BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus norvegicus, L.) secara mikroskopik dengan pembesaran 100x, menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-Eosin (HE). Folikel-folikel yang diamati meliputi folikel primer, sekunder, tersier, de Graff, korpus luteum dan folikel atresia, yang dilihat masing-masing perkembanganya berdasarkan perbedaan jumlah folikel yang terbentuk akibat pemberian dosis ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) yang berbeda.
Gambar 6. Foto Mikroskopis Ovarium Tikus Putih Perlakuan Pemberian Ekstrak Kacang Merah (HE, perbesaran 10x)
45
Gambar 7. Foto Mikroskopis Ovarium Tikus Putih Setelah Mendapat Perlakuan Pemberian Ekstrak Kacang Merah (HE, perbesaran 100x). Keterangan (a) korteks ovarium (b) folikel Primer (c) folikel sekunder (d) folikel de Graff
Gambar 8. Foto Mikroskopis Ovarium Tikus Putih Setelah Mendapat Perlakuan Pemberian Ekstrak Kacang Merah (HE, perbesaran 100x). Keterangan (a) korteks ovarium (b) folikel sekunder (c) folikel atresia
46
Gambar 9. Foto Mikroskopis Ovarium Tikus Putih Setelah Mendapat Perlakuan Pemberian Ekstrak Kacang Merah (HE, perbesaran 100x). Keterangan (a) korteks ovarium (b) folikel tersier (c) folikel de Graff (d) folikel sekunder
Gambar 10. Foto Mikroskopis Ovarium Tikus Putih Setelah Mendapat Perlakuan Pemberian Ekstrak Kacang Merah (HE, 100x). Keterangan (a) korteks ovarium (b) folikel tersier (c) folikel atresia (d) korpus luteum Gambar 7 menunjukkan berbagai fase pertumbuhan pada folikel ovarium tikus putih. Folikel-folikel tersebut diantaranya yaitu folikel primer,
47
sekunder, tersier, de Graff, korpus luteum, dan folikel atresia. Folikel primer ditandai dengan adanya satu lapis sel granulosa. Ukuran folikel primer biasanya yang paling kecil dari jenis folikel lainnya. Folikel primer sebenarnya hampir sama dengan folikel sekunder, hal yang membedakan yaitu ditandai dengan adanya dua lapis atau lebih sel granulosa. Folikel tersier merupakan tahap perkembangan lebih lanjut dari folikel sekunder, yang membedakan antara folikel tersier dan sekunder yaitu ditandai dengan adanya celah yang telah berisi dengan cairan folikuler dikedua sisi luar oosit, bagian ini disebut sebagai antrum. Folikel de Graff ditandai dengan adanya celah yang telah berisi dengan cairan folikuler yang jauh lebih besar dibandingkan folikel tersier dan oosit yang terletak pada bagian tepi folikel yang dihubungkan dengan beberapa sel granulose yang disebut korona radiata. Selain itu sel granulosa yang mengelilingi ovum jumlahnya semakin sedikit. Ukuran folikel de Graff biasanya besar, sehingga dapat lebih mudah diamati. Korpus luteum, merupakan merupakan ruang folikuler akan terisi dengan darah dan cairan limpa setelah terjadinya ovulasi. Biasanya berukuran besar dan berwarna merah. Berkebalikan dengan korpus luteum, folikel atresia biasanya akan tampak berwarna gelap setelah pewarnaan, dengan ukuran yang bervariasi. Folikel atresia sebenarnya merupakan kondisi folikel yang tidak sempurna atau rusak selama masa perkembangannya.
48
1. Hasil perhitungan jumlah rata-rata folikel ovarium tikus putih persatuan lapang pandang setelah pemberian ekstrak kacang merah Data hasil perhitungan jumlah rata-rata folikel ovariun tikus putih, diamati berdasarkan masing-masing jenis folikelnya, dengan cara menghitung jumlah keseluruhan folikel yang terdapat pada ovarium tikus putih. Data pada tabel dibawah ini menunjukkan jumlah rata-rata dari setiap jenis folikel ovarium yang ada per satuan lapang pandang (1,83 x 106μm2). Tabel 5.
Hasil Rata-Rata Jumlah Folikel Ovarium Tikus Per Satuan Lapang Pandang (1,83 x 106μm2) pada Setiap Perlakuan.
No
Dosis
1 2 3 4 5
0mg/ ml 50mg/ml 75mg/ml 100mg/ml 125mg/ml
Kode P0 P1 P2 P3 P4
Jumlah Rata-rata folikel Ovarium Tikus Pr Sk Tr dG CL At 10,6 3,1 1,7 0,2 2,1 2,5 12,75 10,25 5,5 1,85 3,2 4,6 12,45 3,05 1,9 0,6 2,8 2,75 16,35 6,05 2,8 0,9 3,95 3,15 6,2 6,6 1,8 1,5 3,9 2,2
49
18 16 14
Jumlah
12 P0
10
P1
8
P2
6
P3
4
P4
2 0 Primer
Sekunder
Tersier
De Graff
Korpus L
Atresia
Jenis Folikel
Gambar 11. Diagram Jumlah Rata-Rata Folikel per Satuan Lapang Pandang (1,83 x 106μm2) Ovarium Tikus Putih Sesudah Pemberian Ekstrak Kacang Merah Gambar diagram menunjukkan peringkat dari perkembangan masingmasing jenis folikel berdasarkan jumlah rata-rata yang paling banyak. Diagram pertama menunjukkan peringkat rata-rata masing-masing perlakuan pada folikel primer. Peringkat rata-rata dosis P3 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P2. Peringkat rata-rata dosis P2 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P1. Peringkat dosis P1 lebih tinggi dari pada dosis P0, sedangkan dosis P4 berada pada peringkat paling bawah. Berdasarkan peringkat diatas, maka dapat diketahui bahwa jumlah peringkat rata-rata masing-masing perlakuan pada folikel primer yang paling tinggi yaitu pada perlakuan dengan dosis P3 (100 mg/gr BB per hari). Hal ini dapat dikatakan perkembangan folikel primer ovarium tikus putih yang paling
50
baik adalah pada dosis 100 mg/gr BB per hari. Perkembangan folikel yang paling rendah yaitu pada perlakuan P4 yaitu dengan dosis 125 mg/ gr BB per hari.z Perkembangan folikel sekunder dapat dilihat pada diagram yang kedua. Rata-rata dosis P1 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P4. Peringkat rata-rata dosis P4 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P3. Peringkat dosis P3 lebih tinggi dari pada dosis P0, sedangkan dosis P2 berada pada peringkat paling bawah. Jadi berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah peringkat rata-rata masing-masing perlakuan yang paling tinggi yaitu pada perlakuan dengan dosis P1. Hal ini dapat dikatakan perkembangan folikel sekunder ovarium tikus putih yang paling baik adalah pada dosis 50 mg/gr BB per hari. Perkembangan folikel sekunder yang paling rendah yaitu pada perlakuan P2 yaitu dengan dosis 75 mg/ gr BB per hari. Perkembangan folikel tersier dapat dilihat pada diagram ketiga. Ratarata dosis P1 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P3. Peringkat rata-rata dosis P3 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P2. Peringkat dosis P2 lebih tinggi dari pada dosis P0, sedangkan dosis P4 berada pada peringkat paling bawah. Jadi berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah peringkat rata-rata masing-masing perlakuan yang paling tinggi yaitu pada perlakuan dengan dosis P1. Hal ini dapat dikatakan perkembangan folikel tersier ovarium tikus putih yang paling baik adalah pada dosis 50
51
mg/gr BB per hari. Perkembangan folikel tersier yang paling rendah yaitu pada perlakuan P4 yaitu dengan dosis 125 mg/ gr BB per hari. Perkembangan folikel de Graff dapat dilihat bada diagram keempat. Rata-rata dosis P1 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P4. Peringkat rata-rata dosis P4 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P3. Peringkat dosis P3 lebih tinggi dari pada dosis P2, sedangkan dosis P0 berada pada peringkat paling bawah. Jadi berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa jumlah peringkat rata-rata masing-masing perlakuan yang paling tinggi yaitu pada perlakuan dengan dosis P1. Hal ini dapat dikatakan perkembangan folikel de Graff ovarium tikus putih yang paling baik adalah pada dosis 50mg/gr BB per hari. Perkembangan folikel de Graff yang paling rendah yaitu pada perlakuan P0 yaitu dengan dosis 0 mg/gr BB per hari (kontrol). Perkembangan korpus luteum dapat dilihat pada diagram kelima. Rata-rata dosis P4 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P3. Peringkat rata-rata dosis P3 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P1. Peringkat dosis P1 lebih tinggi dari pada dosis P2, sedangkan dosis P0 berada pada peringkat paling bawah. Jadi berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa jumlah peringkat rata-rata masing-masing perlakuan yang paling tinggi yaitu pada perlakuan dengan dosis P4. Hal ini dapat dikatakan perkembangan korpus luteum ovarium tikus putih yang paling baik adalah pada dosis 125 mg/gr BB per hari. Perkembangan folikel tersier yang paling rendah yaitu pada perlakuan P0 yaitu dengan dosis 50 mg/ gr BB per hari.
