perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Gambaran Umum Desa Ngrajek 4.1.1 Keadaan Geografis Desa Ngrajek Ngrajek merupakan suatu dusun yang tercakup dalam Desa Sambirejo Kecamatan Tanjunganom yang termasuk dalam kabupaten Nganjuk. Jarak dari Dusun Ngrajek ke Kota Nganjuk sekitar 10 km. Letak Dusun Ngrajek apabila dilihat dari kawasan kecamatan Tanjunganom berada di sebelah utara Tanjunganom, sedangkan jika dilihat dari Kabupaten Nganjuk berada di sebelah timur Kabupaten Nganjuk. Letak geografis Dusun Ngrajek mempengaruhi tingkat kesuburan tanah di Desa Ngrajek. Oleh karenanya masyarakat di Desa Ngrajek mayoritas bermatapencaharian bertani. Hal ini dikarenakan Dusun Ngrajek merupakan areal yang subur dilihat dari letak geografisnya. Ditambahkan oleh Cindy seorang seniman yang menggeluti tari, kebanyakan masyarakat Ngrajek bermatapencaharian menjadi petani dikarenakan kawasan sekitar Desa Ngrajek subur (Cindy, wawancara, 10 Oktober 2014). Dikarenakan banyak masyarakat yang bertani, hal ini berimplikasi pada kontruksi aktivitas kultural masyarakat. Aktivitas kultural yang dilahirkan biasanya pengungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah yang dilimpahkan kepada masyarakat Ngrajek yang diberikan kesuburan dan panen yang melimpah. Wujud dari pengungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan dengan tayub. Tayub dipercaya masyarakat sebagai simbol kesuburan dalam rangka mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan keberkahan dalam kehidupan masyarakat Ngrajek. Tayub ditarikan oleh perempuan dan laki-laki. Masyarakat mempercayai bahwa dengan melakukan ritual tersebut, maka Desa Ngrajek akan selalu diberikan keberkahan.
commit to user
49
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.1.2 Sistem Pendidikan Wilayah Sambirejo Ngrajek merupakan wilayah yang masyarakatnya memiliki angka melek huruf yang tinggi, dikarenakan banyaknya masyarakat Desa Sambirejo yang sudah menempuh pendidikan dari tingkat jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai dengan Magister. Oleh karena itu, banyaknya masyarakat yang mengenyam pendidikan mengurangi angka buta huruf di wilayah Desa Sambirejo Tanjunganom Kabupaten Nganjuk. Berdasarkan Data Dasar Profil Desa Sambirejo yang didapat di lapangan dapat disimpulkan bahwa rata-rata penduduk Desa Sambirejo menamatkan pendidikan pada jenjang sekolah menengah pertama. Untuk penduduk yang menamatkan jenjang pendidikan doktoral atau S3 belum ada (Data Dasar Profil Desa Sambirejo, 2014: 5) Tingkat pendidikan dalam masyarakat Dusun Ngrajek mempengaruhi bagaimana masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Semakin banyaknya masyarakat yang bisa membaca dapat membantu masyarakat sendiri dalam menyelesaikan urusan dalam kehidupannya. Dalam kehidupan waranggana walaupun jarang sekali atau bahkan tidak ada yang menamatkan ke tingkat sarjana, waranggana bisa membaca dan menulis. Kemampuan membaca bagi waranggana sangat membantu waranggana dalam menjalankan profesinya sebagai seorang waranggana. Oleh karena itu, mereka dapat membaca teks syair tembang yang ingin dilantunkan. Selain bisa membaca teks syair tembang, keuntungan yang didapat dari kemampuan membaca yakni kerja profesional waranggana yang bisa menjangkau daerah di luar kota, dengan kemampuan membaca waranggana ia bisa memahami kerjasama yang biasanya dinamakan dengan kotrak kerja, sehingga terhindar dari penipuan-penipuan yang biasanya dilakukan oknum-oknum dalam kontrak kerja.
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.1.3 Agama Sebagian besar masyarakat Ngrajek, Sambirejo Nganjuk menganut agama Islam, jika dipersentasekan masyarakat yang memeluk agama Islam sekitar 80 %. Selain Islam, ada agama lain yang dianut oleh masyarakat Ngrajek, Sambirejo Nganjuk, yakni, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Berdasarkan observasi peneliti di lapangan ditemukan bahwa masyarakat Desa Sambirejo banyak memeluk agama Islam. Salah satu pendukungnya adalah di Kecamatan Tanjunganom terdapat pusat kota santri yang dikenal dengan Krapyak. Hal tersebut yang menyebabkan banyak pemeluk agama Islam yang terdapat dalam Desa Sambirejo. Walaupun banyak masyarakat Desa Sambirejo yang memeluk agama Islam, sebagian besar masyarakat Desa Sambirejo masih melakukan ritual, seperti mengunjungi makam yang dianggap keramat yang bertujuan untuk menyampaikan permohonan dan memohon berkah sebelum mengadakan acara besar. Sama halnya dengan cerita-cerita mitos, pengaruhnya kepada masyarakat sangat kuat, bahkan sudah mengakar dalam masyarakat desa. Terkait dengan pernyataan di atas, masyarakat Desa Sambirejo tidak bisa dilepaskan dengan tradisi upacara selametan. Tradisi upacara selametan sudah menyatu dengan kebiasaan masyarakat Desa Sambirejo, selain dilaksanakan secara konsisten, tradisi tersebut tidak berhenti pada satu atau dua generasi, tetapi digeneralisasikan dari generasi ke generasi sehingga tradisi dalam Desa Sambirejo terpelihara. Menurut Giddens (Atmaja, 2010: 31) tradisi menyediakan kerangka acuan bertindak yang dianggap benar sehingga orang tidak lagi perlu mempertanyakannya. Tradisi memiliki penjaga, serta muatan normatif atau moral yang merupakan pembentuk karakter yang mengikat (Atmaja, 2010: 31). Oleh karena itu tradisi upacara,
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti upacara selametan dan upacara bersih desa tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Desa Sambirejo. Selametan melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak-keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati serta dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama dan karena itu, terikat ke dalam sebuah kelompok sosial tertentu yang berikrar untuk tolongmenolong dan bekerjasama (Geertz, 2014: 3). Masyarakat menganggap upacara selametan merupakan pengungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, di dalam Islam sendiri esensi bersyukur diajarkan, tetapi pelaksanaan secara prosedural yang dilaksanakan masyarakat Desa Sambirejo merupakan sebuah elaborasi dari peninggalan agama Hindu dan Budha. Masyarakat menganggap hubungan antara manusia dan manusia sangat penting (Habluminannnas) oleh karenanya di dalam sebuah tradisi upacara, seperti ritual upacara selametan terkandung sebuah ikatan sosial yang erat antara manusia yang satu dengan yang lain. 4.1.4 Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Nganjuk Jawa Timur berada di wilayah dataran rendah, yang dialiri oleh Sungai Widas, dengan kondisi lingkungan yang demikian maka Desa Sambirejo mempunyai lahan tanah yang cukup produktif di bidang agraria, oleh karena itu kondisi yang demikian dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mengolah tanah menjadi areal pertanian. Luas wilayah pertanian sawah menurut penggunaannya di Desa Sambirejo adalah sawah irigasi 100,6 Ha, sawah setengah 111,5 Ha (Data Dasar Profil Desa Sambirejo, 2014: 1). Sebagian besar masyarakat Desa Ngrajek berprofesi sebagai seorang petani karena kondisi lingkungan yang mendukung di sektor agraria. Selain produktifitas di bidang pertanian berupa padi, intensifikasi pertanian pun dilakukan dari tanaman tebu, jagung, dan kedelai.
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di lapangan, ditemukan sebagian masyarakat Desa Sambirejo bekerja di bidang pertanian, dan mayoritas sebagai buruh pertanian, baik sebagai buruh ladang dengan areal lahan sendiri ataupun milik orang lain. Biasanya masyarakat Desa Sambirejo mulai pergi ke areal pertanian setelah matahari terbit atau sekitar pukul 07.00 wib dan menyelesaikan sampai sore tiba, atau sekitar pukul 16.30 wib. Oleh karenanya masyarakat Desa Sambirejo secara berkala, yaitu satu tahun sekali memperingati bersih desa yang diperingati pada bulan Besar dalam kalender Jawa dengan mengadakan gelar tayub di dekat pendhopo pundhen Mbah Ageng, atau di alun-alun Desa Sambirejo. Hal ini dilakukan sebagai pengungkapan rasa syukur atas berkah panen yang melimpah di Desa Sambirejo, Ngrajek. Bulan Besar dalam penanggalan Jawa adalah bulan yang baik, dikarenakan pada bulan itu dipercaya sebagai bulan yang mendatangkan banyak keberkahan, setelah bulan Suro dilewati, bulan penuh keberkahan datang (Mbah Mijo, wawancara,14 Oktober 2014). Tabel 1. Penanggalan Bulan Jawa Menurut Sumber Mbah Mijo Juru kunci Pundhen Mbah Ageng Desa Ngrajek.
No
Penanggalan Jawa
Lama Hari
²
Sura
30
2
Sapar
29
3
Mulud
30
4
Bakda Mulud
29
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No
Penanggalan Jawa
Lama Hari
5
Jumadilawal
30
6
Jumadilakir
29
7
Rejeb
30
8
Ruwah (Arwah, Saban)
29
9
Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan)
30
10
Sawal
29
11
Sela (Dulkangidah, Apit)
30
12
Besar (Dulkahijjah)
29/(30)
Total
354/(355)
Puncak gelar tayub diadakan pada hari Jumat Pahing. Hari Jumat Pahing adalah nama hari dalam pasaran penanggalan masyarakat Jawa (Edy, wawancara, 5 Oktober 2015). Tayub pada hari tersebut dikolaborasikan dengan wisuda gembyangan waranggana. Oleh karena itu, pada hari tersebut merupakan puncak pergelaran tayub di Desa Ngrajek. Terkait dengan pergelaran tayub, menurut masyarakat setempat fungsi tayub yaitu; (1) Sebagai tari kesuburan atau dalam filosofi Jawa yaitu pertemuan antara bapa angkasa dan ibu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
pertiwi; (2) sebagai tari hiburan, yaitu menghibur masyarakat untuk melepaskan kepenatan ditengah rutinitas dalam bekerja selama seharian (Musrini, wawancara 10 Oktober 2014) Dalam gelar tayub, aktor utama di Desa Sambirejo yaitu waranggana, seorang penyanyi yang mempunyai suara merdu dan piawai dalam menyanyikan gending-gending Jawa, selain lihai dalam menyanyi, seorang waranggana mempunyai keterampilan dalam menari terutama menari gambyong, sehingga dengan keterampilan dari seorang waranggana yang multitalenta membuat waranggana mendapatkan kuasa sebagai seorang primadona dalam gelar tayub tersebut. Selain itu, posisi waranggana di mata masyarakat mempunyai posisi yang penting, yaitu sebagai penghubung antara masyarakat dan roh-roh penunggu desa (Winarto, wawancara, 30 Desember 2014). Oleh karenanya tayub tidak bisa dilepaskan dari kehadiran waranggana.
4.1.5 Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Desa Sambirejo merupakan masyarakat yang komunal, dan tentunya masih memegang teguh tradisi yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya, hal ini terlihat dalam kebiasaan mereka melakukan ritual selametan. Dalam upacara selametan sarat dengan kegotong-royongan dan keikatan batin yang kuat antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain. Masyarakat Desa Sambirejo yang termasuk dalam masyarakat Jawa terkenal dengan kesopanan dan cenderung tunduk, mereka tidak pernah bertindak kasar, meski terasing, namun mereka sabar, tenang dan cenderung tidak mengusik orang lain (Raffles, 2014:35). Oleh karenanya kegotongroyongan yang merupakan sistem dalam bermasyarakat senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat sekitar yang bisa dilihat dari organisasi-organisasi yang diikuti oleh masyarakat Desa Sambirejo. Di antaranya; Karang taruna; kelompok tani; PKK. Tiga organisasi tersebut merupakan kelompok organisasi yang sudah berjalan baik commit to user dalam kelangsungan hidup bermasyarakat di Desa Sambirejo. Ditambah lagi dengan
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
organisasi kesenian yang sudah dikelola oleh masyarakat, karena mengingat Desa Sambirejo merupakan pusat kelahiran waranggana di Kabupaten Nganjuk, maka di Desa Sambirejo terdapat Padepokan Anjuk Ladang yang merupakan sentral pendidikan pelatihan menjadi seorang waranggana. Selain pelatihan mendidik waranggana, di dalam Padepokan Anjuk Ladang dilatih pelatihan karawitan dan tari menari untuk menunjang menjadi seorang waranggana yang profesional. 4.2 Sejarah Langen Tayub di Desa Ngrajek 4.2.1 Ngrajek sebagai Pusat Penyemian Waranggana di Kabupaten Nganjuk Ngrajek merupakan tempat waranggana dilahirkan sebagai pelestari seni tradisi yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya. Aktivitas kultural masyarakat yang masih hidup sampai sekarang yakni pertunjukkan langen tayub. Di Dusun Ngrajek terdapat Padepokan Anjuk Ladang. Tempat tersebut berfungsi sebagai tempat pelatihan waranggana (lihat gambar 4.1). Selain tempat pelatihan waranggana, Padepokan Anjuk Ladang merupakan tempat prosesi gembyangan waranggana atau tempat wisuda para waranggana yang telah menyelesaikan pelatihan kemampuan dasar yakni tari dan vokal. Di tempat inilah peringatan bersih desa berupa pertunjukkan langen tayub dilakukan, yaitu pada Jumat pahing bulan Besar dalam kalender Jawa. Biasanya, ketika peringatan tersebut dilaksanakan, banyak berdatangan para tetangga dari kampung sebelah ataupun wisatawan yang ingin menyaksikan jalannya prosesi gembyangan waranggana.
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.1 Padepokan Langen Tayub Anjuk Ladang di Dusun Ngrajek (dokumen Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
Terkait dengan pernyataan di atas, tayub erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap mitos, masyarakat Desa Ngrajek tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan terhadap roh leluhur dan mempercayai tempat-tempat yang dianggap sakral. Oleh karenanya, di Dusun Ngrajek terdapat sebuah tempat yang dianggap sakral dan keramat yaitu sebuah pundhen. Pundhen yang terdapat di Dusun Ngrajek ada dua yaitu; (1) Mbah Ageng; (2) Mbah Budha Sambirejo. Pundhen Mbah Ageng digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan prosesi gembyangan waranggana se-Kabupaten Nganjuk, lihat gambar (4.2).
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.2 Pundhen Mbah Ageng (dokumen Ningsih, 10 Oktober 2014). Di Padepokan Anjuk Ladang waranggana dilatih oleh waranggana senior, salah satu waranggana senior yang menjadi primadona dari generasi sebelumnya. Setelah mengikuti pelatihan dan dinyatakan mampu untuk tampil di muka publik sebagai waranggana, maka waranggana tersebut sudah layak untuk digembyang atau diwisuda. Gembyangan waranggana dilakukan setahun sekali, dilaksanakan pada Jum‟at pahing bulan Besar dalam kalender Jawa. Prosesi Gembyangan waranggana dilakukan rutin setiap tanggal tersebut, prosesi gembyangan waranggana dilakukan dimulai sejak tahun 1987 (Agung, wawancara, 16 Oktober 2014). Alasan pemerintah menyelenggarakan wisuda atau gembyangan waranggana adalah untuk menyelamatkan stereotip atau stigma negatif yang mengancam waranggana di masa sekarang hingga masa selanjutnya. Ekspektasi pemerintah dengan menyelenggarakan gembyangan waranggana adalah menjamin kelestarian tradisi yang diaktori oleh waranggana, sehingga di masa mendatang generasi selanjutnya mengetahui dan memahami bahwa waranggana merupakan pejuang kearifan lokal. Terkait dengan kalimat di atas, wisuda atau Gembyangan waranggana yang biasanya commit to user rutin dilakukan setiap tahun, kini ditiadakan pada tahun 2014, prosesi Gembyangan
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waranggana ditiadakan dari pemerintah dengan alasan agar sekaligus dengan prosesi atau seremonial waranggana yang digembyang di tahun 2015 (Agung, wawancara, 29 Desember 2014) Tempat wisuda atau gembyangan waranggana dilaksanakan di sekitar makam pundhen Mbah Ageng dan Mbah Budha, kedua makam tersebut yang dipercaya masyarakat sekitar mempunyai kekuatan magis, sehingga tempat tersebut dipercaya masyarakat untuk mewisuda para waranggana. Waranggana yang diwisuda harus menguasai minimal sepuluh gendhing Jawa yang biasa dibawakan dalam pertunjukkan langen tayub.
Gambar 4.3 Pemasangan cunduk menthul yang terdiri dari kantil dan daun waru dalam prosesi gembyangan waranggana (dokumen Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009). Prosesi ceremonial gembyangan waranggana biasanya berlangsung sekitar 5,5 jam. Ada beberapa perlengkapan yang digunakan dalam prosesi Gembyangan waranggana diantaranya: Gamelan, dupa, genthong (tempat penyimpanan air), kembang setaman, dan sampur. Dalam pelaksanaan gembyangan waranggana acara dipandu oleh pranata acara, hal tersebut bertujuan agar prosesi gembyangan waranggana tertata dari awal sampai akhir. Berikut susunan acara prosesi ceremonial gembyangan waranggana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
1) Kirab peserta yang terdiri dari waranggana sekaligus mengawali prosesi gembyangan waranggana. 2) Pembuka acara dipandu oleh pranata acara. 3) Laporan panitia penyelenggara. 4) Sambutan Bupati Nganjuk atau yang mewakili. 5) Prosesi ceremonial gembyangan waranggana dimulai. 6) Pengukuhan sebagai waranggana oleh sesepuh yang dituakan dan dihormati oleh sesepuh desa. 7) Penyerahan sertifikat sebagai waranggana yang secara administrasi sudah diperbolehkan untuk pentas yang diserahkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Nganjuk. 8) Do‟a dan penutup. 9) Pentas langen tayub yang merupakan ritual dari bersih desa pada Jumat pahing bulan Besar dalam Kalender Jawa. Dalam prosesi ritual gembyangan waranggana ada beberapa tahapan ritual yang didapat oleh waranggana. Berikut tahapan-tahapan ritual gembyangan waranggana. 1) Pengukuhan calon waranggana menjadi waranggana diawali dengan pemberian cunduk menthul (lihat gambar 4.3) 2) Pemercikan air suci yang didapat dari Air Terjun Sedudho, yang diambil sehari sebelumnya yaitu pada hari kamis legi (siang hari) oleh salah satu waranggana yang sudah diwisuda sebelumnya, perangkat Desa Ngrajek, juru kunci serta sesepuh desa Prosesi minum air suci dan pemberian daun waru, air suci dari Air Terjun Sedudho dipercaya masyarakat setempat untuk mensucikan tubuh secara jasmani dan
commitsuci. to user rohani, sehingga kembali Sedangkan daun waru yang merupakan
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perlambang cinta kasih, diharapkan agar waranggana selalu menjaga loyalitasnya sebagai seorang waranggana (lihat gambar 4.4).
Gambar 4.4 Ritual pemercikan air suci (dokumen, Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
Gambar 4.5 Ritual minum air suci (dokumen, Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Setelah pemberian daun waru kepada waranggana, daun waru pun disobek dengan tujuan agar waranggana tetap setia (Agung, wawancara, 29 Desember 2014).
Gambar 4.6 Penyobekan Daun Waru (dokumen Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
4) Tahapan selanjutnya dalam prosesi gembyangan waranggana adalah mengelilingi sumur yang dianggap magis oleh masyarakat sekitar yaitu sumur Mbah Ageng dengan menyanyikan sepuluh gendhing Jawa, diantaranya; Gondoriyo, Gonggo mino, Astra Kara, Ono Ini, Ijo-Ijo, Kembang Jeruk, Eling-eling, golekan, Bandungan, Ketawang Teplek Minggah Srempeg. 5) Setelah sepuluh gendhing sudah ditembangkan, tahapan selanjutnya adalah pengucapan janji sebagai seorang waranggana di depan khalayak ramai, diantaranya adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk, seniman dan senimawati, pengrawit, dan masyarakat sekitar yang berapresiasi menjadi saksi sejarah pengucapan janji Tri Prasetya Waranggana.
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id Berikut isi janji Tri Prasetya Waranggana.
1. Tansah Ngluhuraken Kebudayaan Nasional Mliginipun Ing Babagan Langen Beksa Utawi Tayub. 2. Tansah Angudi Indahing Kawruh Saha Kualitas Minangka Ingkang Sae, Saha Ngugemi Jejering Wanita Utami. 3. Sudi Aledadi Dumateng Bebrayan Ingkang Tumuju Ing Reh Lestari, Ngrembuka Luhuring Budaya Bangsa. Terkait dengan pernyataan di atas, setelah waranggana melewati tahapan Gembyangan waranggana atau diwisuda, maka waranggana berhak mendapatkan SIP (Surat Izin Pentas) dan kartu induk yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Nganjuk (Agung, wawancara, 29 Desember 2014). Surat izin pentas tersebut sebagai tanda bahwa waranggana sudah layak untuk pentas dalam pertunjukkan.
