TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh : FAJRIN WIDIYANINGSIH NIM. 072211020
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH IAIN WALISONGO SEMARANG 2011
Drs. H. Musahadi.,M.Ag Jl. Permata Ngaliyan II No. 62 Muhammad Saifullah, M.Ag Jl. Taman Karonsih 4. No.1181 Tambakaji Ngaliyan Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks.
Kpd Yth.
Hal
Dekan Fakultas Syariah
: Naskah Skripsi A.n. Sdri. Fajrin Widiyaningsih
IAIN Walisongo Semarang Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama
:
Fajrin Widiyaningsih
Nomor Induk
:
072211020
Judul Skripsi
: TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 4 Oktober 2011 Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 19690709 199403 1003
H. Muhammad Saifullah, M.Ag NIP. 19700321 199603 1003
ii
KEMENTRIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN Skripsi Saudari NIM Judul
: Fajrin Widiyaningsih : 072211020 : Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Dalam Perspektif Fiqh Jinayah) Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal : 16 Desember 2011 dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012. Semarang, 16 Desember 2011 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
H.Abdul Ghofur, M.Ag NIP. 19670117 199703 1001
H. Muhammad Saifullah, M.Ag NIP. 19700321 199603 1003
Penguji I
Penguji II
Drs. H. Nur Syamsudin, M.Ag NIP. 19680505 199503 1002
Drs. H. Miftah AF, M.Ag NIP. 19530515 198403 1001
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 19690709 199403 1003
H. Muhammad Saifullah, M.Ag NIP. 19z700321 199603 1003
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan.
Semarang, 4 Oktober 2011 Deklarator,
Fajrin Widiyaningsih NIM. 072211020
iv
MOTTO
. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Q.S Al-Fushshilat: 34)
v
ABSTRAK Seiring berkembangnya teknologi informasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan. Perubahan ini disamping membawa dampak positif juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Salah satu sisi gelap kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat luas dalam segala bidang kehidupan saat ini lebih dikenal dengan cyber crime. Sehingga para penegak hukum di Indonesia terdorong untuk memberikan pengaturan hukum dengan memberlakukan cyber law melalui pengesahan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadist perlu untuk memiliki dasar hukum dalam permasalahan cyber crime ini. Untuk mengetahui apakah hukuman yang telah diterapkan dalam UU ITE 2008 relevan dengan hukuman dalam Fiqh Jinayah, maka masih harus dilakukan qiyas untuk menentukan bahwa cyber crime dapat dikenakan hukuman yang sama dengan jarimah yang telah ada. Dari permasalah diatas, penelitian ini akan mengkaji tentang bagaimana tinjauan hukum pidana Islam tentang pengaksesan sistem elektronik dalam pasal 30 UU ITE 2008 ? pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU ITE 2008 ? dan perusakan dokumen elektronik dalam pasal 33 UU ITE 2008 ? Data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks (teks reading) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content analysis. Hasil studi penelitian menyimpulkan bahwa untuk tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan perbuatan memasuki rumah tanpa izin dengan illat memasuki rumah tanpa izin maka hukumannya adalah ta’zir. Sehingga hukuman yang telah diterapkan dalam UU ITE 2008 sama dengan fiqh jinayah. Sedangkan untuk pencurian dokumen elektronik disamakan dengan sariqah dengan illat mengambil barang orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpanan. Hukuman bagi pelaku pencurian dokumen elektronik ini agak berbeda dengan UU ITE karena untuk kasus ini dilihat dari nisab pencurian, bisa dihukum potong tangan atau tidak. Untuk perusakan dokumen elektronik disamakan dengan hirabah dengan illat mengganggu keamanan, maka hukuman nya potong tangan dan kaki secara bersilang karena hirabah yang disamakan dalam kasus ini adalah mengambil harta secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Tetapi pada realitanya hukuman bagi pencuri dokumen elektronik dan perusakan sistem elektronik tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena hukum yang berlaku di Indonesia adalah UU ITE maka hukumannya turun menjadi hukuman ta‟zir yaitu penjara dan denda. Kata kunci : cyber crime, UU ITE, Fiqh Jinayah
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Bapak (Ali Said) dan Ibu (L. Tri Lestari Kusumaningrum S) tersayang Saudara-saudaraku : Alista Setyaningrum, Putri Kumala Sari, Akbar Suryo Wibowo, dan Arifian Ramadhan Teruntuk seseorang yang selalu membantu dan memotivasi penulis “Shohibul Ibad” Teman-teman senasib seperjuanganku selama 4,5 tahun di IAIN Walisongo : Cukong, Pak Menwa, Arip, Nita, Ms Faqeh, Pakde, Fahri, Toheer, Kirun, Yanze, Hasan. Teman-Teman Kos : Wulan, Ika, Anies, Nuriel, Anggi Teman-Teman yang membantu terseleseikannya skripsi ini : Judin, Qodir, Mas Hajir, Tegar , Nurul, Mustofa
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur Alhamdulillahirobbil‟alamin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabatsahabat
dan
para
pengikutnya
yang
telah
membawa
Islam
dan
mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do‟a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini. 2. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang. 3. Drs. H. Musahadi, M.Ag. dan H. Muhammad Saifullah, M.Ag. selaku Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas. 4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian kata-kata.
viii
5. Teman-temanku yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi ini. Dan doaku untuk mereka, “Semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada diriku” amin. 6. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu, terutama teman-teman SJ angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang. Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin.
Semarang, 3 Oktober 2011 Penulis
Fajrin Widiyaningsih NIM. 072211020
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan dan Menteri Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 Tertanggal 22 Januari 1988 A. Konsonan Tunggal Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب
ba
b
-
ت
ta
t
-
ث
sa
s
s (dengan titik di atas)
ج
jim
j
-
ح
ha‟
h
h (dengan titik di bawah)
خ
kha‟
kh
-
د
dal
d
-
ذ
zal
ż
z (dengan titik di atas)
ر
ra
r
-
ز
za
ż
-
س
sin
s
-
ش
syin
sy
-
ص
sad
s
s (dengan titik di bawah)
x
ض
dad
d
d (dengan titik di bawah)
ط
ta
t
t (dengan titik di bawah)
ظ
za
z
z (dengan titik di bawah)
ع
„ain
„
koma terbalik ke atas
غ
gain
g
-
ف
fa
f
-
ق
qaf
q
-
ك
kaf
k
-
ل
lam
l
-
م
mim
m
-
ن
nun
n
-
و
wawu
w
-
ه
ha
h
-
ء
hamzah
َ
apostrof
ي
ya‟
y
B. Konsonan Rangkap Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. contoh : ا حـمد يـٌـو
ditulis Ahmadiyyah
C. Ta‟ Marbutah di Akhir Kata 1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. Contoh :
xi
جـما عـةditulis jama’ah 2. Bila dihidupkan ditulis t, contoh : كرا مـة األ ونيـاء
ditulis karamatul-auliya’
D. Vokal Pendek Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u. E. Vokal Panjang Panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing dengan tanda hubung (-) di atasnya. F. Vokal Rangkap 1. Fathah + ya‟ mati ditulis ai, contoh : بيـنكـم
ditulis bainakum,
2. Fathah + wawu mati ditulis au, contoh : قـو لditulis qaul G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof („) أانتـم
ditulis a’antum مؤ نـجditulis mu’annas
H. Kata Sandang Alif + Lam 1. Bila diikuti huruf Qamariyyah, contoh : انقـران
ditulis al-Qur’an
انقيـاس
ditulis al-Qiyas
2. Bila didikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya. انسـماء
ditulis as-Sama انشـمس
ditulis asy-Syams
I. Penulisan huruf kapital Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam trasliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan itu seperti yang berlaku pada EYD, diantara huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri diawali dengan kata sandang maka yang ditulis menggunakan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.
xii
J. Kata dalam rangkaian Frasa dan Kalimat 1. Ditulis kata per kata, contoh : ذوى انفـروضditulis zawi al-furud 2. Ditulis menurut bunyi atau pengucaspan dalam rangkaian tersebut, contoh: أىـم انسـنو شـيخ االسـالم
ditulis ahl as-Sunnah ditulis Syaikh al-Islam atau Syaikhul-Islam
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iii HALAMAN DEKLARASI ................................................................ iv HALAMAN MOTTO ........................................................................ v HALAMAN ABSTRAK..................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................... vii HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................. viii HALAMAN TRANSLITERASI ....................................................... x HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1 B. Rumusan Masalah ......................................................... 5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..................................... 5 D. Telaah Pustaka............................................................... 6 E. Metode Penelitian .......................................................... 9 F. Sistematika Penulisan .................................................... 11 BAB II TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH A. Pengertian Tindak Kejahatan ........................................ 13 a. Pengertian Jarimah ............................................. 13 b. Unsur-Unsur Jarimah ......................................... 14 B. Klasifikasi Jarimah ....................................................... 15 a. Jarimah Hudud ................................................... 15 b. Jarimah Qisas dan Diat...................................... 16 c. Jarimah Ta’zir .................................................... 19 C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah) ......... 26 a. Pengertian Qiyas ................................................. 26 b. Rukun Qiyas ....................................................... 27 c. Macam-macam Qiyas ......................................... 32 d. Qiyas dalam Menentukan Jarimah ..................... 34
xiv
BAB III TINJAUAN UMUM CYBER CRIME A. Pengertian Kejahatan..................................................... 37 B. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) ............................ 38 C. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime ....................... 41 BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI DAN ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah .............................................................................. 49 B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah..................................................... 55 C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem Elektronik pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah..................................................... 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................... 70 B. Saran-saran .................................................................... 72 C. Penutup .......................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan internet di Indonesia saat ini sangat pesat, sehingga tidak mengherankan apabila di kota maupun desa banyak ditemukan warungwarung internet yang menyajikan banyak pelayanan internet. Di satu
sisi
pengguna internet dapat memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia maya, di sisi lain internet juga menghadirkan berbagai hal yang dapat menimbulkan efek positif maupun negatif bagi para penggunanya. Internet telah membangun sebuah dunia maya yang sebenarnya
yaitu merupakan
dunia tanpa batas serta dunia yang dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya suatu tindak pidana melalui dunia maya yang sering dikenal dengan nama cyber crime. Cyber crime, yang selanjutnya disingkat CC, merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.1 Di Indonesia telah banyak terjadi kejahatan di dunia maya atau cyber crime. Salah satu contoh kasus yang sempat menggegerkan Indonesia adalah pada tahun 2004, seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface atau mengubah halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara 1
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.h. 1.
1
2
SQL (Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP (Internet Protocol) tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil meng-update daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam meng-hack yakni melalui teknik spoofing (penyesatan). Dani melakukan hacking dari IP public PT Danareksa (tempat dia bekerja) 202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy Anonymous
Thailand
208.147.1.1
lalu
masuk
ke
IP
tnp.kpu.go.id
203.130.201.134, dan berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik peserta pemilu. 2 Contoh kasus lainnya adalah dunia perbankan melalui Internet (ebanking) Indonesia dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklikbca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com, dan klikbac.com. Isi situssitus plesetan ini nyaris sama. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal dapat diketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan
Steven
pada
situs
bagi
para
webmaster
di
Indonesia,
www.webmaster.or.id tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik
2
detik.com digital live dalam http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/danifirmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.36 WIB
3
berhati-hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan.3 Kasus-kasus tersebut sudah nyata terlihat kalau dunia maya sebenarnya semakin membahayakan yang bahaya dan kerusakannya
bagi
kehidupan manusia bisa melebihi dunia nyata. Dunia maya telah menjadi tempat yang demikian bebas bagi kriminal-kriminal yang berteknologi canggih untuk menjalankan aksinya. Oleh karena itu upaya perlindungan hukum terhadap kegiatan yang dilakukan di internet, baik merupakan kegiatan bisnis (e-bussines), birokrasi pemerintahan, pribadi diperlukan pengaturan hukum terhadap dunia cyber. Sehingga pemerintah khususnya aparat penegak hukum terdorong untuk memberikan pengaturan hukum terhadap cyber crime, yaitu dengan memberlakukan cyber law melalui pengesahan UU ITE 2008.4 Undang-undang inilah yang selama ini sangat ditunggu oleh sebagian besar kalangan masyarakat, karena dengan terwujudnya undang-undang tersebut diharapkan dapat mengurangi segala keresahan masyarakat yang banyak dirugikan oleh cyber crime. Cyber crime yang merupakan suatu kejahatan yang dilakukan tidak secara fisik melainkan dalam ruang dunia maya (cyber space), yang dapat 3
Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister Hukum, Bandung, 2010 dalam, http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIAN_TERHADAP_CYBER_CRIM E.pdf diakses tanggal 23 Juni 2011 pukul 21.41 WIB 4 UU ITE 2008 merupakan undang-undang baru, Undang-undang disahkan pada tanggal 25 Maret 2008. Secara garis besar undang-undang ini berjumlah 54 pasal, pada Bab KetentuanUmum (pasal 1-2), Bab II-Asas dan tujuan (pasal 3-4), Bab III-Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik (pasal 5-12), Bab IV-Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik,Bab V- Transaksi Elektronik (pasal 17-22), Bab VI - Nama Domain, Hak Intelektual, dan Perlindungan Hak Pribadi (pasal 23-26), Bab VII- Perbuatan yang dilarang (pasal 27-37), Bab VIII
4
menimbulkan kerugian secara materi maupun non materi dan mengganggu kehidupan privasi orang lain. Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik itu bersifat sosial, karena hak milik pribadi pada hakekatnya adalah milik Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya. 5 Islam juga menekankan hak-hak azasi manusia salah satunya jaminan terhadap pribadi seseorang. Oleh karenanya, apabila ada seseorang yang melakukan tindak pidana cyber crime maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu laranganlarangan syara„ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).6 Dengan demikian, jarimah dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hukum had dan hukum ta’zir.7 Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas, menarik minat penulis untuk mengetahui mengenai tindak pidana cyber crime yang marak terjadi sekarang sehingga meresahkan dan merugikan banyak pihak khususnya mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dalam perspektif
hukum pidana Islam (fiqh Jinayah), dengan membatasi
permasalahan dengan tiga macam kasus yaitu akses illegal sistem elektronik, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang terdapat pada pasal 30, 32 ayat (2), 33 dalam UU ITE 2008. Kemudian penulis mencoba menganalisis dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam skripsi yang 5
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 85-89 A. Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, h.121 7 Ibid. 6
5
berjudul: Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Dalam Perspektif Fiqh Jinayah) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin dalam pasal 30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? 2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini : 1. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin dalam pasal 30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
6
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 3. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai Cyber Crime yang dapat melampaui belahan dunia manapun dan siapapun, karena para pelaku kejahatan ini bersifat internasional. Selain itu dapat memasuki perkembangan ilmu hukum dalam menciptakan hukum, khususnya pidana Islam,
dengan
pengaplikasian
yang
mudah
dijangkau bagi semua kalangan. 2. Pemberian struktur keamanan lebih pada segala mediasi yang mendukung terjadinya tindak pidana Cyber Crime, agar dapat mengurangi jumlah angka tindak pidana ini. 3. Memberi pengetahuan lebih tentang tindak pidana cyber crime dan hukum pidana Islam, karena selama ini masyarakat cenderung tidak peduli selama dirinya tidak dirugikan. Sebenarnya, secara tidak langsung masyarakat awam juga ikut dirugikan, dengan adanya kerugian yang dialami oleh negara, baik secara materiil, maupun moril.
7
D. Telaah Pustaka Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa sumber yang membicarakan masalah tersebut di antaranya: Pertama ialah yang dilakukan oleh Desi Tri Astutik mahasiswi fakultas Syari‟ah program studi Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008. Di dalam skripsinya memaparkan tentang cyber crime pada dasarnya merupakan kejahatan dunia mayantara yang dilakukan dengan melalui jaringan internet dengan menggunakan fasilitas komputer. Dalam perspektif hukum pidana Islam (Fiqih Jinayah) pemberlakuan UU ITE dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang menjerat pelaku kejahatan dunia mayantara (cyber crime), karena di dalam undang-undang tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam aturan Fiqh Jinayah. Adapun unsur-unsur tersebut yaitu unsur umum yang terdiri dari (unsur formil, unsur materil, dan unsur moral) dan unsur khusus. Penerapan sanksi yang diberikan kepada pelaku cyber crime yaitu dikenakan sanksi ta’zir, dimana sanksi ta’zir meripakan hukuman yang diserahkan kepada Ulil Amri dengan tujuan memberikan rasa jera kepada pelaku jarimah. 8 Kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Eka Wiratama mahasiswa fakultas hukum Universitas Brawijaya dalam skripsinya berjudul 8
Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”, Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008, h.86-88, t.d.
8
“Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Indonesia”. Penelitian ini dilakukan tahun 2009. Dalam penelitiannya tersebut dia memaparkan pembuktian terhadap KUHAP secara formil tidak lagi dapat menjangkau dan sebagai landasan hukum pembuktian terhadap perkara cyber crime sebab modus operandi di bidang cyber crime tidak saja dilakukan dengan alat-alat canggih tetapi kejahatan ini benar-benar sulit menentukan secara cepat dan sederhana siapa pelaku tindak pidananya. Oleh karena itu di butuhkan optimalisasi UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.9 Ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Gabe Ferdinal Hutagalung mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya berjudul “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)
Dalam Perspektif
Hukum Pidana”. Penelitian ini dilakukan tahun 2010. Dalam penelitiannya tersebut memparkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana terhadap kejahatan mayantara saat ini adalah, sebelum disahkannya UU ITE terdapat beberapa
ketentuan
perundang-undangan
yang
berhubungan
dengan
penanggulangan kejahatan mayantara, tetapi kebijakan formulasinya berbedabeda terutama dalam hal kebijakan kriminalisasi-nya belum mengatur secara tegas dan jelas terhadap tindak pidana teknologi informasi, kebijakan formulasi dalam UU ITE masih membutuhkan harmonisasi/sinkronisasi baik
9
Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009, h.68-69.t.d.
9
secara internal maupun secara eksternal terutama dengan instrumen hukum internasional terkait dengan teknologi informasi.10 Dari kajian beberapa skripsi diatas, dapat diketahui bahwa penelitian di atas menjelaskan bahwa cyber crime merupakan kejahatan yang melanggar batas wilayah. Semuanya membahas secara keseluruhan (global) tentang tindak pidana cyber crime. Dalam skripsi Desi Tri Astutik membatasi permasalahan mengenai tigas kasus yaitu mengenai kasus pencurian kartu kredit secara on-line (carding), pornogarfi, dan pencemaran nama baik. Sedangkan dalam skripsi yang kedua membahas tentang pembuktian cyber crime secara normatif dalam ranah hukum di Indonesia dan skripsi ketiga membahas tentang penanggulangan cyber crime di Indonesia dengan mengoptimalisasi UU ITE 2008. Dari penjelasan di atas maka pembahasan dalam skripsi ini sangat berbeda dengan skripsi-skripsi sebelumnya karena dalam penelitian ini akan membahas secara lebih khusus dan mendetail mengenai tindak
pidana
pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang berkaitan dengan undang-undang tentang Informasi dan Transaksi elektronik khusunya pasal 30, 32 ayat (2), dan 33 yang akan di tinjau dalam perspektif fiqih jinayah. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
10
Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum, Sumatera Utara, 2010, h.156.t.d.
10
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, juga disebut penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Bambang Waluyo, adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.11 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain. 2. Sumber Data Sumber data
merupakan
bahan-bahan
yang
diperoleh
berdasarkan dari data-data hukum primer dan sekunder. a.
Data Primer : Konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan cyber crime, dan cyber law yang mengatur tentang tindak pidana
virtual dan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana
Islam (Fiqh Jinayah) yang tercantum di dalam : Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan “Asas-Asas Hukum Pidana Islam” karya Ahmad Hanafi. b.
Data Sekunder :
Merupakan
bahan-bahan
hukum
yang
diambil dari pendapat atau tulisan para ahli dalam bidang cyber dan fiqih jinayah untuk digunakan dalam membuat konsepkonsep hukum yang berkaitan dengan penelitian ini dan dianggap sangat penting.
11
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 50.
11
3. Metode Pengumpulan Data Untuk
mengumpulkan
data
dimaksud
di
atas
digunakan teknik sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (library research) Dilakukan
dengan
mencari,
mencatat,
menginventarisasi,
menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahanbahan pustaka. 4. Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan menggunakan
teknik
content
analysis,
yaitu
pengumpulan
bahan-bahan hukum dan diinterpretasi, dan untuk ketentuan hukum dipakai interpretasi teleologis12 yaitu berdasar pada tujuan norma. Selain itu juga digunakan pendekatan Undang-undang baru terkait dengan cyber crime, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan metode tersebut, dapat kita ketahui lebih mendalam tentang tindak pidana sistem pengaksesan elektronik, pencurian dokumen elektronik, perusakan sistem elektronik dalam hukum pidana Islam. F. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :
12
Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h. 306 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.59 WIB
12
BAB I
Pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II Memberi gambaran tentang Tinjauan Umum Terhadap Kejahatan dalam Fiqh Jinayah yang meliputi: Pengertian Jarimah, Unsurunsur Jarimah, Klasifikasi Jarimah yaitu Jarimah Hudud, Jarimah Qishas dan Diyat dan Jarimah Ta’zir, Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) yaitu Pengertian Qiyas, Rukun
Qiyas,
Macam-macam
Qiyas
dan
Qiyas
dalam
Menentukan Jarimah. BAB III Berisi tentang Tinjauan Umum Cyber Crime yang meliputi: Pengertian Kejahatan, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) dan Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime. BAB IV Berisi tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Yang Meliputi: Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin Dalam Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Dalam Pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak
13
Pidana Perusakan Sistem Elektronik Dalam Pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bab V Adalah penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan saran-saran dan kata penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH A. Pengertian Tindak Kejahatan a. Pengertian Jarimah Secara bahasa jarimah berasal dari kata jadian masdar yang berasal dari kata
َج َر َوyang artinya berbuat salah.13 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata jarimah adalah kejahatan yang dilarang oleh syariat Islam dengan ancaman hudud atau ta’zir.14 Secara istilah Imam Al-Mawardi memberikan definisi jarimah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya:
ٌ اَ ْن َج َرائِ ُى َيحْ ظُ ْو َرا خ َشرْ ِعيَّ ٍح َز َج َرهللاُ ذَ َع َم َع ُْهَا تِ َح ٍّد ْس ٍْر ِ َ ْ ذَع Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.15
Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fuqaha (ahli fiqh) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk
13
Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993, h. 28 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. h.460 15 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.9 14
14
15
menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.16 Sedangkan menurut Ahmad Hanafi yang dimaksud dengan kata-kata “jarimah” ialah, larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman adakalanya
berupa
had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut
mengerjakan
perbuatan
yang
dilarang,
atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan kata-kata “Syara” adalah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai
jarimah, kecuali apabila telah diancamkan
hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut dengan kata-kata “ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.17 Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana/delik) pada hukum pidana positif. b. Unsur-Unsur Jarimah Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan pidana apabila telah memenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu: 16
NN, Jarimah http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB 17 Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986, h.1
16
a) Unsur formal ( ٌ )اَنرُّر ْ ٍُ ان َّلرْ ِعyaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman. b) Unsur material ( ) اَنرُّر ْ ٍُ ْان ًَا ِ ُّرyaitu adanya tingkah laku yang mebentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif) c) Unsur moral ( ) اَنرُّر ْ ٍِ ااَ َ تِ ُّرyaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.18 B. Klasifikasi Jarimah Jarimah dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Qur’an atau hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah ta’zir.19 Mengenai uraian ataupun penjelasan tentang
jarimah hudud,
jarimah qishas dan jarimah ta’zir serta penggolongan-penggolongannya, akan diuraikan sebagai berikut: a) Jarimah Hudud Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-
18
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007, h.129-130 19 Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1947, h.13
17
ringan) sanksinya
yang menjadi
hak Allah SWT.20
Dalam
hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah mempunyai
pengertian
bahwa
hukuman
tersebut
tidak
bisa
dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf), minum minuman keras, mencuri,
menggangu
keamanan
(hirabah),
murtad,
dan
pemberontakan (al-bagyu). Salah satu bentuk contoh dari hukuman hudud yang menyatakan sebagai hukuman yang di tentukan oleh syara‟ adalah jarimah pencurian yang didasarkan pada firman Allah dalam surat AL-Maidah ayat (38):
“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”21 b) Jarimah Qishas dan Diyat Jarimah Qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya 20
NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB 21 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992, h.103-104
18
adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah, sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Dalam arti korban dan keluarganya berhak memberikan pengampunan terhdap pelaku.22 Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mepunyai batas terendah maupun batas tertinggi. Pengertian qishas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich adalah sebagai berikut:
هُ َو َ ٌْ ُ ُْ ِس َل تا ِ ْن َجا َِى ِي ٍَ ْان ُعقُ ْو تَ ِح ْان ًَا ِّ َّ ِح ِي ْث ُم... .ِ َيا ُ َْ ِس َل تِا ْن ًَجْ ُِ ِّى َعهَ ْي
“Qishas adalah memberikan hukuman kepada pelaku perbuatan persis seperti apa yang dilakukan terhadap korban.” 23
Hukuman qishas didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179:
22 23
Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.18 ibid, h. 154
19
“Hai orang-orang yang beriman, diperlukan atas kamu qishas dalam pembunuhan, merdeka dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan. Barangsiapa mendapat maafdari sudaranya akan sesuatu, maka hendaklah ia mengikut secara baik (ma‟ruf) dan membayarkan (diyat) kepada saudaranya itu dengan baikbaik. Demikian itu suatu keringanan dari Tuhanmu dan rahmat-Nya. Barangsipa yang aniaya sesudah itu, maka untuknya siksaan yang pedih. Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qishas itu, hai orang-orang yang mempunyai akal, mudah-mudahan kamu bertakwa.”24 Sedangkan Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.25 Dasar hukum wajib diyat yaitu berdasar pada surat An-Nisa‟ ayat 92:
... “Tidak boleh orang mukmin membunuh orang mukmin (yang lain), kecuali jika tersalah. Barangsiapa membunuh orang mukmin dengan tersalah hendaklah memerdekakan hamba yang mukmin, serta dibayarkan denda kepada keluarga yang terbunuh itu, kecuali jika mereka sedekahkan...”26
24
Departemen Agama RI, op.cit, h.25-26 The Reff All, Pengertian Diyat dalam http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.07 WIB 26 Departemen Agama RI, op.cit, h.84-85 25
20
Yang termasuk
jarimah qishas-diyat ialah pembunuhan
sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. c) Jarimah Ta’zir Adapun
jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancam
dengan
hukuman ta’zir. Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari „azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu.27 Sedangkan menurut istilah Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa (tindak pidana-tindak pidana) yang belum ditentukan oleh syara‟.28 Dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masingmasing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberatberatnya. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut: a. Hukuman Mati
27
Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta‟zir, dalam http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada tanggal 30 Juli 19.09 WIB 28 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007, h.84
21
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap
peraturan
hukuman
tersebut
yaitu
diperbolehkannya
hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya.29 Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim. b. Hukuman Cambuk Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan
29
Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h. 87
22
Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali.30 Sedangkan di kalangan madzhab Syafi‟i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.31 Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama denga pendapat madzhab Imam Syafi‟i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali.32 Alasannya ialah hadits dari Abu Burdah yang diterima dari Rosululloh SAW, sebagai berikut :
ُ قَا َل َض ًِع ُص َم هللا َ ى َّ ِْد انَُّث ق َع ْل َر ِج اَ ْض َوا ٍط اِالَّفِ ْى َ ْْ ا فَو
ِّ ار َ َْ َع ٍَْ اَتِ ْى تُرْ َ جَ ْاال ِ ص َعهَ ْي ِ َ َضهَ َى َقُوْ ُل الَ ذَجْ هِ ُد َِح ٍّد ِي ٍْ ُح ُد ْ ِ هللا
“Dari Abu Burdah Al-Anshori katanya: saya mendengar Nabi Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mendera diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu had Allah”33 30
Ahmad Hanafi, op.cit, h.306 Ibid, h.307 32 Ibid 33 Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori juz VIII, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993, h.678 31
23
c.
Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan) Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas.34 Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟ Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.35 Sementara
ulama-ulama
lain
menyerahkan
semuanya
kepada
penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya. d. Hukuman Salib Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang 34 35
Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h.92 Ibid
24
makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari. e. Hukuman Pengucilan Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara.36 Sehingga turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”37 f. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
36 37
Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.98 Departemen Agama RI, op.cit, h.186
25
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz. g. Hukuman Denda Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.38
38
Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.101
26
C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Qiyas Qiyas menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah mempersamakan suatu kasus dengan yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena ada persamaan kedua itu dalam „illat hukumnya.39 Dajzuli menyatakan
menerangkan tentang
dalam qiyas
bukunya sebagai
Imam berikut
Syafi‟i „setiap
kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya (dalalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad. Dan ijitihad itu adalah qiyas‟.40 Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah
Al-Qur‟an,
As-Sunnah
dan
ijma’.
Yakni
cara
mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan „‘illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash. انقياش هو يا طهة اندالئم انًوافقح عهى خثر انًرقدو يٍ انكراب انطُح “Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam alQur‟an dan sunnah”.
39
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h.66 A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2000, h. 121 40
27
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti „‘illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti „‘illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa „‘illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan „‘illat.41 2. Rukun Qiyas Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:42 a.
Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang
menjadi
ukuran
atau
tempat
menyerupakan/
menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal ()االصم atau maqis ‘alaih ( )انًقيص عهيatau musyabbah bih ( )يلث ت. Dalam menentukan ashal harus ada syarat-syarat yang dipenuhi yaitu : Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah syaratsyarat ashal itu adalah:43 41
Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h.107 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000, h. 136-137 42
28
a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟ c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya d. Dalil yang menetapkan „‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas f. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u. b.
Far’u
(cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan
hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u ( )انفرعatau al-maqis ( )انًقيصatau al-musyabbah ( )انًلث. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan far’u adalah sebagai berikut: Para ulama usul fiqh mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u yaitu:44 a. ‘‘illat yang ada pada far’u harus sama dengan ‘illat yang ada pada ashal. b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas. c. Tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum far’u itu. 43 44
Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995, h. 73 Ibid, h. 75-76
29
c.
Hukum ashal ( ;)حكى االصمyaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang. Syarat-syarat hukum ashal antara lain:45
Hukum syara‟ itu hendaknya hukum syara‟ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena
yang akan
ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara‟ itu adalah nash. Hukum ashl harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari‟atannya harus rasional
Hukum
ashl
itu
tidak
merupakan
hukum
pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu. d.
„‘illat ( ;)انعهحyaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’u. Secara etimologi „‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan
45
Muin Umar, dkk. Op.cit, h. 119-120
30
„‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi „‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi „‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu: خ ِ ان ًُ َثِّ ُر فِ ْ ُح ْك ِى تِ َج ْعهِ ِ ذَ َعانَى الَتِان َّلا “Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar‟i”. Menurutnya, „‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu „‘illat menyebabkan munculnya hukum. Syarat-syarat „‘illat antara lain adalah: a. „‘illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra. b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu‟ dan tidak mudah berubah. c. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya. d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan ashal.
31
Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi „‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu46. Di antara bentuk sifat itu adalah: 1.
Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada „urf (kebiasaan)
atau
lainnya.
Contohnya:
sifat
memabukkan pada minuman keras. 2.
Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.
3.
Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina.
4.
Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr.
5.
Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar‟i dijadikan alasan untuk menetapkan
46
Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 173
32
sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual. 6.
Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang
menjadi
alasan
adanya
suatu
hukum.
Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos. 3. Macam-Macam Qiyas Dilihat dari segi kekuatan „‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi yaitu:47 a. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl, karena „‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”. Dalam surat al-Isra‟:23 Allah berfirman:
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah 47
Nasrun Haroen, Op.cit, h. 75-76
33
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. (al-Isra‟:23). b. Qiyas
al-Musawi,
yaitu
hukum
pada
far’u
sama
kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas „‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam Qs. al-Nisa‟:2: Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.( al-Nisa‟:2). Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam
ayat,
karena
kedua
sikap
itu
sama-sama
menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim. c. Qiyas al-adna, yaitu „‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan „‘illat yang ada pada ashl.
34
Artinya ikatan „‘illat yang ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan „‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung „‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. 4. Penggunaan Qiyas dalam Menentukan Jarimah Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya metode Qiyas. Imam Syafi‟i sebagai representer dari kalangan ini menambahkan bahwa penerapan Qiyas tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah.48 Dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh ada yang sepakat
menggunakan
qiyas
dan ada
yang tidak sepakat
menggunakan itu. Mereka yang membolehka pemakaian qiyas beralasan bahwa:49 a. Nabi membenarkan pemakaian qiyas, ketika ia bertanya pada sahabat Mu‟az. “Dengan apa engkau memutusi suatu perkara?” jawabnya, “Dengan kitab Tuhan; kalau tidak saya dapati, maka dengan sunnah rasul, dan kalau tidak saya dapati, maka saya “berijtihad” dengan fikiran saya”. Rosulallah membenarkan
48
Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian Terhadap Status Hukum Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/implementasi-metodeqiyas-dalam-penilaian-terhadap-status-hukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19 Desember 2011 jam 19.55 WIB 49 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. V., 1993, h. 34.
35
kata-kata Mu‟az yang mengenai ijtihad adalah mutlak yang tidak ditentukan macamnya. Sedang qiyas adalah salah satu cara ijtihad. b. Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had bagi
peminum
minuman
keras,
disini
sahabat
Ali
mengqiyaskan hukuman minum-minuman keras dengan memperbuat kebohongan (iftira). Adapun sebagian mereka yang menentang qiyas dalam aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi sebagai berikut :50 a. Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batasbatasnya, tetapi tidak dapat diketahui alasan penentuan batasbatas tersebut sedang dasar qiyas ialah pengetahuan tentang „‘illat (sebab alasan) hukum peristiwa “asal”. Apa yang tidak dapat diketahui alasannya, maka qiyas tidak dapat diloakukan terhadapnya. b. Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan pada kifarat-kifarat juga terdapat sifat hukuman. Qiyas itu sendiri bisa kemasukan salah, sedang hukuman menjadi hapus
disebabkan
sedangkan
adanya
syubhat
hukuman-hukuman
(ketidak
(hudud)
tegasan),
menjadi
hapus
disebabkan , karena kata-kata nabi: “Hindarkan hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat.
50
Ibid, h. 35.
36
c. Syara’ menjatuhkan hukuman potong tangan atas pencuri tetapi tidak menjatuhkannya atas pengirim surat kepada orang-orang
kafir
musuh,
sedang
hukuman
terhadap
perbuatan yang kedua tersebut lebih utama. Kalau hukuman terhadap perbuatan lebih berbahaya tidak ada maka hal ini tidak bolehnya pemakaian qiyas. Alasan-alasan tersebut boleh jadi lebih kuat dari pada alasan golongan pertama yang memperbolehkan pemakaian qiyas. Akan tetapi harus diketahui bahwa qiyas dalam hukuman harus diketahui qiyas dalam jarimah terlebih dahulu. Kebolehan memakai qiyas dalam jarimah tidak berarti membuat aturan-aturan baru atau jarimah-jarimah baru melainkan hanya berarti memperluas lingkungan berlakunya aturan yang telah ada. Jadi, penggunaan qiyas dalam soal-soal jarimah dan hukuman tidak merupakan sumber hukum, melainkan sekedar penafsiran yang dipakai untuk dapat menentukan perbuatan-perbuatan mana yang bisa dicakup oleh sesuatu aturan yang telah ada. Pemakaian qiyas hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an, sunnah atau ijma’ yang tergolong qath’i dan akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas jika kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang ada. Hanya dalam soal-soal yang belum terjawab oleh nushus dan ijma sajalah, hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber ini melalui penerapan qiyas.
BAB III TINJAUAN UMUM CYBER CRIME A. Pengertian Kejahatan Berbicara tentang kejahatan sebenarnya tidak lepas dari dunia nyata dalam kehidupan masyarakat itu berada. Kejahatan merupakan cap atau sebutan yang digunakan oleh masyarakat dalam menilai suatu perbuatan seseorang. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Dalam KBBI kejahatan mempunyai pengertian perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.51 Sedangkan secara empiris, definisi kejahatan dalam pengertian yuridis tidak sama dengan pengertian kejahatan dalam kriminologi yang dipandang secara sosiologis. Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat.52 Sedangkan Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa
51
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. h. 450 Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Bandung: PT Refika Aditama, 2005, h.37 52
37
38
berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusanrumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.53 J.E. Sahetapy dan
B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya
“Paradoks Dalam Kriminologi” yang dikutip oleh Syahrudin Husein menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.54 Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa unsur penting dari pengertian kejahatan adalah perbuatan yang merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum. Seiring berjalannya waktu, cara pandang terhadap nilai dan moral pun akan berubah yang merupakan salah satu tolak ukur terhadap suatu perbuatan itu dianggap jahat atau tidak. B. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Istilah
cyber
crime
banyak
bermunculan
seiring
dengan
berkembangnya teknologi. Cyber crime lebih sering disebut dengan tindak kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) atau tindak 53
Nasrulloh, Pengertian Kejahatan, http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-kejahatan.html diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 11.21 WIB 54 Syahrudin Husein, “Kejahatan dalam Masyarakat dan Penanggulanggannya”, Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003, h.1, t.d.
39
kejahatan
menggunakan
komputer.
Ada
beberapa
pendapat
yang
menyamakan antara tindak pidana kejahatan komputer dengan cyber crime, dan ada pendapat yang membedakan antara keduannya. Meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian mengenai kejahatan komputer. Dalam laporan konggres PBB X/2000 dinyatakan cyber crime atau computer-related crime, mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.55 Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Deveplopment, yaitu “any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”.56 Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom dalam bukunya Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi menyatakan bahwa “secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber (cybercrime) adalah upaya memasuki
dan atau menggunakan fasilitas
komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dengan melawan hukum dengan
55
Barda Nawawi Arief, loc.cit. h.259 Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akdemik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, November, 2003, h.25 dalam http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.01 WIB 56
40
atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut”.57 Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya (cyber crime) adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.58 Menurut Andi Hamzah, cyber crime merupakan kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.59 Dari semua perumusan atau batasan yang diberikan mengenai cyber crime dapat disimpulkan bahwa karakteristik cyber crime adalah: a) Perbuatan anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi informasi tanpa batas. b) Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi. Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet. c) Perbuatan tersebut merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta bertentangan dengan moral masyarakat 57
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h.8 58 Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999 dalam http://business,fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm diakses pada tanggal 13 Juli 2011 pukul 20.05 WIB 59 Andi Hamzah, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, h.10
41
d) Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum. C. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime 1. Klasifikasi Cyber crime Cyber crime dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: a.
Cyberpiracy yaitu penggunaan teknologi komputer untuk
mencetak ulang software atau informasi, lalu mendistribusikan informasi atau software tersebut lewat teknologi komputer misalnya pembajakan software. b.
Cybertrespass yaitu penggunaan teknologi komputer untuk
meningkatkan akses pada sistem komputer suatu organisasi atau individu misalnya hacking exploit sytem dan seluruh kegiatan yang berhubungan dengannya. c.
Cybervandalism yaitu penggunaan teknologi komputer untuk
membuat program yang menganggu proses transmisi elektronik, dan menghancurkan data di sistem komputer misalnya virus, trojan, worm, metode DoS, http attack, BruteForce Attack dan lain sebagainya.60 2. Jenis-Jenis Cyber Crime Dari klasifikasi kejahatan dunia maya di atas dapat diketahui jenis-jenis cybercrime berdasarkan jenis aktivitasnya dan tentunya
60
Poni, Kejahatan Internet (Cyber Crime) dan Pernak-Perniknya, http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahatan-internetcybercrime-dan-segala-macam-pernakperniknya/ diakses tanggal 26 Juni 2011 pukul 16.50 WIB
42
kegiatan ini yang marak di lakukan baik di Indonesia sendiri atau di negara lain,yaitu:61 a. Cyber Espionage ialah kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran b. Data Forgery ialah kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. c. Data Theft ialah kejahatan memperoleh data komputer secara tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain. d. Cyber Sabotage and Extortion ialah kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. e. Unauthorized Access to Computer System and Service ialah Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau
61
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, 2003, h.17 dalam http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.01 WIB
43
tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. f. Offense against Intellectual Property ialah Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. g. Illegal Contents ialah kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. h. Carding ialah Kejahatan dengan menggunakan teknologi computer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan card credit orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut baik materil maupun non materil i. Cracking ialah kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan pada tiga kasus yaitu pengakasesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik. Selanjutnya kasusnya akan penulis paparkan dalam uraian berikut:
44
1. Unauthorized Access to Computer System and Service Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang
dimasukinya.62
Biasanya
pelaku
kejahatan
(hacker)
melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi
tinggi.
Kejahatan
ini
semakin
marak
dengan
berkembangnya teknologi internet/intranet. Bagi yang belum pernah dengar, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker. Kisah seorang mahasiswa FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) yang ditangkap gara-gara mengacak-acak data milik KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan masih banyak contoh lainnya. Perbuatan ini merupakan kejahatan illegal access yaitu melakukan akses secara tidak sah. Perbuatan ini sudah diatur dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan, bahwa: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain ( 62
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, op.cit, h.17 dalam http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.01 WIB
45
ayat (1)) dengan cara apapun, (ayat (2)) dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, (ayat (3)) dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.” 63 Ketentuan pidana pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk ayat (1), ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan ayat (2) pasl 46 memberikan ketentuan pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Untuk ayat (3), ketentuan pidananya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 2. Data Theft Merupakan kejahatan memperoleh data komputer secara tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain.64 Identity theft merupakan salah satu jenis kejahatan ini yang sering diikuti dengan kejahatan penipuan (fraud). Kejahatan ini juga sering dikuti dengan kejahatan data leakage (membocorkan data rahasia). 63 64
ibid, h.237 Dwi Eka Wiratama, op.cit, t.d, h.36
46
Pencurian
data
merupakan
perbuatan
yang
telah
mengganggu hak pribadi seseorang, terutama jika si pemilik data tidak menghendaki ada orang lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya tersebut. Pasal 32 ayat (2) UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat digunakan menjerat pelaku. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.”65 Dapat dipidana dengan ketentuan pidana sebagaiman diatur dalam pasal 48 ayat (2), yaitu dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 3. Cyber Sabotage and Extortion Merupakan kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.66 Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan
65 66
ibid, h.238 ibid
47
sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyber-terrorism. Untuk perusakan atau penghancuran terrhadap suatu sistem atau pun data dari komputer. Dasar hukum nya diatur dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 67 Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp
10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah). 4. Cracking Kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer yang dilakukan untuk merusak sistem keamanan suatu sistem komputer dan biasanya melakukan pencurian, tindakan anarkis begitu mereka 67
ibid, h.238
mendapatkan
akses.
Biasanya
kita
sering
salah
48
menafsirkan antara seorang hacker dan cracker dimana hacker sendiri identik dengan perbuatan negatif, padahal hacker adalah orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan ada yang bersifat dapat dipublikasikan dan rahasia. Sedangkan cracker dengan orang
identik
yang mampu merubah suatu karakteristik dan
properti sebuah program sehingga dapat digunakan dan disebarkan sesuka hati padahal program itu merupakan program legal dan mempunyai hak cipta intelektual. Dasar hukum nya diatur dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 68 Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun
dan/atau
denda
10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah).
68
ibid, h.238
paling
banyak
Rp
BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI DAN ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah Saat ini berbagai macam kasus cyber crime semakin merajalela, salah satu diantaranya masalah ilegal akses. Undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut sudah ada yaitu dalam pasal 30 Undang-Undang no.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai berikut: (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.” 68 Untuk ketentuan pidananya diatur dalam pasal 46 dalam UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk ayat (1), ketentuan pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan ayat (2) pasal 46 memberikan ketentuan pidana paling lama 7 68
Siswanto Sunarso, op.cit, h.237
49
50
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Untuk ayat (3), ketentuan pidananya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Kasus cyber crime ini merupakan kasus baru yang terjadi di zaman sekarang. Jadi, hukum pidana Islam belum mengatur tentang hal ini. Tindak pidana pengaksesan sistem elektronik merupakan kasus ilegal akses yaitu akses secara tidak sah atau akses tanpa izin. Penulis menggunakan metode ijtihad qiyas untuk menyamakan perbuatan ini dengan memasuki rumah orang lain tanpa izin dan menentukan hukuman bagi pelaku perbuatan ini. Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang sudah ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.69 Dalam metode ijtihad qiyas perbuatan tersebut harus memenuhi rukun-rukun qiyas, yaitu: 1. Al-Aslu (sesuatu yang ada nash hukumnya) Islam melarang memasuki rumah orang tanpa izin dari pemilik rumah, apalagi sampai melakukan pencurian atau perusakan terhadap barang milik orang lain karena itu sudah termasuk jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu larangan-larangan syara„ 69
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group), 1994, h. 66
51
yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada nash-nya) atau ta ‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).70 Adapun dalil syar'i yang dapat dijadikan dasar melarang memasuki rumah tanpa izin adalah sebagai berikut: Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 27-28:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke dalam ruang yang bukan rumahmu, sehingga kamu minta izin dan mengucapkan salam (selamat) kepada yang empunya. Demikian itu lebih baik bagimu, mudah-mudahan kamu mendapat peringatan. Jika kamu tiada memperoleh seseorang juga dalam rumah itu, maka janganlah masuk ke dalamnya, sampai kamu mendapat izin lebih dahulu. Jika dikatakan kepadamu: ‟Kembalilah‟, hendaklah kamu kembali, demikian itu lebih baik bagimu. Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nur : 27-28) 71 2. Al-Far’u (sesuatu yang tidak ada nash hukumnya) Unauthorized Access to Computer System and Service adalah Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa 70 71
h.318-319
Ahmad Hanafi, op.cit, hlm.121 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992,
52
sepengetahuan
dari
pemilik
sistem
jaringan
komputer
yang
dimasukinya. Perbuatan ini merupakan kejahatan illegal access yaitu melakukan akses secara tidak sah. Penulis menyamakan sistem dunia maya dengan rumah karena di dunia maya juga mempunyai account-account atau ruang-ruang yang mempunyai pintu dan dipasang kunci (password dan username) untuk masuk ke dalamnya. Sama halnya dengan rumah yang memiliki pintu dan kunci untuk masuk dan menjaga keamanan harta benda di dalam rumah pemiliknya. Salah satu contoh, kasus yang terjadi pada tahun 2004, seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface atau mengubah halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara SQL (Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP (Internet Protocol) tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil meng-update daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam meng-hack yakni melalui teknik spoofing (penyesatan). Dani melakukan hacking dari IP public PT Danareksa (tempat dia bekerja) 202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy Anonymous Thailand 208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, dan berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik peserta pemilu. 3. Hukum Al-Asl (hukum syara‟ yang ditentukan nash atau ijma’) Dalam Surat An-Nur ayat 27-28 memberikan pemahaman, bahwa isti’dzan (meminta izin) sebelum memasuki rumah orang lain
53
hukumnya wajib. Ketentuan ini dibuat untuk mencegah kerusakan moral. Sebagai contoh, bila seseorang memasuki rumah orang lain tanpa permisi, kemudian melihat barang berharga. Setan bisa memasukkan niat buruk ke dalam hati sang tamu. Banyak kerusakan moral sejenis yang bisa dicegah bila mengikuti petunjuk Allah SWT.72 Jadi, dilarang memasuki rumah orang lain tanpa izin bahkan sampai melakukan tindakan yang dilarang oleh syara‟ seperti pencurian atau perusakan. Hal ini terbaca jelas dari bunyi ayat tersebut „...janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin...’ 4. Al-‘Illat ( sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk suatu hukum ) Dalam penentuan illat ada tiga cara untuk mengetahuinya yaitu dengan nash, ijma atau as-sabr wa taqsim.73 Dalam kasus memasuki rumah tanpa izin dengan akses secara tidak sah atau tanpa izin bisa disamakan karena suatu illat, yaitu memasuki rumah tanpa izin. Menentukannya dengan denagn melihat illat yang ditunjukan oleh nash pada kata yang digunakan lam ( )لyang mengandung isyarah larangan. Maka setiap perbuatan yang menyangkut milik orang lain harus meminta izin, seperti meminjam atau meminta baik barang yang sederhana ataupun barang yang lainya harus diizinkan oleh pemiliknya. Tetapi dalam hukum syara‟ tidak dijelaskan mengenai hukuman bagi orang yang memasuki orang tanpa izin. Perbuatan yang belum 72
http://imtiazahmad.com/reminders/in_etika_bertamu.html diakses pada tanggal 12 Maret 2011 pukul 00.44 WIB 73 A.Djazuli dan Nurol Aen, Op.cit, h.148-150
54
diatur dalam nash maka akan di beri hukuman ta’zir. Ahmad Wardi Muslich juga menyatakan bahwa salah satu ciri khas dari jarimah ta’zir adalah hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.74 Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan memasuki rumah orang lain tanpa izin karena telah memenuhi rukun-rukun yang telah ditentukan dalam qiyas. Sehingga hukuman dalam perbuatan memasuki rumah tanpa izin dapat pula dijadikan hukuman perbuatan cyber crime ini. Dalam kasus memasuki rumah tanpa izin tidak ada nash ataupun hadist yang menjelaskan hukuman terhadap perbuatan ini maka hukumannya berupa ta’zir. Ta’zir merupakan suatu hukuman yang berupa pemberian pelajaran kepada pelaku kejahatan, untuk memberikan rasa jera kepada pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah segala macam bentuk kejahatan. Hukuman ta’zir diserahkan kepada hakim baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Baik hukumannya itu berupa kurungan penjara, pengasingan, cambuk, sampai pada hukuman mati sesuai dengan tingkat mudharat yang telah dilakukannya. Hal ini sangat relevan jika diterapkan di Indonesia, karena Indonesia sendiri dalam penerapannya banyak menggunakan hukuman ta’zir.
74
Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.19
55
Pemberlakuan undang-undang ITE ini dalam perspektif
fiqih
jinayah dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan dunia mayantara (cyber crime). Sesuai dengan UU ITE 2008 bahwa hukuman terhadap orang melakukan tindak pidana pengaksesan sistem elektronik akan dihukum penjara atau denda seperti yang tercantum dalam pasal 46 UU ITE. Dalam penerapan hukuman yang digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana pengaksesan sistem elektronik, antara UU ITE dan Hukum Pidana Islam memiliki persamaan. Seperti dalam macam-macam hukuman ta’zir, dimana disitu terdapat
hukuman
yang berkaitan dengan
kemerdekaan yaitu dilakukan hukuman penjara dan hukuman ta’zir yang berkaitan dengan perampasan harta, bagi orang yang melakukan perbuatan jarimah. Hukuman ta’zir merupakan suatu hukuman pemberian pelajaran kepada pelaku kejahatan agar timbul rasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Hal ini tentu sejalan dan relevan untuk diterapkan di Indonesia, karena sesuai dengan hukum yang diterapkan dalam UU ITE.
B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah Berbeda lagi mengenai kasus pencurian dokumen elektronik yang diatur dalam pasal 32 ayat (2), sebagai berikut : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik
56
dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.”75 Perbuatan ini dapat dipidana dengan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 48 ayat (2), yaitu dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Kasus mengenai pencurian dokumen elektronik sudah banyak terjadi. Modusnya pun bermacam-macam mulai dari pencurian data pribadi seseorang sampai pencurian dokumen elektronik milik negara. Dampak dari tindak kejahatan ini tentu akan sangat merugikan korbannya. Kasus pencurian dokumen elektronik ini juga merupakan kasus yang baru terjadi di zaman modern saat ini. Dalam hukum pidana Islam tidak ada nash ataupun hadist yang mengatur tentang hal ini. Untuk menentukan hukuman bagi pelaku pencurian dalam hukum pidana Islam penulis menggunakan metode ijtihad qiyas untuk menyamakan dengan kasus pencurian (sariqoh) yang terjadi dalam dunia nyata. Oleh karena itu perbuatan tersebut harus memenuhi rukunrukun qiyas, yaitu: 1. Al-Aslu Dalam Islam sudah nash yang mengatur tentang jarimah pencurian yaitu surat Al-Maidah ayat 38:
“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan 75
Siswanto Sunarso, op.cit, h.238
57
pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”76 2. Al-Far’u Data Theft (pencurian data/dokumen elektronik) merupakan kejahatan memperoleh data komputer secara tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain. Pencurian data merupakan perbuatan yang telah mengganggu hak pribadi seseorang, terutama jika pemilik data tidak menghendaki ada orang lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya tersebut. Seperti kasus yang terjadi beberapa waktu lalu pada April 2011, ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) mengalami sebuah insiden pencurian yang terdiri dari berbagai barang terdiri dari laptop, komputer dan CPU, hard disk eksternal, voice record, kamera dan beberapa file penting yang kebanyakan berisi data-data advokasi.77 3. Hukum Al-Asl Dalam ayat ini memberikan penjelasan bahwa setiap kejahatan ada hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman. Begitu pula halnya seorang pencuri akan dikenakan hukuman karena ia melanggar larangan mencuri. Seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diamdiam, dinamakan "pencuri". 76
Departemen Agama RI, op.cit, h.103-104 Pencurian Data Kajian Pluralisme di Kantor ANBTI dalam http://anbti.org/content/pencurian-data-kajian-pluralisme-di-kantor-anbti diakses pada tanggal 17 September 2011 pukul 10.03 WIB 77
58
Seorang yang telah akil baligh mencuri harta orang lain dari tempatnya yang nilainya sekurang-kurangnya seperempat dinar dengan kemauannya sendiri dan tidak dipaksa dan mengetahui bahwa perbuatannya itu haram dan dilarang oleh Agama, maka orang itu sudah memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan kanan, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam ayat ini. 4. Al-‘Illat Dalam kasus pencurian dokumen elektronik degan kasus pencurian bisa disamakan karena suatu illat yaitu mengambil harta orang lain dari tempat yang layak secara diam-diam. Penentuan illat dalam kasus ini dilihat dari nashnya yang terdapat pada kata as-sariqu wassariqotu ()السرق والسرق ة. Maka setiap pencurian dokumen elektronik yang terdapat illat mengambil harta orang lain dari tempat yang layak secara diam-diam dapat disamakan dengan pencurian mengenai hukumnya dan termasuk perbuatan jarimah. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pencurian dokumen elektronik dapat disamakan dengan sariqah karena telah memenuhi rukunrukun dalam qiyas. Tetapi ada yang berbeda antara kedua kasus ini mengenai bentuk objek pencurian (harta curian) walaupun keduanya samasama memiliki nilai. Sehingga hukuman yang diberikan kepada pelaku pencurian dilihat dari harta curiannya mencapai nisab atau tidak. Dalam bukunya Topo Santoso mendefinisikan pencurian sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam (tanpa
59
sepengetahuan pemiliknya) dengan itikad tidak baik.78 Pencurian dokumen elektronik sama halnya dengan pencurian harta karena dokumen elektronik juga mempunyai nilai bagi pemiliknya. Topo Santoso juga menjelaskan bahwa hukuman potong tangan dalam pencurian hanya bisa dijatuhkan jika terpenuhi syarat, yaitu:79 1. Harta yang dicuri itu diambil secara diam-diam, dengan tanpa diketahui 2. Barang yang dicuri harus memiliki nilai 3. Barang yang dicuri harus disimpan dalam tempat yang aman, baik dalam penglihatan maupun di suatu tempat yang aman. 4. Barang yang dicuri harus milik orang lain 5. Pencurian itu harus mencapai nilai minimum tertentu (nisab). Imam Malik mengukur nisab tadi sebesar ¼ dinar atau lebih. Pendapat Imam Malik di atas sesuai dengan hadist berikut:
ُهللا ْن َع ُهللا ْنا َع ُهللا ٍ ِئ ْن ُهللا َع اِئ
ِئ َع َع َّن َع ا َّن ْن ْن ِئ ْن
ُّي َع َّن ُهللا َع َع ْن ِئ ًد َع َع َع ُهللا َع ْن ُهللا َع َع ْن َع ٌر َع ِئ ُّي ال
ا َّنل ِئ َع ِئ ْن
َع َع َع َع ِئ ْن َعل ٍ َع ْن ُّي ال ْن
َع ْن َع ِئا ِئ ْن ُهللا ُهللا ِئ َع ْن ُهللا َع ِئ
Dari Aisyah r.a Nabi saw. Bersabda: “Tangan dipotong dalm mencuri seperempat dinar ke atas”. Abdurrahman bin Kholid, anak saudara Zukhri dan Ma‟mar telah mengikutinya.80
78
Topo Santoso, op.cit, h.28 ibid, h.28-29 80 Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII, Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1993, h.628 79
60
Pendapat Imam Syafi‟i sama dengan Imam Malik di atas, tetapi terdapat perbedaan antara mereka yaitu pada penentuan nilai antara emas dan perak. Dalam hal ini, Imam Syafi‟i menetapkan nilai emas sebagai ukuran. Imam Syafi‟i mendasari pendapatnya ini kepada hadist Aisyah r.a.81 Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu 10 dirham atau 1 dinar dan tidak wajib dikenai hukuman potong tangan pada pencuri harta dalam keluarga yang mahram, karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya sampai seterusnya ke bawah. Demikian pula sebaliknya, anak tidak dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Menurut Imam Abu Hanifah tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara suami istri.82 Penulis menggunakan nisab sebesar ¼ dinar karena dari beberapa hadist yang penulis temukan menyatakan nisab pencurian sebesar ¼ dinar dan ada sebagian yang menggunakan takaran sebesar 3 dirham. Apabila 1 dinar = 10 dirham, maka 3 dirham hampir setara dengan ¼ dinar. Apabila melihat nisab pencurian yaitu sebesar ¼ dinar. Di Indonesia 1 dinar = emas 4, 25 gram83, maka ¼ dinar = 1, 0625 gram. Jika di hitung dalam 81
Mohc. Said Ishak, Hudud dalam Fiqh Islam, Johor Darul Ta‟zim: Universiti Teknologi Malaysia, 2000, h.38 82 Djazuli, op.cit, h.76 83 http://www.dinar-online.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.15 WIB
61
bentuk rupiah sekarang ini 1 gram emas = Rp 311.066,0084 maka ¼ dinar senilai Rp 311.260,00. Oleh sebab itu benda yang dicuri harus senilai yang telah disebutkan di atas. Sehingga dalam kasus pencurian hukumannya pun akan berbeda, melihat dari kasusnya memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan atau tidak. Untuk kasus pencurian dokumen elektronik dalam UU ITE 2008 semua syarat pencurian bisa terpenuhi kecuali syarat kelima yaitu memenuhi nisab, karena masing-masing dokumen elektronik mempunyai nilai berbeda. Tetapi tentu sulit untuk menentukan nilai dari suatu dokumen elektronik, karena barangnya berupa benda maya dan tiap dokumen elektronik mempunyai fungsi dan nilai yang berbeda. Menurut penulis untuk menentukan nisab pencurian dokumen elektronik dapat dilihat dari kerugian yang ditanggung oleh korbannya. Adapun kerugian diderita oleh korban bisa berbentuk materil ataupun immateril. Seperti contoh dokumen elektronik rahasia milik negara yang dicuri oleh negara lain tentunya tindakan itu akan sangat merugikan negara secara moril maupun materil, maka pelaku sudah memenuhi syarat-syarat jarimah pencurian. Kemudian pencuri yang mengambil data diri seseorang dan data tersebut digunakan untuk perbuatan yang tidak baik sebagai contoh pencemaran nama baik. Hal tersebut juga merugikan pemiliknya dari segi moral.
84
http://geraidinar.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.30 WIB
62
Dalam pembuktian hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pencurian, ada beberapa macam yaitu dengan saksi, pengakuan dan sumpah.85 Pertama, saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian, dua orang laki-laki atau seorang laki-laki atau dua orang perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang laki-laki maka pencuri tidak dikenakan hukuman. Untuk dapat diterimanya persaksian, harus memenuhi syarat-syarat umum yang berlaku untuk semua jenis persaksian dalam setiap jarimah. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut: 1. Baligh (dewasa) 2. Berakal 3. Kuat Ingatan 4. Dapat Berbicara 5. Dapat Melihat 6. Adil 7. Islam 86 Kedua, pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian. Menurut Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang, alasannya adalah bahwa suatu pengakuan ini merupakan suatu pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah jika diulangulang.87 Ketiga, dengan sumpah. Dikalangan ulama syafi‟iyah, ada pendapat yang menyatakan bahwa pencurian bisa dibuktikan berdasarkan 85
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004, h.88 Ibid, h. 43-47 87 Ibid, h. 53 86
63
sumpah yang dikembalikan (kepada penuduh). Tetapi pendapat tersebut tidak mewajibkan hukuman potong tangan atas tindak pidana pencurian kecuali berdasarkan kesaksian dan pengakuan. Pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebagian fukaha berpendapat pembuktian di atas dapat berlaku apabila ada gugatan dari pemiliknya tetapi jika tidak ada gugatan dari pemiliknya tidak bisa di hukum potong tangan, pelaku hanya dihukum ta’zir.88 Dalam surat Al-Maidah ayat 38 telah dijelaskan bahwa hukuman bagi pencuri laki-laki ataupun perempuan adalah potong tangan. Tetapi tidak semua pencurian dokumen elektronik bisa dihukum potong tangan. Dilihat dari kasus pencuriannya itu memenuhi syarat-syarat pencurian atau tidak dan juga dalam pembuktiannya. Tetapi pada realitanya karena di Indonesia mempunyai hukum sendiri maka hukuman tersebut tidak bisa terlaksana sebagaimana yang telah dinyatakan diatas. Sehingga hukuman yang didapatkan oleh pelaku tindak pidana pencurian ini turun menjadi hukuman ta’zir karena dalam penerapannya hukum di Indonesia menganut UU ITE untuk menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian dokumen elektronik diserahkan kepada hakim yang berwenang. Sesuai dengan ketentuan pidana yang tertera dalam pasal 48 ayat (2) UU ITE 2008, yang didalamnya menyatakan hukuman bagi pelaku tindak pidana ini penjara dan denda.
88
Abdul Qadir Audah,..... jilid V, Op.cit, h.165-166
64
C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem Elektronik Pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh Jinayah Sedangkan untuk kasus perusakan sistem elektronik merupakan salah satu kasus yang paling mengerikan sekarang ini. Salah satu contohnya perusakan sistem elektronik dengan cara memasukkan virus atau suatu program, sehingga sistem yang ada didalamnya akan terganggu dan berakibat pada rusaknya suatu sistem elektronik. Dalam UU ITE 2008 telah diatur mengenai perbuatan tersebut dalam pasal 33, yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”89 Kemudian ketentuan pidananya diatur dalam pasal 49 UndangUndang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah). Munculnya informasi tidak lepas dari upaya perusakan yang berakibat fatal bagi kemaslahatan hidup masyarakat. Dasar hukum Islam mengenai perbuatan tersebut belum didapatkan karena dalil yang ada tidak menyebutkan secara jelas perbuatan merusak sistem elektronik atau komputer. Padahal akibat yang ditimbulkan kurang lebih sama dengan
89
Siswanto Sunarso, op.cit, h.238
65
orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketenteraman. Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian dari segi fisik atau materi. Dalam
penentuan
hukuman
pelaku
jarimah
ini
penulis
menggunakan metode qiyas untuk menyamakan kasus perusakan sistem elektronik dengan kasus perusakan atau kasus orang yang mengganggu keamanan (hirabah) yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu perbuatan tersebut harus memenuhi rukun qiyas, yaitu: 1. Al-Ashlu Dalil mengenai orang yang berbuat kerusakan di dunia, dalam surat Al-Maidah ayat 33:
“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha memperbuat bencana di muka bumu, bahwa mereka itu dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Balasan itu adalah suatu kehinaan bagi mereka di dunia dan untuk mereka itu dikahirat siksaan yang besar.”90 2. Al-Far’u Cyber Sabotage and Extortion merupakan Kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran 90
Deparetemen Agama RI, op.cit, h.104
66
terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. 3. Hukum Ashl Orang-orang
yang
mengganggu
keamanan
dan
mengacau
ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat, merusak kepentingan umum seperti membinasakan ternak, merusak pertanian dan lain-lain, mereka dapat dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang atau diasingkan. Menurut jumhur, hukuman bunuh itu dilakukan terhadap pengganggu keamanan yang disertai dengan pembunuhan, hukuman salib sampai mati dilakukan terhadap pengganggu keamanan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta, hukuman potong tangan bagi yang melakukan perampasan harta dengan hukuman terhadap pengganggu keamanan yang disertai ancaman dan menakut-nakuti. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum buangan itu boleh diganti dengan penjara. Hukuman pada surat Al-Maidah ayat 33 ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerap kali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, pengrusakan dan lain-lain.
67
Oleh sebab itu kesalahan-kesalahan ini oleh siapapun tidak boleh diberi ampunan. 4. Al-Illat Kedua perbuatan ini dapat disamakan karena suatu illat yaitu mengganggu keamanan. Penentuan illatnya berdasarkan nash yang terlihat jelas pada kata ( )ويسعون. Dilihat dari kasus tersebut, kerugian yang ditimbulkan dari aktifitas ini (defacement, logicbomb, DoS) tidak bisa dibilang kecil. Sebagai contoh bagaimana seandainya situs milik bank diserang oleh black hat hacker dengan ketiga metode di atas, berapa ribu nasabah akan dirugikan dan berapa kerugian dari bank yang bersangkutan. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kasus perusakan sistem elektronik dalam penjatuhan hukumannya dapat dihukum dengan hukuman hirabah karena telah memenuhi rukun-rukun qiyas yang telah ditentukan. Perbuatan merusak sistem elektronik dianggap sama dengan pengacau keamanan yang menimbulkan kerugian moral maupun materil bagi masyarakat umum. Menurut sebagian pendapat hukuman bagi pelaku hirabah berbeda sesuai dengan perbuatannya. Untuk perusakan sistem elektronik hukumannya disamakan dengan pelaku hirabah yang mengambil harta secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Memang dilihat secara nyata perbuatan ini berbeda tetapi alasan penulis menyamakan dengan mengambil harta secara terang-terangan karena pada tindak pidana
68
perusakan sistem elektronik ini pelaku menghancurkan sistem elektronik milik perorangan atau instansi dengan maksud yang tidak baik dan sistem elektronik yang dirusak merupakan sistem yang menyimpan harta, maksudnya perbuatan perusakan tersebut ditujukan untuk menguasai harta yang ada pada sistem elektronik tersebut tanpa membunuh pemiliknya dan juga dilihat dari kasusnya. Menurut penafsiran Imam Syafi‟i yaitu li tafsil ( penetapan jenis tindak pidana) yang diambil dari penafsiran kata aw () أو, maka ada empat macam tindak pidana hirabah yaitu keluar untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta tanpa membunuh, keluar untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya mengambil harta tanpa membunuh, keluar untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku hanya membunuh tanpa mengambil harta dan keluar untuk mengambil harta secara terang-terangan, kemudian pelaku mengambil harta dan melakukan pembunuhan.91 Seperti contohnya apabila sistem yang diserang ini milik perbankan atau pemerintah yang menyangkut kepentingan umum, maka kerugian yang dialami akan sangat besar. Hukuman bagi pelaku perbuatan tersebut dapat dihukum potong tangan dan kaki secara bersilang. Topo Santoso menjelaskan dalam bukunya, menurut Imam Zahiri sanksi hirabah diserahkan kepada Ulil Amri untuk memilih hukuman mana yang sesuai dengan kemaslahatan
91
Achmad Wardi Muslich, Op.cit, h.95
69
umum, tetapi tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi yang ditentukan dalam surat Al-Maidah ayat 33.92 Apabila melihat dari hukuman yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa hukuman tersebut tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena dianggap tidak manusiawi sehingga hal tersebut bisa saja dianggap melanggar hak azasi manusia. Indonesia merupakan negara yang mempunyai hukum yang telah berlaku, sehingga hukuman yang diterapkan sesuai dengan yang tertera dalam pasal 49 UU ITE 2008 dan untuk penentuannya dan pelaksanaannya diserahkan kepada hakim, dengan kata lain hukumannya turun menjadi hukuman ta’zir yang sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam UU ITE 2008 pelaku perusakan sistem elektronik dikenai hukuman penjara dan denda walaupun dengan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kasus lainnya. Menurut penulis untuk pelaku kejahatan ini hukuman yang terdapat dalam UU ITE tidak efektif dan kurang menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak kejahatan ini karena akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini menyangkut kemaslahatan umum walaupun pelaku kejahatan ini mendapat hukuman dengan jangka waktu penjara paling lama dibanding dengan tindak kejahatan cyber lainnya. Dengan adanya UU ITE diharapkan mampu mencegah meluasnya kejahatan dibidang cyber karena saat ini kemajuan teknologi telah mencakup semua aspek dalam kehidupan masyarakat.
92
Topo Santoso, op.cit, h. 30
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis bahas mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dalam Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Dalam Islam tindak pidana pengakesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin yang diatur dalam pasal 30 Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diibaratkan seperti memasuki rumah orang lain tanpa izin, perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Untuk menentukan hukuman pelaku perbuatan tersebut, penulis menggunakan metode ijtihad qiyas. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah memasuki rumah tanpa izin dengan ketentuan surat An-Nur ayat 27-28. Yang menjadi al-far’u adalah tindak pidana pengaksesan sistem elektronik. Sedangkan yang menjadi hukum asl adalah larangan memasuki rumah orang lain tanpa izin. Tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan memasuki rumah tanpa izin karena mempunyai persamaan illat yaitu tanpa izin. Dengan terpenuhinya rukun-rukun qiyas maka hukuman bagi pelaku tindak pidana pengaksesan sistem elektronik bisa di samakan dengan memasuki rumah tanpa izin. Dalam nash tidak disebutkan hukuman bagi pelaku tindak pidana ini maka hukumannya diserahkan kepada Ulil Amri
70
71
yaitu ta’zir. Sesuai yang diterapkan dalam UU ITE hukumannya berupa penjara atau denda. 2. Untuk kasus pencurian dokumen elektronik diatur dalam 32 ayat (2) Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah sariqoh dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 38. Yang menjadi al-far’u adalah pencurian dokumen elektronik. Sedangkan hukum asl adalah hukuman potong tangan. Pencurian dokumen elektronik dapat disamakan dengan sariqoh karena mepunyai persamaan illat yaitu mengambil harta dari tempat yang layak secara diam-diam. Hukuman bagi pelaku pencurian dokumen elektronik dapat dihukum potong tangan apabila harta curian mencapai nisab yaitu ¼ dinar, apabila tidak mencapai nisab maka dikenai hukuman ta’zir. Untuk menentukan nisabnya dilihat berdasarkan kerugian yang diderita korban karena dokumen merupakan benda maya yang sulit untuk menentukan nilai dari benda tersebut. Hukuman tersebut bisa dijalankan apabila telah memenuhi syarat-syarat pencurian dan pembuktiannya. Tetapi pada realitanya hukuman tersebut tidak bisa di jalankan sehingga hukuman yang diberikan turun menjadi hukuman ta’zir, sesuai dengan UU ITE yang berlaku di Indonesia. 3. Sedangkan kasus perusakan sistem elektronik diatur dalam pasal 33 Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam qiyas ini yang menjadi al-aslu adalah hirabah
72
dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 33. Yang menjadi al-far’u adalah perusakan sistem elektronik. Sedangkan hukum asl adalah hukuman salib, potong tangan dan kaki secara bersilang atau dibunuh. Perusakan sistem elektronik dapat disamakan dengan hirabah karena mepunyai persamaan illat yaitu mengganggu keamanan. Untuk penerapan hukuman perusakan sistem elektronik disamakan dengan mengambil harta secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya sehingga hukumannya adalah potong tangan dan kaki secara bersilang. Tetapi hukuman tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia karena bisa dianggap melanggar hak azasi manusia sehingga hukum yang berlaku kemudian turun manjadi hukuman ta’zir sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam UU ITE 2008. B. Saran Berdasarkan penelitian di atas maka disarankan kepada para pengguna internet agar mematuhi norma–norma serta harus beretika baik ketika sedang menjelajahi dunia maya. Selain itu saran juga ditujukan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah Indonesia
melalui
Departemen Informasi
dan
Teknologi
agar
meningkatkan kinerja dibawah ini yakni : 1. Menerapkan UU ITE secara optimal di Indonesia, karena masih banyak sekali kasus-kasus yang belum terjamah oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
73
2. meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3. meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkaraperkara yang berhubungan dengan cyber crime.
4. meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cyber crime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.
5. meningkatkan kerjasama antarnegara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cyber crime. C. Penutup Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik dalam UndangUndang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun, guna menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
74
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994 Al-Bukhori, Imam Abdullah Muhammad bin Ismail, Terjemah Shahih Bukhori juz VIII, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993. Arief , Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara (Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia), Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2006. Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993. As-Shiddieqy, Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Edisi Kedua), Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 2001. Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007. ------------------------, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007. Bambang Waluyo, S.H. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. AlMa’arif, 1992. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008
75
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”, Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2000 Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1947. Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009. Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum, Sumatera Utara, 2010. Hamzah, Andi, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Hanafi, Ahmad, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2002. Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995 Husein, Syahrudin, Kejahatan dalam Masyarakat dan Penanggulanggannya, Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003. Ishak, Moch. Said, Hudud Dalam Fiqh Islam, Johor: Darul Ta’zim: 2000. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group), 1994.
76
Mansur, Didik M.Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1986. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000 Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986 Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004. ---------------------------, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004. Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi Kasus Prita Mulyasari), Jakarta : Rineka Cipta, 2009. Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010. Wahid, Abdul dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Bandung: PT Refika Aditama, 2005. Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
77
B. Internet Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian Terhadap
Status
Hukum
Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/i mplementasi-metode-qiyas-dalam-penilaian-terhadap-statushukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19 Desember 2011 jam 19.55 WIB detik.com digital live dalam http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/danifirmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.36 WIB Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h. 306 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_noteNapel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.59 WIB http://geraidinar.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.30 WIB http://www.dinar-online.com/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.15 WIB Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999 dalam http://business,fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpida na.htm diakses pada tanggal 13 Juli 2011 pukul 20.05 WIB Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akdemik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, November, 2003, h.25 dalam
78
http://www.gipi.or.id/download/Naskah%20Akademik diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.01 WIB Nasrulloh, Pengertian Kejahatan, http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertiankejahatan.html diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 11.21 WIB NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB Pencurian Data Kajian Pluralisme di Kantor ANBTI dalam http://anbti.org/content/pencurian-data-kajian-pluralisme-dikantor-anbti diakses pada tanggal 17 September 2011 pukul 10.03 WIB Poni, Kejahatan Internet (Cyber Crime) dan Pernak-Perniknya, http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahataninternetcybercrime-dan-segala-macam-pernak-perniknya/ diakses tanggal 26 Juni 2011 pukul 16.50 WIB The Reff All, Pengertian Diyat dalam http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.07 WIB Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister Hukum, Bandung, 2010 dalam http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIA
79
N_TERHADAP_CYBER_CRIME.pdf diakses tanggal 23 Juni 2011 pukul 21.41 WIB Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir, dalam http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada tanggal 30 Juli 19.09 WIB
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa; c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru; d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional; e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Mengingat :. . .
2
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK.
INFORMASI
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. 3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. 4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 5. Sistem . . .
3
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. 6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. 7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya duaSistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka. 8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang. 9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik. 10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik. 11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam TransaksiElektronik. 12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. 13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik. 14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan. 15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. 16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya. 17. Kontrak . . .
4
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. 18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. 19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim. 20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. 21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. 22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden. Pasal 2 Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalamUndang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukumIndonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/ataudi luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentinganIndonesia.
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 3 Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Pasal 4 . . .
5
Pasal 4 Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK Pasal 5 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal 6 . . .
6
Pasal 6 Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Pasal 7 Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 8 (1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim. (2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak. (3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem Elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik, penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik yang ditunjuk. (4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka: a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada di luar kendali Pengirim; b. waktu . . .
7
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali Penerima. Pasal 9 Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pasal 10 (1) pelaku usaha yang menyelenggarakan Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Keandalan. (2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat dengan Peraturan Pemerintah.
Transaksi Sertifikasi Sertifikasi (1) diatur
Pasal 11 (1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait. (2) Ketentuan . . .
8
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 (1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya. (2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak; b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehatihatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik; c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika: 1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau 2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut. (3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. BAB IV . . .
9
BAB IV PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
(1)
(2)
(3)
(4) (5) (6)
Bagian Kesatu Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik Pasal 13 Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan Elektronik. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas: a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di Indonesia harus terdaftar di Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14 Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa, yang meliputi: a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan; b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.
Bagian Kedua . . .
10
Bagian Kedua Penyelenggaraan Sistem Elektronik Pasal 15 (1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. (2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik. Pasal 16 (1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan; b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB V . . .
11
BAB V TRANSAKSI ELEKTRONIK Pasal 17 (1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat. (2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 18 (1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. (2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. (3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. (4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. (5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Pasal 19 Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. Pasal 20 . . .
12
Pasal 20 (1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima. (2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 21 Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik. Pasal 22 . . .
13
Pasal 22 (1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI Pasal 23 (1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. (2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain. (3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud. Pasal 24 (1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masyarakat. (2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih sementara pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan. (3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indonesia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 . . .
14
Pasal 25 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 26 (1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundangundangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. (2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(1)
(2)
(3)
(4)
BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG Pasal 27 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 . . .
15
Pasal 28 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 31 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap . . .
16
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. (3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Pasal 33 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pasal 34 . . .
17
Pasal 34 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Pasal 35 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pasal 36 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. BAB VIII . . .
18
BAB VIII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 38 (1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian. (2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 39 (1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. BAB IX PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT Pasal 40 (1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi. (4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data. (5) Instansi . . .
19
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 41 (1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. (3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi. BAB X PENYIDIKAN Pasal 42 Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 43 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. (2) Penyidikan . . .
20
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat. (4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. (5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan; h. meminta . . .
21
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. (6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. (7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum. (8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti. Pasal 44 Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap . . .
22
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 46 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 47 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 48 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap . . .
23
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 49 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 50 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 51 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 52 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok. (2) Dalam . . .
24
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga. (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 53 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 (1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. (2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
Agar. . .
25
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI: Nama Lengkap
: Fajrin Widiyaningsih
Tempat, Tanggal Lahir
: Semarang, 20 Mei 1989
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Raya Moga-Pulosari RT/RW 04/06 No.116 Banyumudal-Moga, Pemalang 52354
No. HP
: 085876136888
PENDIDIKAN FORMAL :
SD Negeri 07 Banyumudal, Pemalang
lulus tahun 2001
SMP Negeri 01 Moga, Pemalang
lulus tahun 2004
SMA Negeri 01 Randudongkal, Pemalang
lulus tahun 2007
PENGALAMAN ORGANISASI :
Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
Bendahara HMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2010
tahun 2009
Semarang, 7 November 2011 Penulis,
Fajrin Widiyaningsih NIM. 072211020