36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa Uji sitotoksisitas senyawa aktif golongan poliketida daun sirsak (A.
muricata L.) terhadap sel HeLa dilakukan untuk menentukan nilai LC50 (lethal concentration 50). Nilai LC50 merupakan nilai yang menunjukkan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan 50% dari organisme uji, nilai LC50 sama dengan nilai IC50 (inhibition concentration 50) yang menunjukkan daya hambat suatu senyawa sehingga sel terhambat pertumbuhannya atau mati (Harfia, 2006). Pada penelitian ini nilai LC50 nantinya akan digunakan sebagai standar perlakuan pada pewarnaan IHC (Imunohistokimia). Preparasi sel HeLa merupakan kegiatan awal sebelum melakukan uji sitotoksisita pada sel HeLa. Preparasi diawali dengan pengkulturan sel HeLa hingga kerapatannya 438X 104 yang memiliki prosentase 85%, dan dikatakan konfluen atau sudah mencapai jumlah yang dibutuhkan dengan ciri – ciri sel tersebut sudah menempel dan berkembang memenuhi wadah kultur menutupi luas permukaan dari flask culture (Gambar 6). Pengkulturan sel HeLa dengan media Rosewell Park Memorial Institute (RPMI) hingga mencapai prosentase hidup 80-90 % dikatakan layak untuk dilakukan uji sitotoksisitas (Meiyanto dan Septisetyani, 2005). Media RPMI digunakan dalam proses pengkulturan karena media ini dapat mendukung pertumbuhan sel dan biasa digunakan untuk kultur sel seperti sel HeLa, Media RPMI tersusun atas Fetal Bovine Serum (FBS), penisillin-streptomisin, dan fungizone (Freshney, 2000). Ketiga komponen yang terkandung dalam media
36
37
mengandung asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa yang menunjang kehidupan sel HeLa (Lampiran 3) (Juwita, 2005; Djati, 2006).
Gambar 6. Sel HeLa didasar tissue flask yang siap diberi perlakuan pada berbesaran 100X dan skala 1:16 (ditunjuk dengan panah biru). Sel HeLa memiliki sifat semi melekat pada flask culture sehingga untuk melepaskannya memerlukan tripsin yang berfungsi untuk melepaskan interaksi antara molekul glikoprotein dan proteoglikan dengan permukaan tissue flask hingga sel tidak dapat melekat di dasar flask culture (Doyle and Griffith, 2000). Kerja tripsin dapat terhambat oleh media RPMI, sehingga sebelum pemberian tripsin terlebih dahulu media dibuang dan dibilas dengan Phospate Buffer Saline (PBS), PBS akan membersihkan media dan akan memperlancar kerja tripsin (Freshney, 2005). Kerja tripsin terlihat dengan nampaknya morfologi sel HeLa yang awalnya berbentuk agak runcing melekat di dasar tissue flask, terlihat berbentuk bulat karena tidak melekat pada dasar tissue flask (Gambar 7). Penggunaan tripsin pada cara kerja hanya 500 μl dari volume total 10000 μl, hal ini dikarenakan penggunaan tripsin yang terlalu banyak dapat menyebabkan sel mengalami kerusakan karena
38
tripsin menghambat sel untuk memanfaatkan nutrisi yang terkandung pada media RPMI (CCRC, 2010).
Gambar 7. Sel HeLa berbentuk bulat di dalam tissue flask setelah diberi tripsin perbesaran 100X dan skala 1:16 (ditunjuk dengan panah biru). Isolat senyawa aktif golongan poliketida daun sirsak yang diisolasi oleh Dewangga (2015), diuji sitotoksisitas terhadap sel HeLa menggunakan metode MTT assay untuk mengetahui nilai IC50 yang nantinya secara tidak langsung menunjukkan nilai LC50. Pada pengujian digunakan 3 kelompok konsentrasi yang berbeda yaitu kelompok : Variasi Konsentrasi 1 : 10 µg/ml; 15 µg/ml; 20 µg/ml; 25 µg/ml; 50 µg/ml; 75 µg/ml; 90 µg/ml; 100 µg/ml (Dewangga, 2015). Variasi Konsentrasi 2 : 25 µg/ml; 50 µg/ml; 60 µg/ml; 75 µg/ml; 90 µg/ml; 110 µg/ml; 125 µg/ml; 150 µg/ml (Atmoko dan Ma’ruf, 2009). Variasi Konsentrasi 3: 3,9 µg/ml; 7,81 µg/ml; 15,62 µg/ml; 31,25µg/ml; 62, et al., 2014) (Gambar 8). Setelah diberi perlakuan kemudian sel HeLa di inkubasi selama 24 jam, inkubasi ini bertujuan untuk memaksimalkan kerja dari isolat. Pada Gambar 8 terlihat perbedaan warna antara tissue culture sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi, perbedaan warna ini menunjukkan adanya reaksi isolat dengan sel HeLa. Warna ungu seperti kontrol media menunjukkan konsentrasi isolat berefek pada sel Hela, sedangakan warna
39
kuning emas seperti kontrol menunjukkan konsentrasi tidak terlalu berefek pada sel Hela.
Gambar 8. Mapping Sel HeLa pada tissue culture 96 well setelah perlakuan (keterangan : A. sebelum diinkubasi 24 jam, B. setelah diinkubasi 24 jam). Sel HeLa yang telah diinkubasi 24 jam mengalami kematian terlihat pada Gambar 9. Karakteristik morfologi sel-sel hidup berbentuk bulat dengan dinding sel yang bersinar dan menempel pada tissue culture bagian bawah karena sel mampu melakukan metabolism dengan memanfaatkan nutrien pada media (Gambar 9). Sel yang mati berwarna gelap dan tidak menempel pada dasar tissue culture dan tidak melakukan metabolisme, karena sel yang mati kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan dan memberikan energi bagi fungsi metabolik serta pertumbuhan sel (Pebriana et al., 2008).
Gambar 9. Morfologi sel HeLa setelah dilakukan perlakuan dengan konsentrasi 90 µg/ml, perbesaran 100X dan skala 1:16 (A sel mati, B sel hidup).
40
Penggunaan metode MTT Assay memiliki beberapa keuntungan yaitu sederhana, efisien dan sensitif sehingga banyak digunakan dalam uji sitotoksik. Prinsip MTT Assay adalah spektroskopi dengan menentukan nilai absorbansi formazan. MTT akan diserap ke dalam sel dan masuk ke dalam sistem respirasi sel dalam mitokondria. Mekanisme kerja enzim aktif dalam sel mitokondria adalah dengan memetabolisme garam tetrazolium, sehingga cincin tetrazolium terputus oleh enzim dehydrogenase, hingga menyebabkan tetrazolium formazan menjadi tidak larut air tetapi larut dalam SDS 10% dan berwarna ungu (Gambar 10) (Pebriana et al., 2008). Penggunaan SDS
10% dimaksudkan untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk, sehingga tidak muncul pengendapan pada saat pembacaan dengan ELISA Reader.
Gambar 10 . Morfologi sel HeLa setelah pemberian MTT assay konsentrasi perlakuan 90 µg/ml perbesaran 100X dan skala 1:16 (panah biru sel sel mati, panah merah sel hidup). Sel HeLa yang telah diberi perlakuan MTT dan didiamkan semalam, kemudian dibaca menggunakan ELISA Reader untuk menentukan nilai absorbansi (Lampiran 2). Panjang gelombang yang digunakan adalah 550 nm, karena panjang gelombang 550 nm merupakan panjang gelombang maksimum untuk mendapatkan pengukuran yang sensitif dan spesifik (Pebriana et al., 2008). Hasil pengamatan sel
41
dengan metode MTT assay dihitung persentase sel hidup dan analisis nilai IC50 dihitung dengan program Microsoft Excel (regresi linear dari log konsentrasi) sesuai Tabel 1, 2, dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat senyawa aktif golongan poliketida memberikan efek pada viabilitas sel HeLa (Tabel 1, 2, dan 3). Nilai rata - rata viabilitas pada kolom ke-4 menunjukkan kemampuan sel untuk mempertahankan kehidupannya. Ketika konsentrasi semakin besar maka nilai absorbansi semakin kecil begitu pula hasil perhitungan nilai rata – rata viabilitas semakin kecil pula. Selain itu nilai kontrol sel diatas 95 % dan kontrol media 0 % , nilai ini menunjukkan bahwa sel HeLa yang digunakan dalam keadaan baik sedangkan media yang digunakan tidak mengalami kontaminasi. Ketiga tabel menunjukkan hasil yang sesuai ketentuan formula untuk mencari nilai IC50 berdasarkan CCRC (2010). Tabel 1. Nilai rata – rata viabilitas sel HeLa setelah perlakuan isolat aktif daun sirsak kelompok variasi konsentrasi 1. Konsentrasi No. Rata-rata viabilitas sel (%) (µg/ml) 1 10 101,14 2 15 99,37 3 20 93,85 4 25 90,39 5 50 97,16 6 75 25,61 7 90 33,34 8 100 36,58 Kontrol sel 99,96 Kontrol media 0,00
42
Tabel 2. Nilai rata – rata viabilitas sel HeLa setelah perlakuan isolat aktif daun sirsak kelompok variasi konsentrasi 2. Konsentrasi No Rata-rata viabilitas sel (%) (µg/ml) 1 25 84,95 2 50 77,83 3 60 67,38 4 75 65,65 5 90 55,76 6 110 39,57 7 125 21,03 8 150 11,83 Kontrol sel 97,96 Kontrol media 0,00 Tabel 3. Nilai rata – rata viabilitas sel HeLa setelah perlakuan isolat aktif daun sirsak kelompok variasi konsentrasi 3. Konsentrasi No Rata-rata viabilitas sel (%) (µg/ml) 1 3,9 76,30 2 7,81 66,71 3 15,62 65,12 4 31,25 54,76 5 62,5 41,17 6 125 24,14 7 175 15,69 8 250 10,29 Kontrol sel 98,35 Kontrol media 0,00
Pada Gambar 11, 12, dan 13 merupakan grafik regresi dari ketiga tabel sebelumnya. Gambar grafik tersebut didapatkan 3 koefisien determinasi (R²) grafik yakni 0,8274; 0,9659; 0,9355. Ke - 3 nilai ini mendekati nilai 1 dan lebih dari 0,6 berarti terdapat korelasi yang signifikan antara viabilitas sel HeLa dengan isolat teraktif daun sirsak. Koefisien determinasi dengan simbol R² merupakan proporsi variabilitas dalam suatu data yang dihitung didasarkan pada model statistik.
43
Koefisien determinasi ini dijadikan sebagai pengukuran seberapa baik garis regresi mendekati nilai data asli yang dibuat model. Jika R² sama dengan 1, maka angka tersebut menunjukkan garis regresi cocok dengan data secara sempurna (Pranatami, 2014). Pada ketiga grafik terdapat persamaan garis y = -0.8526x + 113.21 (Gambar
11), nilai negatif merupakan nilai kebalikan, yang dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi isolat teraktif daun sirsak, maka akan semakin rendah sel HeLa yang hidup (viabilitas sel HeLa semakin rendah) (Kamuhabwa et al., 2008). Hasil yang didapatkan dari uji sitotoksisitas ini mendapatkan tiga nilai LC50. Persamaan regresi yang nampak pada grafik (Gambar 11, 12, dan 13) digunakan dalam mencari nilai LC50 sesuai dengan standard Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) dimana angka 50 dimasukkan untuk menggantikan Y dan nilai X merupakan nilai IC50. Dari persamaan garis pada Gambar 11 didapatkan nilai IC50 74,14 μg/ml, Gambar 12 IC50 90,41μg/ml, Gambar 13 IC50 97,86 μg/ml (Lampiran 4). Nilai IC50 ini lebih kecil dibandingkan dengan penelitian sel HeLa oleh Witianingsih (2014), dimana diperoleh nilai IC50 dari fraksi kloroform A. muricata L. sebesar 166,32 μg/ml. Nilai IC50 < 100 μg/ml sudah dapat dikategorikan sebagai senyawa antiproliferatif, (Kamuhabwa et al, 2000),. Sehingga ketiga uji yang dilakukan bisa dikatakan baik. Pada hasil ke -3 grafik nilai absorbansi dan nilai regresinya isolat daun sirsak dapat bekerja efektif pada konsentrasi > 90 μg/ml ditunjukkan dengan kekonstanan uji yang memiliki nilai IC50 diatas 90 dan kurang dari 100. Kemudian untuk nilai percobaan terbaik adalah pada nilai regresi 0,9656 dengan nilai IC50
44
90,41μg/ml. Nilai regresi (R²) pada uji variasi kedua menunjukkan nilai terbaik yang mendekati angka satu, sehingga terdapat korelasi yang signifikan antara viabilitas sel HeLa dengan isolat teraktif daun sirsak golongan poliketida. Koefisien R² 0,9659 ini mencerminkan seberapa seberapa baik garis regresi mendekati nilai data asli yang dibuat model. Selain itu pada konsentrasi 90 μg/ml pada tabel menunjukkan nilai viabilitas sel mendekati 50 %, sehingga menandakan korelasi IC50 terletak pada konsentrasi berkisar diangka 90 μg/ml (Tabel 2) (Dewangga, 2015). Hal ini menunjukkan hasil terbaik dan kesesuaian dari penelitian yang dilakukan. Sehingga pada pewarnaan IHC digunakan konsentrasi terbaik LC50 yaitu
Viabilitas sel (%)
90,41μg/ml. 120 100 80 60
y = -0.8526x + 113.21 R² = 0.8274
40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi (%)
Viabilitas sel (%)
Gambar 11. Grafik regresi pengaruh konsentrasi isolat daun sirsak dengan viabilitas sel HeLa variasi konsentrasi 1. 100 80 60 y = -0.6279x + 106.77 R² = 0.9656
40 20 0 0
20
40
60
80
100
Konsentrasi (%)
120
140
160
45
Gambar 12. Grafik regresi pengaruh konsentrasi isolat daun sirsak dengan viabilitas sel HeLa variasi konsentrasi 2.
Viabilitas sel (%)
140 120 100 80
y = -0.8358x + 131.79 R² = 0.9355
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi (%) Gambar 13. Grafik regresi pengaruh konsentrasi isolat daun sirsak dengan viabilitas sel HeLa variasi konsentrasi 3 B.
Pewarnaan Imunohistokimia (IHC) dan Peranan Senyawa Aktif Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa dengan Konsentrasi LC50 90,41 μg/ml Pewarnaan IHC bertujuan untuk melihat kadar antibodi atau antigen dalam
sediaan sel (CCRC, 2010). Pada proses pewarnaan IHC terhadap sel HeLa untuk membuktikan peran senyawa aktif golongan poliketida menggunakan konsentrasi 90,41 μg/ml. Sebagai penanda reaksi antara antibodinya menggunakan protein p53, protein p53 merupakan antibodi sekunder berlabel yang akan menyebabkan adanya perubahan warna pada sel HeLa. Sel HeLa yang merupakan sel kanker memiliki protein p53 yang tidak terekspresi karena terjadi mutasi. Penggunaan antibodi sekunder protein p53 bertujuan untuk melihat adanya ekspresi protein p53 pada sel HeLa setelah pemberian isolat aktif golongan poliketida daun sirsak. Reagen yang digunakan dalam proses IHC memiliki fungsi untuk membantu terbentuknya warna. Pemberian methanol berfungsi sebagai rehidrasi
46
selnya. H2O2 berfungsi untuk membersihkan methanol yang digunakan sebelumnya selain itu zat ini juga sebagai bloking yang berfungsi untuk melarutkan zat – zat yang tidak dibutuhkan. Antibodi primer yang tidak berlabel, merupakan anti dari protein p53. Protein p53 merupakan antibodi sekunder yang berlabel yang diberikan setelah antibodi primer. Antibodi sekunder dan antibodi primer bertugas mengenali antigen yang diidentifikasi pada sel (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa streptavidin yang merupakan zat pewarna yang akan menampakkan reaksi dari antibodinya. Streptavidin (HRP) merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu (CCRC, 2010). DAB (Diaminobenzinidine) merupakan zat yang akan membantu memaksimalkan pewarna dengan ditunjukkan warnanya berubah menjadi coklat. Zat yang menguatkan pewarnaan yaitu mayer hematoxilin, ethanol absolut dan xylol kemudian ditempel dengan entelan dan menjadi preparat sediaan (Prayitno dkk, 2014). Dalam proses pewarnaan IHC harus dilakukkan sesuai prosedur yang sudah ada agar hasilnya maksimal. Bila tidak teliti akan menyebabkan sel ikut tercuci atau tidak terwarnai. Setelah menjadi preparat sediaan dapat didokumentasi (Gambar14). Hasil penelitian menunjukkan pada Gambar 14 bagian kanan sel yang diberi perlakuan terlihat adanya warna coklat pekat. Hal ini menunjukkan adanya ekspresi protein p53 karena adanya ikatan antibodi sekunder protein p53 dengan protein p53
47
pada sel HeLa. Pemberian perlakuan senyawa aktif golongan poliketida daun sirsak konsentrasi 90,41 μg/ml mampu membantu terekspresinya protein p53 pada sel HeLa yang terdegradasi. Sel HeLa yang pada awalnya tidak mampu mengekspresikan protein p53 karena mengalami mutasi dan terdegradasi fungsi kerjanya dengan pemberian isolat tersebut mampu mengekspresikan protein p53. Sehingga protein p53 memperbaiki fungsi kerjanya dengan mengontrol pertumbuhan sel HeLa sebagai sel kanker yang tumbuh abnormal menjadi sel normal yang mampu mengalami apoptosis. Gambar 14 bagian kiri merupakan kontrol sel yang terwarnai keunguan, hal ini menunjukkan tidak terekspresinya protein p53 pada sel HeLa yang mengalami mutasi gen p53. Hal ini menandakan isolat golongan poliketida daun sirsak berperan untuk meningkatkan fungsi kerja protein p53 sebagai protein suppressor cancer. Pada pewarnaan IHC ini mendapatkan hasil bahwa isolat aktif golongan poliketida daun sirsak memiliki peranan untuk mempengaruhi pertumbuhan dari sel HeLa yang merupakan sel Kanker serviks yang mengalami pertumbuhan tak terkendali karena hilangnya fungsi protein p53. Peranan senyawa tersebut mampu menghambat pertumbuhan dari sel HeLa, terbukti dengan adanya inti sel yang fragmented (apoptosis) menghambat pertumbuhan sel HeLa (Gambar 14 bagian kanan). Hal ini dapat dibandingkan antara pewarnaan kontrol sel dengan sel yang diberi perlakuan isolat daun sirsak konsentrasi 90,41 μg/ml, terlihat pada kontrol sel banyak sel yang membelah mengalami mitosis dan siklus selnya masih berjalan dimana intinya tetap mengalami pembelahan. Keadaan demikian menunjukkan bahwa sel HeLa yang tidak diberi perlakuan tetap terjadi pertumbuhan sel kanker.
48
Sedangkan pada sel yang diberi perlakuan nampak selnya mengalami penghentian siklus sel (fragmented) terlihat dengan intinya mengalami apoptosis dengan inti yang memadat dan mengecil hal ini menandakan kembalinya fungsi protein p53. Pada kasus kanker servik menurut CCRC 2010 protein p53 merupakan protein tumor suppressor yang berperan sebagai regulator siklus sel. Protein p53 berperan penting dalam respon adanya stress selular, misalnya paparan karsinogen. Protein tersebut akan menghambat proliferasi sel abnormal yang telah terinisiasi karsinogen untuk mencegah berkembangnya neoplasma. Tidak aktifnya protein tersebut dapat menimbulkan malignansi sampai kanker yang ganas. Selain
49
berfungsi meregulasi proliferasi sel, p53 juga meregulasi apoptosis, menghambat angiogenesis, dan meregulasi DNA repairment.
Gambar 14. Sel HeLa yang telah diberi pewarnaan IHC perbesaran 1000X bagian kiri kontrol sel dan bagian kanan sel yang diberi perlakuan konsentrasi 90,41 μg/ml ( panah lurus adalah sel yang mengalami fragmented dan panah putus – putus adalah sel yang mengalami mitosis). Pada penyakit kanker, umumnya p53 mengalami mutasi dengan terdegradasi fungsinya. Mutasi p53 yang paling banyak terjadi adalah missense mutation. Mutasi tersebut dapat berupa degradasi p53, hilangnya kemampuan p53 menginduksi cell cycle arrest atau apoptosis, dan hilangnya afinitas p53 untuk mengikat DNA yang rusak (Syaifudin, 2010). Pada Gambar 14 diketahui peranan isolat daun sirsak golongan poliketida yaitu acetogenin mampu mengendalikan
50
mutasi dari gen p53 yang berperan dalam pengaturan siklus sel dengan mengontrol sejumlah gen termasuk gen untuk apoptosis jika kerusakannya berat. Rekonstitusi jalur apoptosis oleh p53 dapat terjadi dengan mentransfer gen p53 wild type rekombinan pada sel kanker yang mengekspresi p53 null atau mutan (Siu et al,, 1999). Secara molekuler p53 memiliki peran pada siklus sel yaitu, Bila ada kerusakan DNA karena x-rays, UV atau yang lain maka ATM/ATR kinase akan diaktifkan, yang akan mengaktifkan Chk1/Chk2 kinase dimana Chk1/Chk2 berfungsi untuk memfosforilasi p53. Pada keadaan tidak terfosforilasi p53 diikat oleh protein Mdm2. Pada keadaan normal, kadar p53 dalam sel sangat rendah karena dipegangi oleh Mdm2. Bila p53 dalam keadaan dipegangi Mdm2 maka akan cepat didegradasi karena Mdm2 akan menambah ubikuitin pada p53. Sehingga p53 menjadi sasaran bagi proteosom, akan terus didegradasi sehingga konsentrasinya akan rendah. Dalam keadaan kerusakan DNA maka ada ATM/ATR; Chk1/Chk2 yang teraktifasi sehingga p53 akan terfosforilasi dan timbul tonjolan sehingga Mdm2 tidak bisa lagi memegangi p53. Karena tidak bisa dipegangi maka akan kehilangan sifatnya sehingga bersifat stabil (artinya akan terus diproduksi p53). P53 juga merupakan faktor transkripsi, dan dia akan membantu transkripsi gen berikutnya, yaitu p21 (inhibitor dari cyclin) sehingga DNA rusak maka siklus selnya akan berhenti untuk memberi kesempatan repair. Setelah p21 ditranskripsi maka akan menghasil p21 mRNA dan setelah ditranslasi akan menghasilkan p21 yang merupakan protein inhibitor CDK. Maka cyclin G1/S yang tadinya aktif karena kehadiran p21 dia menjadi tidak aktif sehingga sel berhenti pada satu fase
51
(akan hilang). Pada saat yang sama p53 mengaktifkan repairing bersama molekul lain akan mengusahakan agar DNA yang rusak untuk diperbaiki. Kerja p53 mengaktifkan fungsi bax–xl dan caspase dalam menjalankun fungsinya pada proses apoptosis. P53 merupakan penjaga genom, sehingga 9% karsinoma terjadi karena mutasi pada p53 (de Stanchina et al., 1998). Penghambatan pertumbuhan sel HeLa dengan senyawa aktif poliketida daun sirsak terjadi pada siklus sel tahapan interfase sel. Sebelum suatu sel mengalami pembelahan, sel-sel terlebih dahulu mengalami pertumbuhan hingga mencapai ukuran tertentu. Setiap sel mengalami dua periode yang penting dalam siklus hidup, yaitu periode interfase atau periode non pembelahan dan periode pembelahan sel (M) yang menghasilkan sel-sel baru. Interfase terdiri atas tiga fase, yaitu: G1 (Gap pertama), S (Sintesis DNA), dan G2 (Gap kedua), Pada fase G1 terjadi replikasi persiapan pembentukan DNA (Gambar 15) (Lapenna and Giordano, 2009). Pada fase S terjadi replikasi dan transkripsi DNA, pada fase inilah mulai terjadi gangguan dari proses siklus sel HeLa. Hal ini dikarenakan senyawa poliketida tersebut mengganggu proses sintesis protein pada mitokontria, senyawa ini akan bekerja bila ada respon, yaitu sel HeLa yang melakukan proses sintesis protein berlebih. Sehingga dalam proses sintesis protein untuk menghaslkan ATP pada sel HeLa mengalami ganguan dan menyebabkan sel HeLa mati (apoptosis). Sedangkan pada fase G2, merupakan fase post sintesis, dimana sel mempersiapkan diri untuk membelah. Pada fase post sintesis terlihat sel HeLa pada Gambar 14 mengalami apoptosis dan tidak mengalami pembelahan.
52
Gambar 15. Diagram Terjadinya Siklus Sel (Lapenna and Giordano, 2009).