Gambar 4.7 Surat Izin Pentas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (dokumen Ningsih, 28 Desember 2014).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
Gambar 4.8 Kartu Induk Seniman dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (dokumen Ningsih, 28 Desember 2014). 4.2.2 Tayub Kata tayub memang tidak asing lagi di masyarakat Jawa. Clifford Gertz (2014: 430) seorang antropolog sudah mendefinisikan tayub dalam bukunya “Agama Jawa” menjelaskan bahwa tayub adalah sebuah kesenian yang digemari oleh masyarakat terutama di kalangan abangan, berbeda halnya dengan priyayi, dari golongan priyayi kebanyakan tidak suka dengan tayub. Padahal sebenarnya tayub sendiri adalah kesenian istana yang merambah ke kalangan masyarakat pesisir. Menurut penuturan R.T Kusumakesawa (Suharto, 1999: 61) arti tarian tayub sangat berbeda dengan apa yang masih dikenal sekarang ini. Menurut beliau penjelasannya, tayub hanyalah terdapat di dalam keraton saja, yaitu tarian yang dilakukan oleh raja apabila sedang memberikan pelajaran tentang kepemimpinan (Astha Brata) kepada putera mahkota. Dengan menari pelajaran ini disampaikan kepada sang calon raja. Tidak ada orang lain yang ikut menyaksikannya kecuali empat mata itu saja yang langsung terlibat . Dari penjelasan di atas, commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diuraikan bahwa tayuban sendiri tumbuh di istana dan merambah ke kerakyatan dan sekarang berkembang menjadi tari pergaulan, identik dengan tarian berpasangan antara putra dan putri. Sejalan dengan catatan Mangkunegaraan terdapat keterangan bahwa nayub berasal dari dua kata mataya yang berarti tari, dan guyub yang berarti rukun bersama. Timbul penafsiran bahwa tayub dari dua kata jadi satu: ma-ta-ya dan gu-yub jadi tayub. Ditambahkan pula pada zaman Panembahan Senapati Raja Mataram pertama, sewaktu berkunjung ke daerah Pajang sebelah barat telah disuguhi dengan tarian bersama penari putri di sebut dengan teledhek atau dedungik, yaitu tarian yang terkenal dengan nama nayuban ( Suharto, 1999: 62). Berbeda halnya dengan penuturan Agung sebagai Kepala Dinas Pariwisata menyebutkan bahwa tayub yang berada di Ngrajek merupakan sebuah kreativitas yang ditularkan oleh Nyai Endhel. Nyai Endhel merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan tayub di Desa Ngrajek. Beliau merupakan keturunan Indo-Belanda. Nyai Endhel merupakan leluhur thandak atau teledhek dalam pertunjukkan tayub di Ngrajek. Makam beliau pun tidak jauh dari Desa Ngrajek. Menurut penuturan Agung, tayub merupakan sebuah strategi yang digunakan oleh Nyai Endhel untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, tayub digunakan untuk menggelabuhi para kompeni Belanda. Para kompeni Belanda yang mayoritas dari kalangan laki-laki disuguhkan oleh masyarakat pribumi dengan tayub (Agung, wawancara, 30 Desember 2014). Pengaruh minum-minuman keras dan kesenangan yang luar biasa dari jogetan para teledhek tersebut membuat para kompeni Belanda tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, keadaan yang sudah tidak sadar yang dialami oleh para kompeni Belanda, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyerang dan membunuh para kompeni Belanda secara satu per satu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Oleh karena itu tayub pada zaman penjajahan Belanda adalah sebuah strategi untuk menumpas penjajahan Belanda (Agung, wawancara, 30 Desember 2014). Pada penjelasan Serat Centhini jilid ke IX (Partokusumo, 1990: 5-7) dalam tayuban dijelaskan bahwa penari wanita disebut dengan istilah taledhek atau ledhek. Kata tersebut diartikan dengan Nggeledhek yang kurang lebih berarti memikat hati, yang dimaksudkan agar semua penontonnya dan lebih-lebih para yang diharapkan untuk ngibing agar menjadi tertarik kepadanya. Baik tertarik pada gaya tarinya maupun pada kecantikan dirinya, agar dengan demikian tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang sebagai ajakan menari bersama taledhek tersebut. Berangkat dari tari istana yang merambah ke tari pergaulan rakyat apalagi mencuri hati masyarakat, pergelaran tayub tampaknya sangat digemari oleh masyarakat, yang diwarnai dengan adegan tari berpasangan putera dan puteri, yaitu antara waranggana dan pengibing. hingga dalam perjalanannya tayub pada masa penjajahan diwarnai dengan minuman yang beralkohol. Dalam penjelasannya, Geertz (2014: 431) secara menukik memberikan pengertian bahwa tayuban merupakan sebuah kombinasi dari pesta minum-minum dan menari, biasanya diadakan pada peristiwa upacara peralihan tahap dan sebagainya Adat kebiasaan minumminuman keras berasal dari Barat, orang-orang Barat membawa adat kebiasaan untuk minum minuman keras, dikarenakan hawa di Barat sangat dingin, untuk itu sangat diperlukan minuman penghangat badan yang sangat penting pula bagi kesehatan (Soeharto, 1999: 58). Oleh karena itu, dalam perjalanannya tayub diwarnai dengan pesta minuman keras. Pendapat tersebut tidak sejalan dengan Prof. Dr. Poerbotjaroko yang memberikan penjelasan bahwa najub, najuban (baca: nayub, nayuban) bukan berasal dari kata tayub, tetapi berasal dari kata sayub yang berarti minuman keras. Atau juga untuk menyebut
commit to user makanan yang sudah basi, dengan membuang huruf akhir berubah menjadi sayu yang dalam
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
bahasa Jawa Krama menjadi sajeng, yang berarti minuman keras, karena pertukaran “s” menjadi “w” berubah menjadi wajeng atau minuman keras (Bharatayudha syair II bait 10). Bentuk ngoko dari wajeng adalah wayu yaitu setengah basi atau menape, menjadi tape (Poerbotjaroko dalam Soeharto, 1999: 58). Nampak dengan jelas bahwa tayub erat kaitannya dengan suatu peristiwa yang menggunakan minuman keras sebagai bagian penting dalam sesuatu upacara. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan minuman keras merupakan bagian penting dari pergelaran tayub dan hal tersebut sudah mendarah daging, sejak kemunculan tayub itu sendiri, kemudian dalam perjalanannya ditambahkan dengan pengaruh penjajah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat pribumi untuk selalu menambahkan minuman keras dalam pergelaran tayub. Dalam pertunjukkan tayub, biasanya ada seputar tiga teledhek atau lebih. Mereka mengenakan busana yang cukup merangsang bagi mata laki-laki (Soedarsono, 2002: 203). Selembar kain panjang membelit dengan ketat tubuh bagian bawah. Adapun dadanya mengenakan kemben, yaitu kain ciut yang panjang yang membungkus dengan kencang sebagian dadanya, hingga bagian yang paling merangsang menyembul ke atas. Kepala yang bersanggul dihias dengan bunga. Selembar selendang dengan warna panas yang tergantung di pundak kanan, merupakan properti tari yang sangat penting. Apabila melangkah, lipatan kain (wiron) yang berada di depan tubuh, sesekali diangkat, hingga betis teledhek akan sedikit kelihatan. Dalam serat Centhini dijelaskan sebagai berikut (Partokusumo, 1990: 7) “ Kakalihipun sami ngibing, kinurmatan ungeling drel. Ronggeng kalih ngibing ngebaraken kasa gedanipun, sadaya ngungun dene ronggeng wau kadosdene santun rupi ayu sanget”. Waranggana yang dijelaskan dalam serat centhini tersebut mempunyai paras yang ayu. Mereka menari dan mengibing dengan pengibing. Biasanya pada zaman penjajahan, commit to user waranggana berjoget dengan kompeni. Para kompeni berjoget atau ngibing dengan teledhek
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id sampai pagi, sebagian
jogetan yang ditarikan oleh teledhek merupakan turunan dari
pengembangan tari gambyong pareanom. Selama ngibing, tentu ada kontak yang sangat dekat dengan teledhek, kedekatan kontak tersebut dibumbui dengan kedipan mata, colekan, cubitan hingga rangkulan. Selain itu, tidak hanya berjoget atau ngibing, pesta tayub pada zaman penjajahan dibarengi dengan pesta minum-minuman keras. Terkait dengan pernyataan di atas, selain pergelaran tayub yang diwarnai dengan penggunaan minuman keras, tayub sendiri memiliki pola tari. Mengenai pola penyajian dalam tayub, salah satu informan di Mojokuto dalam buku Agama Jawa (Geertz, 2014: 431) mengutarakan sebagai berikut. “ Biasanya ada seorang kledek (hampir selalu seorang pelacur), tetapi dalam tayuban yang meriah, bisa ada dua atau tiga orang. Kledek tersebut menari sejenak pada permulaannya. Ketika tayuban itu sendiri hampir dimulai, tuan rumah menunjuk seorang pramugari (“pemimpin”) pria. Sekarang, merupakan tugas pramugari untuk menunjuk kledek mana yang ingin diajak menari. Ia harus pandai mengukur kedudukan orang, sebab urutan orang yang ikut serta di dalamnya sangat penting dan tak boleh salah”. Penari tayub membawa sampur yang diletakkan dalam baki untuk diserahkan kepada seseorang. Orang yang mendapatkan kesempatan tampil adalah orang yang paling terpandang di antara tamu dan penonton yang ada. Apabila hadir camat dan lurah, maka ia mendapat kesempatan pertama untuk menari tayub, kalaupun bupati maka bupati didahulukan daripada camat dan lurah untuk menari bersama taledhek. Dari pernyataan di atas, jelas dalam pentas tayub ada sebuah arena permainan kedudukan dari seseorang, karena memilih orang yang ingin diajak menari atau ngibing pun harus melihat kedudukan dari strata yang tinggi sampai strata yang rendah. Pekerjaan rumah bagi pramugari dan taledhek, yaitu mereka harus tau siapa saja penonton yang hadir, dan mengetahui kedudukan mereka apakah mereka seorang pejabat birokrasi atau masyarakat biasa saja.
commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pertunjukkan tayub yang diaktori oleh teledhek atau waranggana merupakan pertunjukkan yang dipenuhi dengan gemulai tarian suara indah yang dikeluarkan dari seorang primadona teledhek atau warangggana. Erotisme menjadi bumbu penyedap dalam pertunjukkan tayub tersebut. Jika pertunjukkan tayub tidak dibarengi dengan suasana yang erotis, dapat dianalogikan bagaikan masakan yang tanpa garam. Tidak ada ruh sebagai penciri dari pertunjukkan tayub tersebut. Tahap-tahap pertunjukkan tayub pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut. 1.
Klenengan (Karawitan), Klenengan adalah permainan alat musik gamelan yang disajikan oleh para pengrawit pertunjukkan tayub. Biasanya pada pertunjukkan tayub, klenengan disajikan sebagai pembuka pertunjukkan tayub. Klenengan disajikan ketika menunggu para hadirin yang menikmati sajian makanan selamatan dan anggota masyarakat hadir untuk berkumpul di sekitar Makam Mbah Ageng tempat pertunjukkan tayub di Dusun Ngrajek.
2.
Gambyongan,
merupakan
bagian
kedua
dalam
pertunjukkan
tayub.
Gambyongan merupakan tari pembuka yang dilakukan para waranggana untuk mengawali pertunjukkan tayub. Biasanya dalam bagian gambyongan para waranggana menari tari gambyong pareanom yang dikombinasikan dengan srapatan. Tari gambyong pareanom yang ditarikan tidak utuh, biasanya hanya mengambil bagian-bagian gerak saja yang disesuaikan dengan iringan gamelan yang mengiringi (lihat gambar 4.9). 3.
Bagian ketiga adalah gedhok, gedhok yaitu pada saat pramugari membuka memulai acara tayuban, peran pramugari untuk mengatur jalannya tayuban. (lihat gambar 4.11).
commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 4.
Ndoro-doro (tuan atau majikan), tahapan keempat pada pertunjukkan tayub, pada saat bagian ini waranggana menghampiri para pengibing ke meja pengibing sambil menyanyikan gendhing-gendhing Jawa biasanya di meja pengibing sudah disediakan minuman keras, diantaranya: ciu, bir, anggur merah, dll (lihat gambar 4.10).
5.
Tayuban, diawali dengan penentuan pengibing yang dilihat dari strata sosial yang dimiliki oleh pengibing tersebut. Mulai dari strata sosial yang tinggi sampai yang biasa saja. Jika ada bupati yang datang, maka yang wajib didahulukan bupati. Giliran selanjutnya menyesuaikan yang biasanya diatur oleh pramugari tayuban tersebut.
Gambar 4.9 Waranggana yang sedang melakukan gambyongan (dokumen Ningsih, 10 Oktober 2014).
commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.10 Waranggana yang sedang melakukan ndoro-ndoro yaitu saat menyanyi gendhing di meja pengibing (dokumen Ningsih, 10 Oktober 2014).
Gambar 4.11 Pramugari mengawali tayuban dengan membawa baki sambil menari yang berisi sampur (dokumen Ningsih, 10 Oktober 2014).
commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 4.2.3 Waranggana dalam Langen Tayub di Kabupaten Nganjuk
Waranggana secara umum dikenal sebagai sebutan pelaku seni yang menguasai olah suara (menyanyi) atau olah tubuh (menari). Dahulu di Kabupaten Nganjuk waranggana dikenal dengan nama thandhak atau teledhek (Musrini, wawancara, 30 Desember 2014). Teledhek berasal dari kata ngeledhek yang artinya menggoda. Godaan yang dimaksud berasal dari kecantikan, kemolekan tubuh, nyanyian yang ditembangkan, dan tarian yang memikat hati para pengibing. Pertunjukkan teledhek sebagai hiburan bagi kaum pria, senantiasa melibatkan dan mempengaruhi banyak pria. Oleh karenanya, masyarakat sekitar memberikan stereotip negatif kepada teledhek, banyak yang beranggapan bahwa teledhek mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka dengan suaminya. Hal ini dikarenakan ketika adegan ngibing, jarak joged antara teledhek dan pengibing sangat dekat sehingga memungkinkan mereka untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dari sekedar pertunjukkan di atas panggung. Pemberian strereotip negatif untuk sebutan teledhek yang berakibat pada kehidupan pribadi seorang teledhek, membuat para seniman ini berinisiatif untuk mengubah nama penyebutan bagi penari tayub yang bisa menyindhen atau menguasai olah suara diganti dengan sebutan waranggana. Terkait dengan kalimat di atas, Pratt Walton (1996:1) menggambarkan penamaan baru yang bertransformasi dari taledhek menjadi waranggana. “She adopts the person of a seductive feminine ideal so that her audience in delicious fantacies with the “heavenly nymph”or waranggana of their imaginations. Waranggana means heavenly nymph: it is also one of the newer labels for a pesindhen. The oldest term, taledhek or ledhek, conveys almost the opposite notions: a low class temptress, prostitute and beggar”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
Pergantian sebutan nama dari teledhek menjadi waranggana diharapkan mampu memutihkan nama seorang aktor utama dari tayub yang menguasai olah suara dan olah tubuh. Sehingga stigma-stigma negatif yang diberikan berkurang kadarnya. Secara etimologis waranggana terdiri dari dua suku kata, yaitu wara dan anggana Wara yang berarti perempuan, sedangkan anggana adalah seni suara. Jadi, waranggana adalah sebutan untuk penari perempuan yang bisa menari dan olah suara (gendhing) dalam pertunjukan tayub di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (Winarto, wawancara, 30 Oktober 2014). Menjadi waranggana tidak serta merta langsung menari dan menyanyi saja dalam suatu pertunjukkan,
tahapan menjadi waranggana setelah menguasai skill yang harus
dimiliki waranggana, tahapan selanjutnya adalah magang dengan waranggana senior dengan syarat hanya beberapa lagu saja yang dinyanyikan, biasanya tiga lagu saja, diantaranya Gondoriyo, Ijo-ijo, dll. Setelah magang dengan senior waranggana, sebagai masa orientasi waranggana junior sebelum secara sah sebagai waranggana yang siap manggung. Tahapan selanjutnya adalah melakukan beberapa ritual untuk menjalankan syarat yang diyakini mereka, bahwa ketika menjalankan ritual tersebut maka mereka (baca: waranggana) menjadi waranggana seutuhnya. Berikut beberapa tahapan ritual yang harus dilaksanakan. 1. Mengelilingi sumur Mbah Ageng sebanyak sepuluh gendhing Jawa 2. Meminum air suci yang diambil dari mata Air Terjun Sedudho 3. Penyobekan daun waru dan pemakaian mentul kantil di atas kepala atau sanggul waranggana. Terkait dengan kalimat di atas, waranggana selalu dekat dengan prosesi yang dianggap mitos oleh masyarakat, oleh karenanya waranggana merupakan agen pengukuhan
commitwaranggana to user mitos. Sebagai agen pengukuhan mitos, seorang menjalankan ritual yang selama
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
ini diturunkan secara turun-temurun yang dianggap sebagai mitos yang terpercaya dan diyakini oleh mereka (baca: waranggana). Mitos yang dipercaya waranggana adalah penambah kekuatan bagi waranggana. Kekuatan yang dianggap mendatangkan keberkahan bagi waranggana dan masyarakat. Dengan kehadiran waranggana, mitos-mitos yang diyakini dan dipercaya masyarakat sekitar dapat tumbuh sumbur sampai sekarang. Masyarakat pendukung percaya bahwa kehadiran waranggana dalam pertunjukkan tayub dapat menghadirkan kekuatan magi simpatetis, seperti pemberi kesuburan, penolak bala‟, dan sarana penyembuhan (Soedarsono, 2002: 201). Beberapa versi lain terkait dengan mitos seorang waranggana dalam pertunjukkan langen tayub bersih desa dituturkan oleh Mijo (wawancara, 28 Desember 2015) sebagai berikut. “ Konon, pada hari kamis Legi bulan Besar (tahun Jawa) Pada hari Kamis Legi bulan Besar (tahun Jawa) di dekat sumur Ageng mbah Otho dikejutkan dengan adanya seekor rusa yang gemuk dan besar dalam keadaan cedera. Rusa itu tidak bisa lari meninggalkan sumur tersebut, maka dapat dengan mudah rusa dapat ditangkap oleh mbah Otho dan disembelih serta dimasak untuk selamatan atau syukuran penduduk dalam melaksanakan bersih desa. Keesokan harinya yakni hari Jum‟at Pahing bulan Besar, dengan sarana sebagaimana yang telah direncanakan dan dipersiapkan oleh penduduk serta dimeriahkan pertunjukkan langen tayub. Mulai saat itulah bersih desa yang dimeriahkan dengan kesenian langen tayub diselenggarakan tiap tahun, pada hari Jum‟at Pahing”. Terkait dengan pernyataan di atas Sukirno dan Herminten selaku pengrawit dan waranggana juga memberikan informasi mengenai waranggana dalam bersih desa, Berikut penuturannya. “Pada tahun 1934, menjelang diselenggarakannya acara bersih desa atau syukuran di sumur mbah Ageng, para orang tua di Ngrajek mengalami kegelisahan karena sulitnya mencari penari tayub sebagai salah satu sarana dalam melaksanakan upacara bersih desa. Sementara itu secara tiba-tiba ada dua anak perempuan yang bernama Markawit (11 tahun) dan Jaminem (10 tahun) juga gelisah karena kemungkinan tidak dapat menyaksikan bersih desa karena sakit yang tidak kunjung sembuh”. (Sukirno, wawancara, 27 Desember 2014). commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menjelang dilangsungkan bersih desa dan para sesepuh desa sedang gelisah karena tidak adanya penari tayub, tiba-tiba Markawit dan Jaminem yang sedang sakit memohon kepada orang tuanya agar diperkenankan tampil sebagai waranggana. Permohonan ini disampaikan kepada para sesepuh desa, maka tanpa pikir panjang para sesepuh desa mengabulkan permohonannya. Malam sebelumnya kedua anak ini bermimpi bahwa dirinya akan sembuh dan hidup berkecukupan bila tampil sebagai waranggana dalam upacara bersih desa di sumur mbah Ageng. Saat tiba dilaksanakan syukuran di sumur Ageng yang dimeriahkan dengan waranggana, kedua anak tersebut mandi jamas di sumur Mbah Ageng dan meskipun mereka tanpa latihan sedikitpun, ternyata mereka dapat tampil sangat baik dan mempesona para hadirin serta mereka juga sembuh dari sakitnya. Dua anak tersebut makin lama makin dewasa dan menjadi waranggana yang tangguh penampilannya, mereka menambah pengetahuan dengan belajar tentang gendhing-gendhing Jawa. Perkembangan selanjutnya, kedua anak tersebut dapat berkembang menjadi waranggana yang laris dan terkenal serta sering mendapat tanggapan dengan tarif yang tinggi (Herminten, wawancara, 28 Desember 2014). Waranggana di Desa Ngrajek sebagai aktor utama dalam pertunjukkan langen tayub yang terangkum dalam acara bersih desa. Tradisi bersih desa merupakan sebuah ritual yang dilakukan masyarakat sekitar dalam rangka memperingati cerita yang terjadi di Dusun Ngrajek. Dahulu, Dusun Ngrajek adalah hutan belantara, yang didatangi oleh para pembabat hutan, dengan ditemukannya mata air yang besar yang dikenal dengan nama sumur Mbah Ageng, akhirnya para pembabat hutan tersebut memutuskan untuk memilih Dusun Ngrajek sebagai tempat tinggalnya dan menetap disana. Sumur Mbah Ageng memberikan rahmat yang begitu besar, dengan rahmat yang dialirkan dari sumur Mbah Ageng, masyarakat dapat melakukan kegiatan produksinya dengan lancar. Seperti pengairan sawah, ladang dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
tentunya untuk kegiatan produksi dalam berumah tangga sehari-hari (Mijo, wawancara, 28 Desember 2014). Sebagai ucapan syukur atas rahmat yang diberikan, masyarakat Dusun Ngrajek menyelenggarakan ritual bersih desa. Acara tersebut dilaksanakan di dekat sumur Mbah Ageng. Dalam ritual bersih desa ada beberapa perlengkapan ritual yang harus dipersiapkan, diantaranya: nasi tumpeng (nasi yang biasanya berwarna kuning, yang berbentuk runcing di atas atau berbentuk kerucut), ayam panggang utuh dengan ujub atau do‟a pengantar menggunakan bahasa Jawa kuno dengan tujuan meminta restu kepada Yang Maha Kuasa agar Dusun Ngrajek dijauhkan dari bala‟ dan musibah serta diberikan rezeki yang berlimpah. Setelah proses pembacaan do‟a pengantar nasi tumpeng dan ayam panggang selesai, seluruh masyarakat Dusun Ngrajek yang hadir disana dipersilahkan untuk menyantap hidangan secara bersama-sama (lihat gambar 4.12). Dengan menyantap hidangan bersamasama masyarakat percaya bahwa keselamatan dan keberkahan menyelimuti kehidupan mereka.
Gambar 4.12. Ayam Panggang yang masih ditutupi penutup kain yang dimasak oleh ibu-ibu yang berada di Dusun Ngrajek. commit to user ` (dokumen Ningsih), 16 Oktober 2014).
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.13 Ayam Panggang dan nasi tumpeng yang sudah di do‟akan, dan disuwir oleh masyarakat setempat. (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Setelah santapan hidangan secara bersama-sama, acara selanjutnya adalah pergelaran tayuban. Acara tayuban merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat sekitar. Para waranggana bersiap-siap di barisan waranggana untuk mengitari sumur Mbah Ageng sebanyak sepuluh gendhing Jawa yang mereka tembangkan. Kostum yang dipakai waranggana pun lebih sopan, yaitu memakai kebaya lengkap, dengan bawahan badan memakai jarik, lengkap dengan perhiasan dan accesories layaknya seorang waranggana yang sedang pentas.
4.2.4 Unsur Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek 4.2.4.1 Waranggana
commit to user
primadona
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
Waranggana merupakan penyebutan untuk seniman yang menguasai olah suara dan olah bekso. Di Kampung Ngrajek, waranggana dituntut untuk menguasai dasar-dasar teknik vokal menyinden dan menari, salah satu tarian yang harus dikuasai adalah tari gambyong. Istilah yang populer dalam lingkup waranggana adalah gambyongan. Gambyongan dalam pertunjukkan tayub dilakukan setelah rangkaian klenengan. (lihat gambar 4.14). Waranggana yang telah menguasai olah vokal dan olah bekso, diwajibkan untuk magang dengan para seniornya. Hal ini dilakukan agar ketika sudah sah menjadi seorang waranggana, para waranggana junior tidak kaget panggung, mereka bisa memainkan ekspresi wajah, dan tidak gugup dalam bernyanyi atau menjalankan profesi menjadi seorang waranggana.
