat musik dalam tarian biasanya berjumlah lebih dari satu orang masing-masing memainkan gendang, gong dan ditambah dengan kasepe (pengatur irama). Para pemukul gendang adalah laki-laki untuk memperoleh pukulan yang nyaring agar dapat menghidupkan tarian tersebut. Property yang digunakan oleh peserta Kariya dalam pelalukan tari Linda adalah selengang.
Pengiring dalam tarian Linda pada tahun 1716 dengan menggunakan tiga buah dengu-dengu (talompong), gendang, gong dan kasepe (pengatur irama). Pengurangan alat pengiring tersebut disebabkan terjadinya perubahan budaya yang semakin hari semakin berkembang dengan mengikuti arus globalisasi sekarang ini, sehingga alat musik yang dipakai dalam tari Linda semakin berkurang. 4.2.3.3 Akhir penyajian Dalam akhir panyajian tari Linda, yang mana dari ke 4 peserta Kariya setelah semua melakukan gerakan tari Linda akan memberikan selendangya kepada orang tua, keluarga, atau calon tunaganya. Proses ini dikenal dengan istilah kagholuno samba, yang berarti hadiah atau amlop sebagai tanda syukur dan kegembiraan kepada peserta Kariya yang telah menempuh ujian serta telah memahami segala tahapan dalam ritual Kariya. Pada penutup atau akhir dari panyajian tari Linda yakni peserta Kariya yang ke 4 akan melakukan gerakan tari Linda yang ke 8 dan pada akhirnya akan memberikan selendangya kepada orang tuanya atau kelurganya. 4.2.3.4 Dekripsi tari Linda Sekuen tari Awal
Dekripsi dan
Pelaksana
Kostum
Musik
Maksud gerak
urutan gerak 1)
gerakan Dilakukan
menghormat, 2) oleh
Busana yang di Alat musik gunakan
oleh
yang
pemandu (tokoh gerakan membuang sapu
pemandu
adat) yaitu baju Muna,
Gerakan menghormat yaitu
digunakan
sarung gendang,
memohon doa
restu
tangan dan 3)
dan
selendang gong
berwarna
Gerakan
hijau
dan
ditambah
yang mengambil selendang
kedamaian.
leher.
dengan
Gerakan
kasepe
Lapisan
sarung
dengan
dasar
putih
bahwa tarian akan dimulai.
melambangkan dari
pada hadirin
yang
membuang
(pengatur
sapu tangan yaitu
irama).
menunjukan
melambangkan
rasa
kesucian.
sayang
kasih
terhadap pasangannya. Gerakan mengambil selendang dari
leher
yaitu mengajak menari. Tengah
4)
Gerakan Dilakukan
selendang
oleh
dibuka,
5) peserta
Gerakan
kariya
Baju Muna yang Alat musik disebut
kombo
dengan
dasar
warna putih yang
Gerakan selendang
yang
dibuka yaitu digunakan
menunjukan
selendang diikat secara
di kemas dalam gendang,
bahwa gadis
dipinggang,
kembang merah
Muna dahulu
6) bergantian
Gerakan tangan dimulai ditekuk
dan dari
gong
yakni, leher baju yang
pinggir
selalu lembut ditambah
menyentuh pipi, peserta
dililit dengan bis dengan
8)
warna
kedua
Gerakan pertama
tangan (1) sampai seluruh
direntangkan
dan
terakhir (4) dihiasi
emas,
kasepe
pakain dengan
atau
rendah
hati. Gerakan selendang
(pengatur
diikat
dengan
manik-manik
irama).
memegang
warna
selengang.
Sarungnya yaitu
kepribadian
bhotu
warna
selalu
dasar
adalah
disenangi
putih.
Warna
orang
emas.
putih
yaitu
banyak.
melambangkan kesucian dilapis
dipinggang
dan dengan
sarung Muna.
Gerakan tangan ditekuk
dan
menyentuh pipi
yaitu
selalu berdoa dan
minta
restu kepada yang
maha
kuasa. Gerakan kedua tangan direntangkan dengan memegang selengang yaitu menujukan rasa kesenangan bahwa mampu melakukan sesuatu tanpa
bantuan dari orang lain. Akhir
Pada
penutup Dilakukan
atau akhir dari panyajian
tari
Linda
yakni
peserta
Kariya
Motif
oleh
sudah
perserta
bermacam-
kariya
warna begitu
ke
4
ini
dikenal dengan
yang
istilahm
macam misalnya
dengan yang
busana Alat musik Proses
digunakan
pink, gendang, pula
gong
dan
warna
dan sarungnya.
ditambah
sebagai peserta
dengan
terakhir
kasepe
melakukan
(pengatur
kagholuno samba,
yang
berarti
hadiah
atau
amlop
sebagai
tanda
syukur
dan
kegembiraan kepada peserta
gerakan
tari
Linda yang ke 8
irama).
Kariya telah
menempuh ujian
dan
pada
akhirnya
akan
serta
telah memahami segala tahapan
memberikan
dalam selendangya
Kariya
kepada
orang
tuanya
atau
kelurganya.
yang
ritual