BAB IV HASIL DAN PEBAHASAN 4.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1
Kondisi Geografis `Desa Banuroja adalah sebuah desa yang terbentuk dari hasil Pemekaran
Desa Manungggal Karya pada Tahun 2003.Desa Banuroja terletak di dijalur Jalan Trans Sulawesi menuju Kecamatan Taluditi dengan topografi daerah hunian berupa dataran, sedangkan lahan pertanian berupa dataran dan perbukitan. Sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa Sarimurni, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Manunggal Karya, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Patuhu dan Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sarimurni. Jarak desa ini dari ibukota kecamatan 4 Km, dan dengan Ibu Kota Kabupaten berjarak 30 Km dengan waktu tempuh 45 menit.Curah hujan rata-rata 0,15 mm dengan suhu rata-rata 320C. Jumlah penduduk desa Banuroja sampai tahun 2011 adalah 974 Jiwa jika presentasi sesuai kepala keluarga (KK) maka jumlahnya sekitar 286 kepala keluarga(KK). Jumlah penduduk laki-laki 519 jiwa dan perempuan 455 jiwa. Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. (Sumber: Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011).
4.1.2
Kondisi Demografi Desa
4.1.2.1 Keadaan Penduduk Desa Tabel. 1 Keadaan Penduduk Jumlah No
Uraian
1
Jumlah Penduduk Desa (Jiwa)
865
Thn 2007 881
2
Jumlah Kepala Keluarga (KK)
248
252
262
275
278
286
3
461
562
496
500
519
420
452
457
448
455
5
Jumlah Penduduk Laki-Laki 453 (Jiwa) Jumlah Penduduk Perempuan 412 (Jiwa) Jumlah Petani/Ternak 246
246
238
235
253
235
6
Jumlah Nelayan
-
-
-
-
-
-
7
Jumlah Pertukangan
2
2
3
3
3
3
8
Jumlah Usaha Jasa/UKM/IKM
1
1
2
3
4
4
9
Jumlah PNS
12
12
16
22
28
28
10
Jumlah Pegawai Swasta
-
-
-
-
-
-
11
Jumlah ABRI + Polisi
-
1
1
1
1
1
12
Jumlah Penganggur
13
Jumlah Warga Miskin
161
143
143
116
97
97
14
Jumlah Mahayani dibangun
3
4
3
3
3
3
15
Jumlah Fakir Miskin (Lansia, Yatim Piatu dan Cacat)
Thn 2006
4
Thn 2008 1014
Thn 2009 953
Thn 2010 948
Thn 2011 974
Dari tabel di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk pada tahun 2006 hingga 2008 mengalami perubahan yang cukup signifikan, dimana jumlah penduduk pada tahun 2006 tercatat 865 (jiwa), kemudian pada tahun 2007 meningkat 881 (jiwa), dan tahun 2008 tercatat 1014 (jiwa). Sedangkan pada tahun 2009, 2010, jumlahnya menurun. Pada tahun 2009 tercatat 953 (jiwa) dan 2010 tercatat 948 (jiwa). Pada tahun 2011 mengalami perubahan lagi untuk jumlah penduduk
sekitar 974 (jiwa). Untuk jumlah kepala keluarga (KK), setiap tahun meningkat mulai dari tahun 2006 sekitar 248 jiwa, hingga 2011 berjumlah 286. Begitu juga dengan poin-poin yang lainnya, setiap tahunnya meningkat mulai dari tahun 2006 hingga 2011. Kecuali ada beberapa poin yang setiap tahunnya mnurun misalnya, jumlah petani ternak dan jumlah warga miskin. Berbeda dengan jumlah Abri + Polisi dan jumlah mahayani yang dibangun tidak mengalami perubahan yang signifikan. (Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.2 Keadaan Pendidikan Pendidikan merupakan instrumen utama dalam peningkatan daya saing, dan mengkonstruksi kapasitas sumber daya manusia yang produktif. Sebuah pendidikan dapat menghasilkan generasi insani yang menjadi kompas peradaban suatu bangsa dalam menentukan arah dan tujuan. Olehnya itu, penyelenggaraan pendidikan dianggap penting dan sangat esensial dalam proses penyadaran sikap dan tinggkah laku generasi. Keadaan pendidikan di Banuroja disajikan dalam tabel berikut. Tabel. 2 Keadaan Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Jumlah Warga Buta Huruf Tidak Tamat SD Tidak tamat SMP Tidak Tamat SMA Tamat S1 Jumlah Sekolah TK Jumlah Sekolah SD/Ibtidaiyah Jumlah Guru SD
Thn 2006 69
6
Thn 2007 69 66
Jumlah Thn Thn 2008 2009 67 65 78 70
Thn 2010 65 66
Thn 2011 63 73
16 2 6
16 2 6
28 2 11
37 1 2 11
19 2 8
9 10
Jumlah Guru SMP/MTs Jumlah Guru TK
3 -
3 -
5 -
7 -
7 -
7 2
Dari table diatas, terlihat bahwa, terjadi penurunan angka buta huruf sejak tahun 2006 berjumlah 69 jiwa, kemudian pada 2011 menurun menjadi 63 jiwa. Masyarakat yang buta huruf tersebut, adalah masyarakat yang sudah lanjut usia yang berasal dari daerah asal seperti dari Bali,NTB dan Jawa yang datang sejak penempatan Transmigrasi.Namun saat ini hampir seluruh masyarakat Banuroja yang masuk dalam usia sekolah, telah bersekolah.Halini karena sarana pendidikan di Desa banuroja sudah cukup memadai seperti adanya TK,SD dan Pondok Pesantren yang memiliki fasilitas pendidikan yang sudah cukup baik.Dalam hal ini, dukungan Pemerintah masih sangat diharapkan terutama membantu memberikan Beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu dan bagi yang berprestasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. (Sumber:(LKPJ) Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011) 4.1.2.3 Keadaan Kesehatan Tabel. 3 Keadaan Kesehatan
No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Jumlah kasus gizi buruk Jumlah Kasus Gizi kurang Jumlah Posyandu Jumlah Polindes Jumlah Pustu Jumlah Bidan Jumlah Dukun Anak
7
5
Jumlah Thn Thn 2008 2009 5 3
1 1 -
1 1 -
1 1 -
Thn 2006
Thn 2007
1 1 1 -
Thn 2010 2
Thn 2011 2
1 1 1 1 -
1 1 1 1 -
Dari
table
diatas,merupakan
perkembangan
yang
sangat
meng-
gembirakan, jumlah kekurangan gizi memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, pada tahun 2006 berjumlah 7 jiwa, terjadi perubahan pada tahun-tahun berikutnya hingga 2011 menurun menjadi 2 jiwa yang kekurangan gizi.Nampak bahwa sarana dan prasaran kesehatan seperti posyandu dan pustu cukup membantu masyaakat di Desa Banuroja, sehingga pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil dan balita sudah cukup baik,hal ini juga berkat peran aktif kaderkader kesehatan yang ada di Desa Banuroja cukup aktif, namun hal ini masih perlu dukungan yang kontinu dari pihak-pihak yang berkaitan. (Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011) 4.1.2.4 Agama Tabel. 4 Pemetaan Agama di Banuroja NO
JENIS AGAMA
JUMLAH PEMELUK
JML TEMPAT IBADAH
1
Islam
548
4
2
Kristiani
15
2
4
Hindu
411
2
Berdasarkan table tersebut, nampak warga Desa Banuroja terdiri dari masyarakat dengan keyakinan yang beragam.Namun, sampai saat ini seluruh masyarakat Desa Banuroja dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai. (Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.5 Etnik Tabel 5 Pemetaan Etnik di Banuroja NO
Jenis Etnik
Jumlah Penduduk
1
Bali
110 KK
2
Nusa Tenggara (Lombok)
74 KK
3
Gorontalo
2 KK
4
Jawa
95 KK
5
Minahasa
5
KK
(Sumber :Kantor Desa Banuroja 2006 S/D Tahun 2013)
Berdasarkan table di atas, nampak warga Desa Banuroja memiliki keragaman etnik, hal tersebut merupakan salah satu bukti nyata dari sederetan realitas heterogenitas masyarakat Indonesia. Dari tabel tersebut, terlihat jumlah KK etnis Gorontalo cukup sedikit jumlahnya sekitar 2 KK, tetapi dari hasil wawancara, jika dihitung/jiwa, masyarakat Gorontalo berjumlah sekitar 10 jiwa, mereka telah melakukan pernikahan campur, baik dengan masyarakat Bali maupun Lombok. dari hasil wawancara yang dilakukan, sekitar tahun 1981 hingga 2003 akhir, masyarakat dari etnis Gorontalo cukup banyak (tidak diketahui dengan pasti jumlahnya) menempati wilyah tersebut. Ada yang berasal dari Kecamatan Lemito, Popayato, Marisa, dan Patilanggio. Bahkan ada juga yang berasal dari luar Kabupaten Pohuwato, misalnya dari Batudaa. Tetapi semakin bergulirnya waktu, banyak masyarakat Gorontalo yang pulang ke kampung
asalnya, salah satu alasannya adalah Desa Banuroja sangat kekurangan air.Masyarakat yang bermukim di Desa Banuroja terdiri dari masyarakat dengan etnis yang beragam. Namun, sampai saat ini seluruh masyarakat Desa Banuroja dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
4.1.2.6 Kelembagaan Desa Tabel. 6 Kelembagaan Desa JENIS KELEMBAGAAN
JUMLAH PENGURUS Aktif
Peran dan Fungsi di Tdk Aktif
Masyarakat
DESA Pemdes
9
Pelayanan publik
BPD
5
Mitra Pemdes
LPM
5
Pemberdayaan
Karang Taruna
2
Wadah pemuda
Desa Banuroja telah memiliki kelembagaan yang cukup lengkap dengan adanya pemerintahan desa, BPD, LPM dan Karang taruna. Masing-masing lembaga ini memiliki pengurus yang aktif dalam memberikan peran dan fungsinya kepada masyarakat desa Banuroja.(Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.7 Keadaan Fisik dan Prasarana Desa a. Sarana dan Prasarana Ekonomi Tabel. 7 Sarana dan Prasarana ekonomi No 1 2
Jenis Sarana dan Prasarana ekonomi
Perbankan Koperasi Pondok 1 Pesantren Sentra pembuatan Pupuk Organik
3
1
Jumlah Thn Thn 2008 2009 1 1
1
Thn 2011 1
-
-
-
1
Thn 2006
Thn 2007
-
Thn 2010
Desa Banuroja memiliki koperasi Pondok Pesantren sejumlah 1 unit, dan tidak bertambah lagi jumlahnya di tahun-tahun berikutnya. Dan, untuk sentra pembuatan pupuk organik, nanti pada tahun 2011 baru dibentuk. Sedangkan perbankan belum dibentuk dari tahun 2006 hingga 2011. (Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
b. Sarana dan Prasarana Pemerintahan Desa Tabel. 8 Sarana dan Prasarana pemerintahan No 1 2 3 4
Uraian
Thn 2006 desa 1
Kantor (Ada/Belum ada) Kantor BPD (Ada/Belum ada) Kantor LPM (Ada/Belum ada) Jumlah aparatur desa 9
Thn 2007 1
Jumlah Thn Thn 2008 2009 1 1
Thn 2010 1
Thn 2011 1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
9
9
9
9
Dari gambaran tabel di atas, menunjukan bahwa untuk bangunan kantor desa tidak bertambah jumlahnya sejak 2006 hingga 2011, Begitu juga dengan jumlah aparatur desa. Untuk kantor BPD dan LPM belum memiliki bangunan yang digunakan untuk melakukan aktivitas, tetapi dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari masih berkantor (numpang) di Kantor Desa Banuroja(Sumber : (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.8 Pemerintahan Desa a. Penerapan Good Governance Sejak tahun 2007, Desa Banuroja telah mengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) yang saat itu berjumlah 100 Juta, kemudian tahun 2008 meningkat menjadi 150 juta. Adanya ADD ini maka pemerintah desa wajib mengelola dengan baik dengan prinsip Koordinasi, Transpransi, Akuntabilitas dan Partisipatif. Koordinasi dilaksanakan dalam upaya memastikan bahwa pengelolaan ADD berjalan sesuai dengan regulasi yang ada. Transparansi dilaksanakan sebagai upaya membuka ruang bagi masyarakat untuk mengetahui APBDes Banuroja yang dilaksanakan setiap tahun. Akuntabilitas diarahkan pada seluruh kegiatan yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik serta partisipatif diarahkan pada bagaimana seluruh perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan kegiatan di desa dalam melibatkan masyarakat, baik bersumber dari APBDes maupun dari lembaga lain.Guna menjalankan Pemerintahan Desa, maka jumlah aparatur desa Banuroja saat ini profilny adalah sebagai berikut :
Tabel. 9 Profil Aparatur Desa Banuroja No
Nama Aparatur
A 1
PEMERINTAH DESA KADES
2 3
SEKDES KAUR PEMERINTAHAN
4
KAUR PEMBANGUNAN
5 6
KAUR UMUM KADUS I KADUS II
B
KADUS III KADUS IV PENGURUS BPD
1
KETUA
2
WAKIL KETUA
3 4 5
SEKRETARIS ANGGOTA ANGGOTA
C 1
PENGURUS LPM KETUA
2 3
SEKRETARIS ANGGOTA
4 5
ANGGOTA ANGGOTA
Jenis Kelamin
Umur (tahun)
Pendidikan
Lama menjabat
RONNY 38 KOYANSOW FEBRI YAHYA 33 I NYOMAN SUARDANA I DEWA NAMARUPA MOH.AZWAR I NYOMAN PASEK I WAYAN SUARTA MOH.ZAKPAN KUSRI
SMA
6 Thn
D1 SLTP
2 Thn 6 Thn
SLTP
6 Thn
STM SLTP
6 Thn 2 Thn
SLTP
6 Thn
SLTP SLTP
6 Thn 6 Thn
I MADE SUARDANA NURCO MAKSUD UMIYATI I MADE JAMAN AKMALUDIN
SPGA
6 Thn
S1
2 Thn
SLTP SLTP MA
6 Thn 6 Thn 6 Thn
I WAYAN ADHA TURMUJI KHUDZAIFAH AZIS HANO LIHAWA ABDUL DJALAL
SLTP SLTP SLTA SD SLTP
Dari gambaran tabel di atas, terlihat bahwa semua aparatur desa berasal dari suku dan agama yang brbeda. Presentasi lulusan, aparatur yang lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) jumlahnya sekitar 12 orang, Sekolah Dasar 1 orang, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/se-derajat berjumlah 3 orang,
Sarjana berjumlah satu orang, dan juga untuk Diploma berjumlah satu orang. Kemudian, dalam hal lamanya aparatur menjabat rata-rata paling lama enam tahun.(Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
b. Demokrasi Desa Berlakunya otonomi
daerah,
juga berimplikasi
pada sistem
pemerintahan desa yang telah diatur melalui PP Nomor 72 tahun 2005. Desa yang memiliki otonomi sendiri seperti tingkat Kabupaten, juga wajib menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) untuk jangka waktu 6 tahun. Memenuhi hal tersebut, maka Desa Banuroja pada tahun 2005 lalu telah melakukan Pilkades yang berlangsung secara tertib dan aman, dilantik pada bulan Januari 2006, dengan terpilihnya kepala desa saat itu yakni Bapak Ronny Koyansow. (Sumber : (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa Jabatan Tahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.3
Kondisi Ekonomi
4.1.3.1 Potensi unggulan Desa 4.1.3.1.1 Kawasan Pertanian 1. Potensi Lahan Pertanian Potensi lahan pertanian (ladang/tegalan) seluas 378,2 Ha dan rawa seluas 69 Ha. Potensi lahan tersebut di desa Banuroja dimanfaatkan untuk hal-hal sebagai berikut :
Tabel. 10 Potensi Lahan Pertanian No
Luas Lahan Termanfaatkan
Jenis Lahan
(Hektar)
1
Lahan Pekarangan (Ha)
56,90
2
Lahan Tegalan (Ha)
30
3
Padang Rumput (Ha)
-
4
Ladang (Ha)
348,2
5
Rawa (Ha)
69
6
Tambak (Ha)
-
Dari perbandingan data potensi tersebut diatas, lahan pertanian yang sudah dimanfaatkan sekitar 80 %.Namun, tingkat kesuburan tanah di Desa Banuroja sangat rendah.Sehingga, produksi pertanianpun sangat minim. Adapula lahan tegalan yang merupakan lahan sawah tadah hujan yang juga pemanfaatanya tidak maksimal karena hanya mengharapkan curah hujan untuk dapat memanfaatkanya. (Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011).