Gambar 4.14 Waranggana dalam pertunjukkan tayub di Desa Ngrajek Nganjuk, Jawa Timur. (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). Pada penampilan pergelaran tayub, waranggana junior hanya menyanyikan satu tembang atau beberapa tembang saja, sesuai dengan izin yang diberikan oleh waranggana senior. Waranggana junior menyanyikan tembang bersama pengibing dalam pertunjukkan langen tayub. Selain menguasai olah vokal, olah bekso, dan magang dengan senior, para
to user waranggana melakukan ritual yang sudahcommit dipercaya dari turun temurun. Mulai dari minum
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
air suci yang didapat dari Air Terjun Sedudho, sampai dengan pengucapan janji Tri Prasetya Waranggana (tiga janji waranggana sejati). Setiap Jumat pahing bulan besar dalam kalender Jawa, para waranggana dari junior maupun senior berkumpul di makam pundhen Mbah Ageng. Tujuan mereka berkumpul di makam pundhen Mbah Ageng adalah untuk mendapatkan keberkahan dari upacara bersih desa, dan menyaksikan wisuda waranggana atau yang lebih dikenal sekarang adalah gembyangan waranggana. Penamaan wisuda waranggana diganti untuk menamai prosesi ritual pemberkatan menjadi seorang waranggana, hal ini dikarenakan, ada beberapa lembaga pendidikan mengkritisi penamaan wisuda, mereka berargumen bahwa kata wisuda, layak diberikan ketika seseorang tersebut sudah melalui tahap pendidikan secara formal dan akademis serta di legitimasikan oleh pemerintahan, oleh karenanya penamaan “wisuda” diganti dengan gembyangan. Menurut penuturan Agung, selaku pihak pariwisata Kabupaten Nganjuk kata gembyangan lebih sesuai dengan pemberkatan menjadi seorang waranggana yang disahkan oleh masyarakat dan pemerintah, dikarenakan kata tersebut lebih menunjukkan identitas Kabupaten Nganjuk yang berarti dalam terjemahan Jawa adalah disahkan, sehingga sampai sekarang pengesahan dalam prosesi pemberkatan menjadi seorang waranggana dinamai dengan gembyangan waranggana.
commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.15 Wawancara dengan pihak Pariwisata Kabupaten Nganjuk, terkait dengan pertunjukkan tayub di Nganjuk, 29 Desember 2014 (dokumen Ningsih, 29 Desember 2014). Ritual pemberkatan pengesahan menjadi seorang waranggana dilakukan di Makam Pundhen Mbah Ageng yang dilakukan setiap Jumat Bulan Besar Pahing dalam kalender Jawa biasanya digabungkan dengan ritual bersih desa. 4.2.4.2 Pengibing Pengibing adalah penonton pertunjukkan langen tayub yang khusus berjenis kelamin lakilaki. Pengibing berperan secara akif dalam pertunjukkan langen tayub. Dalam konsep filosofi Jawa pengibing disimbolkan sebagai bapa angkasa. Dalam pertunjukkan tayub peran seorang pengibing sebagai penjaga ekologi kesuburan dalam kestabilan kehidupan masyarakat Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
Gambar 4.16. Tampak para pengibing dan waranggana sedang melakukan tayuban, laki-laki yang memakai baju merah adalah Sekretaris Desa, dan laki-laki yang berbaju biru adalah Lurah Dusun Ngrajek. (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Syarat menjadi pengibing tidak khusus, yang terpenting adalah pengibing dapat melakukan gerak-gerak yang biasanya menyesuaikan dengan iringan yang mengiringi pertunjukkan tayub. Biasanya ketika berada di panggung, gerakan tari yang dilakukan oleh pengibing spontan dan banyak melakukan improvisasi, sehingga tidak ada gerakan-gerakan yang baku, ketika menari dengan para waranggana. Biasanya para pengibing yang dipersilahkan untuk menari lebih dahulu berasal dari kalangan pemerintahan misalnya, bupati, camat, atau lurah dan kepala desa. Setelah para pejabat pemerintahan yang menjadi skala prioritas untuk mengibing pertama dengan para waranggana, maka setelah itu biasanya masyarakat baru turun untuk menari dengan para waranggana. Dalam pertunjukkan tayub, pengibing biasanya memberikan uang saweran kepada para waranggana sebagai balas jasa atau tanda terimakasih karena sudah bersedia untuk melakukan tari tayuban. Pada zaman dahulu pemberian uang atau dengan nama lain yang commit to user tidak asing lagi adalah uang “suwelan” diberikan dengan memasukkan tangan ke selipan
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
payudara waranggana, sehingga biasanya tangan pengibing seringkali “nakal” bukan hanya memasukkan tangan, bahkan kelakuan yang tidak beretika adalah, seringkali pengibing meremas payudara waranggana. Kondisi yang seperti ini sangat memprihatinkan, sehingga waranggana sekarang, mengantisipasi dengan solusi untuk memakai kebaya. Jarang ditemui waranggana sekarang memakai kemben tanpa memakai penutup dada. Selain itu, untuk mengantisipasi kejadian tersebut, pemberian saweran diatur oleh pramugari. Peran pramugari adalah membantu waranggana, agar ketika mengambil atau menerima saweran tidak kontak fisik dengan pengibing, karena kebanyakan pengibing banyak yang bertindak “jahil” terhadap waranggana.
4.2.4.3 Pengrawit Pengrawit adalah orang yang memainkan alat musik Jawa atau gamelan Jawa. Gamelan Jawa terdiri dari dua jenis, yaitu gamelan pelog dan gamelan selendro. Dalam pertunjukkan langen tayub biasanya alat musik yang ditabuh, diantaranya adalah: kendhang, bonang. Bonang penerus, kempul, peking, selenthem, dan gong besar . Iringan musik yang dimainkan oleh pengrawit diantaranya Gondoriyo, Ijo-ijo, dan selain itu iringan yang mereka mainkan untuk menaikkan popularitas dan sesuai dengan perkembangan zaman atau kekinian dengan mengiringi lagu dangdut contohnya: sakitnya tuh dsini, goyang dombret, alamat palsu, minyak wangi, dan wakuncar.
commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.17 Pengrawit dalam pertunjukkan langen tayub (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). 4.2.4.4 Pramugari Pramugari yang biasanya dikenal adalah orang yang melakukan pelayanan kepada penumpang dalam jasa transportasi, seperti: pramugari pesawat terbang, dan pramugari kereta api. Tetapi tidak halnya dengan pertunjukkan langen tayub. Pramugari dalam pertunjukkan langen tayub adalah pramugari yang mempunyai tugas untuk mengatur jalannya pertunjukkan tayub dan mengambil saweran dari pengibing. Adanya peran pramugari dilatarbelakangi karena banyak perlakuan yang tidak senonoh yang dialami oleh waranggana, sehingga masyarakat sepakat untuk menambahkan peran pramugari sebagai perantara antara waranggana dan para pengibing dalam hal pemberian saweran. Pramugari pun melakukan jogetan, ketika memutari sumur Mbah Ageng, gerakan tari pramugari pun tidak mempunyai patokan tertentu, yang terpenting adalah bisa selaras dengan iringan musik. Terkait dengan kalimat sebelumnya, bahwa posisi pramugari berdiri sesuai dengan kehendak hati mereka, tidak ada yang mengharuskan di depan atau di belakang waranggana .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
Gambar 4.18 Dua orang pramugari yang berperan sebagai perantara antara waranggana dan pengibing dalam hal pemberian saweran (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). 4.2.4.5 Juru Kunci Juru kunci merupakan orang yang dipercaya menjaga makam keramat Sumur Mbah Ageng yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai pembawa keberkahan. Oleh karenanya pertunjukkan langen tayub yang terangkum dalam acara bersih desa dilakukan di sekitar sumur Mbah Ageng.
Gambar 4.19 Mbah Mijo sebagai juru kunci dan Sumur Mbah Ageng (dokumen Ningsih, 28 Desember 2014).
Juru kunci di Desa Ngrajek dipercayakan kepada Mbah Mijo, tugas dari juru kunci adalah memimpin putaran dalam ritual memutari sumur Mbah Ageng di Desa Ngrajek commit to user
Para
waranggana membentuk formasi dua berbanjar ke belakang dengan memakai tali putih yang
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
mengikat waranggana dari depan ke belakang. Fungsi tali putih yang mengikat para waranggana adalah untuk selalu menjaga persaudaraan antara para waranggana sehingga tidak ada kesenjangan antara sesama waranggana, khususnya waranggana senior dan junior (lihat gambar 4.20).
Gambar 4.20 Tampak waranggana mengenakan tali putih yang berfungsi untuk mengikat waranggana senior dan waranggana junior, agar tidak terjadi perselisihan dan kesenjangan sosial (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). Formasi waranggana tentunya di komandoi oleh seorang juru kunci. Pada saat commit to user melakukan ritual memutari sumur Mbah Ageng, Mbah Mijo dengan indahnya menari diiringi
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gamelan seolah-olah dia berada pada dunia yang diimajinasikan dalam pikirannya. Tarian sederhana yang dilakukan oleh Mbah Mijo dilakukan sesuai dengan rasa yang dimilki oleh Mbah Mijo. Dalam pelaksanaannya, Mbah Mijo mengenakan kostum Jawa, memakai baju hitam, dan jarik yang sudah diwiru, tidak lupa properti yang dipakai dalam ritual tersebut adalah sampur. Sampur merah dipakai oleh Mbah Mijo dan pengibing, penyeragaman sampur disebabkan oleh permintaan dari sponsor yang punya hajat, dalam upacara bersih desa yang dilaksanakan Jumat Pahing bulan besar dalam kalender Jawa tahun 2014 kemarin, acara tersebut disponsori oleh “Panther”. Oleh karenanya para waranggana, pengibing, pramugari, dan juru kunci memakai sampur yang bertuliskan merk suatu minuman yaitu “Panther”.
Gambar 4.21 Juru kunci sedang memimpin ritual memutari sumur Mbah Ageng dengan para waranggana diiringi dengan sepuluh gendhing. (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). 4.2.5 Unsur Pendukung Pertunjukkan 4.2.5.1 Rias Busana Waranggana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
Kecantikan juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138). Masing-masing budaya mempunyai standarisasi mengenai pengukuran kecantikan. Dalam ukuran kecantikan tradisional kecantikan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ia memiliki akar budaya yang kuat dalam suatu masyarakat. Begitupun kecantikan seorang waranggana yang menjadi primadona suatu pertunjukkan tayub. Dikatakan indah jika mempunyai bentuk tubuh yang sintal, payudara dan pinggul yang kencang, disertai dengan wajah yang cantik dan bersinar di panggung pertunjukkan langen tayub. Untuk menunjang kecantikan di atas panggung, para waranggana menggunakan make up atau riasan wajah tambahan sebagai penunjang kecantikan mereka. Pada dasarnya riasan wajah merupakan rekayasa manusia untuk memperindah dan mempercantik diri (Caturwati, 1997: 4.). Rias yang digunakan oleh waranggana adalah rias korektif (lihat gambar 4.20). Rias wajah korektif adalah rias wajah yang menekankan prinsip koreksi bentuk wajah dan bagian-bagian wajah dengan cara menyamarkan bentuk-bentuk atau bagian wajah yang kurang sempurna dan menonjolkan bagian-bagian wajah yang sudah indah dengan menerapkan teknik shading (memberi bayangan gelap) dan tinting (memberi bayangan terang) dari base make up yang diaplikasikan. Tata rias yang baik selain mempercantik penampilan secara lahiriah juga menunjang rasa percaya diri seseorang. Tujuan rias wajah adalah menonjolkan keindahan wajah dan menyamarkan atau menutupi kekurangan wajah. Untuk merias wajah dengan baik diperlukan keterampilan khusus yaitu pemahaman tentang beragam kosmetika dekoratif, peralatan penunjang serta teknik rias wajah korektif yang tepat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
Tata rias wajah korektif diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan untuk menyempurnakan rias wajah dan mencapai bentuk wajah mendekati wajah ideal. Terkait dengan pernyataan di atas para waranggana nampaknya sudah lihai dalam urusan make up. Hal ini dibuktikan dengan ketika persiapan pentas mereka (baca: waranggana) merias wajah mereka sendiri. Mereka tidak menyewa jasa salon untuk merias wajah mereka. Alasan mereka menguasai tata rias wajah adalah agar profesi mereka sebagai seorang seniman lebih profesional. Tidak selalu mengandalkan jasa orang lain, sehingga mereka bisa mandiri. Dan terlebih lagi alasan yang paling mendasar adalah agar lebih irit untuk pembiayaan produksi, sebab, dengan menyewa jasa salon, otomatis mereka harus membayar jasa salon tersebut, sehingga berakibat pada berkurangnya uang pentas yang diterima oleh mereka akibat jasa pembayaran salon. Seperi dituturkan Musrini (Wawancara, 26 Desember 2014), seorang waranggana senior: “walah mbak, yang namanya dadi waranggana itu harus bisa merias wajahnya sendiri, biar mandiri. Sing paling penting ki mbak biar ngirit, karena biaya salon maharani mbak, alias mahal”. Waranggana yang mempunyai jam terbang yang sudah tinggi, tampak sangat lihai dalam memainkan kuas make up di wajahnya. Sebagian besar waranggana menggunakan kryolan atau alas bedak yang berwarna sesuai dengan kulit mereka ada yang kuning langsat, cokelat ataupun kuning kencana. Pemakaian alas bedak harus benar-benar terampil, jika tidak hasil nya akan berantakan, karena alas bedak merupakan bangunan dasar dalam make up. Setelah memakai alas bedak para waranggana menaburkan bedak tabur dan bedak padat di wajah mereka. Penaburan bedak tabur dan bedak padat berfungsi untuk menghilangkan garis-garis di wajah sehingga tampak halus. Untuk mempertegas garis dan bentuk wajah, dibutuhkan penambahan eyebrow pencil
to user (pensil alis), Lips colour (pemerah bibir),commit Lips shine (pencerah bibir), eye shadow (perona
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
mata), eye liner (Penghitam garis mata), bulu mata palsu, dan mascara yang berfungsi untuk menambah volume bulu mata. Dalam hal merias wajah bagian yang paling penting dipertegas dan dipercantik adalah mata. Dengan mata, pengibing dan waranggana terjalin suatu proses komunikasi. Mata adalah bagian yang paling sensual dari tubuh, untuk itu hiasan mata harus benar-benar segar dan tajam. Penambahan eye shadow yang beraneka warna di kelopak mata seperti warna ungu, merah muda, biru, hitam disertai dengan gliter berwarna keemasan dan perak memberikan kesan segar dan tajam. Untuk merampingkan, menonjolkan, dan menambah volume tulang pipi para waranggana membubuhkan rouge (pemulas pipi) yang dipakaikan dengan kuas blush on . Terkait dengan pernyataan di atas, setelah pembubuhan di bagian mata dan tulang pipi, bagian selanjutnya adalah shading. Teknik shading digunakan untuk menambah bayangan hidung agar kelihatan lebih mancung dan sempit. Pembubuhan shading menggunakan rouge yang berwarna gelap kecokelatan, dilakukan di bagian kanan kiri hidung, mulai dari atas sampai di cuping hidung, ditarik lurus kedua sisi. Di bagian tengah hidung diberikan highlight warna putih atau bedak padat yang warnanya lebih terang, sehingga agak lebih terang dari atas sampai ke bawah, sehingga terkesan mancung keluar . Bagian selanjutnya adalah bibir. Bibir merupakan pusat sensualitas dari wajah. Biasanya, di bagian bibir diberikan pemerah bibir, untuk menambah kesan seksi dan segar, sehingga tidak kelihatan pucat. Para waranggana, biasanya menggunakan warna pemerah bibir atau lips colour dengan warna yang terang atau menyala, hal ini dimaksudkan agar di panggung lebih kelihatan apik. Dengan kaca kecil di tangan kirinya dan peralatan make up di tangan kanan, mereka tampak tidak kesulitan dalam merias wajah mereka. Para waranggana dapat mengubah
commit to user tampilan mereka dengan waktu yang singkat, tampak lebih segar, dan good looking.
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.22 Musrini, seorang waranggana senior yang merupakan primadona (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). Selain rias panggung bagi waranggana unsur penunjang lainnya adalah busana. Busana yang digunakan waranggana memiliki trik-trik dalam penggunaan busana panggung. Ada bagian busana waranggana yang harus diwiru, dan ada yang dipakai dengan ketat, hal ini dimaksudkan agar bagian-bagian yang ditonjolkan oleh tubuh lebih kelihatan harmonis. Para waranggana lebih suka menggunakan busana kebaya. Karena dengan memakai kebaya terlihat lebih cantik, karena penggunaan kebaya ditubuh harus ketat, sehingga lebih indah dipandang. Biasanya para waranggana lebih menyukai busana kebaya dengan warna yang cerah seperti biru, kuning, merah dan dipadukan dengan busana bagian bawah yaitu menggunakan jarik atau kain polos yang bernada sama atau lebih soft yang dipadukan dengan busana kebaya bagian atas. Jika waranggana menggunakan jarik maka penggunaan jarik pun diwiru. Proses pewiruan kain yaitu ujung kain dilipat kecil-kecil dengan ukuran perbagian yaitu dengan ukuran dua jari. Jika waranggana menggunakan kain polos maka, pemakaian pun hanya dililitkan dengan rapi, dari kiri ke kanan sehingga bentuk tonjolan-tonjolan tubuh lebih kelihatan menarik (lihat gambar 4.23)
commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Performa waranggana yang menuntut tidak hanya menyanyi tetapi juga menari mengharuskan busana yang dipakai harus rapi dan aman, jangan sampai busana tersebut melotrok atau terlepas dari tubuh. Maka, pemasangan busana pun harus aman dan nyaman sehingga ketika menari pun busana yang dipakai tidak menimbulkan gangguan-gangguan yang nantinya berdampak pada pertunjukkan waranggana itu sendiri. Sejalan dengan tujuan pemakaian busana tari adalah meningkatkan atau memberikan keserasian badan dari penekanan pada postur tubuh yang statis atau dinamis, mendukung penari untuk bisa bergerak secara leluasa, serta mendekatkan peran atau karakter yang diinginkan (Ellfeldt dan Carnes, 1971:76).
Gambar 4.23. Busana yang dipakai oleh waranggana, memakai kebaya dan jarik (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
Gambar 4.24. Busana yang dipakai oleh waranggana, pada saat adegan tayuban (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Gambar 4.25. Busana yang dipakai oleh waranggana junior, memakai kebaya polos, tidak dengan payet dan jarik (dokumen Dinas Pariwisata, Oktober 2009). commit to user 4.2.5.2 Tata pentas
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
Panggung pertunjukkan tradisional adalah tempat yang secara turun-temurun dan telah menjadi kebiasaan pada sebuah komunitas atau masyarakat etnis tertentu dalam mengekspresikan diri. Tempat pertunjukkan dapat menjadi simbol. Tempat pertunjukkan juga bermacam-macam bentuknya, seperti : Proscenium, tapal kuda, teater arena, dan sebagainya. Tempat pertunjukkan yang biasa digunakan dalam acara langen tayub bersih desa di Desa Ngrajek yaitu bertempat di sekitar sumur Mbah Ageng yaitu di tengah-tengah Desa Ngrajek dan dekat sekali dengan pemukiman penduduk. Bentuk tempat pertunjukkan dalam acara langen tayub adalah berbentuk “U”, yaitu posisi panggung di depan dan penonton bisa menyaksikan pertunjukkan dari kiri-ke kanan. 4.2.5.3 Jimat Dunia pertunjukkan adalah dunia dengan penuh gemerlap, seperti contohnya pertunjukkan langen tayub, unsur pertunjukkan langen tayub yang didukung oleh musik karawitan yang lengkap, sound yang menggelegar, ditambah dengan tata cahaya lampu yang berkilauan. Oleh karena itu aktor utama tayub, dalam hal ini waranggana harus memiliki kecantikan dan tubuh yang ideal, karena dengan memiliki kedua unsur tersebut maka hal tersebut berimplikasi dengan finansial yang didapat. Kecantikan menjadi syarat mutlak, syarat religius. Cantik bukan lagi pengaruh dari alam, juga bukan pula kualitas moral sampingan, tetapi kualitas mendasar, wajib dari sifat perempuan yang memelihara wajahnya dan kelangsingan sebagai jiwanya ( Baudrillard, 2011: 170). Oleh karenanya para waranggana selalu menjaga makanan yang dimakan untuk menjaga bentuk ideal dari tubuhnya, olahraga dengan latian tari dapat menjaga performa tubuh seorang waranggana. Terkait dengan pernyataan di atas, banyak cara yang digunakan oleh waranggana untuk menjaga agar pesona kecantikan dan tampilan tubuh yang ideal tetap stabil. Menurut
commit useryang dimiliki ada beberapa tindakan penuuturan Musrini selain keterampilan skill dan to bakat
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
spiritual yang dilakukan oleh seorang waranggana, hal ini berkenaan dengan peningkatan rasa percaya diri, ketika perform di depan publik dalam pertunjukkan langen tayub. Musrini menjalankan tapa brata, laku spritual yang dilakukan yaitu puasa tiron, dan laku spiritual yang lain yaitu mandi kembang. Mandi kembang dilakukan ketika memasuki bulan sura, yaitu bulan yang penuh dengan mistik dalam kepercayaan orang Jawa, Musrini melakukan mandi kembang di Air Terjun Sedudho pada pukul 24.00 wib, hal ini berfungsi untuk menambah pesona dan kharisma dalam jiwa Musrini, selain menambah pesona dan karismatik, Air Terjun Sedudho dipercaya membuat perempuan awet muda bagi mereka yang melakukan mandi kembang setiap malam satu suro atau malam satu Muharram dalam kalender Arab. Mitos yang dipercaya di air terjun sedudho oleh masyarakat, digeneralisasikan dari orang-orang terdahulu, mitos yang digeneralisasikan bahwa Air Terjun Sedudho digunakan untuk memandikan arca yang dianggap keramat pada zaman Majapahit, yaitu arca pratistha. Dari mitos tersebut masyarakat setempat percaya bahwa air tersebut memilki kekuatan supranatural yang luar biasa. Di dalam pelaksanaan ritual-ritual tertentu orang Jawa sudah melakukan doa dengan cara masing-masing, seperti membaca mantera, puji samadi/semedi sebagai tanda kedekatan dengan dunia batin terdalam adalah pencapaian sakral (Suyanto: 2014: 51). Terkait dengan pernyataan di atas, Air Terjun Sedudho adalah mata air yang berasal dari perbukitan yang tidak pernah kering sampai saat ini. Sejak dahulu mitos mengenai Air Terjun Sedudho sudah dikenal dan dipercaya oleh masyarakat, bahkan sejak zaman kerajaan Majapahit. Walaupun secara rasional mandi di tengah malam akan mendatangkan kondisi yang tidak stabil bagi tubuh, yang nantinya akan berimplikasi bagi menurunnya kestabilan tubuh, tetapi karena mereka mempercayainya, maka hal tersebut tetap dijalani. Sebagaimana
user mitos berlogika spontanitas dan diungkapkan oleh Jacob Sumardjo (2010:commit 346). tobahwa
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
bukan kausalitas-akal sehat. Logika mitos adalah logika metakosmos (kepercayaan), yakni mereka yang mempercayai dan mengimani, semua peristiwa mitos adalah logis. Semua peristiwa dalam mitos benar-benar terjadi alias “sejarah” yang sejati-jatinya. Tidak ada mitos yang salah, tidak benar, kecuali mereka yang mempercayainya. Bagi mereka yang mempercayai betapa pun absurdnya adalah benar-benar terjadi menjadi persis seperti apa yang diceritakannya.
Gambar 4.26. Sesajen di depan Sumur Mbah Ageng, sebagai persembahan sebelum pertunjukkan langen tayub. (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). Selain laku spiritual yang dijalankan, para waranggana mempercayai terhadap suatu barang yang dianggap magic, yang mampu memancarkan aura tersendiri yaitu kunjen. Kunjen adalah barang sakral, perlakuan terhadap barang sakral tidak sembarang, ada tahapan-tahapan proses sakralisasi. Berikut tahapan-tahapan proses sakralisasi (Suatika, 2014: 4) 1. Disucikan pada hari suci dengan adanya hari baik dan buruk (dewasa) menurut perhitungan Jawa. 2. Adanya sarana upacara dan ritual lainnya secara simbolik. commit to user 3. Dilaksanakan oleh orang-orang yang suci.