52
Pembentukan folikel atresia dapat dilihat pada diagram keenam. Ratarata dosis P1 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P3. Peringkat rata-rata dosis P3 lebih tinggi dari pada peringkat rata-rata dosis P2. Peringkat dosis P2 lebih tinggi dari pada dosis P0, sedangkan dosis P4 berada pada peringkat paling bawah. Jadi berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa jumlah peringkat rata-rata masing-masing perlakuan yang paling tinggi yaitu pada perlakuan dengan dosis P1. Hal ini dapat dikatakan perkembangan folikel atresia ovarium tikus putih yang paling tinggi adalah pada dosis 50 mg/gr BB per hari. Pembentukan folikel atresia yang paling rendah yaitu pada perlakuan P4 yaitu dengan dosis 125 mg/ gr BB per hari. 2. Hasil analisis jumlah rata-rata folikel ovarium tikus putih setelah pemberian ekstak kacang merah Tabel 6. No 1 2 3 4 5 6
Analisis Uji One Way Anova Jumlah Rata-Rata Folikel Ovarium Tikus Putih setelah Pemberian Ekstak Kacang Merah Variabel n Rata-rata F Sig. 11,67 F. Primer 25 4,234 0,012 5,81 F. Sekunder 25 4,155 0,013 2,74 F. Tersier 25 5,851 0,003 1,01 F. de Graff 25 3,996 0,015 3,19 Korpus Luteum 25 0,979 0,441 3,04 F. Atresia 25 3,033 0,042
Tabel diatas menunjukkan hasil analisis uji Anova yang dapat dilihat dari nilai signifikasi masing-masing jenis folikel ovarium tikus putih. Jika nilai sig < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan, sebaliknya jika nilai sig > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan pada setiap perlakuan. Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada
53
perkembangan folikel primer (0,012), sekunder (0,013), tersier (0,003), de Graff (0,015) dan folikel atresia (0,042) nilai signifikasinya < 0,05. Hal ini berarti bahwa pada kelima jenis folikel, pemberian ekstrak kacang merah memberikan pengaruh yang berbeda terhadap setiap perlakuan. Sebaliknya, pada korpus luteum (0,441), nilai sig >0,05, maka dapat disimpulkan bahwa pada perkembangan korpus luteum pemberian ekstrak kacang merah tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap perlakuan. Tabel 7. Hasil analisis uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) Folikel Ovarium Tikus Putih setelah Pemberian Ekstak Kacang Merah No Variabel Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 1 F. Primer P0, P4 P0, P1, P2 P1, P2, P3 2 F. Sekunder P0, P2, P3, P4 P1, P3, P4 3 F. Tersier P0, P2, P3, P4 P1 4 F. de Graff P0, P2, P3, P4 P2, P3, P4 P1,P3, P4 5 Korpus Luteum P0, P1, P2, P3, P4 6 F. Atresia P0, P1, P2, P3, P1 P3 Berdasarkan hasil uji DMRT, pada folikel primer, sekunder de Graff, korpus luteum dan atresia menunjukkan adanya perbedaan perlakuan yang signifikan. Meski demikian ada beberapa kelompok perlakuan yang berdeda dari perlakuan satu dengan yang lainnya. Misalnya seperti pada folikel primer terdapat tiga kelompok perlakuan yang berbeda. Perlakuan dalam kelompok yang sama berarti memiliki pengaruh yang sama antara yang satu dengan yang lainya. Kelompok pertama yaitu P0 yang sama dengan perlakuan P4, kelompok kedua yaitu P0, P2, dan P1, dan kelompok ketiga yaitu P2, P1, dan P3. Dari hasil tersebut menyebutkan, bahwa P0 pada kelompok pertama sama dengan P2 dan
54
P3 pada kelompok kedua, sedangkan P1 dan P2 sama dengan P3 pada kelompok ketiga. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara setiap perlakuannya. Hasil uji DMRT pada folikel sekunder terdapat dua kelompok perlakuan yang berbeda, yaitu pada kelompok pertama P0, P2, P3 dan P4, sedangkan pada kelompok kedua yaitu P1, P3 dan P4. Hal ini dapat dikatakan bahwa dari kedua kelompok perlakuan ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan, dikarenakan perlakuan P1 pada kelompok kedua, juga memiliki persamaan pengaruh pada perlakuan P3 dan P4 pada kelompok pertama. Folikel tersier, berdasarakan hasil analisis uji DMRT memiliki dua kelompok perlakuan yang berdeda, pada kelompok pertama yaitu P0, P2, P3 dan P4, sedangkan kelompok kedua yaitu hanya P1 saja. Dari hasil analisis ini dapat dinyatakan bahwa perlauan P1 memiliki perngaruh yang signifikan terhadap perkembangan folikel tersier dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Hasi analisis uji DMRT pada folikel de Graff menunjukkan adanya tiga kelompok perlakuan yang berbeda. Kelompok pertama yaitu P0, P2, dan P3, pada kelompok kedua yaitu P2, P3 dan P4, sedangkan pada kelompok ketiga yaitu P3, P4, dan P1. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa pada setiapa perlakuan tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini dikarenakan P3 dan P2 pada kelompok pertama memiliki persamaan pengaruh dengaan P4
55
pada kelompok kedua, sedangkan perlakuan P3 dan P4 juga memiliki persamaan pengaruh terhadap P1 yang terdapat pada kelompok ketiga. Hasil analisis DMRT pada korpus luteum menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan memiliki persamaan perngaruh terhadap perkembangan korpus luteum, hal ini dapat dikarenakan pemberian ekstak kacang merah justru menghambat proses perkembangannya akibat konsentrasi hormon yang terlalu tinggi dalam tubuh. Perkembangan folikel atresia berdasarkan hasil uji DMRT terdapat dua kelompok perlakuan yang berdeda. Kelompok pertama yaitu P0, P2, P3 dan P4, sedangkan kelompok kedua yaitu P1 dan P3. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kedua kelompok perkaluan tidak memiliki perbedaan pengaruh yang signifikan. Hal ini dikarenakan antara P3 pada kelompok pertama juga memiliki pengaruh yang sama dengan P1 pada kelompok kedua B. Pembahasan Pemberian dosis ekstrak kacang merah ini mengacu ada penelitian pengaruh pemberian ekstrak etanol kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap kerusakan histologis sel hepar mencit (Mus musculus, L.) dalam abstrak penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Puji Yanti (2014). Penelitian tersebut, menggunakan 2 kadar dosis yang berbeda yaitu 70 mg dan 140 mg ekstrak etanol kacang merah. Dari kedua dosis ini kemudian digunakan untuk menentukan dosis uji sebenarnya dengan melalui uji pendahuluan berdasarkan kedua dosis tersebut dengan modifikasi, yaitu 75 mg, 100 mg, dan 150 mg. Hal ini dilakukan dengan
56
asumsi bahwa berat badan tikus putih lebih besar dibandingkan dengan mencit. Penggunaan tiga interval yang berbeda ini bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Hasil uji pendahuluan ini diperoleh hasil yang menunjukkan adanya perbedaan jumlah folikel pada masing-masing perlakuan dibandingkan kontrol. Pada perlakuan kontrol, 75 mg dan 100 mg, kebanyakan jenis folikel, mengalami kenaikan jumlah folikel, sedangkan pada dosis 150 mg, jumlah folikel justru menurun dari kadar sebelumnya. Berdasarkan hasil yang demikian maka ditentukan kadar dosis dengan interval yang sama yaitu dosis dibawah 75 mg, dan diatas 100 mg tapi dibawah 150 mg. Maka untuk uji sebenarnya ditentukan dosis sebagai berikut: perlakuan kelompok pertama merupakan kontrol (P0) dengan dosis 0 mg/ 200 gr BB tikus per hari. Perlakuan kedua merupakan perlakuan P1 yaitu dengan dosis ekstrak kacang merah 50 mg/ 200 gr BB tikus per hari. Perlakuan kedua merupakan perlakuan P1 yaitu dengan dosis ekstrak kacang merah 50 mg/ 200 gr BB tikus per hari. Perlakuan ketiga merupakan perlakuan P2 yaitu dengan dosis ekstrak kacang merah 75 mg/ 200 gr BB tikus per hari. Perlakuan keempat merupakan perlakuan P3 yaitu dengan dosis ekstrak kacang merah 100 mg/ 200 gr BB tikus per hari. Perlakuan kelima merupakan perlakuan P5 yaitu dengan dosis ekstrak kacang merah 125 mg/ 200 gr BB BB tikus per hari. Penelitian dilakukan selama 21 hari (tiga minggu), dimana perhitungan jumlah folikel dilakukan setelah tikus diberi perlakuan selama 21 hari dengan
