70 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah diantisipasi dengan perangkat hukum yang mengaturnya. Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat internet, undang-undang yang diharapkan menjadi perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan termasuk dampak negatif dari penyalahgunaan media internet yang didalamnya terdapat media online, dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebebasan pers adalah salah satu produk terbaik yang dihasilkan proses reformasi. Kebebasan pers yang sejak jaman penjajahan Belanda merupakan harga yang harus dibayar dengan mahal, perlahanlahan mulai terbuka. namun belum lama produk kebebasan ini dirasakan manis oleh para insan pers, sudah ada regulasi yang kembali ingin mengekang kebebasan pers tersebut. Regulasi berupa RUU ITE dianggap membatasi hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta menghambat kreativitas. Dalam dunia maya, orang awam maupun insan media online umumnya menilai dan berpegang pada asas kebebasan dan keterbukaan. 107 Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku mayarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi 107
http://fsldkn.org/ke-ummat-an/menjaga-integritas-bangsa-integrasikan-uu-ite-dengan-ruupornografi.html
70
71 informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan melawan hukum. Sistem elektronik digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi sebagai penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan manajemen adalah perwujudan penerapan produk teknologi informasi kedalam bentuk organisasi dan manajemen serta keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia dan substansi. Dunia hukum sudah lama memperluas asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud. Dalam kenyataannya, kegiatan siber tidak lagi sederhana karena sudah tidak dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dimana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan kata lain, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.
72 Pemerintah Republik Indonesia berupaya untuk meminimalisir hal tersebut diatas, karenanya pemerintah mensahkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), agar pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi dapat berlangsung aman dan jelas kepastian hukumnya serta dapat berkembang secara optimal. Belakangan ini, muncul reaksi dari berbagai kalangan atas disetujuinya UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) oleh DPR, yang dibeberapa pasalnya disinyalir akan menghambat kebebasan pers. Dalam perjalanannya, UU ini menuai banyak kontroversi yang justru disebabkan oleh beberapa kelemahan yang terdapat dalam UU ITE ini. Kelemahan yang menjadi dasar bagi para kalangan yang kontra terhadap kehadiran UU ITE, antara lain: UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah. 108 Pada akhirnya tentu saja dampak nyata RUU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang
108
http://fsldkn.org/ke-ummat-an/menjaga-integritas-bangsa-integrasikan-uu-ite-dengan-ruupornografi.html
73 berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya. 109 Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menuai kontroversi ini sendiri berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendustribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dengan ancaman dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)". Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengandaian dimana seorang WNI membuat suatu software khusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum. Hadirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk selanjutnya disebut dengan UU ITE tentang mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan, merupakan payung hukum bagi pengguna layanan media internet termasuk layanan media online. UU ITE mengatur mengenai masalah informasi elektronik, transaksi elektronik dan segala macam yang terkait dengan data elektronik. UU ini berguna untuk melindungi masyakat dari kejahatan maya (Cyber Crime) dan kejahatan perbankan yang menggunakan transaksi elektronik. Selain itu UU ini bertindak untuk melindungi masyarakat dari segala macam porno aksi yang beredar dalam situs-situs internet serta dari segala macam informasi yang tidak menyenangkan.
109
http://www.serpong.org/2008/03/27/undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik-uu-ite/
74 Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi dari skema konvergensi bidang telekomunikasi, computing dan entertainment (media), dimana pada awalnya masing-masing masih berbaur sendiri-sendiri. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan implikasinya pada saat transaksi elektronik sampai dengan bagaimana pesan itu sampai ke recipient (penerima informasi) atau komunikan yang dituju. UU ITE yang diterbitkan per tanggal 25 Maret 2008 lalu oleh pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dengan cakupan materi yang cukup komprehensif atau menyeluruh. Didahului dengan berbagai pertimbangan yang mendasari dibuatnya undang-undang ini, penekanan terhadap globalisasi,
perkembangan
teknologi
informasi
dan
keinginan
untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. 110
4.2 Kontroversi Pemberlakuan Pasal 27 Ayat 3 Dalam UU ITE Keberadaan pasal 27 ayat 3 yang hingga saat ini menjadi kontroversi karena muatannya yang dianggap oleh komunitas pers, blogger maupun pengguna internet pada umumnya, dirasalan dapat mengancam kebebasan berpendapat. UU ITE ini pun telah menuai kontroversi sejak masih dalam proses berupa rancangan undang-undang, karena sejak dalam proses pembuatannya tidak merangkul komunitas pers, sehingga masyarakat pers pun merasa kecolongan dengan disahkannya rancangan undang-undang ITE menjadi UU ITE. Hal tersebut diungkapkan oleh bapak Hendrayana dari LBH Pers.
110
http://www.serpong.org/2008/03/27/undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik-uu-ite/
75 Dalam proses pembuatan RUU, komunitas pers tidak dilibatkan, ada kesan diam-diam. Kejanggalannya adalah ternyata dalam proses pembuatannya, pasal 27 tidak terdapat dalam naskah akademi. Pembahasan pasal 27 dengan DPR baru dimunculkan secara tiba-tiba. 111
Jika ditilik dari asal muasal pembuatan Undang-undang Informasi dan Transaksi dan Elektronik yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi dunia perbankan khususnya, maka keberadaan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dipertanyakan oleh banyak pihak. Seperti yang disampaikan oleh bapak Rudi Rusdiah dari Mastel yang juga merupakan salah seorang yang ikut terlibat dalam proses pembuatan draft UU ITE. Tujuan awal pembuatan UU ITE ini adalah memberdayakan masyarakat agar bisa melakukan transaksi elektronik. Ini juga sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi elektronik. Saat proses pembuatan draft Undang-undang ini dalam dua kelompok kerja, tetapi tidak pernah terpikir untuk memasukkan pasal pencemaran nama baik, penghinaan, pornografi, pengancaman dan sebagainya, yang keseluruhannya saat ini terkandung dalam pasal 27. 112 Dalam menjalankan perannya, DPR menganggap bahwa pengesahan UU ITE adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, karena hingga kini belum ada peraturan hukum yang mengatur tentang transaksi elektronik. DPR dan Pemerintah menilai perlu adanya payung hukum yang bisa melindungi masyarakat sebagai konsumen, yang dapat menjadi korban kejahatan transaksi elektronik dunia maya. Sejarah di Indonesia belum ada satu undang-undang pun di Indonesia yang hingga kini bisa atau mampu melindungi atau memproteksi transaksi bisnis di dunia maya. Banyak hacker-hacker atau pembobol di bidang IT yang bisa dengan mudah merusak situs-situs yang ada. Kejahatan cyber crime ini belum diproteksi, belum ada undang-undangnya. Hal-hal yang berhubungan dengan dunia maya itu semuanya serba bebas, tidak ada jaminan hukum atau kepastian 111 112
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers wawancara dengan bapak Rudi Rusdiah, Mastel.
76 hukum yang melindungi masyarakatnya. Maka dibutuhkanlah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. 113
Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI, yang juga merupakan salah seorang yang terlibat dalam poses UU ITE menambahkan bahwa, alasan dibalik munculnya pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE yang berisi tentang pencemaran nama baik adalah merupakan antisipasi mengenai langkah hukum yang dapat dilakukan pemerintah mengingat banyaknya kejahatan dunia maya yang terjadi di Indonesia. Dalam usahanya memberantas kejahatan tersebut, pemerintah yang diwakilkan oleh DPR sepakat untuk merumuskan undang-undang yang mengatur hukum untuk kejahatan dunia maya juga mencantumkan didalamnya pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Undang-undang ITE ini agak luas, karena dikejar oleh Undang-undang cyber crime. Ada keinginan dari pemerintah untuk secepatnya mengantisipasi banyaknya kasus yang ada yang terjadi sekarang ini, maka UU ITE ini kemudian melebar melingukupi masalah pornografi dan lain-lain sehingga memunculkan pasal-pasal yang lain. Keberadaan pasal-pasal lain ini sebetulnya adalah untuk mengisi kekosongan hukum. 114
Dalam perjalanannya, UU ITE menuai banyak kontroversi, terutama menyangkut keberadan pasal 27. Mulai dari munculnya pasal 27 beserta seluruh ayatnya dengan tiba-tiba tanpa ada yang merasa bertanggung jawab atas keberadaannya, sampai dengan isi dari pasal tersebut yang dinilai bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang telah diatur sebelumnya dalam Undangundang Dasar 1945 pasal 28 F, hingga substansi pencemaran nama baik yang juga telah diatur sebelumnya dalam Undang-undang Pers pasal 310 dan 311. Sejak masih menjadi RUU sampai kemudian menjadi UU, Dewan Pers konsisten menentang pasal 27 dan 28 dalam UU ITE karena bertentangan dengan 113 114
wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI. wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI.
77 kebebasan berekspresi. Karena kebebasan berekspresi itu sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Dasar pasal 28 F. Dewan Pers konsisten dalam hal ini karena menurut kami pasal 27 dan pasal 28 berpotensi menghambat demokratisasi. Dewan Pers selalu mengajak masyarakat supaya pasal 27 UU ITE itu ditiadakan. Pasal 27 ayat 3 ini tidak perlu. Hapus saja, berserta dengan pasal 28-nya. 115
Kekhawatiran terjadinya masalah menyangkut pasal 27 ayat 3 saat ini telah menciderai tiga orang dan ditakutkan akan bertambah lagi. Banyak pihak yang menyayangkan dan menyesali telah jatuhnya korban dari pasal yang dinilai karet dan multi tafsir ini. Banyaknya pertentangan mengenai keberadaan pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE berlatar belakang bahwa subsatansi dari pasal ini merupakan upaya untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, upaya pembungkaman dan mengancam kebebasan pers serta pemberangusan terhadap media. Dalam UU ITE, pasal tersebut sudah keluar dari tujuan sesungguhnya. Setelah menjadi UU ITE, komunitas pers menilai pasal ini adalah pasal yang mengancam kebebasan pers. Contoh yang paling konkrit yang terjadi adalah kasus ibu Prita Mulyasari. Ini adalah contoh kasus dimana kita bisa melihat bahwa pemerintah dan DPR seperti sengaja, pasal ini dibuat seperti ranjau hukum untuk membungkam ekspresi kebebasan berpendapat. 116
Ancaman hukuman yang cukup berat pun dianggap sebagai satu perwujudan pengekangan atas kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia. Hukum yang terlalu massive ini dianggap sebagai bentuk manivestasi politik pemerintah dan DPR dalam membuat ranjau hukum bagi masyarakatnya.
Banyak masalah yang akan timbul dari keberadaan pasal ini, karena sifat dari pasal ini sifatnya bukan sifat hukum positif melainkan sifat hukum negatif. Pasal ini bisa memasung hak orang untuk berpendapat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 28 F yaitu hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapat. Sanksi yang dikenakan dalam pasal ini berupa denda satu milyar rupiah, adalah
115 116
wawancara dengan bapak Bekti Nugroho dari Dewan Pers. wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
78 paradigma dari pembuatnya lebih untuk membuat efek jera, bukan sebagai pembelajaran. Pasal ini menakutkan. 117
Hingga saat ini, pengaplikasian pasal 27 ayat 3 telah menghasilkan tiga korban. Hal yang dikhawatirkan banyak pihak bahwa pasal ini dapat menjadi masalah berkepanjangan, mulai terlihat. Terjadinya kasus demi kasus yang mengatasnamakan pencemaran nama baik, hingga kini terus terjadi. Hal menarik yang terjadi seputar kontroversi keberadaan pasal 27 ayat 3 ini adalah terjadinya kasus penghinaan atau pencemaran nama baik yang diduga dilakukan oleh artis Luna Maya. Dalam salah satu akun situs jejaring sosial, dirinya menulis tentang “wartawan infotaimen derajatnya lebih hina daripada pelacur, pembunuh!!! may your soul burn in hell”. Kira-kira seperti itulah katakata yang ditulis oleh Luna Maya distatus akun jejaring sosialnya. Dengan melakukan tindakan seperti itu, wartawan infotaimen merasa telah dihina dan dicemarkan namanya kemudian menindak lanjuti hal tersebut dengan melakukan pengaduan kepada pihak berwajib atas dasar pencemaran nama baik dan menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Hal ini kemudian menjadi polemik baru didunia jurnalisme Indonesia, karena wartawan infotaimen menggunakan pasal yang dinilai telah menodai kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan mengekang kebebasan berekspresi. Ini tentu menjadi pelajaran bagi komunitas pers Indonesia. Wartawan infotaimen dinilai oleh sebagian besar komunitas pers baik itu jurnalisme mainstream maupun citizen jurnaisme menciderai perjuangan komunitas pers untuk mengamandemen pasal 27 ayat 3 UU ITE. Ditengah gencarnya usaha untuk
117
wawancara dengan bapak Rudi Rusdiah, Mastel.
79 mengamandemen pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal yang dianggap menjerat kebebasan berpendapat dan berekspresi serta mengekang kebebebasan pers tersebut, pasal itu justru digunakan oleh wartawan infotaimen sebagai dalil untuk mencari kebenaran atas dasar pencemaran nama baik oleh wartawan infotaimen. Akan berakhir seperti apa, kasus yang menimpa wartawan infotaimen versus Luna Maya? Kita tunggu perkembangannya, karena hingga karya ilmiah ini ditulis, kasus pencemaran nama baik tersebut masih tetap bergulir.
4.3 Pencemaran Nama Baik dan Pasal 27 Ayat 3 Pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik sesungguhnya sudah ada dan telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 310 dan 311. Pasal 27 ayat 3 UU ITE dinilai oleh beberapa pihak tidak perlu ada, karena isi yang terkandung didalam pasal ini sangat umum dikhwatirkan akan menciderai kebebasan untuk berpendapat. Kami menilai pasal ini tidak perlu ada karena secara norma hukum, untuk masalah atau kasus pencemaran nama baik itu sudah diatur dalam KUH Pidana pasal 310 dan 311. Itu sudah mengatur tentang pencemaran nama baik. Dan pasal 27 UU ITE ini dianggap tidak perlu adalah karena ancaman yang diberikannya itu lebih berat. Itulah yang menjadi kekhawatiran bagi komunitas pers, blogger atau siapapun dalam hal ini masyarakat para pengguna teknologi internet. 118 Keberadaan pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik ini dinilai banyak pihak tidak memiliki pondasi hukum yang kuat, karena parameter yang digunakan untuk mengukur suatu tindakan pencemaran nama baik, tidaklah jelas. Banyak pihak yang mengkhawatirkan penggunaan pasal 27 ayat 3 juga dapat menjadi “alat” bagi para penegak hukum untuk memberangus kebebasan
118
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
80 berpendapat dan penyaluran berekspresi tidak hanya bagi masyarakat luas tetapi juga rentan terhadap media.
Kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi baik dari masyarakat maupun media, akhirnya pelan-pelan dapat diatasi atau diberangus atas dasar penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, karena atas dasar pencemaran nama baik itu tadi. Padahal maksudnya adalah hanya untuk menyampaikan pendapat, menyalurkan ekspresi. Tapi hal itu justru dapat berbalik menjadi senjata bagi masyarakat maupun media itu sendiri. Ini yang kita khawatirkan dan itu sudah terjadi. 119 Kekhawatiran yang disuarakan oleh banyak pihak atas keberadaan pasal 27 ayat 3 yang terkandung dalam UU ITE berdasarkan atas ketidaksesuaian isi pasal yang terkandung didalamnya dengan keseluruhan fungsi dibalik lahirnya Undang-undang ITE sebagai payung hukum bagi masyarakat dalam dunia perbankan dan juga sanksi hukum yang begitu memberatkan yang menyertainya. Dikhawatirkan pula keberadaan pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik ini, akan menghambat proses demokratisasi bangsa yang saat ini pun terkesan jalan ditempat. Munculnya pasal 27 UU ITE beserta dengan keseluruhan ayat dan isi pasal yang terkandung didalamnya secara tiba-tiba dalam rumusan undang-undang hingga pada akhirnya kemudian disahkan menjadi undang-undang membuat komunitas pers merasa kecolongan dan merasa terancam kebebasannya. Ancaman akan kebebasan berpendapat serta kebebasan menyalurkan ekspresi makin terlihat jelas dan terasa semakin nyata saat kasus Prita Mulyasari terjadi. Prita Mulyasari, yang notabenenya adalah seorang warga masyarakat awam yang mencoba untuk menyalurkan pendapat dan berbagi keluhan tentang layanan publik yang dirasakannya tidak memuaskan, tidak menguntungkan 119
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
81 bahkan mungkin memberikan kerugian atas dirinya, harus terkena implikasi dari sanksi hukum yang memberatkan ini. Dalam contoh kasus ibu Prita, dapat terlihat bahwa kerugian yang diderita oleh pihak rumah sakit itu tidaklah permanen. Kerugian yang lebih besar justru diderita oleh ibu Prita yang notabene-nya adalah masyarakat yang menjadi pihak paling banyak dirugikan. Kerugian bagi Prita Mulayasari diantaranya adalah dirinya sudah menderita kerugian karena mendapatkan layanan publik yang tidak memuaskan. Prita mengalami adanya kesulitan untuk memperoleh layanan publik yang baik, padahal layanan publik adalah untuk masyarakat itu sendiri. Dan yang kedua, setelah Prita Mulyasari mengeluarkan pendapat, menyalurkan aspirasinya, dia kemudian menderita lagi karena dianggap telah mencemarkan nama baik yang berbuah adanya persoalan hukum. Banyak kalangan berpendapat, bahwasanya Prita Mulyasari-lah yang sebenarnya menjadi korban dalam kasus ini. Tetapi dengan adanya pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, justru terkesan bahwa Prita-lah yang merupakan pihak jahat yang melakukan pencemaran nama baik atas Rumah Sakit Omni Internasional. Kerugian sebenarnya yang diderita oleh ibu Prita Mulyasari menurut bapak Hendrayana dari LBH Pers, justru menyangkut berbagai macam segi, salah satunya adalah kerugian dari segi psikologis. Banyak pihak juga mengatakan bahwa kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius baik dari Komisi I anggota DPR serta aktivis perempuan dan anak. Karena kasus ini sedikit banyak telah memberikan gambaran bahwa keberadaan pasal 27 ayat 3 berpotensi menghambat kebebasan berekspresi dan yang dikhawatirkan akan mengekang kebebasan pers. Contoh yang sangat nyata dari pengaplikasian pasal 27 ayat 3 UU ITE yang salah kaprah ini bisa kita lihat di kasus Prita. Orang akan memilih diam,
82 ketika hal buruk tersebut menimpa mereka, padahal mendapatkan pelayanan yang baik adalah juga bagian dari hak masyarakat. Orang akan memilih diam, karena mereka takut. Takut dengan konsekuesi yang akan mereka dapatkan, padahal mengeluarkan pendapat, menyuarakan pendapat, menyalurkan aspirasi adalah juga bagian dari hak asasi, hak individu seseorang dan itu diatur dalah Undang-undang Dasar Negara ini. 120 Yang saya herankan, kenapa pemerintah membuat hukum yang begitu massive kepada rakyatnya. Hal ini seperti menggambarkan kalau masyarakatnya itu tidak taat hukum, begitu barbar-nya sehingga diperlukan hukum yang begitu mengekang rakyatnya. Hukum seperti ini adalah bukan sebagai hukum yang melindungi rakyatnya. 121 Kasus yang melanda Prita Mulyasari sedikit banyak menggambarkan polemik dari keberadaan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Sangat disayangkan jika kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia yang telah diatur dalam tatanan hukum tertinggi di Republik ini, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28, harus terkekang dengan adanya pasal 27 ayat 3 yang memaktubkan tentang pencemaran nama baik. Namun di lain pihak, senada dengan pihak-pihak yang menyetujui penghapusan pasal 27 UU ITE beserta seluruh isi didalamnya, dalam kasus Prita Mulyasari, Dedy Djamaluddin Malik anggota Komisi I DPR RI, menyatakan pembelaannya atas kasus tersebut. Dalam hal ini, dirinya mendukung atas kesalahan penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik sebagai proses hukum yang menjerat Prita Mulyasari. Ia melihat bahwa dalam kasus Prita tersebut terjadi karena adanya kekurangsadaran pihak rumah sakit yang bersangkutan terhadap pelayanan bagi konsumen. Dalam kasus Prita ini, dirinya secara pribadi mengajukan pembelaanpembelaan baik melalui wawancara dengan media cetak maupun melalui pembuatan artikel. Menurutnya dalam hal ini, ibu Prita hanya menggunakan 120 121
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers. wawancara dengan bapak Rudi Rusdiah, Mastel.
83 haknya sebagai konsumen yang meminta penjelasan mengenai pelayanan yang telah diterimanya. Menurut saya pihak rumah sakit itu bisa menggunakan hak jawabnya terhadap ibu Prita, tanpa harus menyeret pernyataan ibu Prita yang menyebar melalui e-mail itu ke pengadilan. Karena justru dengan membawa kasus ini dan menyeret ibu Prita ke pengadilan, secara politis citra rumah sakit itu akan hancur dengan sendirinya. 122 Dirinya juga menyayangkan atas penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE dalam kasus ibu Prita dan menurutnya penggunaan pasal ini adalah suatu kesalahan, karena penggunaan pasal ini dapat merugikan masyarakat dan juga karena dapat membuat takut mereka-mereka yang akan menggunakan hak kebebasan berpendapatnya. Penggunaan pasal ini saya nilai salah, karena sebenarnya pasal ini ditujukan untuk oknum-oknum yang kerap melakukan kejahatan didunia maya, baik berupa penyebaran-penyebaran foto yang memenuhi unsur-unsur pornografi, oknum-oknum yang menyebarkan pembohongan publik berupa pencemaran nama baik didunia maya, yang kerap kali sulit untuk ditangkap dan apalagi dibuktikan kesalahannya secara nyata. Itu sebabnya Undang-undang ITE ini diperlukan. 123
4.4 Proses Kerja Jurnalis Media Online dan Pemberlakuan Pasal 27 ayat 3 Etika kerja jurnalistik yang dianggap sebagai pedoman komunitas jurnalisme haruslah dipegang teguh dan diaplikasikan secara baik dan benar oleh para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Banyak jurnalis maupun media jurnalis yang bekerja secara professional, menggunakan dan memenuhi standar kode etik jurnalistik. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula oknumoknum pers yang tidak melakukan hal tersebut. Menurut pendapat bapak Hendarayana dari LBH Pers, harus diakui bersama jika memang terdapat wartawan yang tidak menjunjung tinggi pedoman 122 123
wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI. wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI.
84 kewartawanan, kode etik kewartawanan dan juga kode etik jurnalistik. Adanya oknum gadungan dalam tubuh pers di republik inilah yang harus diwaspadai dan dibenahi keberadaannya. Dalam dunia pers ada yang disebut wartawan bodrek atau apapun sebutannya itu, apa tidak menyalahi kode etik jurnalistik? Menurut saya, yang patut dibenahi adalah hal yang seperti itu. Nah, semestinya jika masyarakat menemukan praktek seperti itu, masyarkat bisa mengadu ke LBH Pers. 124 Hal itulah yang diharapkan dapat terjadi jika pengaplikasian pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik tersebut tepat sasaran. Adanya feedback dari masyarakat, menyangkut praktek-praktek tertentu yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan pers. Jika masyarakat melihat dan menemukan praktek-praktek tersebut, maka mereka dapat dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Namun saat ini kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Dengan pemberlakuan UU ITE serta pasal 27 ayat 3 yang termaktub didalamnya, masyarakat justru semakin enggan untuk mengeluarkan aspirasi dan mengekspresikan pendapatnya. Tetapi dengan pemberlakuan UU ITE pasal 27 ayat 3 ini terutama, masyarakat akhirnya justru akan takut untuk mengeluarkan aspirasinya, pendapatnya. Harusnya yang terjadi adalah seperti itu, ada feedback dari masyarakat. Bukan membuat suatu aturan yang mengatas namakan banyak orang, tetapi kemudian justru memberangus kebebasan pers, serta kebebasan berekspresi masyarakat luas. Dengan iklim demokratisasi yang perlahan-lahan sedang dibangun oleh seluruh elemen bangsa ini, keberadaan pasal yang dianggap menciderai kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi salah satu pemandangan yang ironis. Ketika kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi itu terasa sulit untuk diutarakan
124
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
85 serta sulit untuk dilakukan ini tentu menghambat segi-segi demokratisasi bangsa Indonesia. Suasana itu akan membuat teman-teman pers dari segi psikologis akan merasa takut, suasana ragu-ragu untuk mengungkapkan kebenaran yang sejati. Karena dapat dilihat dengan pengaplikasian dari pasal ini yang sekarang terjadi dengan adanya kasus Prita, Iwan Biliang dan juga yang terakhir adalah Luna Maya, maka dampaknya akan semakin meruncing. 125 Keterkaitan antara kode etik jurnalistik maupun etika kerja jurnalistik terhadap pencemaran nama baik, erat kaitannya. Karena bangsa ini adalah bangsa hukum dan menganut azas praduga tidak bersalah, maka peranan komunitas jurnalis dalam menjalankan etika kerja jurnalistik sangat diperlukan. Menyangkut pasal pencemaran nama baik serta kebebasan berpendapat hal tersebut tentu mengharuskan komunitas jurnalis untuk
memiliki dan menyikapinya dengan
tingkat kehati-hatian tertentu. Dalam menyikapi pemberitaan yang dapat berujung dengan sebuah tuduhan pencemaran nama baik, pers diharuskan untuk senantiasa menjunjung kode etik jurnalistik dalam melaksanakan etika kerjanya pada proses pengumpulan berita. Jika pada saatnya nanti, berita yang disampaikan kepada khalayak kemudian menyangkut masalah pencemaran nama baik, diharapkan pada saat yang bersamaan pula, hal tersebut tidak serta merta membungkam kebebasan pers. Masalah pencemaran nama baik atau bukan, terkait dengan kode etik. Karena seharusnya tidak menghakimi, ada check and balance. Orang bukan melakukan pencemaran nama baik atau melanggar kode etik, karena nama baik seseorang tidak mau diganggu. Fakta hukum, orang gemar menggunakan pasal pencemaran nama baik, karena orang yang melakukan sesuatu menuntut untuk diperlakukan dengan azas praduga tidak bersalah. 126 Fakta menarik terkait dengan penggunaan pasal tentang pencemaran nama baik adalah bahwa orang yang menggunakan pasal pencemaran nama baik 125 126
wawancara dengan bapak Bekti Nugroho dari Dewan Pers. wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
86 biasanya bukanlah orang biasa atau masyarakat awam. Yang sering terjadi adalah orang yang menggunakan pasal pencemaran nama baik contohnya adalah pejabat publik. Demikian dipaparkan oleh bapak Hendrayana dari LBH Pers. Benarkah bahwa masyarakat awam sendiri justru sangat tidak terlalu peduli dan yakin atas perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh pasal pencemaran nama baik tersebut? Benarkah bahwa banyak pejabat publik yang justru gemar berlindung dibalik pasal pencemaran nama baik dan berlindung dibalik azas praduga tidak bersalah yang ditawarkan hukum di Indonesia, yang menjadi lubang perlindungan bagi mereka yang melakukan kejahatan untuk mencari keselamatan? Hal ini tentu patut untuk dikaji lebih lanjut lagi. Orang yang menggugat dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik, bukanlah orang biasa atau masyarakat awam. Yang sering terjadi adalah orang yang menggunakan pasal pencemaran nama baik contohnya adalah pejabat publik. 127 Pemberlakuan UU ITE serta keseluruhan pasal yang terkandung didalamnya termasuk dengan pasal 27 ayat 3, membawa komunitas jurnalis untuk melakukan langkah konkrit dalam rangka pencegahan jatuhnya korban lebih banyak lagi atas penerapan pasal yang dianggap dapat memberangus kebebasan berpendapat dan mengekang penyaluran berekspresi bagi masyarakat serta juga rentan terhadap media. Salah satu langkah yang dilakukan oleh Dewan Pers adalah mengadakan konsolidasi untuk bagaimana supaya pasal 27 ini tidak lagi diberlakukan. Kami menghadap ke Menkominfo dan menemui staff ahli Admond Makarim. Karena dalam pasal ini menurut kami, kutipan pasalnya adalah: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak…”, menurut kami wartawan adalah orang yang berhak, bukan orang yang tidak berhak. Wartawan sudah jelas memiliki hak. Ini yang kami utarakan. 128 127 128
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers. wawancara dengan bapak Bekti Nugroho dari Dewan Pers.
87
Dampak yang dapat terjadi karena keberadaan pasal 27 ayat 3 ini antara lain adalah masyarakat menjadi takut untuk berpendapat, wartawan menjadi takut untuk melakukan kritik-kritik sosial yang justru seharusnya menjadi kontrol sosial di masyarakat Indonesia ini.
4.4.1
Pemberlakuan UU ITE terhadap Proses Kerja Jurnalis Kekhawatiran akan semakin banyaknya korban yang jatuh akibat
pengaplikasian pasal 27 ayat 3 UU ITE semakin besar. Banyak pihak yang menilai bahwa dalam hal ini, pemerintah dan DPR seperti sengaja mencantumkan pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE. Pasal ini dinilai sengaja dibuat seperti ranjau hukum untuk membungkam ekspresi kebebasan berpendapat. Jika hal tersebut berlanjut, dikhawatirkan bunga-bunga demokrasi tidak akan tumbuh. Bungabunga demokrasi bangsa ini akan layu sebelum berkembang, dan hal tersebut akan sangat disayangkan. Karena jika demokratisasi bangsa ini tidak berkembang, maka dikhawatirkan bangsa Indonesia akan kembali berada dibawah rezim otoriter. Sejalan dengan adanya tugas yang harus diemban para insan pers sebagai kontrol sosial di masyarakat Indonesia ini, jurnalis dihadapkan untuk membeberkan secara faktual dan aktual tentang suatu peristiwa. Wartawan tidak diharapkan untuk menjadi takut untuk melakukan kritik-kritik sosial yang terjadi secara nyata. Jika fakta yang disampaikan, dalam KUH Pidana 311 itu sudah dijelaskan. Itu bukanlah pencemaran nama baik. Jika bukan penghinaan, kalau
88 itu fakta atau kejadian sebenar-benarnya, maka yang harus dilakukan adalah menghadirkan saksi-saksi juga ada pemerintah yang pintar. 129 Dalam pengaplikasiannya, pasal 27 ayat 3 ini dapat menjadi senjata dalam tanda kutip bagi siapa saja yang merasa tercemarkan namanya baik oleh sebuah pemberitaan. Hal ini dirasa dapat terjadi walau semua unsur pemberitaan telah terpenuhi, serta berita tersebut juga sudah cover both side, sudah ada check and balance, tidak hanya berdasarkan asumsi belaka melainkan melalui penelusuran sejumlah fakta dan data yang valid keberadaannya. Contoh seperti kasus korupsi misalnya. Dalam pemberitaan misalnya disebutkan tentang praktek korupsi dan dibahas tentang siapa yang melakukan tindakan tercela tersebut. Tapi sang koruptor bisa dengan mudahnya berdalih bahwa pemberitaan itu merupakan pencemaran nama baik. Padahal misalnya kegiatan jurnalistik sudah berdasarkan dengan 5 (lima) w dan 1 (satu) h. Tetapi tetap saja sang tersangka koruptor dapat berdalih menggunakan pasal 27 ayat 3 ini. 130
Atas dasar itulah para insan jurnalis berpendapat bahwasanya media dapat menjadi pihak yang dipojokkan dengan dalih pencemaran nama baik. Para koruptor dapat berlindung dengan dalih dan alasan bahwa azas hukum di Indonesia menggunakan asas praduga tidak bersalah. Padahal hal ini jelas merupakan dua hal yang berbeda. Kenyataan inilah yang semakin meresahkan insan jurnalis terhadap keberadaan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sanggahan mengenai akan terbungkamnya kebebasan pers berkaitan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik, dilontarkan oleh Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI. Ia berpendapat bahwa keberadaan pasal tersebut didasarkan atas keharusan adanya nilai kesamaan didepan hukum. DPR dalam hal ini menilai keberadaan UU ITE, harus dapat 129 130
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers. wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
89 memberikan kepastian hukum, berupa penerapan sanksi bagi siapapun tanpa terkecuali temasuk dengan insan pers didalamnya. Apabila keberatan dengan sanksi atau hukuman maksimal yang termaktub dalam undang-undang itu, hal tersebut hanyalah bentuk kepastian hukum saja, tetapi hakim yang menentukan. Kita ingin menempatkan semua sama didepan hukum. Saya rasa tidak ada itu istilah pers kebal hukum. Semua sama dimata hukum di negara ini. Jadi kenapa harus dirisaukan. Semua juga menerima perlakuan yang sama dimata hukum, tidak ada perbedaan. Semuanya diatur dengan jelas. 131 Keberatan atas pemberlakuan pasal 27 ayat 3 yang terus dikumandangkan oleh komunitas jurnalis yang beranggapan bahwa telah ada undang-undang yang mengatur tentang pencemaran nama baik, yaitu Undang-undang Pokok Pers pasal 310 atau 311 KUH Pidana akan dikenakan kepada media massa yang bersangkutan jika melakukan tindakan pencemaran nama baik. Ancaman hukumannya sembilan (9) bulan dan empat (4) tahun, (jika tidak dapat membuktikan penistaannya). Namun, menurut pendapat Dedy yang adalah anggota Komisi I DPR dan orang yang turut serta dalam proses pembuatan UU ITE menilai bahwa, undangundang pers yang pertama hanya mengatur tentang satu media sedangkan undangundang ITE merupakan konvergensi dunia maya. Undang-undang Pers hanya diperuntukkan kepada media cetak. Dalam situasi saat ini, aturan yang menyangkut tentang dunia maya ingin di lex specialist-kan. Hal ini diharapkan dapat memberikan satu penguatan akan hukum di dunia maya, karena kita ketahui bersama bahwa dunia maya lebih bebas. Ia juga menambahkan mengenai interpretasi keberadaan pasal 27 dan ayat yang 131
terkandung
didalamnya
tersebut,
tergantung
oleh
wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI.
para
pihak.
90 Pengaplikasiannya dapat berbeda-beda dalam setiap kasus dan hal tersebut digunakan sebagai gradasi. Jika terjadi kasus pencemaran nama baik didunia maya, bisa saja untuk tidak perlu menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE ini dan menggunakan pasal yang lain. Jika memang diperlukan untuk melakukan revisi terhadap pasal ini, bisa dilakukan dengan melakukan tekanan politik untuk melakukan revisi terhadap pasal ini. Opsi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan penerangan kepada semua pihak supaya tidak perlu cemas atau khawatir, karena pengesahan UU ITE adalah juga sebagai langkah pencegahan terhadap manipulasi pers. Karena tetap saja ada pers yang nakal, yang akal-akalan dengan hukum. Memang dibutuhkan peluang ketika pers bersalah, maka kemudian diberikan sanksi hukuman. Karena tidak ada pers yang kebal hukum dan Indonesia sedang berproses untuk membangun masyarakat demokratis dengan menggunakan hak untuk berkomunikasi.
4.4.2 Polemik UU ITE Keberadaan UU ITE yang hingga saat ini masih menjadi polemik, merupakan gambaran tersendiri diranah hukum republik tercinta ini. Fungsi utama atas keberadaannya yang mengatur tentang masalah informasi elektronik, transaksi elektronik dan segala macam yang terkait dengan data elektronik. UU ini sedikit banyak diperlukan untuk melindungi masyakat dari kejahatan dunia maya (Cyber Crime) dan kejahatan perbankan yang menggunakan transaksi elektronik. Berbagai macam resiko-resiko yang dapat terjadi dan merugikan masyarakat
91 masyarakat sebagai konsumen dalam melakukan transaksi elektroniknya, coba dilindungi oleh Undang-undang ini. Kepastian hukum inilah yang ingin diberikan oleh UU ITE kepada masyarakat, agar apa-apa yang dilakukan oleh masyarakat melalui jalur IT dapat terlindungi. Demikian pula dengan oknum-oknum yang melakukan tindak kejahatan, orang-orang yang melakukan tindakan pelanggaran hukum lewat IT ini kemudian dapat diberi sanksi. Menurut Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI, keberadaan UU ITE ini dianggap penting. Karena misalnya jika terjadi contoh kasus di masyarakat yang bertindak sebagai konsumen, membeli barang melalui internet yang ternyata barangnya rusak atau tidak sesuai, kemudian konsumen tidak tahu harus berbuat apa, itulah sebenarnya yang ingin dilindungi oleh UU ITE ini. Pada saat itulah hukum dalam UU ITE ini dapat berlaku untuk melindungi masyarakatnya. Seperti juga misalnya situs-situs dakwah yang menyesatkan dan meresahkan masyarakat, itu pada akhirnya lewat UU ITE ini bisa diberikan sanksi. 132
Pemberlakuan UU ITE ini pun didasari atas suatu keperluan yang diperlukan dunia hukum Indonesia karena negara ini belum memiliki kepastian hukum yang mengatur tentang masalah kejahatan dunia maya. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan adalah juga bahwa negara-negara lain sudah memiliki ketetapan hukum yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya. Menurut Dedy Djamaluddin Malik, di Indonesia ini UU ITE ini merupakan satu urgensi, satu terobosan yang luar biasa, karena memang belum ada satu pun 132
wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI.
92 hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini. Karena masalah kejahatan didunia maya belum terlalu umum dan belum ada undang-undang yang lebih spesifik mengenai cyber crime. Kedepannya memungkinkan sekali untuk adanya undang-undang yang terkait dengan cyber law yang lebih spesifik lagi, khusus cyber crime misalnya kejahatan dunia maya, kejahatan apa saja yang dilakukan melalui perantara dunia maya. 133 Dirinya menjelaskan lebih lanjut jika UU ITE ini lebih menekankan kepada transaksi elektronik. Karena setidaknya untuk transaksi elektronik yang menggunakan media perantara elektronik ada kepastian hukum serta ada jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen agar tidak dirugikan. Juga agar para oknum-oknum yang melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum berupa transaksi elektronik yang melalui dunia maya dapat dijerat dengan hukuman yang adil, karena selama ini memang tidak ada perangkat hukum yang bisa menjalankan mekanisme hukum kejahatan seperti itu. Kenyataannya kepastian perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh UU ITE ini, tidak serta merta membuat insan pers merasa aman. Karena salah satu pasal yang termaktub dalam UU ITE yaitu pasal 27 beserta ayat yang terkandung didalamnya terutama ayat 3, telah menimbulkan keresahan karena telah menimbulkan jatuhnya korban baik dipihak masyarakat awam maupun komunitas pers yang seharusnya mendapat perlindungan dari keberadaan UU ITE itu sendiri. Banyak pihak yang menyayangkan telah jatuhnya korban atas pemberlakuan pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut. Karena pasal 27 ayat 3 ini merupakan pasal karet karena multi tafsir. Dalam UU ITE, pasal tersebut sudah keluar dari tujuan sesungguhnya. UU ini
133
wawancara dengan bapak Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI.
93 diperuntukkan bagi masalah perbankan yang sering menggunakan transaksi elektronik didalamnya. 134 Hendrayana dari LBH Pers juga menambahkan bahwa sebuah undangundang memiliki filosofi dibalik pembuatannya. Filosofinya adalah sebagai payung hukum bagi rakyatnya, melindungi kepentingan khalayak, bukan untuk melindungi kekuasaan tertentu, melindungi pribadi-pribadi tertentu. Namun pihaknya justru melihat dibalik keberadaan pasal 27 undang-undang ITE ini, ada sesuatu yang melatarbelakanginya, seperti untuk melindungi kepentingan segelintir kalangan. Ia juga menyatakan bahwa dalam pengesahan UU ITE ini seperti ada upaya dari pihak DPR dan Pemerintah untuk mencoba membatasi kebebasan pers dan mengekang kebebasan berekspresi setiap individu.
4.5 Pembahasan Dari hasil wawancara dengan nara sumber, dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan UU ITE dalam fungsi utama atas keberadaannya untuk mengatur tentang masalah informasi elektronik, transaksi elektronik, kejahatan perbankan yang menggunakan transaksi elektronik dan segala macam yang terkait dengan data elektronik, sedikit banyak diperlukan. Berbagai macam resiko-resiko yang dapat terjadi sehingga merugikan masyarakat yang berlaku sebagai konsumen dalam melakukan transaksi elektroniknya coba dilindungi oleh Undang-undang ini. Kepastian hukum inilah yang ingin diberikan oleh UU ITE kepada masyarakat, agar apa-apa yang dilakukan oleh masyarakat melalui jalur IT dapat terlindungi. Demikian pula dengan oknum-oknum yang melakukan tindak 134
wawancara dengan bapak Hendrayana, LBH Pers.
94 kejahatan, orang-orang yang melakukan tindakan pelanggaran hukum lewat IT ini kemudian dapat diberi sanksi. Namun, tercantumnya pasal mengenai pencemaran nama baik dalam UU ITE yakni pada pasal 27 ayat 3, dinilai banyak pihak salah tempat. Definisi dari bunyi pasal yang tidak tepat, tidak konsisten, isi pasal yang masih terlalu luas dan dalam beberapa hal masih bersifat ambiguitas, adalah merupakan landasan dari berbagai pihak untuk mempertanyakan keberadaan pasal ini. Kemunculan pasal 27 beserta seluruh ayat didalamnya yang tiba-tiba tanpa melibatkan komunitas pers dianggap sebagai bentuk ranjau hukum untuk membungkam ekspresi kebebasan berpendapat. Sanksi hukum yang menyertai pasal ini dirasa sangat berat bagi siapapun yang terjerat, terutama masyarakat awam. Fungsi utama UU ITE untuk menjadi payung hukum bagi masyarakat, menjadi tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi. Telah jatuhnya korban atas keberadaan pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, ini mengakibatkan banyak pihak menilai bahwa pada akhirnya rakyatlah yang menjadi pihak yang disusahkan dan menjadi pihak yang tidak berdaya. Banyak pihak menilai bahwa sudah sepatutnya pemerintah, DPR serta aktivis perempuan dan anak untuk lebih menaruh perhatian atas keberadaan pasal 27 ayat 3 yang telah mengakibatkan jatuhnya korban hingga berjumlah tiga orang. Mereka sangat menyayangkan jatuhnya korban atas pengaplikasian yang salah atas pasal 27 ayat 3 UU ITE ini. Kasus Prita Mulyasari yang dapat menjadi contoh dan acuan dalam pengaplikasian hukum yang salah, dapat menjadi gambaran betapa lemahnya perangkat hukum yang memihak rakyat kecil. Yang dirasa lebih mengherankan
95 lagi bagi beberapa pihak adalah, fakta bahwa Peraturan Pemerintah (PP) yang menyertai ketentuan hukum pasal 27 beserta seluruh ayat yang terkandung didalamnya, hingga saat ini belum ada. Dalam pasal 27 ayat 3 disebutkan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektonik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Hal ini berkaitan dengan pasal 7 UU ITE yang berbunyi: “Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.” Keterangan ini kemudian berkaitan dengan pasal 16 ayat 2 dalam UU ITE yang bebunyi: “Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Rudi Rusdiah dari Mastel menyatakan bahwasanya hingga saat ini, baik Peraturan
Perundang-undangan
maupun
Peraturan
Pemerintah
mengenai
Penyelenggaraan Sistem Elektronik belum ada. Hal ini berarti pasal 27 ayat 3 belum dapat diberlakukan. Ironisnya adalah meski pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik ini belum dapat diberlakukan karena belum ada Peraturan Pemerintah yang mendukungnya, tetapi telah jatuh banyak korban dari pasal ini. Jika seluruh
96 pelengkap hukum yang mendukung pemberlakuan pasal pencemaran nama baik belum ada, maka pasal ini jelas tidak memenuhi ketentuan hukum. LBH Pers, Dewan Pers serta MASTEL pun mendesak untuk secepatnya pasal 27 dalam UU ITE beserta seluruh ayat didalamnya, untuk dihilangkan atau direvisi, dan sebaiknya melibatkan komunitas pers. Meski saat ini ada Undang-undang baru yang dinilai dapat melindungi kepentingan masyarakat yaitu Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Namun sanksi yang menyertai Undang-undang KIP dirasa sangat bertentangan dengan sanksi UU ITE yang berlaku. Banyak pihak yang menilai, bahwa sanksi hukum ringan yang menyertai Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dianggap dapat menjadi pilar perlindungan bagi suatu badan atau lembaga baik pemerintahan maupun swasta, untuk tidak memberikan informasi secara benar dan jujur kepada masyarakat. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan UU ITE yang sanksinya sangat memberatkan, karena objek dari UU ITE adalah masyarakat awam. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang juga turut mengatur dan melindungi tentang hak-hak konsumen yang dalam hal ini punya hak-hak untuk meminta kebijakan. Wajib hukumnya satu badan tertentu untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang hal-hal yang patut diketahui oleh masyarakat tanpa ditutup-tutupi. Bagi lembaga publik yang tidak memberikan penjelasan secara jelas, tentu akan dikenakan sanksi, karena dapat dianggap telah berbohong dan memberikan informasi yang tidak benar atau kebohongan kepada publik.
97 Bapak Rudi Rusdiah dari MASTEL pun menyambut adanya Undangundang Keterbukaan Informasi Publik, namun pihaknya menyayangkan atas sanksi hukum yang menyertai Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik jika undang-undang tersebut diberlakukan. Sanksi hukuman dirasa amat sangat tumpang tindih dan dirasa sangat meringankan pihak yang memang berusaha untuk memutup-nutupi kebenaran dari publik. Hal ini mungkin dapat menjadi pekerjaan rumah bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, untuk membuat hukum yang lebih bersimpati akan nasib rakyatnya. Tentang adanya tumpang tindih atas pemberlakuan kedua undang-undang tersebut yang juga dirasa memberatkan insan pers, menurut Dedy Djamaluddin Malik hal tersebut tidak mungkin terjadi. Karena dalam undang-undang keterbukaan publik, justru lebih banyak pasal yang mengatur dan melindungi konsumen dan dalam hal ini komunitas pers. Karena sangat menguntungkan bagi komunitas pers maupun masyarakat apabila suatu lembaga publik menolak memberitahukan atau menjelaskan mengenai sesuatu hal yang seharusnya diterima oleh publik, hal tersebut dapat diperkarakan. Dalam undang-undang keterbukaan publik ini sangat ditekankan sekali mengenai badan atau lembaga publik yang wajib memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada publik. Ia pun melanjutkan bahawa menurutnya, keberadaan pasal 27 beserta seluruh ayatnya hendakanya tidak perlu dikhawatirkan dan dirisaukan oleh komunitas pers, karena ada undang-undang lain yang lebih membela hak pers, contohnya adalah undang-undang keterbukaan publik ini. Maximum access limited essence, menjelaskan bahwa setiap warga negara terbuka untuk mendapat hak untuk memeperoleh informasi dengan sedikit pengecualian. Seperti undang-
98 undang rahasia Negara, hal tersebut akan diatur, informasi apa saja yang dapat dan boleh didapat oleh masyarakat maupun komunitas pers dan informasi apa saja yang memang tidak dapat untuk dibagi dan disebarluaskan karena menyangkut kerahasiaan sebuah negara. Ia pun memambahkan sebetulnya pasal-pasal yang ada pada UU ITE ini lebih ke manfaat dunia perbankan yang banyak merasakan manfaat besarnya. Pasal 27 itu berlaku untuk siapapun, sifatnya adalah preventif atau pencegahan jika pasal ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Untuk yang ingin melanggar, hendaknya berpikir dua kali. Karena sebenarnya pihak-pihak yang menutup-nutupi kebenaran justru akan mendapat sanksi, setelah undangundang keterbukaan publik berlaku. Ini tidak akan menekan kebebasan pers atau mengekang kebebasan pers dan juga memberangus kebebasan pers serta kebebasan mendapatkan informasi maupun kebebasan berpendapat masyarakat dalam kaitan untuk membuka akses informasi. Ia pun berharap semoga kita semua dapat melihat keberadaan undang-undang ini secara komperhensif. Namun, atas jatuhnya korban dari aplikasi yang salah akibat keberadaan pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE, baik Dewan Pers, LBH Pers maupun MASTEL melakukan langkah-langkah hukum. LBH Pers mengadukan pasal 27 beserta seluruh ayat yang termaktub didalamnya kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi kemudian permintaan pencabutan kita atas pasal 27 UU ITE ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menolak karena Mahkamah Konstitusi beranggapan pasal tersebut sudah sesuai dengan iklim hukum di Indonesia saat ini. Padahal kita bisa melihat dengan jelas, bahwa isi dari pasal 27
99 UU ITE ini secara keseluruhan saja sudah tidak sesuai dan justru dapat merugikan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh keberadaan undang-undang tersebut. Hendrayana melanjutkan bahwa ambil contoh saja di Amerika Latin, Kongo, Uganda dan negara-negara Eropa telah mencabut pasal tentang pencemaran nama baik. Meskipun ada pasal-pasal tentang pencemaran nama baik tetapi tidak dipakai, termasuk di Timor Leste. Timor Leste hanya menggunakan pasal KUH Pidana tetapi pasal tentang pencemaran nama baik itu sendiri tidak diberlakukan. Tapi di Indonesia, yang terjadi justru kebalikannya. Mahkamah Konstitusi justru seperti beralih ke hukum adat. Ia pun menambahkan bahwa LBH Pers bersama dengan komunitas pers lainnya sudah meminta UU ITE ini untuk di revisi sudah menyampaikannya ke Menkominfo. Karena menurut kami dan ini terbukti secara nyata bahwa dengan keberadaan pasal 27 dalam UU ITE ini, yang menjadi korban adalah masyarakat Disisi lain, Dedy Djamaluddin Malik, anggota Komisi I DPR RI, menambahkan untuk masyarakat pers, mengenai UU no.14 tahun 2008 atau UU ITE tidak perlu cemas atau khawatir, karena hal ini juga sebagai langkah pencegahan terhadap manipulasi pers. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melakukan revisi terhadap undang-undang atau pasal dalam undang-undang adalah dengan cara melakukan tekanan politik. Bersama-sama dengan berbagai pihak melakukan tekanan politik, dalam hal ini mungkin dilakukan. Seperti yang telah dilakukan oleh LBH Pers yang juga didukung oleh banyak pihak untuk mendorong melakukan revisi Undang-undang ITE. Dewan Pers juga selalu konsisten untuk mengajak masyarakat untuk menentang pasal 27 ayat 3 karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi, dan menuntut agar
100 pasal 27 ayat 3 UU ditiadakan karena berpotensi menghambat demokratisasi bangsa ini.