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 4. Menggunakan mantra-mantra atau doa suci 5. Dilaksanakan pada harti suci (Kliwon)
Barang- barang yang dianggap sakral, biasanya tidak boleh dilangkahi, karena mereka percaya kalau barang kunjen dilangkahi kekuatan magicnya akan berkurang, sehingga barang kunjen tersebut ditutup atau dibalut dengan kain, biasanya berwarna putih, merah ataupun hitam. Barang kunjen pun tidak sembarang diletakkan, kunjen biasanya diletakkan di selipan kain, kutang, di tempat make up atau di kamar pribadi waranggana. 4.2.6 Jejak-Jejak Perubahan Waranggana dari Masa ke Masa Dalam perjalanan historisnya tentu saja pertunjukkan langen tayub mengalami pasang surut dalam gelombang sejarahnya. Pada masa kolonial Belanda kesenian langen tayub dimintai untuk memeriahkan dan menyemarakkan sebuah pesta di Kabupaten. Masa kolonial Belanda tidak ada pelarangan dalam mementaskan langen tayub di depan publik. Pada saat Indonesia merdeka yang dipimpin oleh seorang proklamator Indonesia, yaitu Presiden Soekarno, Presiden Soekarno memiliki apresiasi yang sangat tinggi terhadap nafas pertunjukkan kesenian langen tayub, oleh karena itu dibuat wadah khusus yaitu LESTARI (lembaga seni tari). Tetapi,
ketika
republik
ini
diterpa
pergolakan-pergolakan
yang
akhirnya
menumbangkan kepemimpinan Soekarno. Nasib lembaga yang dulu dilindungi Soekarno, kini dituding sebagai pemberontak yang bernama PKI 65 (Gerakan Partai Komunis Indonesia),
oleh karena itu tayub diisolir oleh pemerintah, karena pada saat itu ketika
Soeharto naik tahta sebagai presiden kedua, pemerintahan Soeharto ingin memberantas PKI sampai ke akar-akarnya. Dikarenakan ketakutan-ketakutan dari pemerintahan Soeharto, maka sebagian pertunjukkan langen tayub dilarang pentas dikarenakan diduga sebagai pergerakan dalam melawan pemerintahan Soeharto. Oleh karena itu pada saat pemerintahan orde baru
commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi kevakuman pementasan langen tayub di sekitar Jawa timur, yang daerahnya sebagai tempat kelahiran para waranggana Jawa Timur ( Agung, wawancara Desember 2014) Selain dipengaruhi oleh transisi kepemimpinan dari orde lama ke orde baru. Situasi pada saat itu ditambah dengan kemelut pemberontakan dan penghianat negara. Pada saat itu lembaga kesenian yang tidak tahu apa-apa mengenai dinamika politik yang sedang terjadi menjadi “korban” dari ketidaktahuan mereka. Korban disini berarti mereka menjadi sasaran amukan propaganda G 30S PKI. Situasi hidup yang tidak tenang, selalu dikejar-kejar dengan rasa takut dan kekhawatiran. Pada akhirnya mereka pasrah pada takdir sejarah yang disutradai oleh orang-orang yang mempunyai kewenangan dalam kalangan pemerintahan yang elite. Karena yang menjadi korban disituasikan pada kepasrahan atas ketidaktauan mereka. Akhirnya hal ini berimplikasi pada situasi yang membuat mereka mengalami tendensi yang sangat kuat sehingga menimbulkan traumatik yang mendalam dengan pemerintahan pada masa itu. Terkait dengan pernyataan di atas, bahwasanya tidak hanya sistem pemerintahan saja yang mempengaruhi perkembangan tayub pada masa itu. Selain sistem pemerintahan, kondisi yang dialami oleh masyarakat kini, juga dialami oleh seluruh masyarakat di dunia, yaitu kondisi modernitas yang telah mengglobal. Di Desa Ngrajek merupakan desa yang sektor utama produksinya berasal dari sektor agraris, mayoritas penduduknya bermatapencaharian petani. Tetapi pada masa saat ini, teknologi yang merupakan produk modern, sudah memasuki sistem agraris yang terdapat dalam masyarakat Desa Ngrajek. Dalam kegiatan bertani, masyarakat Ngrajek sudah menggunakan teknologi, sebagai contoh, traktor, untuk membantu produktivitas pertanian.
commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.27. Tampak perempuan yang mengenakan kerudung dan baju merah (Bu Lurah) sangat mendukung ritual bersih desa yang diadakan satu tahun sekali. (dokumen Ningsih, 10 0ktober 2014). Sejalan dengan Giddens (Lubis, 2014: 140) melihat ada empat institusi penting yang dapat dijadikan dasar untuk mendefinisikan modernitas. Pertama, adalah kapitalisme yang ditandai dengan produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa properti, serta sistem kelas yang bersumber dari ciri sebelumnya. Kedua, adalah industrialisme yang menggunakan sumber daya alam dan mesin yang memproduksi barang. Industrialisme tidak saja berhubungan dengan lapangan kerja, akan tetapi mempengaruhi bidang-bidang lain seperti: transportasi, komunikasi, dan kehidupan rumah tangga. Ketiga, kemampuan dalam mengawasi aktivitas negara terutama dalam bidang politik. Keempat, kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi alat-alat perang. Tentu, hal ini berimplikasi pada hasil atau output budaya yang dihasilkan, oleh karenanya di tengah tekanan kegiatan pada siang hari sebagai petani, yang harus bertaruh melawan ganasnya sengatan matahari, masyarakat mencari hiburan di malam hari lewat suatu pertunjukkan yang dikenal dengan pertunjukkkan langen tayub Langen tayub di Desa Ngrajek tumbuh subur eksistensinya, karena didukung oleh masyarakat pendukungnya. Apresiasi yang luar biasa ditunjukkan oleh masyarakat Ngrajek ketika langen tayub dipentaskan, hal ini terlihat dengan terlibatnya berbagai struktur desa dari Kepala Desa, Lurah, sampai carik atau Sekretaris Desa memberikan sumbangsih mereka baik moril maupun materil.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
4.3. Sebab Terjadinya Diskursus Modal Tubuh Sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek 4.3.1 Waranggana dalam Tekanan Modernitas Waranggana dalam pertunjukkan langen tayub dihadapkan pada kenyataan hidup yang pada hari ini sedang berayun pada kondisi modernitas. Modernitas dipahami sebagai suatu konsekuensi dari proses modernisasi Weber (Hidayat, 2012: 22). Modernisasi adalah sikap dan pandangan hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini (Hidayat, 2012: 22). Dalam proses perjalanannya waranggana melahirkan sejarah bagi realitas hidupnya sendiri, sehingga hal tersebut berimplikasi pada sikap dan spirit hidup seorang waranggana dalam menjalankan hidup sebagai seorang waranggana. Pada perjalanannya hal tersebut mengantarkan waranggana pada sebuah kesadaran. Seperti yang diungkapkan oleh Pitana (2014: 71) Kondisi modernitas yang menawarkan rasionalisasi dan komodifikasi mengantarkan masyarakat pada sebuah kesadaran. Kesadaran yang mengiringi masyarakat dalam hal ini waranggana dalam masa kekinian segalanya diukur dari penghitungan rasionalitas seseorang, artinya penghitungan dalam setiap mengambil sebuah kebijakan dalam hidupnya didasarkan pada akal budi di kehidupan praktis. Oleh karenanya pilihan hidup yang diambil oleh seorang waranggana didasarkan pada rasionalitas pengalaman pengetahuannya. Apalagi ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak commit to user modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
guna mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan (Pitana, 2014: 71). Artinya modernitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam rangka persaingan ekonomi dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Ketika pengetahuan akan komersialisasi menjadi sebuah kesadaran baru bagi waranggana, maka tidak ada suatu konsensus yang dipegang teguh sebagai suatu tata nilai yang dibagi bersama, (waranggana sebagai sarana penghubung dalam ritual pertunjukkan langen tayub). Waranggana yang perannya sebagai perantara hubungan antara manusia dan sang dewa tidak lagi dianggap sebagai sebuah keyakinan, dikarenakan ada rasionalisasi dalam diri waranggana. Konsekuensi dari praksis modernisasi ini, yakni munculnya modernitas yang radikal; sebuah proses yang mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang tradisional (Hidayat, 2012: 24). Peran waranggana dalam pertunjukkan tayub tidak pada utusan sebagai perantara dewi dan simbol Ibu Pertiwi, tetapi pada arena tawar menawar dalam dominasi pasar. Hal ini menunjukkan terdapat kompleksitas realitas yang terjadi dalam kehidupan waranggana. Menurut Abdullah (2006: 143) kompleksitas realitas dalam kehidupan sosial masyarakat lazimnya didorong dengan adanya globalisasi yang tak dapat dihindari dari pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial. Dalam konteks kehidupan waranggana kompleksitas realitas eksternal yang menempatkan dominasi pasar sebagai kekuatan pembentuk tatanan sosial. Dominasi pasar merupakan salah satu penanda dari kapitalisme. Sejalan dengan Abdullah (2010: 169) Kapitalisme karenanya telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pembentukan status dan kelas
commitsosial to user dengan orientasi tertentu-tertentu. Setiap praktik kemudian menjadi bagian dari politik
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
identitas dalam rangka pemosisian sosial individu dalam suatu ukuran nilai dengan prinsipprinsip yang baru yang mengarah pada konsep nilai lebih atau perbedaan. Oleh karena kondisi kekinian yang dihadapkan pada tekanan kapitalis. Orang-orang yang bisa bertahan untuk bisa hidup di kehidupan ini adalah ia yang mempunyai kekuatan dana atau financial. Praktek sosial yang dilakukan oleh waranggana yakni menjadi seorang waranggana meletakkan pada posisi sosial waranggana dalam masyarakat. Hal tersebut yang membuat waranggana berbeda dari masyarakat pada umumnya. Kekuatan dana merupakan power dalam rangka mempertahankan kehidupan
Hal ini
mengindikasikan bahwa waranggana harus mampu mengatasi masalah hidupnya. Semakin besar dana yang ia pegang maka ia bisa lebih lama bertahan. Perguliran zaman di dalam masyarakat mengharuskan manusia di masa kini berkompetisi dalam rangka bertahan untuk hidup. Berbeda pada zaman sebelumnya, kompetisi dalam hidup belum terlalu terasa. Sebagai contoh, harga tanah tidak terlalu melonjak, kebutuhan pangan yang tidak terlalu melambung harga belinya, atau bahkan bisa dengan gratis mendapatkan kebutuhan pangan, dikarenakan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah ruah, sehingga dengan bebas manusia dapat memanfaatkan dan mengambil sumber daya alam tersebut. Jumlah penduduk pun belum terlalu padat sehingga pada zaman dahulu tidak ada masalah yang cukup serius terutama dalam ranah mencukupi kebutuhan hidup. Setiap
manusia
lazimnya
mempunyai
harapan,
begitupun
bagi
kehidupan
waranggana. Harapan terhadap pembebasan merupakan harapan manusia pada umumnya. Masyarakat modern juga menginginkan adanya harapan pembebasan tersebut. Di alam kesadaran mereka menganggap bahwa memasuki dunia modern sama dengan berharap terjadinya pembebasan hidup dari kemiskinan, kelaparan, kebodohan, ketertinggalan, serta
commit user penyakit-penyakit yang mematikan (Raditya, 2014:to116)
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
Oleh karenanya untuk mencapai pembebasan terhadap jeratan kemiskinan dan ketertinggalan, pilihan menjadi waranggana pun dilakoni. Pilihan ini dipilih dikarenakan menjadi waranggana tidak serumit menjadi seorang pegawai negeri sipil yang harus mempunyai historis pendidikan sampai ke sarjana. Menjadi seorang sarjana tentu bersedia untuk menghabiskan waktu di bangku pendidikan dengan waktu yang lama dan biaya pendidikan yang tidak murah atau dengan kata lain merogoh kocek yang dalam. Pendidikan yang dienyam oleh seorang waranggana rata-rata paling tinggi berhenti pada jenjang Sekolah Menengah Atas atau SMA. Menjadi seorang waranggana tidak dituntut untuk menamatkan atau menyelesaikan sampai bangku kuliah. Pendidikan yang dienyam oleh seorang waranggana tidak mempengaruhi profesionalitas jogetan waranggana di atas panggung. Para waranggana cukup dibekali dengan pelatihan olah suara dan olah bekso, dengan dua pelatihan tersebut maka seorang waranggana bisa melalui tahap menjadi seorang waranggana. Salah satu narasumber Andriyani merupakan seorang waranggana yang hanya meluluskan sampai tingkat Sekolah Dasar. Andriyani harus menerima kenyataan bahwa ia tidak seberuntung teman-temannya yang bisa meluluskan sekolahnya pada tingkat Sekolah Menengah Atas, tetapi ia mempunyai harapan bahwa ia juga bisa sukses dengan jalur yang berbeda. Andriyani tidak menyalahkan orangtuanya karena belum bisa menyekolahkannya sampai ke tingkat Sekolah Menengah Atas. Hal ini dikarenakan situasi dan keadaan memang dalam paceklik dan harga buruh tani pada tahun tersebut memang dibawah standar. Situasi pada masa tersebut berada pada masa orde baru . Pada masa orde baru buruh perkebunan dan pertanian tidak dibayar standar, bahkan dibawah standar, hal tersebut tidak mengakibatkan kesejahteraan bagi buruh pertanian dan buruh perkebunan. Walaupun dengan upah yang kecil Andriyani bersedia untuk menjadi seorang buruh perempuan perkebunan,
committersebut to user karena keadaan. karena mau tidak mau ia harus menjalani profesi
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
Sejalan dengan pendapat Heyzer (1991: 113) mengemukakan bahwa kondisi ini seperti juga kasus di Asia (Malaysia, Indonesia, Filiphina, Srilangka) terdapat lebih banyak pekerja perkebunan perempuan daripada lelaki. Pekerja-pekerja perempuan ini semula diperkerjakan dengan upah yang sangat rendah, dan sering dengan pekerjaan tidak tetap. Pekerja perempuan yang merupakan istri-istri atau anak-anak dari pekerja lelaki perkebunan telah tersedia di perkebunan dan merupakan cadangan yang dapat digunakan selama ada kekosongan diantara pekerja laki-laki Minimnya upah buruh perempuan membuat keadaan tidak stabil dalam keluarga Andriyani. Tenaga kerja manusia di Indonesia memang dibayar dengan upah kecenderungan murah. Hal ini dilatarbelakangi dengan masuknya teknologi pertanian dalam masyarakat Jawa. Menurut hasil penelitian Collier (1974) dan Cain (1981) di Jawa menunjukkan, bahwa modernisasi teknologi pertanian dalam beberapa kasus mendorong buruh perempuan keluar dari pekerjaan bertani Oleh karenanya, Andriyani yang pada saat usia tersebut berusia 14 tahun tidak memilih buruh tani lagi menjadi profesinya. Ia harus mencari jalan keluar lain untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang tengah menghimpit kehidupannya. Harapan Andriyani untuk bisa mandiri dan bisa mencukupi kebutuhan keluarganya adalah tekad yang tidak pernah padam bagi Andriyani. Putusan menjatuhkan pilihan menjadi waranggana sebagai suatu sikap tegas yang dilakukan waranggana bagaimana ia membawa tubuhnya sendiri dalam ayunan modernitas. Dalam hal ini waranggana adalah perempuan cerdas yang dapat membaca tubuhnya. Bukan pada tataran membaca tubuh hanya sebagai melihat seonggok daging. Tetapi pemaknaan pembacaan tubuh waranggana melampaui hal demikian. Pada pertunjukkan tayub, waranggana merupakan pemain sentral dalam tontonan
commit to user sebagai nilai tukar yakni sebagai tersebut. Pada akhirnya tubuh waranggana dipertukarkan
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komoditas dalam pertunjukkan tayub. Segala potensi tubuh waranggana dieksploitasi sebagai cara menarik perhatian agar menjadi pusat ketertarikan penonton atas dirinya. Tubuh pada kondisi hari ini dibaca oleh waranggana sebagai suatu modal kehidupan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Tubuh waranggana yang pada praksisnya bisa menari dan menyanyi mempunyai potensi besar dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah, sehingga hal ini berimplikasi pada kesejahteraan perekonomian waranggana. Sikap yang dilakukan waranggana atas pembacaan tubuhnya merupakan strategi yang diformulasikan oleh waranggana dalam rangka memenuhi kebutuhan yang mendasar bagi kehidupannya. Waranggana Andriyani berkeyakinan dengan modal suara dan kecantikan yang dimiliki olehnya. Hal ini membuat ia menyadari bahwa ia sendiri memiliki nilai tawarnya sendiri. Sebuah modal salah satunya kecantikan adalah penunjang bagi keberlangsungan dirinya menjadi seorang waranggana. Hal ini sejalan dengan pendapat Baudrillard (2011: 170), yakni syarat wajib kecantikan adalah satu dari modalitas syarat wajib fungsional. Oleh karenanya, Andriyani yang memiliki paras cantik (good looking) dan suara yang indah mempunyai nilai tawar menjadi seorang waranggana. Nilai tawar yang dimiliki oleh Andriyani dibangun atas pembacaan dan pemeliharaan tubuh waranggana sendiri. Artinya waranggana sadar untuk melihat kekurangan dan kelebihan yang ada dalam tubuh waranggana itu sendiri. Oleh karenanya sejalan dengan Ritzer (2011: xxxiii) tubuh harus dibangun ulang oleh pemiliknya dan dilihat secara narsistik ketimbang secara fungsional Pengetahuan yang menghegemoni Andriyani membangun kesadaran bahwa Andriyani mempunyai modal tubuh yang dapat menyelamatkan hidupnya dari kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan. Modal tubuh menjadi kekuatan yang besar bagi diri Andriyani. Dengan modal tubuh yang dimilikinya, Andriyani mempunyai posisi atas dirinya dan keluarganya.
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pilihan menjadi waranggana merupakan cara mereka (baca: waranggana) dalam menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya, terdapat motivasi yang kuat dalam diri waranggana sendiri untuk menjadi seorang waranggana. Motivasi yang paling mendasar adalah motivasi ekonomi. Dengan menekuni profesi sebagai seorang waranggana, mereka menginginkan agar kebutuhan-kebutuhan hidup mereka tercukupi. Hal ini juga diperkuat dengan melihat pengalaman waranggana senior sebelum dia yang mempunyai historis kehidupan sukses dalam menjalankan profesinya sebagai seorang waranggana. Hal ini dibuktikan dengan memiliki rumah yang besar, usaha yang banyak, mobil yang mewah, dan terpenuhinya biaya pendidikan anak-anak mereka. Hal-hal tersebutlah yang mendorongnya untuk menjadi waranggana yang laris dan sukses mengikuti jejak waranggana senior sebelum Andriyani. Terpenuhinya
kebutuhan
hidup
yang
berakibat
pada
kesejahteraan
dalam
perekonomian waranggana berimplikasi pada waranggana yang tidak dipandang sebelah mata. Sehingga dalam praktek sosial menjalankan profesi sebagai waranggana. Mereka berada pada pencapaian strata yang bisa diperhitungkan dalam urusan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung waranggana melakukan perjalanan mobilitas sosial. Perjalanan mobilitas sosial yang ditandai dengan perubahan kehidupan waranggana dari kurang “mampu” menjadi keluarga yang “mampu” di bidang ekonomi. Hal ini berimplikasi pada kuatnya “power” waranggana dalam masyarakat. Sehingga, kehadiran waranggana merupakan suatu keberterimaan dalam masyarakat. Keberterimaan masyarakat terhadap waranggana dipengaruhi oleh sikap terbukanya masyarakat. Walaupun realitasnya waranggana dikontruksikan pada identitas negatif yang sudah lama dikontruksi, sehingga hal tersebut melekat dalam diri waranggana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
Di dalam tekanan-tekanan yang dihadapi oleh waranggana, waranggana mampu mandiri dan berkuasa, mereka mampu menyihir penonton untuk tunduk pada tubuh mereka. Di dalam panggung pertunjukkan tayub, para waranggana merupakan orang yang paling berkuasa atas kuasa yang ia miliki dengan nyayian dan tarian mereka. Dengan kuasa tersebut, para waranggana secara sadar menyadari bahwa ada nilai ekonomis yang terkandung dalam nyanyian dan tarian mereka. Hal ini dapat dilihat, melalui harga patokan atau bayaran yang diterima oleh waranggana. Contoh: pementasan waranggana yang dimulai dari pukul 19.00 WIB, sampai dengan pukul 1:30 WIB dini hari biasanya berkisar antara Rp.1.500.000 sampai dengan Rp. 2.000.000,00. Seorang waranggana merupakan seorang pejuang bagi keluarga dan kehidupan mereka. Di samping itu, waranggana melakukan tugasnya sebagai seorang pejuang kearifan lokal, dengan keberadaan mereka sebagai seorang waranggana. kehadiran mereka membuat kesenian tayub di Nganjuk tetap “ada” sampai sekarang walaupun kemasan, bentuk dan nilai berbeda dengan zaman dahulu.
commit to user Gambar 4.28 Waranggana yang sedang tayuban dengan pengibing
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id (dokumen Ningsih, 28 0ktober 2014). 4.3.2 Ajang Eksistensi Diri dan Tulang Punggung Keluarga
Perempuan dalam bingkai hegemoni laki-laki memandang bahwa perempuan sebagai “makhluk yang lemah”, telah menjadi ideologi umum yang tidak hanya mempengaruhi masyarakat awam, tetapi juga menjadi cara pandang kaum intelektual di dalam melihat dan menempatkan perempuan (Budiman, 1985; Fakih, 1996; Abdullah, 2001). Tetapi pengertian perempuan yang memandang bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah, nampaknya tidak sesuai dengan fenomena waranggana dalam langen tayub di Desa Ngrajek, Nganjuk Jawa Timur. Seorang waranggana dalam pertunjukkan langen tayub mampu mengaktualisasikan dirinya lewat lantunan tembang yang merdu ditambah dengan jogetan memukau diiringi dengan gamelan yang mengiringi jalannya pertunjukkan tayub. Bahasa tubuh waranggana yang diekspresikan lewat tembang dan jogetan yang memukau, menggiring tubuh seorang waranggana tidak pada pemahaman yang konvensional, yaitu bukan lagi pada posisi subordinat yang pada pengertiannya menempatkan kelaki-lakian bertahta dalam posisi superior. Akan tetapi, kini tubuh perempuan (waranggana) merupakan tubuh yang membebaskan dirinya sendiri, yang mengeluarkan dirinya sendiri dari penjara kebisuannya. Tubuh waranggana berinteraksi dengan lingkungan dan budayanya sehingga menghasilkan suara yang termanifestasikan di dalam realita kehidupannya. Waranggana dengan segala power atau kekuasaan yang dimilikinya bisa membebaskan apa yang menjadi hasrat dalam dirinya. Tubuh waranggana adalah tubuh yang berkilau lewat bakat seni yang dimilikinya dan semangat hidupnya. Waranggana adalah seorang perempuan yang cerdas, dengan ide yang luar biasa mengawinkan bakat seni yang dimilikinya dan semangat hidup yang tidak pernah commit to user padam. Bakat seni memang menjadi penting, ketika waranggana harus berhadapan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
gelombang, benturan-benturan peristiwa dan realita hidup yang menerpa. Sehingga membuat waranggana berkontemplasi tentang apa yang terjadi pada dirinya. Lewat perkawinan dari dua unsur tersebut, waranggana bisa menyihir penonton dan pengibing di atas panggung dengan pesona yang mereka miliki. Kelihaian waranggana dalam menari dan menyanyi di dapat dari bakat yang dimiliki dan latihan yang disiplin untuk penguasaan dalam menari dan menyanyi. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Faucault (Hardiyanta, 1997: 76) “ Disiplin merupakan mekanisme “kontrol” yang teliti atas tubuh. Melalui disiplin, tubuh dilatih hingga menjadi tubuh yang terampil. Namun juga terus-menerus diuji dan dikoreksi sehingga keterampilan, kecekatan, dan kesiapsediaan ini akhirnya menjadi mekanisme yang dengan begitu saja bekerja di dalam tubuh itu sendiri. Disiplin sekaligus meningkatkan keterampilan, kekuatan, dan daya guna tubuh, tetapi juga menguasai dan menempatkan tubuh ke dalam relasi tunduk dan berguna”. Untuk menguasai tembang, waranggana berlatih setidaknya dimulai dari umur mereka masih belia, yakni sekitar umur 10 tahun. Melalui latihan-latihan yang terus menerus sampai beberapa tahun kemudian, maka waranggana dapat menguasai tembang tersebut secara utuh. Begitupun dengan menari, waranggana yang luwes menari dan mempunyai kepenarian yang bagus dibentuk oleh latihan dengan disiplin yang terus menerus. Waranggana yang luwes dalam menari biasanya mendapatkan job menari selain dari pertunjukkan tayub. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Musrini, “Biasanya aku ditanggap Tari Ngremo, tari yang pakai gongseng di salah satu kakinya. Biasane yang nanggap itu orang yang punya hajat, misal mantenan, sunatan, atau tujuh belas Agustusan. Durasinya sekitar enam sampai tujuh menit. Dalam satu kali pementasan Ngremo, biasanya dikasih uang nanggap Rp. 550.000,00”. Kepiawaian Musrini dalam menarikan Tari Ngremo dan menjadi seorang waranggana meningkatkan kekuatan dan daya guna tubuh terhadap diri Musrini sendiri. Skill yang dimiliki oleh Musrini merupakan modal yang harus dipelihara agar tubuh tersebut selalu
commit to user membentuk relasi yang menguatkan eksistensi Musrini sebagai seorang waranggana.
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
Terkait dengan pernyataan di atas, tubuh waranggana yang masuk ke dunia publik dan tontonan mengandung sebuah relasi bagi siapapun yang melihatnya, khususnya pihak yang secara persuasi menangkap tanda tersebut yakni pengibing. Sehingga, relasi antara waranggana dan pengibing sangat kuat. Hal ini berarti power yang dimiliki oleh waranggana melalui tubuhnya menguasai dengan persuasif. Pengibing yang ingin selalu menari tayub dengan waranggana menunjukkan bahwasanya mereka menari bukan atas dasar paksaan, tetapi hal ini dilakukan atas kerelaan dari diri pengibing. Sebagaimana diungkapkan oleh Faucault ( dalam Alimi, 2004: 24) bahwa: “Power tidak menindas, tetapi produktif. Ia tidak berfungsi melalui hukuman dan memenjarakan tubuh, tetapi malah menambah kegunaannya dan memaksimalkan kekuatannya. Power bersifat membatasi tetapi juga membebaskan”. Banyaknya pengibing yang menyukai waranggana untuk menari membuat eksistensi waranggana tersebut naik daun. Panggilan untuk mengisi acara atau bahasa lainnya ngejob membanjiri waranggana. Salah satu waranggana Sriyatun merupakan waranggana yang pada sat ini sedang naik daun. Sriyatun dahulu yang tidak dikenal, hanya seorang perempuan desa Kampung Ngrajek. Kini dikenal di daerah lain sebagai seorang waranggana yang terkenal memiliki harga manggung yang fantastis. Popularitas Sriyatun telah menyebar, diantaranya; wilayah Kediri, Nganjuk, Surabaya mengenal Sriyatun. Hal ini menunjukkan menjadi waranggana membuat Sriyatun menunjukkan eksistensi dirinya dan menjadi idaman di panggung pertunjukkan tayub. Popularitas seorang waranggana yang mengindikasikan eksisnya waranggana tersebut berimplikasi pada besarnya bayaran atau uang nanggap yang diterima oleh waranggana tersebut. Menurut Sriyatun uang nanggap yang diterima olehnya berkisar di atas Rp.5.000.000,00 pada satu pertunjukkan tayub (wawancara, Sriyatun, 10 0ktober 2014). commit to user Besarnya bayaran yang diterima oleh waranggana berimplikasi pada terjaminnya
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
kesejahteraan dalam kehidupan waranggana. Sehingga mereka terbebas dari jeratan kemiskinan. Terjaminnya kehidupan waranggana dalam perekonomian merupakan harapan awal menjadi seorang waranggana yakni menciptakan kehidupan yang seimbang agar tidak berada dalam posisi ketimpangan. Posisi yang ideal dalam kehidupan yakni terpenuhinya kebutuhan ekonomi yang merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Pada kenyataannya, pencapaian posisi stabil dalam perekonomian kehidupan waranggana sudah didapat, tetapi ada hal lain yang terpisahkan dari kehidupan waranggana, yakni pencapaian kebutuhan batiniah. Kebutuhan ini menyangkut relasi waranggana dengan keluarganaya. Hal tersebut yang dirasa waranggana tidak seimbang. Karena, pada dasarnya kestabilan merupakan harapan semu dalam pencarian kestabilan sendiri. Pada titik ini biasanya waranggana mengalami ketimpangan terhadap relasi dengan suami mereka. Salah satu waranggana bernama Musrini seorang waranggana sebagai fakta lapangan yang berbicara. Musrini mempunyai suami yang tidak mengerti akan kondisi dan profesi ia sebagai seorang waranggana. Ia selalu mendapatkan perlakuan yang kasar dari suaminya. Tamparan, cacian, dan pukulan sering Musrini terima dari suaminya. Terlebih, ketika Musrini tidak menyerahkan uang hasil pendapatan ia setelah selesai manggung sebagai seorang waranggana dalam pertunjukkan langen tayub. Hal ini menimbulkan respon melalui tindakan tegas dari Musrini. Sikap tegas ia asosiasikan dikarenakan ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari suaminya. Musrini tidak tinggal diam. Ia bereaksi (behabities) dan memberikan keputusan (verdictives) atas apa yang nantinya akan ia jalani. Musrini mengajukan cerai terhadap suaminya. Dalam ketidakberdayaan Musrini ketika bersedia untuk dipukuli dan menahan siksaan tersebut selama beberapa waktu. Kondisi ketidakberdayaan tersebut memunculkan sebuah power
commit diri to user hebat yang tak terbantahkan yang mengendalikan Musrini.
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Musrini berpandangan (expositives) bahwa Ia adalah seorang manusia. Bukan berarti menjadi waranggana hak kemanusiaan ia sebagai manusia dicabut. Waranggana yang dilabel sebagai perempuan yang “tidak bermoral” oleh masyarakat sekitar, merupakan seorang perempuan yang menerobos mainstream mengenai “wanita yang baik-baik”.
Biasanya
definisi “Wanita yang baik-baik” diidentikkan dengan diam di rumah, tidak keluyuran, tidak dalam lingkungan yang dominan laki-laki, tidak keluar malam-malam. Oleh karenanya banyak konsekuensi yang harus diterima, dikarenakan waranggana yang menerobos hal-hal yang diidealkan oleh masyarakat pada umumnya. Banyak sekali bahasa yang tak terbahasakan yang tak mampu terbaca oleh orang lain atau ada alasan ketika waranggana harus keluar malam dan pulang pagi. Ia bekerja membanting tulang. Mendayagunakan segala kemampuan dan modal dari tubuhnya untuk menopang hidupnya dan bisa bertahan dalam kehidupan. Bukankah waranggana sedang dalam proses membangun kesadaran, bahwa kodrat ia sebagai seorang manusia yang menghargai kehidupannya dengan cara bekerja. Tetapi banyak asumsi kepada waranggana bahwa pekerjaan yang mereka lakukan “rendahan, tak bermoral, dan penghancur rumah tangga orang lain”. Peran yang dimainkan oleh waranggana sangatlah sulit. Banyak pihak yang mengecam dan mengintimidasi kehidupannya. Baik dari keluarga kecilnya sendiri, bahkan sampai orang lain. Harapan seorang waranggana adalah pemakluman dari keluarga, terutama dari seorang suami yang mempunyai peran yang besar dalam mensupport profesi Musrini. Sedangkan yang ia alami merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan dari suaminya. Musrini tidak merelakan dan bersedia tubuh dan jiwanya ditekan secara tidak manusiawi oleh orang lain. Dengan membiarkan orang lain memukuli ia sebagai bukan manusia. Layaknya sebagai binatang yang diperah tenaganya, bertugas hanya mencukupi kebutuhan ekonominya
commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
saja dan melayani kebutuhan seksual suaminya yang tidak memperlakukan ia sebagai seorang Musrini. Ia juga berhak menuntut hak untuk hidup nyaman tanpa tekanan, hak untuk disayangi sebagai seorang Ibu dan sebagai seorang perempuan, karena sejatinya hubungan rumah tangga adalah saling melengkapi, saling menyayangi, bukan saling menyakiti. Walaupun kenyataannya batin Musrini merasa berperang dengan sangat hebat dan mengerang ketika harus menjalani proses perceraian dengan suaminya. Tetapi, keputusan tersebut telah dia pilih dan mau tidak mau ia harus mematuhi atas segala konsekuensi yang terjadi. Tampak jelas bahwa posisi perempuan tidak selamanya berada pada subordinasi dari dominasi laki-laki. Waranggana dalam hal ini adalah perempuan yang menghargai dirinya sendiri sebagai seorang perempuan, menghargai kehadiran jasmaninya sebagai sebuah tubuh yang harus dipelihara bukan untuk dirusak dengan dipukuli. Waranggana mengakui kehadiran haknya sebagai seorang perempuan, dengan tidak membiarkan bahkan mengizinkan orang lain untuk menyakiti tubuh dan jiwa mereka. Apalagi ketika waranggana menyadari dengan sepenuhnya bahwa tubuh mereka adalah modal untuk hidupnya, modal di atas panggung pertunjukkan tayub. Tanpa modal tubuh mereka, maka mustahil mereka untuk menjadi seorang waranggana. Untuk itu memelihara dan menjaga tubuhnya adalah pekerjaan rumah bagi seorang waranggana yang harus selalu dijaga sepanjang hidupnya, agar selalu terpelihara dan tidak rusak. Waranggana mempunyai hak hidup dan hak kemanusiaan untuk tetap normal menjalani aktivitas kehidupannya. Oleh karenanya dengan power mereka sebagai seorang waranggana, mereka telah mengukir hak mereka sebagaimana perempuan dalam kehidupan rumah tangga pada umumnya. Berikut hak mereka dalam menjalani kehidupan sebagai waranggana.
commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 1. Hak memilih pasangan 2. Hak menceraikan pasangan 3. Hak menentukan kehamilan 4. Hak merawat anak dan mendidik anak.
Melalui power yang dimilki oleh seorang waranggana, maka waranggana memiliki kemandirian yang kokoh. Dengan kemandirian yang mereka bangun. Waranggana dilatih mentalnya untuk mengatasi persoalan hidupnya sendiri. Tanpa menangis dan mengemisngemis meminta bantuan kepada orang lain untuk diberi penghidupan dan perlindungan. Kehidupan profesional menjadi primadona dalam pertunjukkan langen tayub membebaskan waranggana dengan kebebasan dalam meraih hasrat yang mereka dambakan.
Gambar 4.29. Waranggana Musrini berdandan sebelum acara pementasan langen tayub dalam rangkaian bersih desa (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014)
commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.30 Foto Waranggana Musrini yang dipajang di ruang tamu rumahnya (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Andriyani mengatakan bahwa menjadi seorang waranggana tidaklah mudah, menjadi seorang waranggana harus mampu menstabilkan emosi dan mengendalikan diri di atas panggung pertunjukkan langen tayub, dikarenakan kebanyakan pengibing minum-minuman keras, yang merupakan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam pertunjukkan tayub. Jadi, sikap pengibing pun terkadang ada yang kurang ataupun bahkan tidak terkontrol. Dalam pertunjukkan langen tayub, biasanya banyak terjadi perlakuan yang tidak menyenangkan bagi waranggana. Misalnya, biasanya ada sindiran-sindiran nakal dari seorang pengibing, sikap waranggana tidak serta merta langsung marah dan menghakimi pengibing, tetapi dingatkan pelan- pelan dengan lemah lembut dan dengan senyuman.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
Gambar 4.31. Tampak SPG (Sales Promotion Girl) sibuk membawa pesanan bir dalam pertunjukkan tayub (dokumen Ningsih, 10 0ktober 2014). Tetapi ada sebagian waranggana, yang mengatakan bahwa perlakuan seperti itu adalah perlakuan biasa dan tidak termasuk dalam golongan perlakuan yang tidak menyenangkan. Seperti yang diungkapkan oleh Musrini, bahwa pada saat dirinya dicubit, disentuh, dijawil. Musrini merasa bahwa ia bukan pihak yang dilecehkan, karena perlakuan semacam itu adalah hal-hal yang biasa yang ditemui dalam pertunjukkan langen tayub (wawancara, Musrini 28 Desember 2014) “Ya Begitulah Mbak konsekensi menjadi ledhek mbak, wong harus sabar, nrimo, ikhlas, dan rilo. Ncen okeh sing menggoda mbak, bukan hanya menggoda mbak, tapi mereka malah mengejar-ngejar mbak. Aku yo sering ditunggoni dari tempat rias, sampe keluar menuju rumah mbak.” Terjemahan: “Ya begitulah mbak konsekuensi menjadi ledhek mbak. Kita harus sabar, menerima, ikhlas, dan rela. Pasti banyak yang menggoda mbak, bukan hanya menggoda mbak, tapi mereka mengejar-ngejar mbak. Aku sering ditunggu dari tempat rias, sampe keluar menuju rumah mbak” Berbeda halnya dengan yang dialami oleh Andriyani, ia mengatakan bahwa dirinya pernah memukul pengibing akibat perkataan yang kurang sopan dari pengibing. Andriyani
commit to user dengan tegas dan berani melemparkan microphone ke wajah pengibing, karena menurut
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Andriyani perkataan dari pengibing tersebut tidak bisa ditolerir lagi. Akibat dari tindakan Andriyani tersebut, dirinya dituntut untuk mengganti rugi perlakuan yang diterima oleh pengibing, pengibing tersebut menginginkan uang dua ratus ribu rupiah (Rp. 200.000,00) sebagai biaya pengobatan akibat tindakan dari Andriyani yang membuat memar wajah pengibing tersebut (Andriyani, wawancara 30 Desember 2014) Hal ini menunjukkan bahwa antara waranggana yang satu dengan yang lain tidak memiliki pola pikir yang seragam. Memang tidak bisa mendefinisikan dan menentukan kategori ketidaknyamanan seorang waranggana di atas panggung, karena hal ini berkaitan dengan perspektif waranggana secara subjektif. Jadi, apakah mereka merasakan biasa saja dengan perlakuan tersebut, atau malah tidak sama sekali. Sehingga, sepertinya sulit untuk memformulasikan
bagian-bagian
sejauh
mana,
seorang
waranggana
dikategorikan
mengalami tindak pelecehan seksual. 4.3.3 Membangun Identitas Diri Tubuh waranggana mempunyai muatan strategi dalam kehidupan panggung dan luar panggung. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Faucault (1997: 29). Tubuh bukan sebagai milik, tetapi sebagai strategi. Dengan modal tubuh yang dimiliki mereka bisa melakukan suatu strategi perubahan di dalam kehidupannya. Hal ini didapat dengan menjadi primadona dalam pertunjukkan langen tayub. Kuasa yang dimiliki seorang waranggana mampu menempatkan mereka menjadi sang penguasa yang bisa menguasai penikmat pertunjukkan langen tayub. Tubuh waranggana yang bermuatan politis mampu mempengaruhi penikmat tayub dengan menghegemoni secara persuasif. Penikmat tayub yang terhegemoni tersebut tidak merasa dalam paksaan, walaupun mereka harus mengeluarkan rupiah atas rasa terimakasih mereka telah diperkenankan menari bersama waranggana. Seperti yang diungkapkan Faucault dalam
commit to user Discipline and Punish, yang mengungkapkan sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
“Tubuh juga terlibat langsung dalam ranah politik, relasi kekuasaan, memunculkan cengkeraman langsung terhadapnya, relasi kekuasaan menyemainya, melatihnya, menyiksanya, menandainya, memaksanya untuk melakukan banyak tugas. “Investasi politik” tubuh ini terikat sejalan dengan relasi-relasi timbal balik yang kompleks, dikaitkan dengan berbagai relasi kekuasaan dan dominasi. Menjadi tubuh yang bermanfaat, jika produktif sekaligus patuh dan menjadi budak” (Faucault dalam Lubis, 2014: 82)”. Mekanisme yang terdapat dalam kuasa waranggana dalam pertunjukkan tayub adalah waranggana memberikan pengetahuan akan dirinya, melalui tampil dalam pertunjukkan langen tayub. Setelah pengetahuan terhadap diri waranggana ditangkap secara inderawi oleh pengibing, proses selanjutnya adalah menciptakan relasi dengan pengibing melalui interaksi yang dekat ketika proses ngibing. Pengibing yang terhegemoni secara persuasif merelakan dirinya bahkan mempunyai hasrat untuk melakukan interaksi yang lebih dekat kepada waranggana. Ketika pengibing sudah terhegemoni secara persuasif, disitulah kuasa dari seorang waranggana bekerja. Kuasa waranggana yang bekerja tersebut menciptakan suatu diskursus baru, yakni, sebuah kesadaran baru. Suatu kesadaran yang menyelubungi diri seorang waranggana. Kesadaran yang berlandaskan rasionalitas dalam diri waranggana, bahwasanya modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana mempunyai nilai tawar, sehingga bernilai ekonomi. Nilai tawar dalam tubuh waranggana, membuat waranggana memasang tarif dalam setiap pementasan. Pertunjukkan tayub yang dilakukan waranggana dibedakan menjadi waktu siang dan malam. Waktu siang biasanya dari pukul 08.00 wib – 14.30 wib, sedangkan waktu malam sekitar pukul 20.30 wib – 03.00 wib dini hari. Sebelum waranggana tampil dalam pertunjukkan tayub. Biasanya yang nanggap dan waranggana bernegosiasi mengenai kontrak uang nanggap terkait dengan pertunjukkan tayub dan mekanisme pertunjukkan tayub (terkait dengan waktu pementasan). Mekanisme sistem pemesanan untuk pertunjukkan tayub yakni, orang yang mempunyai hajat biasanya
commit to user memesan waranggana sebulan atau sebelum melaksanakan hajatan. Hal ini dikarenakan
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waranggana harus mencocokkan jadwal terutama bagi waranggana yang mempunyai jam terbang yang tinggi. Kontrak pemesanan yang dilakukan sebelum pertunjukkan tayub dilakukan waranggana, harapannya agar tidak mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepada waranggana untuk menayub di hajatan mereka. Biasanya para waranggana yang laris, intensitas manggung tayub berkisar antara enam sampai sepuluh kali dalam satu bulan. Dalam satu kali pertunjukkan mereka mendapatkan uang Rp. 1.500.000 sampai dengan Rp. 3.000.000,00. Uang tersebut bersih dari yang punya hajat. Belum termasuk uang tip atau tekan (uang sukarela dari pengibing yang diberikan pada waranggana) yang diterima waranggana. Pada umumnya pengibing memberikan uang tip dari mulai Rp. 75.000,00 sampai dengan Rp.500.000,00 atau bahkan lebih besar sesuai dengan keadaan kantong uang pengibing. Jika kantong uang pengibing “tebal” maka yang diterima oleh warangggana pun banyak. Akan tetapi jika kantong uang pengibing tipis maka uang yang didapat dari pengibing pun standar-standar saja. Menurut Faucault, antara pengetahuan dan kuasa justru terdapat relasi yang saling memperkembangkan (1997: 30). Pengetahuan yang dimiliki penikmat tayub terutama pengibing mengenai waranggana adalah merasakan kesenangan, sehingga hasrat(desire) mereka dapat dipenuhi dengan penyaluran ekspresi melalui menari nayub bersama seorang waranggana. Adanya pengetahuan antara waranggana dan pengibing menciptakan relasi antara keduanya. Sehingga secara tidak disadari muncullah kuasa di dalamnya. Ketika waranggana mampu menguasai pengibing, hal ini berarti waranggana telah melahirkan kuasa atas pengibing sendiri. Pengibing yang terhegemoni oleh kuasa yang dilahirkan oleh waranggana secara kontinu selalu ingin berkomunikasi dengan waranggana, terlepas dari pertunjukkan langen tayub di atas panggung.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
Komunikasi yang terjalin secara terus menerus berimplikasi pada kedekatan emosional antara waranggana dan pengibing. Banyak dari pengibing menawarkan cinta kepada waranggana bersedia untuk menjalin hubungan yang sah dan resmi,yaitu dengan pernikahan. Oleh karena itu, banyak waranggana yang menjadi istri seorang pelayan masyarakat, seperti polisi, tentara, dan ada diantaranya tokoh masyarakat. Identitas negatif tersebut dikontruksi oleh persepsi masyarakat mengenai waranggana. Apalagi seorang waranggana merupakan seorang perempuan. Perempuan dalam penafsiran budaya patriarki Menurut (Muhammad, 2002: 16) perempuan dalam penafsiran budaya patriarki merupakan sumber fitnah, sumber kekacauan, dan kerusakan sosial, serta sumber kegalauan hati atau kebringasan laki-laki. Pada pandangan normatif, perempuan harus membatasi ruang geraknya di luar rumah, tidak boleh berdandan, apalagi menari di depan umum. Oleh karenanya pandangan seperti ini yang memperkuat stigma negatif dalam kehidupan waranggana. Konsekuensi menjadi seorang waranggana dengan jam kerja sampai pagi dan memulai pekerjaan kebanyakan pada saat malam membuat waranggana diberikan stigmastigma negatif yang mengasingkan waranggana. Kegiatan waranggana sebagai seorang penari dan penyanyi dilihat masyarakat sebagai wanita penghibur, dinilai meresahkan wanita yang sudah bersuami. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa mereka (baca: waranggana) banyak menjadi simpanan dan bisa dibayar selain melakukan tugasnya sebagai waranggana. Selain sebagai penggoda bagi laki-laki yang sudah beristri, masyarakat menilai bahwa ada pementasan lain di luar panggung. biasanya dikenal dengan istilah booking atau bisa diajak ditempat lain oleh pengibing yang mengajak kencan. Kencan tersebut dilakukan biasanya setelah acara pementasan selesai. Kebanyakan dari para waranggana yang mempunyai paras cantik dan karismatik didatangi oleh
commit to user menjadi „objek hasrat‟ laki-laki di pengibing. Tubuh perempuan atau citra tubuh perempuan
perpustakaan.uns.ac.id
120 digilib.uns.ac.id
dalam sistem komoditas kapitalisme, maka tubuh mereka harus tampil dalam „kemasan‟ dan „citra‟yang menarik perhatian. Karenanya, citra-citra segar, muda, gadis, perawan atau lincah menjadi sangat penting dalam menciptakan daya tarik komoditas (Piliang, 2014: xxv). Oleh karenanya waranggana yang mempunyai paras yang cantik banyak digemari oleh pengibing. Bahkan, pengibing yang penasaran dengan pesona waranggana biasanya rela berjam-jam menunggu waranggana berganti kostum di belakang panggung. Ada beberapa waranggana yang mau diajak oleh pengibing dan ada beberapa waranggana yang menolak permintaan pengibing tersebut. Keberterimaan permintaan pengibing biasanya dipengaruhi bagaimana waranggana menilai pengibing tersebut. Apakah layak untuk diajak kencan atau tidak. Waranggana yang menerima ajakan pengibing melihat status sosial pengibing tersebut. Jika pengibing yang mengajak dari kalangan mempunyai kelas sosial menengah ke atas, diantaranya; Polisi, TNI, atau pegawai negeri sipil, waranggana bersedia diajak kencan oleh mereka. Umumnya masyarakat banyak mengetahui bagaimana praktek yang dilakukan waranggana setelah pentas. Seperti pengungkapan dari tetangga waranggana (Mbak te, wawancara 10 Oktober 2014). “Ada beberapa waranggana yang tidak langsung pulang mbak, kalau setelah pentas. Biasane to pentas kelarnya pagi sekitar pukul 02.00 wib. Jadi ada beberapa pengibing yang nakal nungguin dan menemui waranggana”. Setelah ditemui waranggana mereka biasanya kencan mbak. Tempatnya sesuai dengan yang dijanjikan oleh pengibing”. Aktivitas yang dilakukan setelah pentas yang dilakukan oleh waranggana merupakan hak kebebasan dari waranggana, dengan siapa mereka jatuh cinta, pada siapa mereka akan menikah dan menjalani rumah tangganya. Tetapi mayarakat memberikan penghakiman bagi seorang waranggana. Seakan-akan masyarakat memaksa terhadap rule yang mereka buat dan membuat waranggana untuk menerima rule tersebut. Opini masyarakat mengenai
commit to user waranggana yakni penggoda laki-laki selalu yang dituduhkan oleh masyarakat terhadap
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waranggana. Padahal seharusnya masyarakat juga harus menjaga suaminya agar tidak merelakan dirinya untuk sengaja mendekati waranggana. Tetapi, selalu saja waranggana yang dituduh untuk mendekati suami mereka. Seperti yang diungkapkan oleh seorang waranggana (Herminten, Wawancara 10 Oktober 2014) sebagai berikut. “Namanya asap tidak akan muncul jika tidak ada api, kadang bukan dari waranggana sendiri mbak. Waranggana berusaha menghindar, tetapi para laki-laki yang sering sekali menggoda bahkan ada yang memaksa mbak. Walaupun keadaannya seperti itu, tetap saja kita yang jadi bahan perbincangan mbak”. Bagi waranggana mereka harus menebalkan telinga mereka. Tidak langsung memerah telinga ketika hujatan dan stigma negatif tersebut menghujani kehidupan waranggana. Opini masyarakat yang ditujukan kepada waranggana merupakan kebebasan masyarakat untuk berpendapat mengenai kehidupan waranggana. Hal tersebut bukanlah hal yang harus diperdebatkan menurut waranggana sendiri. Bijaknya sikap waranggana dalam menanggapi pemberian persepsi tersebut adalah tuntutan menjadi seorang waranggana. Menikahnya antara waranggana dan pengibing dengan latar belakang pekerjaan seperti yang dicontohkan di atas, menaikkan prestige waranggana dalam kehidupan bermasyarakat. Pernikahan bagi waranggana merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Seperti yang dialami oleh Musrini, ia menikah dengan seorang polisi. Membuat kehidupannya berubah dari yang dulu hingga sekarang. Perubahan tersebut sangat dirasa, perlindungan dari pernikahan tersebut berdampak pada kehidupan Musrini. Hal ini dapat diidentifikasi, ketika Musrini berinteraksi dengan masyarakat ataupun pengibing dalam pertunjukkan tayub. Para pengibing segan untuk menjalin relasi dengan Musrini dikarenakan suaminya berprofesi sebagai seorang polisi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
4.4 Proses Terjadinya Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub Di Dusun Ngrajek Jawa Timur 4.4.1 Komodifikasi Waranggana dalam Modernitas Tayub pada masa dahulunya dipercayai masyarakat sekitar mempunyai kekuatan magi simpatetis dan dianggap sebagai sebuah ritual yang sakral. Ritual yang sakral dalam pertunjukkan tayub termasuk ke dalam ritual kolektif. Menurut Durkheim (Raditya, 2014: 83) ritual kolektif memiliki kemampuan daya emosi yang mendalam, cepat, dan akurat. Di dalam ritual kolektif tersebut terdapat sebuah elaborasi dari kekuatan kelompok dan pikiran kolektif. Sebuah elaborasi ini yang menghasilkan suatu energi yang membakar emosi kelompok sehingga bisa mendatangkan suatu energi magic yang sangat kuat dan bisa mendekatkan secara emosional antara personal satu dengan personal yang lainnya. Oleh karenanya tari tayub terdapat unsur magi simpatetis, artinya tarian ini dapat dikatakan sebagai tari yang mendatangkan magic. Tari yang mendatangkan magic dapat dikategorikan sebagai tari sakral.
Dalam
bahasa Jawa istilah sakral ini dapat disamakan dengan suci, kramat, wingit, angker, dan ghaib. Ritual-ritual yang dilakukan di masyarakat Jawa selalu identik dengan “sakral” karena ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa merupakan upaya pendekatan diri kepada yang Maha Suci atau Maha Ghaib yaitu sang pencipta (Tuhan) (Suyanto, 2014: 50). Sejalan dengan pendapat Eliade bahwa manusia yang dengan kecenderungannya untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan atau dengan objek yang suci yang sama artinya dengan kekuasaan atau kekuatan, dan dengan realitas yang sakral identik dengan “Ada” (being) disebut dengan masyarakat arkais (2002: 6). Ciri masyarakat arkais adalah masyarakat yang menurut Mircea Eliade (dalam Susanto, 1987: 43-44) memiliki karakter-karakter sebagai berikut. 1. Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna dan efektif sejauh commit to user keberadaan itu mempunyai prototype ilahi atau tindakan itu
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
mereproduksikan tindakan kosmologis awal mula (arketipe penciptaan dan kehidupan ilahi yang suci) 2. Kosmologi menduduki tempat utama dalam kehidupan kesehariannya. 3. Pemikiran-pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. 4. Tidak membedakan antara sejarah dengan mitos, karena sejarah selalu dianggap sejarah suci dan menganggap dirinya sebagai produk akhir dari suatu sejarah mistis. 5. Tingkah lakunya bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan kepercayaan religius mereka selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental manusia; tidak mengenal aktivitas profan; alam tidak hanya dipandang sebagai natural murni, tetapi sekaligus natural dan supranatural. 6. Kehidupan mereka sangat religius Ritual tari kesuburan dalam rangkaian tayub merupakan sebuah komunikasi manusia dengan pencipta-Nya dan manusia dengan alam. Terkait dengan tari kesuburan, Ben Suharto menjelaskan bahwa hampir semua yang menyangkut tentang kesuburan ternyata selalu ada kaitannya dengan kehidupan seksual yang dihubungkan dengan kejadian alam yang menimpanya. Tari yang menggambarkan kesuburan, manusia di dalam bentuk pengungkapannya yang murni dapat dibagi dalam tingkat hubungan seksual (1999: 15), yaitu: 1) Pertemuan ; 2) Sentuhan ; 3) Persetubuhan. Di dalam pertunjukkan tayub, gerakan yang dilakukan bukan dalam berbentuk gerakan yang menggambarkan bercocok tanam, mencangkul, atau menuai padi, tetapi dalam
commityaitu to user bentuk tari berpasangan antara putera dan puteri antara waranggana dan pengibing.
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Waranggana dalam pertunjukkan tayub pun sebagai aktor utama dan mengandung unsur magi simpatetis kaitannya dengan kesuburan pertanian di Dusun Ngrajek. Karena itulah wanita secara mistis dianggap menjadi satu dengan bumi, melahirkan anak dipandang pada tataran manusia, sebagai bagian dari kesuburan bumi. Sakralitas wanita terkait pada kesucian tanah. Kesuburan feminin memiliki model kosmik = Terra master = Genetrix Universal ( Eliade, 2002: 149). Mitos kosmogonik yang diyakini adalah hierogamy antara Tuhan-Langit dan Ibu Bumi. Dengan bertemunya waranggana dan pengibing dipercaya dapat memberikan keberkahan bagi masyarakat Desa Ngrajek. Waranggana dan pengibing sebagai penjaga gerbang keberkahan.seperti yang diungkapkan dalam Brihadaranyaka Upanishad “Aku adalah Langit” Kata sang suami, “ Engkau adalah Bumi”, bahkan sejak masa Atharva Veda (XIV, 2,71) mempelai laki-laki dan perempuan sudah diserupakan dengan langit dan bumi (Eliade, 2002: 150) Terkait dengan pernyataan di atas, hubungan antara alam dan manusia digambarkan dalam bentuk skema yang dalam prosesnya terdapat jalinan-jalinan yang saling membangun. Berikut skema ekologi kesuburan yang dipercaya dan diyakini membawa keberkahan bagi masyarakat Ngrajek.
commit to user
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bapa angkasa dan Ibu pertiwi (Asal muasal kesuburan, Lingga Yoni)
Bapa Angkasa
(Pengibing)
Ibu Pertiwi (Ngibing) Representasi pertemuan Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi
(Waranggana )
Klimaks Pertunjukkan
Pertunjukkan Langen Tayub di Desa Ngrajek
Harapan masyarakat Ngrajek terhadap ritual langen tayub terhadap kesuburan dan keberkahan hidup masyarakat Ngrajek.
Petunjuk Model: : Hubungan Langsung Satu Arah (Garis yang mempengaruhi) : Hubungan langsung dua arah ( Garis yang salng mempengaruhi) Skema 3, Ekologi kesuburan yang membawa keberkahan masyarakat commit to user Duija, 2014). (Modifikasi Tia, disadur dari pemikiran
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pesta pora ritual yang merayakan keberhasilan panen memiliki model ritual hierogamy Ibu Bumi dan Dewa yang menyuburkan. Kesuburan tanah lahan pertanian distimulasikan oleh hiruk-pikuk genetik yang tidak terbatas (Eliade, 2002: 151). Hal ini nampak jelas dengan skema yang telah disajikan yaitu pada klimaks pertunjukkan “ngibing” yang merupakan representasi pertemuan antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi yang menyimbolkan keberkahan bagi masyarakat Dusun Ngrajek. Dalam pandangan Eliade bahwa sakralitas dalam masyarakat disebabkan oleh sesuatu yang sakral memang telah menjadikan dirinya dalam setiap ciptaan-Nya. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral karena ia memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya, sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan (2002: 4). Tetapi, dalam pandangan modern sakralitas sesuatu, tergantung pada ruang yang menyertainya. Ditambahkan dalam konteks Bali bahwa sakralisasi tergantung pada ruang, waktu, dan proses. Ruang yang berbeda menyebabkan sesuatu tersebut bisa dikatakan sakral atau profan (Duija, 2014: 43). Tayub erat hubungannya dengan ritus kesuburan. Simbol laki-laki dan perempuan merupakan simbol kesuburan. Dalam falsafah Jawa tayuban berarti pertemuan antara bapa angkasa dan ibu pertiwi. Tari yang dipakai untuk upacara kesuburan tidak nampak penuangan tema dengan memperlihatkan cara-cara menanam dari proses awal orang menanam, atau memetik hasilnya, tetapi dengan meuangkan cara hubungan seksual, lewat penari laki-laki dan wanita atau lewat simbol ( Soeharto, 1999: 18). Dalam kaitannya dengan upacara kesuburan Jamake Highwater (1992) dalam tulisannya yang berjudul Dance: Rituals of Experience, memaparkan bahwa tarian tayub mempunyai kekuatan yang dapat menimbulkan kesuburan bagi alam, pendapatnya sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
“Primal people regard an action as the embodiment of a mysterous force. They believe that dance can shape the circumstances of nature. If it can focus its contagios power on animals and supernaturals. This premise of sympathetic magic is at the root of most ceremonial use of dance. This practice, called homeopathic rital, is the basis of most hunting and fertility rites”. Oleh karena itu pertunjukkan tayub tidak bisa dilepaskan dari masyarakat agraris di masyarakat Jawa, tayuban dianggap masyarakat sekitar memiliki kekuatan ghaib yang dapat mendatangkan rezeki, dan mendatangkan panen yang berlimpah. Mereka mempercayai ada kekuatan yang tidak kasat mata. Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono (1991) yang dinyatakan dengan pendapatnya sebagai berikut. “Dalam Masyarakat Agraria, sadar atau tidak mereka beranggapan bahwa kesuburan tanah juga perkawinan tidak cukup hanya dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu diupayakan lewat kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan itu antara lain berupa magis simpatetis, yang hanya bisa didapatkan dengan perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan, yaitu hubungan antara pria dan wanita. Hubungan ini pada masyarakat yang masih melestarikan budaya purba kadang-kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi masyarakat yang sudah maju dilakukan secara simbolis. Magi simpatetis yang mampu mempengaruhi pembuahan atau kesuburan dapat dilakukan lewat tari dan drama tari”. Ekspresi-ekspresi budaya yang dilakukan oleh masyarakat, dilakukan atas dasar keyakinan dan penghayatan mereka, bagaimana bisa berinteraksi dengan alam. Komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada alam sebagai wujud bagaimana masyarakat dapat menjaga harmonisasi dan keseimbangan alam. Oleh karenanya tayuban dipandang memiliki kekuatan ghaib dan sangat berarti bagi warga desa. Menjamurnya pentas tayub di wilayah pesisir tidak terlepas dari dukungan dari masyarakat pendukungnya. Biasanya ritual tayub diselenggarakan setelah panen padi atau acara bersih desa. Masyarakat mempercayai bahwa dengan diadakan tayub maka panen akan berlimpah dan desa pun bersih dari bala‟. Oleh karenanya tayuban di wilayah Jawa masih commit to user tetap dipegang teguh, karena dengan menyelenggarakan tayuban, masyarakat percaya akan
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
diberikan rezeki panen yang berlimpah lagi. Kaitannya masyarakat Jawa umumnya berada pada sektor agraria. Tayub yang dahulunya dianggap masyarakat sebagai tari kesuburan yang bersifat sakral, kini mengalami pergeseran menjadi seni komersialisasi. Proses seni komersialisasi bekerja pada ruang dan waktu yang dihadapkan sekarang, yakni pada kondisi modernitas, sehinggga posisi tayub sekarang tidak pada sakralnya upacara tari kesuburan melainkan kondisi bersenang-senangnya antara pengibing dan waranggana. Kondisi hari ini menawarkan seni tradisi dihadapkan pada sebuah komoditi. Mau tidak mau para waranggana harus membuka diri dalam merespon pergeseran zaman, oleh karenanya waranggana harus menginterpretasi ulang terhadap pemahaman nilai-nilai sakralitas ritual dalam pertunjukkan tayuban. Tidak dipungkiri bahwa realitas yang dihadapi sekarang, bahwasanya pertunjukkan tayub sebagai arena bisnis, arena adu gengsi, sarana mobilitas sosial dan sebagai arena pendekatan komunikasi secara intensif. Dalam pemahaman seni komersialisasi berarti setiap pertunjukkan diukur atas permintaan pasar. Kegiatan komersialisasi memaksa untuk melakukan perubahan terhadap wujud seni pertunjukkan tayub tersebut. Seni pertunjukkan tayub yang di dalamnya mengandung nilai-nilai khusus kini dimodifikasi sesuai dengan permintaan pasar. Tidak bisa dielakkkan pada hari ini pasar mendominasi tubuh pertunjukkan tayub tersebut. Tuntutan pasar dalam tubuh pertunjukkan tayub menitik beratkan pada body image atau citra image dari pelaku seni tersebut. Semakin cantik dan bagus suara yang dimiliki dari aktor langen tayub, maka semakin mahal bayaran yang diterima oleh seorang waranggana. Body image tersebut merupakan bagian dari kontruksi sosial (Meliana, 2006:2) kontruksi sosial merupakan stimulus lingkungan yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh para perempuan, yang kemudian diinterpretasi dan dipersepsi oleh mereka sesuai pengalaman
to usermenghasilkan respon-respons dalam masing-masing, kemudian terinternalisasi commit yang akhirnya
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id menghayati citra tubuh.
Dalam hal ini waranggana menghayati tubuh mereka dengan
membentuk citra cantik dalam rangka memenuhi selera pasar sekarang. Kontruksi kecantikan tersebut benar-benar melihat dirinya sebagai objek yang cantik secara seksual, oleh karena itu pengaruh pasar tersebut menempatkan waranggana sebagai objek seksual. Memiliki tubuh yang langsing, hidung yang mancung, bagian pinggul yang montok mereka akan laris di pasaran atau banyak yang nanggap. Tetapi, di lain sisi harus disadari bahwasanya kecantikan secara fisik tidaklah abadi. Kontruksi tersebut membuat ketakutan bagi waranggana sendiri, yakni menyadari bahwa tubuh akan menua dan kecantikan mereka lambat laun akan luntur dengan proses penuaaan tersebut. Apalagi sekarang banyak waranggana yang memiliki paras yang cantik sehingga keadaannya lebih kompetitif dalam rangka memenangkan pangsa pasar. Salah satu waranggana Musrini melakukan suntik silikon di bagian hidung, bibir dan rahang wajah. Hal ini dilakukan untuk mempertajam bentuk hidung yang mancung, menambah kesan sensual pada bibir, dan membuat wajah semakin tirus. Pengakuan Musrini ketika diwawancarai bahwasanya pada awalnya ia merasa percaya diri dengan aplikasi suntik silikon tersebut, tetapi, seiring berjalannya waktu, proses penuaan tak dapat dihindari. Suntik silikon yang dilakukan Musrini berdampak besar, hal ini terlihat dari permukaan hidung Musrini yang menggembung, permukaan bibir yang lebih tebal, dan rahang wajah yang bergelambir dan terlihat turun sehingga ada kesan „aneh” ketika melihat wajah Musrini sekarang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
Gambar 4.32. Waranggana Musrini yang melakukan suntik silikon (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014). Tidak hanya memenuhi permintaan selera pasar. Tubuh waranggana kini, sebagai suatu wahana pertempuran antara yang sakral dan profan. Sejalan dengan Raditya (2014: 125) mengatakan bahwa sekarang tubuh sudah menjadi tubuh abjektif yang berarti tubuh tidak hanya bergerak pada aturan sosial melainkan tubuh yang menjadi medan pertempuran. Dengan kata lain pertempuran tersebut merupakan akibat dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang berada di dalamnya dalam menghadapi kuatnya pengaruh pasar di tengah masyarakat modern. Akibatnya komodifikasi waranggana dalam pertunjukkan tayub berimplikasi pada pudarnya nilai-nilai sakral yang dipahami dan dihayati oleh pelaku seni itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan sikap apatis waranggana akan penghayatan ritual dalam serangkaian prosesi ritual menjadi seorang waranggana. Para waranggana tiba-tiba langsung mementaskan diri di panggung pertunjukkan tayub, tidak memiliki skill menyanyi dan menari yang cukup diperhitungkan, bahkan banyak yang terkesan asal-asalan. Tidak hanya demikian, mereka (baca: waranggana) tidak sama sekali melewati serangkaian langkah yang panjang, seperti mandi suci di Air Terjun Sedudho, pengucapan Tri Prasetya Waranggana, pelatihan olah vokal dan olah bekso, ataupun gembyangan atau wisuda waranggana yang proses commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
selanjutnya mendapatkan SIP (surat izin pentas) dari Dinas Pariwisata Nganjuk ketika ingin menjadi waranggana yang benar-benar sah. Hal ini dilatarbelakangi oleh iming-iming dari uang yang didapat menjadi seorang waranggana. Para waranggana yang amatir ini sudah silau dengan kilauan rupiah yang didapat setelah manggung di panggung pertunjukkan tayub. Pergeseran seni tayub sebagai pertunjukkan yang sakral dan mengandung unsur magi simpatetis kini telah direduksi menjadi seni komersialisasi. Oleh karena itu, ritual-ritual yang dijalankan dan langkah-langkah yang wajib ditempuh tidaklah penting oleh waranggana yang amatir ini, yang menjadi prioritas mereka adalah dapat manggung dalam pertunjukkan tayub dan dengan manggung dalam pertunjukkan tayub tersebut, mereka mendapatkan honor atau tip dari para pengibing dan pihak penyelenggara. Kelakuan para waranggana yang amatir ini membuat resah para waranggana yang senior yang sudah mempunyai jam terbang manggung pertunjukkan yang sudah sering. Implikasi dari tindakan para waranggana yang amatir ini menurunkan kredibilitas waranggana senior, sehingga harga manggung mereka pun turun secara drastis. Seperti penuturan Andriyani, wawancara 29 Desember 2015 pukul 20.00 wib, di kediaman waranggana Andriyani. “Niki mbak, gegoro junior sing anyar sok-sok melu wae iku, saiki dadi turun drastis mbak. Mbiyen dari magrib sampe pagi sekitar Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) sampe Rp. 3.500.000 (Tiga juta lima ratus ribu rupiah) saiki mudhun dadi Rp. 500.000,00 (Lima ratus ribu rupiah)”. Tubuh tidak saja menjadi objek dalam relasi kekuasaan, tetapi juga sarana komunikasi dan penyampaian pesan, tubuh atau organ-organ tubuh dijadikan serangkaian penanda (signifier) atau dimuati dengan berbagai makna atau konotasi, sensual, elegan, lembut, macho, jantan atau kuasa. Tubuh menjadi sebuah narasi, yaitu rangkaian tanda bermakna, commit to user sebuah proses produksi tubuh menjadi penanda sosial (Piliang, 2014: xxii).
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
Tubuh waranggana yang menjadi daya pemikat dalam pertunjukkan tayub adalah sesuatu yang tampak dan dipertontonkan sebagai proses penanda sosial. Penanda sosial bagi kebiasaan yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat. sesuai dengan pandangan Ranciere yang memandang tentang tubuh sebagai pandangan materialisme. Pandangan materialisme melihat tubuh sebagai tubuh “yang mengindera” (sensible): “yang tampak” yang ditampilkan” dan yang dipertontonkan”. Pusat-pusat sensualitas yang dimiliki seorang waranggana adalah titik sentral yang dipertontonkan oleh seorang waranggana, yaitu bagian tubuh seperti payudara, bibir, pinggul, serta rambut. Bagian-bagian tersebut dikemas dalam balutan pakaian dengan warna yang mencolok sehingga menjadi titik sentral penonton ketika melihat pertunjukkan mereka (Baca: waranggana). Seperti, rambut yang diyakini sebagai mahkota wanita digelung atau disanggul dengan sedemikian rupa, biasanya para waranggana menyanggul rambutnya dengan bentuk sanggul tekuk, lengkap dengan accesories untuk mempermanis tampilan rambut sehingga apik untuk dilihat dan dipertontonkan. Bibir dipakaikan dengan pemerah bibir dengan warna yang tajam, balutan pakaian yang ketat sehingga tampak dengan jelas detail tubuh dari tubuh bagian atas sampai tubuh bagian bawah. Semakin ketat balutan pakaian yang dipakai oleh waranggana serta didukung oleh bentuk tubuh yang proporsional maka jam terbang seorang waranggana tersebut semakin padat dan tentu saja, hal tersebut berimplikasi pada kas pribadinya. Modal tubuh yang dimiliki waranggana merupakan suatu praktek ekonomi, praktek tersebut dimulai ketika waranggana sendiri memasang tarif atas modal tubuhnya. Semakin menawan modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana maka semakin tinggi tarif atas modal tubuhnya. Sejalan dengan pendapat Piliang, bahwa tubuh menjadi urat nadi ekonomi politik dan budaya kapitalisme, dengan segala potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya. Di dalam
to user sistem budaya kapitalisme, tubuh menjadi commit bagian dari politik tubuh (2011: 291)
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id Ada tiga politik tubuh yang diuraikan oleh Piliang, sebagai berikut. 1.
Ekonomi-politik tubuh yaitu bagaimana tubuh digunakan di dalam kapitalisme, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan patriarki), berkaitan dengan sejauh mana tubuh perempuan secara fisik dieksplorasi ke dalam bentuk komoditi, dengan tubuh perempuan sebagai entitas fisik, ditempatkan di dalam konteks dan relasi sosial ekonomi yang lebih luas dalam rangka penciptaan mistifikasi sosialnya.
2.
Politik ekonomi tanda tubuh yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tandatanda di dalam sistem pertandaan kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamnya. Tubuh sebagai entitas tanda dan citra dieksploitasi
segala
potensi
tanda
dan
citranya,
yaitu
kemampuan
menghasilkan tanda dan citra tertentu yang dapat menciptakan nilai ekonomi dalam dipertukarkan di dalam sistem pertukaran ekonomi yang ada, dalam rangka mencari keuntungan. 3.
Ekonomi-politik hasrat, yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi ajang eksploitasi ekonomi, yaitu bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan, atau dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi. Ekonomi politik hasrat menjelaskan bagaimana tubuh dan citra tubuh perempuan merupakan strategi di dalam politik eksplorasi ( dan sekaligus represi) hasrat perempuan, di dalam relasi psikis yang dibentuk kapitalisme.
Kaitannya dengan waranggana modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana sebagai entitas fisik dari dirinya sendiri, masuk ke ruang publik dalam pertunjukkan langen tayub. Masuknya tubuh ke ruang publik memposisikan tubuh sebagai komoditi. Oleh karenanya,
to user para waranggana mematok harga mereka commit ketika pertunjukkan tayub, baik itu untuk ritual tari
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesuburan atau pentas pertunjukkan tayub biasa, dan biasanya hitungan honor para waranggana bisa dinegosiasikan sebelum tayuban berlangsung, biasanya satu minggu sebelumnya atau lima hari sebelumnya (wawancara Andriyani, 29 Desember 2014). Komoditi yang bernilai ekonomis tersebut sesuai dengan negosiasi yang terjadi antara waranggana dan penikmat sajian tayub. Semakin tinggi tarif yang ditawarkan oleh waranggana, semakin tinggi citra atau identitas yang dikontruksi oleh waranggana sebagai waranggana yang mempunyai level tinggi dan dapat diperhitungkan. Identitas waranggana yang diperhitungkan di kalangan waranggana dan para pendukung tayub lainnya menelurkan sebuah strategi secara tidak disadari. Pesona kecantikan dapat menundukkan pengibing. Sehingga pengibing ingin menciptakan relasi yang lebih dekat bahkan intim dengan waranggana. Pada tingkat inilah waranggana telah menguasai secara penuh relasi yang ia ciptakan lewat ia sebagai waranggana dalam pertunjukkan tayub. Hal ini sejalan dengan pendapat Lubis ( 2014: 176), Komoditas memiliki karakter yang sanggup memenuhi kebutuhan manusia maupun karakter sosial yang digunakan untuk mengekspresikan relasi-relasi eksploitatif di antara orang-orang sebagai relasi antara objek-objek (bukan subjek dengan subjek). 4.4.2 Dari Perempuan Biasa Menjadi Waranggana Tubuh seorang waranggana adalah modal, modal yang menjadi sumber penghidupan bagi waranggana, tetapi pengertian modal disini bukan berarti waranggana “melacurkan diri”. Waranggana membaca tubuhnya sendiri sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan dan menundukkan. Semisal sebagai contoh guru mengajari anak muridnya dengan modal tubuh sebagai media penyampai pesan secara langsung antara ia (baca: guru) dan para muridnya. Guru menggunakan modal tubuhnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Bukan berarti dengan tubuhnya sebagai modal, lantas guru melacurkan diri tidak demikian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
Tubuh adalah keseluruhan yang melekat pada diri manusia, mulai dari mental, jiwa, pikiran, rasa, perilaku, bahasa, penampilan, simbol, dan aktifitas sosial lainnya ( Raditya, 2014: xiii). Definisi tubuh tidak bersifat statis, tubuh selalu diperbaharui, dan dimodifikasi sesuai dengan ruang, waktu, tempat dan proses ketika menemukan pengertian tubuh tersebut. Pada abad sebelum abad-20 tubuh dianggap sesuatu yang tabu, dan tidak patut untuk dibicarakan, karena tubuh berada pada ranah domestik. Sehingga publik tidak perlu untuk mengetahui sebenarnya tubuh. Tetapi pada abad-20, tubuh adalah sistem konsensus dan partisi sosial, sehingga setiap orang menggunakan tubuh sesuai dengan bagiannya (Piliang dalam Raditya, 2014: xxiii). Tubuh ditangkap secara inderawi sebagai materi yang berwujud, sehingga manusia dapat mendefinisikan bagian-bagian tubuh yang terjalin. Tubuh kita kini menjadi entitas yang potensial untuk menggapai kekuasaan, sehingga manusia mempunyai kebebasan untuk menggunakan tubuhnya. Kebebasan manusia menggunakan tubuh mereka dalam kehidupan merupakan cara manusia memandang tubuh mereka sebagai modal kehidupan yang potensial dapat digunakan untuk melakukan kegiatan dalam kehidupan mereka. Oleh karenanya tubuh sebagai modal mempunyai hubungan yang setara. Seorang waranggana tampil di depan publik mematahkan mitos kepasifan perempuan yang selama ini bertahta dalam ideologi patriarki. Perempuan yang hanya bisa di belakang dan di dapur, kini menjadi mitos yang mandul. Dikarenakan pada era kekinian bukan lagi patriarki yang berkuasa, tetapi sudah berubah menjadi pasar atau kapital yang berkuasa. Oleh karenanya, setiap orang dikondisikan untuk hidup di dalam arus perubahan identitas yang tiada akhir, yang perubahan tersebut dikendalikan oleh sebuah sistem yang bersifat manipulatif “kapitalisme” ( Piliang, 2011: 212). Sejalan dengan pendapat Azis (2007: 15) bahwa relasi kuasa didasarkan pada wacana
user manipulatif, didukung oleh rezim yangcommit tidak to apresiatif bagi proses perubahan dalam
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat. Dari dua pandangan tokoh di atas, dikatakan bahwa wacana manipulatif itu adalah kapitalisme. Disini terlihat jelas bahwa seorang waranggana sebagai seorang perempuan berhadapan dengan kuasa yang dominan baik yang berasal dari genuine laki-laki ataupun berasal dari penetrasi ideologi, budaya, dan politik. Kuasa dominan ini muncul dari resistensi pola pendekatan yang tidak partisipasif, bahkan cenderung tidak adil. Sehingga bagaimanapun juga posisi perempuan sebagai subordinasi dibawah kuasa yang sangat besar tersebut. Realitas kehidupan waranggana merupakan jejaring peristiwa yang berjalan dari masa ke masa. Hal ini menempatkan apa yang dilakukan oleh seorang “perempuan keluar malam-malam”, “jarang dirumah”, dan “selalu berdandan” demi mengais rupiah dalam lorong kegelapan malam merupakan sebuah keyakinan yang dianggap benar oleh waranggana. Hal ini sesuai dengan konteks ruang, waktu dan proses yang menyertai perubahan realita waranggana dari masa ke masa. Tentu hal ini tidak dapat dilepaskan dari kuasa kapitalisme yang menundukkan kehidupan waranggana. Begitu besar kuasa kapitalisme yang menerpa, waranggana mau tidak mau harus bertahan sehingga keluarganya bisa hidup di tengah himpitan ekonomi yang melanda keluarga mereka (baca: waranggana). Kuasa kapitalisme memang tidak bisa dibantah, karena pada zaman kekinian sudah dihadapkan pada situasi yang demikian. Akhirnya waranggana melakukan negosiasi yang pada akhirnya masuk dalam wacana kapitalisme, sehingga ia merelakan tubuhnya sebagai modal pertunjukkan yang bernilai ekonomis. Tubuh waranggana dalam pelaksanaan tayub sendiri mengkoordinasikan seluruh indera yang terdiri dari gerak, penglihatan, pendengaran. Elaborasi dari masing-masing indera tersebut menggerakkan tubuh waranggana secara sukarela untuk menari dan menyanyi melakukan tugasnya sebagai seorang waranggana. Dalam perannya menjadi
commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waranggana, waranggana mengkondisikan tubuhnya sendiri menjadi ruang tunggal bagi dirinya sendiri. Sejalan dengan pendapat Grosz bahwa citra tubuh perempuan merupakan prasyarat penting untuk melakukan tindakan sukarela karena menyatukan dan mengkoordinasikan sensasi sikap tubuh, perabaan, gerak, dan penglihatan, sehingga sensasi-sensasi ini dialami sebagai sensasi suatu objek yag dikoordinasikan menjadi ruang tunggal (Grosz dalam Ritzer dan Smart, 2012: 893). Dalam budaya, tubuh dijadikan sebagai tontonan, untuk mendapatkan kepuasan melihat (visual pleasure) (Piliang dalam Raditya, 2014: xxii). Waranggana sebagai aktor utama dalam pertunjukkan langen tayub tampil di depan publik dengan balutan pakaian yang agak ketat membuat para penikmat tayub terutama pengibing mendapatkan kepuasan tersendiri dikarenakan melihat seorang waranggana dengan balutan pakaian dan atraksi nayub yang dilakukan ketika pertunjukkan langen tayub berlangsung. Kepuasan melihat bagi penikmat tayub menimbulkan hasrat yang manusiawi disampaikan kepada waranggana. Hal ini biasanya diungkapkan dengan cara berinteraksi. Pemunculan hasrat tersebut berimplikasi pada kedekatan emosional yang dilakukan oleh pengibing. Biasanya pola interaksi tersebut diungkapkan dengan berpegangan tangan, kedipan mata, dan sedikit memegang bahu waranggana. Ungkapan-ungkapan dengan tatapan mata dan respon tubuh lainnya kepada pengibing merupakan sebuah sinyal, taktik, ataupun strategi kuasa yang dilakukan oleh waranggana yang dikenal dengan istilah seksualitas. Faucault mengartikan seksualitas sebuah sistem yang didalamnya terdapat banyak entitas, strategi dan taktik, serta aparatus-aparatus sistemnya (Faucault dalam Kali, 2013: 60).
commit to user
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.33. Waranggana dan Pihak Keamanan Polisi Tampak Akrab dengan Berpegangan Tangan sebagai Ajakan untuk Ngibing (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014). Menurut Faucault (2007) dalam memandang seksualitas sebagai sebuah entitas yang patut dikontrol dan dicurigai, setidaknya terdapat empat pandangan atau aturan kuasa wacana sebagai berikut. 1. Rule of imanence, pandangan ini melihat bahwa seks merupakan jalinan yang tidak bebas lagi, ia timbul dari berbagai mekanisme yang mampu menggunakannya sebagai sebuah objek yang dikaji sebagai teknik pengetahuan, hingga strategi kekuasaan. 2. Rule of continual variations, variasi ini memandang bahwa makna seksualitas terjalin akibat adanya distribusi kekuasaan. 3. Rule of double conditioning, transformasi nilai seks pada aras individu (mikro) maupun makna seks yang dimiliki negara (makro), merupakan lingkup tersendiri yang berdiri secara mandiri dan merupakan dua tataran yang berbeda.
commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Rule of tactical Polyvalence of Discourse, di dalam wacanalah kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Wacana merupakan kendaraan praktis bagi terciptanya sebuah kekuasaan.
Wacana Modal tubuh sebagai modal ekonomi
Hegemoni
Bersifat persuasi
Bersifat Dominasi
1. Dipuja 2. Dilakukan 3. dibela
1. Dilawan 2. Ditentang 3. ditekan
Hegemoni tidak pernah total, selalu ada wacana alternatif atau tandingan untuk mengimbangi hegemoni yang ada
Petunjuk model:
commit to user : Hubungan Langsung Satu Arah (Garis yang mempengaruhi)
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
: Hubungan langsung dua arah ( Garis yang salng mempengaruhi) Skema 4, Wacana Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi yang menghegemoni penikmat tayub di pertunjukkan tayub (Modifikasi Tia, disadur dari pemikiran kombinasi Faucault dan Gramsci dalam Sendratari, 2010).
Modal tubuh waranggana yang menghegemoni para pengibing menempatkan waranggana pada posisi dibela, dipuja, dan selalu dielu-elukan oleh pihak pengibing. Karena dalam panggung pertunjukkan waranggana merupakan primadona yang menguasai dan menyihir mata pengibing secara persuasi untuk melakukan sesuai dengan kode atau sinyal yang dikirimkan kepada pengibing. Tatapan mata dan senyuman yang menggoda ditambah dengan pembungkus kostum yang ketat membuat greget siapapun yang melihat, terutama bagi kaum Adam yang melihat pertunjukkan langen tayub tersebut. Postur tubuh yang indah ditambah dengan perhiasan yang dipakai oleh waranggana melengkapi kecantikan waranggana yang merupakan daya pikat waranggana untuk menghegemoni laki-laki pengibing tersebut. Gerak-gerak isyarat yang dikirimkan merupakan awal mula dari serangkaian proses seksual dalam pertunjukkan langen tayub tersebut. Dari gerak isyarat yang dikirimkan oleh waranggana, didalam gerak tersebut hasrat dieksplorasi oleh pengibing dengan imajinasi yang bercampur didalamnya. Eksplorasi hasrat manusia adalah praktek reimajinasi seksualitas
karena
memposisikan tubuh
sebagai
media
transformasi
transparansi,
keterbukaan, memperbincangkan keunikan tubuh terdalam manusia dengan cara komunikasi visual (Sigel dalam Raditya, 2014: 138). Pada tahap ini daya tarik seksual menjadi kuat, meskipun tidak selalu menuju pada sebuah perlakuan seksual yang berlebihan, bahkan sexual intercourse sebagai manifestasinya. Akan tetapi justru pada titik inilah, cinta dan seks bisa terwujud sebagai energi kreatif yang luar biasa, baik sekedar mencari kesenangan (just for fun atau sex as recreation) ataupun commit to user penyatuan rasa cinta atau rasa lainnya (sex as relation) (Gunawan, 2000: 18-19).
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Disiplin merupakan mekanisme “kontrol” yang teliti atas tubuh (Faucault dalam Hardiyanta, 1997: 76). Melalui disiplin tubuh dilatih hingga menjadi tubuh yang terampil. Namun juga terus-menerus diuji dan dikoreksi sehingga keterampilan, kecekatan, dan kesiapsediaan ini akhirnya menjadi mekanisme yang dengan begitu saja bekerja di dalam tubuh itu sendiri. Disiplin sekaligus meningkatkan keterampilan, kekuatan, dan daya guna tubuh, tetapi juga menguasai dan menempatkan tubuh ke dalam relasi tunduk dan berguna. Seperti yang diungkapkan oleh Andriyani, perempuan yang berprofesi sebagai waranggana yang lahir tahun 1978 menerangkan bahwa, “ memang menjadi seorang waranggana banyak yang tergoda mbak, lha wong namanya di atas panggung ya sikapnya harus ramah. Tetapi, kadang pengibing suka salah mengartikan dari sikap ramah saya mbak. Malah, ada yang janjian di belakang panggung, trus ngejer-ngejer dan ada pula yang memaksa minta ditemani”. Dari penuturan Andriyani tersebut, sebuah penegasan yang diutarakan oleh seorang waranggana. Kebanyakan dari pengibing salah mengartikan kode senyum yang disampaikan oleh Andriyani tersebut. Senyum yang diberikan oleh Andriyani kepada pengibing dikarenakan Andriyani ingin berlaku ramah, dan supel terhadap semua orang. Dikarenakan senyuman tersebut, banyak pengibing yang melanjutkan komunikasi dari atas panggung sampai ke luar panggung.
Perjuangan para pengibing pun biasanya dilakukan dengan
menanti Andriyani sampai berbenah kostum, hingga ia keluar dari kamar riasnya. Setelah bertemu Andriyani kembali, biasanya Andriyani ditanyakan kembali dan bahkan banyak yang meminta ia untuk menemani atau “kencan” dengan pengibing tersebut sesuai dengan tawaran yang mereka tawarkan. Biasanya ada banyak istilah yang dilontarkan dari para pengibing, ada yang beristilah short time dan ada yang memakai istilah long time. Tidak semua waranggana yang melayani keinginan pengibing tersebut. Ada beberapa waranggana yang langsung pulang ketika sudah
to user selesai pertunjukkan, dan ada pula yang commit melayani keinginan pengibing yang menawarkan
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk kencan bersama waranggana. Menurut wawancara dari waranggana Andriyani, biasanya para waranggana yang terlibat skandal dengan para pengibing dinikahi, walaupun dijadikan sebagai istri simpanan, atau istri kedua maupun istri ketiga. Para waranggana yang merupakan pelaku seni, selalu melakukan sesuatu dengan hati, dan hal ini mempengaruhi hubungan pribadinya kepada para pengibing yang menawarkan cintanya. Biasanya pengibing yang mendekati para waranggana dengan niatan rasa cinta lebih ditanggapi oleh waranggana, dibandingkan dengan pengibing yang membayar mereka dengan istilah “short time” atau bisa dengan istilah “sex for fun” tanpa ada percampuran cinta di dalamnya. Tindakan tersebut bukan lagi menitikberatkan pada faktor kebutuhan atau hasrat kenikmatan melainkan untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status, keuntungan dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan (Kali, 2013: 100) Ada rasa kebanggaan tersendiri bagi waranggana jika dinikahi dengan ikatan yang suci tersebut. Waranggana yang dinikahi oleh pengibing dengan ikatan suci tersebut mendapatkan penghormatan. Pada kenyataannya banyak waranggana yang mengalami pernikahan siri atau pernikahan rahasia dihadapan negara, tetapi sah dalam konteks agama. Walaupun mereka dijadikan sebagai istri simpanan, istri kedua, ataupun istri ketiga. Hal yang demikian lebih terhormat dibandingkan ia tidak dinikahi tanpa ikatan. Dalam pengalaman Andriyani, ia mengaku sudah empat kali menikah dengan lelaki. Dari pernikahannya yang ketiga ia mendapatkan luka yang benar-benar dalam. Hal ini dikarenakan suaminya yang pada saat itu memiliki showroom mobil, ternyata ada skandal dengan temannya satu profesi. Benar ketika pepatah Jawa mengatakan bahwa “ Tresno iku jalaran seko kulino”. Skandal yang terjadi antara suaminya dan teman satu profesinya dimulai dari permintaan Andriyani kepada suaminya untuk menjemput teman satu
commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
profesinya. Dikarenakan temannya tidak memiliki kendaraan. Akhirnya suaminya mengabulkan permintaan Andriyani untuk menjemput teman satu profesinya tersebut. Niatan baik Andriyani yang berbuntut pada keretakan hubungan ia dengan suaminya diluar perkiraan Andriyani. Sejalan dengan seringnya suaminya menjemput teman satu profesinya dan kebersamaan mereka yang terus menerus, akhirnya menimbulkan benih-benih cinta antara teman satu profesinya tersebut dengan suaminya. Seiring berjalannya waktu, kondisi mereka berdua yang disembunyikan dari Andriyani, lambat laun diketahui oleh Andriyani lewat message ponsel. Andriyani membaca message yang terdapat dalam ponsel suaminya. Tentu saja, keterkejutan dan rasa tidak percaya bahwa hal ini terjadi. Pertama kali, ketika mengetahui ada skandal antara suaminya dan teman satu profesinya, Andriyani merasa tidak percaya. Tetapi dengan obrolan dan diskusi antara ketiganya, akhirnya mereka mengakui dan Andriyani memilih bercerai dengan suaminya. Skandal yang terjadi tidak hanya antara pengibing dan waranggana, tetapi suami sendiri yang ternyata “bermain” dengan teman satu profesi bisa terjadi dan harus diantisipasi dengan treatment yang diyakini oleh masingmasing pribadi. 4.5 Implikasi Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Konteks Kekinian Sosial Budaya di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Implikasi dari kelahiran diskursus modal tubuh sebagai modal ekonomi waranggana dalam pertunjukkan langen tayub di Desa Ngrajek mempunyai relasi bagi kehidupan waranggana dari masa dahulu sampai dengan sekarang. Sebagai implikasi dari proses diskursus tersebut yaitu, mulai dari proses perjalanannya dibangun oleh waranggana sendiri sebagai aktor utama dalam pertunjukkan tayub, masyarakat pendukung yang mengamini diskursus tersebut, sampai dengan seniman lain
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
144 digilib.uns.ac.id
yang terlibat, maupun pemerintah dengan peran sebagai patron dalam keberlangsungan waranggana langen tayub. Hubungan relasi diskursus tersebut adalah kesadaran atau rasionalitas waranggana akan pengaruh modernisasi dan tekanan kapitalis yang terus ada dalam perjalanan hidupnya. 4.5.1 Modal Tubuh dalam Membangun Ekonomi Keluarga Modal tubuh merupakan sumber daya yang dimiliki manusia untuk menjadikan media interaksi sosial, menjadikan dirinya sebagai orang yang memiliki kuasa dan menggunakan kekuatan dalam dirinya untuk mencapai hasrat yang didamba. Tubuh waranggana bukan serta merta perwujudan fisik perempuan saja, tetapi, dalam tubuh tersebut terdapat kekuatan untuk membangun suatu perekonomian keluarga. Tubuh waranggana berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan budayanya. Sehingga menghasilkan suara yang termanifestasikan di dalam kehidupannya yang berujung pada kekuatan dan kekuasaan waranggana dalam membangun ekonomi keluarganya. Tubuh memiliki kebebasan relatif di dalam ruang pribadi, sebaliknya, ketakbebasan relatif di dalam ruang publik, karena disini tubuh harus tunduk pada aturan-aturan sosial, dengan kata lain tubuh memainkan dua peran yang terkadang kontradiktif, yaitu proses personal dan sosial (Piliang, 2014: xxi). Proses personal yang dialami seorang waranggana adalah ia sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarga mereka. Pahit getir yang dialami oleh waranggana untuk mempertahankan posisi mereka untuk menjadi istri dan seorang ibu yang baik bagi keluarga mereka. Tugas menjadi seorang istri sekaligus menjadi seorang ibu tidaklah mudah, karena menjalankan dua peran tersebut secara sadar menginternalisasi nilai-nilai karakter yang baik bagi suami dan bagi anaknya. Terkait dengan pernyataan di atas, banyak pengalaman waranggana yang mengalami
to user nasib rumah tangga yang buruk, dalam commit artian disini mereka mengalami kekerasan dalam
perpustakaan.uns.ac.id
145 digilib.uns.ac.id
rumah tangga yang pelakunya tidak lain adalah suami mereka sendiri. Penghargaan dan perlindungan yang seharusnya didapat oleh waranggana malahan berbalik menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Sehingga dengan kesabaran dan kemantapan hati waranggana mereka harus bertahan dan mencari solusi dari masalah hidup yang menerpa mereka. Peran personal yang diperankan oleh waranggana sebagai perempuan, istri, dan ibu memposisikan sebagai posisi yang “primer” di dalam keluarga seperti yang diungkapkan oleh Talcott Parson (2014: 44) di dalam keluarga seolah-olah mempunyai peran “ekspresif”, sebaliknya laki-laki memilih peran “instrumental”.oleh karena itu pembagian tugas seperti ini dipandang sebagai differensiasi pelbagai kepentingan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat yang memicu ketidaksetaraan. Kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh waranggana disikapi secara arif, dengan membaca keahlian yang ada dalam dirinya. Waranggana melakukan modifikasi lanjutan sebagai hasil modifikasi yang telah lalu. Hal ini dapat dilihat dari pertunjukkan langen tayub yang pada zaman dahulu tidak dikenakan sistem upah untuk waranggana atau dengan nama lain uang nanggap. Pada zaman sekarang, dengan tekanan modernitas dan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, menjadikan sebuah tubuh menjadi komoditas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu di zaman sekarang sudah mengenal jasa tarif pada pertunjukkan langen tayub, dengan kata lain, waranggana melakukan modifikasi lanjutan dengan memberikan tarif atas modal tubuh yang ia miliki. Biasanya para waranggana yang mempunyai jam terbang tinggi dan tergolong dalam waranggana sudah senior mempunyai tarif
tinggi, uang nanggap yang didapat oleh
waranggana berkisar ± Rp. 2.500.000 ditambah dengan keterampilan tari yang mereka miliki. Selain menembang, waranggana yang mempunyai kemampuan menari biasanya dipanggil untuk menari. Tari yang sering ditarikan adalah Tari Ngremo. Dibutuhkan
commit to user kemampuan dan ketahanan tubuh yang tinggi dalam menarikan Tari Ngremo ini.
perpustakaan.uns.ac.id
146 digilib.uns.ac.id
Waranggana yang menguasai seni tari salah satu diantaranya adalah Musrini. Tarif untuk Tari Ngremo berkisar ± Rp. 600.000,00. Oleh karenanya dengan skill yang waranggana miliki, ia mampu untuk membangun ekonomi keluarga mereka sehingga bisa menjamin pendidikan anak-anak mereka. Menjadi seorang waranggana yang laris apalagi terkenal dengan bayaran yang fantastis, tentu tidak lepas dari fitnahan tetangga. Banyak cacian dan fitnahan yang diterima oleh waranggana. Sehingga kebanyakan waranggana lebih nyaman menerima pentas dari daerah lain yang agak jauh dari lingkungan sekitarnya. Dicontohkan Andriyani seorang waranggana. Ia lebih nyaman untuk menerima pentas di luar desanya. Andriyani mengaku, biasanya ia sering ditanggap tayub di daerah Kediri, Nganjuk, sampai dengan Magetan. Lokasi yang jauh tidak membuat mereka takut, seperti yang dinyatakan oleh Andriyani , ia tidak takut menempuh perjalanan sendirian, apapun halangannya keyakinan tetap menjadi nomor satu. Biasanya Andriyani selesai pentas pukul 01.00 wib dini hari menempuh perjalanan sendiri dengan mengendarai sepeda motor, misalnya dari Kediri, ia menempuh jarak tersebut sendirian dalam waktu dua jam. Terkait dengan pernyataan di atas, modifikasi lanjutan yang dilakukan oleh waranggana dalam menghadapi tekanan modernitas, diantaranya: 1. Kondisi zaman yang dihadapkan pada rasionalitas kapitalisme mau tidak mau menghantarkan waranggana berkenalan dengan komoditas yang dibaca lewat dirinya sendiri. Oleh karena itu proses diskursus modal tubuh sebagai modal ekonomi sudah berlangsung dan akan mengalami keberlanjutan di masa berikutnya. 2. Komoditas yang mempunyai feed back yang sesuai, tentu harus disesuaikan dengan cara kerja waranggana yang profesional, oleh karena itu selain
user keterampilan waranggana commit diatas to panggung, dimulai dari persiapan, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id
147 digilib.uns.ac.id
mempunyai kostum dan accesories sendiri, mempunyai skill untuk merias diri sendiri atau make-up mandiri. sampai pementasan mereka di atas panggung yang berkenaan dengan performa waranggana diatas panggung, yaitu respon terhadap lagu-lagu yang booming pada saat itu, artinya lagu yang dinyanyikan responsif zaman agar tidak ketinggalan zaman. ditambah dengan waranggana bisa mengendarai kendaraan pribadi sebagai akses mereka agar tidak kesukaran dalam hal akomodasi dan tidak merepotkan orang lain. Dalam proses perjalanannya waranggana sedang membangun kesadaran bahwa ia menghargai hidupnya dengan cara bekerja. Bekerja yang membuat keberlangsungan hidupnya menjadi survive. Menjadi seorang waranggana berarti ia membangun ekonomi keluarganya mulai dari mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang sifatnya primer, lalu lebih lanjut lagi sekunder, bahkan ia mampu memenuhi kebutuhan keluarganya yang sifatnya tersier. Sebagai contoh rumah seorang waranggana bernama Musrini yang berhasil menjadi seorang waranggana yang populer (lihat gambar 4.34).
Gambar 4.34 Rumah seorang waranggana, Musrini (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). commit to user
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 4.5.2 Naiknya Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga
Modal ekonomi menitikberatkan pada kekuatan material. Tubuh yang dimiliki oleh seorang waranggana adalah tubuh yang secara cerdas dibaca oleh waranggana sendiri. Dengan berbagai skill yang dimiliki waranggana tubuh diolah demi mendatangkan rupiah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Faucault melihat dua bentuk kekuasaan yang beroperasi pada wilayah tubuh (Suyono, 2002: 56). Pertama, kekuatan eksternal yang mengatur praktik pelarangan, pembatasan, dan pengendalian atas tubuh. Kedua, kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh, yaitu berupa hasrat dan potensi libidonya. Kekuasaan tipe ini menentang keras kekuasaan atas tubuh lewat revolusi tubuh, sehingga tubuh terbebas dari berbagai macam kekangan, aturan, dan berbagai macam dominasi kekuasaan. Untuk mencapai proses revolusi tubuh, maka tubuh harus mencari perantara yang mampu membantu dirinya melepaskan diri kungkungan kebisuannya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwasanya waranggana membaca tubuhnya sendiri dengan melakukan tindakan mengolah tubuhnya sesuai dengan hobi atau kesukaan (pendisiplinan tubuh) menjadi seorang waranggana. Oleh karenanya media waranggana untuk membebaskan kekangan dan hasratnya lewat tubuh yang dikuasai oleh dirinya sendiri, dengan menyalurkan lewat nyanyian dan tarian,
mekanisme proses tersebut akan menguasai orang lain dengan
pengolahan tubuhnya tersebut. Diskursus modal tubuh sebagai modal ekonomi adalah sebuah formasi diskursif yang memberikan tawaran kepada waranggana sebagai bentuk transformasi mulai dari identitas, strata sosial, dan penghidupan yang lebih baik. Waranggana yang bertransformasi dari perempuan biasa menjadi seorang waranggana menjadi aktor utama dalam pertunjukkan langen tayub mengalami perubahan-perubahan
commit to user
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam kehidupannya, terutama dalam segi ekonomi. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan ekonomi waranggana sebagai berikut. 1. Pemasukan rupiah pada setiap pementasan, bisa dikatakan “lumayan” bagi waranggana sendiri. berkisaran mulai dari Rp. 1.500.000,00 s.d ≥ Rp. 2.500.000,00. Hal ini sangat fantastis mengingat pemasukan seorang waranggana lebih besar dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Biasanya waranggana mendapatkan tawaran menayub dalam satu minggu tiga kali atau empat kali nayub. Jika dikalkulasikan pemasukan rupiah tersebut bersihnya mencapai Rp. 6.000.000,00 hal ini menunjukkan bahwa mereka (baca: waranggana) bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. 2. Terkait dengan kalimat di atas, kebanyakan dari waranggana mempunyai rumah yang megah, kendaraan mobil, dan fasilitas rumah yang termasuk dalam highlevel. Fasilitas rumah yang termasuk dalam golongan menengah ke atas secara tidak disadari waranggana membangun identitas diri mereka yang dilihat dari segi materil. Waranggana telah melakukan mobilisasi dalam hidupnya, dari seorang wanita biasa menjadi seorang waranggana. Dari penduduk
biasa
menjadi
penduduk
yang
berkecukupan.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa menjadi waranggana merupakan sebuah saluran mobilitas sosial menuju harapan pada pencapaian kehidupan yang lebih baik (makmur dan sejahtera). 3. Waranggana yang mempunyai keluarga, tentu mempunyai mimpi terhadap anak-anaknya. Mereka (baca:waranggana) berpengharapan yang besar kepada anak-anaknya. Lewat saluran pendidikan mereka berpengharapan agar anakanaknya kelak mampu menjadi seorang yang mempunyai teladan yang baik
user atau dengan kalimat lain commit menjadito manusia seutuhnya. Andriyani seorang
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waranggana yang mempunyai empat orang anak dari suami yang berbeda menginginkan agar anaknya kelak memiliki karakter yang baik, dan kehidupannya
tidak
seperti
ibunya.
Andriyani
menyekolahkan
anak
pertamanya di STIKES (Sekolah Tinggi Kesehatan), anak keduanya di pesantren, anak ketiga di SMA Negeri, dan anak yang keempat belum bersekolah karena masih Balita. Hal ini membuktikan bahwa dengan menjadi waranggana Andriyani mampu menjamin pendidikan anak-anaknya di lembaga formal, walaupun historis perjalanan pendidikan mereka rata-rata hanya Sekolah Menengah Pertama, tetapi mereka berpengharapan dan menjamin kehidupan pendidikan anak-anaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Andriyani (wawancara, Andriyani 30 Desember 2014). “ Gak popo mbak kalo aku cuman tamatan SMP, sing penting anak-anakku sekolah kabeh, biarlah aku mbak yang merasakne dadhi waranggana. Anakanakku ojo. Sing penting dadhi pikiran aku ki cuman anak-anakku mbak gak ada yang lain. Mereka iso maem karo sekolah, aku bersyukur mbak” 4. Kebanyakan waranggana yang hidup di dunia pertunjukkan memiliki usaha lain yang bisa menambah kas ekonomi mereka. Seperti Andriyani, ia membuka jual beli mobil dan membuka jasa rental mobil, selain itu ia juga bisa menawarkan jasa menjadi seorang driver atau supir dalam jasa rental mobil tersebut. Tidak hanya Andriyani, Musrini pun menggeluti usaha selain menjadi seorang waranggana. Ia berpendapat bahwa hidup di dalam seni pertunjukkan tidak selamanya menjadi primadona, Umurnya yang sudah melampaui paruh baya sekarang membuat dirinya tidak selaris dulu. Tubuh yang sintal, kemudaan, kecantikan, dan sensualitas tidak lagi dimiliki oleh Musrini, dikarenakan umur biologis yang membatasi hal-hal tersebut. Selain menggeluti menjadi waranggana senior, Musrini membuka usaha payet dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
151 digilib.uns.ac.id
berjualan sampur. Pemasukan rupiah dalam kas ekonomi mereka sangat membantu kehidupan perekonomian mereka. 4.5.3 Menurunnya Nilai-Nilai Moral, Sosial, dan Keagamaan Moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) berarti kebiasaan, adat (Bertens, 2002:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:754--755) moral diartikan (a) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila; (b) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (c) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Pengertian moral berhubungan dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat dimana ia hidup. Nilai-nilai moral dipengaruhi oleh kebudayaan, pengertian baik di suatu kelompok dapat dianggap buruk dan sebaliknya. Dari kata dasar “moral” muncul istilah-istilah yang berkaitan, antara lain “moralitas”, “amoral”, dan “immoral”. Moralitas berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral; di luar suasana moral; nonmoral. Sementara itu, immoral berarti bertentangan dengan moral yang baik; secara moral buruk; tidak etis (Bertens, 2002:7). Dalam lingkungan sosial masyarakat Ngrajek, pandangan terhadap waranggana dihadapkan pada turunnya martabat sebagai seorang wanita dalam konotasi “wanita baikbaik”. Wanita yang baik-baik adalah wanita yang tidak berkeliaran di rumah apalagi di malam hari, hal ini sangat berbenturan dengan aktivitas yang dilakukan waranggana dalam menjalankan profesinya sebagai waranggana di pertunjukkkan tayub. Dalam menjalankan aktivitas menjadi seorang waranggana tubuh menjadi titik sentral pertunjukkan tersebut. Pada perayaan modernitas, tubuh dilihat sebagai komoditas
commit to user dari hasil aktivitas tubuh pada dikarenakan mampu menelurkan pundi-pundi rupiah
perpustakaan.uns.ac.id
152 digilib.uns.ac.id
pertunjukkan tayub. Hal ini mempunyai konsekuensi terhadap tubuh waranggana yang tergelincir dalam dekontruksi moral. Ditambahkan oleh Raditya (2014, 2014: xxvi) bahwa tubuh sebagai strategi menciptakan komoditas, tubuh dengan mudah tergelincir dalam dekontruksi moral. Kenyataannya waranggana dalam situasi berkonflik batin pada diri sendiri. Ia terjebak pada dualitas hal yang dianggap baik dan hal yang dianggap tidak baik. Mereka (baca:waranggana) yang diperkenalkan dengan sesuatu yang bernilai baik secara kodrati, hingga pada perjalanannya sekarang mereka (baca: waranggana) dibenturkan pada hal yang sifatnya kontradiktif, yakni mengenai moral. Peran yang dijalani sebagai seorang waranggana terjerat dalam lingkaran kebenaran dan kebaikan. Menurut Sukarma (Sarad, No 110 Juni 2009) kebenaran tidak dapat mendahului kebaikan, hal ini berlaku pada masyarakat tradisional, masyarakat di lingkungan waranggana masih merupakan masyarakat tradisional. Mereka menganggap profesi waranggana tidak baik dkarenakan wanita yang keluar malammalam tidak benar. Hal ini bertentangan dengan waranggana., dalam keadaannya waranggana berayun pada modernitas dikarenakan situasi yang berbicara demikian. Logika yang terjadi dalam kehidupan waranggana adalah kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran. Ukuran tersebut terletak pada rasio (akal) jika masuk akal maka hal itu benar, jika tidak masuk akal maka hal itu salah. Oleh karenanya profesi waranggana yang menurut masyarakat tidak baik dikarenakan ukuran masyarakat secara normatif membuat waranggana terhimpit pada situasi kebingungan menurut waranggana sendiri. Bertentangan dengan aktivitas waranggana di malam hari. Waranggana dalam pertunjukkan tayub harus memenuhi nafsu selera dari para pengibing. Tubuh mereka dikoordinasikan dari mekanisme kuasa yang mereka ciptakan dan mereka pilih sendiri. Banyak konsekuensi yang harus diterima ketika menjalani peran menjadi seorang
to user nasib tidak baik dalam hubungan waranggana. Ada beberapa waranggana commit yang mengalami
perpustakaan.uns.ac.id
153 digilib.uns.ac.id
rumah tangga. Biasanya percekcokan dengan suami dan kecemburuan suami yang berlebihan terhadap waranggana. Ditambah lagi tindakan pengibing yang sering bertamu ke rumah. Menurut penuturan masyarakat, hal yang membuat resah masyarakat sekitar adalah perilaku tamu waranggana yang sering kerumah. Kebanyakan tamu mereka berasal dari kalangan laki-laki. Masyarakat yang tinggal di daerah perkampungan Ngrajek merasa ketika laki-laki sering bertamu sampai malam, tidak mengenal jam malam kadang sampai pagi serta sampai menginap di rumah waranggana. Ditambah lagi dengan tindakan para tamu yang mengalami cekcok dengan waranggana. Tamu laki-laki tersebut tidak segan-segan membuat keributan, diantaranya: berteriak dengan keras, melempari rumah waranggana dengan benda tumpul, sampai dengan mengirimkan algojo di halaman rumah waranggana dikarenakan persoalan pribadi mereka. Akibat dari percekcokan tersebut, banyak warga yang mengeluhkan tentang kenyamanan dalam bermasyarakat, dikarenakan mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Sistem moral yang berlaku dalam masyarakat perkampungan Ngrajek mengamini sebaiknya bertamu harus mengetahui cara-cara bertamu apalagi tamu tersebut tidak terikat dalam ikatan pernikahan. Tamu yang sering pulang larut malam bahkan menginap, tentu dalam sistem moral masyarakat tidak baik, dikarenakan bertentangan dengan sistem moral yang dianut oleh masyarakat. Selain itu, hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Hal ini berimplikasi pada hubungan sosial dengan masyarakat sekitar. Biasanya masyarakat agak kurang suka berteman atau menjalin keakraban secara emosional dengan waranggana, atau dengan kalimat lain, masyarakat sendiri yang menciptakan jarak dengan waranggana. Performa dalam keseharian waranggana harus berusaha berpura-pura baik dihadapan
commit to user keluarganya, terutama anak waranggana yang harus dididik atas ukuran etika dan moral. Hal
154 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini menyiksa waranggana sendiri dalam perannya menjalankan peran sebagai panutan anaknya. Pengetahuan akan dirinya terhadap anaknya harus dibatasi, dikarenakan hal tersebut dapat membuat sang anak menjadi “down”. Apalagi waranggana harus menjamin pergaulan anaknya untuk tidak disakiti oleh teman sepermainannya. Andriyani seorang waranggana yang sukses, mempunyai treatment tersendiri untuk menjamin psikologis anaknya. Andriyani memutuskan untuk menjauhkan anaknya dari lingkungan masyarakat sekitar. Ia memasukkan anaknya ke pesantren dan menyekolahkan anaknya jauh dari tempat tinggalnya, hal ini dilakukan agar masa depannya lebih humanis dan religius. Dengan treatment seperti itu Andriyani dapat menjamin mental anaknya untuk tidak di bully teman-teman sepermainan anaknya tersebut. Dikarenakan ibunya berprofesi sebagai seorang waranggana. Dilihat dari kenyataan sosialnya, anak-anak waranggana yang bersekolah di lingkungan tempat ia tinggal mendapatkan tekanan di lingkungan bermainnya. Biasanya anak-anak waranggana mendapatkan olok-olokan yang memperolok pekerjaan Ibunya. Hal tersebut merupakan tekanan yang berimplikasi pada perkembangan mental anak tersebut. Penghakiman di masyarakat sekitar tidak membuat waranggana mundur dalam perjuangan hidupnya. Masyarakat mempunyai hak untuk memberikan opini apa saja terkait dengan waranggana dalam menjalankan profesinya. Baik opini positif atau negatif, tetapi penghargaan atas kehidupan waranggana adalah sikap tegas dan spirit hidup waranggana dalam menghargai hidupnya dengan cara bekerja. Hal ini membuktikan bahwa waranggana adalah manusia biasa yang setiap saat dihadapkan pada situasi kesulitan. Tetapi dengan menjalankan profesi waranggana ia mampu bertahan dalam kesulitan tersebut dan menghidupi keluarganya. Hematnya adalah tidak ada pengadilan seadil-adilnya yang dilakukan manusia, keadilan merupakan ”milik tuhan”.
commit to user
155 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 4.5.4 Waranggana sebagai Modal Budaya Pemerintah Nganjuk
Waranggana merupakan suatu diskursus yang diamini sebagai modal budaya dalam masyarakat Ngrajek, terutama di pemerintah Nganjuk. Sebagaimana dikatakan oleh (Treadgoal dalam Piliang, 2011: 293) makna, ide, sistem kepercayaan, serta ideologi dikonstruksi di dalam discourse, yang berfungsi untuk melanggengkan relasi-relasi kekuasaan yang ada. Oleh karenanya waranggana sebagai modal budaya merupakan usaha dengan berkesadaran melanggengkan relasi-relasi kuasa yang berada dalam pemerintah Nganjuk. Peranan pemerintah dalam eksistensi diri dalam kehidupan pasang surut seniman yang di Ngrajek cukup besar. Pemerintah di Kabupaten Nganjuk membuatkan tata tertib untuk waranggana, tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah sebagai berikut. 1.
Surat Izin Pentas atau Surat Induk didapat oleh waranggana setelah mengikuti prosesi gembyangan waranggana di pundhen Mbah Ageng, setelah mendapatkan kartu induk berarti sudah sah menjadi waranggana dan siap pentas dipertunjukkan ke tayub
2.
Surat Rekomendasi Pentas, digunakan untuk izin ke kantor polisi setempat yang berlangsungnya pementasan. Dalam satu kali pengambilan Surat Rekomendasi Pentas hanya berlaku lima lembar surta tanpa dikenakan biaya.
3.
Pendataan Waranggana, dilakukan untuk mendata para waranggana yang masih aktif dalam jagat pertunjukkan langen tayub di Kabupaten Nganjuk (Lihat gambar 4.35).
Beberapa data yang dapat dikumpulkan yang bersumber dari Dinas Pariwisata Nganjuk. Beberapa waranggana di Desa Ngrajek, Kabupaten Nganjuk yang masih aktif pada tahun 2014, sebagai berikut.
commit to user
156 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id Tabel. 2. Data waranggana yang Masih Aktif No.
Nama Waranggana Status
Desa
1.
Sumini
Aktif
Ngrajek
2.
Sriyatun
Aktif
Ngrajek
3.
Supartin
Aktif
Ngrajek
4.
Damiatun
Aktif
Ngrajek
5.
Sunarmi
Aktif
Ngrajek
6.
Minatun
Aktif
Ngrajek
7.
Sutarmi
Aktif
Ngrajek
8.
Kasmiati
Aktif
Ngrajek
9.
Suyati
Aktif
Ngrajek
10.
Suharti
Aktif
Ngrajek
11.
Anjarwati
Aktif
Ngrajek
12.
Wiwin
Aktif
Ngrajek
13.
Andriyani
Aktif
Ngrajek
14.
Musrini
Aktif
Ngrajek
15.
Mami Juhermi
Aktif
Ngrajek
16.
Kasmiati
Aktif
Ngrajek
Waranggana yang sudah terdata, pada setiap tahunnya wajib membayar uang kas sebesar Rp. 50.000.00 uang tersebut digunakan sebagai dana ketika ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh waranggana. Hal ini yang membuat dilematis oleh waranggana dalam pertunjukkan langen tayub di Kabupaten Nganjuk. Dikarenakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk commit to user dirasa tidak membuat nyaman para waranggana. Dana yang dibebankan sebesar Rp.
157 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
50.000,00 pada setiap kali pementasan kepada waranggana, dianggap terasa berat. Dengan kalimat lain, bahwasanya pemerintah membuat pengekangan terhadap kebebasan waranggana dalam berekspresi.
Waranggana dalam hal ini, tidak mempunyai otoritas
terhadap apa yang dicapainya melalui modal tubuhnya. Ada sebuah praktek legitimasi pemerintah dalam kedirian waranggana dengan adanya peraturan dana yang dibebankan pada setiap kali pementasan sebesar Rp. 50.000,00. Terkait dengan pernyataan di atas, dana yang dibebankan pada waranggana menurut Pemerintah adalah usaha pemerintah untuk melindungi waranggana dan menjamin keterlibatan waranggana dalam berkesenian, hal ini berarti waranggana sebagai sebuah praktek legitimasi Pemerintah Kabupaten Nganjuk yang menggangap keberadaan waranggana sebagai seorang pejuang kearifan lokal. Adanya suatu peraturan yang mengikat mengakibatkan pola hubungan yang kontradiktif. Hal ini berarti bagi pihak yang mengeluarkan kebijakan hal tersebut baik untuk pelaksanaan selanjutnya yang sifatnya berkelanjutan, tetapi di sisi lain bagi pihak yang terdominasi, hal ini berimplikasi pada hilangnya otoritas kedirian waranggana atas modal tubuhnya dikarenakan adanya posisi legitimasi Pemerintah dalam modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana.
to userdi Dinas Pariwisata Gambar 4.35 Foto Data commit Waranggana (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014).
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terkait dengan paragraf awal yang dijelaskan dimuka, selain waranggana sebagai sebuah diskursus untuk melanggengkan relasi kuasa, waranggana juga sebagai diskursus modal budaya. Waranggana merupakan modal budaya yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Seperti pepatah mengatakan: “pasang tidak hanyut, surut tidak
lenyap”. Oleh karena itu dikarenakan kebertahanan masyarakat pendukung yang selalu menjaga kelestarian tayub dan waranggana, tayub dan waranggana tetap terjaga kelestariannya sebagai modal budaya yang potensial. Untuk menjaga modal budaya yang potensial tersebut, dibutuhkan kreativitas untuk mengolah modal tersebut agar mampu berdaya saing di tengah arus modernisasi dan tekanan modernitas. Terkait dengan pernyataan di atas, ada beberapa langkah kreativitas dalam pariwisata yang harus dilakukan, diantaranya sebagai berikut. 1.
Mengembangkan produk dan pengalaman pariwisata
2.
Revitalisasi produk budaya yang ada
3.
Polarisasi aset budaya dan kreatif dan menyediakan keuntungan untuk pengembangan kreatif
4.
Menggunakan teknik-teknik kreatif untuk meningkatkan pengalaman pariwisata (Vickery, 2007;Evans, 2001) Sebagai salah satu contoh pengalaman budaya dapat dilihat dari wisuda gembyangan
waranggana. Pada tahun 1987 dilakukan pembinaan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (DIKPORA) yaitu wisuda gembyangan waranggana. Wisuda tersebut dilaksanakan rutin setiap satu tahun sekali, pada bulan besar, Jumat Pahing di pundhen Mbah Ageng. Adanya wisuda Gembyangan waranggana menarik perhatian wisatawan untuk menyaksikan prosesi tersebut. Acara tersebut tidak dapat dijumpai di daerah
commituntuk to user lain. Sehingga hal ini menarik banyak wisatawan berkunjung di daerah Ngrajek.
159 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain acara prosesi gembyangan waranggana, pada tahun 2009 sampai dengan sekarang. Dinas kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Nganjuk mengadakan acara rutin tahunan yaitu Tayub Padang Bulan. Tayub Padang Bulan diadakan empat kali pada setiap tahunnya berkisar pada pertengahan bulan sampai dengan akhir bulan purnama. Tayub padang bulan diselenggarakan sebagai pencerminan dan percontohan kebaikan dalam tata cara atau tata tertib pementasan langen tayub (Agung, wawancara 10 Oktober 2014). Beberapa urutan acara dalam tayub padang bulan sebagai berikut. 1. Klenengan 2. Gambyongan 3. Gedhok 4. Ndoro-ndoro 5. Penentuan pengibing 6. Tayuban Tayub padang bulan dan acara tayub lain merupakan bagian dari pariwisata kreatif yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk. Dalam mengaktualisasikan pariwisata kreatif hendaknya terjalin suatu kerja sama yang baik, antara beberapa peran yang ikut terlibat dalam proses aktualisasi pariwisata kreatif. Berikut beberapa saluran yang memegang kunci dalam mengaktualisasikan pariwisata kreatif. 1. Produser 2. Konsumer 3. Pemangku Kebijakan 4. Orang-orang lokal Keempat saluran yang terlibat hendaknya mempunyai kemampuan bersinergi dengan baik, agar aktualisasi dari pariwisata kreatif yaitu acara langen tayub termasuk di dalamnya
commit to user
160 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tayub padang bulan dapat berjalan dengan baik, dan memberikan kesejahteraan bagi masingmasing pihak. Dalam pariwisata sendiri terdapat arena tawar menawar atau adanya negosiasi yang merupakan sebuah ruang percampuran antara keempat saluran yang telah disebutkan di muka. Bangunan relasi (pemerintah, seniman, pariwisata, dan orang lokal) memang tidak bisa dilepaskan dari proses kegiatan pariwisata. Artinya, kekuasaan bermain dalam sebuah proses transformasi pariwisata, tidak bisa dielakkan jika, kontruksi budaya dan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari dua implikasi sebagai berikut. 1. Kontribusi pariwisata dapat dilihat dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti : meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda, pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan manusia 2. Sebagai peningkatan ruang kreatif
commit to user