BAB IV
HASIL DAN ANALISA
Pada bab ini peneliti akan mengemukakan hasil dari wawancara dengan para subjek, dan analisis hasil wawancara yang terdiri dari Analisis Intra Kasus Subyek (orangtua yang memberikan medical, behavioral dan combined therapy), dan Analisis Antar Kasus Subyek (orangtua yang memberikan medical, behavioral dan combined therapy). Peneliti tidak terlalu mengalami kesulitan dalam menemukan subyek dengan karakteristik yang sesuai dan bersedia untuk diwawancarai. Para subyek sangat terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti dan sangat kooperatif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga orang subyek. Salah satu subyek diperoleh peneliti melalui bantuan dari salah satu dosen dimana subyek tersebut adalah klien beliau, dua subyek lainnya didapatkan peneliti dari Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan. Subyek pertama berasal dari golongan ekonomi mengenah ke atas sedangkan dua subyek lainnya berasal dari golongan ekonomi mengenah ke bawah. Perbedaan golongan ekonomi subyek akan dianalisa peneliti dari berbagai aspek seperti proses pengambilan keputusan, pola asuh yang diterapkan, konflik yang ada di dalam keluarga yang berhubungan dengan terapi, tingkat kepuasan terhadap terapi yang sedang dijalani dan harapan ibu dari terapi ADHD.
51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.1
Gambaran Umum Subjek Penelitian Subyek I
Subyek II
Subyek III
Inisial
A
C
E
Jenis Kelamin
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Usia
34 tahun
43 tahun
41 tahun
Agama
Islam
Islam
Islam
Pendidikan
S-1
SMP
SMP
Pekerjaan
POLRI
Ibu Rumah
Ibu Rumah
Tangga
Tangga
Jumlah Anak
2
2
2
Inisial Anak
B
D
F
Jenis
Khusus/1 SD
Umum/4SD
Tidak Sekolah
ADHD
ADHD
PDD-NOS dan
Sekolah/Kelas Diagnosa
ADHD Jenis Treatment
Behavioral
Medical
Therapy
Therapy
Mix Method
52
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.2
Gambaran Umum Subjek
4.2.1
Gambaran Umum Subjek A
A merupakan seorang Ibu yang bekerja di kepolisian Bandung sebagai perawat di poliklinik gigi. A adalah orang yang ramah, murah senyum, dan hangat. Selama proses wawancara antara A dengan peneliti tertawa – tertawa kecil apabila ada hal yang lucu. A tidak berhenti menunjukan keramahanannya dengan selalu tersenyum kepada peneliti.
4.2.2
Hasil Observasi
Wawancara dengan A dilakukan sebanyak dua kali pada waktu dan tempat yang berbeda dan observasi sebanyak satu kali di sekolah B. Pada wawancara pertama kali dilakukan pada pukul 13.00-14.00 di sebuah ruangan seperti tempat penyimpanan barang namun terdapat sebuah meja dan dua kursi tetapi tidak terdapat pintu namun ruangan hanya ditutupi oleh horden berwara hijau layaknya ruangan periksa dokter. Pada saat peneliti belum masuk ke ruangan, A langsung memanggil dan menyambut peneliti dengan hangat dan bisa menebak bahwa saya adalah mahasiswi yang ingin melakukan wawancara. Tempat A bekerja memiliki dinding di bagian depan yang terbuat dari kaca sehingga A bisa melihat kedatangan peneliti dari dalam. Sebelum wawancara dimulai peneliti meminta A untuk membaca dan menandatangani informed consent yang sudah peneliti siapkan. 53
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Sesi wawancara pertama peneliti mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang berhubungan dengan proses decision making. Dari pertanyaan – pertanyaan tersebut dapat dijawab A sangat lancar dengan intonasi yang teratur, bahasa yang digunakan pun tertata sehingga mudah dipahami peneliti sehingga pengulangan pertanyaan pun tidak dibutuhkan. Selama wawancara A sangat terbuka dan to the point dalam memberikan jawaban. Sesi wawancara pun berakhir selama kurang lebih satu jam. Sedangkan untuk sesi wawancara kedua dilakukan seminggu kemudian di lokasi terapi B, peneliti mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang berhubungan dengan faktor – faktor yang mempengaruhi decision making. Pada sesi wawancara ini merupakan pertama kalinya peneliti datang ke lokasi dimana B menjalankan terapi. Peneliti dan A melakukan sesi wawancara selama kurang lebih 8 menit dimulai pukul 15.45 di depan ruangan terapi sambil menunggu B datang. Selang beberapa menit kemudian B datang sambil berteriak memanggil ibunya “Mamih..”. A memperkenalkan peneliti dengan B dan meminta B untuk memanggil peneliti dengan sebutan “Tante”. Setelah satu minggu kemudian peneliti kembali datang untuk melakukan observasi saja di sekolah B. A merupakan seorang Ibu yang sangat perhatian terhadap B. Di sekolahnya B memiliki satu guru pendamping khusus untuk memberikan pelajaran sekolah sehingga B tidak digabung dengan teman – teman lainnya yang belajar di ruangan kelas. A juga mengajarkan B untuk selalu menyisihkan uang jajannya. Seperti pada saat peneliti datang ke sekolah B sedang merengek meminta uang jajan sebesar Rp 5.000,- namun A memberikan syarat 54
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bahwa B harus menyisakan Rp 2.000,- untuk ditabung. Di samping itu A juga mengajarkan B menjadi anak yang bertanggung jawab. Ketika B menumpahkan es di kantin sekolahnya A meminta B untuk mengambil lap dan membersihkan lantai. Begitu juga dengan di rumah, apabila B sedang marah dan mengacak barang – barang di rumahnya A selalu meminta B untuk membereskannya lagi. A juga merupakan pribadi yang supel. A memperkenalkan peneliti dengan guru pendamping B dan kepala sekolah di sana. Peneliti melihat A memiliki hubungan yang dekat guru pendamping B yang memanggil dirinya dengan sebutan “Mamih” dan mereka sempat mengobrol mengenai perilaku B pada hari itu sambil tersenyum dan tertawa. Pada saat di sekolah B, peneliti mendapatkan informasi dari guru pendamping B bahwa beberapa hari yang lalu B sempat hampir hilang karena berjalan sendirian ke rumahnya sebelum orang yang menjemputnya datang. Guru pendamping tersebut merasa lega karena A dan suaminya tidak protes atau pun menegur pihak sekolah dan mengatakan bahwa orangtua B merupakan orangtua yang sabar.
4.2.3
Gambaran Umum Subjek B
Saat berkenalan dengan peneliti di lokasi terapi, B bersikap sopan dengan memperkenalkan dirinya dan salim pada peneliti. Saat peneliti baru datang ke sekolahnya, B sedang merengek meminta uang jajan sebesar Rp 5.000,-. B juga sempat meneteskan air matanya dan memukul – mukul kaca ruangan perpustakan karena menolak untuk menyisihkan uangnya sebesar Rp 2.000,- untuk ditabung.
55
http://digilib.mercubuana.ac.id/
B juga merupakan anak yang ramah dan tidak pemalu bila bertemu dengan orang baru. Ketika peneliti datang ke sekolahnya, B langsung memegang tangan peneliti dan mengajak memasuki ruang perpustakaan dimana tempat B dan guru pendampingnya mengadakan Kegiatan Belajar dan Mengajar. Di ruangan perpustakaan tersebut terdapat beberapa rak buku yang berisikan buku cerita anak – anak dan sebuah meja tanpa kursi untuk B belajar. B juga meminta peneliti untuk menginap di rumahnya dan tidak kembali ke Jakarta pada hari itu. Saat B sedang bermain di wahana permainan sekolahnya, peneliti sedang mengobrol dengan guru pendamping namun tiba – tiba B datang dengan wajah cemberut serta kesal, tangan dilipat di dada, dan sejenak diam tidak mau berbicara. Guru pendamping menanyakan B “Kenapa kok sedih?” B mengatakan bahwa ia dipukul oleh kakak kelasnya dari kelas 3. Kemudian kami menghampiri anak yang memukul B dan ia sedang menangis. Setelah kami bertanya kepada teman – teman B yang melihat kejadian tersebut ternyata B lah yang memukul kakak kelasnya terlebih dahulu dengan menggunakan sandal. Murid – murid di sana tidak semuanya menggunakan sepatu, termasuk B hanya menggunakan sandal jepit saja. B mencoba untuk meminta maaf tetapi kakak kelasnya tidak mau memaafkan. Guru pendampingnya bilang bahwa B memang suka mengganggu teman – temannya. Namun dibalik itu peneliti melihat bahwa B merupakan anak yang mau bertanggungg jawab dan penurut. Sebagai penderita ADHD B pun masih sulit untuk fokus ketika sedang belajar. Guru pendamping B mengatakan “B kebanyakan iklan” apabila diminta untuk menulis atau pun membaca. Saat di sekolah pun B tidak fokus menulis apa 56
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang diperintahkan guru pendampingnya, terkadang ia sibuk mencoret – coret meja kemudian dihapusnya kembali, sibuk mengetuk – ngetuk pensil ke meja, beberapa kali menolak mengerjakan soal dengan mengatakan “gak bisa, gak bisa”.
4.2.4
Gambaran Umum Guru Pendamping
Guru pendamping B merupakan seseorang yang bertanggung jawab dan memiliki perhatian penuh terhadap kemajuan B. Guru pendamping B memperlihatkan buku penghubung (disebut juga dengan buku laporan perilaku dan target perilaku B sehari – hari) kepada peneliti. Pada buku tersebut guru pendamping bersama – sama dengan B memberikan bintang pada target perilaku yang telah dicapai oleh B. Dari buku penghubung tersebutlah orangtua B dapat mengetahui kemajuan B di sekolah. Guru pendamping B mengatakan bahwa membuat buku penghubung merupakan idenya sendiri dan tidak semua guru di sekolah melakukannya. S juga meminta terapis B untuk membuat laporan setiap sesi terapi B berlangsung untuk mengetahui kemajuan B dan hambatan yang dimiliki B. Guru pendamping B meminta laporan tersebut supaya guru pendamping, terapis, serta orangtua B dapat saling bekerja sama demi perubahan B menjadi anak yang lebih baik. Namun laporan dari terapis belum juga dibuat dan membuatnya mengeluh karena ingin sekali mengetahui perkembangan B saat terapi.
57
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.3
Analisis Intra Kasus
4.3.1
Sejarah ADHD
B adalah anak pertama dari dua bersaudara yang memiliki seorang adik laki – laki. Pada saat TK-A B sempat menggigit pundak temannya dan pada saat TK-B A juga pernah menggunting rambut salah satu temannya yang dianggapnya mengganggu. A menggunting rambut temannya dengan alasan ingin menjaga teman – temannya yang lain. Menurut rekomendasi seorang dokter B dibawa ke tempat terapi yang sekarang masih dijalani. Di tempat terapi tersebutlah A dan B bertemu dengan seorang psikolog dan didiagnosa memiliki ADHD. Namun konsultasi sempat terhenti karena psikolog tersebut diharuskan pindah ke Jakarta. Setelah satu tahun kemudian tepatnya pada Februari 2014 A baru bisa memulai konsultasi lagi karena psikolog sudah kembali praktek di Bandung. Menurut pengakuan A penyebab B terkena ADHD adalah dari faktor genetik. Berdasarkan yang diceritakan oleh mertua dan adik ipar A saat masih kecil suami A pernah melukai kepala temannya hingga bocor dan saat sekolah pun suami A pernah mengancam ingin mendatangi guru atau Kepala Sekolahnya dengan menggunakan golok apabila mendapatkan nilai ulangan jelek. Namun perilaku suami A sendiri dapat berubah saat SMA. Dari masa kehamilan B sendiri A mengaku tidak memiliki keluhan ataupun masalah bahkan tidak pernah merasakan mual. Jadi A menyimpulkan bahwa B memiliki ADHD karena faktor genetik yang diturunkan dari bapaknya.
58
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.3.2
Pengambilan Keputusan Dalam Memilih Terapi
Supaya dapat memberikan gambaran yang utuh dan mendalam mengenai proses pengambilan keputusan ibu dalam memilih terapi untuk anak ADHD yang dialami oleh masing – masing subyek, maka peneliti membagi bagian ini kedalam beberapa sub kategori. Dalam proses pengambilan keputusan yang dialami oleh tiap subyek akan dibagi ke dalam tahapan – tahapan tindakan yang dilakukan subyek dalam mengambil keputusan memilih jenis terapi ADHD, faktor – faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan, aspek – aspek yang mempengaruhi keberhasilan terapi seperti pola asuh yang diterapkan; konflik keluarga yang berhubungan dengan terapi; tingkat kepuasan terhadap terapi; dan harapan ibu dari jenis terapi ADHD yang sedang dijalankan.
4.3.2.1 Proses Pengambilan Keputusan
Menurut Galotti (2008), ada lima fase dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Dalam proses pengambilan keputusan akan dijelaskan tentang fase – fase tindakan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masing – masing subyek, yaitu : Setting Goals Ketika B berusia enam tahun B memiliki emosi yang sulit untuk dikontrol saat sedang marah seperti berteriak, memukul tangan ke tembok dan berbicara 59
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tidak jelas. Setiap B berperilaku demikian A selalu berusaha menenangkan B hingga akhirnya B merasa menyesal dengan menangis lalu meminta maaf. Walaupun sudah meminta maaf tetap saja B tidak melakukan perubahan dan terus melakukan kesalahan yang sama. Selain bermasalah dengan emosinya, perilaku B di sekolah pun juga sulit dikontrol. Misalnya, hari pertama masuk sekolah (di SD sebelum B sekolah di tempat yang sekarang) B tiduran di kelas; naik ke tiang bendera; terkadang suka berada di luar kelas saat KBM berlangsung, bahkan B pernah dipanggil oleh Kepala Sekolah karena B sudah pergi meninggalkan kelas sebelum UTS selesai dikerjakan. Berbagai komentar buruk dari tetangga pun diterima oleh A yang menyebabkan A susah untuk memperkerjakan Asisten Rumah Tangga di rumahnya. A merasa sedih dan sakit ketika anaknya disebut nakal oleh orang lain. A juga merasa kasihan dengan B karena teman – teman B tidak ingin bermain bersama, tetapi tidak semua teman – teman B menjauhinya. A selalu berusaha memberikan pengertian kepada orang di sekitar lingkungan B, seperti meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang memiliki rumah kalau perilaku B mengganggu dan kurang sopan. ”Sedih emang sih, kaya tetanggalah ada yang mau kerja sama kita dibilangnya, ngapain kerja di situ anaknya nakal…ntar dipukulin ntar ini. Sebenernya sakit sih ya anak digituin siapa sih yang mau anak seperti itu…kebetulan sih pembantunya agak usia ya jadi mengerti ya namanya anak kecil pasti nakal…dapet pembantu yang pengertian lah.”
Dari berbagai perilaku B tersebut A memutuskan untuk memberikan terapi kepada B. Alasan utama A memberikan terapi adalah untuk menstabilkan emosi B
60
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan mengurangi perilaku marah – marahnya. A juga merasa harus memberikan terapi supaya B bisa berubah seperti anak – anak normal lainnya. Gathering Information A sendiri tidak mengetahui bahwa B memiliki ADHD karena sebelumnya A tidak pernah mendengar tentang ADHD. Setelah A dan suami bertemu dengan psikolog dan B terdiagnosa ADHD, dari situ lah A dan suami untuk pertama kalinya mendengar jenis gangguan psikologis ADHD. Pengetahuan A dan suami yang minim mengenai ADHD membuat mereka menyerahkan keputusan terapi kepada psikolog di biro tersebut. A pun tidak tinggal diam dan berusaha untuk aktif mencari informasi mengenai terapi ADHD. Namun, pencarian informasi jenis terapi ADHD oleh A dilakukan setelah B menjalankan terapi bukan sebelum terapi. Meskipun untuk urusan anak diserahkan kepada A sehingga A lebih aktif dalam mencari informasi jenis terapi ADHD, suami A tidak pernah menolak untuk diajak berdiskusi mengenai B. “Kalo untuk terapi saya serahin sama psikolog…saya ikutin semua kata psikolog karena kan demi kebaikan anak.” “Ya itu setelah terapi saya searching – searching seperti itu.”
Structuring the Decision Dari jenis terapi yang diketahui, A optimis sekali terhadap keberhasilan jenis terapi tersebut dan tidak pernah memikirkan dampak ataupun konsekuensi yang ada. A rela mengobarkan waktu dan uang untuk kebutuhan terapi B. Sebab A mengakui bahwa memiliki Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan biaya
61
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang tidak sedikit, maka A memiliki plan B dengan mendaftarkan B pada asuransi kesehatan untuk berjaga – jaga jika suatu saat A dan suami tidak memiliki biaya untuk kebutuhan terapi B. “Gak kepikiran ke situ sih, yang penting anak bisa berubah. Terus kita juga gak tau kan okupasi itu seperti apa, pedagogi seperti apa cuman psikolog menyarankan seperti itu ya kita ikutin. Jadi gak kepikiran yang penting ah bisa berubah.”
Making a Final Choice Menurut A dalam menentukan jenis terapi B yang harus dipertimbangkan adalah waktu, biaya lingkungan, dan pendapat orang lain. A memang orang yang terbuka, suka berdiskusi dan percaya dengan informasi yang diberikan oleh teman dekatnya. Selain mendapatkan saran dari psikolog, A juga sering meminta pendapat dari orang lain seperti dokter di tempat ia bekerja karena dokter tersebut juga memiliki anak ADHD dan berasal dari kampung yang sama dengan suami A. Jenis terapi yang disarankan oleh psikolog sama persis dengan jenis terapi yang sedang dijalankan oleh anak dokter tersebut yaitu, terapi pedagogi; okupasi; dan renang. Dari ketiga jenis terapi tersebut A melihat adanya perubahan pada B maka A optimis dengan kesembuhan B dan akan terus lanjut tanpa beralih ke jenis terapi yang lain. Evaluating Dalam memberikan terapi ADHD untuk B, A tidak memiliki persiapan apa – apa dan yang dilakukannya adalah sering meminta pendapat atau curhat ke psikolog, terapis dan guru pendampingnya mengenai perilaku B di rumah dan 62
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bertukar informasi mengenai perkembangan perilaku B dengan mereka. A juga lebih berhati – hati dalam memberikan makanan kepada B, misalnya mengurangi makanan yang banyak mengandung protein dan cokelat; mengurangi nasi; susu dan A juga berhenti menyetok cemilan ciki – ciki. Menurut pengamatan A jika B banyak makan cokelat emosi B akan langsung meningkat dan sulit untuk dinasehati. Sambil terapi berjalan A juga memberikan les kepada B, yaitu les di tempat bimbel dan les privat. A juga mengajarkan B untuk bersosialisasi di lingkungan les dan terapi renangnya. Menurut A, B harus digabung dengan teman – temannya yang normal supaya B bisa beradaptasi dengan lingkungan. A melihat terapi pedagogi adalah terapi yang paling banyak memberikan perubahan besar pada B, sehingga A berhenti memberikan les. Perubahan B membuat A merasa senang dan puas karena B sekarang sudah bisa membaca, emosinya sudah lebih bisa dikontrol, jika marah B hanya menggenggam tangannya; mengerutkan alis; dan tidak memukul. “Emmm perasaannya seneng dan puas yang pasti seneng bangetlah anak bisa berubah yah…” “Kalo dulu dia marah kan mukul, kalo sekarang tangan digenggem mata begini dikerutkan alisnya.”
Memiliki anak ADHD memang membutuhkan kesabaran yang besar. Terkadang B masih suka berkelahi dengan adiknya, B masih suka dimandiin bahkan makanpun masih minta disuapin. Apabila dinasehati B tidak langsung mematuhi A dan B lebih takut dengan ancaman – ancaman yang dapat membuat dirinya menjadi patuh. A juga mengakui bahwa anak seperti B merupakan anak
63
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang sensitif, orangtua harus tau benar isi hati anak mereka terutama Anak Berkebutuhan Khusus dan harus selalu memberikan kasih sayang. “…pernah dia mukul juga bales…adiknya kan gitu, adiknya dorong dia dorong. Abang gak boleh gitu, kalo kaya gitu nanti adiknya diserahin aja ke nenek. Gak mau – gak mau, katanya…Walaupun harus pelang – pelan dan diulang – ulang. Kalo gak diulang – ulang gak akan ngerti…karena konsentrasinya itu kan…”
4.3.2.2 Faktor – faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan
Beberapa faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan menurut The International Student Journal (2010) adalah past experience, cognitive biases yang terdiri dari belief bias; hindsight bias; omission bias; dan confirmation bias, escalation of commitment dan sunk outcomes, individual differences, dan belief in personal relevance. Peneliti akan menjelaskan faktor – faktor apa saja yang secara signifikan dapat memengaruhi sekaligus berperan dalam proses pengambilan keputusan subyek dalam memilih jenis terapi ADHD. Belief in Personal Relevance Faktor utama A memilih behavioral therapy yaitu terapi pedagogi; terapi okupasi; dan terapi renang karena A mengikuti saran dari psikolog. A mempercayakan kesembuhan B kepada psikolog baik dari jenis terapi maupun sekolah yang sesuai dengan kemampuan B. “…kalo kata Bu DL ini ya saya laksanakan kalo jangan ya jangan. Contoh soal sekolah saya bilang, Bu anak rencana sekolah mau di sini. Bu DL rekomendasi sekolah di sini – sini. Terus konsultasi juga sama terapisnya…”
64
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Selanjutnya, A mencari informasi baik dari internet maupun dari orangtua yang sudah melakukan terapi tersebut bahwa terapi yang disarankan psikolog memang bagus. “Ya dokter saya ini kan anaknya ADHD. Ya saya nanya juga ke dia, dok ada terapi apa aja. Kalo dia terapinya kan renang itu sama terapi konsentrasi eee apa okupasi. Pedagoginya gak terlalu…” “…kaya dokter itu kan terapinya pedagogi dan okupasi berarti kan saya mengikuti.”
Selain dari melihat adanya perubahan yang nyata dari B, kepercayaan diri A terhadap keberhasilan jenis terapi yang dijalankannya juga diperkuat dengan keberhasilan terapis dalam merubah perilaku klien yang tadinya tidak bisa menjadi bisa. “Jadi ada buku tentang kesuksesan anak selama di biro psikologi ini sukses. Ada yang jadi dokter kalo gak salah, terus jadi pemusik….Dan ternyata yang ditulis itu ada terapis yang dari terapis pedagogi mengucapkan terimakasih. Dan anak saya terapisnya sama terapis itu juga.”
Belief Bias Faktor lainnya yang mempengaruhi A dalam memilih behavioral therapy saja karena A memiliki latar belakang pendidikan dari kesehatan. Psikolog pernah menyarankan A untuk memberikan B obat dan obat tersebut juga sudah diresepkan oleh dokter. Namun, A sengaja tidak memberikan obat kepada B karena A takut dengan dampak negatif obat tersebut. Penolakan A untuk memberikan obat kepada B juga diperkuat dengan mencari informasi mengenai
65
http://digilib.mercubuana.ac.id/
obat untuk ADHD di internet. Sebagai orang yang bekerja di bidang kesehatan A selalu berhati – hati dalam memberikan obat untuk anak – anaknya dan mencoba untuk mencari tahu obat tersebut beserta efek samping yang ditimbulkannya. “Kalo untuk terapi saya serahin sama psikolog…Apa yang dikatakan sama eee yang menerapinya ya saya ikutin karena kan demi kebaikan anak. Harus terapi ini, kecuali satu eee minum obat. Takut. Saya tebus obatnya, saya baca diagnosanya menyebabkan kematian menyebabkan kematian. Namanya orangtua takut.” “Terus Bu DL nganjurin lagi, obat lagi. Saya ketemu dokter lagi terus dikasih resep tapi gak saya tebus.”
Confirmation Bias Pencarian informasi yang dilakukan A mengenai jenis terapi ADHD dan dampak negatif obat yang diresepkan oleh psikiater dilakukakn untuk meyakinkan dirinya bahwa terapi yang dipilihnya saat ini sudah tepat. A juga sering melakukan diskusi dengan psikolog, terapis, dan guru pendamping B mengenai kemajuan perilaku B. “…terapi yang baru dijalankan itu dan memang katanya terapi itu untuk meningkatkan konsentrasi dia sama emang baru bisa baca kan dia semenjak terapi. Jadi, setuju.”
4.3.3
Aspek – aspek yang Memengaruhi Keberhasilan Terapi
Berdasarkan hasil wawancara mengenai tahap – tahap pengambilan keputusan ibu dalam memilih jenis terapi dan faktor – faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan tersebut, peneliti menyimpulkan beberapa aspek yang memengaruhi keberhasilan terapi sebagai berikut :
66
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.3.3.1 Pola Asuh yang Diterapkan
Selain memberikan terapi pada B, A juga menerapkan sistem token economy untuk membantu B berperilaku lebih baik lagi. A sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir hanya bisa berkomunikasi dengan anak – anaknya di malam hari saja. Walaupun A memiliki Asisten Rumah Tangga, A berusaha untuk tetap menyempatkan diri untuk melakukan pekerjaan ibu rumah tangga dan memantau perkembangan B di sekolah. “…karena kalo dia dapet seribu bintang akan dapet hadiah dari saya.”
Walaupun demikian, A tetap merasakan bahwa waktu dan perhatian yang diberikan ke anak – anaknya masih kurang. A juga merasakan adanya kecemburuan pada adik B yang berusia dua tahun terhadap B. Kecemburuan adik B timbul dikarenakan A lebih banyak meluangkan waktu bersama B, namun A tetap berusaha memperlakukan anaknya secara adil. “Misalkan saya dipegang, saya dipeluk sama abang gak boleh…” “Dia kan ngomongnya udah nyerocos ya. Kalo dulu nangisnya sebentar kalo sekarang nangisnya seperti dibuat – buat mencari perhatian…”
4.3.3.2 Konflik Keluarga yang Berhubungan Dengan Terapi
Dari awal mengetahui bahwa B terdiagnosa ADHD A dan suami tidak pernah mengalami percekcokan. Apabila teradapat perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak selalu menyelesaikannya melalui diskusi atau kompromi.
67
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Sejauh ini tidak ada masalah yang serius di antara A dan suami mengenai terapi B dikarenakan A dan suami sudah melakukan perjanjian pra – nikah bahwa setiap masalah harus diselesaikan secara baik – baik. “...kita sebelum pernikahan sudah ada perjanjian tidak ada percekcokan. Jadi kita diomongin baik – baik gimana jalan keluarnya…” “Selama pernikahan saya selama 8 tahun tidak pernah cekcok. Perjanjian pra-nikah.”
A berasal dari keluarga yang berkecukupan sehingga biaya terapi dan sekolah B tidak menjadi masalah yang besar. Menurut A pengorbanan terbesar adalah waktu sehingga A lebih fokus pada pembagian waktu dengan suami dan adik ipar A untuk anter-jemput B saat terapi. “Ya uang kan lumayan…uang juga mempengaruhi…tapi yang paling besar sih emang waktu.”
4.3.3.3 Tingkat Kepuasan Terhadap Terapi
Selama B menjalankan terapi satu tahun A merasa senang dan puas karena sudah banyak perubahan yang dialami B terutama dari segi emosi dan akademik. Perubahan yang dialami B tidak hanya dirasakan oleh A tetapi juga oleh teman – teman kerjanya. B cukup dikenal oleh teman – teman B sebab A suka mengajak bermain B ke kantornya ketika ia sedang bekerja. “Emmm perasaannya seneng, puas. Yang pasti seneng bangetlah anak bisa berubah yah apalagi dari segi akademik eh emosinya sudah berubah juga yang pasti seneng banget saya akuin.”
68
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“…kalau temen – temen di sini bilangnya, ih jauh ya dulu mah suka mukul, dulu suka marah – marah, sekarang mah enggak sekarang mau salim, dulu mah kalo suruh salim mukul.”
Walaupun B sudah banyak perubahan, namun menurut A perubahan yang dialami B belum bisa dikatakan sembuh karena B masih memiliki masalah pada konsentrasinya. A juga masih memiliki kekhawatiran dan ketakutan kalau B tidak bisa sembuh. Ketakutan dan kekhawatirannya itulah yang membuat A memiliki tekad yang sangat besar sekali dan siap mengorbankan apapun demi kesembuhan B dan akan terus tetap memberikan terapi hingga B sudah dewasa kalaupun memang diperlukan. “…takutnya gak akan bisa sembuh. Takutnya gak akan bisa berubah.” “Ya kalopun sampe kuliah diperlukan terapi akan tetap saya lakukan karena demi anak kan masa depan kita sendiri.”
4.3.3.4 Harapan Ibu dari Jenis Terapi ADHD yang Sedang Dijalankan
Sebelum menjalankan terapi perilaku B sempat melakukan pengobatan magic dengan mendatangi orang pintar. Namun karena tidak menghasilkan perubahan pada diri B, maka A memutuskan untuk berhenti dan beralih ke psikolog. “…saya pernah nyoba katanya bawa ke orang pinter nah suruh kalungin suruh ini ih gak ada perubahan. Akhirnya setelah saya okupasi yang pertama kan, okupasi baru berjalan dua kalian lah baru pedagogi saya liat malah lebih berhasil dalam beberapa bulan.”
69
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Melalui terapi pedagogi, okupasi dan renang A menaruh harapan besar supaya B bisa seperti anak normal lainnya sehingga tidak memiliki keinginan untuk beralih ke jenis terapi lain. Hal ini dikarenakan sudah banyak perubahan yang dialami B. Sebagai orangtua yang sangat kooperatif dan optimis terhadap kesembuhan anak A pun tidak menolak untuk melakukan terapi orangtua yang diajurkan oleh psikolog, namun terapi orangtua ini belum dijalankan karena masih belum ada kabar lagi dari psikolog yang menangani B. “…harapannya dengan terapi ini anak bisa berubah karena kalo anak belum diterapi orang menyebutnya nakal…makannya dengan harapan terapi ini ya mungkin dia bisa berubah.”
4.4
Gambaran Umum Subjek
4.4.1
Gambaran Umum Subjek C
Setelah peneliti memberikan presentasi kepada salah satu psikiater di Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan, psikiater langsung mengajukan nama dua orang pasien. Pasien pertama menggunakan medical therapy saja dan pasien kedua menggunakan medical therapy sekaligus neurofeedback setiap seminggu dua kali. Sebab neurofeedback tidak termasuk ke dalam kategori terapi perilaku maupun medis, maka dari itu peneliti dan dosen pembimbing setuju untuk memilih pasien kedua karena lebih terjangkau jaraknya dan dimasukan ke dalam kategori medical therapy saja.
70
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada hari yang sama dengan presentasi peneliti di RS, kebetulan C sedang menunggu D untuk terapi neurofeedback di ruang tunggu. Ruang tunggu tersebut berada di samping ruangan khusus terapi yang dibatasi dengan pintu. Pintu selalu dalam kondisi dikunci dan hanya dibuka ketika pasien ingin masuk untuk terapi atau keluar setelah terapi. Bentuk ruang tunggu seperti taman bermain anak – anak dengan beberapa permainan seperti ayunan, perosotan, jungkat – jangkit, dan tempat duduk untuk orangtua dan pasien yang sedang menunggu. Peneliti langsung memperkenalkan diri dan membuat perjanjian dengan C untuk melakukan interview pertama di rumahnya. C merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki suami sebagai tukang ojek. Selama wawancara C sangat terbuka terhadap peneliti dan sesekali tertawa apabila ada hal yang menurutnya lucu. Dalam menjawab pertanyaan C cenderung ceplas – ceplos dan dengan nada yang tinggi. Dalam berpakaian C tidak terlalu peduli dengan penampilannya dan cuek. Misalnya ke sekolah D dengan menggunakan sandal jepit. Peneliti juga tidak pernah melihat C berdandan bahkan menggunakan pemerah bibir sekalipun.
4.4.2
Hasil Observasi
Interview dengan C dilakukan peneliti sebanyak tiga kali. Dua hari setelah berkenalan di RS peneliti datang ke rumah C. C tinggal di sebuah kontrakan dua lantai, lantai 1 hanya terdiri dari satu petak yang bisa dijadikan sebagai ruang tamu; ruang keluarga; dapur; dan kamar mandi pun berada pada lantai 1. Untuk
71
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menuju lantai 2 yang berdasarkan pengamatan peneliti merupakan ruang tidur terdapat tangga sederhana terbuat dari kayu. C tidak memiliki kursi sehingga selama wawancara peneliti dan C duduk di lantai. Pada wawancara awal berlangsung pada pukul 15.30 – 16.00, dari durasi yang singkat tersebut peneliti hanya baru bisa menggali satu fase decision making saja. Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta C mengisi informed consent terlebih dahulu. C dalam berbicara menggunakan intonasi yang tinggi, bahasa yang digunakan kurang sopan dan halus. Seperti mengucapkan kata (maaf) “berak” yang menyebabkan peneliti harus menggantinya dengan kata buang air besar pada bagian verbatim dan memanggil D dengan sebutan lu. Wawancara kedua berlangsung pada pukul 14.00 – 15.00 dan wawancara ketiga berlangsung pada pukul 13.00 – 13.45. Beberapa kali D rewel dan berusaha untuk mencari perhatian peneliti dengan tingkahnya yang tidak bisa diam menyebabkan C memberikan uang untuk D jajan di luar. Namun, beberapa kali C mengeluhkan tidak tahan dengan pengeluaran untuk jajan anak – anaknya terutama D. Berdasarkan pengamatan peneliti selama wawancara, kebiasaan D suka jajan dikarenakan C yang sering memberikan uang jajan ketika D rewel di rumah sebagai suatu reinforcement. Setelah wawancara peneliti juga melakukan observasi sebanyak dua kali di sekolah D. Selain perkataan C yang kurang sopan dan halus, dalam berperilaku pun C kurang mengerti tata krama. Hari pertama observasi di sekolah D, C langsung masuk ke kelas D saat Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung. C hanya
72
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengatakan kepada wali kelas D bahwa peneliti ingin mengobervasi perilaku D tanpa memperkenalkan peneliti terlebih dahulu serta memberikan kesempatan peneliti untuk berbicara. Ibu guru yang kebetulan wali kelas D langsung menegur dan menasehati C bagaimana bertamu dengan baik dan memberikan penjelasan maksud serta tujuan bertamu. Di hari kedua observasi, peneliti sempat mengobrol di musholla sekolah dengan wali kelas D sekarang dan wali kelas D saat kelas 1. Berdasarkan pengakuan para wali kelas D, C memang memiliki tata krama yang kurang baik seperti menyapa guru dengan sebutan eh. Ketika sedang kesal karena perilaku D, C pernah mengucap kepada wali kelas D kalau C ingin membuang anaknya. Keinginan C ingin membuang anaknya hanyalah berlandaskan rasa kesal dan emosi sesaat belaka. Tidak jarang pula para wali kelas tersebut menasehati C untuk berperilaku dan berkata sopan dalam situasi dan kondisi seperti apapun. C juga merupakan seorang ibu yang sensitif apabila ada teman – teman D yang mengganggu. Para wali kelas D menceritakan kepada peneliti bahwa C pernah bertengkar dengan orangtua dari teman sekolah D. C tidak terima kalau D mendapat perlakuan kasar dari temannya sehingga C nekad ke rumah teman D dan menegur orangtuanya dengan tidak sopan. Dalam mendidik anak C tidak segan – segan menggunakan kekerasan fisik. Menurut pengakuan C, karena merasa sangat kesal C suka memukuli D bila buang air besar di celana. Walaupun pada awal wawancara baik C dan suami tidak mengakui adanya kekerasan fisik.
73
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Peneliti mengakui di balik sifat C yang sudah disebutkan sebelumnya, C adalah seorang ibu yang perhatian dan penyayang terhadap kedua anaknya. Berdasarkan pengakuan tetangga dan para wali kelas D, C sering sekali menunggu anak – anaknya di sekolah. Pada jam istirahat D, C selalu berada di sekolah untuk menemaninya. Saat observasi kedua peneliti di sekolah D bertepatan dengan jadwal pelajaran olahraga. C merupakan satu – satunya orangtua yang menggantikan pakaian sekolah anaknya. Selesai jam istirahat di sekolah D, C kemudian menjemput sekolah anaknya yang kedua pulang ke rumah. Perjalanan dari rumah C ke sekolah – sekolah anaknya kira – kira berjarak lebih dari 1km dan ditempuh C dengan berjalan kaki. C selalu menceritakan kondisi D kepada guru – guru di sekolah supaya para guru dapat memahami bahwa perilaku anaknya dikarenakan oleh penyakit. C terbuka kepada wali kelas D mengenai perilaku D di rumah dan selalu menanyakan perkembangan anaknya di kelas. Peneliti menyimpulkan bahwa kekurangan yang dimiliki C salah satunya dikarenakan oleh faktor pendidikan sehingga tidak mengerti tata krama, kontrol emosi yang buruk, dan dalam bertutur kata kurang hati – hati. Walaupun demikian sebagai seorang ibu peneliti mengakui bahwa C adalah seorang ibu yang sangat perhatian dan sayang terhadap anak – anaknya.
74
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.4.3
Gambaran Umum Subjek D
Sebenarnya D bukanlah anak pertama dari dua bersaudara tetapi D adalah anak ketiga C dari 4 bersaudara. Hanya saja anak pertama dan kedua C sudah meninggal saat masih bayi, sehingga di penelitian ini peneliti menulis bahwa D adalah anak pertama karena D merupakan seorang kakak dari adik perempuan satu – satunya. Pada wawancara awal, D terlihat senang melihat peneliti dan selalu tersenyum. Begitu juga pada wawancara berikutnya, setiap peneliti datang D berusaha menarik perhatian peneliti dengan sibuk membuka buku pelajaran sekolahnya; sibuk menonton tv dan bermain game sambil berkomentar dengan nada tinggi supaya peneliti melihat ke arah D; dan sesekali ikut menjawab pertanyaan ketika C diwawancara. Sebagai seorang kakak, D memiliki keegoisan yang cukup tinggi dengan tidak mau mengalah ataupun berbagi dan ingin menang sendiri. Misalnya, pada saat D sedang makan ciki D tidak ingin berbagi dengan adiknya. Namun, ketika adiknya sedang makan mpek – mpek D memaksa adiknya untuk memberikan sebagian mpek – mpek miliknya dengan cara memaksa. Walaupun sebenarnya D dilarang makan makanan yang terbuat dari tepung, indomie, dan cokelat tetapi D sulit sekali untuk dilarang memakan makanan tersebut. Tingkah laku D berbeda dengan tingkah laku di sekolahnya yang cenderung lebih banyak diam dan tidak banyak melakukan aktivitas. Menurut pengakuan C dan para wali kelasnya, D seringkali dikucilkan oleh teman – teman di sekolah karena perilakunya yang sering buang air besar di kelas dan minta 75
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dijajani oleh temannya. Bahkan di kelas, saat peneliti melakukan observasi D duduk sendirian di sudut paling belakang dan tidak melakukan interaksi dengan teman – temannya. Ketika D kesulitan untuk mengerjakan soal matematika yang diberikan gurunya, D tidak berusaha untuk bertanya pada teman – temannya. Peneliti melihat bahwa D adalah anak yang ingin bersosialisasi dengan teman – temannya hanya saja lingkungan yang menolak. Dari segi akademik D bukanlah anak yang tergolong pintar walaupun memiliki IQ pada tingkat rata – rata. Namun, sebagai anak yang memiliki ADHD D tetap bisa mengikuti pelajaran di sekolah umum dengan cukup baik.
4.4.4
Gambaran Umum Para Wali Kelas D
Wali kelas D sekarang dan saat D kelas 1 merupakan guru yang ramah, terbuka, dan perhatian terutama pada murid – muridnya. Para wali kelas juga merupakan pendengar yang baik dan setia untuk selalu mau memahami curahan hati C mengenai perilaku D. Mereka merupakan guru yang bijaksana dalam mengatasi permasalahan muridnya terutama D. Setiap ada berita yang tidak baik diadukan murid – muridnya mengenai D. Seperti D memukul temannya dan memalaki temannya, wali kelas D cenderung membela D karena ia tahu bahwa D bukanlah anak yang nakal justru teman – temannya yang selalu berbuat ulah dan memulai keributan. Bentuk perhatian wali kelas D tidak hanya ditujukan kepada muridnya namun juga terhadap para orangtua terutama C. Perilaku dan perkataan
76
http://digilib.mercubuana.ac.id/
C yang dianggapnya kurang sopan langsung ditegur dan dinasehati oleh mereka. Dalam bertutur kata pun halus dan lembut, sesekali antara para wali kelas dan peneliti menertawakan hal yang lucu dan mereka juga guru yang ramah dengan beberapa kali bertanya pada peneliti di luar konteks penelitian.
4.5
Analisis Intra Kasus
4.5.1
Sejarah ADHD
Dari duduk di Sekolah Dasar kelas 1 – 4 D memiliki kebiasaan buang air besar di celana, mengambil uang teman – temannya bahkan uang orangtuanya, mengambil barang seperti pulpen atau pensil milik teman – teman di sekolahnya, berjalan mondar – mandi di kelas, tidak bisa fokus serta menggoyang – goyangkan kaki ketika belajar, dan jika meminta sesuatu selalu memaksa dengan berteriak. Perilaku D tersebut dilakukan tanpa disadarinya sehingga membuat teman – teman di sekolahnya mengucilkan D. C dipanggil oleh wali kelas D dan melaporkan bahwa D memiliki gangguan mental kleptomania. C sendiri tidak mengetahui yang dimaksud dengan kleptomania. Laporan dari wali kelas D membuatnya panik dan langsung membawa D ke puskesmas terdekat. Setelah mendapat rujukan dari puskesmas C membawa D ke Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan dan mendapat penanganan lebih lanjut di sana. D mulai menjalani terapi di RS tersebut dari bulan September tahun 2014.
77
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Penyebab D memiliki ADHD dikarenakan oleh faktor genetik karena adik kandung C juga memiliki ADHD dan dalam masa kehamilan atau pun riwayat kesehatan D di masa kecil tidak memiliki masalah yang serius. Sedangkan menurut C, D mulai buang air besar di celana setelah saat D kelas 1 dilarang oleh salah satu gurunya keluar kelas untuk buang air besar. Pada saat D masih TK pun tidak pernah buang air besar di celana. C juga menjelaskan bahwa sampai usia tiga tahun D diurus oleh neneknya dikarenakan C harus bekerja. Selama diasuh oleh neneknya D selalu menggunakan pampers dan tidak pernah diajarkan toilet training. Kemudian C melahirkan anak kedua dan berhenti bekerja barulah C mengambil D dari neneknya. Namun karena sibuk mengurus adik D, C juga tidak sempat mengajarkan toilet training. Penanganan dari psikiater pun hanya memberikan obat perangsang supaya setiap pagi hari D buang air besar.
4.5.2
Pengambilan Keputusan Dalam Memilih Terapi
4.5.2.1 Proses Pengambilan Keputusan
Setting Goals Dari kelas 1 – 4 SD D mendapat penolakan dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungannya karena D selalu buang air besar di kelas. Seperti saat kelas 1 SD salah satu temannya pernah menggeledakan kepala D,
78
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bahkan setiap baris di sekolah semua teman – temannya selalu menghindar, dan selain D suka meminta uang kepada teman – temannya D pun juga sering diminta uang jajannya oleh mereka. Tidak hanya lingkungan sekolah saja yang menolak D, teman – teman pengajiannya pun juga menolak D karena perilakunya yang suka mengambil barang milik orang lain. “Suka dinakalin dia kepalanya digeledakin, digeledakin…justru dia yang dinakalin…”
dari
kelas
1
C merasa cemas, khawatir dan takut apabila perilaku D yang seperti itu akan terus berkelanjutan hingga D dewasa nanti. Setelah mendapatkan diagnosa dari dokter C kaget dan tidak menyangka kalau D menderita gangguan psikologis. Selain teman – teman dan para guru yang merasa terganggu dengan D, C dan suami pun sebagai orangtua merasa tidak tenang kalau mengajak D keluar rumah karena suka buang air besar di celana. C memutuskan untuk memberikan terapi kepada D untuk menghilangkan perilakunya yang suka buang air besar sembarangan, mengambil uang dan barang milik orang lain, dan ingin D menjadi anak yang normal. “Kaget juga, apa iya sih…” “Satu, suka ngambil barang orang. Dua, buang air besar di celana…supaya anaknya jadi normal aja kaya anak yang lain…”
Gathering Information Sebelumnya C tidak pernah mendengar kata ADHD, walaupun adiknya memiliki gejala yang sama dengan D tetapi C dan keluarga tidak mengetahui
79
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bahwa apa yang diderita adiknya merupakan sebuah gangguan psikologis. Karena ketidak tahuannya D hanya menerima informasi mengenai ADHD dari psikiater dan menyerahkan keputusan terapi kepada psikiater. Suami C menganggap sepele, merasa pesimis dan tidak peduli dengan penyakit yang diderita D. Selama ini C berjuang sendirian demi kesembuhan D dengan mengantarkan D ke RS untuk terapi, sering bertanya dengan psikiater dan tidak mempedulikan perkataan orang lain yang membuatnya pesimis terhadap kesembuhan D. “Pokoknya gak percaya sama orang saya mah percaya sama dokter...” “Aku ngadu apa – apa kayanya dianggep sepele sama dia…”
Structuring the Decision C mempercayakan semua keputusan pada psikiater selama ini dan tidak pernah memikirkan dampak ataupun konsekuensi dari jenis terapi selama pengobatan itu masih dianggapnya wajar. Perhatian dan kasih sayanglah yang menjadi pengorbanan terbesar C dalam merawat Anak Berkebutuhan Khusus seperti D. C bukanlah seorang ibu yang terlalu memperhitungkan uang untuk kebutuhan anak selama ia mampu memenuhinya. C juga bersyukur dengan adanya bantuan dana di RS tersebut, karena kalau tidak ada bantuan C tidak akan memberikan terapi kepada D dikarenakan biaya terapi yang sangat mahal. “Ya paling apa sih kalo gak kasih sayang, waktunya ke D kalo dia misalnya gak mau belajar…misalnya minta ditemenin aku temenin, kadang minta ditungguin aku tungguin.”
80
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Making A Final Choice Menurut C dalam menentukan jenis terapi D yang harus dipertimbangkan adalah menanyakan terlebih dahulu fungsi dari terapi tersebut. Kira – kira sudah lima bulan D mengkonsumsi obat jenis prohiper dan xenocy. C sendiri sampai saat ini belum yakin terhadap fungsi obat – obat tersebut. Walaupun C berjuang keras supaya D dapat sembuh, menurut peneliti C memiliki keraguan terhadap terapi D yang sedang dijalankannya. C memberikan jangka waktu setahun untuk melihat perubahan D, apabila dalam setahun tidak ada perubahan maka D harus berhenti terapi obat. “Setahun. Kalo gak ada perubahan udah hentikan aja yaudah.”
Mengambil keputusan untuk menjalankan terapi di RS dilakukan oleh sepihak saja. C berusaha keras supaya D dapat sembuh, sedangkan suaminya cenderung cuek dan tidak menghiraukan perkembangan D. Walaupun demikian C tetap fokus dengan kesembuhan D dan tidak terlalu mempermasalahkan sikap suaminya. “Diemin aja. Fokus sama anak.”
Evaluating Dalam memberikan terapi ADHD untuk D, C langsung memutuskan untuk membawanya ke dokter. Karena faktor ekonomi, maka C menggunakan jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah supaya dapat berobat dengan harga
81
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terjangkau. C juga merupakan seorang ibu yang protective terhadap anak – anaknya terutama D, C melarang D bermain dengan teman – temannya yang dapat memberikan pengaruh buruk. C sendiri merasa belum puas dengan terapi obat yang dijalankan D saat ini dan merasa khawatir dengan masa depan D, baik dari perilaku maupun kebiasaan buang air besar di celana. Apabila tidak meminum obat, D masih menunjukan perilakunya yang hiperaktif, mengambil uang dan barang milik orang lain, dan buang air besar di celana. C tidak ingin D menjadi ketergantungan obat. Selama mengikuti terapi D belum pernah mendapatkan komentar dari lingkungan atau pun keluarganya tetapi kebiasannya yang suka buang air besar di celana sudah mulai berkurang akibat pengaruh obat. “…kalo ketergantungan berarti gak akan sembuh – sembuh.” “…misalnya dia belum berubah juga takut nanti dia kalo udah gede nanti digebukin.”
4.5.2.2 Faktor – faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan
Belief Bias Selama menjalani terapi D, pengorbanan terbesar yang telah dilakukan C adalah dari segi biaya, waktu dan tenaga. Biaya adalah pengorbanan yang paling besar dilakukan C dari ketiga aspek tersebut. C ingin sekali mencoba jenis terapi lain selama terapi tersebut tidak mengeluarkan biaya. Selama ini D hanya ditangani oleh seorang psikiater saja. Karena C baru menjalani satu jenis terapi,
82
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yaitu medical therapy maka hanya jenis terapi inilah yang ia percaya dapat menyembuhkan D. “Kalo misalnya kita coba, kita jalanin sih ya aku percaya. Tapi kalo belum aku jalanin ya aku gak percaya.”
4.5.3
Aspek – aspek yang Berperan dalam Keberhasilan Terapi
4.5.3.1 Pola Asuh yang Diterapkan
C mengakui bahwa D memang bukan anak yang penurut, apalagi kalau permintaannya tidak dituruti D akan marah dan terus memaksa. Berbeda dengan adik D, ia lebih penurut dan tidak banyak permintaan. Perbedaan perilaku antara D dengan adiknya membuat C lebih perhatian terhadap adik D karena ia tidak menyusahkan orangtua dan selalu mengalah dengan D. Namun, C sadar bahwa pilih kasih dalam mendidik anak tidaklah baik terhadap mereka berdua. Nasehat tersebut C dapatkan dari sahabatnya bahwa baik kedua anaknya sama – sama membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang Ibu. Hanya saja, C memiliki kontrol emosi yang buruk. Apabila D ataupun adiknya nakal, C suka memukul mereka dengan alasan supaya kedua anaknya bisa berpikir lebih baik. C sekarang berusaha untuk tidak membeda – bedakan kedua anaknya. Siapapun yang salah berhak untuk dipukul kalau memang memukul itu diperlukan untuk merubah perilaku anaknya. “Oh kalo anak aku gebukin, aku gak bedain D dengan adiknya.”
83
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Aku dulu suka beda – bedain karena D bandel jadi aku males sama dia…”
C terbiasa menggunakan ijuk sapu untuk memukul anak – anaknya terutama D yang sering mendapat pukulan dari C, misalnya D tidak ingin sekolah karena merasa keakutan dimusuhi teman - temannya. Kebiasaan C yang suka memukul anak – anaknya membuat C suka merasa kasihan dan menyesal. Tetapi C tidak pernah meminta maaf atau memberikan pelukan sebagai bentuk rasa penyesalan terhadap anak – anaknya. Alasannya tersebut dikarenakan C ingin anak - anaknya merasa kapok dan C tidak ingin disepelekan oleh mereka.
4.5.3.2 Konflik Keluarga yang Berhubungan Dengan Terapi
Tidak dipungkiri bahwa biaya merupakan kendala terbesar untuk menjalankan terapi D. C dengan suaminya sering memiliki percekcokan karena tidak memiliki ongkos untuk terapi. Selain biaya, C juga merasa bahwa suaminya kurang peduli dengan anak dan kurang andil terhadap pengobatan yang sedang dijalankan oleh anaknya. C sempat menyatakan bahwa sikap dan kepribadian suaminya membuat C ingin bercerai. Walaupun D bukanlah satu – satunya faktor keinginan C untuk berpisah tetapi C merasa lelah dengan sikap suaminya yang terlalu cuek dengan anak terutama D. “Ya berantem, itu gara – gara ongkos.” “…terus kadang – kadang saya bilang, yah anakmu sakit noh gini gini. Belum ada duit, katanya begitu. Orang mah usaha gitu minjem dulu sama siapa.” 84
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Sebenernya tujuan aku pengen cerai, kalo bukan karena anak. Hati kecil aku gimana sih ya pertama karena D…kepengennya satu aja gitu, bapaknya tuh deket sama anak…”
4.5.3.3 Tingkat Kepuasan Terhadap Terapi
C tidak rutin memberikan obat kepada D karena dalam dirinya masih ada keraguan terhadap tingkat keberhasilan dari obat tersebut. Faktor utama yang membuat C ragu adalah perilaku D yang masih suka buang air besar di celana dan mengambil uang serta barang milik orang lain. Namun, perilaku hiperaktif D sudah berkurang. Pada observasi kedua peneliti, C menyatakan bahwa D sudah sembuh. Alasannya adalah D sudah diobati oleh orang pintar dan kata orang pintar tersebut perilaku D seperti buang air besar di celana dan mengambil barang milik orang lain disebabkan karena D diikuti oleh arwah anak kecil. Keputusan C datang ke orang pintar karena C bermimpi bertemu dengan orang yang dapat menyembuhkan D. Orang yang dimaksud dalam mimpi tersebut bukanlah psikiater maupun psikolog melainkan orang biasa yang memiliki kelebihan ilmu gaib. “D udah sembuh. Aku bawa ke orang pinter.” “…udah gak buang air besar di celana lagi, udah seminggu nih.” “…ini udah berani buang air besar ke kamar mandi sekolah.”
Orang pintar tersebut memberikan air dan bawang putih di botol minum yang sudah dibacakan doa – doa. D hanya diminta untuk meminum air tersebut dan hasilnya dalam seminggu D sudah tidak buang air besar di celana lagi tanpa
85
http://digilib.mercubuana.ac.id/
meminum obat dari psikiater. Saat menceritakan kejadian tersebut C terlihat senang, lega, dan puas dengan hasilnya. C memutuskan untuk datang lagi ke orang pintar sebanyak dua kali dan datang ke RS untuk bertemu dengan psikiater untuk memberhentikan pengobatan dengan alasan D sudah sembuh. “Ya senenglah! Ya tapi kan tapi eee obatnya sih gak diminum kata bapaknya kalo udah sembuh kita ke sana aja lagi sampe tiga kali.” “Dikasih minuman, isinya bawang putih.” “Katanya dihentikan. He eh soalnya kata bapaknya kalo berobat juga percuma begitu terus.”
Pengobatan D dengan orang pintar ini mendapat dukungan penuh dari suami C. Seperti yang sudah peneliti katakan suami C merasa ragu dengan pengobatan D di RS. Suami C pun juga merasa senang karena D sudah sembuh. “Alhamdulillah bapaknya juga seneng.”
4.5.3.4 Harapan Ibu dari Jenis Terapi ADHD yang Sedang Dijalankan
Kurang puasnya C dan suami terhadap perubahan D menyebabkan mereka mencari alternatif lain. Seandainya C dan suami memiliki uang untuk berobat, C ingin membawa D ke dokter lain dan psikolog. Sayangnya di RS tersebut menurut pengakuan C, apabila ingin menemui psikolog harus ada rekomendasi dari psikiater yang menangani D supaya bebas biaya. Sedangkan, psikiater hanya merekomendasikan pasiennya untuk menemui psikolog hanya untuk tes IQ saja. Para orangtua di RS tersebut pun belum ada yang mencoba untuk meminta surat
86
http://digilib.mercubuana.ac.id/
rekomendasi psikiater supaya dapat melakukan konsultasi dengan psikolog setempat.
4.6
Gambaran Umum Subjek
4.6.3
Gambaran Umum Subjek E
Awal pertemuan peneliti dengan E di sebuah Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan ketika E sedang menunggu F untuk terapi. E langsung menyambut peneliti dengan hangat dan senyuman. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan peneliti, E tidak keberatan bila peneliti melakukan wawancara di rumahnya. Setelah mendapatkan alamat rumah, keesokan harinya peneliti langsung datang ke rumah E. E adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki suami bekerja sebagai security dan tinggal di sebuah kontrakan tiga petak di kawasan rawan banjir. Selama wawancara nada bicara E cenderung pelan hingga nyaris tidak terdengar ketika ada suara bising di depan rumah. E sangat terbuka dalam memberikan jawaban. Tetapi, E jarang senyum dan tertawa selama proses wawancara berjalan. Raut mukanya lebih terlihat lelah atau seperti ada tekanan di dalam batinnya. E mengatakan bahwa para tetangganya menyebut F dengan sebutan pe’a. Hal tersebut membuat E marah hingga menangis karena sedih
87
http://digilib.mercubuana.ac.id/
anaknya tidak diterima oleh lingkungan rumhanya. Bisa disimpulkan bahwa E sensitif terhadap hal – hal yang menyangkut F.
4.6.4
Hasil Observasi
Wawancara di rumah E dilakukan sebanyak dua kali dan observasi saat F terapi sebanyak satu kali. Tidak lupa peneliti memberikan informed consent sebelum wawancara dimulai. Saat peneliti bertanya – tanya pada orang sekitar ketika mencari rumah E yang berada di lingkungan padat penduduk, orang – orang mayoritas mengenal E karena memiliki anak yang berbeda dengan anak normal lainnya. Wawancara sesi pertama dilakukan pada pukul 11.00-12.30. E merupakan seorang ibu yang lembut dalam bertutur kata. Beberapa kali E memanggil F dengan sebutan “sayang” dan “pintar” walaupun tingkah laku F sangat sulit untuk dikontrol. Dalam menjawab pertanyaan suara E sangat lembut, pelan, intonasinya tertata, dan menggunakan kata – kata yang sopan. E adalah seorang ibu yang sabar. Berbagai tingkah laku F tidak membuatnya marah atau berbicara kasar sedikit pun, malahan E memanggil F dengan sebutan sayang atau dan pinter supaya F mau mendengarkannya. Sesi kedua wawancara dilakukan keesokan lusa pada pukul 15.30 – 15.45. Saat wawancara berlangsung, F berlarian keluar rumah hingga ada suara seorang wanita berteriak memanggil nama E. Peneliti dan E tidak tau kejahilan apa yang
88
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dilakukan F. E langsung keluar rumah dan meminta F untuk masuk karena khawatir para tetangganya yang lain akan mencelanya. Bahkan peneliti sempat melihat F menangis ketika F berada di depan rumahnya dan pada saat itu ada beberapa anak kecil sedang bermain. F menangis tiduran di jalanan sambil memegang perutnya seperti menahan sakit. Ketika ditanya E, F menunjuk ke arah anak – anak tersebut. E hanya bisa menyuruh F masuk supaya anaknya terlindungi dari mereka. Peneliti melihat dari reaksi anak – anak tersebut tertawa seperti telah melakukan sesuatu ke F, karena F tidak bisa berbicara dengan jelas maka mereka memanfaatkan keadaan dengan mengaku tidak melakukan apapun terhadap F.
4.6.5
Gambaran Umum Subjek F
F adalah anak terakhir dari dua bersaudara yang memiliki kakak seorang perempuan. Pertama kali peneliti bertemu dengan E, peneliti langsung melakukan observasi saat F diterapi. Terapi yang dijalankan F adalah terapi wicara dan sensori integrasi. Durasi masing – masing terapi adalah tiga puluh menit. Ruang terapi wicara hanya terdiri dari satu meja dan tiga buah kursi dengan lantai yang dilapisi oleh karpet. F memiliki tingkat hiperaktivitas yang tinggi sekali. Saat terapi wicara setidaknya tidak lebih dari lima detik F bisa mempertahankan perhatiannya pada satu fokus ketika diminta untuk menulis dan masih butuh bantuan dari terapisnya. Selain masih sangat lemah dalam menulis, F juga tidak bisa berhitung. Hal ini disebabkan karena F tidak bersekolah.
89
http://digilib.mercubuana.ac.id/
F juga tidak lancar dalam berbicara karena lidahnya yang lebih pendek dari lidah orang normal. Ketika diberikan soal mengenai gambar obyek sehari – hari F bisa menjawabnya dengan sangat lancar. F adalah anak yang sangat mudah menirukan suara ataupun perilaku orang – orang di sekitarnya. Sesekali F bernyanyi mengikuti lagu di radio yang dinyalakan oleh terapis. Begitu juga tingkah lakunya seperti menjilat – jilat telapak tangan lalu mengusapnya di rambut merupakan hasil proses imitasi seorang tokoh film di televisi. Setengah jam kemudian F pindah ke ruang terapi sensori integrasi. Di ruangan tersebut dindingnya dilapisi oleh bantalan empuk, lantainya dilapisi dengan karpet, ruangannya lebih luas daripada ruangan terapi lainnya dan lebih terlihat seperti area bermain di sebuah ruangan. Tugas yang diberikan oleh terapis pada saat itu adalah meronce. Perilaku F yang sangat hiperaktif mengharuskan terapis untuk memeluk F supaya dapat duduk tenang. Namun, sampai waktunya habis F tidak berhasil memasukan semua kepingan ke dalam benang. Pada hari kedua wawancara, F tidak memakai baju sama sekali. Menurut pengakuan E, F memang sering tidak memakai baju karena hawa rumahnya panas. F juga sempat berlarian ke luar rumah sebelum dipakaikan baju oleh E. Menurut peneliti, kebiasaan F yang suka berlarian tanpa mengenakan pakaian yang juga merupakan pemicu para tetangga sekitar mencela dan mencemooh F dengan sebutan pe’a. Selama peneliti bertamu di rumah E, F hanya bisa duduk tenang apabila sedang menonton film kesukaannya. Peneliti tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar dari F, bahkan di hari kedua peneliti melakukan wawancara F selalu merangkul tangan peneliti dan menyender, memeluk dari belakang, hingga 90
http://digilib.mercubuana.ac.id/
beberapa kali mencium pipi peneliti. Sebenarnya F akan berperilaku baik dan manis selama orang lain tidak menyerangnya. Setiap F keluar rumah, F berlarian dan menjadi semakin aktif sampai tetangga yang merasa diserang berteriak ketakutan. F dicap sebagai anak yang nakal karena kejahilannya. F bukanlah anak yang nakal hanya saja F tidak tahu bagaimana cara bergaul dengan orang lain dan yang didapatkannya dari para tetangga adalah serangan, hinaan, dan ejekan. Sehingga saat di luar rumah perilaku F lebih liar daripada di dalam rumah. Ketika di dalam rumah, F merasa aman dan nyaman karena berada di sekeliling orang – orang yang menyayanginya.
4.6.6
Gambaran Umum Terapis
Selama peneliti berada di ruangan terapi wicara, terapis hanya fokus mengajar dan sama sekali tidak berinteraksi dengan peneliti. Peneliti melihat terapis lebih seperti seorang guru privat yang mengajar murid normal bukan murid penyandang Anak Berkebutuhan Khusus. Ketika ditanya peneliti mengapa mendengarkan radio, terapis menjawab supaya tidak stress. Jawaban terapis mengindikasikan bahwa terapis memiliki tingkat kesabaran yang rendah dan selalu terbawa emosi. Hal ini terlihat dari perilaku terapis yang menundukan dengan menepuk dan menekan kepala F supaya padangannya mengarah ke buku dan mengajar dengan nada yang tinggi.
91
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berbeda dengan terapis di ruangan terapi sensori integrasi, di ruangan tersebut terdapat dua terapis yang memakai seragam RS dan terapis lainnya memakai seragam bukan dari RS. Para terapis terlihat ramah, hangat, dan banyak senyum. Beberapa kali terapis juga sempat mengajak ngobrol peneliti. Pada terapi ini, perilaku F lebih sulit untuk dikontrol tetapi tidak ada perlakuan kasar dari terapis dan meresponnya dengan sedikit candaan serta tawaan.
4.7
Analisis Intra Kasus
4.7.3
Sejarah ADHD
Saat F mulai berusia 4 bulan badannya sering panas dan buang – buang air terus. E hanya bisa membawanya ke puskesmas dan bidan saja. Dari saat itulah F sudah banyak mengkonsumsi obat. Menurut bidan setiap F bernafas seperti ada suara “krek – krek” karena dahak. Akhirnya bidan memutuskan untuk menguap F tetapi tidak ada hasil. Pada usia 9 bulan F tidak mendapatkan imunisasi campak karena suhu tubuhnya yang sedang panas. Kemudian E hanya bisa memberikan obat lagi untuk menurunkan suhu tubuh F. Sebelum beranjak usia 1 tahun F juga sering jatuh dari tempat tidur. Karena tidak ada perubahan 1,5 tahun kemudian E nekad pergi ke spesialis anak di sebuah RS dengan meminjam uang kerabatnya. Di RS tersebut E dironsen dan ternyata flek di bagian paru – paru kiri dan kanan sudah tebal. Akhirnya
92
http://digilib.mercubuana.ac.id/
selama 1 tahun 1 bulan F ditangani oleh dokter untuk mengurangi fleknya dan berhasil. E tidak menyadari bahwa meningkatnya suhu tubuh F selalu disertai dengan kejang – kejang. Lebih tepatnya, E tidak tahu yang dimaksud dengan kejang itu seperti apa. Perkembangan F pun lambat dan baru bisa berjalan saat berusia 3 tahun. Saat itu pun F sempat kejang – kejang namun E tetap saja belum paham tanda – tanda orang kejang seperti apa. Dua tahun yang lalu, E sedang makan tiba – tiba F melempar kayu ke muka E. Karena lukanya cukup parah maka E dan F ke puskesmas, dokter yang melihat perilaku F mengatakan bahwa F bermasalah dan harus diterapi. Merasa khawatir dengan anaknya E mendapat surat rujukan dari puskesmas untuk dibawa ke RS Dr. Soeharto Heerdjan dimana F hingga saat ini menjalankan terapi. Diagnosa awal dokter adalah PDD-NOS dan ADHD. Hanya saja ADHD F lebih dominan. Menurut dokter, penyebab ADHD F bukanlah dari lahir tetapi akibat syarafnya yang bermasalah karena sering jatuh dan kejang – kejang.
93
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.7.4
Pengambilan Keputusan Dalam Memilih Terapi
4.7.4.3 Proses Pengambilan Keputusan
Setting Goals Dari F berumur 3 tahun perilaku hiperaktifnya sering muncul seperti melempar – lempar barang berupa gelas, telur atau benda apapun di dekatnya ketika emosinya sedang naik. Para tetangga juga merasa terganggu dengan perilaku F yang suka jahil. F pun sering dimarahi dan dikucilkan oleh para tetangganya, namun omelan dari para tetangga tidak membuat F menjadi lebih diam malahan F menjadi lebih agresif lagi. Berbagai reaksi negatif menjadi salah satu alasan E memberikan terapi kepada F. Selain karena lingkungan, alasan lain E memberikan terapi adalah supaya F dapat berbicara dengan lancar. “…saya juga suka sedih ngeliat anak begini, rasa sakitnya juga ada, dari lingkungan maksudnya enggak mau mengerti…bahkan ada tetangga yang mencaci maki saya, mencaci maki anak saya…kalo anak saya lewat katanya, ada si pe’a masuk.” “…perilaku yang gak iseng sama orang, gak jail sama orang, gak mengganggu orang lain. Jadi intinya kan orang kaya gitu jadi kesel, jadi bumerang buat orang lain. Dari bicaranya juga…” Gathering Information E sebelumnya tidak pernah mendengar ADHD dan tidak pernah menyangka bahwa anaknya bisa terkena gangguan ini. Sebelum E membawa F ke rumah sakit, E sudah banyak mendapatkan informasi dari orang – orang di lingkungan rumahnya yang melihat perilaku F. Ada yang mengatakan F hiperaktif 94
http://digilib.mercubuana.ac.id/
atau pun autis. Informasi yang didapatkan E berupa lokasi terapi dan berbagai jenis pantangan makanan seperti cokelat, indomie, dan telur. Namun, hal itu tidak digubris oleh E karena semua makanan tersebut terutama cokelat merupakan makanan kesukaan F, E sendiri juga belum yakin akan kebenaran orang – orang tersebut dan karena faktor ekonomi yang membuat E enggan untuk pergi ke tempat terapi. “ADHD, ya semenjak di sana aja (di tempat terapi F)…Pokoknya saya gak mengerti gak berpikir anak saya sampe sejauh ini, karena di lingkungan saya juga gak ada…” “Belum bisa saya mengatasi dari yang informasi dari orang – orang.” Setelah dibawa ke RS Dr. Soeharto Heerdjan barulah E menyadari bahwa yang orang – orang katakan pada saat itu memang benar. Keputusan jenis terapi pun diserahkan oleh psikiater setempat. Suami E sendiri juga sering menasehati keluarganya untuk tidak makan pantangan makanan F di depan dirinya. Sturcturing the Decision E percaya bahwa saran dari psikiater banyak memiliki dampak positif dan E selalu berusaha untuk mengikuti semua saran – saran yang diberikan. Hanya saja, E pernah menanyakan ke psikiater mengenai ketergantungan obat dan psikiater menjelaskan bahwa F membutuhkan obat. Uang, waktu, tenaga, dan makanan yang dipantang merupakan hal – hal yang harus dikorbankan ketika anak ingin menjalankan terapi. “Kalo saya bilang banyak ke positif ya dari yang negatif.”
95
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Ya itu pernah konsul, Dok anak saya ini apa gak ketergantungan dengan obat takutnya gak diobatin jadi begini begini.”
Making A Final Choice Psikiater memutuskan jenis terapi yang sesuai untuk F yaitu behavioral dan medical therapy. Untuk behavioral therapy psikiater memilih jenis terapi wicara untuk melancarkan bicaranya dan sensori integrasi, sedangkan untuk medical therapy psikiater memberikan obat prohiper dan neripros. E sangat setuju dengan keputusan psikiater karena F tidak sekolah maka terapi wicara sangat sesuai untuk F. Walaupun psikiater sudah memutuskan jenis terapi untuk F, E masih memiliki keinginan untuk melakukan terapi tambahan karena kendala ekonomi E tidak bisa mewujudkan keinginannya. Dengan keadaannya yang sekarang F tetap menjalankan terapi dan E mau tidak mau harus optimis dengan kesembuhan F. Evaluating Menurut E sebelum memberikan terapi ADHD sebagai orangtua yang harus dipersiapkan adalah tenaga, pikiran, dan uang. Sampai lebih dari satu tahun menjalankan terapi, E masih mencari informasi terapi di luar. E sudah memberikan obat yang menurut psikiater dapat menenangkan pikirannya dan menghindari makanan yang dipantang tetapi perilaku F masih saja hiperaktif. Sebagai anak ADHD, mood F suka berubah – ubah. Terkadang F suka menolak untuk mengikuti terapi, untuk itu E sebagai orangtua yang memiliki anak ADHD pintar merayu anak supaya mau rutin menjalankan terapi. Dari berbagai jenis
96
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terapi yang diikuti F, E paling puas dengan hasil dari terapi wicara karena kemampuan berbicara F sudah banyak kemajuan dari segi kosa kata. “Ya pastilah tenaga, pikiran, buat keuangan juga. Itu aja yang utama.” “…ya mungkin namanya kita ikut kaya gitu terapi, kalo punya rezeki lebih pengen lagi pengen lebih banyak lagi mungkin.”
4.7.4.4 Faktor – faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan
Belief Bias Walaupun E masih belum puas dengan perubahan yang dialami F karena waktu terapi yang hanya dua kali dalam seminggu, E menaruh kepercayaan dengan terapi yang dijalankannya sekarang. Hal itu dikarenakan besarnya harapan E supaya F dapat seperti anak normal lainnya. Selain itu, E juga merasa tidak ada pilihan lain selain memberikan terapi di RS tersebut karena faktor biaya. “Yaiyalah percaya saya jalanin aja daripada saya gak kemana – mana.”
4.7.5
Aspek – aspek yang Berperan Dalam Keberhasilan Terapi
4.7.5.1 Pola Asuh yang Diterapkan
E mengakui memang menspesialkan F karena menurutnya kalau bukan keluarga siapa lagi yang akan menjaga F. Terkadang kakak F suka protes karena E
97
http://digilib.mercubuana.ac.id/
membela F walaupun F yang salah. Bukan maksud E membedakan anak – anaknya, tetapi menurutnya tidak adil apabila menyamakan kemampuan berpikir antara orang normal dengan orang yang memiliki keterbatasan seperti F. Jadi, sejahil apapun perilaku F E selalu berusaha untuk tidak memarahinya apalagi kekerasan fisik. “…saya pikir maksudnya kita gak membeda – bedakan, kita kan istilahnya yang punya diberi kelebihan itu jangan disamaratakan dengan ini (menunjuk ke F).”
Apabila F tidak bisa dinasehati yang hanya bisa dilakukan oleh E dan suaminya adalah dengan menakut – nakuti. Misalnya E suka mengancam F tidak diajak naik busway (F suka sekali naik kendaraan mobil terutama busway), sedangkan suami E suka menakut – nakuti E dengan pura – pura seakan – akan ingin mengikat kaki F atau dengan meminum air lalu seakan – akan ingin menyembur F. Dengan ancaman seperti itu dari E dan suaminya F merasa takut dan berhenti melakukan kejahilan. Terkadang E suka merenung karena kasihan melihat F bagaimana kalau suatu saat nanti E sudah meninggal dan siapa yang akan mengurus serta menerima keadaan F. Penolakan dan cemoohan dari para tetangga membuat E sedih. Bahkan E berdoa supaya F tidak diberikan umur yang panjang. Harapan E supaya F kembali kepada Yang Maha Kuasa karena E tidak tega melihat anaknya disiksa oleh orang lain dan E tidak bisa membiayai terapi tambahan untuk F. Keadaan yang demikian membuat E pesimis dan serba salah.
98
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Bagaimana nanti salah satu tuh gak ada, kalo bisa jangan dikasih kesempatan hidup lebih panjang lagi…saya mendingan diambil lagi Ya Allah Tuhan.” “Diambil lagi sama Yang Kuasa karena kasian disitu disiksa sama orang kayanya dikucilkan, saya juga keadaan kaya begini gak bisa berobat kesana kemari.” “Kadang suka saya peluk, saya suka nangis.”
4.7.5.2 Konflik Keluarga yang Berhubungan Dengan Terapi
Masalah yang ada di dalam keluarga E tidak jauh – jauh dari masalah ekonomi. Sebenarnya, E dapat menyesuaikan kebutuhan hidup dengan pendapatan suaminya hanya saja biaya dan ongkos untuk terapi menjadi beban dan pikiran E beserta suami. E juga khawatir apabila KJS sudah tidak berlaku suatu saat nanti. Permasalahan ekonomi keluarga tidak membuat hubungan E dengan suami menjadi tidak harmonis, tetapi percekcokan pasti ada dan masih dalam taraf yang wajar saja. “…kadang saya pengen teriak, pengen nangis, pengen berontak gitu.” “Saya bilang kalo untuk kebutuhan rumah itu kita gak kaget ya cuman karena kita untuk begini ini berat, amat – amat berat banget.”
4.7.5.3 Tingkat Kepuasan Terhadap Terapi
Dari berbagai jenis terapi yang diikuti, F banyak kemajuan di kemampuan berbicara. Peningkatan kemampuan berbicara F juga dibantu dengan obat jenis prohiper yang menurutnya dapat menenangkan F. Namun, obat yang diberikan
99
http://digilib.mercubuana.ac.id/
psikiater tidak rutin diberikan E karena menurutnya efek dari obat tersebut hanya beberapa jam saja dan terkadang walaupun meminum obat F masih saja tidak bisa diam. Sedangkan obat jenis neripros tidak E berikan karena sesuai yang tertera pada obat bahwa neripros diperuntukan bagi orang yang memiliki gejala skizofrenia. Sedangkan, menurut pengamatan E F tidak pernah berhalusinasi seperti tertawa atau pun berbicara sendiri. Berdasarkan diagnosa dokter pun tidak disebutkan bahwa F menderita skizofrenia. “…saya juga serba salah deh. Ini udah lama gak dikasih (obat) ini pengen tau gitu kan. Begitu – begitu aja.”
E juga tidak memungkiri bahwa F sudah banyak perubahan seperti sudah tidak melempar barang – barang, dapat memahami lawan bicara, dan kosa katanya bertambah. Orang – orang di lingkungannya pun juga merasakan adanya perubahan F dan juga masih ada beberapa orang yang mengatakan kalau F belum ada perubahan karena masih jahil. Melihat perubahan yang dialami F dan ketidak mampuan E untuk memberikan terapi tambahan, E akan terus melanjutkan terapi setidaknya sampai F bisa menulis dengan benar.
4.7.5.4 Harapan Ibu dari Jenis Terapi ADHD yang Sedang Dijalankan
Hanya dengan terapi wicara, sensori integrasi, dan meminum obat prohiper merupakan satu – satunya cara yang diandalkan E.
Pada terapi tersebutlah
harapan satu – satunya E terhadap kemajuan F. E seperti tidak punya pilihan lain
100
http://digilib.mercubuana.ac.id/
untuk memberikan terapi F, karena dalam dirinya masih banyak petanyaan – pertanyaan E yang belum bisa terjawab hingga saat ini. “Saya pengennya terapi lagi di RS lain.” “Yaiyalah saya jalanin aja daripada saya gak kemana – mana.”
E baru tahu bahwa psikiater yang menangani F bukanlah psikolog setelah peneliti menanyakan apakah sudah pernah ke psikolog atau belum. Setelah mengetahuinya, E berkeinginan untuk menemui psikolog untuk menanyakan apakah F bisa seperti anak normal lainnya atau tidak. E juga masih ingin mencari tahu kondisi medis F lebih detail lagi supaya dapat dilakukan pengobatan yang tepat. Hanya saja F harus mengurungkan niatnya itu karena kendala biaya. “Ya aku pikir psikolognya dokter yang ada di sana itu.” “Saya ragunya gini aja, apa mungkin di kepalanya itu kenapa apa kenapa gitu juga saya masih ragu.”
4.8
Analisis Inter Kasus Subjek
4.8.5
Pengambilan Keputusan Dalam Memilih Terapi
4.8.5.1 Proses Pengambilan Keputusan
Menurut teori Galotti (2008), proses pengambilan keputusan dibagi menjadi lima kategori berbeda, yaitu setting goals; gathering information; structuring the decision; making a final choice; evaluating. Galotti menggunakan 101
http://digilib.mercubuana.ac.id/
istilah “fase” untuk kategori – kategori tersebut dan jika digambarkan dalam bentuk bagan fase – fase tersebut adalah sebagai berikut :
Pada subyek A, C, dan E fase gather information terjadi setelah membuat keputusan jenis terapi dan seiring berjalannya terapi. Namun, pada subyek A gather information dilakukan untuk mengklarifikasi dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa jenis terapi yang telah dipilih adalah tepat dan bagus. Maka dari itu A hingga saat ini merasa sangat optimis dan tidak ingin mengganti jenis terapi. Sedangkan, pada subyek C dan E gather information masih dilakukan setelah fase make a final selection dibuat. Pencarian informasi yang dilakukan subyek C dan E setelah membuat keputusan dikarenakan adanya faktor ketidak puasan terhadap perubahan D dan F. Pada observasi terakhir, subyek C memutuskan untuk berhenti berobat di RS karena D sudah disembuhkan oleh orang pintar. Berbeda
102
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan subyek A yang pernah mendatangi orang pintar dan merasakan tidak adanya perubahan pada B. Sedangkan, pada subyek E gather information masih akan terus dilakukan karena terapi yang dijalankan F yang hanya dua kali dalam seminggu sangatlah minim dan supaya F memiliki lebih banyak lagi perubahan.
4.8.5.2 Faktor – faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan
Subyek A, C, dan E dipengaruhi oleh belief bias dalam pengambilan keputusan terapi. Baik subyek C dan E menanamkan belief ini karena mereka tidak memiliki pilihan lain dalam menentukan jenis terapi untuk D dan F. Berbeda dengan A yang menanamkan belief karena sudah melakukan confirmation terhadap belief dengan melakukan pencarian informasi baik dari internet maupun kerabatnya yang memiliki anak ADHD. Maka dari itu faktor lainnya seperti belief in personal relevance juga ikut mempengaruhi pengambilan keputusan subyek A karena subyek A mengikuti jenis terapi berdasarkan yang orang lain pilihkan untuk anaknya. Berbeda dengan subyek C dan E karena minimnya akses untuk mencari informasi mengenai jenis terapi maka keputusan subyek C dan E dalam menentukan jenis terapi hanya dipengaruhi oleh belief saja baik dari diri sendiri maupun pilihan dari psikiater yang subyek C dan E yakini. Dalam teori yang digunakan peneliti mengenai faktor – faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan salah satunya adalah status sosioekonomi (SSE) dimana faktor ini tidak peneliti masukan ke dalam daftar wawancara melainkan hanya berupa observasi saja. Subyek A memiliki tingkat pendidikan
103
http://digilib.mercubuana.ac.id/
paling tinggi dibandingkan dengan subyek C dan E yang hanya lulusan SMP saja. Dari subyek A, C, dan E terbukti bahwa faktor tersebut memang memengaruhi keputusan jenis terapi yang diambil. Subyek A memiliki lebih banyak sumber yang dapat membantunya dalam menentukan jenis terapi, sedangkan subyek C dan E karena keterbatasan ekonomi hanya memiliki satu akses saja (psikiater) untuk menerima informasi jenis terapi yang dipilihnya. Sumber yang dimaksud adalah dari literatur seperti buku atau pun informasi dari internet dan dari psikolog. Subyek C sendiri mengakui tidak pernah membaca literatur mengenai ADHD dikarenakan tidak ada akses internet dan lebih memilih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan sehari – hari daripada untuk membeli buku tentang ADHD. Begitu juga yang terjadi dengan subyek E yang menyerahkan semuanya kepada psikiater karena tidak ada pilihan lain. Walau demikian subyek E hingga saat ini masih mencari – cari informasi dari orang – orang mengenai jenis terapi di RS lain meskipun subyek E tidak memiliki biaya dan subyek E sendiri merasa putus asa. Dari faktor SSE itulah memengaruhi subyek A, C, dan E dari segi pengetahuan untuk mengambil keputusan.
104
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.8.6
Aspek – aspek yang Berperan Dalam Keberhasilan Terapi
4.8.6.1 Pola Asuh yang Diterapkan
Subyek A, C, dan E memiliki pola asuh yang berbeda – beda. Subyek A lebih banyak berdiskusi dengan orangtua yang memiliki anak ADHD; psikolog; dan guru pendamping B, sedangkan subyek C dan E hanya melakukan diskusi dengan psikiater saja dalam waktu yang sangat terbatas. Subyek A menerapkan sistem token economy dan reward demi tercapainya target perilaku B, sedangkan subyek C dan E menerapkan sistem berupa punishment. Terutama subyek C sering menggunakan kekesaran dalam mendidik anak dan memanggil D dengan sebutan lu. Berbeda dengan subyek E yang selalu berusaha menahan diri untuk memarahi dan memukul F, punishment yang dilakukannya hanyalah berupa ancaman – ancaman untuk menakut – nakuti F. Bahkan subyek E sering memanggil F dengan sebutan pinter dan sayang supaya F mendengarkan nasehatnya.
4.8.6.1 Konflik Keluarga yang Berhubungan Dengan Terapi
Seperti yang sudah peneliti sebutkan sebelumnya bahwa subyek A berasal dari keluarga yang berkecukupan, sedangkan subyek C dan E berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah ke bawah. Baik antara subyek C dan E selama wawancara sama – sama mengeluhkan permasalahan ekonomi dan
105
http://digilib.mercubuana.ac.id/
usahanya untuk memberikan terapi pada D dan F menjadi sangat terbatas karena besarnya biaya yang dibutuhkan. Selain ekonomi, subyek C juga memiliki masalah rumah tangga dengan suaminya dan berkeinginan untuk cerai karena suami C tidak dekat dengan anak – anaknya. Berbeda dengan subyek E, walaupun ekonomi menjadi isu utama dalam keluarganya hubungan antara dirinya dan suami pun tetap harmonis layaknya hubungan antara subyek A dan suaminya. Keharmonisan rumah tangga subyek A dan E dikarenakan adanya kerjasama, dukungan dan perhatian suami subyek A dan C kepada anak – anaknya terutama kepada B dan F.
4.8.6.2 Tingkat Kepuasan Terhadap Terapi
Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan terapi dari subyek A, C, dan E didasarkan oleh faktor ekonomi dan minimnya pengetahuan mengenai ADHD. Ketidak mampuan subyek C dan E untuk membayar psikolog dan hanya mengandalkan obat saja memengaruhi tingkat kepuasan terhadap jenis terapi yang dijalani. Menurut subyek C dan E obat yang diberikan psikiater tidak memiliki pengaruh banyak terhadap perilaku D dan F. Berbeda dengan subyek A yang menolak untuk meminumkan obat pada B, walaupun psikiater sudah meresepkan obat yang harus diminum B. Alasan A untuk tidak memberikan obat tersebut adalah takut dengan efek samping obat yang dapat menyebabkan kematian. Sedangkan, pada subyek C dan E tetap
106
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memberikan obat pada D dan F namun tidak rutin dengan alasan takut ketergantungan. Subyek A merasa sangat puas sekali dengan terapi yang dijalankan B sekarang. Menurut peneliti tingkat kepuasan tersebut dikarenakan banyaknya pihak yang terlibat untuk menangani B, yaitu dari pihak psikolog; terapis; dan guru pendamping B. A juga sering melakukan diskusi dengan pihak – pihak tersebut dan memiliki hubungan interpersonal yang sangat baik. Sedangkan subyek D dan E hanya mendapatkan penanganan dari psikiater dan terapis saja dimana pemberian informasi terbatas karena banyaknya pasien lain yang mengantri.
4.8.6.3 Harapan Ibu dari Jenis Terapi ADHD yang Sedang Dijalankan
Baik subyek A, C, dan E sama – sama memiliki harapan yang sama, yaitu B, D dan F dapat menjadi seperti orang normal lainnya. Tetapi subyek E juga memiliki harapan lain, yaitu ingin F kembali kepada Yang Maha Kuasa. Keinginannya tersebut dikarenakan faktor ekonomi dimana subyek E merasa tidak sanggup untuk membiayai terapi F dan juga dikarenakan adanya penolakan dari lingkungan sekitar. Subyek E merasa serba salah dengan keadaannya, supaya F menjadi anak normal dan diterima oleh lingkungan sekitar maka subyek E harus memberikan terapi lagi di RS lain tetapi dirinya tidak mampu untuk membiayai terapi F.
107
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Baik subyek C dan E sama – sama memiliki keinginan untuk melakukan konsultasi dengan psikolog. Selama ini subyek C dan E tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berkonsultasi dengan psikolog di RS. Apabila orangtua ingin mengajukan konsultasi dengan psikolog setempat maka orangtua harus membayar. Sedangkan, subyek C dan E tidak memiliki biaya untuk melakukan hal tersebut. Berbeda dengan subyek A yang sudah merasa lega karena sudah menemukan terapi yang cocok dengan B dan hasilnya sangat bagus. Selama proses wawancara pun raut wajah A selalu tersenyum tanpa beban. Sedangkan, subyek C dan E dalam menjawab pertanyaan wawancara cenderung curhat dan menjadikan peneliti sebagai tempat berkeluh kesah dengan raut muka yang sedih.
108
http://digilib.mercubuana.ac.id/