57
menyertakan siklus birahi pada setiap tikus sebelum dianestesi untuk diambil organ ovariumnya yang kemudian dibuat preparat. Partodiharjo (1982: 175), menyatakan bahwa pada penentuan siklus birahi dilakukan dengan ulas vagina terlebih dahulu dengan terlihatnya banyak sel-sel epitel menanduk yang menandakan tikus sudah mengalami estrus. Tahap estrus ini mendandakan tikus betina sudah mau menerima pejantan untuk melakukan kopulasi. Penggunaan tikus putih dengan umur ± 2 bulan karena pada usia ini, dianggap tikus sudah mulai mengalami masa untuk bereproduksi (dewasa). Kondisi psikologi tikus dikendalikan dengan pemberian masa adaptasi sebelum dimulainya penelitian, yaitu selama kurang lebih tujuh hari (Harmita dan Radji, dalam Amri, 2012: 49). Pengambilan data, dilakukan dengan pembuatan preparat pada bagian organ ovarium dengan pewarnaan HE (Hematoxilin-Eosin). Hasil pengamatan diperoleh berdasarkan gambar histologi folikel ovarium tikus putih (Rattus norvegicus L.) secara mikroskopik dengan pembesaran 100x. Folikel-folikel yang diamati meliputi folikel primer, sekunder, tersier, de Graff, korpus luteum dan folikel atresia, yang dilihat perkembanganya berdasarkan perbedaan jumlah folikel yang terbentuk akibat pemberian dosis yang berbeda. Hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan Uji One-Way ANOVA SPSS ver.16. Ekstrak kacang merah diketahui terdapat senyawa fitoestrogen yang mirip seperti estrogen yang diproduksi oleh hewan. Pembuktian ini diketahui sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Ratna Djamil dan Tria A (2009) dalam
58
penelitian mereka yang menyatakan bahwa pada kacang merah positif mengandung senyawa flavanoid. Selain itu menurut USDA, kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) mentah mengandung fitoestrogen jenis isoflavon yang terdiri dari genistein dan daidzein, dengan rincian sebagai berikut: genistein sebanyak 0,29 mg/100g dan daidzein sebanyak 0,30 mg/100g. Sehingga total isoflavons dalam 100g kacang merah adalah 0,59 mg. Selain mengandung fitoestrogen jenis isoflavon, kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) juga mengandung fitoestrogen jenis coumestans dengan jumlah 0,01 mg/100g kacang merah. Budhi Akhbar (2010: 11) menyatakan bahwa pada beberapa spesies dapat dideteksi adanya pertumbuhan folikel selama periode diestrus. Hal ini berkaitan dengan fungsi hormonal yang terjadi dalam tubuh. Saat memasuki tahap diestrus, menurut Feradis (2010:118), konsentrasi progesteron tinggi, sedangkan konsentrasi FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luitinizing Hormone) dan sisa total estrogen relatif rendah. Siklus estrus yang dipengaruhi oleh keseimbangan hormon membuat perkembangan folikel ovarium berjalan sebanding dengan siklus estrus. Maka, perkembangan folikel ovarium juga dipengaruhi oleh keseimbangan hormon dalam tubuh. Saat memasuki fase diestrus, yang merupakan fase terpanjang dalam siklus estrus, konsentrasi progesteron tinggi, sedangkan FSH, LH, dan estrogen rendah. Saat fase ini berlangsung, biasanya perkembangan folikel juga mulai berlangsung. Namun perkembangannya berjalan secara lambat. Akibat konsentrasi FSH yang rendah,
59
perkembangan folikel ovarium berjalan lambat, karena fungsi utama FSH adalah untuk merangsang pertumbuhan folikel, terutama saat memasuki fase proestrus. Selama pertumbuhannya folikel juga melepaskan hormon estrogen. Saat mendekati fase ovulasi, akan terjadi perubahan produksi hormon. Peningkatan kadar estrogen selama fase pra-ovulasi menyebabkan reaksi umpan balik negatif atau penghambatan terhadap pelepadan FSH lebih lanjut dari hipofisis. Penuruanan konsentrasi FSH menyebabkan hipofisis melepaskan LH, yang kemudian LH akan merangsang pelepasan oosit dari folikel de Graff (Diah Aryulina dan Choirul Muslim, 2006: 294). Hasil analisis Uji Anova pada tabel, ditunjukan bahwa lima dari enam tahap perkembangan folikel yang diamati nilai signifikansinya < 0,05 yaitu pada folikel primer: 0,012, sekunder: 0,013), tersier: 0,003, de Graff: 0,015, dan folikel atresia: 0,042. Pernyataan tersebut berarti bahwa pemberian ekstrak kacang merah pada masing-masing tahap perkembangan folikel ovarium tikus putih tidak sama, atau terdapat perbedaan yang signifikan, sedangkan pada korpus luteum tidak menunjukkan adanya berbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan hasil nilai signifikansi pada korpus luteum > 0,05 yaitu sebesar 0,441. Folikel primer merupakan tahap awal dari perkembangan folikel, ditandai dengan adanya satu lapis sel granulosa. Ukuran folikel primer biasanya yang paling kecil dari jenis folikel lainnya. Sebelum mengalami perkembangan folikel ovarium mengalami fase dorman, dan pada fase ini folikel tersebut disebut
60
sebagai folikel primordial. Folikel primer sebenarnya hampir sama dengan folikel sekunder, hal yang membedakan yaitu ditandai dengan adanya dua lapis atau lebih sel granulosa pada folikel sekunder. Ukuran folikel sekunder biasanya yang lebih besar dari folikel primer, sehingga dapat lebih mudah diamati dibandingkan folikel primer. Folikel tersier merupakan tahap perkembangan lebih lanjut dari folikel sekunder, yang membedakan antara folikel tersier dan sekunder yaitu ditandai dengan adanya celah yang telah berisi dengan cairan folikuler yang membuat ukurannya menjadi lebih besar. Biasanya celah yang berisi cairan folikuli ini terbagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh ovum, hal inilah yang membedakan folikel tersier dengan folikel de Graff. Telah dijelaskan bahwa perkembangan folikel ovarium dipengaruhi oleh FSH. Dasarnya, FSH diproduksi oleh sel granulosa selama fase perkembangan folikel ovarium. Maka, konsentrasi FSH akan berkaitan dengan jumlah sel granulosa yang sedang beraktifitas. Sel granulosa yang semakin banyak akan sebanding dengan FSH yang dihasilkannya. Oleh karena itu, pada tahap awal perkembangan folikel ovarium jumlah sel granulosa pada saat folikel primer mulai berkembang yang jumlahnya hanya sedikit (satu lapis) juga menghasilkan FSH yang sedikit. Sebenarnya, pada tahap awal perkembangan folikel ovarium tidak dipengaruhi oleh estrogen. Kadar estrogen dalam jumlah sedikit kemungkinan besar tidak berefek pada perkembangan folikel ovarium, tapi hasil analisis ragam
61
satu arah (Oneway Anova) menunjukkan hal yang berkebalikan. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui dari nilai signifikasinya <0,05. Nilai signifikasi folikel primer 0,012; folikel sekunder: 0,013; dan folikel tersier: 0,003; ini berarti bahwa pada perkembangan folikel primer, sekunder dan tersier terdapat perbedaan dibandingkan kontrol. Dikatakan pula bahwa kandungan estrogen dari ekstrak kacang merah dapat meningkatkan perkembangan folikel ovarium. Estrogen dalam tubuh mamalia dihasilkan oleh folikel de Graff, dengan fungsi untuk membantu proses ovulasi. Fungsi lain estrogen disini yaitu untuk meningkatkan jumlah folikel de Graff, dengan kata lain ikut mempercepat terbentuknya folikel de Graff. Oleh karena itu, fungsi estrogen dapat dikatakan juga dapat mempercepat proses perkembangan folikel ovarium. Folikel de Graff ditandai dengan adanya celah yang telah berisi dengan cairan folikuler yang jauh lebih besar dibandingkan folikel tersier dan ovum terletak pada bagian tepi folikel yang dihubungkan dengan beberapa sel granulosa. Selain itu sel granulosa yang mengelilingi ovum jumlahnya semakin sedikit yang disebut korona radiata. Ukuran folikel de Graff biasanya sangat besar. Budhi Akbar (2010: 14), menyata hormon estrogen diproduksi pada tahap folikel de Graff ini. Adanya FSH yang disintesis di hipofisa anterior menyebabkan sel-sel granulose yang terdapat didalam folikel akan cepat menjadi banyak. Sel-sel granulose di dalam folikel de Graff ini akan menghasilkan estrogen. Estrogen berperan untuk merangsang pertumbuhan epitel vagina dan
62
folikel ovarium sehingga menjadi matang dan siap untuk ovulasi. Folikel yang matang akan terus memproduksi estrogen, akibatnya estrogen dalam darah menjadi tinggi. Kadar estrogen yang tinggi dalam darah menandakan tikus sedang dalam fase estrus dan konsentrasi estrogen yang semakin tinggi akan menyebabkan umpan balik, yaitu merangsang GnRH untuk memproduksi LH. Berdasarkan hasil analisis ragam satu arah, pembentukan folikel de Graff menunjukkan hasil yang signifikan 0,015 < 0,05. Hal ini berarti kandungan estrogen dalam ekstrak kacang merah dapat mempercepat pembentukan folikel de Graff tersebut. Korpus luteum, merupakan ruang folikuler yang berisi darah dan cairan limpa setelah terjadinya ovulasi. Biasanya berukuran besar dan pada perparat HE akan berwarna merah. Adanya korpus luteum ditandai dengan telah diproduksinya LH. Pembentukan LH ini juga dipengaruhi oleh konsentrasi estrogen yang tinggi, sebagai reaksi umpan balik negatif. Hasil uji ragam satu arah korpus luteum, pada baris sig yang terlihat bahwa nilai probabilitas 0,441. Maka keputusan yang diambil adalah (0,441 > 0.05). Tingkat pemberian dosis pada jumlah folikel korpus luteum sama, atau tidak terdapat perbedaan jumlah folikel corpus luteum ovarium. Hal ini dapat dikarenakan kadar estrogen yang tinggi secara alami dalam tubuh hewan uji (yang diproduksi oleh folikel de Graff), maka kandungan flavanoid dalam ekstrak kacang merah justru akan semakin meningkatkan kadar estrogen dalam darah. Hal inilah yang kemudian merangsang GnRH untuk memproduksi LH. Pada tahap berikutnya akibat terus
63
dihasilkannya LH akan terjadi lonjakan LH yang penting untuk terjadinya ovulasi setelah oosit keluar, maka folikel berubah menjadi korpus luteum yang mampu menghasilkan progesteron. Tahap ini, semakin banyaknya kandar estrogen dalam darah, maka akan semakin banyak folikel de Graff yang matang dan berovulasi. Dengan fakta demikian, jumlah korpus luteum seharusnya sebanding dengan jumlah folikel de Graff yang telah mengalami ovulasi. Tapi dari analisis data diperoleh hasil yang sebaliknya, peningkatan jumlah tidak mengalami adanya perdedaan yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yaitu adanya folikel yang mengalami kerusakan selama perkembanganya. Seperti yang dinyatakan oleh Nalbanov (1990: 24), bahwa disamping terdapat folikel-folikel yang berkembang secara normal, sebuah ovarium juga selalu memiliki sejumlah folikel tertentu yang mengalami degenerasi dan folikel yang mengalami atresia. Atresia folikuler ini biasanya menyertai pembentukan dan pemasakan folikel, yang artinya dapat terjadi pada semua tahap perkembangan folikel. Berkebalikan dengan korpus luteum, folikel atresia biasanya akan tampak berwarna gelap setelah pewarnaan, dengan ukuran yang bervariasi. Folikel atresia sebenarnya merupakan kondisi folikel yang tidak sempurna atau rusak selama masa perkembangannya. Hasil uji ragam satu arah pada baris Sig terlihat bahwa nilai probabilitas 0,042 (0,042 < 0,05). Maka keputusan yang diambil adalah tingkat pemberian dosis pada jumlah folikel atresia tidak sama, atau terdapat perbedaan jumlah folikel atresia ovarium.
64
Hasil analisis data menunjukkan bahwa peningkatan jumlah folikel atresia terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya kandungan flavanoid dalam ekstrak kacang merah kemungkinan dapat menganggu perkembangan folikel ovarium tikus putih. Salah satunya akibat konsentrasi yang terlalu tinggi, sehingga menyebabkan perkembangan folikel yang tidak stabil. Hasil analisis Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan bahwa dari semua fase perkembangan folikel ovarium tikus putih tidak menunjukkan adanya perbedaan antara satu perlakuan satu dengan yang lainnya. Hal ini ditunjukkan pada hasil analisis data yang ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang terbagi menjadi beberapa kelompok perlakuan. Meskipun demikian, ada beberapa perlakuan yang masuk dalam dua atau lebih kelompok perlakuan yang sama. Maka, berdasarkan hasil yang demikian dapat disimpulkan bahwa, meskipun pemberian perlakuan mempengaruhi perkembangan folikel ovarium tikus putih secara signifikan, tapi tidak memiliki perbedaan yang nyata antara perlakuan satu dengan yang lainnya. tapi terdapat pengecualian pada perkembangan folikel tersier, hasil analisis uji DMRT memiliki dua kelompok perlakuan yang berdeda, pada kelompok pertama yaitu P0, P2, P3 dan P4, sedangkan kelompok kedua yaitu hanya P1 saja. berdasarkan hasil analisis ini dapat dinyatakan bahwa perlauan P1(50 mg/hari) memiliki perngaruh yang signifikan terhadap perkembangan folikel tersier dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya.
65
Gambar grafik, menunjukkan perbadingan rata-rata antara masing-masing jenis folikel dengan mengabaikan jenis perlakuan yang digunakan. Dari grafik dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah folikel yang paling banyak pada setiap perlakuan yaitu folikel primer 11,6 folikel per tikus, kemudian disusul pada folikel sekunder 5,81 folikel per tikus, kospus luteum pada peringkat ketiga dengan 3,19 folikel per tikus, berikutnya folikel atresia 3,04 folikel per tikus, kemudian folikel tersier 2,74 folikel per tikus, dan yang terakhir pada folikel de Graff 1,01 folikel per tikus. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah folikel primer jauh lebih banyak jika dibandingkan folikel lainya. Hal ini juga menandakan bahwa pembentukan folikel primer jauh lebih cepat dari yang lain. Proses perkembangan folikel primer menuju folikel sekunder juga masih tinggi. Sebaliknya, pada jumlah folikel de Graff justru menunjukkan jumlah yang paling rendah. Kondisi ini dapat disebabkan karena konsentrasi estrogen dalam darah yang tinggi akibat pemambahan ekstrak kacang merah, selain itu pada tahap ini folikel de Graff juga menghasilkan hormon estrogen, sehingga konsentrasi hormon estrogen semakin tinggi. Kemungkinan kondisi konsentrasi estrogen yang semakin tinggi inilah yang dapat menganggu perkembangan folikel. Akibat kondisi ini, yaitu konsentrasi estrogen yang tinggi akan memicu pembentukan hormon LH, dimana pada saat konsentrasi LH tinggi ini fase perkembangan folikel sudah memasuki tahap pelepasan dan membentuk korpus luteum.
66