a. Potensi Lahan Perkebunan Komoditi perkebunan di desa Banuroja tidak dapat menjadi andalan sebagai sumber penghasilan masayarakat karena kondisi dan struktur tanah desa banuroja kurang cocok untuk tanaman perkebunan,hal tersebut disebabkan karena jenis tanahnya yang yang merupakan tanah liat, sedangkan sebagian lagi berupa perbukitan dengan jenis tanah yang bercadas/berkerikil
b. Produksi Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Komoditi tanaman pangan dan hortikultura yang berkembang baik di Desa Banuroja adalah jangung dan kedelai Tabel. 11 Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura Jenis
Tahun 2010
Komoditi No
Tanaman
Luas
Luas
Pangan dan
Tanam
Panen
Holtikultura
(ha)
(Ha)
Tahun 2011
Produksi (Ton)
Luas
Luas
Tanam
Panen
(ha)
(Ha)
Produksi (Ton)
Jagung
185
185
740
170
170
680
Kedelai
20
20
35
25
25
40
(Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011) Melihat kondisi tanah yang cukup memprihatinkan, Pada proses penanaman jagung di Desa Banuroja, para petani melakukan perawatan yang cukup intensif. Secara teknis, sesuai anjuran Tim penyuluh pertanian Kabupaten, Provinsi, maupun Pusat, untuk mendapatkan hasil lebih dan cukup, petani dianjurkan untuk melakukan perawatan secara intensif. Yakni, petani harus melakukan pemupukan sebanyak tiga kali. Pemupukan awal, jagung berumur sekitar 21 hingga 25 hari. Pemupukan kedua, jagung berumur satu setengah bulan (45 hari). Pemupukan ketiga, jagung berumur 60 hingga 65 hari. Hal tersebut sering dipraktekan oleh masyarakat Banuroja yang notabenenya adalah petani, demi mendapatkan hasil yang memuaskan. Selain dari perawatan, petani juga dianjurkan melihat musim yakni, musim tahunan (Taua) berkisar pada bulan oktober-desember,
kemudian musim pertengahan tahun (hulita) berkisar antara bulan apriljuni c. Sarana dan Prasarana Pertanian Mata pencaharian utamamasyarakat Desa
Banuroja adalah
pertanian dengan usaha pendukung yakni, memelihara ternak. Adapun sarana dan prasarana pendukung pengambangan pertanian yang ada didesa seperti pada table berikut ini. Tabel. 12 Sarana dan Prasarana Pertanian No
Jenis Alat Mesin Pertanian dan Prasarana Pertanian
Jumlah saat ini
Kodisi (baik/rusak)
1
Handtraktor
5
2 Rusak
2
Perontok jagung
4
Baik
3
Mesin Perontok /padi
2
Baik
4
Embung
1
Baik
5
Mesin penghisap air
1
Baiik
6
Kandang koloni
4
Baik
7
Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPPO)
1
Baik
Dari table tersebut,nampak bahwa peralatan pertanian yang ada di Desa Banuroja masih sangat minim, terutama, alat pertanian untuk pengolahan tanah, sehingga hal ini sangat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam rangka perluasan areal tanam. Selamaini, masyarakat hanya maengandalkan bantuan ternak sapi untuk pengolahan tanah. Kedepan alsintan dan lantai jemur masih dibutuhkan dalam rangka
meningkat produksi dan kualitasnya. (Sumber :(LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011).
d. Kelembagaan Pertanian Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan usaha Pertanian adalah berkelompok. Secara alamiah, hal ini sudah terjadi dimasyarakat, namun ada pula kelompok-kelompok yang dibentuk atas anjuran pemerintah. Adapun perkembangan kelompok tani di Desa Banuroja seperti disajikan pada table berikut ini : Tabel. 13 Kelembagaan Pertanian No
1 2 3 4 5 6 5
Jenis Kelembagaan Jumlah Kelompok Tani Jagung (Klp) Jumlah Kelompok Padi (klp) Jumlah Kelompok Kedelai (klp) Jumlah Gapoktan (Klp) Koperasi Pertanian (Unit) Jumlah Kelompok Ternak (klp) Jumlah Kelompok Tani Perkebunan
Jumlah Thn 2006 4
Jumlah Thn 2007 6
Jumlah Thn 2008 6
Jumlah Thn 2009 7
Jumlah Thn 2010 7
Jumlah Thn 2011 7
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
-
-
1
1
1
1
-
-
-
-
-
-
1
1
2
3
4
4
-
-
-
-
-
-
Bersdasarkan table tersebut, nampak kelompok tani yang ada, sudah mengakomodir sebagian besar petani yang ada didesa,sedangkan untuk kelompok padi hanya ada 1 kelompok karena areal sawah yang ada hanya sekitar 30 Ha saja.kelompok perkebunan belum ada karena di desa
Banuroa memang tidak memiliki areal perkebunan.Namun demikian, kelompok-kelompok pertanian ini belum ditunjang dengan alat pertanian yang memadai serta manajemen kelompok yang masih sederhana dan tradisional. (Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011) 4.1.3.1.2 Kawasan Perikanan dan Kelautan 1.
Potensi Perikanan Desa Banuroja adalah desa yang tidak terletak dipesisir pantai, sehingga
Desa Banuroja tidak memiliki potensi perikanan yang besar,namun sejak pertengahan Tahun 2011 masyarakat mulai membudidayakan perikanan air tawar seperti ikan lele dan Nila. Saatini terdapat sekitar 120 kolam ikan air tawar yang tersebar dipekarangan rumah penduduk dengan berbagai ukuran yang bervariasi.Harapan masyarakat dikemudian hari uasaha budidaya ini selain dapat memenuhi kebutuhan Gizi keluarga tetapi juga dapat memberikan penghasilan tambahan untuk keluarga. 4.1.3.1.3 Kawasan Peternakan 1.
Sarana dan Prasarana serta Populasi Ternak Tabel. 14 Populasi Ternak
No
1 2
Jenis Sarana, Prasarana dan Populasi ternak Jumlah Populasi Ternak Sapi (ekor) Jumlah Populasi
Jmlh Thn 2006
Jmlh Thn 2007
Jmlh Thn 2008
Jmlh Thn 2009
Jmlh Thn 2010
Jmlh Thn 2011 1188 160
3 4 5 6
Ternak Kambing (ekor) Jumlah Populasi Ayam Kampung (ekor) Jumlah Populasi itik (ekor) Jumlah Kelompok Tani Ternak Jumlah Tempat Penggemukan sapi
3492 90 3 1
Berdasarkan table diatas, nampak populasi ternak sapi, kambing, itik dan ayam kampung meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cocok dengan komoditi ini dan juga kondisi alam Desa Banuroja cukup toleran dengan pengembangan peternakan ini. Untuk itu kedepan komoditi ternak bisa menjadi andalan warga Desa Banuroja mengingat komoditi ini bisa menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat, selain komoditi jagung dan kedelai, bahkan integrasi keduanya dapat memungkinkan karena saling menguntungkan (menunjang). (Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.3.1.4 Kawasan Kehutanan Letak desa Banuroja yang diapit oleh desa-desa sekitar. Sehingga, Desa Banuroja tidak memiliki areal hutan yang dapat dijadikan potensi desa. Sebagian besar tanah di Desa Banuroja adalah tanah milik masyarakat dari pembagian jatah Transmigran sejak tahun 1981 yang sampai saat ini sudah terolah,namun ada juga sebagian lahan pertanian masyarakat yang kondisinya kritis oleh masyarakat telah ditanami dengan tanaman hutan seperti pohon jati.
4.1.3.1.5 Kawasan Pengelolaan Pertambangan Desa Banuroja tidak memiliki potensi pertambangan karena kondisi geografis desa yang tidak dialiri oleh sungai besar yang berpotensi mengandung bahan material seperti pasir dan batu sungai. 4.1.3.1.6 Kawasan Parawisata Desa Banuroja juga tidak memiliki potensi pariwisata, karena desa ini terbentuk dari wilayah yang dibuka oleh pemerintah melalui program Transmigrasi yang tidak memiliki daerah pantai maupun tempat-tempat yang terdapat situs-situs sejarah lainya. 4.1.3.1.7Industri, Perdagangan dan Jasa Tabel. 15 Industri, Perdagangan dan Jasa No
1 2 3 4
5 6
7 8 9
Jenis Usaha
Jumlah Thn 2006
Jumlah Kios (Unit) Jumlah Industri mebel (Unit) Jumlah Industri perbengkelan (Unit) Jumlah Jasa Tukang Jahit (Unit)
14 -
Jumlah Thn 2007 14 -
Jumlah Thn 2008 17 1
Jumlah Thn 2009 19 1
Jumlah Thn 2010 21 1
Jumlah Thn 2011 21 1
-
1
1
1
1
1
-
-
-
-
-
-
Jumlah Pangkalan Minyak (unit) Jumlah Pengisian Ulang Air Minum (unit) Jumlah pembuatan Tahu Jumlah Tukang Bangunan (Org) Jumlah Penjual Sayuran keliling
1
1
2
2
2
2
-
-
-
-
-
-
1
2
2
1
1
1
8
12
12
12
15
15
1
1
2
3
3
3
10 11 12
Jumlah Pengepul 1 hasil Pertanian Jumlah Pedagang 1 ternak Jumlah industri pembuatan emping jagung
1
2
4
4
4
2
2
3
3
3
1
1
1
1
1
Berdasarkan table diatas,nampak bahwa usaha kecil menengah (UKM) yang terdapat di Desa Banuroja.Data ini menggambarkan perputaran uang di Desa Banuroja cukup dinamis. (Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
Keadaan ekonomi Desa Tingkat perekonomian Desa Banuroja cukup dinamis, hal ini karena sebagian besar warga desa ini bermata pencaharian petani dan peternak, sebagian lagi juga bergerak dibidang usaha perdagangan,industri rumah tangga dan PNS. 4.2
Hasil
4.2.1
Banuroja, Refresentasi Identitas Dalam Sebuah Nama Sebuah nama merupakan identitas dari suatu objek.Nama Banuroja
merupakan refresentasi dari nama-nama suku yang dominanya tinggal di desa Banuroja, yakni: “ Suku BAli, NUsa Tenggara Barat, GoROntalo, dan Jawa. Sehingga dirumuskan menjadi BANUROJA. Sebelum melangkah jauh pada pembahasan nama Banuroja, mungkin, sangat perlu untuk membahas alasan dan kapan nama tersebut disepakati menjadi nama sebuah desa yang merefresentasi dari etnik yang dominan di wilayah tersebut. Pada Waktu itu, tempat ini bernama Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Marisa I Sub B.Beberapa Tahun Kemudian, bersama-sama dengan UPT
Marisa I Sub A, Terbentuklah sebuah desa Defenitif Bernama Desa Manunggal Karya. Dan Pada Tahun 2003 desa Manunggal Karya Dimekarkan Menjadi 2 (Dua) desa Wilayah, yang berada di eks UPT Marisa I Sub A Tetap bernama desa Manunggal Karya (sampai sekarang), dan Wilayah eks UPT. Marisa I Sub B Menjadi sebuah desa yang bernama desa BANUROJA. Pada awal perumusan dan perundingan pemekaran, sempat beberapa atau sebagian masyarakat dari etnik Bali tidak menyetujui perencanaan pemekaran tersebut, mengingat sumber daya manusia
di
wilayah
menopang.Sehingga,mereka
yang
akan
masih
ingin
dimekarkan tetap
belum
bergabung
dengan
cukup Desa
Manunggal Karya. Setelah berlangsung beberapa saat, dengan pertimbangan yang matang akhirnya mereka menerima pemekaran tersebut.Pada waktu penentuan nama, salah seorang Tokoh masyarakat sekaligus Tokoh Agama yakni,Ustad Gofir mengundang semua tokoh masyarakat dari masing-masing etnis, untuk membicarakan
terkait
dengan
nama
desa
yang
baru
dimekarkan
itu.Masyarakatmempercayakan Ustad Gofir mengusulkan nama untuk desa ini, akhirnya diusulkan tiga nama yakni, Banuroja, Jabalnur, Nujabar. Masing-masing dari nama tersebut mempunyai makna yang diserap dari Bahasa Arab dan merefresentasi dari semua etnik yang dominan. Hasil Wawancara dengan Ustad Gofir Nawawi (Tokoh Jawa) Mengatakan bahwa: “Untuk rencana pemekaran pada awalnya sebagian masyarakat Bali kurang menerima, kemudian saya sampaikan kepada semua masyarakat di Sub B. ” jika kita hanya berada pada Sub B. Tidak akan dapat apa-apa karena hanya yang dekat dengan sumur (baca: pemerintahan) yang akan dapat. Setelah dipertimbangkan akhirnya mereka mau menerima. Kemudian kami mengadakan rapat untuk pemekaran dan
penentuan nama desa. Ada beberapa nama yang sempat diusulkan antara lain : Banuroja, Jabanuro, Nujabar. Ketiga nama tersebut merefresentasi etnis yang dominan di wilayah tersebut, misalnya Banuroja (Bali, Nusa tenggara, Gorontalo, Jawa), Jabanuro (Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo), Nujabaro (Nusa Tenggara, Jawa, Bali, Gorontalo). Akhirnya yang dipilih oleh semua masyarakat adalah Banuroja.Banuroja berasal bahasa Arab yakni, Banu/Bani artinya anak, cucu, atau generasi, sedangkan Roja artinya optimis. Jadi Banuroja dirtikan sebagai Generasi yang Optimis. Jabanuro artinya Gunung Jabalnur, kemudian Nujabar artinya terkabulkan.” (wawancara tgl 11/3/2013 ) Wawancara denga I Wayan Ade (Tokoh Bali) mengatakan bahwa: “Sebelum nama Banuroja disahkan sebagai nama desa ini, semua tokoh berkumpul. Kami memusyawarahkan dengan beberapa Tokoh etnis, kemudian oleh Ust. Gofir nawawi mengusulakan 3 nama yakni, Jabalnur, Banuroja, Nujabar, nama tersebut diambil dari bahasa Arab karena mungkin desa Banuroja ini terkenal dengan pencetak sumber daya manusia (SDM) dari pesantren Salafiyah Safiiyah. Sehingga dipilah namaBanuroja yang mewakili etnis yang dominan yakin, Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, Jawa. Kalau bicara pemaknaan nama, karena yang hadir terlebih dahulu di wilaya UPT ini adalah Bali tgl 26 maret 81 jam 10 pagi, 3 bulan kemudian Nusa Tenggara, kemudian Jawa pada bulan Juni, setelah itu Grtlo.” (wawancara tgl 13/3/2013) Wawancara
dengan
Moh.
Zakpan
(Tokoh
Nusa
Tenggara)
mengatakan bahwa: “Dulu dipilih 3 nama untuk wilayah marisa sub B ini yakni, Banuroja, Jabalnur, Nujaba akhirnya yang disepakati oleh tokoh-tokoh tersebuta nama banuroja untuk wilayah ini.Ustad Gofir yang memberikan nama tersebut, di ambil dari bahsa Arab, sekaligus keterwakilan dari semua eknis yang dominan di wilayah ini. Untuk masalah nama pertama Bali,Dulu itu duluan bali yang datang ke wilayah ini sehingga nama yang bernisial (B) yang di depan nama daerah ini kemudian etnis yang lainnya.” (wawancara tgl 13/3/2013) Wawancara dengan Moh. Gozali (Tokoh Nusa Tenggara) mengatakan bahwa: “Saya dari tahun 1981 bulan april, Dulu sebelum ada desaBanuroja masih marisa 1 sub B, kemudian tahun sekitar 2000-an ada pemekaran.
Hasil pemekaran tersebut diberi nama Banuroja, nama ini diambil dari nama kelompok “Bali, Nusa Tenggara, GoROntalo, Jawa. Filosofi dari nama tersebut, sampai huruf petama adalah inisial Ba (Bali), karena Bali yg pertama datang ke wilayah sub b ini, kemudian, NTB (lombok), Gorontalo, Jawa.Bali masuk ke wilayah ini tahun 81, kemudian suku yg lain juga masuk 81 tetapi berbeda pada bulan. NTB tiba bulan 4, tgl 4.” (wawancara 12/3/2013) Keterwakilanidentitas dari masing-masing etnis dalam sebuah nama, merupakan salah satu antusias masyarakat dalam menciptakan sebuah kerukunan, sehingga tidak menimbulkan sifat iri hati, karena nama Banuroja tersebut merefresentasi dari masing-masing identitas etnis yang dominan, sebuah tindakan yang sangat progres dan bijaksana, ketika keberagaman identitas dirajut menjadi sebuah nama. Denganrajutan itu, tak ada etnis yang merasa lebih tinggi derajatnya dibanding dengan etnis lain, masing-masing merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keharmonisan desa tersebut, integrasi lebih diutamakan daripada disintegrasi. 4.2.2 Gejolak YangTerjadiPada Masyarakat Masyarakat Banuroja hidup rukun dan saling toleransi antar sesama masyarakat,dalam sebuah tatanan masyarakat yang heterogen, tidak dapat dipungkiriakanterjadi suatu gesekan dan gejolak yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat maupun faktor lainya.Meskipungejolak tersebut tidak sampai merambah pada konflik sosial.Terutama,pada masyarakat Banuroja yang didiami oleh beragam macam suku dan agama. Masyarakat Banuroja, yang kehidupannya rukun dan damai, juga sering mengalami gejolak dan gesekan dalam perjalanan mengarungi samudera kehidupan bermasyarakat. Gejolak tersebut terjadi, baik yang diakibatkan olehpermasalahan antar generasi muda yang berbeda etnis dan
agama, masalah kecemburuan sosial antar etnis, masalah penyebaran agama, bahkan pernah terjadi masalah sengketa tanah yang dihibakan untuk Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang sampai hari ini permasalahan tersebut belum selesai tetapi masih redam. Wawancara dengan Moh. Gozali (Tokoh Lombok) mengatakan bahwa: “Dulu pernah ada masalah antara Lombok dan Bali,dibalik permasalahan ini ada orang yg bikin fitnah dari salah satu agama yang ada di desa tersebut, dasarnya orang ini tidak rukun dengan Bali, Lombok, dan Jawa. Kebetulan org tersebutbekerja sebagai pembantusama orang Bali, kemudian dia bikin fitnah di sana, kalau tidak salah masih masuk tahun 84-85.PakWayan ade kepala desa definitif dulu di Manunggal Karya, yang buat fitnah tersebut berasal dari flores, dan alhamdulillah permasalahan tidak sempat menciptakan konflik sosial di antara masyarakat, orang yang tadi rencana akan dibunuh oleh masyarakat, waktu itu masyarakat ribut. tapi saya sempat atasi permasalahan, saya waktu itu di bidang keamanan desa. Saya undang yang bermasalah secara kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah tersebut.” Wawancara tgl 12/3/2013 Gejolak yang terjadi seperti dijelaskana di atas, merupakan adanya rasa iri hati dari salah seorang masyarakat yang melihat betapa rukunnya masyarakat Bali dan Lombok dalam kehidupan sehari-hari.Sehingga, orang tersebut punya keinginan untuk menghancurkan persahabatan antara dua etnis itu. Permasalahan mengenai apa yang membuat orang tersebut tidak senang dengan kerukunan antara kedua etnis itu, tidak diketahui lebih jelas oleh masyarakat setempat, berhubung orang yang menyebarkan fitnah tadi sudah pindah tanpa ada kejelasan ke mana Ia pindah. Fitnah seperti yang terjadi di atas sangat potensial dalam memicu konflik sosial antara masyarakat, sehingga perlu kewaspadaan dan kelapangan hati untuk menerima setiap isu yang digemborkan oleh oknum-oknum
yang menginginkan disintegrasi pada suatu masyarakat yang rukun. Dalam masyarakat multietnik dan multiagama, bukanlah merupakan masalah yang baru jika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang krusial seperti di atas, hanya
saja,
bagaimana
sikap
kita
untuk
menepis
permasalahan
tersebut.Inilahtantangan yang amat besar dalam menjaga keharmonisan, karena tak dapat dipungkiri, tantangan tersebut bisa saja datang dari luar bahkan juga dari dalam masyarakat itu sendiri. Modal utama dalam hidup bermasyarakat, terutama dalam masyarakat heterogen adalah jangan cepat terpengaruh oleh isu-isu negatif yang datangnnya dari dalam maupun luar. Wawancara dengan Ust. Gofir (Jawa), beliau mengatakan bahwa: “Untuk jauh dari konflik antar masyarakat yang berbeda suku dan agama, kita harus menghindari perbuatan seperti: menghina, mencela, buruk sangka, pandang enteng, mencemarkan nama baik. Karena hal-hal tersebut yang memicu konflik sosial.” Wawancara tgl 11/3/2013 DesaBanuroja, sering dihadang oleh badai disintegrasi, tetapi dengan semangat persatuan mereka mampu mengkonstruksi harmonisasi di tengah-tengah lautan multikulturalisme. Gejolak yang terjadi di desa ini bukan hanya permasalahan fitnah tapi juga sempat terjadi masalah mengenai penyebaran agama. Seperti yang di sampaikan oleh beberapa tokoh masyarakat di bawah ini. Wawancara dengan Ust. Gofir Nawawi mengatakan bahwa: “Dulu terjadi penyebaran agama yang dilakukan oleh misionaris pada masyarakat yang ada di Banuroja, kalau saya tidak diutus oleh Menteri Agama ke desa ini, mungkin semuamasyarakat sudah masuk ke dalam agama tersebut, hal tersebut terjadi karena pada waktu itu pernah terjadi musim kemarau panjang selama 9 bulan, banyak orang-orang islam yang tergoda oleh bujukan tersebut, karena dikasih uang dan makanan juga pakaian sehingga sebagian dari mereka tergoda untuk masuk salah satu agama yang disebarkan oleh misionaris, hal tersebut mengundang kemarahan sebagian dari kalangan Umat Islam, sehingga dengan perlahan
para misionaris tersebut kembali ke tempat asal mereka masing-masing. Mereka sebenarnya berasal dari salah satu daerah yang ada di Sulawesi tetapi mengakunya dari Jawa dan DKI. Bukan hanya itu saja, dulu juga sempat ada gesekan antara anak-anak muda dari masing-masing etnis yang dipicu karena mabuk. Tetapikita bendung dan kita bina anak-anak tersebut tentang ruginya berkelahi, Masing-masing tokoh saya undang agar memberi nasehat kepada masing-masing kelompoknya.” Wawancara tgl 11/3/2013 Wawancara dengan I Wayan Ade dan Dewa Sudana “Kami dulu memang ada gejolak biasanya melalui khotbahkhotbah tapi kami tidak berikan kesempatan mereka untuk masuk.” Wawancara tgl 13/32013 Dari penuturan kedua tokoh masyarakat di atas mengenai gejolak pada waktu itu, merupakan sebuah misi keagamaan untuk menyebarluaskan beritaberita tentang suatu kebenaran pada akhir kehidupan.Agar, masyarakat dapat berpegang teguh pada ajaran yang mereka (missionaris)bawa. Secara kebetulan, pada waktu itu terjadi musim kemarau panjang selama sembilan bulan lamanya, sehingga menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan, semua masyarakat mengalami krisis pangan dan krisis lainya. Dengan adanya suatu kebutuhan yang semakin meningkat, membuat masyarakat menyandarkan pilihannya untuk mengikuti
ajakan
mereka.Denganiming-iming
(baca:
janji)
yang
cukup
menggiurkan, yakni akan diberikan bahan-bahan untuk keperluan kehidupan sehari-hari, seperti: beras, mie instan dan bahan pokok lainnya. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa informan, bahwa yang sempat terbujuk oleh rayuan para missionaris tersebut cukup banyak, untuk penentuan berapa banyak tidak diketahui dengan jelas oleh para informan, karena tidak sempat di data.Kejadian tersebut sempat kacau, sebagian masyarakat yang tetap teguh pada
agamanya protes dan mengamuk. Pada saat gejolak tersebut terjadi, Ust. Gofir Nawawi (biasa disapa dengan Abah Gofir) diutus oleh Menteri Agama RI ke Banuroja, dengan hadirnya beliau di desa itu, membuat permasalahan pada waktu itu dapat diatasi, dan para misionaris pindah dari desa tersebut. Sebagian masyarakat ada yang kembali pada agama sebelumnya, ada juga yang tetap bertahan. Hal tersebut juga sempat terjadi di beberapa wilayah, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Seperti diketahui, keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kedeta berdarah yang gagal pada tahun 1965 menyebabkan partai ini dibubarkan. Karena PKI adalah partai komunis yang dipandang atheis, maka para anggotanya diharuskan memeluk salah satu agama resmi yang ada di Indonesia, karena tidak ada lagi ruang bagi orang-orang atheis untuk hidup di Indonesia. Mereka ibarat barang tak bertuan yang dapat diperebutkan, dan para penyebar agama, khususnya Kristen/Khatolik tidak mau melewatkan kesempatan yang sangat berharga ini. Lalu, digerakkanlah penginjilan dengan gencar dan agresif. Mula-mula mereka memang menunjukan penyiaran agamanya kepada para anggota dan keluarga PKI yang telah dibubarkan. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya mereka meningkatkan aktivitas mereka dengan dengan menyebarkan agama di kalangan pemeluk lain, khususnya Islam. Dengan berani mereka melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai “Daerah Islam” seperti Aceh, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan. Mereka mendirikan rumah sakit, Gereja, dan Sekolah di tempat-tempat strategis yang penghuninya mayoritas beragama
Islam, melakukan kunjungan dari rumah ke rumah, memberikan bantuan ke orang-orang miskin, dan cara-cara lain menyinggung perasaan orang Islam1. Dengankondisi kehidupan yang mencekam pada waktu itu, mendesak masyarakat untuk tetap survive sekalipun taruhannya adalah murtad (keluar dari agama yang diyakini sebagai petunjuk). Hal ini, sangat mungkin menimbulkan kegalauan yang menyelimuti setiap pikiran manusia. Sehingga, kerelaanuntuk keluar dari agama yang bertahun-tahun dijadikan petunjuk, sangat mungkin terjadi. Semua orang kemungkinan akan men-judge negatif ketika menyaksikan fenomena tersebut. Tetapi, itulah pilihan yang mungkin diambil dengan banyak pertimbangan-pertimbangan positif. Hasil yang dicapai oleh kegiatan Kristen/Khatolik dengan berbagai macam cara tersebut, memang sangat spektakuler. Pada awal tahun 1970, masyarakat Muslim Indonesia sangat dikejutkan oleh pesatnya peningkatan jumlah gereja di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi yang lebih mengagetkan lagi adalah hanya dalam waktu lima tahun setelah 1965, missionaris Kristen berhasil membaptis 2.000.000 orang Muslim/Jawa menjadi Kristen. Suatu jumlah yang menurut perhitungan mereka sendiri bisa disamakan dengan kegiatan missionaris 50 tahun ditempat lain. Kegiatan ini memicu sikap permusushan yang dalam pada diri umat Islam terhadap Kristen. Sikap saling memusuhi ini berujung pada konflik sosial yang keras, berupa perusakan tempat-tempat ibadah. Di beberapa Kota di Jawa Tengah, Aceh, dan Makassar terjadi perusakan beberapa
1
Lihat Afif Muhammad, (2013). Agama dan Konflik Sosial (Studi Pengalaman Indonesia) Penerbit MARJA: Bandung. Hlm, 109-110
gereja oleh para pemuda Muslim. Sebaliknya, di Sulawesi Utara dan Ambon terjadi pembakaran mesjid oleh para penganut Kristen Protestan2. Dengan demikian, jika kemudian terjadi konflik dengan umat Islam akibat dari penyiaran agama yang mereka lakukan, sebenarnya hal itu sudah mereka perhitungkan sebelumnya. Selain melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah yang menjadi basis Islam, misi Kristen/Khatolik juga menjadikan orang-orang Islam lapisan bawah menjadi sasarannya. Dengan dalil membantu orang-orang miskin, mereka memberikan bantuan berupa bahan makanan dan obat-obatan. tetapi bantuan ini harus disertai paksaan terhadap orang-orang miskin untuk memeluk agama mereka. Banyak contoh dapat diketemukan tentang kegiatan bujukan golongan Kristen/Khatolik kepada pemeluk Islam yang lemah seperti kasus di Desa Cigugur, Kuningan, yang menjadikan para petani sebagai sasarannya. Para petani itu dibantu bulgur 15 kg, tetapi dengan imbalan harus membubuhkan tanda tangan dalam formulir keanggotaan petani Pancasila, Ormas Tani Khatolik. Hal yang sama terjadi di Surabaya (Jawa Timur) ketika terjadi banjir di daerah ini, Pati (Jawa Tengah), Pulau Banda, dan berbagai daerah lainnya. Melalui cara ini banyak dari kalangan miskin beralih agama3. Masalah demi masalah sering dihadapi oleh mesayarakat di Banuroja. Hal tersebut merupakan sederetan kisah yang terjadi pada masyarakat multietnik dan multiagama. Di sisi lain, dari hasil temuan penulis di lapangan, ternyata sempat terjadi juga sengketa tanah yang sudah dihibakan oleh pemerintah untuk Unit Pemukiman Transmigrasi tersebut. Sengketa tersebutsampai hari ini tidak 2 3
Afif Muhammad. Op.cit Afif Muhammad. Ibid. Hlm, 115-116
menemukan titik temu, akhirnya dengan berjalannya waktu, permasalahan tersebut dengan sendirinya redam. Permasalahan sengketa tanah, saat ini sangat marak di beberapa daerah, bahkan sampai menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat. Sengketa tanah di Banuroja, pasalnya berawal dari datangnya beberapa masyarakat yang notabenenya adalah masyarakat lokal Gorontalo. Mereka menuntut hak kepemilikan atas tanah tersebut. Tanahyang dihibakan oleh pemerintah untuk Unit Pemukiman Transmigrasi, ada sebidang tanah yang mereka klaim sebagai tanah warisan dari Nenek Moyang mereka (baca: leluhur). Asumsi yang muncul pada waktu itu, tanah tersebut milik orang tua mereka pada waktu sebelum dibukanya Unit Pemukiman Transmigrasi, tetapi belum sempat mereka garap. Menurut informasi dari para informan, mereka datang setiap hari untuk membicarakan permasaahan tanah tersebut. Tetapi, masyarakat Banuroja tidak tinggal diam dalam menanggapi permasalahan yang terjadi di UPT tersebut, mereka juga punya dasar kuat, bahwa tanah yang sudah hibakan untuk UPT tersebut dan dibuktikan dengan sertifikat tanah yang diberikan oleh pemerintah sewaktu pemberangkatan dari tempat asal, secara otomatis tanah tersebut sudah terlepas dari permasalahan kepemilikan. Hal yang terjadi di atas, lebih tepat disebut dengan merebaknya politik identitas. Politik identitas sering terjadi pada masyarakat yang heterogen, hal tersebut muncul ketika ada salah satu kelompok etnis yang merasa diri memiliki dalam segala hal, dengan asumsi adalah peninggalan leluhur, salah satu contoh dalam hal agraria, alasannya karena tanah tersebut sudah bertahun-tahun dimiliki oleh nenek moyang (baca: leluhur),
sehingga ada rasa kepemilikan secara kuat karena turun-temurun menjadi haknya. Terutama pada masyarakat yang akrab disapa dengan pribumi. Masyarakat yang mengklaim tanah tersebut ternyata bukan merupakan penduduk asli Banuroja, tetapi mereka berasal dari Kecamatan Lemito Kabupaten Pohuwato. Mereka datang dengan segudang argumen demi mendapatkan tanah tersebut. Hal demikian,sering membuat resah warga setempat. Timbul rasa ketidak-nyamanan pada masyarakat Banuroja, karena orang-orang tadi datang setiap hari
hanya
untuk
mendapatkan
kembali
tanah
yang
mereka
klaim
tersebut.Sehinggamemancing emosi masyarakat dan tak dapat dipungkiri ketidaknyamanan itu akan berimbas pada kemarahan warga, bisa jadi semua masyarakat transmigrasi akanterpancing emosinya dan siap menyerang orangorang yang datang mengklaim tanah hibah tersebut. Hal ini, diakibatkan oleh rasa ketidaknyamanan masyarakat dengan klaim-klaim dari para penggugat. Tapi sampai saat ini, belum terjadi konflik. Sengketa tanah bisa menjadi bom waktu yang kapan saja akan meledak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam wawancara dengan Ust. Gofir Nawawi, beliau menyampaikan dalam wawancaranya sebagai berikut: “Tanah yang sudah ditransmigrasikan malah orang Gorontalo menggugatnya, tetapi mereka etnis Gorontalo yang di Lemito, karena melihat orang-orang di sini berhasil semua sehingga mereka iri, bahkan pemerintah (tidak disebut namanya) membantu mereka padahal tanah ini sudah ditransmigrasikan kepada kami, bahkan keluar dari mulut mereka bahwa orang jawa itu adalah “penjajah”. Sampai hari ini permasalahannya belum selesai, permasalahan tersebut terjadi pada tahun 1990-an. Pada waktu itu semua masyarakat transmigrasi sudah siap perang dan mengusir orang-orangGorontalo yang berasal dari Lemito tersebut, tetapi saya cepat mengambil tindakan untuk mengumpulkan semua tokoh agar mereka tidak terpancing.”Wawancara tgl 13/3/2013
Permasalahan terkait tanah, sudah menjadi masalah yang fenomenal di kalangan masyarakat. Bukan hanya di Banuroja, tetapi di berbagai daerah banyak kasus-kasus tentang sengketa tanah sering mewarnai setiap etafe perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, hal ini juga sudah dipraktekan sejak Bangsa Belanda menjajah bengsa kita. Sehingga, sudah tidak asing lagi, namun sampai saat ini belum ada desain solusi efektif. Permasalahan tanah tersebut, sangat berpotensi besar dalam menimbulkan konflik sosial, jika dari masing-masing yang bersengketa tidak menemukan solusi yang progres. Permasalahan tanah di Banuroja tidak pernah menemukan solusi, dari hasil informasi yang ditemukan, permasalahan tersebut saat ini masih redam, orang-orang yang sering datang menggugat tanah tersebut, tidak terlihat lagi di Unit Pemukiman Transmigrasi. Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu pertama kali masih kabur sampai hari ini. Tetapi secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada pemilik modal yang umumnya dikuasai golongan kulit putih tertentu. Bentuk ekstrem politik identitas adalah mencuatnya sampai batas-batas tertentu, gagasan tentang separatisme. Ini terlihat misalnya di Quebeck, yang berbahasa dan
berbudaya Perancis, yang ingin memisahkan diri dari bangsa Kanada yang berbahasa Inggris4. Politik
identitas
adalah
tindakan
politis
untuk
mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Dalam percaturan politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah satu cara untuk menjelekkan atau menjatuhkan, lawan politiknya. Masih jelas di ingatan kita, Pemilu 2004, yang lalu. Bagaimana identitas salah satu calon presiden dikritisi dan dibongkar. Katakanlah, presiden SBY. Oleh lawan politiknya, SBY diidentikkan sebagai calon presiden yang tidak agamis. Atau, istrinya, Kristina, juga mendapat pukulan dengan isu yang sama. Kristina dianggap sebagai pemeluk agama Kristen. Toh, akhirnya masyarakat juga tahu, bahwa hal itu hanya sebuah isu yang coba dihembuskan, untuk menjatuhkan dan menurunkan kredibilitasnya.Namun, dalam perjalanan berikutnya, politik identitas justru dibajak dan direngkuh kelompok mayoritas untuk memapankan dominasi kekuasaan. Penggunaan politik identitas untuk meraih kekuasaan, yang justru semakin mengeraskan perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan berarti tidak menuai kritik tajam. Politik identitas seakan-akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas5.
4
5
Lihat Ahmad Syafii Maarif dkk, 2012. Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. Hlm, 4-5 Sumber: http://assignmentfilzaty.blogspot.com/2011/11/politik-identitas.html.
Pendapat di atas merupakan contoh kecil dari merebaknya politik identitas yang terjadi di masyarakat Indonesia dewasa ini, dalam hal percaturan politik. Lain halnya dengan yang terjadi di Desa Banuroja, politik identitas lebih merambah pada masalah agraria yakni, kepemilikan tanah. Ada beberapa kasus sengketa tanah yang terjadi pada masyarakat Transmigrasi dengan penduduk lokal (baca: pribumi), salah satunya yang dibahas sebelumnya mengenai gejolak masyarakat. Kemudian juga, menurut beberapa informan yang berasal dari etnik Lombok, bahwa selain masalah tanah yang ada di sekitar lahan Banuroja, ada juga lahan yang sempat menjadi sengketa antara masyarakat Lombok dengan masyarakat lokal yakni, di lahan dua yang ukurannya sekitar dua hektar. Lahandua yang status kepemilikannya dimiliki oleh etnik Lombok, juga digugat oleh masyarakat lokal. Pasalanya, tanah tersebut diklaim oleh masyarakat Gorontalo sebagai warisan Nenek Moyang mereka, pada waktu itu sempat datang Tim yang mengelola Program Transmigrasi dari Jakarta untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tim tersebut dikawal oleh TNI, setelah permasalahan sengketa tersebut redam, Tim kembali ke Jakarta. Selang beberapa hari, masyarakat Pribumi (baca: penduduk asli) kembali lagi ke lahan tersebut untuk mengkalim bahwa tanah tersebut tetap menjadi milik mereka dengan berbagai macam argumen. Akhirnya, untuk menjaga agar tidak terjadi permasalahan yang lebih runyam (baca: rumit) lagi, pemerintah menawarkan solusi dengan jalan menukar lahan dua milik etnik Lombok tersebut dengan Sapi. Akhirnya, permasalahan tersebut menemui titik klimaks, masyarakat Lombok demi menjaga
agar tidak terjadi keributan, mereka menerima tawaran dari pemerintah tersebut. berikut wawancara dengan masyarakat dari etnis Lombok. Wawancara dengan Basarudin, salah satu masyarakat Lombok “Lahan dua juga bermasalah, letaknya tepat di dekat Desa Manunggal Karya, kalau tidak salah di jalan Bonda. Kami mendapat jatah dua hektar tanah di situ, tapi orang Gorontalo mengklaim bahwa itu tanah Nenek Moyang mereka. Saya bingung kalau memang itu tanah nenek moyang mereka kenapa tidak dari dulu mereka garap. Kami kan pada waktu program transmigrasi ada, sudah dibagi lahannya untuk etnis ini sekian, untuk kami sekian. Tidak mungkin orang trans mengambil tanah begitu saja, karena kami juga tidak mau bermasalah dengan siapapun. Kami dikirim ke sini untuk kerja bukan cari masalah. Pada saat permasalahan sengketa tersebut kami dari NTB mundur mengalah, kemudian turun yang dari pusat, akhirnya ditukar denga sapi.” Wawancara tgl 2/7/2013 Hal tersebut di atas, merupakan masalah yang cukup rumit karena permasalahan tersebut dapat merambah ke konflik sosial jika tidak dapat dibendung dan ditemukan konsepsi dan konstruksi solusi untuk ditawarkan. Isu politik identitas, terlihat seakan memberi ruang gerak bagi penduduk asli dalam permasalahan, baik politik maupun hal-hal lain, terutama masalaha sengketa tanah di Banuroja yang bisa diibaratkan seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak. Sebaliknya dengan adanya praktek politik identitas, tidak dapat memberi ruang bagi warga pendatang dalam hal kepemilikan, terutama seperti yang terjadi di Banuroja. Status sebagai pendatang seakan membatasi ruang gerak mereka untuk melakukan elaborasi dalam kepemilikan lahan. Wawancara dengan ayahanda Banuroja yakni Bapak Abdul Wahid (Etnik Lombok) mengaakan bahwa: “Dulu mereka datang ke saya untuk minta membuatkan surat pelegalan tanah yang jadi sengketa tersebut, tapi sampai hari ini saya tidak pernah buatkan suratnya. Karena, saya berfikir ketika saya membuatkan
surat maka status tanah tersebut tidak akan bisa dimanfaatkan oleh orang lain lagi. Karena sekarang lahan yang menjadi sengketa tersebut sering dimanfaatkan oleh semua orang baik masyarakat pribumi maupun masyarakat Transmigrasi. Banyak yang mengambil sagu (jenis tumbuhan yang dapat dijadikan makanan)di lahan tersebut. olehnya itu, saya tidak membuatkan suratnya karena ketika sudah menjadi milik seseorang maka yang lainnya sudah tidak dapat memanfaatkannya lagi.” Wawancara tanggal 2 Juli 2013 Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap masalah integrasi. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi keragaman masyarakat yang terjadi di Indonesia. Bahkan sebagai dampak dari keragamannya tersebut, masyarakat Indonesia disebut masyarakat “super majemuk”.Kemajemukan tersebut memiliki dua implikasi yang kontradiktif, di satu sisi kemajemukan tersebut menjadi karakteristik dan daya tarik tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun di sisi lain, ia menjadi sebuah ancaman bagi integrasi bangsa yang mendorong pada disintegrasi. Sehingga patut disyukuri jika sampai hari ini, kurang lebih 67 tahun lamanya, bangsa Indonesia masih mampu mempertahankan persatuan NKRI, walaupun harus ditempuh dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah. Karena proklamasi yang yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak menjamin bangsa Indonesia akan terbebas dari segala bentuk ancaman terhadap keutuhan bangsa, justru ancaman dengan berbagai modus operandi datang untuk merongrong persatuan dan kesatuan bangsa, salah satunya dewasa ini kita temui fenomena politik identitas. Pola Operasionalisasi Politik Identitas ini dapat kita jumpai pada realitas yang terjadi di masyarakat ditunjukkan dengan banyaknya perbenturan kepentingan dan fenomena ego sektoral, antara lain: Pertama, operasionalisasi politik identitas
dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergeseranya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing. Politik Identitas ini ditampakkan dengan maraknya isu etnisitas dan gejala primordialisme yang diusung melalui isu “putra daerah” dalam menduduki jabatan publik, isu etnis asli dan anti pendatang, dan isu etnis mayoritas dan minoritas. Kedua, wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas. Dalam konteks Indonesia politik identitas itu dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu
kelompok
agama
mayoritas,
dengan
niat
”menyingkirkan” kaum minoritas yang dianggapnya ”menyimpang” atau ”menyeleweng”. Ketiga adalah wilayah hukum. Ini merupakan wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Pada sisi ini, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara partikular. Kemungkinan modus kita akan menjadi dasar bagi hubungan politik identitas yang dibangun sangatlah besar. Namun demikian, hal ini tidak akan terjadi seandainya kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama6. Merebaknya isu politik identitas dalam hal sengketa tanah, tidak hanya terjadi di wilayah Transmigrasi Banuroja, tetapi, hal tersebut merambah sampai ke 6
Sumber: http://lembagailmiah.blogspot.com/2012/11/menguatnya-politik-identitas.html
desa tetangga yakni, Desa Manunggal Karya. Dari hasil wawancara lapangan yang telah dilakaukan, ternyata maasyarakat yang ada di wilayah Transmigrasi Desa Manunggal Karya juga mengalami hal yang sama dengan permasalahan yang dialami oleh masyarakat Trans di Desa Banuroja. Permasalahannya juga sama mengenai sengketa tanah, beberapa masyarakat pribumi (baca: penduduk asli) datang ke lahan milik masyarakat Transmigrasi menuntut hak kepemilikan atas
tanah
tersebut.
asumsi
yang
sering
menjadi
tameng
(baca:
pelindung/penguatan) dari masyarakat pribumi adalah tanah tersebut sudah warisan Nenek Moyang sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga, mereka memiliki alasan yang kuat untuk memilikinya kembali. Permasalahan tersebut menimbulkan kerisauan dalam diri masyarakat Transmigrasi, kepastian hukum dan ketegasan dari pemerintah pun tidak jelas arahnya, sehingga menambah kebingungan dalam diri masyarakat. Dinamika tersebut menuai kegelisahan yang begitu besar bagi masyarakat Transmigrasi, karena ketika setiap jengkal tanah akan diklaim oleh penduduk asli, hal tersebut dikhawatirkan mengundang kemarahan yang berpotensi konflik antar suku. Wawancara dengan Kepala Desa Manunggal Karya yakni Bapak Suyanto (Etnik Jawa). Beliau mengatakan bahwa: “Memang di Banuroja ada tanah yang dipermasalahkan oleh penduduk asli sini, tapi di dalam surat mereka itu tidak dijelaskan secara jelas, Cuma batas gunung saja. Pemerintah pun tidak secara tegas untuk meberikan kepastian hukum, mereka hanya mengatakan bahwa tanah ini sudah sah milik transmigrasi tapi penyelesaiannya itu tidak ada. Bahkan ada juga tanah yang dipermasalahkan di perbatasan Marisa dua sana yang dekat dengan jalan Trans Taluditi. Bahkan di Manunggal Karya pun sering terjadi permasalahan mengenai sengketa tanah, yang seprti dialami oleh masyarakat Banuroja. Orang-orang pribumi yang sering menggugat bahwa
tanah tersebut milik nenek moyang mereka. Dari pemerintah pun tidak pernah ada kepastian hukum.” Di sisi lain, sebagaimana yang dijelaskan pada penelitian Tri Yudha Handoko (2009) tentang Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia, menjelaskan bahwa, ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis menjadi seorang warga negara Republik Indonesia, baik dia keturunan asli, indo, timur asing maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politik atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “nonpribumi lainnya) tetap menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan kehidupan sehari-hari bahwa sebagian dari mereka menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. Hal ini tampak pada praktekpraktek diskriminatif di bidang administratif. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, dan sebagainya kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”.Padahal Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai
universal dan diselenggarakan dengan memperhatikannilai-nilai agama, sosial budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia7. Kondisi seperti yang dijelaskan di atas, hampir memiliki persamaan dengan yang terjadi di Bali. Isu mengenai pendatang dan penduduk asal, tetapi, permasalahan yang terjadi agak sedikit berbeda dengan yang terjadi di tanah Dewata tersebut. Ada ungkapan yang sempta muncul “ tanah yang dibutuhkan, sedangkan manusianya yang menempati tanah tersebut tidak pernah dibutuhkan.” Bukti lainnya paling tidak menurut pandangan masyarakat Bali sekarang adalah bahwa sehubungan dengan perkembangan hotel berbintang di “Nusa Dewata” ini, banyak buruh yang dari jawa yang didatangkan oleh para investor. Banyak orang Bali mengeluhkan para pendatang dari Jawa yang tidak diberi tiket untuk pulang kembali ke Jawa. Pendatang tersebut akan mebanjiri pasar kerja di Bali, sebaliknya orang Bali sendiri harus melakukan Transmigrasi ke daerah lain di luar tempat asalnya. Menurut pandangan sebagian besar orang Bali, masyarakat lokal sering tidak diberi kesempatan untuk bekerja dalam pembangunan pariwisata karena para pendatang rela menerima upah yang lebih rendah dari pada penduduk lokal. Namun, perlu dicatat juga bahwa sering terdengar dari manejer-manejer yang bukan orang Bali bahwa orang Bali jarang bersedia mencari pekerjaan kasar dan mereka suka berlibur8. Dinamika yang terjadi pada masyarakat Bali sebagai penduduk asli dan Jawa sebagai pendatang, sangat berbeda dengan yang terjadi di Banuroja, dalam hal kondisi yang dialami pendatang pada saat berada di tengah7
Lihat Skripsi Tri Y. Handoko, 2009. Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia. Medan.Hlm, 3
8
Lihat dalam Martin Ramsted dan Fadjar Ibnu Thufail (editor), 2011. Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru. PT Gramedia Widiasrama Indonesia: Jakarta
tengah penduduk asli. Di Bali, malah penduduk asli yang merasa tertekan karena tekanan dari pendatang. Sedangkan, di Banuroja masyarakat pendatang yang merasa terusik dengan adanya klaim-klaim yang datang dari penduduk asli. 4.2.3
Toleransi, Sebuah Rajutan Dalam Keragaman Identitas Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak
dikenal dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat negara. Karena itu, toleransi lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan masyarakat bangsa. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan tetapi, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain ofnational unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal. Beberapa pakar kebudayaan mengungkapkan bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain;
kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan. Nilai toleransi, merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif9. Sikap toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat yang mempunyai keragaman etnis dan agama. Potret konflik yang terjadi dibebarapa daerah, merupakan bukti nyata dari gejolak yang terjadi pada masyarakat heterogen.Entah, diakibatkan oleh perbedaan pendapat ataupun diakibatkan oleh kurangnya sikap toleran antar masyarakat. Isu etnis, merupakan suatu kajian yang sangat urgen untuk ditemukan suatu solusi produktif, yang mampu dijadikan konstruksi ide untuk menyatukan pendapat.Demitercapainya suatu kerukunan dan kehidupan yang tentram.Isu keragaman etnis, seakan telah menjadi wacana nasional yang sampai saat ini hampir tidak ditemukan solusi dan desain progres, bahkan isu ini sering hadir dalam bayang-bayang kehidupan masyarakat yang berada pada suatu masyarakat heterogen. Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Tapi sayangnya, agama
9
Yoseph Yapi Taum, (2006). Masalah-Masalah Sosial Dalam Masyarakat Multietnik. Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa” , dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006. hlm, 5-6
yang mengajarkan perdamaian tidak jarang dijadikan legitimasi untuk mengganggu, memusuhi bahkan memusnahkan umat lain. Di Indonesia konflik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso adalah salah satu bukti nyata bahwa ajaran agama dijadikan sebagai alat pembenar bagi pemeluknya untuk melakukan tindakan permusuhan dan pembunuhan atas nama agama. Kenyataan ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan esensi ajaran agama itu sendiri yang selalu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian. Contoh konflik bernuansa agama, yakni antara Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon dan Poso bagi bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada agama-agama yang lain, seperti antara Islam dan Hindu, Islam dan Budha, serta Kristen dengan Hindu atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa dipahami mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan pemeluk agama yang beragam. Belum lagi perbedaan suku dan ras, bisa jadi faktor ini juga berpotensi memperkeruh suasana konflik agama. Namun demikian, kemungkinan di atas bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat dan bangsa Indonesia mampu menumbuhkan sikap toleran di antara umat beragama10. Masyarakat Banuroja yang menjadi objek dari penelitian ini, telah mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari mereka sikap toleransi tersebut, baik toleransi dalam kehidupan antar-etnis maupun dalam kehidupan antar umat beragama. Sehingga, masyarakat yang mempunyai latarbelakang etnis dan agama yang berbeda merasakan ada rasa saling menghargai dan menghormati dari
10
Lihat dalam Ahmad Munjin Nasih dan Dewa Agung Gede Agung (2011), Harmoni Relasi Sosial Umat Muslim dan Hindu di Malang Raya. Jurnal, Volume 24, Nomor 2, Hal: 142-150 Tahun 2011,
masyarakat yang berbeda tersebut, sehingga, konflik antar agama dan etnis daapat dibendung. Sikap toleransi tersebut, dapat dijadikan sebagai pegangan hidup dan harus dijaga oleh masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah multikulturalisme. Sehingga, dapat memungkinkan kita untuk bisa hidup harmonis dan saling mengisi dalam setiap kekurangan dan perbedaan yang ada. Sebagaimana hasil wawancara dengan beberapa tokoh dari masing-masing etnis, salah satunya Kyai Gofir, beliau mengatakan: Wawancara dengan Ust. Gofir (Tokoh Jawa), mengatakan bahwa: “Masyarakat di desa ini memegang prinsip “Bali, Jawa, Lombok, sama-sama pendatang jadi lebih baik mengutamakan kerja sama dari pada mencari masalah yang hanya merugikan semua dan tidak ada untungnya.” Begitu pun dalam kehidupan beragama untuk menyiarkan agamamelalui ceramah dan berdakwah kami tidak melakukan cara dakwah islami tetapi dakwah dengan metode nasionalisme, sehingga tidak mengganggu hubungan keagamaan yang telah kami jalin puluhan tahun. Bahkan pada waktu pembangunan pesantren pun orang-orang bali ikut bekerja membangun, bahkan pelatih sepak bola di pesantren adalah pendeta gereja. Ketika pesantren mengadakan majelis ta’lim,masyarakat yang berasal dari etnis dan agama berbeda kami undang statusnya hanya mendengarkan.”(Wawancara tgl 13/3/2013) Hal tersebut di atas,merupakan manifestasi rasa dari kesaksian bersama bahwa sudah sepantasnyalah perjalanan kehidupan ini berlangsung seirama, serasi dan sekeyakinan, agar kehidupan rukun yang telah dipelihara selama puluhan tahun akan tetap awet dalam bingkai kesatuan Negara Republik Indonesia. Sebagaimana cita-cita dan amanat Bhineka Tunggal Ika. Gejolak yang sering terjadi dalam mewarnai kehidupan masyarakat di Banuroja dapat diatasi dengan
baik tanpa harus melalui konflik yang berkepanjangan seperti yang terjadi di berbagai daerah. Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarnawarni. Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompokkelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan. Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya
untuk
menghindari
ketegangan-ketegangan
baru.
Konflik
horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta,
Solo, Surabaya, dll) seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar11. Potret masyarakat multikulturalisme di Indonesia, penting sekali untuk dicarikan sebuah desain spesifik, yang mampu mentransformasi pola pikir klasik dari masyarakat yang melihat kemajukan sebagai suatu hambatan, sehingga tidak dapat dipungkuri dari sikap dan pola pikir klasik itulah yang dapat melahirkan egosentrisme dan dapat menyebabkan konflik seperti diberbagai daerah. Bangsa ini butuh generasi yang produktif, dalam meng-integrasikan kepentingan dan tekad bersama dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. hal ini sangat esensialdan perlu ada keseriusan bersama dalam mewujudkan keragaman yang saling menyapa. 4.2.4
Potret Kerukunan Dalam Masyarakat Multietnikdi Banuroja Kerukunan dalam sebuah tatanan masyarakat yang beragam suku, agama,
ras, dan budaya sangat sulit ditemukan. Banuroja merupakan kompas dari konstruksi keharmonisan masyarakat multietnik dan realitas keragaman yang saling menyapa. Desa ini mempunyai keunikan tersendiri, karena dalam wilayah tersebut didiami oleh empat etnis yang dominan dan tiga agama yang saling menyapa. Wilayah tersebut juga merupakan potret dari keragaman masyarakat Indonesia, yang mampu mengkonstruksi subuah keragaman identitas menjadi suatu kehidupan yang harmonis dan mampu menciptakan solusi bagi setiap gejolak yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
11
Yoseph Yapi Taum. Ibid. hlm, 1
Di sisi lain, Negara kita menganut multikulturalisme yang tercermin dalam simbol yang telah disepakati bersama, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap heterogenitas etnik, budaya, agama, ras, dan gender, namun menuntut adanya persatuan dalam komitmen politik membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhinneka Tunggal Ika sebagai symbol yang seharusnya dapat difungsikan sebagai roh penggerak perilaku masyarakat Indonesia, di dalam kenyataan belum secara sungguh-sungguh dijadikan kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Bahkan pada beberapa tempat, kemajemukan masih dianggap sebagai sumber permasalahn bahkan konflik, yang membuktikan bahwa realitas heterogenitas belum dipahami dan diakui oleh seluruh lapisan masyarakat. Multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan bersama apabila kita mengakui realitas heterogenitas dalam masyarakat. Dalam konteks inilah, peran serta masyarakat memainkan peran yang sangat penting untuk mendorong agar kemajemukan di Indonesia dapat tampil sebagai suatu kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Salah satu kelompok masyarakat dapat berperan penting dalam mewujudkan Indonesia ke depan yang lebih baik adalah kelompok perempuan. Dengan jumlah yang cukup besar (49,86%, menurut Sensus penduduk tahun 2000), kaum perempuan sebagai pendidik dalam keluarga dan masyarakat dapat menjadi agen perubahan yang handal menuju masyarakat Indonesia yang egaliter berlandaskan pada semangat multikultural12.
12
Kata Sambutan oleh Prof. Dr. Meutia F. Hatta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. II•No. 1•April 2006
Sangat penting bagi semua wilayah yang rawan konflik, untuk berkaca pada keharmonisan masyarakat Banuroja tersebut.Demi menemukan desain yang spesifik untuk mendamaikan daerah-daerah yang rawan dengan konflik sosial, baik yang disebabkan oleh masyarakat multietnik maupun masyarakat multiagama, karena setiap agama dan etnis mempunyai sikap egosentrisme masing-masing mengintegrasikan
yang
begitukuat,
perbedaan
sehingga
tersebut.
perlu
desain
Masyarakat
yang
Banuroja
mampu mampu
mengkonstruksi kerukunan dalam masyarakat yang beragam demi terciptanya integrasi sosial. Hal yang paling prinsip adalah kesadaran dirilah sebagai seorang pendatang (Baca; perantau) yang membuat mereka hidup berdampingan antar satu dan yang lainnya. Sangat jarang ditemukan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang heterogen,suatu sikap toleransi dalam sebuah bahtera kehidupan yang di dalamnya ada bermacam-macam suku dan agama. Ada beberapa contoh sikap saling menghargai dalam masyarakat Banuroja,seperti yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang penulis wawancarai. Wawancara denga Ust. Gofir (Tokoh Jawa) mengatakan bahwa: “Pada waktu pembangunan pesantren orang-orang bali dan etnis lain ikut bekerja membangun, tanpa melihat perbedaan dalam diri masing-masing, bahkan pelatih sepak bola di pesantren adalah pendeta gereja, beliau sering melati anak-anak pesantren untuk olahraga kami hidup di wilayah inilebih mengutamakan kerja sama dari pada individu, Ketika pesantren mengadakan majelis ta’lim orang bali dan etnis lain diundang untuk mendengarkan, mereka sangat antusias untuk menghadiri undangan tersebut.” (wawancara tgl 11/3/2013)
Kondisi saling membantu dalam aktivitas sehari-hari juga sering dipraktekan pada desa ini, antusias dari masing-masing etnis dalam memajukan daerah ini sangatlah besar, sehingga tak melihat dari mana mereka berasal, hanya ada satu tekad yang sangat besar yakni menjadikan perbedaaan latar belakang menjadi sebuah instrument pemersatu demi kemajuan dan tercapainya kepentingan bersama. Perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang bahkan tidak menjadikan suatu kendala dalam kehidupan bermasyarakat karena kerja sama yang mereka utamakan, bukan egosentrisme. Dalammengarungi samudera multikulturalisme
masyarakat,dengan
ribuan
resiko
terpaan
gelombang
disintegrasiyang cukupkuat menerpa setiap dinding-dinding bahtera kehidupan, masyarakat Banuroja tidak mudah terpropokasi oleh besarnya gelombang perpecahan tersebut. Sebagaimana juga yang disampaikan oleh beberapa tokoh dari etnis lain. Wawancara dengan Yaser Singon (Pendeta) mengatakan bahwa: “Kami di sini tidak melihat perbedaan yang ada, di sini masyarakat yang berbeda etnis sudah menjadi sekeluarga. Tahun lalu desa ini di kunjungi langsung kementrian agama pusat dan mendapat penghargaan, tidak mudah terpropokasi dengan isu dari manapun.Kekeluargaan yang lebih kita utamakan dalam menjaga kerukunan antar etnis dan agama”. (wawancara tgl 18/4/2014) Wawancara dengan Pak Moh. Zakpan (Tokoh Nusa Tenggara) mengatakan bahwa: “Desa ini mendapat penghargaan pada waktu adanya Gema Panua yang merupakan program pemerintah Kabupaten Pohuwato, karena keruknannya terjaga, kita saling menghormati sesama etnis dan agama, artinya kami dari islam selalu menjaga agar tidak saling mengganggu antara satu sama lain begitu pula teman-teman yang dari
agama lain. Bahkan kami selalu di beri nasehat oleh orang-orang alim khususnya Ustad Gofir, selalu memberikan cerama panjang lebar tentang menjaga kerukunan dengan cara saling menghargai dan menghormati, sehingga kami menjaga hubungan antar sesama etnis. Kami juga saling menyapa dan menghormati antar sesama baik di lahan pertanian maupun di jalan. Ada majelis taklim akbar disini bergantian kadang di taluditi kadang juga dilaksanakan di pesantren jadi saling bergiliran, semua etnis diundang sehingga komunikasi dan interaksi berjalan dengan baik.” (wawancara tgl 14/3/2014) Rasa saling menghormati dalam masyarakat seperti pada hasil wawancara di atas juga merupakan modal utama dalam pengawetan dan pemeliharaan harmonisasi dalam masyarakat heterogen. Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengelolaan kerukunan tersebut, bukan hanya menjadi kompas peradaban, tetapi juga harus dijadikan sebagai bahan untuk mendamaikan beberapa daerah yang rawan konflik sosial. 4.3
Pembahasan
4.3.1
Pola Pengelolaan Keserasian Sosial Dalam Masyarakat Multietnik di
Banuroja Masyarakat yang berada pada suatu wilayah dengan beragam suku, etnik, dan agama sangat rentan dengan konflik sosial baik dilakukan oleh individu maupun oleh kelompok. Dalam menghadapi keberagaman etnik dalam suatu wilayah, perlu adanya strategi dan pola yang harus dilakukan dalam mengelola keharmonisan antar masyarakat multikultural tersebut.Dalam membangun suatu keharmonisan dalam tatanan masyarakat multikultural sangatlah sulit karena dering terjadi perbedaan pendapat yang akan menjerumuskan ke konflik sosial antar masyarakat tersebut. Sanagatlah dibutuhkan resep dan solusi progres demi terwujudnya perdamaian dan keserasian sosial dalam masyarakat. Resep itulah
yang sangat dibutuhkan demi menjaga keberlangsungan hidup yang penuh dengan toleransi. Banuroja merupakan sampel yang sangat baik untuk dijadikan kiblat percontohan kehidupan masyarakat multietnik, karena dalam perjalanannya telah melewati berbagai macam rintangan dan polemikdalammengarungi samudera kehidupan masyarakat yang heterogen, yang sampai sekarang rintangan tersebut mampu ditepis dengan kehidupan yang toleran antar sesama. Isu SARA telah menjadi isu yang sangat urgen, karena dari berbagai daerah yang mempunyai keragaman suku, agama, dan ras sering diwarnai dengan konflik sosial yang berkepanjangan. Hingga kini solusi dan resep untuk masyarakat multietnik sangat dibutuhkan dalam menjalin kehidupan yang heterogen.Berbagai macam cara dan solusi telah dilakukan, baik dengan cara pendekatan kearifan lokal, asimilasi budaya, akulturasi, dll. Tetap saja dalam mengarungi perjalanan kehidupan masyarakat yang beragam tak mampu menemukan konstruksi gagasan yang ideal untuk membendung konflik sosial tersebut. Dari hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis di lapangan, terdapat beberapa konstruksi ide, gagasan, dan solusi untuk membendung konflik sosial pada masyarakat Banuroja.Sehingga, konflik tidak muncul pada permukaan. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh masyarakat multietnik di Banuroja antara lain: 4.3.1.1 Modal Sosial, Suatu Desain dan Konstruksi Resolusi Terhadap Disintegrasi Modal sosial merupakan hasil dari hubungan sosial yang menerus yang mampu menjembatani adanya kerja sama di dalam dan di antara kelompok-
kelompok individu. Modal sosial sebagai jembatan kerjasama tersebut mengacu pada aspek utama organisasi, seperti kepercayaan (trust) dan jejaring sosial (networks), dalam bentuk tindakan efisien yang terkoordinasi13. Menilai Modal sosial dari sisi lain bahwa modal sosial dibentuk dan ditransmisikan melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaankebiasaan historis. Mekanisme kultural tersebut mampu membentuk nilai-nilai bersama dalam menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Namun demikian, sebagai modal utama terbentuknya modal sosial tersebut adalah kejujuran antar individu yang terus menerus sehingga menimbulkan ikatan kepentingan dalam komunitas. Selanjutnya akan membentuk ikatan kelompok sosial berdasarkan norma-norma yang disepakati sebagai konsekuensi dari ikatan tersebut14. Penjelasan di atas, memberi gambaran mengenai pentingnya suatu modal sosial dalam lingkungan masyarakat. Seperti halnya di Banuroja, adanya suatu konstruksi modal sosial (social capital) yang mereka jadikan sebagai suatu desain spesifik untuk melahirkan suatu konstruksi resolusi dari berbagai permasalahn yang terjadi di masyarakat multikultural misalnya, kepercayaan (trust). Dalam masyarakat Banuroja tumbuh berkembang selama bertahun-tahun rasa percaya antar masyarakat yang dibangun dengan saling jujur antara satu sama lain. Kejujuran juga merupakan modal sosial yang paling esensial dan harus diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang beragam agar tercipta rasa saling percaya
13
14
Lihat Adams dan Someshwar (1999) dalam Triyono dan Ahmad Arief (2003). Modal sosial sebagai mainstream pengembangan masyarakat pesisir, sebuah pendekatan sosial untuk mendukung pembangunan lokal tipologi masyarakat pesisir. Prosiding lokakarya nasional menuju pengelolaan sumberdaya wilayah berbasis ekosistem untuk mereduksi potensi konflik antar daerah. Fakultas geografi ugm, 30 agustus 2003. Hlm, 417 Triyono dan Ahmad Arief . Ibid. Hlm, 418
antara satu sama lain. Ketika suatu rasa percaya kepada orang lain hilang di antara masyarakat, maka hal tersebut bukan hanya menimbulkan pikiran negatif terhadap orang lain melainkan, hal ini akan menimbulkan gejolak yang merambah ke konflik sosial. Dan, setiap individu mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu yang dapat merusak integrasi suatu komunitas yang beragam. Modal sosial yang dijadikan instrumen perekat pada masyarakat yang heterogen, Bukan hanya pada rasa percaya antara sesama saja, tetapi gotong royong juga terjalin dengan dengan baik di desa ini. Pada masyarakat Gorontalo sendiri, ada yang dikenal dengan “Huyula” (kerja sama) atau bahasa trennya gotong royong. Praktek kerja sama tersebut masih kental pada masyarakat Banuroja, misalnya dalam kegiatan kerja bakti yang dilakukan di kantor desa Banuroja yang melibatkan semua unsur etnis dan agama. Bahkan hasil wawancara yang saya temukan di lapangan, ada salah satu norma yang terbangun dalam masyarakat Bali, ketika ada himbauan untuk kerja bakti lalu kemudian ada salah satu dari masyarakat Bali yang tida ikut maka akan dikenakan sanksi Rp.1000, berikut hasil wawancara I Wayan Adha, beliau mengatakan bahwa:
Ada norma yang kami jadikan pegangan dalam hal gotong royong. Ketika orang tidak ikut kerja bakti misalnya di kantor desa, di Pura dll. Mereka akan kena denda sebesar Rp.1000 tapi rasa yang sangat ditekankan di situ, misalnya saya tidak ikut kerja bakti di denda Rp.1000 itu tak seberapa jumlahnya, saya bisa mendapatkan lebih dari itu, tetapi bagaimana dengan perasaan. Jadi, denda itu sebenarnya hanya peringaan atau teguran saja, tetapi rasa itu yang agak berat karena nama-nama yang tidak ikut tersebut akan dibacakan di forum, kami punya forum sendiri, setiap hari rabu kliwon kami mengadakan forum adat, dan akan dibacakan siapa-siapa yang tidak hadir dalam acara kerja bakti tersebut. wawancara 13/3 2013
Kerja bakti antar etnik bukan hanya dilaksanakan di kantor desa Banuroja saja tetapi juga pada waktu pembangunan pesantren semua etnik datang membantu hingga berdirinya Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, sebagaimana telah di jelaskan dalam wawancara Pak Kyai Gofir pada wawancara sebelumnya. Jadi, kebiasaan masyarakat untuk saling membantu sangat tertanam sangat kuat dalam masing-masing individu. Analisis modal sosial dapat mengacu pada komponen-komponen modal sosial, antara lain, komponen mekanisme kultural, saling percaya, pranata, dan norma-norma yang dimiliki bersama dan jaringan sosial. Mekanisme kultural : Agama islam mewarnai konstruksi kebudayaan bahari/pesisir: terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Agama katolik mulai berkembang di wilayah Indonesia bagian timur seja kedatangan bangsa portugis. Berkembangnya agama-agama di Indonesia telah memunculkan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh agama, terutama di wilayah pesisir. Bahkan kepercayaan terhadap tokoh agama tersebut juga telah memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk menyelesaikan berbagai masalah bersama yang berkembang. Tradisi dan kebiasaan historis : Dalam pandangan tradisi dan kebiasaan historis, manusia belajar dari dua macam hubungan yaitu hubungan manusia dengan alam sekitarnya dan hubungan antar manusia satu dengan manusia lainnya. Saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki bersama:Keterikatan saling percaya dapat menjembatani kerekatan dalam masyarakat, atau sebaliknya, membawa kesamaan kehendak atau kesamaan etnis dari masing-masing individual untuk menjadi satu jalinan.Perasaan saling percaya dan saling terikat
antar individu dalam masyarakat pesisir tampak pada pembagian tugas dalam kapal, penyerahan wewenang dalam organisasi desa, dan pelaksanaan pranata atau norma-norma yang disepakati bersama. Ikatan trust dalam pelaksanaan pranata atau norma masyarakat pesisir dapat berupa pelaksanaan bersama suatu kegiatan atau sanksi bagi pelanggar norma, misalnya upacara penyerahan sesaji di pantura jawa tengah dan pantai selatan jawa, sanksi sosial masyarakat nelayan tradisional di pulau sekitar pangkajene sulawesi selatan atas pelaku pemerkosaan dengan dibuang ke pulau terpencil dan larangan menyapa.Jaringan sosial yang terbentuk: Jaringan sosial terbentuk dan tetap berjalan karena adanya kerjasama antar anggota, solidaritas, partisipan, dan timbal balik. Dasar dari terbentuknya jaringan sosial adalah adanya kewajiban sosial yang timbul akibat adanya perasaan saling percaya antar individu.Jaringan sosial yang terbentuk pada masyarakat pesisir tampak pada adanya forum-forum masyarakat desa pesisir misalnya, arisan warga, acara syukuran, upacara kelahiran kematian yang mampu memperteguh eksistensi masyarakat pesisir secara internal. Eksistensi masyarakat secara eksternal diperteguh secara ekonomi, dalam bentuk pasar ataupun hubangan-hubungan kekerabatan antar masyarakat pesisir15 Pada penjelasan di atas, mengenai jaringan sosial yang juga merupakan modal sosial yang cukup produktif untuk membangun integrasi dalam masyarakt multietnik, seperti pada masyarakat pesisir, juga sering dipraktekan di Banuroja yakni Jaringan sosial yang terbentuk pada masyarakat Banuroja tampak pada adanya forum-forum masyarakat misalnya, majelis Ta’lim akbar yang bergulir di
15
Triyono dan Ahmad Arief. Ibid. Hlm 422
beberapa desa, Tadarusa Ibu-ibu, PKK, dan Yasinan. Kegiatan tersebut juga melibatkan seluruh etnis kecuali Tadarusan dan Yasinan hanya dilaksanakan oleh etnis-etnis yang beragama Islam saja. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menciptakan komunikasi yang cukup baik di antara masyarakat ketika berkumpul di forum-forum tersebut. sebagaimana dijelaskan pada hasil wawancara berikut ini: Wawancara dengan Pak Dewa Sudana (Bali), beliau mengatakan bahwa: Silaturahmi antar etnik dan agama di sini sering terjadi dan itu kami pelihara selama bertahun-tahun, sehingga sudah melekat dalam diri kami silaturahmi tersebut. untuk acara-acara di Islam sendiri, saya sering menghadiri terutama majelis Ta’lim Akbar. Apalagi ketika ada kunjungan dari pemerintah pusat pasti semua etnik dan agama menghadiri acaranya, biasanya di laksanakan di Pesantren. Wawancara tanggal 13/3/2013 4.3.1.2 Pesantren, Peranannya Dalam Proses Interaksi Sosial dan Sosialisasi Pendidikan Multikultural Kepada Anak Didik Banuroja dikenal oleh khalayak ramai bukan hanya dengan masyarakat multietnik dan multiagama saja. Tetapi juga, dengan sebuah konstruksi pendidikannya yang religius, yakni model pendidikan pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut diberi nama Salafiyah Safiiyah. Dalam menyulamselembarkain multikultural dan mengkonstruksi suatu keharmonisan, sangat dibutuhkan peran dari pendidikan untuk memberi suatu pengetahuan mengenai keindahan sebuah hubungan yang terintegrasikan dalam kebersamaan. Pesantren Salafiyah Safiiyah mempunyai peran besar dalam mensosialisasikan kepada anak didiknya untuk memelihara
sebuah
kerukunan
hidup
antar
umat
beraama
dan
antar
etnik.Disamping pembentukan interaksi melalui pendidikan peran pesantren
bukan hanya pada proses pendidikannya saja, tetapi juga lebih pada konstruksi harmonisasi yang dilakukan oleh pesantren dalam menjembatani proses terbentuknya suatu interaksi pada masyarakat Banuroja, misalnya, dari hasil wawancara dilapangan, peran pesantren dalam menjembatani proses interaksi di antara masyarakat juga dilakukan melalui kegiatan-kegiatannya yang bersifat integratif tanpa melihat latar belakang agama dan etnik. Contohnya, pesantren sering melaksanakan kegiatan Majelis Ta’lim akbar, dalam kegiatan tersebut, semua etnis yang ada di Banuroja tanpa terkecuali diundang untuk menghadiri, undangan tersebut lebih bersifat mempererat silaturahmi antar agama dan etnik. Semua etnik dan agama melakukan pembauran tanpa melihat latar belakang, mereka saling berinteraksi seakan tak ada pembedaan antara satu sama lain. Inilah konstruksi
harmonisasi
yang
dilakukan
oleh
pesantren
dalam
proses
pengintegrasian masyarakat. Seperti dijelaskan dalam wawancara berikut Wawancara dengan Siti Jubaidah (Etnis Jawa), mengatakan bahwa: “Adanya silaturahmi dan saling koordinasi maka di situlah timbullah rasa cinta antar sesama. Pesantren juga merupakan salah satu tempat yang proses silaturahminya antar etnik dan agama berjalan, misalnya, ketika ada kegiatan Majelis Ta’lim Akbar yang dilaksanakan satu bulan sekali tepat pada minggu ke tiga, kemudian juga tadarus AlQur’an dan Yasinan yang dilaksanakan satu bulan sekali yang dihadiri oleh semua etnis yang beragama Islam. Dari kegiatan tersebut, terbangun silaturahmi yang baik, sehingga interaksi antar etnik pun berjalan baik.” Wawancara tanggal 2 Juli 2013 Wawancara Dengan Ibu Farida Umar (Etnik Gorontalo) mengatakan bahwa: “Pesantren sering melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai kandungan nilai persatuan antar etnik, misalnya kegitan Tadarusan, Majelis Ta’lim Akbar, Istighosa, dan Yasinan. Kegiatan tersebut bukan hanya dihadiri oleh satu etnik saja tetapi hampir semua etnik yang
diundang pasti hadir, kecuali Yasinan, Istighosa, dan Tadarusan hanya dihadiri oleh etnik yang beragama Islam saja, dan untuk Majelis Ta’lim akbar dihadiri oleh semua etnik.” Wawancara tanggal 3 Juli 2013 Dari hasil wawancara di atas, memberi gambaran tentang peran pesantren dalam mempererat tali silaturahmi. Kondisi pesantren Salafiyah Safiiyah yang lokasinya berada di lingkungan masyarakat yang beragam, baik agama maupun etnik, mampu mengkonstruksi keragaman menjadi sebuah instrumen pemersatu masyarakat
melalui
mempererat
tali
kegiatan-kegiatannya
silaturahmi
antar
yang
sesama.
cukup
Inilah
produktif
suatu
kondisi
dalam yang
mencerminkan manifestasi rasa dari kebhinekaan dan penerapan dari ideologi Pancasila. Sebuah hubungan yang baik tentu akan melahirkan suatu cinta kasih dan toleransi di lingkungan kehidupan sosial. Bukan hanya pada proses pengintegrasian masyarakat, tetapi juga pesantren dituntut untuk mampu mengkolaborasikan proses interaksi di masyarakat maupun proses sosialisasi pendidikan multikultural kepada anak didik mengenai betapa indahnya kehidupan dalam keragaman yang saling menyapa. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial juga merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorangan dengan manusia. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial aka dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabatan tangan, saling berbicara atau
bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentukbentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar adanya pihak lain yang menyebabkan perubahanperubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan misalnya oleh bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan lain sebagainnya. Semua itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya16. Pendidikan
adalah
proses
membuat
orang
berbudaya
dan
beradab.Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI). Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi.
16
Lihat Soerjono Soekanto, 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Rajawali Persada: Jakarta
Untuk ini, dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan. Implementasi strategi pengajaran multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah. Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas17. Pesantren Salafiyah Safiiyah yang berlokasi di Banuroja, merupakan sebuah institusi pendidikan yang membentuk sebuah pola pikir siswanya untuk saling menghargai perbedaan dari masing-masing latar belakang etnik maupun agama. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya banyak anak didik yang berasal dari etnik berbeda untuk menuntut ilmu di pesantrin tersebut. Bahkan bukan hanya siswa, tetapi Guru-gurunya juga berasal dari etnis dan agama yang berbeda. Dalam pendirian pesantrin itupun, tidak lepas dari kontribusi masyarakat yang berasal dari agama dan etnis yang bereda, baik kontribusi tenaga maupun pikiran. Kehidupan para anak didik dalam keseharian mereka sangatlah rukun, meskipun tidak dapat dipungkiri ada berbagai masalah gesekan sesama teman yang berbeda etnik maupun sesama etnik, tetapi dapat diredam tanpa harus melalui jalan konflik. Mereka mengutamakan sebuah kebersamaan karena terjadi pembauran. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis temukan dilapangan sebagai berikut:
17
Yoseph Yapi Taum. Op.cit, hlm, 6
Wawancara dengan Ust. Gofir (Tokoh Jawa) mengatakan bahwa: “Pada tahun 1982 pesantren dirintis dan diresmikan tahun 1985 november. Pak I wayan Ade anggota yayasan pesantren, beliau dari bali dan beragama hindu bahkan pada waktu pembangunan pesantren orangorang Bali ikut bekerja membangun, bahkan pelatih sepak bola di pesantren adalah pendeta gereja. Guru2 di pesantren pun ada juga yang beragama hindu begitu juga dengan siswa di SMK salafiyah ada yang dari agama hindu. Anak-anak yang sekolah dipesantren berasal dari berbagai daerah antara lain, Sulbar, luwuk, bolaangmongondow, gorontalo, jawa, bali, mereka tinggal di asrama, hanya dipungut uang lampu, masuk pondok gratis”. (wawancara tgl 13/3/2013) Peryataan pada wawancara di atas juga di dukung oleh beberapa informan salah satunya adalah Pak I Wayan Ade. Beliau mengatakan bahwa: “Dari pendidikan juga cukup menunjang karena jika tidak ada ajaran yang menuntun anak-anak kami kepada kerukunan untuk apa kami menyekolahkan mereka. Teman-teman hindu ada juga yang sekolah di SMK salafiyah safiiyah”. (wawancara tgl 13/3/2013) Penjelasan dari wawancara di atas, merupakan bukti kerja sama dari masing-masing agama dan etnis dalam mengkonstruksi sebuah kehidupan yang harmonis dan juga pendidikan mempunyai peran besar dalam mendidik siswanya untuk menjaga sebuah hubungan yang harmonis antara suku dan agama yang berbeda. Potret keharmonisan hidup tersebut penting untuk dijadikan sebagai cerminan dalam mengarungi lautan kehidupan masyarakat multikultural yang badai konfliknya sangat rentan. Karena jika tak mampu dikendalikan oleh nahkoda, maka bahtera kehidupan yang ditumpangi oleh masyarakat multikultur dan agama tersebut akan tenggelam dalam disintegrasi, bahkan akan lapuk dalam keegoisan kultural. Dalam tradisi Pesantren, terdapat pemisahan antara Pesantren yang mengajarkan pengetahuan umum dengan yang tidak atau belum, ada pula
Pesantren yang menyajikan santri-santrinya sekolah umum diluar Pesantren. Pemisahan ini belum menimbulkan pengelompokkan atas dasar sosial keagamaan yang berbeda dan masih sama-sama terikat sebagai umat manusia, satu bangsa dan ada juga yang satu faham Ahlussunnah wal jama’ah. Namun secara edukatif pemisahan tersebut telah menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa bentuk aktivitas sosial kemasyarakatan, gaya hidup dan cara berfikir. Terlalu pagi untuk memperkirakan arah gejala tersebut di masa depan atau, meremehkan perpecahan yang lebih fundamental yang munkin akan terjadi. Saat ini penting bagi umat Islam untuk menyadari, bahwa dalam usaha mengembangkan pendidikan Pesantren yang berhasil, telah mengundang gejolak dan protes dari warga sekitar, karena lembaga tersebut berada ditengah pluralitas agama. Pesantren Aisyiyah telah berupaya mencairkan ekslusifitas (pemahaman agama secara tertutup) Pesantren Aisyiyah telah mengarahkan kepada adanya persatuan antar sesama warga masyarakat dengan batas-batas tertentu, meskipun agamanya berbeda, karena agama adalah merupakan hak fundamental bagi pemeluk suatu agama. Dengan seringnya pergaulan warga Pesantren dengan warga masyarakat dalam acara-acara tidak formal dan secara rutin dilakukan secara alami telah terjadi proses pembauran warga masyarakat dan tidak ada penghalang dalam pergaulan walaupun memiliki agama yang berbeda18. Dalam konteks pendidikan, pesantren merupakan sebuah lembaga yang hidup dan dinamis. Banyak ruang yang dapat diperbincangkan, karena ia selalu
18
Abdullah dalam Ahmad Calam, dkk. Peran Pesantren Dalam Mengembangkan Kesadaran Kemajemukan Agama (Studi Kasus Di Pesantren Aisyiyah Kelurahan Sei Rengas Permata Kecamatan Medan Area Kota Medan Propinsi Sumatera Utara–Indonesia). Jurnal SAINTIKOM Vol. 11 / No. 1 / Januari 2012. Hlm, 16-17
menarik, segar dan aktual. Dinamika pesantren dan interaksinya dengan masyarakat yang dimainkan oleh santri, kiai dan alumni pesantren semakin memperteguh kembali bahwa pesantren merupakan bagian dari infrastruktur masyarakat. Secara mikro maupun makro, pesantren telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk berpegang pada idealisme, mengembangkan kemampuan intelektual, dan perilaku mulia untuk menata serta membangun karakter bangsa yang makmur dan berperadaban. Dilihat dari eksistensinya, pesantren mempunyai banyak dimensi yang terkait, karakter plural, tidak seragam, dan tidak memiliki wajah tunggal. Pesantren kelihatan berpola seragam, tapi beragam; tampak konservatif, tetapi secara diam-diam atau terang-tarangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ia merupakan suatu lembaga pendidikan klasik dan mungkin paling tradisional, akan tetapi justru semakin survive, dan bahkan dianggap sebagai lembaga pendidikan alternatif dalam era globalisasi dan modernisasi dunia seperti sekarang ini. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, pesantren dihadapkan pada beberapa fenomena perubahan sosial dan multikulturalisme yang tak terelakkan. Kemajuan teknologi informasi, dinamika sosial-politik, belum lagi sejumlah perubahan yang terbingkai dalam dinamika masyarakat. Semuanya berujung pada pertanyaan tentang resistensi, responsibilitas, kapasitas dan kecanggihan pesantren dalam menghadapi perubahan besar itu19.
19
Lihat Abdurrahman Kasdi, 2012. Pendidikan Multikultural Di Pesantren:Membangun Kesadaran Keberagamaan Yang Inklusif. Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012
4.3.1.3 Tokoh, Peran dan Interpensi Dalam Mengkonsiliasi Permasalahan Di Masyarakat Heterogen Sosok tokoh sangat penting dalam memberi teladan, membimbing dan mengayomi pada setiap deretan perjalanan kehidupan suatu komunitas, terutama hidup dalam masyarakat multietnik dan multiagama. Dalam sebuah masyarakat multietnik dan agama, terutama di Banuroja, tidak terlepas dari peran tokoh dalam pengelolaan keharmonisan hidup bermasyarakat. Ibarat nahkoda dalam sebuah bahtera, tokoh harus mampu mengkonstruksi gagasan dan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat, karena dalam lautan bebas kehidupan masyarakat yang heterogen tak terlepas dari hempasan gelombang konflik, yang kemudian hal tersebut dapat menyeret kapal tersebut ke suatu lembah disintegrasi sosial. Mungkin, jika kita menengok deretan sejarah panjang yang mewarnai perjalanan hidup masyarakat yang heterogen bangsa ini, selalu dihempas oleh gelombang konflik yang muaranya pada disintegrasi sosial, mulai dari deretan konflik Poso, Ambon, Sampit, dan Sambas. Ini merupakan bukti nyata kehidupan masyarakat yang selalu diwarnai oleh konflik-konflik sosial yang diakibatkan oleh isu SARA. Sosok tokoh yang mempunyai kepiawaian sangat penting, dalam melahirkan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Agar bahtera kehidupan mampu menggiring arus pluralisme budaya dan suku, sosok tokoh harus mampu memahami dan mapan dalam menerjemhkan ke mana bahtera tersebut berlabuh. Tentu, berpedoman pada wasiat leluhur yakni, Bhineka Tunggal Ika untuk dijadikan sebagai kompas peradaban menuju integrasi nasional.
Banuroja, merupakan salah satu dari deretan daerah-daerah yang memiliki masyarakat heterogen. Di desa ini, seorang tokoh sangat berperan dalam mengelola keharmonisan hidup bermasyarakat. Salah satu tokoh yang mempunyai andil dalam memecahkan permaslahan masyarakaat yakni Bapak Gofir Al Nawawi, biasa disapa dengan Abah Gofir (bahasa Arab : Bapak/Ayah) atau Kyai Gofir. Menurut masyarakat, beliau adalah sosok tokoh yang dihormati dan terterima di semua kalangan baik, pada semua agama maupun etnik yang ada di Banuroja. Karena beliau berhaluan Islam moderat, dan sangat menerima Pluralisme. Sehingga, dalam pemberian nama desa beliau yang dipercayakan untuk mengusulkan nama untuk desa yang baru mekar tersebut. Inilah bukti dari kepercayaan semua masyarakat terhadap beliau. Wawancara dengan Moh. Zakpan “Masyarakat sering diberi nasehat oleh orang alim, seperti Ustad Gofir Nawawi.Beliau selalu memberikan cerama panjang lebar sehingga kami menjaga hubungan antar sesama.” Wawancara tgl 13/3/2013 Wawancara dengan I Wayan Ade dan Dewa Sudana “Masyarakat dari Hindu, Kristiani dan masing-masing etnis sangat mempercayai dan menghormati Ustad Gofir, Karena, masyarakat berfikir, tidak mungkin orang tua seperti Ustad Gofir menjerumuskan kami ke halhal yang tidak baik.” Wawancara tgl 13/3/2013 Seperti yang dijelaskan pada hasil wawancara di atas, bahwa Dalam hal ceramah dan berdakwah Ustad Gofir tidak melakukan dakwah dengan metode Islami seperti penceramah lainnya tetapi dakwah dengan metode nasionalisme, sehingga tidak mengganggu hubungan keagamaan. Sikap moderat dari Ustad Gofir, bukan hanya sebatas sebagai pemberi solusi terhadap permasalahan masyarakat, tetapi juga peka terhadap permasalaha ekonomi di masyarakat.
