32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL 1. Kondisi Lokasi dan Stasiun Pengamatan Lokasi pengambilan sampel yaitu sukaregang terletak di Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut, Kabupaten Daerah Tingkat II Garut merupakan daerah yang ditetapkan sebagai areal industri penyamakan kulit. Seluas 4,77 ha digunakan untuk kegiatan industri penyamakan kulit tersebut (Dinas Tata Ruang, 2000). Sungai di daerah Sukaregang secara fisik tampak berwarna abu dan berbau. Kondisi sungai cimanuk yang terlihat sangat tercemar ini disebabkan karena sungai ini merupakan tempat pembuangan limbah dari berbagai pabrik yang berada di bagian hulu atau di sekitar sungai tersebut. Sungai ini juga digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan berbagai limbah rumah tangga. Industri-industri yang terdapat di sekitar sungai tersebut antara lain adalah industri penyamakan kulit. 2. Tumbuhan Fitoremediasi Hasil studi terdahulu,ditemukan bebagai macam tumbuhan yang hidup di daerah belantaran
sungai sukaregang garut. Tumbuhan tersebut yaitu
Wedeliia trilobata, Ipomoea batata, Ageratum, Pennisetum.Cynodon sp, Digitaria ciliaris, Drymaria cordata, Paspalumconjugatum, Solanum ningrum, Stachytarhela jamaicensis. Hasil perhitungan analisis vegetasi berdasarkan studi terdahulu di dapatkan 4 jenis tumbuhan yang memiliki
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
33
indeksi nilai penting yang tertinggi yang terdapat di daerah pinggiran sungai Sukaregang Garut. Adapun empat jenis tumbuhan tersebut adalah Wedeliia trilobata, Ipomoea batata, Ageratum, Pennisetum Tumbuhan ini tersebar di ketiga stasiun pengambilan sampel. a. Ageratum conizoides (babadotan) Ageratum conyzoides L. merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tumbuhan ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut babadotan, di Sumatera dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan herba menahun, tegak dengan ketinggian 30 - 80 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh di mana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani. Namun di balik itu Ageratum dapat digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida, bahkan untuk pupuk dapat meningkatkan hasil produksi tanaman. Tumbuhan Ageratum memiliki sistem klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Asteridae : Asterales : Asteraceae : Ageratum : Ageratum conyzoides L.
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
34
Gambar 4.1. Tumbuhan Ageratum (Sumber: Dokumen Pribadi) b. Ipomoea batata. Ubi jalar atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropika pada abad ke-16. Menurut Cronqruist (1981:895), tumbuhan Ipomoea batata memiliki sistem klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Subkingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae (Tumbuhan) : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Asteridae : Solanales : Convolvulaceae : Ipomoea : Ipomoea batatas.
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
35
Gambar 4.2. Tumbuhan Ipomoea batata (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
c. Wedeliia trilobata Tanaman ini termasuk dalam tanaman dikotil sehingga perakarannya adalah tunggang. Salah satu keunikan dari tanaman ini ialah akar dapat tumbuh pada ruas-ruas batangnya. Hal ini disebabkan karena tanaman ini tumbuh dengan merayap di atas permukaan tanah. Tumbuhan
Wedeliia
trilobata memiliki sistem klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Asterales : Asteraceae : Wedelia : Wedelia trilobata
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
36
Gambar 4.3. Tumbuhan Wedelia trilobata (Sumber: Dokumentasi Pribadi) d. Pennisetum sp Spesies ini merupakan Jenis tanaman rumput-rumputan yang berperan dalam pengawetan tanah dan air adalah yang dapat berfungsi ganda yaitu berkemampuan untuk membantu mencegah berlangsungnya erosi dan dapat pula bermanfaat bagi hijauan makanan ternak. Rumput gajah merupakan alternatifnya.Tanaman rumput-rumputan dapat digunakan dalam usaha pengawetan tanah dan atau pencegahan erosi dikarenakan : a. Tanaman rumput-rumputan dapat tumbuh dengan cepat sehingga dalam waktu pendek tanah telah dapat tertutupi oleh tanaman tersebut secara rapat dan tebal. b. Bagian atas dari tanaman (daun-daunan) mampu melindungi permukaan tanah dari percikan air hujan dan memperlambat aliran permukaan. c. Bagian bawah tanaman (perakaran) dapat memperkuat resistensi tanah dan membantu melancarkan infiltrasi air kedalam tanah. Menurut Cronqruist (1981:895), tumbuhan Pennisetum sp memiliki sistem klasifikasi sebagai berikut: Subkingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili
: Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Commelinidae : Poales : Poaceae
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
37
Genus Spesies 3.
: Pennisetum : Pennisetum sp
Pengukuran Faktor abiotik Faktor abiotik yang diukur dalam penelitian yaitu kelembaban tanah,
suhu udara, pH tanah, dan intensitas cahaya. Rata-rata kelembaban tanah, suhu udara, pH tanah, dan intensitas cahaya dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Rata-rata faktor abiotik stasiun I, II, II Lokasi/Stasiun
Faktor abiotik Kelembaban
Suhu udara
pH tanah
Intensitas
tanah
(oC)
I
80 ± 8,2
28 ± 2
6,3 ± 0,1
583 ± 34,1
II
85 ± 13,2
29 ± 1
5,8 ± 6,2
531 ± 28,4
III
80 ± 10
28 ± 1
6,5 ± 0,4
630 ± 42
cahaya (lux)
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat perbedaan rata-rata faktor abiotik tiap-tiap stasiun. Faktor kelembaban tanah yang tertinggi terdapat pada stasiun II (85 ± 13,2), sedangkan terendah terdapat di stasiun I (80 ± 8,2) dan III (80 ± 10), sedangkan suhu udara di ketiga stasiun normal yaitu di atas 27oC. ketiga stasiun juga memiliki perbedaan rata-rata pH tanah di setiap stasiun, dimana stasiun I dan III pHtanah tergolong normal karena mendekati 7, sedangkan stasiun II mendekati pH tanah rendah. Sedangkan intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III 630 ± 42 dan terendah terdapat pada stasiun II (531 ± 28,4).
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
38
4. Pengukuran Kandungan Cromium (Cr) a. Kandungan Cr pada Tanah Rata-rata kandungan Cr tanah pada ketiga stasiun tumbuhnya keempat jenis tumbuhan menunjukan hasil yang berbeda di setiap stasiun. Rata-rata kandungan Cr tanah di ketiga stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rata-rata Kandungan Kromium Pada Tanah Sampel tanah/ Stasiun
Kandungan kromium tanah (ppm)
I
349,3125
II
256,66
10,09 b
III
114,63
69,83 c
50,41 a
Berdasarkan pada Tabel 4.2 Kandungan konsentrasi Cr tertinggi terdapat pada satsiun I yaitu 349,3125
50,41 a, kemudian stasiun II 256,66
10,09 b dan yang terendah terdapat pada stasiun III yaitu 114,63
69,83.
Hasil statistik menunjukan adanya perbedaan yang signifikan dari kandungan Cr tanah pada setiap stasiun. Kandungan Cr menurun mengikuti pola stasiun dimana stasiun I lebih tinggi di bandingkan stasiun II dan stasiun III. b. Kandungan Cr pada organ tumbuhan dari semua jenis tumbuhan Rata-rata kandungan Cr pada organ tumbuhan dari keempat jenis tumbuhan yang ditemukan dari ketiga stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.3
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
39
Tabel 4.3 Rata-rata kandungan Cr pada organ dari empat jenis tumbuhan Stasiun
1
2
Jenis Tumbuhan Wedellia trilobata Ageratum conyzoides L Ipomoea batata Wedellia trilobata Pennisetum SP Ipomoea batata Pennisetum SP
Cr Organ Tumbuhan (ppm) DAUN BATANG AKAR 24,83 ± 8,51 29,61 ± 10,29 93,81 ± 5,86 16,06 ± 8,06 20,67 ± 6,37 86,42 ± 8,29 20,30 ± 8,96 13,88 ± 5,97 13,69 ± 2,46 13,64 ± 5,40 7,23 ± 4,17
24,76 ± 5,59 16,24 ± 7,77 16,72 ± 4,09 13,03 ± 6,63 5,97 ± 1,65
13,42 ± 4,70
8,14 ± 3,77
3 Wedellia trilobata
91,14 ± 6,23 80,53 ± 8,87 87,39 ±11,09 78,29 ± 9,24 65,78 ± 11,12 70,59 ± 1,56
Berdasarkan Tabel 4.3, Nilai rata-rata kandungan Cr pada setiap organ yaitu daun, batang dan akar pada empat jenis tumbuhan yang ditemukan di masing-masing stasiun semakin menurun. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jarak antara stasiu 1, 2 dan 3 dari sumber pencemaran Cr. Nilai signifikan kadar Cr organ daun, batang dan akar yang diperoleh dari uji nonparametrik Mann-Whitney pada tingkat kepercayaan 95% (α<0,05). Hal tersebut menunjukan adanya pebedaan yang signifikan (α=0,05) antara kadar Cr pada organ dari masing-masing stasiun. Rata-rata kandungan Cr pada keempat jenis tumbuhan yang ditemukan dari ketiga stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.4
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
40
Tabel 4.4 Rata-rata Kandungan Cr pada Setiap Jenis Tumbuhan Jenis tumbuhan
Kandungan Cr (ppm)
Ipomoea batata
40,19 ± 33,42
Ageratum conyzoides L
41,05 ± 34,72
Wedellia trilobata
38,63 ± 32,36
Pennisetum sp
33,35 ± 32,92
Pada Tabel 4.4 dapat dilihat rata-rata kandungan Cr dari
jenis
tumbuhan yang ditemukan di masing-masing stasiun. Menurut hasil tersebut, kandungan Cr yang tertinggi terdapat pada tumbuhan Ageratum sp (41,05 ± 34,72 ppm) sedangkan yang terendah terdapat dalam tumbuhan Pennisetum sp (33,35 ± 32,92 ppm). Uji statistik menunjukan bahwa keempat jenis tanaman yang ditemukan di ketiga stasiun memiliki kandungan Cr yang tidak berbeda secara signifikan. c. Efesiensi Penyerapan Logam Cr pada Tumbuhan Uji kemampuan akumulasi logam Cr, dilakukan dengan menghitung persen efesiensi remediasi dari empat jenis tumbuhan yang ditemukan berdasarkan stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.5
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
41
Tabel 4.5 Nilai efesiensi empat jenis tumbuhan berdasarkan stasiun pengamatan Stasiun
Stasiun I
Stasiun II
Jenis tumbuhan
Nilai efesiensi
Wedellia trilobata
42,44%
Ageratum conyzoides L
35,25%
Ipomoea batata
38,99%
Wedellia trilobata
43,11%
Pennisetum sp
45,89%
Ipomoea batata
40,89%
Pennisetum sp
68,89%
Wedellia trilobata
80,38%
Stasiun III
Berdasarkan pada Tabel 4.5, menunjukan bahwa tumbuhan yang memiliki efesiensi tertinggi sebagai tumbuhan remediasi yaitu , Wedellia trilobata (80,38%) , Pennisetum sp (68,89%) yang terdapat pada stasiun III. Uji kemampuan akumulasi logam Cr, dilakukan dengan menghitung persen efesiensi remediasi oleh empat jenis tumbuhan yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 4.
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
42
Tabel 4.6 Nilai efesiensi empat jenis tumbuhan Jenis tumbuhan
Efesiensi remediasi (%)
Ipomoea batata
13,26 %
Ageratum conyzoides L
11,75 %
Wedellia trilobata
16,08%
Pennisetum sp
17,96%
Berdasarkan pada Tabel 4.6, menunjukan bahwa tumbuhan yang memiliki efesiensi tertinggi sebagai tumbuhan remediasi berturut-turut yaitu , Pennisetum sp (17,96%), Wedellia trilobata (16,08 %) , Ipomoea batata (13,26%), dan yang paling terendah dimiliki oleh tumbuhan Ageratum (11,75%). B. PEMBAHASAN 1. Kondisi Lokasi Penelitian Kondisi lokasi pengambilan sampel di daerah sungai Sukaregang Garut sangat berbeda. Perbedaan fisik tersebut sangat jelas terlihat pada kondisi sumber pengairan. Kondisi air sungai di ketiga stasiun sangat kotor dan berwarna hitam, tetapi pada stasiun I dan II air sungainya berbau sedangkan stasiun III tidak berbau. Hal ini menyebabkan bahwa pada stasiun I merupakan daerah yang
paling dekat dengan sumber pembuangan limbah, stasiun II
merupakan daerah perumahan, dimana masyarakat membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai tersebut dan juga terdapat beberapa industri yang
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
43
membuang limbahnya langsung ke badan sungai, sedangkan stasiun III merupakan daerah persawahan dan banyak terlihat sampah-sampah yang terdapat di sepanjang badan sungai. Kondisi perairan yang terlihat tercemar di daerah Sukaregang tersebut nampaknya disebabkan karena banyak pabrik yang membuang limbahnya ke sungai ini. Pabrik-pabrik tersebut antara lain penyamakan kulit, pabrik tekstil serta beberapa pabrik lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kurnia et al. (2004:253), banyak para pelaku industri biasanya membuang limbah ke badan air atau sungai dengan atau tampa melalui proses pengelolahan terlebih dahulu. Pembuangan limbah ke badan sungai tersebut tampa dilakukan pengelolahan atau penanggulangan lebih lanjut akan menyebabkan badan sungai menjadi kotor dan berbau. Air yang tercemar menunjukan ciri-ciri tertentu seperti keruh, berwarna, berbau, pH jauh dari normal, sebagai bahan kimia berbahaya serta Mikroorganisme yang dapat menggangu pengguna air.
2. Tumbuhan Agen Fitoremediasi Berdasarkan hasil analisis, kandungan Cr pada tanah di setiap stasiun sangat berbeda signifikan akan tetapi jenis tumbuhan yang hidup di setiap stasiun memiliki jenis yang hampir sama namun ada tumbuhan yang berbeda di setiap stasiun. Pada stasiun I yang memiliki kandungan Cr paling tinggi, tumbuhan yang lebih dominan hidup yaitu Wedeliia trilobata (INP 49,57), Ageratum conyzoides L (INP 37,03) dan Ipomoea batata (INP 33,64). Pada stasiun II yang memiliki kandungan Cr pada tanahnya lebih rendah dari stasiun
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
44
I, tumbuhan yang dominan
hidup yaitu Wedeliia trilobata (INP 44,01),
Pennisetum sp (INP 41,15) dan Ipomoea batata (INP 32,77). Sedangkan pada stasiun III yang jauh dari pembuangan industri yang memiliki kandungan Cr paling rendah dari stasiun I dan II, jenis tumbuhan yang diminan hidup yaitu Pennisetum sp (INP 73,23) dan Wedeliia trilobata (INP 44,11). Tidak semua tumbuhan bertahan hidup pada kondisi tanah yang sudah tercemar logam berat salah satunya yaitu logam kromium. Tumbuhan yang dapat hidup di tanah yang sudah tercemar yaitu tumbuhan yang dapat beradaptasi dan mengakumulasi pencemaran tanah dengan logam kromium. Semua jenis tumbuhan memiliki kemampuan dalam mengakumulasi logam berat kromium sehingga berbeda pula jenis tumbuhan yang hidup disekitar sungai yang sudah tercemar oleh logam berat jenis kromium. Tumbuhan yang dapat bertahan hidup tersebut dapat berpotensi untuk mengurangi atau menghilangkan zat pencemar/ logam berat pencemar di dalam tanah. Salah satu ciri dari tumbuhan fotoremediasi adalah dapat hidup pada kondisi tanah yang tercemar logam berat. Sehingga 4 jenis tumbuhan yang hidup dominan di atas memiliki potensi sebagai tumbuhan fitoremediasi sebab tumbuhan ini memiliki kemampuan untuk bisa bertahan hidup di sepanjang pinggiran sungai yang tercemar logam kromium. 3. Kandungan Cr Tanah Dari hasil analisis kandungan Cr pada tanah, terlihat adanya perbedaan pada setiap stasiun lokasi pengambilan sampel (Tabel 4.2). pada ketiga stasiun, kandungan Cr tertinggi terdapat pada stasiun I, kemudian
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
45
menurun pada stasiun II dan stasiun III. Hasil ini menunjukan bahwa semakin jauh dari sumber pembuangan limbah, kandungan Cr pada tanah semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena unsur Cr yang terkandung di dalam air akan terendam lebih banyak pada tanah yang paling dekat oleh sumber tersebut. Oleh sebab itu, maka dapat di pahami mengapa pada stasiun I kandungan Cr tanahnya lebih tinggi di bandingkan dengan stasiun II dan III. Topografi lokasi yang tidak merata, dimana air sungai mengalir melalui jalan air ke tempat yang lebih rendah. Keadaan ini memungkinkan air sungai tetap membasahi seluruh stasiun dengan intensitas yang sama atau hampir sama di setiap waktunya. seiring dengan jauhnya jarak
Menurunnya kandungan Cr pada tanah
dari sumber pengairan,
kemungkinan di
sebabkan dari proses pengendapan yang terjadi secara ilmiah, dimana unsurunsur yang terkandung dalam tanah akan mengendap di sepanjang sedimen yang dilaluinya. Menurut Hutagalung (1991), logam-logam lingkungan pada umumnya berada dalam bentuk ion. Ion-ion itu ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion Cr dan bentuk ion-ion lainnya. Terjadi pengendapan Cr pada tanah dapat disebabkan karena logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik selanjutnya mengendap didasar perairan dan berikatan dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen semakin tinggi sedangkan konsentrasi di air menjadi semakin berkurang. Kandungan Cr yang tinggi pada tanah di stasiun I menggambarkan bahwa tanah di daerah tersebut telah mencapai tingkan akumulasi Cr yang
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
46
cukup tinggi. Pembuangan air limbah yang mengandung Cr dalam waktu yang cukup lama diduga sebagai penyebab utamanya. Menurut Notohadiprawiro (1999:13), kondisi pengairan akan mempengaruhi kondisi tanah pada suatu lokasi, baik sifat maupun morfologinya. Air yang mengandung logam berat dalam jumlah yang tinggi akan meningkatkan kandungan logam berat pada sedimen yang dilaluinya. Pada stasiun II yang merupakan daerah dekat perumahan ditemukan juga kandungan Cr pada tanahnya. Meskipun kandungannya masih jauh di bawah kandungan Cr tanah pada stasuin I, namun kandungan ini cukup tinggi. kandungan Cr yang cukup tinggi di stasiun ini dapat disebabkan karena kemungkinan adanya sumbangan limbah yang berasal dari limbah rumah tangga mengikat sungai mengalir melewati pemukiman penduduk. Air sungai yang mengandung limbah Cr tersebut kemudian mengendap di tanah. Menurut Setyowati (2007), pemukiman padat penduduk menghasilkan limbah rumah tangga yang berpotensi besar dalam mentransfer logam berat ke perairan, karena sebagian besar penduduk akan membuang limbahnya ke sungai. Mulyanto (2007) menyebutkan bahwa korosi pipa saluran air dan peralatan rumah tangga juga menyumbangkan pasokan logam berat ke perairan. Stasiun III yang jauh dari industri, ditemukan juga kandungan Cr pada tanahnya walaupun jumlahnya lebih rendah dari stasiun I dan II. Hal ini disebabkan karena tanah di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya keragaman, heterogenitas dan perbedaan habitat mikro tanah pada masingmasing jarak stasiun di lokasi tersebut. Menurut Huang dan Schnitzer (2004) menyatakan bahwa pada jarak pada jarak yang sangat dekat (<1 mm) komposisi partikel, jumlah air, jenis air, hara, gas pH dan kekuatan ion serta Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
47
karakteristik fisikokimia tanah dapat bervariasi. Berikut di bawah ini merupakan rata-rata kandungan kromium dalam tanah pada setiap stasiun
kandungan kromium dalam tanah
disajikan pada Gambar 4.5 400 350 300 250 200 150 100 50 0 ST I
ST II
ST III
lokasi penelitian
Gambar. 4.5. Rata-rata kandungan Cr tanah pada setiap stasiun
Berdasarkan hal tersebut di atas, tentu sangat memungkinkan terjadinya distribusi logam Cr pada jarak yang berbeda tidak sama. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi perbedaan pendistribusian logam Cr adalah erosi tanah pada saat musim hujan terutama pada tanah yang miring, sehingga dapat menyebabkan hilangnya sebagian endapan logam yang telah terkandung pada lapisan tanah tersebut (Connel & Miller, 1995). Disamping itu pula, distribusi bahan pencemar berdasarkan kecepatan dan luar daerah tercemar sangat bergantung pada keadaan geografi dan meteorology setempat (Wardana, 2005). 4. Kandungan Cr pada Organ Tumbuhan Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa rata-rata kandungan Cr pada organ daun, batang dan akar dari keempat jenis tumbuhan yang ditemukan berbanding lurus dengan jarak stasiun pengambilan sampel. Semakin dekat
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
48
jarak stasiun pengambilan sampel tumbuhan dengan sumber pencemaran Cr, rata-rata kandungan Cr pada organ dari keempat tumbuhan tersebut cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan rata-rata kandungan Cr organ tersebut dari jarak stasiun 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada gambar 4.2 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1
2
Wedellia trilobata
Pennisetum SP
Ipomoea batata
Pennisetum SP
Wedellia trilobata
Ipomoea batata
Ageratum
Wedellia trilobata
ORGAN TUMBUHAN DAUN ORGAN TUMBUHAN BATANG ORGAN TUMBUHAN AKAR
3
Gambar 4.5 Rata-rata Kandungan Cr pada Organ Daun, Batang, Akar dari Keempat Jenis Tumbuhan yang Di Temukan pada Ketiga Stasiun
Berdasarkan Gambar 4.5, terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara kandungan Cr dalam daun, batang dan akar dari keempat tumbuhan yang ditemukan di setiap stasiun. Kandungan Cr pada organ di keempat jenis tumbuhan umumnya menurun mengikuti pola stasiun I>stasiun II>stasiun III, di mana kandungannya seiring dengan jauhnya stasiun dari sumber pengairan. Perbedaan kandungan Cr dalam organ tumbuhan di setiap stasiunnya berhubungan dengan adanya perbedaan kandungan Cr tanah pada stasiunstasiun tersebut. Tingginya kandungan Cr pada organ daun, batang dan akar di stasiun I disebabkan karena kandungan logam pada tanah di stasiun I lebih Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
49
tinggi dibandingakan dengan stasiun II dan III (Tabel 4.2). stasiun I merupakan stasiun yang paling dekat dengan sumber pembuangan limbah industri, sehingga tumbuhan yang berada pada stasiun ini mengalami kontak langsung yang lebih cepat dengan Cr, sehingga Cr yang lebih banyak terserap oleh tumbuhan di stasiun ini. Dibanding dengan stasiun III, di samping karena kaandungan Cr tanah yang rendah, kurangnya intensitas dan kontak dengan sumber pembuang limbah menyebabkan kandungan Cr dalam tanah tidak banyak terserap oleh tumbuhan. Akan tetapi berdasarkan uji statistik bahwa ke empat jenis tumbuhan dalam menyerap logam kromium tidak berbeda signifikan. hal tersebut di sebabkan karena lokasi pengambilan sampel dari keempat tumbuhan sama-sama tercemar. Kandungan Cr pada tumbuhan lebih rendah dibandingan dengan kadar Cr di dalam tanah. Hal ini dikarenakan tanah merupakan komponen utama yang akan dilalui oleh logam berat yang didistribusikan melalui berbagai sumber. Menurut Salisbury dan Ross (1995:139) bahwa spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam kemampuannya untuk toleran atau tidak toleran terhadap unsur yang tak toleran seperti kroimum, timbal, cadmium, dan sebagainya pada jumlah yang dapat meracuni. Menurut Shresta (2003:52), kemampuan tumbuhan untuk resisten terhadap logam berat ditentukan secara genetis dan dapat berubah karena proses adaptasi. Pada beberapa spesies unsur logam berat diserap dalam jumlah yang terbatas, sehingga merupakan upaya penghindaran daripada toleransi (Taylor, 1987 dalam Salisbury dan Ross, 1995:139). Menurut Darmono (1995:15), akumulasi logam dalam tumbuhan
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
50
tidak hanya tergantung pada kandungannya dalam tanah, tetapi juga tergantung pada unsur kimia dalam tanah, jenis logam, dan spesies tumbuhan. Tidak semua tumbuhan bertahan hidup pada kondisi tanah yang sudah tercemar logam berat salah satunya yaitu logam kromium. Tumbuhan yang dapat hidup di tanah yang sudah tercemar yaitu tumbuhan yang dapat beradaptasi dan mengakumulasi pencemaran tanah dengan logam kromium. Semua jenis tumbuhan memiliki kemampuan dalam mengakumulasi logam berat kromium sehingga berbeda pula jenis tumbuhan yang hidup disekitar sungai yang sudah tercemar oleh logam berat jenis kromium. Tumbuhan yang dapat bertahan hidup tersebut dapat berpotensi untuk mengurangi atau menghilangkan zat pencemar/ logam berat pencemar di dalam tanah. Penyerapan Cr berawal pada sel-sel akar. Akar memiliki aksudat yang mengandung asam organik untuk membentuk kompleks bersama Cr, sehingga menyebabkan Cr lebih mudah diambil oleh tumbuhan (Bartlett dan James, 1988 dalam Panda dan Choudhury, 2005:100). Ion Cr (VI) masuk ke dalam sel melalui protein transpor pada membran plasma. Protein transpor yang dilalui oleh Cr (VI) yaitu protein chanel atau protein pembawa (carrier) yang biasa digunakan untuk transpor sulfat atau Fe (III). Transport logam Cr dalam akar menuju bagian pucuk tumbuhan, yaitu melalui bantuan transport ligan dalam membran akar. Transport ligan tersebut kemudian membentuk kompleks transport dengan logam yang akan menembus xylem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun maka kompleks transpor ligan dengan logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma, dan tonoplasma untuk
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
51
memasuki vakuola. Di dalam vakuola, kompleks transport tersebut bereaksi dengan bagian terminal kompleks akseptor ligan untuk membentuk kompleks akseptor logam. Kemudian transport ligan dilepas dan kompleks logam terakumulasi dengan vakuola (Brooks, 1997 dalam Fuadi, 2007). Menurut Fitter (1991 dalam Fuadi, 2007) salah satu mekanisme yang mungkin dilakukan oleh tumbuhan dalam menghadapi konsentrasi toksis logam berat adalah lokalisasi baik secara intraseluler dan ekstraseluler yang biasanya terjadi pada akar.
Cary et al. (1975:300) menjelaskan bahwa
tumbuhan mengakumulasi Cr dari larutan nutrien, tetapi menahan Cr tersebut di dalam akar. Kromium yang terserap langsung dilokalisasikan pada organ akar dalam bentuk yang kurang toksik. Menurunnya tingkat toksisitas Cr diduga karena Cr tersebut menjadi immobile. Kroimum immobile ditahan oleh senyawa yang mampu mengikat Cr seperti yang dipaparkan oleh Cary et al. (1975:300), bahwa rintangan yang menghalangi translokasi Cr dari akar menuju tajuk tumbuhan adalah adanya kompleks asam organik yang mengikat Cr dan menyimpannya ke vakuola sel akar. Akumulasi Cr pada akar tumbuhan mungkin disebabkan oleh adanya pengendapan oksida atau hidroksida pada permukaan akar (Cary et al. 1975:301). Kandungan Cr yang tergantung dalam daun mungkin juga disebabkan oleh proses penyerapan yang terjadi di dalam akar. Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt (1996:807) memperlihatkan bahwa ternyata Cr terakumulasi banyak di akar dan sangat sedikit diakumulasi ke daun. Nda (Suwondo, 2005:54) menyebutkan bahwa terjadinya akumulasi di akar juga disebabkan
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
52
karena di akar terjadi serapan ion secara aktif, sehingga ion-ion logam tersebut secara aktif terakumulasi di dalam epidermis akar. Sedangkan, kecenderungan tingginya Kandungan Cr pada organ batang dibandingkan pada organ daun kemungkinan disebabkan karena mekanisme berbeda yang terjadi pada tumbuhan itu sendiri. Seperti penelitian Huffan dan Allaway (1973 dalam Cervantez et al., 2001:337) menyebutkan bahwa pada kacang, Cr terakumulasi hanya 0,1 % pada biji dan 98% terakumulasi pada akar. Menurut Fitter & Hay (1991), ada 4 jenis mekanisme utama yang mungkin dilakukan tumbuhan untuk menghadapi lingkungan toksis, yaitu: a.
Penghindaran (escape) fenologis, apabila stress yang terjadi pada tumbuhan yang bersifat musiman, tumbuhan dapat menyesuaikan hidupnya, sehingga tumbuh dalam musim yang cocok saja.
b. Eksklusi, tumbuhan dapat mengenal ion toksik dan mencegah agar tidak terambil sehingga tidak mengalami toksisitas. c. Penanggulangan (ameliorasi), tumbuhan mungkin mengabsorbsi ion tersebut tetapi bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi: pembentukan khelat (Chelation), pengenceran, lokalitas bahkan ekskresi. d. Toleransi, tumbuhan dapat mengembangkan sistem metabilosme yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksis yang potensial dengan molekul enzim. Berdasarkan hasil penelitian, diduga bahwa keempat tumbuhan yang ditemukan pada masing-masing stasiun lokasi melakukan suatu mekanisme Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
53
penanggulangan materi toksik (ameliorasi) dengan melakukan lokalisasi dengan mengakumulasi ion logamnya pada bagian tertentu seperti pada daun, batang dan akar. Selain itu,akumulasi Cr yang tinggi terdapat pada organ akar yang merupakan jalur utama dalam penyerapan Cr melalui tanah. Akibat pengaruh kecepatan absorbsi yang berubah-ubah (sesuai dengan kondisi lingkungan), maka sering kali Cr terendap dibagian batang sebelum sampai pada jaringan daun yang lebih jauh. Hasil ini juga sesuai dengan pernyataan Cheng (2003), bahwa pola kandungan Cr pada tanaman bervariasi dan pada umumnya mengikuti pola akar>batang>daun>bunga>buah>biji. Kandungan Cr pada ke empat jenis tanaman yang ditemukan, Wedeliia trilobata, Ageratum conyzoides L, Ipomoea batata, Pennisetum di ketiga lokasi penelitian tidak berbeda secara signifikan (Tabel 4.4). Hal ini disebabkan karena ketiga stasiun penelitian merupakan daerah tercemar limbah industri penyamakan kulit sehingga kandungan Cr pada setiap jenis tumbuhannya juga tidak berbeda secara signifikan. Selain faktor adanya pencemaran akibat limbah industri, kondisi lingkungan serta pemukiman juga turut mempengaruhi fisik air ketiga stasiun. Di stasiun II, beberapa meter dari lokasi pegambilan sampel terlihat banyak rumah-rumah penduduk yang terbentang di sepanjang sungai. Pada setiap beberapa meter di tepi sungai terlihat adanya aliran-aliran limbah rumah tangga yang dialirkan langsung ke sungai. Selain itu, banyaknya sampah yang menumpuk di sepanjang badan sungai disebabkan karena warga di sekitar daerah ini belum memiliki tempat pembuangan akhir sampah (TPA), sehingga sebagian besar sampah yang
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
54
dibuang di sungai tersebut selain dikumpulkan lalu dibakar. Begitu juga dengan stasiun III yang banyak terdapat sampah di sepanjang sungai. 5.
Efesiensi Logam Cr pada Tumbuhan Berdasarkan hasil pengamatan Tabel 4.5, menunjukan bahwa efesiensi
penyerapan logam Cr tertinggi berdasarkan stasiun pengamatan terdapat pada tumbuhan Wedellia trilobata (80,38± %) yang terdapat pada stasiun III dan efesiensi terendah terdapat pada tumbuhan Ageratum conyzoides L (35,25 ± %) pada stasiun I. Sedangkan berdasarkan Tabel 4.6, jenis tumbuhan yang memiliki nilai efesiensi tertinggi terdapat pada tumbuhan Pennisetum sp (17,96 ± ) dan terendah dumiliki oleh tumbuhan Ageratum conyzoides L (11,75 ±). Tumbuhan yang memiliki efesiensi yang tinggi terhadap logam Cr berbanding lurus dengan daya serap logam. Efesiensi logam Cr pada tumbuhan meningkat seiring dengan tingginya kandungan logam pada tanah. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa tumbuhan yang ditemukan di ketiga stasiun yaitu Wedellia trilobata, Ageratum conyzoides L , Ipomoea batata, Pennisetum, dapat menjadi alternatif tumbuhan agen fitoremediasi
sebab
tumbuhan tersebut memiliki nilai efesiensi yang tinggi dalam menurunkan konsentrasi Cr sehingga dapat memperbaiki kualitas tanah disekitar sungai Sukaregang Garut.
Sri Ika Yuniarti, 2012 Seleksi Tumbuhan Remediator Logam Kromium Di Daerah Industri Sukaregang Garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu