BAB III ASPEK HUKUM PENGALIHAN SAHAM DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM MELALUI INTERNET DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Prinsip-prinsip Transaksi Elektronik menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Didalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), prinsip-prinsip transaksi elektronik tidak diatur secara jelas tetapi dalam beberapa pasal dalam undangundang ini secara tersirat mengatur mengenai prinsip-prinsip kontrak dalam suatu transaksi elektronik. 1. Prinsip kepastian hukum Dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa: “Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak” Suatu transaksi elektronik mengikat pihak-pihak yang saling terkait di dalamnya, artinya suatu kontrak elektronik merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Apabila ada salah satu pihak yang melanggar kontrak elektronik tersebut maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang melanggar kontrak tersebut. 2. Prinsip itikad baik Sama halnya seperti dalam KUHPerdata dalam UU ITE juga ada diatur mengenai prinsip itikad baik dalam melakukan kontrak elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE, Pasal ini menyatakan:
Universitas Sumatera Utara
“Para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung” Prinsip itikad baik berarti para pihak yang bertransaksi tidak bertujuan untuk secara sengaja mengakibatkan kerugian kepada pihak lainnya tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya dalam prinsip itikad baik dalam suatu kontrak elektronik menurut KUHPerdata, bahwa para pihak yang membuat kontrak haruslah mempunyai itikad baik dalam melaksanakan kontrak elektronik tersebut, sebab dalam suatu kontrak elektronik para pihak dapat membuat suatu kontrak tanpa harus bertemu terlebih dahulu, hanya melalui perantaraan media elektronik. Dalam suatu kontrak elektronik para pihak tidak boleh mempunyai niatan yang buruk, pihak penawar harus jujur mengenai produknya dan produk yang diperjanjikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma kepatutan maupun norma kesusilaan. Dalam suatu transaksi atau kontrak elektronik dilarang adanya tindakan yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, apabila hal ini terjadi maka pihak atau orang yang melakukannya dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau dikenai denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE dan bilamana pihak yang menerima penawaran tidak memiliki itikad baik dalam melaksanakan suatu kontrak, pihak penawar dapat mengajukan gugatan.
Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip Konsensualisme Undang-Undang ITE dalam Pasal 20 diatur mengenai kapan suatu transaksi elektronik dikatakan terjadi. Pasal 20 ayat (1) UU ITE menyatakan: “Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima” Pasal 20 ayat (2) UU ITE menyatakan: “Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik” Berdasarkan Pasal di atas dapat dilihat bahwa dalam UU ITE juga diatur mengenai prinsip konsensualisme dalam melakukan kontrak elektronik, dengan penerapan yang berbeda dengan kontrak konvensional, dimana dalam kontrak elektronik kesepakatan terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim diterima dan disetujui oleh penerima, dan persetujuan akan kesepakatan tersebut harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik, misalnya dengan mengirimkan e-mail konfirmasi. 4. Prinsip Keterbukaan atau Transparansi Mengenai prinsip keterbukaan atau transparansi dalam suatu kontrak elektronik dalam UU ITE diatur dalam Pasal 9 yang menyatakan: “Pelaku usaha yang menawarkan produk melaui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya prinsip ini maka suatu perusahaan atau pihak yang menawarkan produk harus terbuka atas produk yang dikeluarkan dan isi kontrak yang dibuat ini tidak boleh mengandung unsur yang merugikan konsumen, bila hal ini dilakukan maka perusahaan atau pihak penawar tersebut dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 45 ayat (2) UU ITE. 5. Prinsip kebebasan kontrak yang terbatas Para pihak dalam melakukan kontrak dengan cara apa saja, dalam hal kontrak elektronik dibuat dengan menggunakan media elektronik dalam hal ini internet. Para pihak juga bebas membuat kontrak tentang apa saja, dan perjanjian atau kontrak tersebut akan mengikat kepada para pihak sebagaimana halnya undang-undang. Ini juga berlaku dalam kontrak elektronik hanya saja dalam kontrak elektronik ada barang-barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan, seperti
misalnya
hewan.
Ada
juga
barang-barang
yang
tidak
dapat
diperjualbelikan melalui transaksi elektronik, seperti tanah. Karena disyaratkan bahwa jual beli tanah harus dituangkan dalam akta, yaitu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dari sini tampak adanya prinsip kebebasan kontrak yang terbatas. Pasal yang menjadi dasar hukum prinsip kebebasan berkontrak yang terbatas ini adalah Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU ITE. Bunyi dari Pasal 18 ayat (1) UU ITE ini adalah: “Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak” Pasal 19 menyatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
“Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati” Dari kedua Pasal ini diberikan kebebasan kepada para pihak untuk dapat melakukan transaksi elektronik ke dalam kontrak elektronik dengan bentuk apa saja tetapi kontrak elektronik tau transaksi elektronik tersebut juga dibatasi, dimana para pihak harus menggunakan sistem elektronik yang telah disepakati.
B. Pengalihan Saham menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal Pasar modal adalah sebuah tempat modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (pihak investor) dan orang yang membutuhkan modal (pihak issuer/emiten) untuk mengembangkan investasi. Dalam UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. 47 Para pelaku pasar modal ini ada 6 (enam) pihak, yaitu: 48 1. Emiten, yaitu badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham untuk menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang dari para investor di Bursa Efek. 2. Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak:
47
Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah, http://www.esyariah.org/jurnal/?p=11, Diakses tanggal 5 Agustus 2011. 48 http://islam-full.blogspot.com/2011/01/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
a. Penjamin Emisi (underwriter), yaitu: perusahaan perantara yang menjamin penjualan emisi, dalam arti, jika saham atau obligasi belum laku, penjamin emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana; b. Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi memeriksa kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak. c. Perusahaan Penilai (appraisal), yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak. 3. Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar Modal) yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan. 4. Bursa Efek, yakni tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya. 5. Perantara Perdagangan Efek,
yaitu
makelar (pialang/broker) dan
komisioner yang hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa
Universitas Sumatera Utara
boleh ditransaksikan. Makelar adalah perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan. Adapun komisioner adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain dengan memperoleh imbalan. 6. Investor, yaitu pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut. Dalam pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui tahapan pasar perdana (primary market), kemudian pasar sekunder (secondary market). Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor, yang terjadi pada saat IPO (Initial Public Offering) atau penawaran umum pertama. Kedua pihak yang saling memerlukan ini tidak bertemu secara fisik dalam bursa, tetapi melalui pihak perantara seperti dijelaskan di atas. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana inilah pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya. 49 Adapun pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten, investor tersebut lalu menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan mengambil untung dari kenaikan harga (capital gain) maupun untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap harinya. 50
49 50
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
Istilah transaksi bursa dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (28) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995, yaitu: “Transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa, atau kontrak lain mengenai efek atau harga efek. Proses transaksi meliputi empat aspek pokok, yaitu transaksi, kliring, penyelesaian transaksi (settlement) dan registrasi. Penyelenggaraan kegiatan kliring di pasar modal adalah PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI) yang melakukan penyelesaian transaksi. Adapun kliring dan penyelesaian transaksi tersebut terdiri dari: 1. Kliring dan penyelesaian transaksi ekuiti, yakni dilakukan dengan menggunakan netting dan novasi. Kliring secara netting dengan novasi diterapkan bagi seluruh transaksi bursa yang terjadi di setiap segmen pasar, baik pasar regular, pasar segera maupun pasar tunai. 2. Kliring dan penyelesaian transaksi derivative Sistem yang memadukan teknologi client server dan web base tersebut menangani keseluruhan proses kliring, penyelesaian transaksi, administrasi dan pelaporan, hingga risk monitoring transaksi KBIE.
C. Transaksi Saham melalui Internet di Pasar Modal Transaksi jual beli saham melalui media elektronik yaitu melalui internet, saat ini semakin berkembang di dunia khususnya Indonesia. Keinginan masyarakat yang serba cepat, ekonomis dan praktis menjadikan jual beli melalui
Universitas Sumatera Utara
internet ini sebagai pilihan yang paling banyak diminati saat ini. Internet yang dahulunya hanya digunakan untuk mencari informasi dan mengirim data, saat ini juga digunakan sebagai media jual beli. Jejaring sosial yang paling fenomenal saat ini yaitu facebook juga digunakan sebagai sarana jual beli atau online shopping. Jual beli melalui media elektronik ini, banyak dipilih sebagian masyarakat karena tidak membuang banyak waktu dan tenaga. Hanya duduk di depan komputer ataupun laptop bahkan telepon genggam (handphone) dapat melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli ini tidak terlepas dari adanya perkembangan internet yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat sekarang ini. Transaksi jual beli saham melalui media elektronik khususnya melalui media internet telah banyak digunakan khususnya di Indonesia seiring dengan pengguna internet di Indonesia. Menurut data BMI , jumlah pengguna internet pada tahun 2006 lalu bertambah 10,576 Juta pengguna lalu bertambah pada tahun 2007 menjadi 13 Juta pengguna, pada tahun 2008 sebanyak 25 Juta pengguna dan pada tahun 2009 bertambah menjadi 45 Juta pengguna. 51 Di Indonesia, perkembangan transaksi jual beli melalui media internet ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs sanur.co.id sebagai toko buku online pertama. 52 Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 telah mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan jual beli secara elektronik. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi jual beli secara elektronik di Indonesia mulai sedikit
51
http://joedha90.student.umm.ac.id/2010/01/28/konvergensi-teknologi-informasi-danteknologi-telekomunikasi/ , diakses pada tanggal 5 Agustus 2011 52 Esther Dwi Magfirah, Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce, http://husnulchan.blogspot.com/ , diakses pada tanggal 5 Agustus 2011
Universitas Sumatera Utara
terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi. 53 Transaksi jual beli saham atau perdagangan saham secara elektronik melalui internet (e-commerce) juga merupakan perjanjian jual beli yang sama dengan perjanjian jual beli secara konvensional yang biasa dilakukan masyarakat hanya saja terletak pada perbedaan media yang digunakan. Pada transaksi ecommerce kesepakatan atau perjanjian yang tercipta adalah melalui online karena menggunakan media elektronik yaitu internet. Hampir sama dengan perjanjian jual beli umumnya perjanjian jual beli online juga akan terdiri dari penawaran dan penerimaan sebab suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya penawaran oleh salah satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain. 54 1. Penawaran Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan berbagai macam persyaratan yang
53
Ibid Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 228 54
Universitas Sumatera Utara
mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak, pernyataan yang disampaikan itu dikenal dengan nama penawaran. Kondisi yang berbeda akan ditemui dalam sebuah proses jual beli melalui internet dimana walaupun tetap terdiri dari penerimaan dan penawaran namun para pihak di dalamnya tidak bertemu secara fisik. Dalam transaksi e-commerce khususnya bussiness to customer yang dapat melakukan penawaran hanyalah merchant/ produsen/ penjual yang mengajukan produk dan jasa pelayanan dengan memanfaatkan website, dan tidak disediakan mekanisme penawaran balik oleh pembeli yang tidak setuju atas penawaran yang dilakukan penjual sebagaimana halnya apabila para pihak bertemu secara fisik atau dengan kata lain penawaran bersifat satu arah. Dalam website tersebut biasanya disampaikan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai rating atau poll otomatis tentang barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi tentang barang dan menu produk lain yang berhubungan, penawaran ini terbuka bagi semua orang, semua orang yang tertarik dapat melakukan window shopping di toko online dan jika tertarik transaksi dapat dilakukan. 55 2. Penerimaan Penerimaan dan penawaran saling terkait untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam menentukan suatu penawaran dan penerimaan di dalam cyber system digantungkan pada keadaan dari cyber system tersebut, penerimaan dapat dinyatakan melalui website, electronic mail (surat elektronik) atau juga melalui
55
Ibid, hal. 229
Universitas Sumatera Utara
electronic data interchange (EDI). Suatu cara penerimaan biasanya bebas ditentukan oleh penjual baik melalui website/newsgroup yang penawarannya ditujukan untuk khalayak ramai sehingga setiap orang yang berminat dapat membuat kesepakatan dengan penjual yang menawarkan. Dalam transaksi e-commerce melalui website, biasanya penerimaan atas tawaran akan ditindaklanjuti oleh pembeli/calon pembeli dengan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual, kemudian shopping cart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang calon pembeli inginkan sampai calon pembeli yakin akan pilihannya, setelah yakin calon pembeli akan memasuki tahap pembayaran. Dengan menyelesaikan tahap transaksi ini maka dengan demikian pengunjung toko online telah melakukan penerimaan/acceptance dan dengan demikian telah terciptalah kontrak online.56 Suatu penawaran dan penerimaan tawaran dapat dinyatakan dalam bentuk data message, dan suatu kontrak tidak dapat ditolak keabsahan dan kekuatan hukumnya jika data-data tersebut digunakan sebagai format dari kontrak. Pihakpihak yang melakukan offer dan acceptance dikatakan sebagai arginator yaitu sebagai pihak yang melakukan pengiriman data dan pihak yang menerima disebut sebagai addreses. Bila dibandingkan proses penawaran, penerimaan hingga terjadinya atau terciptanya kontrak online dalam transaksi jual beli secara elektronik dibandingkan dengan penawaran, penerimaan hingga terjadinya kesepakatan dan perjanjian dalam perjanjian jual beli umumnya, maka akan terdapat perbedaan sesuai dengan asas konsensualisme maka dalam perjanjian jual
56
Ibid, hal 230
Universitas Sumatera Utara
beli pada umumnya hanya dengan adanya kesepakatan para pihak maka perjanjian jual beli telah terjadi. Berbeda dengan jual beli secara elektronik bila mengacu pada proses yang mewajibkan terselesaikannya tahap-tahap transaksi agar dapat terjadi perjanjian atau kesepakatan maka setidaknya menurut pandangan KUHPerdata sebuah perjanjian jual beli secara elektronik tidak cukup terikat pada asas atau perjanjian konsensuil tetapi lebih mengarah kepada suatu perjanjian formil dimana kesepakatan baru terjadi dan ada pada saat formalitas yang disyaratkan untuk melakukan suatu perbuatan riil telah melakukan tindakan atau perbuatan riil yang disyaratkan. Istilah transaksi bursa dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (28) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995, yaitu: “Transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa, atau kontrak lain mengenai efek atau harga efek. Ketentuan transaksi saham melalui internet diatur secara umum dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (1) UUPM mengenai penyelesaian secara lain yaitu secara elektronik akan ditemukan di masa yang akan datang. Transaksi melalui internet tersebut diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bapepam No: 42/PM/1997 Tentang Transaksi Efek, dan Keputusan BEJ No: 565/BEJ/11-2003 Tentang Perdagangan Efek. Kepemilikan yang ditawarkan oleh perusahaan tidak terlepas dari adanya hubungan timbal balik antara pemegang saham dengan perusahaan, hubungan
Universitas Sumatera Utara
timbal balik tersebut dilandasi dengan adanya suatu perjanjian jual beli. Maka dalam hal ini suatu penyelesaian transaksi saham dapat tercermin dalam Pasal 55 Ayat (1) UUPM yang menyebutkan bahwa penyelesaian transaksi bursa dapat dilaksanakan
dengan
penyelesaian
pembukuan,
penyelesaian
fisik
dan
penyelesaian dengan cara lain. Dalam pelaksanaannya kegiatan perdagangan efek akan diatur lebih lanjut oleh Bursa dan Bapepam yaitu dengan adanya Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-42/PM/1997 Tentang Peraturan Nomor III.A.10 TentangTransaksi Efek dan Keputusan Direksi PT. BEJ Nomor: Kep-565/BEJ/112003 Tentang Peraturan Nomor II-A Tentang Perdagangan Efek.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN PENGALIHAN SAHAM DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM MELALUI INTERNET DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata dan Pidana 1. Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. a. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki. 57 Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. 58 Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila 57 58
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), hal. 9. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981.
Universitas Sumatera Utara
kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil. 59 b. Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.60 c. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain. 61
59
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 498. 60 Ibid., hal. 505. 61 Ibid., hal. 508.
Universitas Sumatera Utara
d. Bukti lawan ( Tegenbewijs ) Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan. Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan : “Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya”. Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs. 2. Sistem hukum pembuktian dalam kerangka hukum pidana Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut: 62 a. Sistem pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim (Convictim in Time) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari 62
M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 103-106.
Universitas Sumatera Utara
alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 63 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh. 64 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 65
63
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal. 797-798. 64 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260. 65 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1974), hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. 66 b. Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan logis (La Conviction Raisonnee/ Convictim-Raisonee) Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 67 c. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti
66
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hal 187. 67 M. Yahya Harahap II, Op. cit, hal. 231.
Universitas Sumatera Utara
yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. 68 Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia. 69 d. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti 68 69
Ibid., hal. 799. Ansorie Sabuan…., Op. cit., hal. 187.
Universitas Sumatera Utara
yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 70 Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undangundang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
70
Ibid., hal. 188.
Universitas Sumatera Utara
HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat (1) yang berbunyi, tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. KUHAP dan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman menekankan kepada alat bukti yang sah dahulu, kemudian keyakinan hakim, sedangkan HIR mendahulukan keyakinan hakim baru kemudian alat bukti yang sah. KUHAP lebih tegas menekankan dua alat bukti yang sah, sedangkan UUPK dan HIR hanya menyebutkan alat bukti yang sah dan alat pembuktian yang sah. Antara sistem pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undang-undang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim, sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan
yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang,
tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut
Universitas Sumatera Utara
pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang 71. Wirjono prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. 72 M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat 71 72
Andi Hamzah., Op. cit, hal. 234. Wirjono Prodjodikoro., Op. cit, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. 73
B. Kekuatan Pembuktian Elektronik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Perjanjian dalam transaksi melalui media elektronik sebenarnya tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya hanya saja perjanjian dilakukan melalui media elektronik, syarat sahnya perjanjian pun dilakukan dengan proses penawaran hingga terjadi kesepakatan, perbedaan yang sederhana salah satunya hanya pada tanda tangan “tinta basah” yang selama ini digunakan dalam menandai telah adanya kesepakatan para pihak dalam perdagangan konvensional diganti dengan tanda tangan digital (digital signature), yaitu suatu prosedur teknis untuk menjamin bahwa para pihak tidak bisa memungkiri keberadaannya sebagai subjek hukum yang terikat dalam perjanjian transaksi elektronik artinya fungsi digital signature tersebut dapat menjadi dasar sahnya suatu perjanjian yang merupakan sumber perikatan bagi para pihak walaupun secara fisik para pihak tadi tidak bertemu. Berdasarkan UNCITRAL model law electronic commerce 1996, ada dua aspek yang dapat digunakan sebagai tanda keabsahan serta pengakuan terhadap suatu kontrak elektronik yaitu: writing required dan signature required.
73
M. Yahya Harahap II, Op. cit, hal. 804.
Universitas Sumatera Utara
1. Writing required (tulisan yang dikehedaki atau dibutuhkan) Bentuk tulisan menurut ketentuan Pasal 5 dalam model hukum secara eksplisit memberikan nilai legal yang sama kepada trasmisi atau dokumen elektronik seperti halnya dalam bentuk tertulis. Penyamaan nilai legal antara transmisi elektronik dengan bentuk tertulis ini dimaksudkan untuk mempermudah posisi transmisi ini sehingga dapat digunakan sebagai alat yang dalam pembuktian dan sebagai salah satu pendekatan yang relative paling mudah sebagai solusi yang ditawarkan. 2. Signiture required (tanda tangan yang dikehendaki) Tanda tangan dalam model hukum secara eksplisit memberi solusi teknis yang pas dan sama nilai legalnya dengan tanda tangan tradisional, yang dalam maskud- maksud tertentu para pihak dapat menyetujui jika mau.35Kemudian apabila permasalahan keabsahan perjanjian secara elektronik ini dikaitkan dengan keabsahan perjanjian yang ada diatur dalam KUHPerdata maka suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi empat syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, selanjutnya untuk melihat lebih jelas pola hubungan antara keabsahan perjanjian secara elektronik dengan apa yang diatur dalam Pasal 1320 tersebut makan akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Suatu kesepakatan akan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh satu pihak dan akan dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain dan kesepakatan tidak akan terjadi kalau penawaran tersebut tidak ditanggapi atau direspon oleh pihak lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perjanjian secara elektronik diambil contoh kontrak dagang elektronik (e-commerce) maka kesepakatan dalam transaksi melalui e-commerce tidak akan diberikan secara langsung melainkan melalui media elektronik dalam hal ini adalah internet, berbeda dengan perjanjian jual beli secara langsung dimana kesepaktan akan dapat dengan mudah diketahui. Dalam sebuah mekanisme ecommerce proses terciptanya penawaran dan penerimaan dapat menimbulkan keragu- raguan tentang kapan terciptanya suatu kesepakatan. Negara- Negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa telah memberikan garis petunjuk kepada para negara anggotanya dengan memberikan sistem “3 klik”. Cara kerja sistem 3 klik ini adalah: Pertama, setelah calon pembeli melihat di layar komputer adanya penawaran dari calon penjual (klik pertama), maka si calon pembeli memberikan penerimaan terhadap tersebut (klik kedua), dan kemudian masih disyaratkan peneguhan dan persetujuan dari calon penjual kepada pembeli perihal diterimanya penerimaan dari calon pembeli (klik ketiga). Sistem tiga klik ini jauh lebih aman dari pada sistem dua klik yang berlaku sebelumnya, sebab dalam sistem dua klik penjual dapat mengelak dengan mengatakan kepada calon pembeli dan ini tentunya akan merugikan si calon pembeli. Dalam hukum Indonesia belum ada ketentuan semacam ini, tidak ada kewajiban dari penjual untuk melakukan konfirmasi kepada pembeli yang akan merugikan pembeli karena pembeli tidak mengetahui apakah pesanannya telah diterima atau belum dan jika terjadi wanprestasi akan sulit untuk menghitung kapan terjadinya wanprestasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan Masalah kedewasaan adalah merupakan bagian pokok dalam menentukan apakah seorang itu cakap atau tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam KUHPerdata masalah kecakapan dan kedewasaan telah diatur dengan jelas. Berbeda dengan dunia nyata dalam dunia maya (cyber) sangat sulit untuk menentukan seorang yang melakukan perjanjian telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampunan, mengingat proses penawaran dan penerimaan tidak secara langsung dilakukan akan tetapi melalui media virtual yang rawan penipuan, dalam hal ini jika yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak cakap maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar perjanjian tersebut dibatalkan.36 3. Suatu hal tertentu Hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, undang- undang tidak mengharuskan barang tersebut sudah ada atau belum di tangan debitur pada saat perjanjian dibuat dana jumlahnya juga tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Ada barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan dalam transaksi ecommerce seperti halnya memperjualbelikan hewan, kemudian ada barangbarang yang tidak dapat dijual melalui kesepakatan online karena adanya kendalakendala misalnya jual beli tanah yang harus dituangkan dalam akta yaitu akta
Universitas Sumatera Utara
PPAT, untuk saat ini pembuatan akta itu dimungkinkan dibuat secara online dan harus dilakukan secara langsung (tatap muka). 4. Suatu sebab yang halal Sebab yang halal adalah isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak mengadakan perjanjian, isi perjanjian tersebut haruslah sesuai dengan undangundang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum. Transaksi jual beli melalui media elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang sama seperti transaksi jual beli secara konvensional. Oleh karena itu, transaksi elektronik harus juga mengikat para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE.
C. Kekuatan Hukum Pembuktian Pengalihan Saham dalam Perjanjian Jual Beli Saham Melalui Internet Pembuktian mengandung segala aturan pokok pembuktian dalam perkaraperkara perdata. Pembuktian dilakukan terhadap suatu sengketa di depan persidangan. Dimana para pihak dapat mengemukakan fakta atau peristiwa yang dijadikan dasar untuk menetapkan atau membantah hak dan kewajiban dirinya atau orang lain. Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia seperti yang diatur menurut Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR, alatalat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, sangka, pengakuan dan sumpah. 74 Apabila dilihat dari kelima macam alat bukti dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR, dokumen elektronik termasuk dalam
74
Teguh Samudera, Hukum pembuktian Acara Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004),
hal 35
Universitas Sumatera Utara
kategori alat bukti tulisan. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya dokumen elektronik ini merupakan tulisan yang dituangkan dalam sebuah surat elektronik, dimana tujuan dari pembuatan tulisan tersebut adalah untuk mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang. Keberadaan dokumen elektronik juga dimaksudkan untuk mengutarakan maksud seseorang atau kedua belah pihak dalam bentuk surat elektronik yang disetujui bersama. Pengakuan catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan telah dirintis oleh UNCITRAL yang mencantumkan dalam Model Law on E-Commerce ketentuan mengenai transaksi elektronik diakui sederajat dengan tulisan di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan. Mengacu pada ketentuan UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan bukti elektronik dalam bentuk informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang ditetapkan dalam undang-undang yang khusus mengatur mengenai transaksi elektronik dan hal ini direalisasikan oleh pemerintah dengan dibentuknya UU ITE. Dalam Pasal 5 dan 6 UNCITRAL Model Law on E-Commerce dinyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan media elektronik memiliki nilai yang sama dengan tulisan atau akta yang dibuat secara konvensional, sehingga pada prakeknya, tidak dapat ditolak suatu bukti transaksi yang dilakukan secara elektronik. 75
75
Arief Mansur, Dikdik M. dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi. Informasi, Cet.1. (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal 110
Universitas Sumatera Utara
Alat bukti tulisan dalam hukum acara perdata merupakan alat bukti yang paling krusial dalam pembuktian perkara atau sengketa perdata. Berkenaan dengan bukti surat, dalam hukum acara perdata dibagi lagi dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kekuatan pembuktian lahir, pembuktian formal dan pembuktian material. Hal ini mengingat dalam Pasal 284 RBg/164 HIR dan Pasal 1866 KUHPerdata yang menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu.76 Dari sini timbul suatu pernyataan apakah informasi dan dokumen elektronik termasuk dalam bentuk tulisan bukan akta atau termasuk dalam bentuk akta, dan jika memang informasi dan dokumen elektronik termasuk dalam akta, apakah termasuk dalam kategori akta di bawah tangan ataukah akta otentik. Untuk menjawab pertanyaan ini maka haruslah kembali diperhatikan defenisi dari dokumen elektronik dalam Pasal 1 angka 4 UU ITE. Dari defenisi tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk informasi dan dokumen elektronik sangat beraneka ragam tergantung pada maksud penggunaan dari dokumen itu sendiri. Apabila informasi dan dokumen elektronik tersebut hanya berupa informasi biasa maka dokumen tersebut termasuk dalam tulisan bukan akta atau surat biasa atau juga termasuk akta di bawah tangan karena memang dokumen tersebut dibuat seadanya dan tidak dimaksudkan untuk
76
Teguh Samudera, Op. cit, hal 39
Universitas Sumatera Utara
digunakan sebagai alat bukti nantinya. Dengan demikian informasi atau dokumen elektronik disini merupakan bukti bebas yang penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Akan tetapi, jika informasi dan dokumen tersebut dimaksudkan sebagai dokumen yang otentik, maka dokumen tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, persyaratan utama agar suatu informasi dan dokumen elektronik dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah adalah penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan sertifikasi elektronik dari pemerintah. Persyaratan lainnya, yaitu informasi dan dokumen elektronik tersebut harus dibubuhi dengan tanda tangan elektronik, atau juga dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik yang baku. Dengan begitu informasi atau dokumen elektronik tersebut merupakan suatu bukti yang sempurna. Dengan demikian kedudukan informasi dan dokumen elektronik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti tulisan sebagaimana dikemukakan baik dalam Pasal 284 RBg/164 HIR maupun Pasal 1866 KUHPerdata. Terhadap
kekuatan
pembuktian
dokumen
tertulis
dalam
hukum
pembuktian perdata sangat bergantung pada bentuk dan maksud dari dibuatnya dokumen tersebut. Informasi dan dokumen elektronik dapat disebut sebagai akta otentik apabila telah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai suatu kontrak elektronik yang sah. Sebaliknya, apabila sistem eektronik yang digunakan belum mendapat sertifikasi maka setiap informasi dan dokumen yang telah dibuat dianggap tidak sah. Pemahaman ini sangat penting mengingat praktek perdagangan akhir-akhir ini mulai menggunakan media
Universitas Sumatera Utara
internet dalam pembuatan dokumen-dokumen perjanjian. Salah membuat suatu informasi maupun dokumen elektronik akan mengakibatkan kesalahan fatal pada kekuatan pembuktian informasi ataupun dokumen elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sah. 77 Berdasarkan hal tersebut di atas, jika dicermati lebih lanjut, keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir sebagaimana mestinya. Menurut Edmon Makarim, suatu informasi atau dokumen elektronik sekiranya dihasilkan oleh suatu sistem elektronik yang telah dilegalisasi atau dijamin oleh pihak-pihak yang berwenang untuk itu, jika tetap berjalan sebagaimana mestinya, sepanjang tidak dibuktikan lain oleh para pihak, semestinya dapat diterima sebagaimana layaknya akta otentik, bukan akta di bawah tangan. Hal ini mengingat bahwa keberadaan informasi atau dokumen tersebut semestinya tidak dapat disangkal lagi dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak tersebut. 78 Dalam e-commerce, tidak ada alat bukti lain yang dapat digunakan selain informasi dan dokumen elektronik yang ditransmisikan kedua belah pihak yang melakukan perdagangan. Adapun saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, pada prakteknya sangat sulit untuk diajukan sebagai alat bukti karena tidak didapatkan dari suatu transaksi e-commerce. Selain itu, apabila disamakan sebagai tulisan, apalagi akta otentik, kekuatan pembuktiannya sempurna, dalam arti tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta otentik juga mengikat, apa 77
Hwian Christianto, http://Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam Perkara Perdata « Gagasan Hukum.htm , diakses tanggal 5 Agustus 2011. 78 Edmon Makarim, Op. cit, hal 241
Universitas Sumatera Utara
yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Agar dapat diklasifikasikan dalam bentuk tertulis ada beberapa cara yang dapat dilakukan salah satu yang lazim dilakukan adalah membuat suatu print out atau copy dari informasi atau dokumen yang masih berbentuk elektronik. Seperti halnya diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa informasi dan/ atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini penting untuk diperhatikan karena bila terjadi suatu perubahan bentuk dari informasi atau dokumen, harus dapat dibuktikan bahwa perubahan bentuk tersebut tidak merubah isi dari informasi atau dokumen yang diubah dari bentuknya tersebut. Konsekuensi hukumnya, kekuatan pembuktian dari bentuk ubahan tersebut harus sama sesuai dengan kekuatan pembuktian dari bentuk asalnya. Dalam UU No. 8 Tahun 1997 juga di atur mengenai pengalihan bentuk dokumen perusahaan dan legalisasinya pada Bab III dari Pasal 12 sampai dengan Pasal 16. Ketentuan yang ada dalam Pasal-Pasal tersebut menyebutkan, bahwa suatu bentuk tertulis nyata, dalam hal ini segala tulisan yang dibuat berkenaan dengan kegiatan perusahaan, dapat diubah ke bentuk lain, misalnya mikrofilm atau CD, setelah sebelumnya dilakukan suatu verifikasi dan legalisasi yang dalam hal ini dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan dengan dibuatkan suatu berita acara. Setelah ada verifikasi dan legalisasi bahwa kedua bentuk dokumen tersebut isinya sama secara keseluruhan maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 8
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1997 maka media hasil transformasi tersebut dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. 79 Pengakuan terhadap informasi dan dokumen elektronik dapat dilakukan dengan: 80 1. Didasarkan atas kemampuan computer untuk menyimpan data, dimana informasi dan dokumen elektronik tersebut dapat diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis yang dilakukan dan menggunakan system elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan ini sering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dengan konvensional 2. Menyandarkan pada hasil akhir sistem computer. Misalnya, dengan output dari sebuah program computer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman telepon dan transaksi ATM. Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bila dibuktikan lain, informasi, dokumen atau data tersebut dapat dikesampingkan. 3. Perpaduan dari dua metode di atas, yaitu pengakuan terhadap informasi dan data elektronik tersebut dilihat dari proses penyimpanan informasi dan dokumen tersebut serta hasil akhir dari informasi atau dokumen elektronik tersebut.
79
Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 128. 80 Rapin Mudiardjo, http://bebas.vlsm.org/v17/com/ictwatch/paper/paper022.htm , Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Elektronik Masih Dipertanyakan, diakses tanggal 5 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
Suatu informasi dan dokumen elektronik sebagai bukti baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat
diakses, dan dapat
ditampilkan sehingga
menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi dan dokumen yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE. Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem elektronik yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dua jenis kekuatan pembuktian yaitu valid dan tidak valid, atau layak atau tidak layak untuk dipercaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan system itu sendiri. Jika memenuhi semua kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, sistem telah dapat dijamin berjalan sebagaimana mestinya dan output informasi atau dokumen elektronik dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial sehingga informasi dan dokumen tersebut dapat diakui di persidangan dan selayaknya diterima sebagai alat bukti tulisan. Alat bukti elektronik dapat dipercaya jika dilakukan dengan cara: 81 1. Menggunakan peralatan komputer untuk menyimpan dan memproduksi print-out.
81
Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal. 43
Universitas Sumatera Utara
2. Proses data seperti pada umumnya dengan memasukkan inisial dalam sistem pengelolaan arsip yang dikomputerisasikan, dan 3. Menguji data dalam waktu yang tepat, setelah data ditulisakan oleh seseorang yang mengetahui peristiwa hukumnya. Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi bagi pihak-pihak yang ingin menggunakan informasi dan dokumen elektronik, yaitu: 82 1. Mengkaji informasi yang terim untuk menjamin keakuratan data yang dimasukkan, 2. Metode penyimpanan data dan tindakan pengambilan data untuk mencegah hilangnya pada waktu disimpan, 3. Penggunaan
program
computer
yang
benar-benar
dapat
dipertanggungjawabkan untuk memproses data. 4. Mengukur uji pengambilan keakuratan program, dan 5. Waktu dan persiapan model print-out komputer. Dalam KUHPerdata diakui surat yang bertanda tangan. Surat yang bertanda tangan dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat tersebut dibuat, yang disebut akta. Akta di dalam KUHPerdata dibedakan menjadi dua jenis yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Pentingnya keberadaan tanda tangan karena adanya tanda tangan berarti orang yang menandatangani mengetahui isi dari akta tersebut. Adapun
82
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pada dasarnya penandatanganan suatu dokumen bertujuan untuk memenuhi keempat unsur di bawah ini: 83 1. Bukti: sebuah tanda tangan mengotentifikasikan suatu dokumen dengan mengidentifikasikan
penanda
tangan
dengan
dokumen
yang
ditandatangani. Pada saat penanda tangan membubuhkan tanda tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan dengan penanda tangan. 2. Formalitas: penandatanganan suatu dokumen “memaksa” pihak yang menandatangani untuk mengakui pentingnya dokumen tersebut. 3. Persetujuan: Sebuah tanda tangan menyatakan persetujuan pihak yang menandatangani terhadap isi dari dokumen yang ditandatangani. 4. Efisiensi: Sebuah tanda tangan pada dokumen tertulis sering menyatakan klarifikasi pada suatu transaksi dan menghindari akibat-akibat yang tersirat diluar apa yang telah dituliskan. Jadi, suatu tulisan yang telah ditandatangani dan dibenarkan kebenarannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama seperti akta otentik. Salah satu alat yang dapat dipergunakan untuk menentukan keaslian atau keabsahan suatu bukti elektronik adalah tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik harus dapat diakui secara hukum karena penggunaan tanda tangan elektronik lebih cocok atau sesuai untuk suatu dokumen elektronik. Dalam hal transaksi elektronik tidak ada bukti lain yang dapat membuktikan keabsahan suatu dokumen atau bahkan kontrak elektronik selain data elektronik yang berupa tanda 83
Ronald Makaleo Tandiabang, Tommy Handaka Patria, Anang Barnea, www.informatika.org/~rinaldi/Kriptografi/Makalah/Makalah12.pdf. diakses tanggal 5 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
tangan elektronik, dengan demikian tanda tangan elektronik pada dasarnya dapat dipersamakan sebagai tulisan. Pasal 18 jo Pasal 11 UU ITE telah menegaskan transaksi elektroknik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak yang yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, asalkan ditandatangani secara elektronik oleh para pihak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama seperti akta otentik. Menyangkut beban pembuktian, Pasal 1877 KUHPerdata mengatur apabila seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangan, maka pihak lawan harus membuktikan bahwa tanda tangan tersebut merupakan tanda tangan orang yang memungkirinya. Keaslian dari suatu tanda tangan elektronik langsung dapat diakui di pengadilan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena adanya keterkaitan infrastruktur diluar para pihak yang diberi lisensi oleh pemerintah untuk menerbitkan tanda tangan elektronik yaitu suatu lembaga yang diberi nama Penyelenggara Sertifikat Elektronik. Lisensi tersebut memberikan jaminan bahwa infrastruktur tersebut telah diaudit dan memenuhi syarat minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Mengenai syarat sahnya tanda tangan elektronik diatur dalam Pasal 11 UU ITE. Agar suatu tanda tangan elektronik dapat diakui kekuatan hukumnya, maka tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Data pembuatan tanda tangan hanya terkait kepada penanda tangan saja, 2. Data pembuatan tanda tangan pada saat penandatanganan hanya berada dalam kuasa penanda tangan, 3. Perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, 4. Perubahan terhadap informasi elektronik yang berhubungan dengan tanda tangan elektronik dapat diketahui setelah waktu penandatanganan, 5. Terdapa cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya, 6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi yang ditandatangani. Tanda tangan elektronik ini harus dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah setelah melalui prosedur dan mekanisme keamanan yang terpercaya dan juga dapat dipertanggungjawabkan. Tanda tangan elektronik meskipun hanya merupakan suatu kode aka tetapi memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dengan tanda tangan biasa atau tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum, karena tidak terdapat suatu metode yang standar yang mengatur bahwa untuk menandatangani sesuatu harus dengan menggunakan tinta. Dokumen elektronik dengan tanda tangan elektronik bilamana terhadapnya terjadi suatu sengketa dapat menjadi suatu alat bukti yang lebih kuat dibandingkan dengan dokumen elektronik tanpa tanda tangan elektronik.
Universitas Sumatera Utara
Keabsahan suatu tanda tangan dan integritas informasi maupun dokumen elektronik dalam suatu komunikasi jaringan virtual ditentukan oleh: 84 1. Jaminan teknis bahwa jaringan yang beroperasi secara profesional dan didukung oleh metode perbaikan dan setiap kerusakan, keabsahan serta kekacauan ; 2. Metode kriptografi; 3. Jaminan
teknis protokol komunikasi,
pengendalian
jaringan dan
penggunaan software pengatur; 4. Kontrol data dan teknik preservasi; 5. Berfungsinya auditor. Implikasi yuridis dengan berkembangan ecommerce dalam hukum pembuktian perdata di Indonesia adalah adanya kemutlakan suatu perlindungan hukum terhadap informasi, dokumen serta tanda tangan elektronik melalui suatu peraturan tentang alat bukti yang fleksibel sehinggan terdapat kepastian hukum. Jika dilihat dari esensi dari transaksi pengalihan saham yang dilakukan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.
84
Julius Indra Dwipayono, Pengakuan Tanda Tangan Elektronik dalam Hukum Pembuktian Indonesia, www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=esign.pdf , diakses tanggal 5 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Saham merupakan bukti penyertaan modal seseorang dalam sebuah
perusahaan dan saham merupakan bukti persekutuan modal perusahaan. Saham adalah benda bergerak yang memberikan hak kebendaan bagi pemiliknya. Hak-hak pemegang saham lahir dari kebendaan tersebut. Saham yang dimiliki oleh pemegang saham memberikan hak kepada pemegang saham. 2. Transaksi jual beli saham atau perdagangan saham secara elektronik
melalui internet (e-commerce) juga merupakan perjanjian jual beli yang sama dengan perjanjian jual beli secara konvensional yang biasa dilakukan masyarakat hanya saja terletak pada perbedaan media yang digunakan. Pada transaksi e-commerce kesepakatan atau perjanjian yang tercipta adalah melalui online karena menggunakan media elektronik yaitu internet. Hampir sama dengan perjanjian jual beli umumnya perjanjian jual beli online juga akan terdiri dari penawaran dan penerimaan sebab suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya penawaran oleh salah satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain. Pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa informasi dan/ atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.. Pasal 18 jo Pasal 11 UU ITE telah menegaskan transaksi elektroknik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat
Universitas Sumatera Utara
para pihak yang yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masingmasing pihak, asalkan ditandatangani secara elektronik oleh para pihak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Jika dilihat dari esensi dari transaksi pengalihan saham yang dilakukan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional. 3. Jika dilihat dari esensi dari transaksi pengalihan saham melalui internet
yang dilakukan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional. Pasal 18 jo Pasal 11 UU ITE telah menegaskan transaksi elektroknik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak yang yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing- masing pihak, asalkan ditandatangani secara elektronik oleh para pihak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama seperti akta otentik.
B. Saran 1. Sepanjang pengalihan saham dapat dilakukan secara konvensional atau
dengan tatap muka secara langsung, maka hal itu seyogyanya ditempuh
Universitas Sumatera Utara
terlebih dahulu dibanding dengan pengalihan melalui media elektronik. Hal ini bertujuan untuk menghindari celah sengketa dalam pengalihan saham yang diakibatkan oleh pengalihan saham melalui elektronik. 2. Peralihan saham dari satu pihak ke pihak yang lain harus benar-benar
sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sebab terjadinya kepemilikan saham yang tidak sesuai dengan kaidah hukum akan membuat kepemilikan saham tersebut menjadi cacat hukum dan dapat dibatalkan secara hukum. 3. Walaupun akta pengalihan saham melalui media elektronik memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan akta pengalihan saham konvensional, namun perlu untuk kembali membentuk kesepakatan secara konvensional (dengan cara bertatap muka) antara para pihak yang terlibat dalam pengalihan saham setelah dilangsungkannya pengalihan saham melalui media elektronik.
Universitas Sumatera Utara