Misalnya memberi bantuan kepada yang memerlukan, tidak memandang latarbelakang etnik dan agama. Seperti yang beliau jelaskan dalam wawancara. Wawancara dengan Ust. Gofir Nawawi “Pada tahun 80-an kami pernah memberikan modal sama orang bali berupa bibit pertanian dan kami tidak minta dikembalikan, ketika kami mendapat rezeki lebih kami sering bagikan kepada etnik lain dan agama.” Hasil wawancara tgl 13/3/2013 Di samping seorang tokoh utama yang mampu memberi solusi dalam permasalahan etnis secara umum, ada juga tokoh di masing-masing etnis dan agama yang berperan penting dalam memberikan nasehat untuk selalu menjaga kerukunan. Misalnya pada masyarakat Bali yakni, I Wayan Ade dan Dewa Sudana, pada masyarakat Jawa yakni Gofir Nawawi, pada masyarakat Gorontalo yakni Hanu Lihawa, pada masyarakat Lombok yakni Moh. Gozali dan Moh. Zakpan. 4.3.1.4 AgamaSebagai Instrumen Perekat Dalam Mengkonstruksi Keserasian Sosial Bagi bangsa Indonesia, agama adalah weltanchauung dan sebagai ideologi masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebagai pandangan dunia (weltanchauung), manusia dan masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai nilai fundamental yang mendasari dan mengarahkan seluruh kehidupannya. Tidak mengherankan apabila Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia menjadikan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan utama yang menyinari keseluruhan sila-sila lainnya20. 20
Lihat H.A.R. TilaarAgama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012. Hlm, 65
Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Tapi sayangnya, agama yang mengajarkan perdamaian tidak jarang dijadikan legitimasi untuk mengganggu, memusuhi bahkan memusnahkan umat lain. Di Indonesia konflik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso adalah salah satu bukti nyata bahwa ajaran agama dijadikan sebagai alat pembenar bagi pemeluknya untuk melakukan tindakan permusuhan dan pembunuhan atas nama agama. Kenyataan ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan esensi ajaran agama itu sendiri yang selalu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian. Contoh konflik bernuansa agama, yakni antara Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon dan Poso bagi bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada agama-agama yang lain, seperti antara Islam dan Hindu, Islam dan Budha, serta Kristen dengan Hindu atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa dipahami mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan pemeluk agama yang beragam. Belum lagi perbedaan suku dan ras, bisa jadi faktor ini juga berpotensi memperkeruh suasana konflik agama. Namun demikian, kemungkinan di atas bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat dan bangsa Indonesia mampu menumbuhkan sikap toleran di antara umat beragama21.
21
Lihat Ahmad Munjin Nasih1 dan Dewa Agung Gede Agung (2011). Harmoni Relasi Sosial Umat Muslim dan Hindu di Malang Raya. Jurnal. Tahun 2011, Volume 24, Nomor 2Hal, 1
Penjelasan di atas, memberikan sedikit deskriftip mengenai beberapa daerah yang konflik sosialnya diakibatkan oleh egosentrisme agama. Konflik agama yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia merupakan bukti realitas pemeluknya yang tidak memehami secara mendalam misi perdamaian dari suatu agama tersebut, sehingga tidak dapat dipungkiri kesalah-pahaman di antara pemeluknya tercipta, karena dari masing-masing mereka berada pada garis egosentrisem dan pembenaran individu.Lain halnya pada masyarakat Banuroja, malah sebalikanya, agama dijadikan landasan dan spirit dalam bertindak untuk mengkonstruksi keserasian sosial dalam hidup bermasyarakat. Sebenarnyakonflik agama di Indonesia tidak hanya antara Islam dan Kristen, tetapi dalam masyarakat Hindu menyimpan potensi konflik yang tidak kecil. Pasca ledakan bom Bali tahun 2002yang menghancurkan ekonomi Bali, terdapat perkembangan yang mengkhawatirkan kehidupan beragama, yakni tumbuhnya kelompok milisi yang disebut dengan pecalang. Kelompok ini pada awalnya adalah polisi tradisional yang menjaga keamanan upacara adat/agama, namun dalam perkembangannya mereka juga melakukan sweeping terhadap orang-orang pendatang yang tidak mempunyai KTP/KIPEM/KIPP yang sah. Para pendatang rata-rata berasal dari Jawa yang notabene beragama Islam. Kondisi inilah yang berpotensi menciptakan konflik agama antara Islam dan Hindu. Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Entah muncul sebagai akibat hubungan antarumat beragama yang tidak dibarengi sikap
toleran, atau sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu22. Masyarakat Banuroja sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan menghormati terhadap masyarakat yang berbeda agama. Spritualitas dalam kehidupan sangatlah kental, karena masyarakat memahami misi-misi perdamaian dalam agamanya masing-masing, sehingga egosentrisme agama tidak muncul ke permukaan. Agama merupakan hal yang sangat esensial karena berkaitan dengan masalah kehidupan dan kematian, bahkan semua agama pasti mempunyai ajaran tentang rasa saling menyapa dan cinta kasih. Tetapi, jika hal tersebut disalahpahami dan dijadikan sebagai teori pembenaran oleh pemeluknya, maka, ini hanyalah melahirkan sikap keangkuhan dan memandang agama orang lain adalah kesalahan. Sehingga, melalui terowongan itulah muncul konflik yang ditunggangi oleh kelaha-pahaman. Dalam masyarakat multi-agama di Banuroja, juga sering menghadapi berbagai permasalahan keagamaan tetapi mereka mampu mengontrol diri dan juga mereka bisa mengantisipasi agar konflik agama tersebut tidak akan terjadi. Beberapa tokoh agama di Banuroja yang telah peneliti wawancarai, menyambut dengan positif setiap permasalahan yang terjadi, agama mereka jadikan cermin perdamaian. Ada pendapat beberapa tokoh agama di bawah ini: Wawancara dengan Ustad Gofir Nawawi (Tokoh dari Umat Islam) mengatakan bahwa: “Pada saat ini, mungkin ada gesekan tetapi, tidak sampai pada konflik, mengenai keagamaan, yang kami jadikan pegangan atau yang kami pakai dalam kehidupan adalah ahlusunah wal jama’ah karena 22
Op.cit.
bersifat moderat. Untuk menyelesaikan permasalahan keagaman ataupun antar etnis biasanya di rumah saya. Dalam kehidupan bermasyarakat, rasa persatuan dan rasa senasib yang kita tanamkan. Bahkan ketika di desa ini ada kegiatan keagamaan maka agama yang melaksanakan acara keagamaan tersebut mengundang teman-teman dari agama lain, tetapi yang membuat acara tersebut sudah mempersiapkan tukang masak dan lain2 agar yang agama lain tidak was-was. Dalam islam pun kita diajarkan rasa saling menghargai antar etnis dan agama misalnya ada pesan dalam alqur’an Surah al-kafirun ayat 6 yang atinya “untukmu agama-mu dan untukku agama-ku”. (wawancara tgl 11/3/2013) Penjelasan di atas oleh seorang tokoh dari Umat Islam tersebut sangatlah bijak, dan di dalamnya terkandung makna anjuran untuk saling menghormati antar sesama. Di sisi lain salah seorang Imam atau pimpinan dari umat Hindu memberikan pendapatnya sebagai berikut: Wawancara dengan I Wayan Ade dan Dewa Sudana (Tokoh Umat Hindu) mengatakan bahwa: “Justru dari peran agama yang menjaga kerukunan di Banuroja ini.Kami di sini menjaga kerukunan ini karena kami memegang 3 sikapmembawa diri sebagai senjata ampuh dari Agama Hindu, Tri Paye Parisudeyakni: berfikir yang baik, berbuat yang baik, berbicara yang baik, sebenarnya penjabaran dari 3 sikap tersebut panjang sekali. Misalnya dari pikiran muncul pembicaraan dan dari pembicaraan muncul sikap. Ada juga yang disebut dengan“tata susila” atau tata krama. Ada juga resepnya kita saling menghargai dan menghormati, dalam ajaran Hindu di sebutTatwam Asi, artinya “dia adalah aku, aku adalah dia”. Jadikalau kita merasa dia adalah aku maka dia juga akan merasa aku, ini yang kami pegang selama ini. Itu ajaran paten kami sehingga rasa saling menghormati diantara kami terjaga.Kami juga saling mengundang ketika ada acara keagamaan, komunikasi di antara kami lancar dan kami saling mengunjungi, kemarin kami mengadakan acara penyambutan nyepi banyak yang hadir pada upacara kami dari berbagai etnis dan agama, bahkan dari wartawan juga ada. Jadi point utamanya untuk resep yang paling anpuh hanyalah saling menghargai tidak ada yang lain.” (wawancara tgl 13/3/2013)
Hal tersebut juga lebih diperkuat oleh pendeta dari Umat hindu, yang juga mengajarkan
rasa
saling
menghormati
dan
menghargai,
penulis
juga
mewawancarai Pendeta dari Umat Hindu. Wawancara dengan Yaser Singon (Pendeta) mengatakan bahwa: “Menjaga kehormanisan selalu dikhutbahkan pada waktu umat Kristen sembahyang, kami sudah menganggap agama lain sebagai saudara ataupun sahabat kita sendiri. Sering juga, kami saling mengundang ketika ada acara keagamaan bahkan saling silaturahmi pun ada. Kalau dalamagama Kristen, saya sering khutbahkan bahwa harus ditanamkan rasa saling menghormati bukan membuat satu perbedaan. Karena kami menganggap mereka sahabat, jadi sahabat pasti tidak akan melupakan satu dan lainnya.Dalam Kitab suci yang kami imani ada pesan-pesan sebagai berikut, “Kasihilah musuhmu berilah makan bila ia lapar”. Musuh di sini bukan dalam arti pembunuh tapi yang berbeda agama.” (wawancara tgl 18/4/2013) Dari penjelasan para tokoh agama dari masing-masing agama, memberi sebuah deskriptif bahwa agama telah mereka jadikan sebagai pondasi pengintegrasian masyarakat yang heterogen. Potret kerukunan antar umat beragama di Banuroja merupakan suatu konstruksi perdamain yang harus menjadi cerminan bagi masyarakat yang rawan dengan konflik sosial. Resep dan pengelolaan keserasian melalui agama merupakan suatu desain yang spesifik dan progres dalam membangun harmonisasi kehidupan. Sebagaimana
dikatakan,
tugas
mulia
ummat
beragama
secara
bersamasama meng-interpretasi-kan ulang ajaran-ajaran agama untuk dapat dikomunikasikan pada wilayah agama lain sehingga mengurangi tensi atau ketegangan antara ummat beragama. Para teolog masing-masing atau juru Dakwah (Da’i) serta Missionaris, “belajar” memahami relung-relung keber-
agama-an orang lain, bukan untuk tujuan pindah agama atau hegemoni kultur/etnosentrisme. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk bersifat saling memahami dan menghormati (toleransi). Dan sikap toleran ini tidak akan menipiskan keber-agama-an yang semula dipeluknya23. Tercapainya titik temu masyarakat dalam kemajemukan agama adalah merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh ummat Islam atau ummat Kristiani atau ummat agama lainnya secara sepihak. Hal demikian terjadi pada sejarahkehidupan nabi Muhammad, terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “Konstitusi Madinah”24 4.3.1.5 Amalgasi (Perkawinan Campur), Upaya Pembauran Budaya Dalam Masyarakat Multi Etnik di Banuroja Di Banuroja perkawinan campur antar etnis sudah sering terjadi, baik antara laki-laki Jawa dengan perempuan Gorontalo, Lombok, dan yang lainlainnya ataupun sebaliknya. Perkawinan campur tersebut, semakin memperkuat tali silaturahmi antar etnik. Suatu keragaman etnik dirajut menjadi sebuah lipatan harmonis, sehingga terbentuklah suatu bingkai integrasi yang mengutamakan solidaritas dan kesejahteraan bersama. Bahkan perkawinan yang menyebabkan perpindahan agama pun pernah terjadi di Banuroja, dan hal tersebut dianggap biasa karena masyarakat lebih mengedepankan hak asasi sebagai individu yang bebas memilih jalan kehidupannya masing-masing, selama tidak mengganggu ketentraman masyarakat lainnya. Hal tersebut juga sering terjadi di berbagai 23 24
Ahmad Calam dan Mahmud Yunus Daulay. Ibid. Hlm, 15 Op.cit.
wilayah kepulauan Indonesia, seperti yang dijelaskan pada penelitian Muhammad Masdar sebagai berikut. Di Wonomulyo perkawinan campuran antara perempuan Jawa dengan laki-laki Mandar, Bugis, Makassar dan yang lain-lainya atau sebaliknya sudah sering terjadi bahkan beberapa orang subyek penelitian dalam penelitian ini juga merupakan pasangan nikah atau keluarga hasil perkawinan campur antara lelaki Jawa dan Perempuan Mandar, Bugis, dan Makassar atau sebaliknya, bahkan dengan etnis Tionghoa. Berdasarkan temuan lapangan ini dan penjelasan dari beberapa subyek penelitian yang diwawancarai terdapat perbedaan frekuensi dan jumlah yang cukup signifikan dalam hal perkawinan campuran tersebut. Pada umumnya laki-laki Jawa yang menikahi perempuan Mandar, Bugis, Makassar dan yang lainnya jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki dari kelompok etnis tersebut di atas yang menikahi perempuan Jawa. Kemungkinan kecilnya laki-laki Jawa untuk memperistrikan perempuan Mandar, Bugis, maupun Makassar25. Di sisi lain, Kawin campur antar suku berbeda dalam masyarakat merupakan suatu kebiasaan yang kerap terjadi pada masyarakat. Seperti, perkawinan campur dalam masyarakat perkotaan dan pedesaan hingga perkawinan beda agama dan lintas negara. Dengan adanya kawin campur pada suku yang berbeda akan menimbulkan terjadinya peleburan budaya, dimana mereka saling menghargai dan menyesuaikan budayanya sendiri secara sukarela. Dengan adanya ikatan perkawinan campur pada suatu suku yang berbeda baik atas dasar kepentingan individu maupun kelompok, akan berpengaruh besar dalam 25
Lihat dalam disertasi Muhammad MasdarIntegrasi Sosial Pada Masyarakat Multietnik: Studi Kasus Interaksi Antaretnik di Kecamatan Wonomulyo Sulawesi Barat” Pascasarjana Universitas Negeri Makassar tahun 2011. Hlm, 5
mendorong terjalinnya hubungan yang mengarah kepada penyatuan pada masyarakat plural. Perkawinan campur yang terjadi antara suku Kerinci, suku Jawa dan suku Minang di Kecamatan Batang Merangin sudah terjadi dalam tempo waktu lama, sehingga budaya dan norma-norma sosial yang sudah terbangun pun juga sama-sama mengalami peleburan atas budaya-budaya yang berbeda tersebut26. Perkawinan campur merupakan salah satu langkah progres dalam mengkonstruksi kehidupan yang harmonis, karena timbul rasa saling memiliki dan menghormati budaya masing-masing diantara sepasang suami istri yang berbeda etnis maupun agama.DiBanuroja terjadinya perkawinan campur, salah satunya karena faktor pembauran etnis pada suatu tempat yang memiliki berbagai macam etnis. Sehingga, menimbulkan kecocokan antara satu sama lain. Dan, karena perasaan yang timbul dalam jiwa seseorang yang merasa bahwa dirinya sudah cukup matang dalam mengarungi hidup berkeluarga. Mereka merasa bahwa jodoh tak memilih latar belakang apapun. Untuk permasalahan adat perkawinan pun dimusyawarahkan secara kekeluargaan, apakah melaksanakan dengan adat A atau adat B,
26
Lihat dalam Skripsi Pepizon, 2008.Relasi Amalgamasi Dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta