BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Embrio Ikan Nilem Hasil pengamatan embriogenesis ikan nilem, setelah pencampuran sel sperma dan telur kemudian telur mengalami perkembangan serta terjadi fase pembelah sel (cleavage), morula, blastula, gastrula dan organogenesis (Gambar 3 dan Lampiran 1).
a
b
c
d
e
f
Keterangan: a: Cleavage (Pembelahan sel); b: Morula; c: Blastula; d: Gastrula; e: Gastrula Akhir; f: Organogenesis
Gambar 3. Fase Embriogenesis Telur Ikan Nilem Pada gambar di atas (Gambar 3.a) fase cleavage dicirikan dengan pembentukan blastodisk pada kutub anima. Pembentukan blastodisk sempurna terjadi 60 menit setelah pembuahan. Blastodisk inilah yang nantinya akan membelah menjadi banyak sel. Hasil penelitian Olivia (2011) menunjukkan pembelahan satu sel berlangsung pada jam ke- 1 lewat 10 menit setelah pembuahan. Kemudian blastodisk ini akan membelah dengan membentuk 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel dan 32 sel (Gambar 4).
23
24
a
b
d
c
e
Keterangan: a: 2 sel; b: 4 sel; c: 8 sel; d: 16 sel; e: 32 sel
Gambar 4. Fase Pembelahan Telur Ikan Nilem Pada Gambar 4 terlihat bahwa kuning telur tidak ikut membelah, yang membelah hanya sel-sel blastodisk yang semakin mengecil seiring dengan pertambahan waktu. Menurut Effendie (1995) pada telur telolechital kuning telur tidak ikut membelah, yang mengalami pembelahan hanyalah keping protoplasmanya saja yang terdapat di kutub anima. Berdasarkan uraian tersebut telur ikan nilem termasuk telolechital sehingga pembelahannya dinamakan meroblastik. Pembelahan sel pertamanya (Gambar 4.a) secara meridian, diikuti oleh pembelahan kedua tegak lurus pada bidang pembelahan pertama (Gambar 4.b). Pembelahan ketiga (Gambar 4.c) memotong bidang pembelahan kedua sebelah kiri dan kanan bidang pembelahan pertama dengan pembelahan kedua-duanya yang sejajar dengan bidang pembelahan pertama. Pembelahan berikutnya (Gambar 4.d) terdiri dari dua pembelahan yang berjalan bersama-sama, sejajar dan terletak di kiri dan kanan bidang pembelahan kedua. Pembelahan kelima empat buah sel yang terletak di tengah-tengah membelah sejajar pada permukaan. Pembelahan kelima (Gambar 4.e) merupakan fase awal morula.
25
ruang perivitelin
kutub anima
32 blastomer
yolk Gambar 5. Fase Morula Telur Ikan Nilem Fase morula (Gambar 5) menurut Effendie (1995) fase morula dimulai ketika telah mencapai 32 sel. Hasil pengamatan fase morula awal terjadi 3 jam setelah pembuahan, sedangkan menurut Olivia (2011) pembelahan kelima (32 sel) terjadi 3 jam 50 menit setelah pembuahan pada suhu 29°C. Dari gambar 5 terlihat ukuran sel blastodisk sudah mulai beragam. Sel membelah secara melintang dan mulai terbentuk formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula berakhir apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama tetapi lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil membentuk dua lapis sel.
yolk
blastoderma
periblast
Gambar 6. Fase Blastula Telur Ikan Nilem Fase blastula (Gambar 6) terjadi 4 jam setelah pembuahan. Hasil penelitian Olivia (2011) menyebutkan fase blastula telur ikan nilem terjadi 4 jam 50 menit setelah pembuahan pada suhu 29°C. Pada akhir fase blastula, sel-sel blastoderma akan terdiri dari neural, epidermal, notochordal, mesodermal serta endodermal yang merupakan bakal pembentuk organ-organ.
26
perisai embrio yolk
korion
blastopor Gambar 7. Fase Gastrula Telur Ikan Nilem
Setelah fase blastula kemudian dilanjutkan fase gastrula (Gambar 7), dimana pada awal fase ini blastoderma menutupi hampir seluruh kuning telur. Bagian yang tidak menutupi kuning telur dinamakan blastopor. Jaringan luar embrio terus berkembang mengelilingi kuning telur. Setelah jaringan menutupi seluruh kuning telur terbentuklah perisai embrio pada kutub anima. Perisai embrio yang berada pada kutub anima akan berkembang menjadi tulang belakang. Fase gastrula terjadi 5 jam setelah pembuahan. Akhir dari proses gastrulasi apabila kuning telur sudah tertutup lapisan sel (perisai embrio). Bersamaan dengan selesainya proses gastrulasi sebenarnya sudah dimulai awal pembentukan organ-organ. notochord korion yolk
kepala ekor bakal mata
Gambar 8. Fase Organogenesis Telur Ikan Nilem Fase organogenesis (Gambar 8) merupakan tahap pembentukan organ pada embrio. Dalam fase organogenesis terbentuk berturut-turut bakal organ yaitu syaraf, notochord, mata, somit, rongga kuffer, kantong alfaktori, rongga ginjal, usus, tulang subnotochord, linealateralis, jantung, aorta, insang, infundibullum,
27
dan lipatan-lipatan sirip. Pembentukan semua organ tubuh hampir sempurna ketika telur akan menetas (Tang dan Ridwan 2004). Setelah fase organogenesis 4 jam kemudian larva akan menetas yang di sebabkan korion melunak akibat aktifitas pergerakan larva dan juga oleh kinerja enzim chorionase. Penetasan larva ikan nilem terjadi setelah 24 jam dari pembuahan dengan larva yang dihasilkan normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Olivia (2011) yang menyatakan penetasan ikan nilem pada kisaran suhu 27°C-29°C menghasilkan larva ikan yang normal serta derajat penetasan yang tinggi.
4.2 Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Larva ikan pada fase endogenous feeding (Gambar 9 dan Lampiran 2) merupakan bentuk kehidupan peralihan yang berkembang dari telur kemudian melalui berbagai tahap embrio, dengan kuning telur sampai akhirnya menetas menjadi larva yang mampu menangkap dan mencerna organisme mangsa.
Gambar 9. Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding Kuning telur pada fase ini digunakan sebagai nutrisi dan energi yang digunakan untuk tumbuh serta aktivitas metabolisme sampai larva menetas (Kamler 1992). Pengamatan fase endogenous feeding pada tiap suhu media pemeliharaan menunjukkan perbedaan dalam waktu penyerapan kuning telur (Tabel 2). Tabel 2. Waktu Fase Endogenous Feeding Larva Ikan Nilem Perlakuan Waktu (jam) A (25°C) 42 B (27°C) 36 C (29°C) 33 D (31°C) 30
28
Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25°C) memiliki waktu fase endogenous feeding lebih lama yaitu 42 jam dari pada suhu media pemeliharaan lainnya yang lebih tinggi. Waktu fase endogenous feeding paling cepat adalah pada suhu media pemeliharaan perlakuan D (31°C) yaitu 30 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Olivia (2011) yang menyebutkan bahwa waktu menetas telur ikan nilem dipengaruhi oleh suhu, karena pada suhu rendah (25°C) waktu menetas telur ikan nilem lebih lama yaitu 24 jam 40 menit, sedangkan suhu yang lebih tinggi (31°C) yaitu 22 jam. Waktu fase endogenous feeding yang lama pada suhu rendah dan cepat pada suhu yang tinggi disebabkan oleh aktivitas metabolisme. Kuning telur dalam fase ini digunakan sebagai nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi pada larva. Energi tersebut digunakan dalam proses metabolisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya (2004) bahwa aktivitas metabolisme sangat dipengaruhi oleh suhu dan oksigen, sedangkan Kamler (1992) menyatakan bahwa laju perkembangan sangat dekat hubungannya dengan suhu; jika perkembangannya lambat berarti suhu yang digunakan rendah dan peningkatan akan meningkat seiring dengan penambahan suhu. Pengaruh suhu dalam perkembangan dapat dinyatakan oleh perubahan waktu dari pembuahan sampai perkembangan fase selanjutnya. Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan proses metabolisme dalam
Volume Kuning Telur (mm3)
tubuh larva. Hal ini dicirikan dari penyusutan volume kuning telur (Gambar 10). 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
A (25°C) B (27°C) C (29°C) D (31°C) 0
3
6
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 10. Kurva Penyusutan Volume Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan
29
Volume kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 6 lebih cepat menurun pada suhu yang lebih tinggi daripada suhu yang rendah. Penelitian Pramono dan Sri (2009) volume kuning telur larva ikan senggaringan semakin menurun seiring dengan pertambahan waktu. Penyusutan volume kuning telur tersebut dikarenakan kuning telur digunakan sebagai nutrisi pada fase endogenous feeding dan juga terdapat faktor lain yang mempengaruhinya seperti faktor lingkungan yaitu kualitas air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kamler (1992) bahwa pengurangan jumlah volume kuning telur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah suhu. Woynarovich dan Horvarth (1980) menyatakan bahwa suhu air yang rendah dapat menghalangi perkembangan dan produksi enzim, Sehingga menyebabkan lamanya proses metabolisme. Walaupun larva dapat mentolerir air dingin akan tetapi larva tidak dapat menetas karena produksi enzim terhambat. Hasil pengamatan laju penyerapan kuning telur berdasarkan volume kuning telur serta waktu kuning telur habis terserap menunjukkan terdapat perbedaan laju
Laju Penyerapan Kuning Telur (%)
penyerapan kuning telur antara waktu pengamatan (Gambar 11). 45 40 35 30 25
A (25°C)
20
B (27°C)
15
C (29°C)
10
D (31°C)
5 0 0
3
6
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 11. Kurva Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan Laju penyerapan kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 11 saat fase awal menetas lambat, kemudian cepat dan lambat lagi hingga kuning telur habis terserap. Sesuai dengan pernyataan Hemming dan Buddington (1988) bahwa laju penyerapan kuning telur berlangsung secara eksponensial. Penyerapan lambat
30
menjelang kuning telur habis terserap diduga disebabkan oleh berkurangnya luas permukaan sejalan dengan penyusutan kantung kuning telur dan perubahan komposisi telur. Laju penyerapan kuning telur ikan nilem pada Gambar 12 terlihat bahwa seiring peningkatan suhu media pemeliharaan laju penyerapan kuning telur juga semakin meningkat, tapi kemudian menurun pada suhu media pemeliharaan paling tinggi. Pada ikan Oncorhynchus tshawytschat laju penyerapan kuning telur juga mengalami peningkatan mulai dari suhu 6°C sampai suhu 10°C dan kemudian mengalami penurunan pada suhu 12°C (Kamler 1992). Penurunan laju penyerapan kuning telur pada suhu tinggi di karenakan telah melewati batas optimum serta aktivitas metabolisme yang berjalan lambat. Sesuai dengan pernyataan Heming dan Buddington (1990) dalam Shafrudin (1997) mengatakan bahwa kecepatan laju penyerapan kuning telur meningkat dengan meningkatnya
Laju Penyerapan Kuning Telur (%)
suhu dan akan menurun pada saat mendekati batas atas toleransi. 7.00 6.00
5.701a
5.885a
5.919a 4.897a
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 25
27
29
31
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
Gambar 12. Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Tiap Perlakuan Hasil dari analisis sidik ragam (Lampiran 8) menyatakan suhu media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan kuning telur larva ikan nilem. Tidak berbeda nyata perlakuan yang diberikan, bukan berarti tidak ada suhu yang terbaik untuk laju penyerapan kuning telur. Suhu yang terbaik untuk laju penyerapan kuning telur dapat di lihat dari nilai tertinggi yang diberikan. Laju
31
penyerapan kuning telur tertinggi terdapat pada perlakuan C (29°C) sebesar 5,919%. Perlakuan C (29°C) merupakan suhu media pemeliharaan terbaik untuk laju peyerapan kuning telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Woynarovich dan Horvarth (1980) bahwa laju penyerapan kuning telur yang lebih tinggi memungkinkan tersedianya energi yang tinggi. Perlakuan A dengan menggunakan suhu 25°C memberikan hasil terendah sebesar 5,858% untuk laju penyerapan kuning telur. Penelitian Budiardi et al. (2005) pada ikan maanfish yang menyatakan bahwa laju penyerapan kuning telur ikan maanfish pada suhu rendah (25°C) memberikan hasil yang terendah sebesar 2,41%. Laju penyerapan kuning telur yang rendah dikarenakan penggunaan suhu rendah yang menyebabkan aktivitas metabolisme lambat atau terganggu. Ini sesuai dengan pernyataan Shafrudin (1997) bahwa terjadinya penurunan penyerapan kuning telur disebabkan oleh suatu kegagalan proses metabolisme normal. Kegagalan dalam proses metabolisme ini dicirikan dengan perkembangan larva yang abnormal dan kematian.
4.3 Laju Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem Hasil laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem pada awal pengamatan jam 0 berjalan lambat kemudian meningkat pada pengamatan 3 jam kemudian turun, meningkat dan kembali turun sampai kuning telur habis terserap (Gambar 13). Kurva laju pertumbuhan panjang yang naik turun disebabkan adanya perbedaan
Laju Pertumbuhan Panjang (%)
penyerapan energi dari kuning telur untuk pertumbuhan. 0.030 0.025 0.020
A (25°C)
0.015
B (27°C)
0.010
C (29°C)
0.005
D (31°C)
0.000 0
3
6
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 13. Kurva Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan
32
Menurut Effendie (1995) hubungan pertambahan ukuran dengan waktu bila digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang disebut kurva pertumbuhan. Pertumbuhan ikan yang diplotkan selama masa hidupnya akan mendapatkan kurva sigmoid. Bentuk kurva demikian disebabkan pertumbuhan autokatalitik dari ikan secara alamiah dimana pertumbuhan pada fase awal dari hidupnya mula-mula lambat kemudian cepat dan lambat lagi pada umur tua. Hasil analisis sidik ragam laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem menunjukkan bahwa perlakuan suhu memberikan perbedaan nyata (Lampiran 9). Berdasarkan hasil uji Duncan laju pertumbuhan larva pada perlakuan A (25°C) berbeda nyata dengan perlakuan B (27°C) dan D (29°C). Perlakuan B (27°C) berbeda nyata dengan perlakuan C (29°C). Perlakuan D (31°C) tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (25°C). Karena suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak diikuti dengan huruf yang sama, maka suhu media pemeliharaan 29°C merupakan suhu media pemeliharaan terbaik bagi laju pertumbuhan larva ikan nilem. Laju pertumbuhan ikan nilem pada Gambar 14 menunjukkan dengan meningkatnya suhu media pemeliharaan dari 25°C (perlakuan A) sampai suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan B), nilai laju pertumbuhan larva ikan nilem terus meningkat dan kemudian menurun pada suhu 31°C (perlakuan D). Peningkatan nilai laju pertumbuhan dikarenakan aktivitas penyerapan kuning telur yang digunakan untuk proses pertumbuhan dipengaruhi oleh suhu, sehingga semakin meningkat suhu yang digunakan maka laju pertumbuhan juga semakin meningkat. Ini sesuai dengan pernyataan Handajani dan Wahyu (2010) yang menyatakan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kehidupan ikan. Secara umum laju pertumbuham meningkat sejalan dengan kenaikan suhu sampai batas tertentu yang dapat menekan kehidupan ikan dan bahkan menyebabkan kematian.
Laju Pertumbuhan Panjang (%)
33
0.90
0.8001c
0.80 0.70
0.6169a
0.6755b
0.6169a
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 25
27
29
31
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
Gambar 14. Laju Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem Perbedaan nilai laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem disebabkan aktivitas metabolisme yang dipengaruhi oleh suhu. Ini sesuai dengan pernyataan Wiegand et al. (1988) dalam Efendi (2006) bahwa suhu mempengaruhi laju metabolisme hewan yang bersifat poikilotermal karena kecepatan biokimia dalam jaringan tubuh ikan berubah sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan bagi organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, hormon serta lingkungan. Meskipun secara umum faktor lingkungan memegang peranan sangat penting seperti zat hara dan suhu (Fujaya, 2008). Laju pertumbuhan larva ikan nilem terendah terdapat pada perlakuan A (25°C) sebesar 0,6169%, ini dikarenakan proses penyerapan kuning telur berjalan lambat pada suhu rendah. Penyerapan kuning telur yang lambat sebagai sumber energi mengakibatkan proses metabolisme serta pertumbuhan larva ikan nilem berjalan lambat. Perlakuan C (29°C) memiliki nilai laju pertumbuhan yang tinggi dari suhu media pemeliharaan lainnya. Ini dikarenakan pada perlakuan C (29°C) laju penyerapan kuning telur lebih tinggi yaitu 5,919%. Apabila laju penyerapan kuning telur tinggi maka menghasilkan energi yang tinggi pula. Energi tersebut dapat digunakan untuk proses metabolisme, pemeliharaan dan pertumbuhan. Pada suhu 31°C (Perlakuan D) terjadi penurunan laju pertumbuhan panjang. Penurunan terjadi karena pada suhu tersebut penyerapan kuning telur berjalan cepat sehingga energi yang digunakan untuk proses metabolisme berjalan cepat,
34
tapi proses metabolisme yang terlalu cepat menyebabkan tidak sempurna penyerapan nutrisi bagi larva. Akibat dari suhu terlalu tinggi tersebut menghasilkan penurunan pertumbuhan larva ikan nilem. Walaupun menurut hokum Van’t Hoff dalam Kelabora (2010) yang menyatakan bahwa untuk setiap perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik 2-3 kali lipat setiap kenaikan suhu sebesar 10°C. Namun untuk pertumbuhan larva kenaikan suhu tersebut malah menurunkan pertumbuhan, dikarenakan larva ikan mempunyai batas toleransi suhu.
4.4 Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Efisiensi dari kuning telur merupakan kunig telur yang ditransformasikan untuk jaringan tubuh dan terdapat pengaruh lingkungan yang mempengaruhinya (Shukla 2009). Hasil pengamatan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan
Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur (%)
nilem terdapat perbedaan pada waktu pengamatan (Gambar 15). 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
A (25°C) B (27°C) C (29°C) D (31°C)
0
3
6
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 15. Kurva Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan Gambar 15 menunjukkan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur mengalami penurunan sampai kuning telur habis terserap. Penurunan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur terhadap perubahan waktu karena nilai laju pertumbuhan lebih rendah dari pada laju penyerapan kuning telur serta volume kuning telur yang digunakan sebagai energi dalam proses pertumbuhan, perkembangan dan metabolisme semakin berkurang seiring pertambahan umur
35
larva ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa nilai efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah, proporsi yang tinggi dari kuning telur yang digunakan untuk pertumbuhan. Efisiensi kumulatif harus jelas menurun sebagai hasil peningkatan pertumbuhan dan persyaratan pemeliharaan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) untuk efisiensi pemanfaatan kuning telur pada larva ikan nilem bahwa suhu berbeda nyata dengan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur. Berdasarkan hasil uji Duncan suhu media pemeliharaan 25°C (perlakuan A) tidak berbeda nyata dengan suhu 27°C (perlakuan B) dan 31°C (Perlakuan D). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak berbeda nyata dengan suhu 31°C (perlakuan D). Walaupun efisiensi pemanfaatan tidak berbeda nyata dengan suhu media pemeliharaan, tapi dari hasil yang ditunjukkan suhu 29°C (perlakuan C) merupakan suhu terbaik dalam efisiensi pemanfaatan
Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur (%)
kuning telur larva ikan nilem karena memiliki nilai yang tertinggi sebesar 13,5%. 16 13.500b
14 12
10.981a
12.736ab
11.510a
10 8 6 4 2 0 25
27
29
31
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
Gambar 16. Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Efisiensi pemanfaatan kuning telur pada Gambar 16 meningkat dengan penambahan suhu media pemeliharaan dan menurun pada suhu yang paling tinggi. Peningkatan efisiensi pemanfaatan larva ikan nilem dipengaruhi oleh laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang meningkat. Efisiensi pemanfaatan kuning telur terendah terdapat pada suhu media pemeliharaan 25°C (perlakuan A) sebesar 10,981%. Nilai efisiensi yang rendah
36
ini dapat diartikan bahwa penggunaan kuning telur untuk pertumbuhan larva rendah. Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang
dihasilkan bahwa pada suhu media pemeliharaan 25°C (perlakuan A)
rendah juga (Lampiran 7). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) merupakan suhu dengan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem paling tinggi dari suhu media pemeliharaan lainnya sebesar 13,627%. Nilai efisiensi yang tinggi dapat diartikan bahwa penggunaan kuning telur sebagai energi dalam proses pertumbuhan tinggi. Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang dihasilkan pada suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) yang tinggi daripada suhu media pemeliharaan lainnya (Lampira 7). Suhu 31°C (perlakuan D) merupakan perlakuan dengan suhu yang paling tinggi dalam penelitian ini, tapi pada Gambar 12 efisiensi pemanfaatan kuning telur lebih kecil dibandingkan dengan suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C). Penurunan tersebut disebabkan karena larva ikan nilem telah melewati batas maksimum untuk suhu yang digunakan sehingga menghasilkan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur yang rendah. Hal tersebut juga sejalan dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan larva yang menurun pada suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) (Lampiran 7). Hasil analisis regresi (Lampiran 11) diketahui bahwa terdapat pengaruh antara suhu dengan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem menunjukkan model regresi linear (Gambar 17) dengan persamaan Y= 2,02361 + 0,3628X (R2= 0.2726). Secara matematis suhu optimum untuk efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem terjadi pada suhu 30,241°C dengan efisiensi pemanfaatan kuning telur optimum sebesar 12,9837%.
37
Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur (%)
16 14 12 10 8
y = 0.3628x + 2.0236 R² = 0.2726
6 4 2 0 25
27
29 31 Suhu Media Pemeliharaan (°C)
33
Gambar 17. Efisiensi Regresi Linear Suhu Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem 4.5
Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem
4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Endogenous Feeding Hasil pengamatan kelangsungan hidup larva ikan nilem fase endogenous feeding pada suhu 25°C (perlakuan A) memberikan hasil yang paling rendah (Gambar 18). Pada suhu 25°C (perlakuan A) pengamatan ke 42 jam larva ikan nilem mengalami kematian masal sebelum kuning telur habis terserap (Lampiran 3). Kematian larva pada suhu 25°C (perlakuan A) karena laju penyerapan kuning telur yang lambat sehingga nutrisi yang dibutuhkan untuk larva tidak tercukupi dengan baik terlihat dari nilai efisiensi pemafaatan kuning telur bahwa pada suhu 25°C (perlakuan A) juga paling rendah serta ketidakmampuan larva beradaptasi dengan baik pada suhu air yang berfluktuatif.
Ini sesuai dengan pernyataan
Effendie (1995) bahwa kelangsungan hidup larva ikan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, karena larva sangat sensitif pada perubahan lingkungan yang cepat terjadi dan juga pada fase larva belum memiliki organ tubuh yang lengkap seperti ikan dewasa. Air dengan suhu berfluktuatif dapat mengakibatkan ikan stress dan kematian. Sehingga dapat diasumsikan suhu 25°C (perlakuan A) merupakan suhu letal bagi larva ikan nilem.
38
Kelangsungan Hidup (%)
120 100
99a
98a
98a
27
29
31
80 60 40 20
0
0 25
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
Gambar 18. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding Suhu media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan D) persentase kelangsungan hidupnya hampir sama karena menurut Woynarovich dan Hovarth (1980) suhu 27°C-29°C merupakan suhu terbaik dalam penetasan telur ikan. Sedangkan menurut penelitian Kelabora dan Dominggas (2012) kelangsungan hidup larva ikan mas yang berumur 7 hari tidak berbeda nyata pada suhu perlakuan 28-30°C. Hasil analisis sidik ragam kelangsungan ikan nilem fase endogenous feeding (Lampiran 13) menunjukkan tidak ada perbedaan kelangsungan hidup antara suhu media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan D). Tidak ada perbedaan kelangsungan hidup dikarenakan perlakuan tersebut masih bisa ditoleransi dengan larva ikan nilem. Ini sesuai dengan pernyataan Hoar (1962) dalam Kelabora dan Dominggas (2010) bahwa secara ilmiah setiap organisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan yang terjadi di lingkungannnya dalam batas-batas tertentu atau disebut juga tingkat toleransi.
39
4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Exogenous Feeding Fase exogenous feeding (Gambar 19) merupakan fase dimana nutrisi yang diperoleh dari larva ikan tidak lagi berasal dari kuning telur tetapi telah memanfaatkan pakan dari luar atau lingkungannya (Effendie, 1995).
Gambar 19. Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding Kelangsungan hidup larva ikan nilem fase exogenous feeding berbeda dengan fase endogenous feeding (Lampiran 8). Jika pada fase endogenous feeding suhu media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan D) masih dapat ditoleransi untuk kelangsungan hidup, tapi untuk kelangsungan hidup larva ikan nilem fase exogenous feeding tidak demikian. Di lihat dari Gambar 15 kelangsungan hidup ikan nilem meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu media pemeliharaan, tapi menurun pada suhu media pemeliharaan yang tinggi yaitu 31°C (Perlakuan D). Suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) memiliki tingkat kelangsungan hidup paling rendah sebesar 47,321% (Gambar 20). Karena pada fase exogenous feeding suhu 31°C (perlakuan D) proses penyerapan kuning telur sebagai sumber energi untuk aktivitas metabolisme terganggu. Aktivitas metabolisme yang terganggu mengakibatkann pembentukan organ-organ larva menjadi lambat sehingga kelangsungan hidup larva menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa penyempurnaan organ pada fase larva merupakan upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva.
Kelangsungan Hidup (%)
40
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
78bc
83.036c
47.321a
0 25
27
29
31
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
Gambar 20. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding Hasil analisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata tiap perlakuan suhu media pemeliharaan yang digunakan terhadap kelangsungan hidup larva ikan nilem fase exogenous feeding (Lampiran 14). Berdasarkan hasil uji Duncan kelangsungan hidup pada suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan B) berbeda nyata dengan suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) dan 27°C (perlakuan B). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak berbeda nyata dengan suhu 27°C (perlakuan B). Walaupun tidak berbeda nyata antara suhu 27°C (perlakuan B) dan 29°C (perlakuan C), tapi nilai kelangsungan hidup 29°C (perlakuan C) lebih tinggi dari pada suhu 27°C (perlakuan B) yaitu sebesar 83,036%. Dapat disimpulkan bahwa suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) merupakan suhu terbaik untuk kelangsungan hidup larva ikan nilem fase exogenous feeding. Hasil analisis sidik ragam pada kelangsungan hidup fase exogenous feeding tidak mencantumkan suhu media pemeliharaan 25°C (perlakuan A) dikarenakan tidak ada yang hidup sampai post larva. Kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C). Ini dikarenakan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur yang tinggi pada suhu tersebut, sehingga mengakibatkan konversi penyerapan kuning telur untuk pembentukan organ lebih baik dari pada suhu lainnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa efisiensi pemanfaatan yang
41
tinggi akan menghasilkan larva yang lebih besar, kuat dan rentan terhadap kerusakan yang dapat mengakibatkan kematian. Kelangsungan hidup yang rendah pada suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) disebabkan oleh penyerapan kuning telur yang terlalu cepat (Lampiran 6) dari pada perlakuan lainnya yang menyebabkan nutrisi dari kuning telur belum digunakan secara sempurna untuk perkembangan larva ikan nilem. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sembiring (2011) mengatakan bahwa proses penyerapan kuning telur yang kurang optimal menyebabkan keterlambatan perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur habis dan larva memerlukan pakan dari luar, larva tersebut tidak memanfaatkan pakan tersebut dengan baik. Effendie (1995) mengatakan pada fase masa kritis larva terletak pada saat sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan masa transisi mulai mengambil makanan dari luar.